How to cite:
Dwi Indriyanie (2024) Mekanisme Online Dispute Resolution Melalui Arbitrase dalam
Penyelesaian Sengketa Konsumen di Sektor Jasa Keuangan, (6) I0
E-ISSN:
2684-883X
MEKANISME ONLINE DISPUTE RESOLUTION MELALUI ARBITRASE
DALAM PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DI SEKTOR JASA
KEUANGAN
Dwi Indriyanie
Universitas Tarumanagara, Indonesia
Abstrak
Penyelesaian sengketa konsumen di sektor jasa keuangan harus memenuhi prinsip-
prinsip penyelesaian sengketa diantaranya adalah aksesibilitas, keadilan, independen
dan penyelesaian yang efektif dan efisien. Terhadap pemenuhan prinsip aksesibilitas
dan penyelesaian sengketa yang efektif dan efisien maka salah satu solusi yang ada
adalah melalui penyelesaian sengketa dalam jaringan (daring) atau yang lebih dikenal
dengan istilah online dispute resolution. Di sektor jasa keuangan, perlindungan
konsumen merupakan suatu hal yang sangat penting, keberadaan konsumen yang
memanfaatkan produk jasa keuangan merupakan roda penggerak terhadap kegiatan
proses bisnis di sektor jasa keuangan. Namun perjanjian yang dibuat antara pelaku jasa
keuangan dengan konsumen dalam pelaksanaannya seringkali menimbulkan
perselisihan yang berujung pada sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui internal
dispute resolutions. Sehingga diperlukan upaya lain untuk menyelesaikan sengketa
tersebut baik melalui jalur litigasi atau non-litigasi dengan melalui lembaga alternatif
penyelesaian sengketa. POJK 61/POJK.07/2020 menjadi dasar bagi Lembaga Alternatif
Penyelesaian Sengketa Sektor Jasa Keuangan (LAPS SJK) menjalankan tugas sebagai
lembaga alternatif penyelesaian sengketa di sektor jasa keuangan Indonesia. Dalam
penelitian ini dibahas mengenai mekanisme online dispute resolutions melalui arbitrase
dalam penyelesaian sengketa di sektor jasa keuangan melalui LAPS SJK dengan
menggunakan metode penelitian yuridis normatif yaitu penelitian hukum yang
dilakukan dengan meneliti bahan pustaka dan menelaah peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan permasalahan. Arbitrase merupakan salah satu layanan yang
ditawarkan oleh LAPS SJK yang dapat dipilih oleh para pihak melalui mekanisme
online dispute resolutions untuk menyelesaikan sengketa di sektor jasa keuangan yang
terjadi.
Kata kunci: Online Dispute Resolutions; Arbitrase; LAPS SJK
Abstract
Consumer dispute resolution in the financial services sector have to meet the principles
of dispute resolution including accessibility, justice, independent and effective and
efficient settlement. Regarding the fulfillment of the principle of accessibility and
dispute resolution that is effective and efficient, one of the existing solutions is through
the settlement of disputes in the network (online) or better known as the Online Dispute
Resolution. With the development in the financial services industry, especially related to
JOURNAL SYNTAX IDEA
pISSN: 2723-4339 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 6, No. 10, Oktober 2024
Mekanisme Online Dispute Resolution Melalui Arbitrase dalam Penyelesaian Sengketa
Konsumen di Sektor Jasa Keuangan
Syntax Idea, Vol. 6, No. 10, Oktober 2024 6549
the use of technology, it cannot be denied the need for effective and efficient dispute
resolution as an effort for consumer protection. In the financial services sector,
consumer protection is a very important thing, the existence of consumers who utilize
financial services products is a driving wheel for business process activities in the
financial services sector. However, agreements made between financial services and
consumers in their implementation often raises disputes that lead to disputes that
cannot be resolved through internal dispute resolution. So other efforts are needed to
resolve the dispute either through the litigation or non-litigation path through
alternative institutions for dispute resolution. POJK 61/POJK.07/2020 becomes the
basis for alternative institutions to resolve the Financial Services Sector Disputes
(LAPS SJK) to carry out their duties as alternative institutions for dispute resolution in
the Indonesian Financial Services Sector. In this study discussed the Online Dispute
Resolutions mechanism through arbitration in resolving disputes in the financial
services sector through LAPS SJK using normative juridical research methods, namely
legal research conducted by examining library materials and examining legislation
related to the problem. Arbitration is one of the services offered by LAPS SJK that can
be chosen by the parties through the online dispute resolutions mechanism to resolve
disputes in the financial services sector that occurs.
Keywords: Online Dispute Resolutions; Arbitration; LAPS SJK
PENDAHULUAN
Perlindungan konsumen menjadi suatu hal yang sangat penting dalam suatu
proses bisnis. Keberadaan konsumen yang memanfaatkan produk di sektor jasa
keuangan merupakan roda penggerak terhadap proses bisnis industri jasa keuangan.
Pentingnya perlindungan konsumen telah lama menjadi perhatian dunia, Presiden J.F.
Kennedy yang merupakan presiden pertama yang mengangkat permasalahan pentingnya
perlindungan konsumen di depan konggres pada tanggal 15 Maret 1962. Menurut
Presiden J.F. Kennedy konsumen merupakan kelompok ekonomi yang paling besar
yang mempengaruhi dan dipegaruhi oleh keputusan ekonomi politik dan swasta, namun
merupakan pihak yang suaranya nyaris tidak didengar. Hal tersebutlah yang kemudian
menjadi permulaan penting terhadap perlindungan konsumen dan akhirnya berujung
pada dikeluarkannya UN Guidelines for Consumer Protection melalui Resolusi PBB
No.39/248 pada tanggal 9 April 1985 (Keuangan, 2017). Konsumen di sektor jasa
keuangan sendiri adalah setiap orang yang memiliki dan/atau memanfaatkan produk
dan/atau layanan yang disediakan oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK) (Ansa,
2023).
Lebih lanjut perkembangan teknologi dan informasi yang membawa perubahan
terhadap jenis produk, jasa maupun layanan pada sektor jasa keuangan, rendahnya
tingkat kesadaran dan pengetahuan konsumen terhadap hak dan kewajibannya, serta
ketidakseimbangan kedudukan antara konsumen dan PUJK menjadi faktor yang
menyebabkan timbulnya perselisihan atau sengketa konsumen di sektor jasa keuangan.
Para pihak kemudian melakukan upaya penyelesaian terhadap sengketa konsumen yang
timbul, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari upaya perlindungan konsumen itu
sendiri (Rahman, 2018).
Dwi Indriyanie
6550 Syntax Idea, Vol. 6, No. 10, Oktober 2024
Pelaku usaha di sektor jasa keuangan dalam menyelenggarakan kegiatan usaha
wajib menerapkan prinsip pelindungan konsumen yang meliputi prinsip edukasi yang
memadai, keterbukaan dan transparansi informasi produk dan/atau layanan; perlakuan
yang adil dan perilaku bisnis yang bertanggung jawab, pelindungan aset, privasi, dan
data konsumen, penanganan pengaduan dan penyelesaian sengketa yang efektif dan
efisien; penegakan kepatuhan, dan persaingan yang sehat (Anisa & Syahrin, 2023),
harus dapat dipenuhi untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap sektor jasa
keuangan. Hal tersebut secara tidak langsung mendorong masyarakat untuk membeli
atau menggunakan produk/jasa di sektor jasa keuangan, sehingga industri di sektor jasa
keuangan dapat terus berkembang dan maju. Selain itu, perlindungan konsumen dapat
meningkatkan efisiensi, transparansi, kompetisi serta akses di sektor keuangan karena
menekan terjadinya informasi asimetris dan ketimpangan posisi antara lembaga jasa
keuangan dengan konsumen dan masyarakat
5
.
Pentingnya upaya perlindungan konsumen di sektor jasa keuangan, Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) yang salah satu tujuannya sesuai dengan apa yang diamanatkan dalam
Pasal 4 huruf c Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan
(UU OJK) adalah untuk melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat,
memberikan kewenangan kepada OJK sesuai dengan Pasal 28 dan Pasal 29 UU OJK
untuk melakukan tindakan pencegahan kerugian konsumen dan melakukan pelayanan
pengaduan konsumen meliputi penyediaan perangkat memadai dalam upaya untuk
pelayanan pengaduan konsumen, membuat mekanisme penyelesaian sengketa
konsumen dan memfasilitasi penyelesaian pengaduan konsumen yang dirugikan oleh
PUJK. Dalam upayanya untuk meningkatkan penerapan perlindungan konsumen di
sektor jasa keuangan, OJK telah menerbitkan peraturan terbarunya mengenai
perlindungan konsumen di sektor jasa keuangan melalui Peraturan OJK Nomor 22
Tahun 2023 tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan
pada Desember 2023. Berdasarkan POJK tersebut pada prinsipnya penyelesaian
sengketa terdiri dari dua tahap yaitu pertama penyelesaian di internal PUJK atau
internal dispute resolution melalui layanan pengaduan konsumen dan selanjutnya dalam
hal tidak terdapat kesepakatan terhadap hasil penanganan pengaduan yang dilakukan
oleh PUJK, konsumen dapat melakukan alternatif langkah selanjutnya yaitu
menyampaikan pengaduan kepada OJK untuk penanganan pengaduan sesuai dengan
kewenangan OJK atau mengajukan sengketa kepada LAPS SJK yang mendapat
persetujuan dari OJK atau kepada pengadilan (Ansa, 2023)
Terkait dengan penyelesaian sengketa di sektor jasa keuangan, OJK telah
menerbitkan Peraturan OJK Nomor 61/POJK.07/2020 tentang Lembaga Alternatif
Penyelesaian Sengketa Sektor Jasa Keuangan (POJK LAPS). Berdasarkan POJK
tersebut Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Sektor Jasa Keuangan (LAPS SJK)
menjadi satu-satunya lembaga berwenang dalam melakukan penyelesaian sengketa di
luar pengadilan bagi seluruh sektor jasa keuangan yang menggantikan peran dan fungsi
dari BAPMI, BMAI, BMDP, LAPSPI, BAMPPI dan BMPPVI yang sebelumnya
Mekanisme Online Dispute Resolution Melalui Arbitrase dalam Penyelesaian Sengketa
Konsumen di Sektor Jasa Keuangan
Syntax Idea, Vol. 6, No. 10, Oktober 2024 6551
menjadi lembaga alternatif penyelesaian sengketa di sektor jasa keuangan (Anisa &
Syahrin, 2023) (Husein, 2022).
Pada prinsipnya dua alternatif penyelesaian sengketa konsumen di sektor jasa
keuangan yang dapat dilakukan melalui pengadilan maupun di luar pengadilan. Namun
terdapat permasalahan dalam penyelesaian sengketa konsumen di sektor jasa keuangan
melalui proses pengadilan dikarenakan proses yang lama, biaya yang mahal, putusan
yang tidak langsung memberikan kepastian hukum (dimungkinkan untuk dilakukan
upaya hukum lain misalnya banding dan kasasi) dan proses beracara yang terlalu
formal, serta belum memadainya pemahaman aparat penegak hukum terkait bisnis
proses di sektor jasa keuangan. Atas dasar tersebut maka dibutuhkan lembaga alternatif
penyelesaian sengketa yang mampu menyelesaikan sengketa secara cepat, murah, adil
dan efisien.
Salah satu prinsip dalam penyelesaian sengketa konsumen di sektor jasa
keuangan adalah prinsip aksesibilitas bagi konsumen dalam mendapatkan layanan
penyelesaian sengketa. Hal ini dikarenakan kondisi geografis Indonesia yang
merupakan negara kepulauan yang terdiri dari banyak provinsi berbanding lurus dengan
persebaran konsumen yang memanfaatkan produk dan/atau layanan jasa keuangan, yang
memiliki kemungkinan yang sama terhadap terjadinya perselisihan maupun sengketa
konsumen yang membutuhkan upaya penyelesaian. Kondisi geografis tersebut
menyebabkan seringkali domisili dari pihak yang mengadukan PUJK terletak jauh dari
pusat kota dan memiliki keterbatasan akses dan informasi. Perlunya kehadiran fisik
mengakibatkan adanya biaya tambahan untuk menyelesaikan sengketa dimaksud.
Bahkan seringkali nilai kerugian yang dialami konsumen lebih kecil dari biaya
tambahan yang harus dikeluarkan untuk mengupayakan penyelesaian dengan PUJK
terkait. Selain, proses penanganan dan penyelesaian sengketa juga membutuhkan waktu
yang relatif lama karena terdapat beberapa proses yang membutuhkan ketersediaan jasa
pihak ketiga yang dapat berpotensi terhambatnya kelancaran proses penyelesaian
sengketa.
Memperhatikan hal tersebut, perlu untuk memastikan kemudahan akses bagi
konsumen dalam penyelesaian sengketa serta keefektifan penanganannya. Hal ini juga
seiring dengan makin banyaknya konsumen dan masyarakat yang menggunakan produk
dan jasa keuangan yang ditawarkan dan digunakan melalui piranti teknologi informasi
atau yang sering disebut Financial Technology (Fintech), serta perkembangan teknologi
saat ini yang menuntut penyelesaian sengketa konsumen secara cepat, mudah diakses
dengan biaya terjangkau menjadi salah satu upaya untuk meningkatkan perlindungan
konsumen, maka keberadaan penyelesaian sengketa secara online atau Online Dispute
Resolution (ODR) menjadi salah satu solusi permasalahan tersebut dalam rangka
penguatan perlindungan konsumen sektor jasa keuangan di Indonesia.
Berdasarkan POJK LAPS, terdapat dua mekanisme penyelesaian sengketa
melalui LAPS SJK yaitu mediasi dan arbitrase, dimana dalam tulisan ini akan berfokus
pada penyelesaian sengketa melalui mekanisme arbitrase. Dengan tuntutan
perkembangan teknologi di industri jasa keuangan serta dalam rangka menjaga
Dwi Indriyanie
6552 Syntax Idea, Vol. 6, No. 10, Oktober 2024
efektivitas penyelesaian sengketa di sektor jasa keuangan melalui ODR terkait dengan
proses penyelesaian melalui arbitrase akan timbul beberapa permasalahan bagaimana
mekanisme pengaturannya dengan adanya ketentuan baru mengenai LAPS SJK
disamping penyelesaian sengketa melalui arbitrase tetap harus tunduk pada Undang-
Undang tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka kami
merumuskan masalah yang akan diteliti yaitu bagaimana mekanisme Online Dispute
Resolution melalui arbitrase dalam penyelesaian sengketa konsumen di sektor jasa
keuangan.
METODE PENELITIAN
Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji bahwa pada penelitian hukum
normatif, bahan pustaka yang merupakan data dasar dalam ilmu penelitian digolongkan
sebagai data sekunder8. Untuk dapat memperoleh sumber data sekunder menggunakan
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dimana penelitian dilakukan dengan
menggunakan hukum postif sebagai dasar penelititan, berserta peraturan dasar,
peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, traktat dan pendapat ahli9. Penelitian
hukum normatif merupakanpenelitian hukum yang dilakukan atas data-data sekunder
yaitu data yang diperoleh dari bahan kepustakaan atau literatur yang mempunyai
hubungan serta terkait dengan obyek penelitian dengan mengkaji sumber-sumber data
sekunder tersebut yaitu bahan hukum. Bahan hukum adalah segala sesuatu yang dapat
dipakai atau diperlukan untuk tujuan menganalisis hukum yang berlaku. Bahan hukum
yang dikaji dan yang dianalisis dapat berupa bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder dan bahan hukum tersier. Penelitian yang dilakukan dalam penulisan ini
adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian terhadap bahan kepustakaan atau
data sekunder, yang membatasi pengkajian hanya terhadap bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang memiliki
kekuatan hukum mengikat yang salah satunya adalah peraturan perundang-undangan.
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer salah satunya adalah naskah akademis dan hasil penelitian
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan Melalui Arbitrase
Interaksi antar manusia yang berlangsung secara terus-menerus dilakukan dalam
rangka memenuhi kebutuhan hidup. Sehingga manusia sebagai makhluk sosial selalu
hidup dalam masyarakat. Namun, mengingat kepentingan manusia sangat banyak dan
beragam, maka dalam melakukan interaksi satu sama lain selalu dihadapkan pada
potensi-potensi yang dapat menimbulkan suatu sengketa. Hal ini dapat terjadi karena
kepentingan manusia tidak jarang saling bertentangan satu dengan yang lainnya
(SOLIKHAH, 2009). Sengketa adalah suatu situasi dimana ada pihak yang merasa
dirugikan oleh pihak lain, yang kemudian pihak tersebut menyampaikan ketidakpuasan
ini kepada pihak kedua. Jika situasi menunjukkan perbedaan pendapat, maka terjadilah
apa yang disebut dengan sengketa (Masruchiyah, 2018). Di sektor jasa keuangan,
Mekanisme Online Dispute Resolution Melalui Arbitrase dalam Penyelesaian Sengketa
Konsumen di Sektor Jasa Keuangan
Syntax Idea, Vol. 6, No. 10, Oktober 2024 6553
sengketa adalah perselisihan antara konsumen dengan PUJK yang telah melalui proses
penyelesaian pengaduan oleh PUJK (Najla et al., 2023). Pengertian lainnya terkait
sengketa di sektor jasa keuangan dimana sengketa adalah perselisihan antara konsumen
dengan PUJK yang telah melalui proses penyelesaian pengaduan oleh PUJK dan
disebabkan oleh adanya kerugian dan/atau potensi kerugian materiil, wajar dan secara
langsung pada konsumen karena PUJK tidak memenuhi perjanjian dan/atau dokumen
transaksi keuangan yang telah disepakati (Rosdiana, 2021). Berdasarkan pengertian
tersebut di atas pada prinsipnya terjadinya sengketa telah terlebih dahulu melalui proses
menyamakan pendapat, persepsi atas permasalahan yang terjadi dan apabila tahapan
tersebut tidak memperoleh hasil yang diinginakan maka sengketa terjadi.
Berbicara mengenai penyelesaian sengketa di sektor jasa keuangan yang
merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan perlindungan konsumen di sektor jasa
keuangan sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa OJK telah menerbitkan
Peraturan OJK Nomor 61/POJK.07/2020 tentang tentang Lembaga Alternatif
Penyelesaian Sengketa Sektor Jasa Keuangan. Dengan tebitnya POJK tersebut LAPS
SJK merupakan satu-satunya lembaga penyelesaian sengketa di sektor jasa keuangan.
LAPS SJK harus memenuhi persyaratan mempunyai paling sedikit 2 (dua) layanan
penyelesaian sengketa berupa mediasi dan arbitrase (Rambe et al., 2022), sehingga
layanan penyelesaian sengketa di LAPS SJK yang dapat dipilih para pihak dalam
menyelesaikan sengketa salah satunya adalah arbitrase. Apabila berbicara tentang
mekanisme arbitrase sendiri lebih lanjut tentu saja tetap harus memperhatikan dan
berpedoman kepada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum
yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak
yang bersengketa (Nomor, 30 C.E.)
Sejarah arbitrase pada mulanya lembaga arbitrase ini hanya diperuntukan bagi
penduduk golongan Eropa dan mereka yang dipersamakan dengan itu. Di dalam kitab
Undang-Undang Hukum Acara Perdata yang berlaku untuk golongan Bumiputera tidak
diatur tentang masalah arbitrase, baik di dalam HR (Herzein Inlandsh Reglement)
maupun di dalam RBg (Rechtreglement voor de Buitengewesten) (Masruchiyah, 2018).
Di dalam Pasal 377 dan Pasal 705 RBg yang berbunyi “jika orang Indonesia dan orang
Timur Asing menghendaki perselisihan diputuskan oleh juru pisah, maka mereka wajib
menuruti peraturan pengadilan perkara yang berlaku bagi bangsa Eropa”. Jadi secara
eksplisit dan sangat jelas bahwa pada pasal tersebut memberikan kemungkinan buat
para pihak yang bersengketa dapat menyelesaikan sengketanya di luar pengadilan
(Widjaja & Muljadi, 2003). Di dalam Rv (Reglement Op De Rechtsvordering), pasal-
pasal tentang arbitrase diatur dalam buku ketiga tentang Aneka Acara. Pada Bab
Pertama, diatur ketentuan mengenai putusan wasit (arbitrase) melalui Pasal 615 sampai
dengan Pasal 651 (Widjaja & Muljadi, 2003). Pengaturan mengenai arbitrase ini terus
berlanjut sejak pemerintahan Hindia Belanda, penjajahan Jepang hingga jaman
kemerdekaan. Arbitrase sejak tahun 1999 sebagaimana telah dijelaskan diatur dengan
Dwi Indriyanie
6554 Syntax Idea, Vol. 6, No. 10, Oktober 2024
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa.
Menurut Frank Alkoury dan Eduar Elkoury, arbitrase adalah suatu proses yang
mudah dan sederhana yang dipilih oleh para pihak secara sukarela yang ingin agar
perkaranya diputus oleh juru sita yang netral sesuai dengan pilihan mereka, dimana
putusan mereka didasarkan dalil-dalil dalam perkara. Para pihak setuju sejak semula
untuk menerima putusan tersebut secara final dan mengikat (Widjaja & Muljadi, 2003).
Karena perjanjian arbitrase dapat dibuat sebelum atau sesudah timbul sengketa oleh
para pihak, maka bentuk klausula arbitrase tersebut dibedakan atas dua bentuk klausula
arbitrase, yaitu klausula yang berbentuk pactum de compromittendo dan klausula
arbitrase yang berbentuk acta compromise (Usman, 2002).
Bentuk klausula pactum de compromittendo dibuat oleh para pihak yang sebelum
terjadi sengketa atau perselisihan secara nyata. Para pihak sebelumnya telah sepakat
untuk menyerahkan penyelesaian sengketa atau perselisihannya yang mungkin akan
terjadi dikemudian hari kepada Lembaga arbitrase seperti ini dapat dimuat dalam
perjanjian pokok atau dalam suatu perjanjian terpisah. Karena pemilihan arbitrase
sebelum terjadinya sengketa dilakukan dalam bentuk suatu perjanjian, maka ketentuan
hukum perjanjian yang umum berlaku. Perjanjian arbitrase isinya tidak boleh
melampaui atau bertentangan dengan perjanjian pokoknya dan tidak ada tanpa
perjanjian pokok. Dengan hapusnya atau berakhirnya perjanjian pokok tidak
menyebabkan hapus atau berakhir pula perjanjian atau klausula arbitrasenya. Prinsip ini
ditegaskan dalam Pasal 10 UU Nomor 30 Tahun 1999.
Dalam hukum Indonesia penyelesaian sengketa sektor jasa keuangan dapat
diajukan melalui arbitrase LAPS SJK dengan didasarkan dengan adanya perjanjian
arbitrase antara konsumen dan PUJK. Perjanjian antara konsumen dan PUJK tersebut
merupakan perikatan yang berisi janji dan kesepakatan antara para pihak yang
menimbulkan adanya hak dan kewajiban. Dalam perjanjian tersebut dapat memuat
klausul penyelesaian sengketa melalui penyelesaian arbitrase. Dalam hal adanya
sengketa maka wajib terlebih dahulu dilakukan penyelesaian melalui internal
dispute
resolution. Arbitrase di LAPS SJK dilakukan atas dasar itikad baik, bermartabat,
kooperatif, non konfrontatif dan mengesampingkan penyelesaian sengketa melalui jalur
litigasi. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase bersifat rahasia dan tertutup sehingga
para pihak harus berkomitmen menjaga kerahasian walaupun arbitrase telah selesai.
Jaminan kerahasian (confidentialy) dalam prosedur arbitrase dikenal dengan istilah “the
right to privacy”
(Ramadhanty & Malau, 2020)
Perjanjian arbitrase dapat dibuat dalam bentuk klausula arbitrase dalam suatu
perjanjian tertulis yang ditandatangani para pihak sebelum sengketa terjadi atau
perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat setelah adanya sengketa antara konsumen
dengan PUJK. Pemilihan forum arbitrase LAPS SJK wajib tertulis dalam perjanjian
arbitrase, namun terdapat pengecualian apabila terdapat hal sebagai berikut : a) forum
arbitrase tidak terdapat dalam perjanjian arbitrase namun konsumen dan PUJK
menentukan untuk menggunakan peraturan LAPS SJK tentang Arbitrase; b) Perjanjian
Mekanisme Online Dispute Resolution Melalui Arbitrase dalam Penyelesaian Sengketa
Konsumen di Sektor Jasa Keuangan
Syntax Idea, Vol. 6, No. 10, Oktober 2024 6555
arbitrase memiliki beberapa pilihan forum penyelesaian sengketa serta memberikan hak
kepada salah satu pihak untuk menentukan forum mana yang dipilih untuk
menyelesaikan sengketa, dan; c) Perjanjian arbitrase memiliki beberapa pilihan forum
penyelesaian sengketa namun tidak memberikan hak kepada salah satu pihak untuk
menentukan forum mana yang dipilih untuk menyelesaikan sengketa. Pihak yang
diberikan kewenangan untuk memilih forum penyelesaian sengketa dapat membuat
surat pernyataan yang menegaskan bahwa mereka memilih forum Arbitrase di LAPS
SJK. Pihak yang diberikan kewenangan untuk memilih forum penyelesaian sengketa
dapat membuat surat pernyataan yang menegaskan bahwa mereka memilih forum
Arbitrase di LAPS SJK (Husein, 2022).
Penyelesaian sengketa melalui Arbitrase LAPS SJK dilakukan oleh Para Pihak
atas dasar itikad baik dan bermartabat, dengan kooperatif dan non konfrontatif serta
mengesampingkan penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Arbitrase bersifat rahasia
dan berlangsung secara tertutup, dan oleh sebab itu setiap orang yang terlibat dalam
arbitrase harus menjaga kerahasiaan meskipun arbitrase telah selesai, dengan
pengecualian dimana salah satu pihak, arbiter atau LAPS SJK dapat mengungkapkan
informasi mengenai Arbitrase, baik sebagian maupun seluruhnya, kepada pihak ketiga
jika (a) atas seizin pihak/para pihak lainnya terlebih dahulu; (b) diperlukan untuk
pelaksanaan putusan arbitrase/akta perdamaian, atau kesepakatan perdamaian yang
mungkin dicapai dalam Arbitrase; (c) atas perintah pengadilan atau otoritas yang
berwenang lainnya; (d) dalam rangka melaksanakan ketentuan lainnya; dan (e) untuk
keperluan riset akademik dengan menutup identitas para pihak dan arbiter (Nur, 2023).
Pihak ketiga dapat juga terikat dalam perjanjian arbitrase yang tidak
ditandatanganinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 UU Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam hal pihak ketiga yang
tidak menandatangani perjanjian arbitrase menjadi turut termohon yang diajukan oleh
pemohon, maka dalam permohonan arbitrase harus terdapat dalil yang menjelaskan
tentang sebab pihak ketiga dianggap terikat dalam perjanjian arbitrase. Selanjutnya
dalam pertimbangan hukum arbiter tunggal atau majelis arbiter memberikan
pertimbangan apakah dalil diajukan pemohon sesuai dengan hukum yang berlaku.
Lebih lanjut Peraturan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Sektor Jasa
Keuangan Nomor PER-02/LAPS-SJK/I/2021 tentang Peraturan dan Acara Arbitrase
mengatur mengenai penunjukan arbiter tunggal/majelis arbitrase sampai dengan
pembacaan putusan arbitrase dilakukan dalam jangka waktu 180 hari. Namun arbiter
tunggal/majelis arbitrase dapat memperpanjang waktu pemeriksaan dalam hal sebagai
berikut : a) Salah satu pihak mengajukan permohonan tentang hal khusus tertentu
contohnya apabila terdapat permohonan sita jaminan sebagaimana diatur dalam hukum
acara perdata; b) Adanya pemeriksaan dan ditetapkan putusan provisionil atau putusan
sela lainnya; c) Terdapat penggantian arbiter; d) Terdapat upaya perdamaian, dan; e)
Adanya pertimbangan dari Arbiter tunggal/majelis arbiter untuk memperpanjang waktu
pemeriksaan guna kepentingan pemeriksaan yang wajar.
Dwi Indriyanie
6556 Syntax Idea, Vol. 6, No. 10, Oktober 2024
Apabila setelah dilakukan perpanjangan waktu persidangan arbitrase belum
selesai, arbiter tunggal/majelis arbitrase dapat memperpanjang waktu sekali lagi
berdasarkan persetujuan para pihak dan pengurus. Pemeriksaan arbitrase dilakukan
dengan menggunakan bahasa Indonesia namun apabila disepakati oleh para pihak dan
disetujui oleh arbiter tunggal/majelis arbitrase maka dapat pula menggunakan bahasa
lain. Terhadap dokumen atau bukti yang diajukan dalam persidangan berbeda dengan
bahasa yang digunakan dalam arbitrase maka arbiter tunggal/majelis arbitrase dapat
meminta terjemahannya kepada para pihak. Apapun bahasa yang digunakan dalam
proses arbitrase, putusan harus dibuat dalam bahasa Indonesia dan dapat diterjemahkan
ke dalam bahasa lain oleh penterjemah independen yang ditunjuk arbiter tunggal/majelis
arbitrase. Tempat arbitrase dilakukan di Jakarta namun apabila disepakati oleh para
pihak dan disetujui oleh arbiter tunggal atau majelis arbitrase arbitrase dapat dilakukan
di wilayah lain. Untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase konsumen sektor jasa
keuangan dan PUJK diberikan hak untuk menentukan hukum mana yang berlaku
terhadap penyelesaian sengketa yang dihadapi. Namun apabila para pihak tidak
menentukan pilihan hukum, maka hukum yang berlaku adalah hukum tempat arbitrase
diselenggarakan.
Proses beracara penyelesaian sengketa melalui arbitrase LAPS SJK selanjutnya
yang diatur dalam Peraturan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Sektor Jasa
Keuangan Nomor PER-02/LAPS-SJK/I/2021 tentang Peraturan dan Acara Arbitrase
dapat diuraikan sebagai berikut. Melalui sekretaris, arbiter tunggal/majelis arbitrase
menyampaikan surat panggilan sidang pertama dalam jangka waktu paling lama 14 hari
sejak berkas permohonan arbitrase diterima dari pengurus. Pelaksanaan sidang pertama
harus dilakukan dalam jangka waktu kurang dari 14 hari setelah tanggal
disampaikannya surat panggilan sidang pertama. Dalam sidang pertama pemohon yang
dipanggil secara patut namun tidak hadir tanpa suatu alasan yang sah, maka arbiter
tunggal/majelis arbitrase harus menyatakan permohonan arbitrase gugur. Hal ini juga
berlaku terhadap permohonan arbitrase yang dilakukan lebih dari satu pemohon,
ketidakhadiran salah satu pemohon juga mengakibatkan permohonan arbitrase gugur.
Namun dalam hal termohon/turut termohon yang tidak hadir dalam persidangan tanpa
suatu alasan yang sah, arbiter tunggal/majelis arbitrase dapat menunda persidangan dan
melakukan panggilan ulang kepada termohon/turut termohon dan sidang harus
diselenggarakan paling lama 10 hari sejak penundaan sidang dilakukan. Terhadap
panggilan ulang yang dilakukan secara patut termohon/turut termohon tetap tidak hadir
dalam persidangan tanpa adanya alasan yang sah, maka pemeriksaan akan tetap
dilanjutkan. Ketidakhadiran termohon/turut termohon dalam persidangan dianggap
sebagai bentuk melepaskan hak untuk mengajukan jawaban. Sehingga apabila terdapat
dasar hukum dan beralasan, arbiter tunggal/majelis arbitrase dapat mengabulkan
permohonan arbitrase. Setiap tahap pemeriksaan dan sebelum putusan arbitrase
dijatuhkan, arbiter dan para pihak berhak untuk mengupayakan perdamaian. Para pihak
juga dapat memilih upaya perdamaian arbitrase melalui mediasi di LAPS SJK. Prosedur
mediasi khusus dalam upaya perdamaian dalam arbitrase ini dilakukan secara lebih
Mekanisme Online Dispute Resolution Melalui Arbitrase dalam Penyelesaian Sengketa
Konsumen di Sektor Jasa Keuangan
Syntax Idea, Vol. 6, No. 10, Oktober 2024 6557
sederhana dibandingkan dengan mediasi yang diatur dalam Peraturan LAPS SJK
tentang mediasi namun tetap tidak mengesampingkan prinsip kerahasiaan, bebas dari
benturan kepentingan dan tetap menjunjung kode etik yang berlaku. Mediator dalam
proses mediasi yang dilakukan dalam upaya perdamaian ini dapat dipilih dari salah satu
arbiter dari majelis arbitrase atau dapat juga memilih mediator dari daftar Mediator
LAPS SJK dengan waktu paling lama lima hari sejak disetujuinya mediasi oleh arbiter
tunggal/majelis arbitrase. Jika dalam waktu yang ditentukan tersebut para pihak tidak
dapat memilih mediator, maka pengurus berhak untuk menentukan mediator yang akan
menjadi fasilitator dalam mediasi dari daftar mediator LAPS SJK. Dalam proses
mediasi ini sekretaris adalah orang yang sebelumnya menjadi sekretaris dalam proses
arbitrase. Waktu berlangsungnya mediasi dalam upaya perdamaian ini ditentukan oleh
arbiter tunggal atau majelis arbitrase. Perpanjangan waktu mediasi juga dapat dilakukan
apabila para pihak menghendaki dengan tempat dan bahasa mediasi dilakukan sama
dengan yang digunakan pada proses arbitrase. Seperti proses mediasi sebagaimana
diatur dalam Peraturan LAPS SJK tentang mediasi, mediator dalam upaya perdamaian
arbitrase ini juga memiliki tugas dan kewajiban yang sama. Selanjutnya setelah mediasi
selesai para pihak berkewajiban menghadap kembali ke persidangan arbitrase untuk
melaporkan hasil mediasi yang telah dilakukan dalam waktu yang telah ditetapkan oleh
Arbiter tunggal/majelis arbitrase. Jika dalam upaya perdamaian tersebut berakhir tanpa
kesepakatan perdamaian maka pemeriksaan arbitrase dilanjutkan kembali dengan
ketentuan semua bukti dan hasil dari mediasi tidak dapat dipergunakan sebagai alat
bukti dalam proses arbitrase dan dianggap tidak pernah ada.
Dalam proses arbitrase di LAPS SJK alat bukti yang diajukan dapat berupa bukti
tertulis meliputi juga bukti tertulis yang bersifat elektronik, bukti saksi, persangkaan,
pengakuan dan sumpah terhadap bukti yang diajukan terdapat ketentuan yaitu bukti
yang berupa dokumen diserahkan dengan disertai daftar bukti dan penjelasan mengenai
alasan bukti tersebut diajukan dalam persidangan. Untuk pemohon dokumen bukti
diajukan bersamaan dengan permohonan arbitrase. Dalam pemeriksaan arbitrase dapat
dihadirkan saksi atau ahli untuk memberikan keterangan terhadap sengketa yang terjadi.
Keterangan saksi dapat dilakukan secara lisan atau didahului kesaksian secara tertulis.
Untuk keterangan ahli maka pendapatnya diberikan secara lisan serta dapat dihadirkan
dalam persidangan dan pihak lawan dapat memberikan tanggapan atas pendapat ahli
tersebut. Pemeriksaan sidang akan ditutup dalam hal tidak ada lagi bukti atau
keterangan yang diajukan oleh para pihak atau jika arbiter tunggal/majelis arbitrase
berpendapat bahwa pemeriksaan arbitrase dianggap sudah cukup, dan para pihak sudah
mengajukan kesimpulan sesuai rentan waktu yang ditentukan oleh arbiter
tunggal/majelis arbitrase.
Dalam hal putusan arbitrase, keputusan arbitrase didasarkan pada ketentuan
hukum atau ex aequo et bono namun putusan arbitrase ini tidak dapat
mengesampingkan dwingende regels yang harus diterapkan. Dalam hal adanya
kesepakatan perdamaian yang telah sesuai dengan keinginan para pihak, sesuai dengan
hukum dan kepatutan, tidak merugikan pihak lain, dibuat dengan itikad baik dan dapat
Dwi Indriyanie
6558 Syntax Idea, Vol. 6, No. 10, Oktober 2024
dieksekusi, maka majelis arbitrase / arbiter tunggal dapat membuat akta perdamaian
yang dibacakan paling lama 30 hari sejak pemeriksaan ditutup pada sidang yang
ditetapkan oleh arbiter tunggal/majelis arbitrase. Pada proses arbitrase dengan arbiter
tunggal maka putusan arbitrase disusun dan ditandatangani sendiri oleh arbiter. Namun
dalam hal proses arbitrase dengan majelis arbitrase maka putusan didasarkan pada
musyawarah mufakat atau voting serta putusan harus ditandatangani oleh seluruh
arbiter. Arbiter tunggal/majelis arbitrase dapat memberikan putusan sela yang dibacakan
dalam jangka waktu pemeriksaan arbitrase. Putusan arbitrase akhir dibacakan paling
lambat 30 hari sejak pemeriksaan dinyatakan ditutup. Para pihak harus menaati apa
yang diputuskan oleh majelis arbitrase (Sembiring & Sh, 2011)
Selanjutnya berbicara mengenai penyelesaian sengketa di sektor jasa keuangan
melalui arbitrase dengan mekanisme ODR, perlu dipahami terlebih dahulu mengenai
ODR itu sendiri. Secara tradisional, ketika orang memiliki perselisihan, mereka
biasanya akan ke pengadilan untuk menyelesaikannya. Pada awal 1990-an, mekanisme
penyelesaian sengketa di luar pengadilan (Alternatif Penyelesaian Sengketa), yang
melibatkan arbitrase, mediasi, dan negosiasi, lebih sering digunakan daripada
pengadilan, dengan memanfaatkan kecepatan, fleksibilitas, dan efisiensi biayanya. Pada
abad ke-21, dengan munculnya teknologi baru, komunikasi elektronik semakin
dimasukkan ke dalam metode litigasi dan alternatif penyelesaian sengketa. Ini dikenal
sebagai penyelesaian sengketa online (ODR). ODR setara dengan APS elektronik, yang
memindahkan penyelesaian sengketa yang konvensional/offline dan litigasi online. Ini
telah menjadi masalah baru, menantang dan banyak diteliti sejak pertengahan 1990-an
(Sulistianingsih, 2023).
ODR menawarkan konsep baru penyelesaian sengketa melalui media internet
dengan jangkauan ruang lingkup yang luas dan menawarkan solusi efektif, efesien dan
cepat. Perlu juga dicatat bahwa mengintegrasikan teknologi tidak selalu merupakan hal
yang baik, dalam hal proses penyelesaian sengketa. Terkadang kurangnya komunikasi
nonverbal dapat membuat keterlibatan antara pihak-pihak menjadi lebih rumit, atau
menguatkan kesalahpahaman. Dalam beberapa perselisihan, satu pihak mungkin jauh
lebih nyaman dengan teknologi daripada pihak lain. Ini akan menjadi suatu hambatan
untuk memperoleh Solusi yang tepat bagi para pihak yang bersengketa. Kenyamana
menjadi hal penting bagi para pihak untuk menggunakan ODR sebagai penyelesaian
sengketa diantara mereka. Keduanya harus sepakat dan memahami konsekuensi untuk
menggunakan ODR (Sulistianingsih, 2023)
Merujuk pada ketentuan yang diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan APS telah diberikan ruang untuk dilakukan penyelesaian sengketa secara
online. Hal ini tercermin dalam ketentuan Pasal 4 ayat (3) UU Arbitrase dan APS yang
menentukan bahwa :
“Dalam hal disepakati penyelesaian sengketa melalui arbitrase terjadi dalam
bentuk pertukaran surat, maka pengiriman teleks, telegram, faksimile, email, atau
dalam bentuk sarana komunikasi lainnya, wajib disertai dengan suatu catatan
peneriman oleh para pihak”.
Mekanisme Online Dispute Resolution Melalui Arbitrase dalam Penyelesaian Sengketa
Konsumen di Sektor Jasa Keuangan
Syntax Idea, Vol. 6, No. 10, Oktober 2024 6559
Berdasarkan pada ketentuan tersebut dapat dipahami bahwa, UU Arbitrase dan
APS telah memberikan ruang bagi para pihak untuk melakukan proses penyelesaian
sengketa secara online sepanjang hal ini disepakati oleh para pihak. Kesepakatan antara
para pihak ini dapat dituangkan dalam perjanjian pokok yang mana dalam salah satu
klausulanya ditentukan mengenai proses penyelesaian sengketa diantara para pihak.
Adapun klausula tersebut dapat mengatur mengenai piihan hukum yang berlaku dalam
perjanjian (choice of law) dan pilihan forum (choice of forum) terkait dengan upaya
penyelesaian sengketa diantara para pihak dengan melihat prestasi paling karakteristik
dari para pihak dalam perjanjian. Pemilihan hukum yang yang berlaku dalam perjanjian
dan pilihan forum harus dilakukan oleh para pihak dengan itikad baik dengan melihat
adanya hubungan nyata antara hukum yang dipilih dengan peristiwa hukum, sesuai
dengan ketertiban umum dan tidak hanya menguntungkan salah satu pihak saja
(Perbawa, 2022)
Dalam penyelesaian sengketa di sektor jasa keuangan sebagai upaya peningkatan
perlindungan konsumen di sektor jasa keuangan, berdasatkan Peraturan OJK Nomor
61/POJK.07/2020 dimana LAPS SJK sebagai satu-satunya lembaga penyelesaian
sengketa di sektor jasa keuangan wajib menerapkan prinsip aksesibilitas, dalam hal ini
LAPS SJK wajib memiliki layanan dan prosedur penyelesaian sengketa yang mudah
diakses oleh konsumen dan wajib menyediakan layanan yang mencakup seluruh
wilayah Indonesia (Kharisma, 2021)
Penyelesaian Sengketa melalui LAPS SJK dapat dilakukan melalui tatap muka
langsung dihadapan mediator atau arbiter; melalui media elektronik; dan/atau
pemeriksaan dokumen. Penyelesaian Sengketa melalui media elektronik sebagaimana
dimaksud, dapat dilakukan melalui media komunikasi jarak jauh yang memungkinkan
semua pihak saling mendengar atau melihat dan mendengar, secara langsung serta
berpartisipasi dalam pertemuan. LAPS SJK wajib menatausahakan seluruh informasi
dan
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase secara online tidak diatur secara eksplisit
dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Landasan hukum untuk
pelaksanaan penyelesaian sengketa arbitrase secara online di Indonesia adalah ketentuan
dalam Pasal 4 ayat (3) UU Arbitrase dan APS yang menentukan bahwa
(Muhammad et
al., 2021):
“Dalam hal disepakati penyelesaian sengketa melalui arbitrase terjadi dalam
bentuk pertukaran surat, maka pengiriman teleks, telegram, faksimile, email, atau dalam
bentuk sarana komunikasi lainnya, wajib disertai dengan suatu catatan peneriman oleh
para pihak”.
Memperhatikan ketentuan dalam Pasal 4 ayat (3) UU Nomor 30 Tahun 1999
maka dapat dipahami bahwa penyelenggaraan arbitrase secara online dapat
dilaksanakan dengan syarat dan sepanjang disepakati oleh para pihak terlebih dahulu.
Sejalan dengan apa yang diatur dalam ketentuan dalam Pasal 8 ayat (1) dan Pasal 14
ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 1999 yang memberikan ruang untuk melaksanakan
proses persidangan secara online. Ketentuan dalam UU Arbitrase dan APS telah
Dwi Indriyanie
6560 Syntax Idea, Vol. 6, No. 10, Oktober 2024
mengakomodir alternatif penggunaan teleks, telegram, faksimili dan email dalam
beracara arbitrase. Ketentuan tersebut tentu saja membuka peluang untuk dilakukannya
arbitrase secara online.
ODR merupakan suatu cara penyelesaian sengketa yang dilakukan dengan media
internet, artinya bahwa dalam proses penyelesaiannya dilakukan oleh para pihak yang
berada di wilayah lintas batas negara (borderless) tanpa harus bertatap muka (face to
face). Dan arbitase pepuler karena bentuk putusannya yang bersifat final dan banding
(Basarah, 2011). Bahwa dalam mekanisme penyelesaian sengketa melalui arbitase
online harus memperhatikan keabsahan perjajian secraa online yang dibuat para pihak,
mengenai mekanisme, dan putusan dalam bentuk online, apakah sesuai dengan UU
No.30 Tahun 1999 tentang Arbitase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Pada umumnya, antara arbitrase yang dilakukan secara tradisional maupun
modern atau biasa disebut arbirase online merupakan kesatuan yang sama dimana kedua
metode tersebut dapat dilaksanakan apabila terdapat perjanjian antara kedua pihak yang
bersengketa sebagaimana diatur dalam pasal 2 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999. Di
dalam ketentuan pasal 1 ayat (3) UU No. 30 Tahun 1999, disebutkan bahwa perjanjian
arbitase tersebut yang dibuat kedua pihak harus dibuat secara tertulis, sebagaimana
dinyatakan dalam bunyi ayat berikut :
“Perjanjian arbitrase dapat diatikan sebagai suatu kesepakatan berupa klausul
arbitase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat oleh para pihak
sebelum timbulnya sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase itu sendiri yang dibuat
oleh para pihak setelah timbul sengketa.”
Oleh karena itu, Undang-undang Arbitrase mensyaratkan bahwa perjanjian ditulis
dalam bentuk tertulis.
UU No. 30 Tahun 1999 mengatur bahwa suatu perjanjian harus dibuat dalam
bentuk tertulis, bahwa ketentuan ini tidak menutup kemungkinan suatu perjanjian
arbitrase dapat dibuat secara online untuk digunakan di Indonesia, karena suatu
perjanjian yang dibuat secara online dapat dibuat menjadi perjanjian tertulis dengan
mencetak perjanjian tersebut dengan media (printer) dalam bentuk kertas atau
hardcopy.
Namun, bentuk perjanjian yang dibuat secara online dan dicetak menjadi bentuk
tertulis memiliki permasalah yaitu tanda tangan yang bersangkutan akan tidak tampak
asli lagi. Dimana hal tersebut meenimbulkan permasalaha terkait dengan keabsahan
perjanjian yang dibuat secara online karena dokumen yang dibuat secara online sangat
mudah untuk digandakan dengan tidak mengubah bentuk aslinya, sehingga tampak
sama dengan bentuk aslinya. Hal ini menimbulkan solusi baru terkait keabsahaan tanda
tangan yang dibuat secara online yaitu dengan menggunakan digital signature, maka
dapat dibuktikan keasliatn dan kebasahan suatu perjanjian arbitrase yang dibuat secara
online (Yuliani, 2021).
Pengaturan mengenai digital signature di Indonesia ini terdapat didalam Undang-
undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektonik sebagaimana
diubah dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-
Mekanisme Online Dispute Resolution Melalui Arbitrase dalam Penyelesaian Sengketa
Konsumen di Sektor Jasa Keuangan
Syntax Idea, Vol. 6, No. 10, Oktober 2024 6561
undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) di
dalam undang-undang ini mengatur tentang dokumen elektronik dan sahnya suatu
dokumen dan tanda tangan elektronik, berdasarkan pasal 5 ayat (1), ayat (2), ayat (3)
UU ITE menjelaskan bahwa :
“informasi elektronik, dokumen elektronik serta hasil cetaknya merupakan alat
bukti hukum yang sah, merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan
hukum acara yang berlaku di Indonesia serta dinyatakan sah apabila menggunakan
sistem elektronik sesuai dengn ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini
(Sutiyoso, 2008)
Berdasarkan pasal 4 ayat (3) Undang-undang No.30 Tahun 1999 menyatakan
bahwa “Mengenai di sepakatinya penyelesaian sengketa melalui arbitrase terjadi dalam
bentuk pertukaran surat, maka pengiriman teleks, faksimil, e-mail, atau dapat dalam
bentuk sarana komunikasi lainnya, dengan disertai suatu catatan penerimaan oleh
para pihak.” Dapat ditarik pengertian bahwa kedua pihak tidak diwajibkan untuk
hadir selama proses arbitrase, namun dengan memenuhi syarat bahwa antara kedua
pihak telah mengadakan kesepakatan sebelumnya, sehingga apabila para pihak tidak
dapat bertatap muka secara langsung dalam proses penyelesaian sengketa melalui
arbitrase berdasarkan kesepakatan para pihak bahwa hal tersebut bukan merupakan
suatu permasalahan dan perjanjian arbitase tersebut tetap sah dilaksanakan.
Di sektor jasa keuangan dengan pemberlakuan POJK No. 61/POJK.07/2020
tentang LAPS SJK dan peraturan LAPS SJK Nomor PER-02/LAPS-SJK/I/2021 tentang
Peraturan dan Acara Arbitrase terdapat beberapa hal perlu mendapat perhatian yaitu :
Asas sukarela dan itikad baik
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase LAPS SJK dilakukan oleh para pihak atas
dasar itikad baik dan bermartabat, dengan kooperatif dan non konfrontatif serta
mengesampingkan penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Para pihak menjalani
arbitrase yang dijalankan dengan santun, saling menghormati dan tertib. Kesepakatan
perdamaian yang mungkin dicapai dalam arbitrase merupakan kebebasan para pihak
sendiri, tanpa adanya unsur paksaan dalam bentuk apapun.
Kerahasiaan
Arbitrase bersifat rahasia dan berlangsung secara tertutup, dan oleh sebab itu
setiap orang yang terlibat dalam arbitrase harus menjaga kerahasiaan meskipun arbitrase
telah selesai, dengan pengecualian salah satu pihak, arbiter atau LAPS SJK dapat
mengungkapkan informasi mengenai arbitrase, baik sebagian maupun seluruhnya,
kepada pihak ketiga jika:
a. Atas seizin pihak/ para pihak lainnya terlebih dahulu;
b. Diperlukan untuk pelaksanaan putusan arbitrase/akta perdamaian, atau kesepakatan
perdamaian yang mungkin dicapai dalam arbitrase;
c. Atas perintah pengadilan atau otoritas yang berwenang lainnya;
d. Dalam rangka melaksanakan ketentuan lainnya; atau
e. Untuk keperluan riset akademik dengan menutup identitas para pihak dan arbiter.
Dwi Indriyanie
6562 Syntax Idea, Vol. 6, No. 10, Oktober 2024
Korespondensi dan Komunikasi
Korespondensi dan komunikasi dalam rangka arbitrase LAPS SJK dapat
disampaikan melalui :
a. Kurir, pos tercatat, faksimili, e-mail;
b. Sistem elektronik/ aplikasi lainnya yang disepakati oleh para pihak, laps sjk dan
arbiter tunggal/ majelis arbitrase; dan atau
c. Aplikasi secara elektronik yang disediakan oleh laps sjk.
Pengiriman melalui faksimili, e-mail atau sistem elektronik/ aplikasi dengan bukti
penerimaan yang cukup adalah sama sahnya dengan pengiriman melalui kurir atau pos
tercatat. Namun demikian, jika dipandang perlu, Sekretariat/ Sekretaris/ Arbiter dapat
meminta Para Pihak mengirimkan dokumen cetak tertulisnya melalui kurir/ pos tercatat.
Apabila terdapat kondisi luar biasa dan/atau terdapat pembatasan kegiatan sosial
oleh pemerintah, maka administrasi perkantoran dan administrasi layanan penyelesaian
sengketa LAPS SJK diselenggarakan berdasarkan kerja dari rumah (work from home)
dengan memanfaatkan secara optimal sarana komunikasi e-mail, telekonferensi dan
video konferensi, termasuk dalam rangka pengambilan keputusan atau persetujuan
menurut ketentuan peraturan ini. Dalam hal diperlukan atau diharuskan adanya suatu
pertemuan fisik, atau pemberian tandatangan basah, maka pertemuan tersebut harus
diselenggarakan dengan menjaga jarak (phisical/ social distancing) dan memperhatikan
protokol dan maklumat yang dikeluarkan oleh Pemerintah maupun pemilik atau
pengelola gedung/ tempat pertemuan.
Perjanjian Arbitrase
Para pihak yang bersengketa dapat menyetujui secara tertulis suatu sengketa yang
terjadi atau yang akan terjadi antara mereka diselesaikan melalui arbitrase LAPS SJK
dan persetujuan tersebut dituangkan dalam perjanjian arbitrase. Perjanjian arbitrase
dapat menyepakati acara arbitrase yang lain daripada peraturan ini sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersifat memaksa
dan kebijakan LAPS SJK. Perjanjian arbitrase dapat berbentuk:
a. kesepakatan berupa klausula Arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis
yang ditandatangani oleh Para Pihak sebelum timbul sengketa; atau
b. Perjanjian Arbitrase tersendiri yang dibuat Para Pihak setelah timbul sengketa.
Dalam hal berikut, dianggap telah ada Perjanjian Arbitrase secara tertulis, yakni
jika:
a. Perjanjian Arbitrase dibuat melalui sistem elektronik sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku; atau
b. dalam Permohonan Arbitrase, Pemohon mendalilkan adanya korespondensi yang
membuktikan adanya kesepakatan untuk berarbitrase dan Termohon membenarkan
secara tegas dalil tersebut.
Pembuktian
Mekanisme Online Dispute Resolution Melalui Arbitrase dalam Penyelesaian Sengketa
Konsumen di Sektor Jasa Keuangan
Syntax Idea, Vol. 6, No. 10, Oktober 2024 6563
Setiap Pihak yang mengaku memiliki suatu hak, mendalilkan suatu peristiwa
untuk meneguhkan haknya, membantah dalil pihak lain atau membantah hak pihak lain,
wajib membuktikan adanya hak atau peristiwa yang dikemukakan tersebut. Alat bukti
untuk membuktikan adanya hak atau peristiwa sebagaimana dimaksud dapat meliputi
bukti tertulis (termasuk yang bersifat elektronik), bukti saksi, persangkaan, pengakuan
dan sumpah. Para pihak diberikan kesempatan yang sama dan adil untuk mengajukan
bukti yang dianggap perlu untuk menguatkan dalilnya. Dan arbiter tunggal/majelis
arbitrase berwenang menentukan apakah bukti dapat diterima, relevan dan menyangkut
materi perkara dan memiliki kekuatan bukti
Putusan
Putusan arbitrase memuat hal-hal sebagai berikut:
a. Kepala putusan yang berbunyi, "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa";
b. Nama lengkap dan alamat Para Pihak;
c. Nama lengkap dan alamat Arbiter;
d. Uraian singkat sengketa;
e. Pendirian Para Pihak;
f. Keterangan bahwa Arbiter Tunggal/ Majelis Arbitrase telah mengupayakan
perdamaian di antara Para Pihak;
g. Pertimbangan dan kesimpulan Arbiter Tunggal/ Majelis Arbitrase mengenai
keseluruhan sengketa;
h. Pendapat setiap Arbiter dalam hal terdapat perbedaan pendapat di Majelis Arbitrase;
i. Amar putusan, termasuk di dalamnya memuat jangka waktu Putusan Arbitrase harus
dilaksanakan dan kewajiban atas biaya-biaya Arbitrase;
j. Tempat dan tanggal putusan;
k. Tanda tangan Arbiter Tunggal/ Majelis Arbitrase, dan keterangan jika ada Arbiter
yang tidak membubuhkan tandatangannya.
Mengenai ketentuan-ketentuan tersebut baik yang diatur secara umum dalam UU
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan APS maupun yang secara khusus
mengatur pengenai penyelesaian sengketa di sektor jasa keuangan melalui
pemberlakukan Peraturan OJK dan peraturan teknis pelaksana lainnya, maka tidak akan
menjadi masalah apabila perjanjian arbitrase dilakukan dalam bentuk lain yaitu melalui
telekomunikasi ataupun e-mail dan pada dasarnya arbitrase online tidak dilarang untuk
dilakukan dalam hal menyelesaikan sengketa antara konsumen dan PUJK di sektor jasa
keuangan dengan catatan hal tersebut tidak bertentangan dengan dengan peraturan
perundang-undang yang berlaku
KESIMPULAN
Bahwa mekanisme online dispute resolution melalui arbitrase dalam rangka
menyelesaikan sengketa konsumen di sektor jasa keuangan dimungkinkan untuk
dilaksanakan. Dikarenakan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
membuka ruang gerak terkait implementasinya. Dalam Undang-Undang Nomor 30
tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa beberapa pasalnya
Dwi Indriyanie
6564 Syntax Idea, Vol. 6, No. 10, Oktober 2024
telah menyatakan mengenai kemungkinan atau opsi dilaksanakan online dispute
resolution melalui arbitrase, sejalan dengan pengaturan di sektor jasa keuangan
mengenai opsi tersebut. Pilihan untuk menyelesaikan sengketa melalui ODR juga harus
jelas diatur dalam perjanjian arbitrase, baik yang dibuat sebelum terjadinya sengketa
maupun setelah terjadinya sengketa. Namun pengaturan yang diatur dalam beberapa
peraturan perundang-undangan mengenai mekanisme online dispute resolution dalam
penyelesaian sengketa konsumen di sektor jasa keuangan tersebut belum sepenuhnya
dinyatakan secara eksplisit, sehingga masih diperlukan penafsiran atas
pemberlakuannya. Khususnya dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang walaupun berlaku sebagai lex
generalis namun akan tetap menjadi acuan bagi pemberlakuan peraturan perundang-
undangan di bawahnya, sebagai contoh dalam pemberlakuan Peraturan OJK Nomor
61/POJK.07/2020 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengekta dan Peraturan
LAPS SJK yang mengatur mengenai mekanime arbitrase di LPAS SJK sebagai lex
specialist dalam penyelesaian sengketa di sektor jasa keuangan. Oleh karena itu penulis
berpendapat, bahwa untuk menjamin kepastian hukum yang lebih optimal perlu
dilakukan pembaharuan terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 dengan
mempertimbangkan perkembangan dunia usaha dan bisnis selain perkembangan atas
potensi sengketa yang mungkin timbul dari kegiatan usaha dan juga bisnis selain dari
perkembangan pemanfaatan teknologi.
BIBLIOGRAFI
Anisa, Y., & Syahrin, M. A. (2023). Pelaksanaan Peraturan Ojk Ri No. 6/Pojk. 07/2022 Tentang
Perlindungan Konsumen Dan Masyarakat Di Sektor Jasa Keuangan Online Di Kota
Pekanbaru. Journal of Sharia and Law, 2(1), 312334.
Ansa, C. B. (2023). Tinjauan Yuridis Terhadap Perlindungan Hukum Bagi Debitur Pinjaman
Online Berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Lex Administratum, 12(1).
Basarah, M. (2011). Prosedur Alternatif Penyelesaian Sengketa Arbitrase Tradisional dan
Modern. Yogyakarta: Genta Publishing.
Husein, Y. (2022). Penyelesaian Sengketa Perasuransian Melalui Lembaga Alternatif
Penyelesaian Sengketa Sektor Jasa Keuangan (LAPS SJK). Masalah-Masalah Hukum,
51(3), 209221.
Keuangan, D. P. K. O. J. (2017). Kajian Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan: Online
Dispute Resolution (ODR). Departemen Perlindungan Konsumen, Cetakan Ke-1, Jakarta.
Kharisma, D. B. (2021). Tantangan Laps Sektor Jasa Keuangan Sebagai Alternatif Penyelesaian
Sengketa Di Sektor Financial Technology. Perspektif: Kajian Masalah Hukum Dan
Pembangunan, 26(3), 216220.
Masruchiyah, N. (2018). Penyelesaian Sengketa Kontrak Kerja Konstruksi Melalui Arbitrase &
APS. LPJK, Penerbit Rajawali Pers, Depok, Cet. Ke-1.
Muhammad, R., Suryadi, S., & Pery, R. S. (2021). Arbitrase Online Dalam Interpretasi Hukum
Pada Pasal 4 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa. Universitas Maritim Raja Ali Haji.
Najla, A., Faisal, F., & Fatahillah, F. (2023). Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen
Pinjaman Berbasis Online Oleh Otoritas Jasa Keuangan (Ojk) Berdasarkan Pojk Nomor
6/Pojk. 07/2022. Madani: Jurnal Ilmiah Multidisiplin, 1(8), 2537.
Nomor, U. (30 C.E.). Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Jakarta.
Mekanisme Online Dispute Resolution Melalui Arbitrase dalam Penyelesaian Sengketa
Konsumen di Sektor Jasa Keuangan
Syntax Idea, Vol. 6, No. 10, Oktober 2024 6565
Nur, M. A. (2023). Mekanisme Penyelesaian Sengketa Nasabah Asuransi Melalui Lembaga
Alternatif Penyelesaian Sengketa Jasa Keuangan (LAPS SJK). Inovasi Pembangunan:
Jurnal Kelitbangan, 11(01), 97.
Perbawa, K. S. L. P. (2022). Pelaksanaan Proses Arbitrase Online di Indonesia. Jurnal Magister
Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal), 11(4), 871881.
Rahman, A. (2018). Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen (BPSK) Kota Serang. Jurnal Ilmu Hukum, 2(1), 2142.
Ramadhanty, P., & Malau, R. M. U. (2020). Pengaruh Social Media Marketing Content
Instagram@ kedaikopikulo Terhadap Sikap Konsumen. Linimasa: Jurnal Ilmu
Komunikasi, 3(2), 115.
Rambe, T. A. F., Sunarmi, S., Siregar, M., & Sukarja, D. (2022). Kewenangan Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Medan Memeriksa Sengketa Konsumen Jasa
Keuangan Pasca Terbentuknya Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Sektor Jasa
Keuangan. Locus Journal of Academic Literature Review, 109116.
Rosdiana, A. C. (2021). Peran Notaris Dan Keabsahan Akta Rups Yang Dilaksanakan Secara
Elektronik (Dilihat Dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 16/Pojk. 04/2020 Dan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 Tentang Jabatan Notari. Indonesian Notary, 3(2), 15.
Sembiring, J. J., & Sh, M. (2011). Cara menyelesaikan sengketa di luar Pengadilan. Visimedia.
SOLIKHAH, S. (2009). Prospek Arbitrase Online Sebagai Upaya Penyelesaian Sengketa Di
Luar Pengadilan Ditinjau Dari Hukum Bisnis. Program Pasca Sarjana Universitas
Diponegoro.
Sulistianingsih, D. (2023). Penggunaan Online Dispute Resolution (Odr) Pada Penyelesaian
Sengketa Melalui Arbitrase Di Indonesia. Hukum Dan Politik Dalam Berbagai Perspektif,
1, 4668.
Sutiyoso, B. (2008). Penyelesaian sengketa bisnis melalui online dispute resolution dan
pemberlakuannya di Indonesia. Mimbar Hukum-Fakultas Hukum Universitas Gadjah
Mada, 20(2), 229250.
Usman, R. (2002). Hukum Arbitrase Nasional. Gramedia Widiasarana Indonesia.
Widjaja, G., & Muljadi, K. (2003). Jual beli. (No Title).
Yuliani, A. A. (2021). Analisis Keabsahan Online Dispute Resolution Arbitrase dalam
Pelaksanaannya di Indonesia. Simbur Cahaya, 28(2), 323336.
Copyright holder:
Dwi Indriyanie (2024)
First publication right:
Syntax Idea
This article is licensed under: