How to cite:
Bachri, D., (2021) Pemberian Pengampunan Antarpribadi Menurut Everett L. Worthington dan Charles L.
Griswold. Syntax Idea, 3(9), https://doi.org/10.36418/syntax-idea.v3i9.1489
E-ISSN:
2684-883X
Published by:
Ridwan Institute
Syntax Idea: pISSN: 2684-6853 e-ISSN: 2684-883X
Vol. 3, No 9, September 2021
PEMBERIAN PENGAMPUNAN ANTARPRIBADI MENURUT EVERETT L.
WORTHINGTON DAN CHARLES L. GRISWOLD
Diana Bachri
Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Indonesia
Abstrak
Tidak mudah memberi pengampunan antarpribadi, terlebih dari pihak subyek
sebagai korban kekerasan. Penelitian psikologis dengan pendekatan kualitatif
terhadap perempuan korban kekerasan di masa anak memperlihatkan, tidak
ditemukannya kesediaan mengampuni secara total sesuai teori pengampunan
Worthington. Sebagai tindak-lanjut dari penelitian lapangan, ditelusuri argumentasi
mendasar ketidak-mampuan atau ketidak-bersediaan subyek memberi
pengampunan antarpribadi. Penelusuran ini membutuhkan kajian filosofis dengan
memperhatikan berbagai argumentasi antropologis-etis. Mengapa tidak mudah
memberi pengampunan antarpribadi, dan bagaimana penjelasan etis untuk
menjawab permasalahan tidak mampu memberi pengampunan; inilah tujuan
penelitian penulis. Pengampunan antarpribadi mampu diberikan subyek penyintas
kekerasan, sebab mengandaikan masih terdapat luka, kemarahan dan perasaan
sakit-hati terhadap pelaku kejahatan. Penjelasan filosofis Griswold mampu
menjawab adanya kesulitan memberi pengampunan antarpribadi sehingga
melengkapi teori psikologis Worthington tentang memberi pengampunan
antarpribadi. Dengan memahami terdapat kesulitan memberi pengampunan
antarpribadi, maka menjadi penting dilatih suatu kesediaan memberi pengampunan
sedini mungkin, guna membangun habitus atau kebiasaan yang baik yaitu bersedia
mengampuni sesama manusia secara antarpribadi dalam hidup sehari-hari.
Kata kunci: pengampunan antarpribadi, pengampunan tidak sempurna (non-
paradigmatic forgiveness), keutamaan moral, pembiasaan (habitus)
Abstract
Giving interpersonal forgiveness requires a struggle to manage emotions, changing
from negative to positive emotions; Worthington's psychological understanding
requires philosophical awareness in order for survivors to be able to forgive the
perpetrators of evil. Griswold, a 21st-century philosopher, explained that
forgiveness actually departs from the paradigm that no one is perfect, and is able to
forgive perfectly. In fragility man is able to forgive and accept injury as a wound
that requires recovery, and forgiveness is a 'therapetic way' that every victim of
injury needs. Interpersonal forgiveness even though it is not perfect becomes a
priority that needs to be accustomed and trained by everyone, for the sake of the
integrity of interpersonal relationships in everyday life. Interpersonal forgiveness is
a meeting point that accommodates the remaining wounds, bitterness, and anger.
Diana Bachri
2084 Syntax Idea, Vol. 3, No. 9, September 2021
Keywords: interpersonal forgiveness, imperfect forgiveness (non-paradigmatic
forgiveness), moral virtues, habitus
Pendahuluan
Pandemi Covid membuat manusia sehari-hari banyak berinteraksi dengan anggota
keluarga di rumah. Tidak jarang interkasi tersebut menimbulkan korban, adanya pihak
yang merasa terluka atau membangkitkan perasaan sakit-hati dan terluka yang dulu
pernah dialami individu penyintas. Keseharian hidup manusia, luka dan sakit hati
kerapkali tidak terhindari. Setiap pribadi bisa mengalami percideraan, dan menjadi
korban kejahatan. Korban percideraan perlu menaggapi dengan memberi pengampunan
antarpribadi. Ironisnya, betapapun mulianya kandungan kata ‘mengampuni’, tindakan
mengampuni beresiko. Kejahatan muncul dan korban dirugikan pada saat bersedia
mengampuni dan berekonsiliasi. Temuan yang disinyalir Worthington bahwa istri
meninggal setelah mengampuni suaminya, menjadi catatan kelam (Jr Worthington,
2013).
Berangkat dari keprihatinan terdapat luka serta kepahitan pada korban kekerasan,
dilakukan penelitian lapangan dengan kajian psikologi mengambil teori pengampunan
antarpribadi Worthington. Penelitian terhadap perempuan yang menjadi korban
kekerasan pada masa anak memperlihatkan hasil, bahwa tidak mudah memberi
pengampunan antarpribadi (Setiawan & Rakhmawaty, 2014). Adapun definisi
kekerasan terhadap perempuan yang dijadikan pedoman tulisan ini, sesuai dengan yang
dimaksud dalam Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan yaitu:
Setiap perbuatan berdasarkan perbedaan jenis kelamin, yang berakibat atau mungkin
berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, atau
psikologis, termasuk ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan atau perampasan
kemerdekaan secara sewennag-wenang baik yang terjadi di depan umum maupun dalam
kehidupan pribadi (Pasal1 Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan,
Perserikatan Bangsa-Bangsa, 1993).
Dalam kaidah umum secara moral kita pahami bersama bahwa tindakan
mengampuni orang lain yang sudah bersalah kepada kita adalah suatu kebaikan.
Namun, jika tindakan baik itu dapat disalahgunakan dan dapat berakibat buruk, berarti
dibutuhkan penelitian lebih lanjut. Alasan inilah yang membawa penulis memandang
perlunya suatu penelitian filosofis, sebab kajian filsafat selalu bermaksud memberikan
sumbangan pemikiran guna menjadi pedoman dalam berkiprah di masyarakat.
Penelitian pengampunan antarpribadi yang penulis lakukan menggunakan metode
kepustakaan, sebagai upaya menanggapi Worthington yang sejak 1997 telah
mengkampanyekan pentingnya penelitian tentang pemberian pengampunan
antarpribadi.
Berangkat dari permasalahan tidak mudah mengampuni pelaku kejahatan dalam
penelitian penulis berdasarkan teori psikologis Worthington, maka selanjutnya
penanganan permasalahan memberi pengampunan perlu diperdalam lewat kajian
antropologis-etis. Guna mendiskusikan kajian psikologi dalam terang antropologis,
Pemberian Pengampunan Antarpribadi Menurut Everett L. Worthington Dan Charles
L.Griswold
Syntax Idea, Vol. 3, No.9, September 2021 2085
penulis mengambil kajian filosofis. Charles Griswold, filsuf Amerika abad 21. Griswold
memandang pengampunan antarpribadi dibutuhkan karena pengampunan merupakan
masalah keseharian manusia. Penulis bermaksud mencari sejauh mana filsafat dan
psikologi memahami kesulitan mengampuni antarpribadi, sehingga manusia dalam
kerapuhannya dapat bersikap optimal.
Metode Penelitian
Pada kajian psikologi, penulis melakukan penelitian dengan pendekatan kualitatif
menggunakan metode wawancara mendalam disertai observasi terhadap tiga perempuan
usia dewasa muda yang menjadi korban kekerasan pada masa anak. Penelitian
dilakukan dengan mengambil teori psikologi Worthington untuk mencari adakah
pemberian pengampunan antarpribadi terjadi dalam diri ketiga responden penelitian.
Varian ketiga responden yang dipilih penulis adalah varian agama atau keyakinan
imannya (masing-masing: Islam, Kristen Protestan dan Katolik), dan varian prilaku
kekerasan berulang dari beberapa pihak meliputi: orangtua (ayah maupun ibu), dan
orang yang dituakan: paman maupun kakak, serta seorang sahabat ayah yang sudah
diterima sebagai keluarga. Dan sebagai varian tambahan: 2 dari 3 responden mengalami
kekerasan seksual di usia > 5 tahun dari pihak keluarga atau orang yang sudah diterima
sebagai keluarga.
Selanjutnya sebagai kesamaan dari ketiga responden sebagai berikut:
1. Korban mengalami kekerasan pada masa usia anak (< 18 tahun) dengan frekwensi
hampir setiap hari.
2. Pelaku kekerasan adalah keluarga atau orang yang sudah dianggap keluarga
(significant others).
3. Korban mengalami peristiwa kekerasan dalam kurun waktu 5 (lima) tahun atau lebih,
baik kekerasan fisik, verbal maupun seksual.
4. Pada saat penelitian dilakukan, usia korban berada dalam rentang dewasa muda (> 21
tahun), tepatnya I: 27 tahun, A: 22 tahun, dan T: 24 tahun.
5. Ketiga responden sangat tersakiti secara psikis dan berusaha berdamai dengan diri
sendiri dan pihak pelaku kejahatan (transgressor)
Penelitian kedua disusun berdasarkan temuan penelitian lapangan dalam kajian
psikologi sosial yang penulis lakukan (tahun 2004). Sebagai tindak lanjut penelitian
lapangan dilakukan penelitian berdasarkan kajian filsafat dengan mengambil metode
kepustakaan. Penelitian yang penulis lakukan mengambil teori dan eksplorasi filosofis
Charles Griswold dalam beberapa buku yang membahas pengampunan antarpribadi.
Pengampunan antarapribadi menurut Griswold berada dalam suatu paradigma bahwa
manusia bersalah terhadap sesamanya (Nearly everyone has wronged one another)
(Griswold, 2007). Tujuan penelitian dengan mengambil kajian filsafat, untuk
menjelaskan sejauh mana ketidak-mampuan memberi pengampunan atau ketidak-
bersediaan mengampuni secara antarpribadi dapat dipahami dalam terang antropologis
etis.
Diana Bachri
2086 Syntax Idea, Vol. 3, No. 9, September 2021
Hasil dan Pembahasan
Pada penelitian psikologi berdasarkan teori pengampunan Worthington (E. ..
Worthington, 2003), disusun proses pengampunan sebagai berikut:
1. Membuka luka (Recall the hurts)
2. Berempati (Emphatize with the one who hurts you)
3. Memberi pengampunan sebagai suatu pemberian altruistik (Altruistic gift of
forgiveness)
4. Berkomitmen menyatakan kesediaan memberi pengampunan (Commit publicy to
forgive)
5. Memegang teguh komitmen mengampuni (Hold on to forgiveness)
Hasil penelitian lapangan dan menjadi simpulan penelitian berdasarkan teori
Worthington, penulis mendapati:
1. Perempuan dewasa muda yang telah menjadi korban kekerasan pada masa anak
belum mampu memberi pengampunan secara total (interpersonal/ antarpribadi
maupun intrapsikis/ di dalam hati) sehingga didapati hanya pengampunan tampak
luar (Hollow forgiveness). Adapun pengampunan tampak luar yang dangkal
dinyatakan dengan kesediaan misalnya: menanda-tangani perjanjian damai,
bergandengan tangan atau pun berjabat-tangan, dilakukan antara pihak korban dan
pelaku kejahatan (transgressor dan bukan sekadar wrongdoer)
2. Tidak didapatinya pengampunan total karena pelaku kekerasan tidak menyesali
perbuatan atau sikapnya, serta proses memberi pengampunan sendiri bukanlah hal
yang mudah dilakukan korban, sekalipun secara pribadi sudah berkeputusan
memberi pengampunan dan berada atau memposisikan diri sebagai penyintas.
3. Agama bagi sebagian responden berperan sebagai social facilitator, mengingat
ajaran dan nilai-nilai yang dimiliki sebagai keyakinan mendorong umat untuk tidak
membalas kejahatan dengan kejahatan ataupun mendendam terhadap pelaku
kejahatan. (Religio dalam bahasa Latinpenulis pahami sebagai semacam pagar
yang membatasi prilaku manusia untuk senantiasa melakukan kebaikan). Agama
juga bisa membawa korban melakukan permenungan mendalam (reframing) jika
kemudian ia mendapati dirinya kotor (baca: berdosa) maka secara khusus pada
korban kekerasan seksual memandang dirinya tidak patut diampuni (- dalam terang
agama tertentu dari responden penulis -). Dalam pemahaman demikian, subyek
penelitian yang mengalami kekerasan seksual pun tidak bersedia mengampuni pelaku
kekerasan terhadap dirinya.
Penelitian lanjutan dalam kerangka filosofis Griswold, didapati adanya ambang
batas sebagai layak diampuni atau memungkinkan untuk diberi pengampunan
antarpribadi. Griswold mendapati paradigma pengampunan sedemikian inklusif
sehingga hampir tidak ada hal yang tidak terampuni. Dalam bukunya Griswold
membedakan antara tak terampuni dari tak mungkin diampuni. Pembantaian NAZI
menjadi contoh kejahatan yang massif, terencana, disengaja terhadap sekian ribu orang
Pemberian Pengampunan Antarpribadi Menurut Everett L. Worthington Dan Charles
L.Griswold
Syntax Idea, Vol. 3, No.9, September 2021 2087
Yahudi; tergolong tidak mungkin diampuni. Pada hakekatnya pengampunan
menghargai dan menghormati semua orang, sehingga Griswold memandang setiap
individu layak diampuni, sebab tiap orang dapat melakukan transformasi dan berefleksi
diri. Penelusuran pemikiran filosofis Griswold ini memberi kemungkinan adanya
pemberian pengampunan bagi pelaku kejahatan, dari pihak korban, dengan tujuan demi
kesejahteraan subyek yang telah mengalami luka, kepahitan dan terciderai secara psikis
maupun fisik.
Pengampunan antarpribadi dalam pandangan filosofis Griswold menaruh hormat
kepada setiap individu, betapapun salah dan jahatnya seseorang. Dengan demikian
pengampunan sendiri mengandaikan manusia yang sedemikian rapuh, namun mampu
bangkit karena setiap orang berharga dan dapat diampuni (The common frailty thesis
might just as well lead to vieuw that it is all the more important just because we are so
frail -to hold ourselves and each other accountable by not forgiving (Griswold, 2007).
Diskusi tentang memberi pengampunan antarpribadi menjadi menarik dan
dibutuhkan, mengingat berbagai permasalahan hidup sehari-hari membutuhkan
kesediaan individu menanggapi dengan memberi pengampunan anatarpribadi. Beberapa
contoh yang diangkat Worthington antara lain seputar kehidupan keluarga, sesuai
dengan latar-belakang Worthington sebagai konselor pernikahan. Ia memandang
perceraian suami-istri dapat dihindari, asalkan ada kesediaan memberi pengampunan
antarpribadi. Sedangkan Griswold membahas berbagai situasi tidak ideal yang tidak
dapat diubah sehingga membutuhkan pemberian pengampunan, antara lain:
1. Kondisi pelaku kejahatan ataupun korban yang sudah sangat terganggu jiwanya,
sudah sakit parah atau pun sudah meninggal dunia.
2. Pengampunan terhadap pelaku kejahatan yang korbannya sudah meninggal dunia
biasanya pengampunan diberikan oleh pihak keluarga korban- sebagai pihak ketiga.
3. Pengampunan terhadap diri sendiri.
Keadaan dunia yang tidak ideal atau tidak sempurna, membawa manusia berada
dalam penderitaan sehingga kejahatan terjadi, dan pelaku kejahatan membaca peluang
atau kesempatan tersebut sehingga menjadikan pihak lain sebagai korban kejahatan.
Kondisi keluarga di mana anak-anak dibesarkan oleh orangtua yang pecandu NAPZA,
kehilangan kendali karena temperamental, dan berbagai keadaan yang tidak diharapkan
terjadi, sehingga dibutuhkan kesediaan serta tekad yang kuat untuk memberi
pengampunan antarpribadi.
Dalam pembahasan Griswold dengan merujuk Butler, maka proses memberi
pengampunan dimungkinkan dengan langkah terstruktur sebagai berikut:
Pertama, berbagi kemarahan (Butler mengusulkan dengan menyusun narasi),
sedang pada Griswold, selain narasi maka dilanjutkan dengan sikap bersimpati terhadap
pelaku kejahatan. Dalam pemahaman Griswold, pilihan jatuh pada kesediaan tetap
memberi pengampunan, sekalipun memandang pengampunan sebagai kemustahilan
(Griswold, 2007).
Diana Bachri
2088 Syntax Idea, Vol. 3, No. 9, September 2021
Kedua, setelah melakukan hal diatas maka sekarang terbuka dua kemungkinan;
alternatif pertama, korban menolak mengampuni pelaku kejahatan. Sebagai pihak
konselor yang mendampingi korban atau penyintas, dapat bersikap: netral (standing to
do so), tetap peduli dan memperhatikan korban, dan meminta korban agar bersedia
menuliskan narasi lagi untuk kesekian kalinya. Menulis narasi diharapkan menjadi
jalan untuk korban menjadi merasa lebih nyaman (bandingkan dengan langkah
pertama dalam proses pengampunan Woerthington: recall the hurts). Alternatif kedua,
diharapkan Griswold menjadi pilihan setiap individu yang bersedia belajar memberi
pengampunan antarpribadi. Pengampunan antarpribadi mengandaikan suatu
pengampunan yang tidak ideal atau tidak sempurna sebab sesungguhnya setiap orang
bersalah terhadap sesamanya, sehingga pemberian pengampunan sendiri tidak sempurna
(non-paradigmatic forgiveness)
Kesimpulan
Penelitian dengan mengambil kajian filosofis berdasarkan eksplorasi pemikiran
Griswold memperlihatkan terbuka kemungkinan untuk subyek diampuni dan memberi
pengampunan. Pelaku kekerasan merupakan subyek yang layak diampuni, dengan tetap
memberlakukan peraturan dan sanksi sesuai hukum yang berlaku. Korban kekerasan
sebagai subyek yang mengalami percideraan, dirugikan, sebagai pihak yang terluka dan
marah, diharapkan tidak melakukan pembalasan dendam serta berusaha moving out
(move forward) atau mengubah posisinya dari korban menjadi penyintas dengan cara
memilih memberi pengampunan antarpribadi. Sekalipun pengampunan yang diberikan
seorang penyintas belum ideal sebagaimana pengampunan total dalam teori psikologi
Worthington, tetap bisa diterima pengampunan yang tidak sempurna itu sebagai
pengampunan antarpribadi, demikian menurut pemikiran filosofis Griswold.
Sumbangan pemikiran filsafat selalu berciri umum, menyeluruh dan mendasar.
Setelah penulis menyimak berbagai persoalan dalam keseharian hidup manusia, maka
penulis memandang tidak bisa dipungkiri bahwa pengampunan dibutuhkan. Lebih jauh
melalui penelitian ini penulis memandang perlu mengusulkan pengampunan
antarpribadi sebagai habitus yang penting dalam kehidupan sehari-hari karena dua hal:
Pertama, luka dan sakit-hati membutuhkan penyelesaian dan pencarian solusi; Kedua,
sebagai suatu prinsip moral, penulis memahami pengampunan adalah suatu pilihan yang
baik dari sisi etis dan dibutuhkan sebagai suatu tindakan pragmatis-praktis dengan
mengutamakan azas kemanusiaan. Dengan mengambil pemahaman Griswold, bahwa
tidak ada manusia yang luput dari berbuat salah dan melakukan kejahatan terhadap
sesamanya, maka pengampunan merupakan suatu keutamaan moral (virtue) karena itu,
penulis memahami memberi pengampunan perlu dilatih menjadi suatu kebiasaan.
Dalam diri individu, sepanjang hidupnya akan terus mengalami merasa terluka
dan terciderai oleh sesamanya. Kondisi yang sedemikian rapuh inilah yang membuat
Griswold memahami bahwa pemberian pengampunan harusnya berjalan terus,
sepanjang hidup manusia, sekalipun prosesnya belum selesai. Pengampunan
merupakan suatu paradigma ideal, di mana perubahan hati dan perubahan emosi dialami
Pemberian Pengampunan Antarpribadi Menurut Everett L. Worthington Dan Charles
L.Griswold
Syntax Idea, Vol. 3, No.9, September 2021 2089
individu penyintas. Proses waktu dan kesediaan menarasikan peristiwa menyakitkan
menjadi jalan panjang pemberian pengampunan yang sempurna. Sementara yang
sempurna itu belum datang, maka perlu diterima pengampunan sepihak sekalipun tidak
ideal menjadi bagian dari dilahirkannya pengampunan antarpribadi. Griswold
memandang pengampunan antarpribadi yang dihasilkan merupakan pengampunan tidak
sempurna atau tidak ideal (non-paradigmatic forgiveness). Sampai waktunya yang
sempurna itu datang, mari bertekun, melatih diri mengampuni sesama dan menata emosi
serta menerima luka.
Kebaruan penelitian ini memperlihatkan bahwa pengampunan menjadi suatu titik
temu masih dirasakan perasaan terluka dan kemarahan yang tersisa. Seorang penyintas
yang sanggup memberi pengampunan memperlihatkan dirinya menempatkan diri
sebagai individu yang berani berpengharapan dan mampu berjuang menyatakan
kebajikan. Sebagai penutup, akhirnya penulis kembali pada pemahaman bahwa
mengampuni adalah tindakan terpuji, dan dengan mengingat pengampunan merupakan
suatu pemberian, maka tanpa harus menunggu terluka ataupun sakit-hati, setiap manusia
perlu dilatih mengampuni sesamanya. Pembiasaan (pembentukan habitus dilakukan
dalam keluarga dan juga komunitas) atau latihan untuk bersedia memberi pengampunan
antarpribadi dibutuhkan sehingga manusia berkarakter baik. Salah satu keutamaan
(virtue) moral, yang perlu terus ditumbuhkan adalah memberi pengampunan
antarpribadi.
BIBLIOGRAFI
Bedell, T.M. (2002) The Role of Religiosity in Forgiveness, Unpublished Doctoral
Dissertation, The Ohio State University.
Bachri, D. (2004) Pemaafan pada Perempuan Dewasa Muda Korban Kekerasan di Masa Anak,
tidak diterbitkan, Tesis Psikologi Sosial Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Campbell, Sue. (2014) Our Faithfulness to the Past, New York: Oxford University Press.
Google Scholar
Cousineau, Phil. (2011) Beyond Forgiveness: Reflection on Atonement, Healing the Past,
Making Amends, and Restoring Balance in Our Lives and World, San Francisco: Jossey-
Bass A Wiley Imprint. Google Scholar
Disley, Liz. (2015) Hegel, Love and Forgiveness, London: Pickering & Chatto Publisher.
Duffy, Maria. (2009) Paul Ricoeur’s Pedagogy of Pardon: A Narrative Theory of Memory and
Forgetting, UK: Continuum. Google Scholar
Erfani, Farhang (2011) Paul Ricoeur Honouring and Continuing All Work, London: Lexington
Books.
Diana Bachri
2090 Syntax Idea, Vol. 3, No. 9, September 2021
George, Theodore. (2011) “Forgiveness, Freedom, and Human Finitude in Hegel’s Spirit of
Christianity and Its Fate,International Philosophical Quarterly,vol 51, no 1 h. 39-53.
Google Scholar
Griswold, Charles. L. (2007). Forgiveness A Philosophical Exploration. New York: Cambridge
University Press. Google Scholar
Griswold, Charles. L , (2011), Ancient Forgiveness: Classical, Judaic, and Christian, USA:
Cambridges University Press. Google Scholar
Helmick, R.G.& Peterson, R.L. (2001) Forgiveness and Reconcilliation, Pensylvania:
Templeton Foundation Press.
Jonas, L. Geogory (2000) “Crafting Communities of Forgiveness”, Interpretation (April, h.
121-134. Google Scholar
Nussbaum, Martha C. (2016) Anger and Forgiveness: Resentment, Generosity, Justice, USA:
Oxford University Press. Google Scholar
Konstan, David. (2010) Before Forgiveness: The Origin of Moral Idea, USA: Cambridge
University Press. Google Scholar
KNG Long (2020) Forgiveness of Other and Subsequent Health and Wellbeing in Mind-Life A
Longitudinal Study on Female Nurses- BMC Psychology Google Scholar.
Lichtenfeld, S, Maier, M.ACapo, F.A. (2019) The Influence of Decisional and Emotional
Forgiveness on Attribution -NCB. Google Scholar.
Marks, M.J. (2013) A Function of Forgiveness: Exploring The Relationship Between Negative
Mood and Forgiving- SAGE Journals Google Scholar.
Oliver, Kelly (2003). “Forgiveness and Subjectivity.Philosophy Today Fall h. 280-292.
Pattigrove, Glenn (2007). “Forgiveness and Interpretation”, Journal of Religious Ethics 35.3, h.
429-452. Google Scholar
Ricoeur, Paul. (2000) The Just. terj. David Pellaur, Chicago dan London: The University of
Chicago Press.
Ricoeur, Paul. (2004) Memory, History, Forgetting, terj. Kathleen Blamey, David Pellaur,
Chicago dan London: The University of Chicago Press, Google Scholar
Schimmel, S. (2002) Wounds Not Heal by Time: The Power of Repentance and Forgiveness,
New York: Oxford University Press. Google Scholar
Szablowinski, Zenon (2010). Between Forgiveness and Unforgiveness” HeyJ LI (Journal
Compilation Roman Catholic Theological Issue) h. 471-482. Google Scholar
Tower, C.C, (2002) Understanding Child Abuse and Neglect, Boston: Allyn and Bacon.
Voiss,J.K. (2015) Rethinking Christian Forgiveness: Theological, Philosophical and
Psychological Exploration, Minnesota: Liturgical Press. Google Scholar
Pemberian Pengampunan Antarpribadi Menurut Everett L. Worthington Dan Charles
L.Griswold
Syntax Idea, Vol. 3, No.9, September 2021 2091
Walker, Rebecca L. Phillip J. Ivonhoe, (2007) Working Virtue, Virtues Ethics and
Contemporary Moral Problems, New York: Clarendon Press-Oxford. Google Scholar
Weisband, Edward. (2009) On the Aporetic Borderline of Forgiveness: Bereavement as a
Political Form Alternatives 34, USA: Dept. of Political Science h. 359-381. Google
Scholar
Worthington, E.L. & Wade N.G. (1999) The Psychology of Unforgiveness and Forgiveness,
and Implication for Clinical Practise, Journal of Social and Clinical Psychology, 18/4,
385-418. Google Scholar
Worthington, E.L.(2003) Forgiving and Reconciling (revised ed.) Illinoiss: Interfarsity Press.
Worthington, E.L. (2006) Forgiveness and Reconciliation Theory and Application. London:
Routledge. Google Scholar.
Worthington, E.L. Jr. (2005) Handbook of Forgiveness, New York: Routledge, Taylor &
Francis Group.
Worthington, E.L., Sandage. J.S. (2016) Forgiveness and Spirituality in Psychotherapy: A
Relational Approach, Washington DC: American Psychological Association. Google
Scholar
Worthington, E. (2018) Forgiveness Google Scholar DOI: 10.1093/OBO/979099828340-0208.
Zechmeister, J.S. & Romero, C. (2002) Victim and Offender Accounts of Interpersonal Conlict:
Aoutobiographical Narratives of Forgiveness, Journal of Personality and Social
Psychology 82:4, 675-686. Google Scholar
Copyright holder:
Diana Bachri (2021)
First publication right:
Syntax Idea
This article is licensed under: