58
Syntax Idea: pISSN: 2684-6853 e-ISSN: 2684-883X
Vol. 3, No. 1, Januari 2021
PERBANDINGAN CONTRAST WATER THERAPY DAN KOMPRES DINGIN
TERHADAP DERAJAT PHLEBITIS PASIEN YANG DI INFUS
Edi Supriadi
Akademi keperawatan RS. Dustira Cimahi Jawa Barat,Indonesia
Abstract
The purpose of this study was to find out the difference in effectiveness between
CWT and cold compresses against phlebitis degrees in patients who were infused in
hospitals. Dustira Cimahi. Experimental quasi-research method with two groups
pretest and posttest design approach, with a sample number of 44 patients using
purposive sampling, intervention group using CWT and control group using cold
compress. The results showed a difference in phlebitis degree score before and
after cold compresses (pretest 2.32 and posttest 1.68) which showed a decrease in
phlebitis degree score. In the group that used CWT, there was a difference in
phlebitis degree score (pretest 2.41 and posttest 1.32), with p= 0.000, this showed a
decrease in phlebitis degree score and the significance of the difference in average
phlebitis degree score before and after intervention. The mean value of the
intervention and control group is negative with the difference in phlebitis degrees
between the intervention group and the control group (p=0.026). A decrease in the
degree of flebititis in the CWT group occurred in the third treatment, while in the
cold compress group occurred in the fifth treatment. The results of both
interventions were effective in lowering phlebitis, but CWT was more effective
when compared to cold compresses. It is recommended that nurses can be used as
one of the evidance-based nursing that serves as the rational basis for the
implementation of Contrast Water Therapy as an independent nursing intervention
to reduce the degree of phlebitis quickly without causing additional accumulation
of edema. Based on the results of research and discussion, the conclusions in this
study are both interventions both CWT and cold compresses are equally effective in
lowering the degree of phlebitis, but CWT interventions are more effective and
faster to lower the degree of phlebitis in patients who are infused when compared
to cold compresses.
Keywords: phlebitis; contrast water therapy; cold compresses
Abstrak
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan efektivitas antara
CWT dengan kompres dingin terhadap derajat phlebitis pada pasien yang terpasang
infus di RS. Dustira Cimahi. Metode penelitian quasi eksperimental dengan
pendekatan two groups pretest and posttest design, dengan jumlah sampel 44
pasien menggunakan purposive sampling, kelompok intervensi menggunakan CWT
dan kelompok kontrol menggunakan kompres dingin. Hasil menunjukkan
perbedaan skor derajat phlebitis sebelum dan sesudah kompres dingin (pretest 2,32
dan posttest 1,68) yang menunjukan terjadi penurunan skor derajat phlebitis. Pada
Edi Supriadi
Syntax Idea, Vol. 3, No 1, Januari 2021 59
kelompok yang menggunakan CWT, terjadi perbedaan skor derajat phlebitis
(pretest 2,41 dan posttest 1,32), dengan p= 0,000, hal ini menunjukan terjadi
penurunan skor derajat phlebitis dan signifikansi perbedaan rerata skor derajat
phlebitis sebelum dan setelah intervensi. Nilai mean kelompok intervensi dan
kontrol bernilai negatif dengan selisih derajat phlebitis antara kelompok intervensi
dengan kelompok kontrol (p=0,026). Penurunan derajat flebititis pada kelompok
CWT terjadi pada perlakuan ke-tiga, sedangkan pada kelompok kompres dingin
terjadi pada perlakuan ke-lima. Hasil penelitian kedua intervensi efektif dalam
menurunkan derajat phlebitis, namun CWT lebih efektif bila dibandingkan dengan
kompres dingin. Disarankan kepada perawat dapat dijadikan sebagai salah satu
evidance based nursing yang dijadikan landasan rasional pelaksanaan Contrast
Water Therapy sebagai intervensi keperawatan mandiri untuk menurunkan derajat
phlebitis dengan cepat tanpa menyebabkan akumulasi edema tambahan.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka kesimpulan dalam penelitian
ini adalah kedua intervensi baik CWT maupun kompres dingin sama-sama efektif
dalam menurunkan derajat phlebitis, namun intervensi CWT lebih efektif dan lebih
cepat menurunkan derajat phlebitis pada pasien yang terpasang infus bila
dibandingkan dengan kompres dingin.
Kata kunci: phlebitis; contrast water therapy; kompres dingin
Pendahuluan
Infeksi terkait layanan kesehatan atau yang lebih dikenal dengan healthcare
associated infections (HAIs) adalah infeksi yang diperoleh saat di rumah sakit dimana
infeksi ini tidak ditemukan pada saat pasien masuk ke rumah sakit. Hal ini terjadi bila
toksin atau agen penginfeksi menyebabkan infeksi lokal atau sistemik dan bukan
merupakan sisa (residu) dari infeksi sebelumnya (Kenimak, 2019). Centers for disease
control and prevention (CDC) memperkirakan bahwa 1 dari 31 pasien di rumah sakit
menderita HAIs.
HAIs merupakan penyebab 1,4 juta kematian setiap hari di seluruh dunia.
Presentasi HAIs di rumah sakit dunia mencapai 9% (variasi 3-2 %) atau lebih 1,4 juta
pasien rawat inap di rumah sakit seluruh dunia. Suatu penelitian yang dilakukan WHO
menunjukkan, bahwa dari 55 rumah sakit dan 14 negara yang berasal dari Eropa, Timur
Tengah, Asia Tenggara dan Pasifik sekitar 8,7% menunjukkan adanya HAIs, sedangkan
untuk Asia Tenggara sebanyak 10,0% (Kenimak, 2019). HAIs terdiri dari pemasangan
vena sentral, ventilator associated pneumonia (VAP), infeksi luka operasi (ILO) dan
phlebitis.
Pasien yang dirawat inap umumnya mengalami penurunan kekebalan tubuh yang
diakibatkan oleh sakitnya. Untuk mengatasi hal tersebut, rumah sakit memberikan terapi
dengan menggunakan alat intravaskular melalui vena atau arteri yang bertujuan untuk
memasukan cairan steril, obat, atau makanan, serta untuk memantau tekanan darah
sentral dan fungsi hemodinamik lainnya (Tietjen, Bossmeyer, & Mcintosh, 2010).
Sistem terapi ini banyak digunakan karena berefek langsung, lebih cepat, lebih
efektif, dan dapat dilakukan secara kontinu. Sebanyak 70% pasien yang dilakukan rawat
Perbandingan Contrast Water Therapy dan kompres dingin terhadap derajat Phlebitis
60 Syntax Idea, Vol. 3, No 1, Januari 2021
inap mendapatkan terapi intravena, sehingga dimungkinkan akan terjadi komplikasi
baik sistemik maupun lokal. Komplikasi sistemik jarang terjadi, akan tetapi bila terjadi
akan menyebabkan komplikasi yang lebih serius dibanding komplikasi lokal seperti
kelebihan sirkulasi, emboli udara, dan infeksi. Komplikasi lokal dari terapi intravena
antara lain infiltrasi, phlebitis, trombophlebitis, hematoma, dan ekstravasasi
(Dougherty, 2008).
Phlebitis merupakan salah satu komplikasi pemasangan terapi intravena yang
banyak terjadi di rumah sakit. Hasil penelitian yang dilakukan Arphana di Kathmandu
Medical College Sinamangal Hospital tahun 2013 Nepal dilaporkan, bahwa insidensi
phlebitis pada pasien sebesar 79% (Neopane, 2013). CDC melaporkan, bahwa
kontaminasi mikroorganisme melalui pemasangan kateter intravena mencapai 20-30%
dari semua kasus infeksi nosokomial yang terjadi (Braun, B. I., Kritchevsky, S. B.,
Wong, E. S., Solomon, L., Steele, L., Richards & Steele, 2014). Hal ini diperkuat
pernyataan (Milutinović, Simin, & Zec, 2015) dalam hasil penelitian yang dilakukan di
berbagai negara menyatakan, bahwa phlebitis memiliki angka kejadian tertinggi
dibandingkan komplikasi pemasangan infus lainnya. Angka kejadian phlebitis tersebut
bertentangan dengan angka yang direkomendasikan berdasarkan lnfusion nurses society
(INS) yaitu kurang dari 5%.
Di Indonesia saat ini angka kejadian phlebitis masih cukup tinggi. Berdasarkan
data dari Depkes RI tahun 2013 menunjukkan, bahwa angka kejadian phlebitis di
Indonesia sebesar 50,11% untuk rumah sakit pemerintah sedangkan untuk rumah sakit
swasta sebesar 32,70% (Rizky & Supriyatiningsih, 2016). Kejadian angka phlebitis ini
melebihi angka standar yang ditetapkan oleh Depkes RI melalui Kemenkes No.129
tahun 2008, dimana dalam keputusan tersebut dijelaskan, bahwa standar pelayanan
minimal rumah sakit (SPMRS) pelayanan rawat inap, kejadian infeksi nosokomial
sebaiknya tidak melebihi 15% (Rumpf, 1990).
Beberapa penelitian yang telah dilakukan terkait kejadian phlebitis di beberapa
rumah sakit di Indonesia, seperti yang dilakukan oleh (Rizky & Supriyatiningsih, 2016),
didapatkan persentase angka kejadian phlebitis di Rumah Sakit AR. Bunda Prabmulih
pada bulan Juni 2013 adalah sebesar 333.33%. Angka kejadian phlebitis banyak terjadi
di usia 31-50 tahun yaitu sebesar 41.2%. Angka kejadian phlebitis banyak terjadi pada
perempuan yaitu sebesar 64.7%. Jenis mikroorganisme yang ditemukan pada penderita
phlebitis, yaitu: staphylococcus, E coli dan staphylococcus aureus. Angka kejadian
yang lebih tingi dilaporkan di Ruangan 11 Bagian Penyakit Dalam RS. Dustira pada
bulan Maret 2014 sebesar 12,l% atau 11 pasien dari 90 pasien yang diberikan terapi
cairan intravena mengalami phlebitis (Pratiwi, 2014).
Inflamasi adalah reaksi kompleks dalam jaringan ikat vascular terjadi karena
rangsangan eksogen dan endogen. Peradangan adalah respon normal, pelindung
terhadap cedera jaringan disebabkan oleh trauma fisik, bahan kimia berbahaya atau agen
mikrobiologis. Hal tersebut berfungsi untuk menonaktifkan atau menghancurkan
organisme asing, menghilangkan iritasi yang merupakan tahap pertama perbaikan
jaringan. Proses inflamasi biasanya mereda pada proses penyelesaian atau penyembuhan
Edi Supriadi
Syntax Idea, Vol. 3, No 1, Januari 2021 61
tapi kadang-kadang menjadi radang yang parah, yang mungkin jauh lebih buruk dari
penyakit ini dan dalam kasus ekstrim, juga dapat berakibat fatal. Gambaran dari proses
inflamasi ini pada umumnya mempunyai suatu ciri khas seperti kemerahan, suhu yang
meningkat, pembengkakan, nyeri dan hilangnya fungsi adalah tanda klasik dari
inflmasi. Inflamasi dapat diprovokasi oleh berbagai agen berbahaya, bahan asing,
toxins, infeksi, bahan kimia, pathogen, reaksi kekebalan tubuh dan luka fisik (Bansal &
Sen, 2008).
(Purwaningsih, Salamah, & Budiarti, 2014) mengemukakan inflamasi dipicu oleh
pelepasan mediator kimia dari jaringan yang terluka dan sel yang bermigrasi. Termasuk
diantaranya adalah amina (histamin, 5-hidroksitriptamin (5-HT)), lipid (prostaglandin,
leukotrien, PAF), peptida kecil (bradikinin) dan peptida lebih besar (sitokin). Inflamasi
ditandai dengan vasodilatasi pembuluh darah lokal mengakibatkan terjadinya aliran
darah setempat berlebihan, kenaikan permeabilitas kapiler disertai dengan kebocoran
cairan dalam jumlah besar ke dalam ruang interstisial yang disebabkan oleh fibrinogen
dan protein lainnya yang bocor dari kapiler dalam jumlah berlebihan, migrasi sejumlah
besar granulasit dan monosit ke dalam jaringan, dan pembengkakan sel jaringan.
Beberapa produk jaringan yang menimbulkan reaksi ini adalah histamin,
bradikinin, serotonin, prostaglandin, serta beberapa macam produk reaksi sistem
komplemen, produk reaksi sistem pembekuan darah, dan berbagai substansi disebut
limfokin dilepaskan oleh sel T tersensitisasi.
Phlebitis adalah peradangan akut lapisan internal vena mempunyai batasan
karakteristik terkait tanda dan gejalanya. (Potter, A., & Perry, 2012) menyatakan,
phlebitis merupakan peradangan yang terjadi pada pembuluh darah vena yang
disebabkan oleh kateter atau iritasi kimia zat aditif dan obat-obatan yang diberikan
secara intravena. (Nursalam, 2014) menyatakan, bahwa phlebitis pada umumnya
ditandai dengan adanya rasa sakit dan nyeri di sepanjang vena, kemerahan, bengkak,
dan hangat, serta dapat dirasakan di sekitar daerah penusukan. Hal ini didukung
penelitian yang dilakukan oleh (Webster et al., 2015), bahwa phlebitis umumnya
ditandai dengan nyeri di daerah penusukan, nyeri tekan, bengkak, eritema, kemerahan,
dan vena cord.
Phlebitis sering terjadi karena disebabkan oleh beberapa faktor pencetus. (Gorski,
2018) mengatakan, penyebab phlebitis disebabkan oleh beberapa hal diantaranya faktor
mekanik, kimia, maupun teknik aseptik yang kurang. Hal tersebut diperkuat dengan
penelitian yang dilakukan (Webster et al., 2015), yang menyatakan bahwa faktor-faktor
yang berhubungan dengan penyebab phlebitis antara lain (1) faktor kimia yang
disebabkan oleh iritasi obat-obatan; (2) faktor mekanik, lokasi dan bahan kateter, dan
keterampilan insersi; (3) faktor bakteri, migrasi organisme dari kulit, sepanjang kateter
ke ujung atau dari daerah yang terkontaminasi; dan (4) faktor pasien/internal, infeksi di
lokasi lain, status nutrisi, keadaan vena, usia, dan jenis kelamin.
Phlebitis sering disertai dengan adanya pembentukan trombus (bekuan darah)
pada pembuluh darah vena. (Pasalioglu & Kaya, 2014) menyampaikan, bahwa faktor
Perbandingan Contrast Water Therapy dan kompres dingin terhadap derajat Phlebitis
62 Syntax Idea, Vol. 3, No 1, Januari 2021
penyebab terjadinya trombus diantaranya lebar, ketebalan, panjang kateter lumen,
material kateter, area penusukan, frekuensi penusukan, durasi pemasangan, konsentrasi
obat dan cairan, laju aliran cairan, metode pemasangan yang tidak steril, cara
melakukan fiksasi dan frekuensi pergantian set infus. Hal ini diperkuat dengan
penelitian (Hopkins, 2015), bahwa pembentukan trombus disebabkan oleh kateter atau
iritasi kimia zat aditif dan obat-obatan yang diberikan secara intravena. Semua ini
diakibatkan peradangan, infeksi dan trombosis. Komplikasi yang ditimbulkan akibat
phlebitis apabila tidak dilakukan penatalaksanaan dengan baik, dapat mengakibatkan
peningkatan lama perawatan atau Leng of Stay (LOS), menambah lama terapi,
menambah tanggung jawab petugas kesehatan khususnya perawat, dan kemungkinan
resiko masalah kesehatan lain akan meningkat diantaranya komplikasi sistemik dari
septikemia dan tromboemboli (Corrigan, Gorski, Hankins, Perucca, & Alexander,
2009).
Phlebitis tidak selalu terjadi pada saat pasien masih terpasang IV kateter. Dalam
penelitian (Webster et al., 2015), dikatakan bahwa postinfusion phlebitis dapat terjadi
setidaknya selama 48 jam setelah kateter diangkat. Sehingga hal ini menjadi hal yang
penting bagi perawat untuk mengobservasi pasien selama 48 jam setelah kateter
diangkat. Ketika pasien sudah direncanakan untuk pulang, perawat perlu memberikan
edukasi pada pasien apabila mengalami tanda dan gejala phlebitis setelah kateter
diangkat. Edukasi menjadi hal yang penting, meskipun phlebitis bukanlah masalah yang
umum terjadi pada setiap pasien. Namun ketika phlebitis terjadi, rasa nyeri yang terjadi
dapat membuat pasien tidak nyaman dan membutuhkan waktu hingga 7 hari untuk
menyelesaikan masalah tersebut.
Dalam penatalaksanaan terapi intravena, perawat memegang peranan yang sangat
penting dimana dalam terapi ini perawat bukan hanya sebagai pemberian agen medikasi,
tetapi lebih luas meliputi pemasangan alat akses intravena, perawatan, monitoring dan
yang paling penting adalah pencegahan dan penanganan phlebitis (Corrigan et al.,
2009). Oleh karena itu, seorang perawat harus mampu untuk melakukan tindakan
pencegahan dan cara mengatasi phlebitis yang salah satu caranya dengan mendeteksi
dan menilai terjadinya phlebitis selama pemasangan infus.
Phlebitis dapat ditangani dengan terapi farmakologik dan non-farmakologik.
Terapi non-farmakologik yang dapat dan banyak dilakukan adalah dengan kompres.
Berdasarkan beberapa penelitian yang dilakukan, tindakan kompres yang banyak
dilakukan untuk menangani phlebitis oleh perawat yaitu dengan kompres hangat dan
kompres dingin dibandingkan dengan metode lainnya. Hal ini didukung penelitian yang
dilakukan oleh (Nurjanah, 2011), bahwa penanganan phlebitis yang umum dilakukan
oleh perawat adalah melakukan kompres menggunakan air hangat, kompres dingin,
alkohol dan normal saline.
Tindakan kompres hangat dengan metode pengompresan menggunakan teknis
kompres basah maupun kering secara konduksi, akan terjadi pemindahan dari media ke
dalam tubuh sehingga akan menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah yang dapat
meningkatkan asupan oksigen, nutrisi, dan leukosit darah menuju ke jaringan tubuh
Edi Supriadi
Syntax Idea, Vol. 3, No 1, Januari 2021 63
yang rusak akibat phlebitis, sehingga diharapkan dapat mengurangi peradangan,
mengurangi kekakuan otot dan nyeri, mempercepat penyembuhan jaringan lunak,
meningkatkan sirkulsai psikologis yang dapat memberikan rasa nyaman (Sri Wahyuni,
2014). Kompres hangat dapat meningkatkan pelepasan endorfin yang memblok
transmisi stimulus nyeri dan juga menstimulasi serabut saraf berdiameter besar A-Beta
sehingga dapat menurunkan transmisi impuls nyeri melalui serabut kecil A-delta dan
serabut saraf C (Tamsuri, 2012).
Studi tentang pemberian kompres hangat yang dilakukan menyebutkan, bahwa
kompres hangat lebih efektif menurunkan nyeri phlebitis dibandingkan dengan kompres
alkohol, dimana hasil selisih mean sebelum dan sesudah pemberian kompres hangat
sebesar 2,88, sedangkan pada kompres alkohol terdapat selisih antara sebelum dan
sesudah sebesar 2,16 (Jayanti, Kristiyawati, & Purnomo, 2013) Studi lain yang
dilakukan oleh (Gauttam & Vati, 2016) menyebutkan, bahwa pemberian kompres panas
efektif dalam mengurangi rasa sakit, eritema, kehangatan dan indurasi. (Viatra &
Triyanto, 2014) menyebutkan, bahwa kompres hangat untuk mengurangi nyeri dapat
dilakukan selama 10 sampai 20 menit. Hal ini didukung oleh (Potter, A., & Perry, 2012)
yang menyatakan, bahwa pemberian kompres hangat untuk mengurangi dan mengatasi
rasa nyeri dapat diberikan dengan suhu 40,5°C-43°C. Hal ini diperkuat oleh penelitian
yang dilakukan (Berman, Audrey, Shirlee, S., Barbara, K., & Glenora, 2009) yang
menyatakan, bahwa pemberian kompres hangat efektif pada suhu 40,5°C-46°C.
Penelitian lain yang memperkuat tentang efektivitas kompres hangat ini adalah
penelitian yang dilakukan (Annisa, Nurhaeni, & Wanda, 2017), dimana pemberian
kompres air hangat efektif untuk menurunkan derajat phlebitis. Hasil ini mendukung
penelitian lain yang dilakukan oleh (Gauttam & Vati, 2016), dimana kompres hangat
dapat bermanfaat untuk kasus phlebitis. Suhu hangat bisa menstimulasi vasodilatasi,
yang dapat menyebabkan sirkulasi darah lebih optimal. Namun hal ini tidak sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh (Weerasekara, Tennakoon, & Suraweera, 2016)
dimana kompres hangat dapat menambah pembengkakan bahkan hingga hari ketiga.
Penelitian lain yang memperkuat tentang efektivitas kompres hangat ini adalah
penelitian yang dilakukan (Annisa et al., 2017), dimana pemberian kompres air hangat
efektif untuk menurunkan derajat phlebitis. Hasil ini mendukung penelitian lain yang
dilakukan oleh (Gauttam & Vati, 2016), dimana kompres hangat dapat bermanfaat
untuk kasus phlebitis. Suhu hangat bisa menstimulasi vasodilatasi, yang dapat
menyebabkan sirkulasi darah lebih optimal. Namun hal ini tidak sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh (Weerasekara et al., 2016) dimana kompres hangat dapat
menambah pembengkakan bahkan hingga hari ketiga.
Tindakan lain yang sering digunakan oleh perawat untuk bisa mengurangi
inflamasi pada phlebitis adalah dengan diberikan kompres dingin. Terapi ini dapat
menurunkan prostaglandin, dengan menghambat proses inflamasi (Meira et al., 2008).
Kompres dingin dampak fisiologisnya adalah vasokonstriksi (pembuluh darah
penguncup), penurunan metabolik, membantu mengontrol perdarahan dan
Perbandingan Contrast Water Therapy dan kompres dingin terhadap derajat Phlebitis
64 Syntax Idea, Vol. 3, No 1, Januari 2021
pembengkakan karena trauma, mengurangi nyeri dan menurunkan aktivitas ujung saraf
pada otot sehingga mampu memperkecil inflamasi, menurunkan kekakuan otot serta
mempercepat penyembuhan jaringan lunak. Kompres dingin banyak dilakukan dengan
cara menempelkan media dingin atau es pada permukaan kulit yang mengalami cedera.
Kompres dingin telah terbukti efektif mengurangi rasa sakit dan pembengkakan selama
respon inflamasi (Dykstra et al., 2009). Pemberian kompres dingin dapat menurunkan
ambang nyeri setelah 5-10 menit pemberian kompres (Ganji, Shirvani, Rezaei-Abhari,
& Danesh, 2013). Hal ini di dukung penelitian yang dilakukan oleh (Sharma, 2016)yang
menyebutkan, bahwa pemberian kompres dingin selama 5 menit dua kali sehari dan
dilakukan selama tiga hari mampu mengurangi rasa nyeri, memar, dan hematoma pada
pasien dengan phlebitis (Gauttam & Vati, 2016).
Tindakan kompres hangat dan dingin secara bergantian pada dasarnya
menggunakan prinsip Contrast Water Therapy (CWT) yaitu hydrotherapy dengan
mengkombinasikan suhu panas dan dingin. Biasanya digunakan untuk apliaksi pada
ekstremitas. Pada pelaksanaannya terapi ini memerlukan dua kontainer untuk
penampungan air hangat (41-43°C) dan penampungan air dingin (10 -18°C). Terapi ini
diindikasikan pada fase peralihan antara tahap akut dan kronis dimana diperlukan
peningkatan suhu secara minimal untuk meningkatkan aliran darah tapi mencegah
terjadinya pembengkakan (Arovah, 2010). Penelitian terkait dengan CWT yang
dilakukan oleh (Petrofsky et al., 2007) terhadap aliran darah pada punggung dan plantar
kaki pada orang dengan diabetes tipe-2, diperoleh hasil bahwa aplikasi CWT mampu
meningkatkan aliran darah (blood flow) sebesar 41.6 flux dibandingkan perendaman
dengan air hangat biasa yang sebesar 22.3 flux.
Penelitian lain terkait efektivitas CWT ini dilakukan oleh (Martins, A., & Sa,
2011). Hasil penelitian menyebutkan, bahwa aplikasi CWT yang dimulai dengan
pemberian aplikasi panas dan berakhir dengan pemberian aplikasi dingin dengan rasio
4:1 atau 4 menit perendaman air panas diikuti dengan perendaman dalam dingin air
selama 1 menit mampu mengurangi suhu pada permukaan kulit dan mengurangi
metabolisme lokal pada cedera muskuloskeletal, dimana ada perbedaan suhu kulit yang
signifikan pada rentang waktu 3 sampai 9 menit dibandingkan dengan pemberian
aplikasi dingin dan berakhir dengan pemberian aplikasi panas yang tidak memiliki
perbedaan signifikan yang ditemukan antara setiap kondusi atau interval.
Hal lain terkait penelitian tentang CWT ini dilakukan oleh (Fiscus, Kaminski, &
Powers, 2005), dimana urutan CWT dimulai dengan 4 menit pemberian aplikasi panas
dan diakhiri dengan 1 menit pemberian aplikasi dingin dan dilakukan selama 20 menit
dapat meningkatkan aliran darah arteri di kaki bagian bawah sebanyak 100 mL/ menit
dibandingkan dengan aplikasi panas dan dingin yang dilakukan secara terpisah. Hal ini
didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh (Shih, Lee, Lee, Huang, & Wu, 2012),
dimana hasil penelitiannya merekomendasikan suhu air panas antara 38°C-44°C dan
suhu air dingin 10°C-18°C serta waktu perendaman dalam air panas harus ditingkatkan
secara bertahap, karena semakin lama pemberian aplikasi panas dapat menyebabkan
fluktuasi kecepatan aliran darah arteri yang lebih memadai. CWT ini disarankan untuk
Edi Supriadi
Syntax Idea, Vol. 3, No 1, Januari 2021 65
mengatasi inflamasi dengan cara untuk meningkatkan aliran darah ke area yang
peradangan dengan teknis memompa tanpa menyebabkan akumulasi edema tambahan.
CWT menyebabkan vasokontriksi dan vasodilatasi pembuluh darah, sehingga
menimbulkan efek pompa dan membuat fluktuasi kecepatan aliran darah meningkat.
Peningkatan kecepatan aliran darah menyebabkan asupan oksigen dan nutrisi untuk
perbaikan jaringan lunak juga mengalami peningkatan, sehingga berdampak pada
menurunnya inflamasi lokal.
Penanganan phlebitis non farmakologik dikalangan perawat hanya terbatas pada
kompres hangat dan dingin secara terpisah, dimana hasilnya sama-sama efektif dalam
mengatasi phlebitis. Namun, untuk aplikasi CWT pada pasien dengan phlebitis belum
pernah dilakukan. Saat ini, aplikasi CWT banyak digunakan dan dianggap efektif untuk
penatalaksanaan inflamasi yang diakibatkan cedera serta pemulihan pasca trauma
olahraga saja. Mengingat efektifitas dari CWT dalam mengatasi inflamasi tersebut,
perlu adanya suatu studi perbandingan antara kompres secara terpisah dengan CWT.
CWT adalah suatu metode dimana kompres panas dan kompres dingin disatukan
menjadi suatu metode dalam mengatasi inflamasi akibat phlebitis pada pasien yang
terpasang infus, yang bertujuan untuk mencari metode yang paling efektif dalam
mengatasi permasalahan tersebut.
Penanganan phlebitis non farmakologik dikalangan perawat hanya terbatas pada
kompres hangat dan dingin secara terpisah, dimana hasilnya sama-sama efektif dalam
mengatasi phlebitis. Namun, untuk aplikasi CWT pada pasien dengan phlebitis belum
pernah dilakukan. Saat ini, aplikasi CWT banyak digunakan dan dianggap efektif untuk
penatalaksanaan inflamasi yang diakibatkan cedera serta pemulihan pasca trauma
olahraga saja. Mengingat efektifitas dari CWT dalam mengatasi inflamasi tersebut,
perlu adanya suatu studi perbandingan antara kompres secara terpisah dengan CWT.
CWT adalah suatu metode dimana kompres panas dan kompres dingin disatukan
menjadi suatu metode dalam mengatasi inflamasi akibat phlebitis pada pasien yang
terpasang infus, yang bertujuan untuk mencari metode yang paling efektif dalam
mengatasi permasalahan tersebut.
Semua pasien yang menggunakan akses intravena harus selalu dipantau
perkembangannya terkait beberapa komplikasi yang bisa muncul diantaranya yaitu
phlebitis. Untuk mengetahui kejadian phlebitis tersebut, perlu adanya suatu metode atau
cara yang digunakan untuk mengetahui adanya tanda-tanda phlebitis (LaRue & Martin,
2011). Ada beberapa instrumen yang digunakan untuk mengukur skala phlebitis, namun
ada dua yang paling banyak digunakan yaitu skala phlebitis menurut INS (Infusion
Nurses Society) dan skala Visual Infusion Phlebitis (VIP) score yang dikembangkan
oleh Jackson pada tahun 1998. Skala VIP telah terbukti menjadi ukuran yang valid dan
dapat diandalkan untuk menentukan kapan kateter intravena harus dilepas (Denton,
Bodenham, & Conquest, 2016). Hal ini diperlukan sebagai suatu upaya deteksi dini
untuk mengurangi perkembangan phlebitis.
Perbandingan Contrast Water Therapy dan kompres dingin terhadap derajat Phlebitis
66 Syntax Idea, Vol. 3, No 1, Januari 2021
Rumah Sakit TK. II 03.05.01 Dustira merupakan salah satu Rumah Sakit dibawah
jajaran TNI Angkatan Darat yang terletak di Jalan Dustira No.1 Kelurahan Baros
Kecamatan Cimahi Tengah Kota Cimahi Provinsi Jawa Barat. Pada awal mulanya
Rumah Sakit TK. II 03.05.01 Dustira bernama Militare Hospital yang dibangun pada
tahun 1887 atau pada masa penjajahan Hindia-Belanda sebagai rumah sakit militer.
Pada saat ini Rumah Sakit TK.II 03.05.01 Dustira yang memiliki luas bangunan 54.481
dan dibangun diatas tanah seluas ± 14 Ha ini, tidak hanya menjadi rumah sakit
rujukan bagi militer dan keluarganya, melainkan juga menerima rujukan dari
masyarakat umum yang memiliki tugas pokok yaitu menyelenggarakan dan
melaksanakan fungsi perumahsakitan melalui upaya-upaya pelayanan kegiatan
kesehatan kuratif dan rehabilitatif yang terpadu dengan pelaksanan kegiatan kesehatan
preventif dan promotif sehingga menjadi rumah sakit rujukan tertinggi di wilayah
Kodam III/Siliwangi. Rumah Sakit TK.II 03.05.01 Dustira memiliki 20 ruang inap dan
536 tempat tidur, dengan jumlah pasien rawat inap rata-rata 34.660 orang/tahun dengan
pasien yang terpasang infus sekitar 94,7% dan angka kejadian phlebitis sekitar 12,l%
dari total pasien yang terpasang infus (Apriyani & Yanti, 2018).
Penelitian mengenai pencegahan dan penanganan phlebitis terus berkembang
sejalan dengan tingginya angka kejadian phlebitis. Berdasarkan keterangan dari hasil
wawancara terhadap perawat yang bertugas di Rumah Sakit Dustira, penanganan
kejadian phlebitis dilakukan perawat berdasarkan pengalaman dan kebiasaan di ruangan
yaitu dengan melakukan kompres dengan kasa alkhohol dan belum ada SPO khusus
terkait penanganan phlebitis. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian tentang perbandingan CWT dan kompres dingin terhadap derajat phlebitis
akibat pemasangan infus di ruang RS. Dustira Cimahi.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan quasi experimental dengan two groups
pretest and postest design. Desain quasi experimental merupakan jenis penelitian yang
menerapkan manipulasi eksperimen pada variabel independen dengan sekurang-
kurangnya mempunyai satu karakteristik percobaan eksperimental (Wood, M., &
Rosskerr, 2011) . Rancangan two groups pretest and postest design menggunakan dua
kelompok subyek (kelompok intervensi dan kelompok kontrol), dimana variabel
penelitian diukur pada saat sebelum dan setelah dilakukan intervensi. Pengaruh
intervensi dapat dilihat dari hasil pengolahan data, disini terdapat perbedaan dari hasil
pengukuran kemudian dibandingkan dengan kelompok kontrol (Saryono, 2011).
Pada awal penelitian responden diukur derajat phlebitisnya sebelum intervensi,
baik pada kelompok intervensi maupun kelompok kontrol. Kelompok yang pertama
mendapatkan intervensi CWT (disebut kelompok eksperimental atau kelompok
perlakuan), sedangkan kelompok yang lainnya (kelompok kontrol) mendapatkan
intervensi kompres dingin. Dengan hasil akhir adalah ada perbedaan efek pada kedua
kelompok dan penyebab terjadinya perbedaan tersebut merupakan akibat perlakuan
yang diberikan.
Edi Supriadi
Syntax Idea, Vol. 3, No 1, Januari 2021 67
Desain penelitian quasi experimental dengan two groups pre and posttest design
dapat digambarkan sebagai berikut :
Kelompok Intervensi
Pre
Post
O1
X1
O3
Kelompok kontrol
Pre
Post
O2
X 2
O 4
Gambar 1.
Pre-experimental two groups pre and post test design
Keterangan :
O1: Pengukuran derajat phlebitis pada kelompok intervensi sebelum dilakukan
intervensi CWT
X1: Intervensi CWT
O3 : Pengukuran derajat phlebitis pada kelompok intervensi setelah dilakukan
intervensi CWT
O2 : Pengukuran derajat phlebitis pada kelompok kontrol sebelum dilakukan intervensi
kompres dingin
X2 : Intervensi kompres dingin
O4 : Pengukuran derajat phlebitis pada kelompok kontrol setelah dilakukan intervensi
kompres dingin.
Hasil dan Pembahasan
Penelitian ini dilakukan di Rumkit TK. II 03.05.01 Dustira Cimahi yang dimulai
pada tanggal 11 September 2019 sampai 11 November 2019. Subjek penelitian ini
adalah pasien dewasa yang terpasang infus dan terindikasi mengalami phlebitis
menggunakan VIP Score sebanyak 44 responden dengan cara purposive sampling.
Responden dibagi mejadi dua kelompok dengan menggunakan randomisasi excel.
Seluruh responden tidak ada yang mengalami kondisi perburukan kesehatan selama
penelitian, sehingga tidak terjadi drop out.
A. Hasil Penelitian
Analisis dalam penelitian ini dijabarkan dalam dua analisis yang terdiri dari
analisis deskriptif dan analisis inferensial. Sebelum analisis, dilakukan uji
normalitas data pada data variabel derajat phlebitis sebelum dan setelah intervensi.
Peneliti menggunakan metode analisis dengan uji Shapiro-Wilk pada uji normalitas
data karena jumlah responden 50 orang. uji normalitas data dengan menggunakan
uji shapiro-wilk didapatkan hasil bahwa seluruh data pretest dan postest pada
masing-masing kelompok baik kelompok intervensi maupun kelompok kontrol
berdistribusi tidak normal, hasil ini dapat dilihat dari p-value yang didapatkan oleh
Perbandingan Contrast Water Therapy dan kompres dingin terhadap derajat Phlebitis
68 Syntax Idea, Vol. 3, No 1, Januari 2021
kelompok intervensi maupun kelompok kontrol yaitu 0,00 < 0,05. Karena seluruh
variabel pada penelitian ini berdistribusi tidak normal, maka uji yang dilakukan
menggunakan uji alternative nonparametric yaitu uji wilcoxon. Adapun hasil uji
homogenitas variabel usia, tingkat pendidikan, diagnosa, cairan infus serta obat dan
injeksi menunjukkan nilai sig (signifikansi) > 0,05.
Analisis deskriptif menggambarkan karakteristik responden sedangkan analisis
inferensial menjelaskan (1) uji perbedaan rata-rata derajat phlebitis sebelum dan
sesudah pada kelompok kontrol, (2) uji perbedaan rata-rata derajat phlebitis
sebelum dan sesudah pada kelompok intervensi, (3) uji perbedaan pengaruh derajat
phlebitis sebelum dan sesudah pada kelompok intervensi dan kontrol.
1. Analisis Univariat
a. Karakteristik Responden
Data karakteristik responden dalam penelitian ini merupakan data primer
yang diperoleh melalui wawancara langsung kepada 44 responden yang
menjadi sampel dalam penelitian ini. Data karakteristik responden ini
dibutuhkan untuk mengetahui latar belakang responden dan menguji
kesamaan karakteristik pada dua kelompok, sehingga dapat dijadikan sebagai
bahan masukan untuk menjelaskan hasil yang diperoleh dari penelitian.
Analisa uji homogenitas digunakan untuk memastikan bahwa
karakteristik responden pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol
memiliki variasi yang sama (homogen) dan sebagai justifikasi bahwa hasil
penelitian tidak dipengaruhi karakteristik usia, jenis kelamin, pekerjaan dan
pendidikan. Uji homogenitas jenis kelamin dan status bekerja menggunakan
Chi-Square dengan menggunakan nilai p continuity corrections karena data
yang diolah merupakan data nominal dan memiliki tabel B K (2x2) serta nilai
expected seluruh sel tidak kurang dari 5% (Dahlan, 2012).
Berikut disajikan hasil uji homogenitas berdasarkan karakteristik
reponden :
Tabel 1
Distribusi frekuensi, persentase dan uji homogenitas karakteristik
responden kelompok CWT dan kelompok Kompres dingin (n=44)
CWT
Kompres dingin
Karakteristik
(n=22)
(n=22)
Nilai
P
(%)
f
(%)
Usia (Tahun)
26-35 (dewasa awal)
4
18,2
4
18,2
36-45 (dewasa akhir)
4
18,2
7
31,8
46-55 (lansia awal)
9
40,9
7
31,8
0,979
56-65 (lansia akhir)
5
22,7
4
18,2
>65 (manula)
0
0
0
0
Edi Supriadi
Syntax Idea, Vol. 3, No 1, Januari 2021 69
CWT
Kompres dingin
Karakteristik
(n=22)
(n=22)
Nilai
P
(%)
f
(%)
Jenis Kelamin
Laki-laki
10
45,5
8
36,4
0,759
b
Perempuan
12
54,5
14
63,6
Status Bekerja
Bekerja
15
68,2
18
81,8
0,486
b
Tidak Bekerja
7
31,8
4
18,2
Tingkat Pendidikan
SD
1
4,5
2
9,1
SMP
2
9,1
3
13,7
0,208
SMA
15
68,2
12
54,5
Sarjana
4
18,2
5
22,7
Diagnosa
Gerd
1
4,5
1
4,5
DBD
1
4,5
3
13,7
Dispepsia
3
13,7
3
13,7
Hepatitis
1
4,5
1
4,5
Asma
2
9,1
2
9,1
TBC
1
4,5
1
4,5
0,589
Stroke
4
18,2
3
13,7
Radikulopati
2
9,1
1
4,5
Gastritis
2
9,1
4
18,2
Decomp
3
13,7
1
4,5
DM
2
9,1
2
9,1
Cairan Infus
Ringer Laktat (RL)
20
91,0
19
86,4
NaCL 90%
1
4,5
2
9,1
1
Destrose 5%
1
4,5
1
4,5
Obat dan Injeksi
Ondanetron 8mg + pantoprazole 240mg
1
4,5
1
4,5
Ranitidine 50mg +Ceftriaxone 500mg
1
4,5
3
13,7
Pantoprazol 240mg + Ranitidine 50mg
5
22,7
7
31,9
Ranitidine 50mg
1
4,5
1
4,5
Metilprednisolon 62,5mg + Aminofilin
2
9,1
2
9,1
0,851
Streptomycin
1
4,5
1
4,5
Citicolin 1000mg, Diazepam, Fenitoin +
manitol
4
18,2
3
13,7
Ketorolac + Diazepam
2
9,2
1
4,5
Perbandingan Contrast Water Therapy dan kompres dingin terhadap derajat Phlebitis
70 Syntax Idea, Vol. 3, No 1, Januari 2021
CWT
Kompres dingin
Karakteristik
(n=22)
(n=22)
Nilai P
f
(%)
f
(%)
Furosemide 40mg
3
13,7
1
4,5
Ceftriaxone 500mg
2
9,1
2
9,1
*a : Chi Square
*b : Man Whitney
Berdasarkan tabel 1 diketahui bahwa hasil uji homogenitas jenis kelamin,
status bekerja menunjukan nilai sig. (signifikansi) > 0,05. Sedangkan untuk
hasil uji homogenitas variabel usia, tingkat pendidikan, diagnosa, cairan infus
serta obat dan injeksi uji homogenitas menggunakan one way anova data
yang diolah merupakan data nominal dan memiliki tabel B K (>2x2). Hasil
uji homogenitas variabel usia, tingkat pendidikan, diagnosa, cairan infus serta
obat dan injeksi menunjukkan nilai sig (signifikansi) > 0,05. Berdasarkan
hasil olah data tersebut, memiliki arti bahwa sebaran data pada kelompok
intervensi dan kelompok kontrol adalah homogen.
Pada tabel 1, kelompok usia yang paling banyak pada kelompok
intervensi adalah lansia awal sebanyak 9 pasien (40,9%), dengan jenis
kelamin terbanyak adalah perempuan 12 orang (54,5%). 68,2% dari sampel
masih aktif bekerja (15 orang) dengan tingkat pendidikan terbanyak adalah
SMA (15 orang atau 59,1%).
Pada tabel 1, diketahui pula karakteristik responden pada kelompok
kontrol, yaitu usia yang paling banyak adalah dewasa akhir dan lansia awal
yaitu masing-masing sebanyak 7 pasien (31,8%), dengan jenis kelamin
terbanyak adalah perempuan 14 orang (63,6%). 81,8% dari sampel masih
aktif bekerja (18 orang) dengan tingkat pendidikan terbanyak adalah SMA
(14 orang atau 63,6 %).
Berdasarkan diagnosa penyakit pada tabel 4.1 menunjukkan bahwa
diagnose terbanyak yaitu stroke dengan jumlah penderita sebanyak 7 orang
(15,9%), sedangkan cairan infuse yang paling banyak diberikan pada
responden adalah cairan RL sebanyak 39 orang (88,6%). Adapun jenis obat
dan injeksi yang paling banyak diberikan pada pasien adalah obat Pantoprazol
240mg dan Ranitidine 50mg yang diberikan kepada 12 orang (54,5%).
Edi Supriadi
Syntax Idea, Vol. 3, No 1, Januari 2021 71
2. Uji Normalitas dan Homogenitas data derajat Phlebitis
Tabel 2
Hasil Uji Normalitas Derajat phlebitis Sebelum dan Sesudah Intervensi Pada Kelompok
CWT dan Kelompok Kompres Dingin
Kelompok
Mean
SD
p-value
Pretest
CWT
2,41
0,503
0,00
Kompres Dingin
2,32
0,503
0,00
Postest
CWT
1,32
0,477
0,00
Kompres Dingin
1,68
0,568
0,00
*a : Shapiro-Wilk
Berdasarkan tabel 2 dapat diketahui bahwa hasil uji normalitas data
dengan menggunakan uji shapiro-wilk didapatkan hasil bahwa seluruh data
pretest dan postest pada masing-masing kelompok baik kelompok intervensi
maupun kelompok kontrol berdistribusi tidak normal, hasil ini dapat dilihat
dari p-value yang didapatkan oleh kelompok intervensi maupun kelompok
kontrol yaitu 0,00 < 0,05, ini bermakna bahwa distribusi data tidak normal.
3. Derajat Phlebitis sebelum dan sesudah intervensi pada kelompok cwt dan
kelompok kompres dingin.
Tabel 3
Hasil Uji Homogenitas Derajat Phlebitis Sebelum dan Sesudah Intervensi Pada Kelompok
CWT Dan Kelompok Kompres Dingin
Derajat
Phlebitis
CWT
Kompres dingin
Nilai p
Pretest
Mean
SD
Mean
SD
Berdasarkan tabel 3 diketahui bahwa setelah dilakukan uji homogenitas
dengan menggunakan uji Levene’s Test didapatkan hasil tidak ada perbedaan
derajat phlebitis sebelum intervensi pada kelompok intervensi dan kelompok
kontrol dengan nilai p = 0,242 yang menandakan bahwa baseline derajat
phlebitis pada kedua kelompok berawal dari kondisi yang sama atau homogen.
Tabel 4
Distribusi frekuensi derajat phlebitis sebelum dan sesudah intervensi (n=44)
Pengukuran
CWT (n=22)
Kompres Dingin
(n=22)
f
(%)
f
(%)
Pretest
1.
Derajat 0
0
0
0
0
2.
Derajat 1
0
0
0
0
3.
Derajat 2
13
59,1
15
68,2
4.
Derajat 3
9
40,9
7
31,8
5.
Derajat 4
0
0
0
0
6.
Derajat 5
0
0
0
0
Total
22
100
22
100
Perbandingan Contrast Water Therapy dan kompres dingin terhadap derajat Phlebitis
72 Syntax Idea, Vol. 3, No 1, Januari 2021
Po
stte
st
1.
Derajat 0
0
0
0
0
2.
Derajat 1
15
68,2
8
36,4
3.
Derajat 2
7
31,8
13
59,1
4.
Derajat 3
0
0
1
4,5
5.
Derajat 4
0
0
0
0
6.
Derajat 5
0
0
0
0
Total
22
100
22
100
Ket : Ciri dan tanda Derajat Phlebitis dijelaskan pada tabel 2 tentang VIP score
Berdasarkan tabel 4 diketahui bahwa derajat phlebitis sebelum intervensi
pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol secara umum berada pada
derajat 2 dan 3, dengan distribusi pada derajat 2 (Stadium phlebitis) dengan
persentasi 59,1% untuk kelompok CWT dan 68,2% pada kelompok kompres
dingin, sedangkan pada phlebitis derajat 3 (Stadium moderat phlebitis) pada
kelompok CWT sebanyak 40,9% dan sebanyak 31,8% pada kelompok kompres
dingin. Adapun derajat phlebitis setelah intervensi pada kelompok CWT terjadi
perbaikan yaitu 15 orang responden mengalami penurunan derajat dari derajat 2
(Stadium phlebitis) menjadi derajat 1 (Mungkin tanda dini phlebitis). Hal ini
juga ditemukan pada kelompok kontrol, 8 orang mengalami perbaikan phlebitis
derajat 2 (Stadium phlebitis) menjadi derajat 1 (Mungkin tanda dini phlebitis),
namun demikian pada pasien dengan phlebitis derajat 3 (Stadium moderat
phlebitis) masih ada 1 orang yang tidak mengalami penurunan derajat phlebitis
yaitu pada pasien yang mengalami diabetes mellitus.
4. Analisis Bivariat
Analisis bivariat untuk mengetahui apakah ada perbedaan rerata derajat
phlebitis pada kelompok intervensi dengan kelompok kontrol. Karena data
berdistribusi tidak normal maka untuk analisis bivariat menggunakan uji
wilcoxon untuk mengetahui perbedaan rerata pre post test pada kelompok
intervensi dan kontrol, sedangkan untuk mengetahui perbedaan rerata derajat
phlebitis pretest dan posttest kelompok intervensi dan kontrol serta untuk
mengetahui selisih pretest dan posttest derajat phlebitis menggunakan Man
Whitney Test.
1) Perbedaan rerata skor Phlebitis Pretest pada kelompok CWT dan kelompok
kompres dingin.
Tabel 5
Perbedaan rerata skor derajat Phlebitis Pretest Posttest pada
Kelompok CWT dan kelompok kompres dingin
Derajat Phlebitis
Perbedaan derajat Phlebitis terapi
median (Rentang)
Sebelum
Sesudah
CWT
Kompres Dingin
2(2-3)
2(2-3)
1(12)
2(13)
P value
0,536a
0,031a
*a : Mann Whitney U
Edi Supriadi
Syntax Idea, Vol. 3, No 1, Januari 2021 73
Berdasarkan tabel 5 diketahui bahwa tidak ada perbedaan skor derajat
phlebitis sebelum intervensi antara kelompok CWT dengan kelompok kompres
dingin ditandai dengan nilai p = 0,536 > 0,05. Adapun skor derajat phlebitis
sesudah intervensi antara kelompok CWT dan kelompok kompres dingin
menunjukkan hasil bahwa ada perbedaan secara signifikan skor derajat phlebitis
sesudah intervensi antara kelompok CWT dan kelompok kompres dingin dengan
nilai p 0,031 < 0,05.
2) Perbedaan rerata derajat Phlebitis Pretest dan Posttest pada kelompok kompres
dingin
Tabel 6
Perbedaan rerata derajat Phlebitis Pretest dan Posttest
pada kelompok kompres dingin
Variabel
Mean
SD
Z
p
Pretest
2,32
0,477
-3,742
0,000
Posttest
1,68
0,568
Wilcoxon Signed Rank Test
Berdasarkan tabel 6 diketahui bahwa terjadi perubahan signifikan skor derajat
phlebitis sebelum dan sesudah pada kelompok kontrol dengan nilai p 0,000.
3) Perbedaan rerata derajat Phlebitis Pretest dan Posttest pada kelompok CWT
Tabel 6
Perbedaan rerata derajat Phlebitis Pretest dan Posttes
pada kelompok CWT
Variabel
Mean
SD
Z
p
Derajat
Phlebitis
Pretest
2,41
0,503
Posttest
1,32
0,477
-4,021
0,000b
Wilcoxon Signed Rank Test
Berdasarkan tabel 6 diketahui bahwa terjadi perubahan signifikan derajat
phlebitis sebelum dan sesudah intervensi pada kelompok intervensi dengan nilai
p 0,000. Keseluruhan responden pada kelompok intervensi ini tidak ada yang
mengalami kesulitan menjalani CWT selama proses penelitian. Selain itu,
seluruh responden pada kelompok intervensi tidak ada yang mengalami efek
samping setelah melaksanakan CWT selama penelitian.
4) Perbedaan selisih rerata derajat Phlebitis pada kelompok CWT dan kompres
dingin.
Untuk melihat perbedaan selisih skor derajat phlebitis pretest dan
posttest, ditunjukkan dengan Gain yang dinormalisasi (N-Gain Score), dengan
hasil sebagai berikut :
Tabel 7
Perbedaan efektifitas perlakuan CWT dan kompres dingin
Pada penurunan derajat Phlebitis
Variabel
Mean
Minimum
Maximum
CWT
-0,0112
-0,02
0
Kompres
Dingin
-0,0065
-0,01
0
Perbandingan Contrast Water Therapy dan kompres dingin terhadap derajat Phlebitis
74 Syntax Idea, Vol. 3, No 1, Januari 2021
N-Gain Score Test
Berdasarkan tabel 7 diatas menunjukkan bahwa nilai rata-rata N-Gain score
untuk kelompok intervensi -0,0112, sedangkan untuk nilai rata-rata N-Gain
score kelompok kontrol sebesar -0,0065, dengan demikian dapat diketahui
bahwa perlakuan CWT lebih efektif untuk menurunkan derajat phlebitis pada
pasien terpasang infus dibandingkan pemberian kompres dingin dengan selisih
0,0047, Analisa bivariat untuk mengetahui apakah ada perbedaan selisih rerata
derajat phlebitis pada kelompok intervensi dengan kelompok kontrol, karena
data N-Gain Score berdistribusi normal maka analisis uji bivariat untuk
mengetahui perbedaan selisih N-Gain Score rerata derajat phlebitis pretest dan
posttest menggunakan uji t independet.
Tabel 8
Perbedaan selisih rerata derajat Phlebitis pada kelompok CWT dan
kelompok kompres dingin
*a : Independent t-test
Berdasarkan tabel 8 diketahui bahwa terdapat perbedaan selisih mean
derajat phlebitis sebelum dan sesudah intervensi pada kelompok intervensi dan
kelompok kontrol. Nilai mean kelompok intervensi dan kontrol bernilai negatif
yang artinya terjadi penurunan derajat phlebitis setelah intervensi, dimana pada
kelompok intervensi penurunan derajat phlebitis ke arah yang lebih baik rata-
rata 0,011. Angka ini lebih besar dibandingkan penurunan derajat phlebitis pada
kelompok kontrol yang hanya 0,006 dengan demikian terdapat selisih perbedaan
penurunan derajat phlebitis rata-rata sebesar 0,005. Secara statistik, terdapat
perbedaan secara signifikan selisih derajat phlebitis antara kelompok intervensi
dengan kelompok kontrol (p=0,026).
5) Analisis perbedaan waktu posttest pada kelompok CWT dan kompres dingin
terhadap perubahan derajat Phlebitis
Analisis data ini memiliki tujuan untuk mengetahui pola pengaruh intervensi
Contrast Water Therapy dan Kompres dingin yang diberikan dari waktu ke
waktu. Uji Friedman karena distribusi data tidak normal, uji Friedman
digunakan untuk melihat pada perlakuan keberapa intervensi Contrast Water
Therapy dapat berpengaruh terhadap derajat phlebitis di kelompok intervensi
seperti ditunjukan pada tabel dibawah ini:
Variabel
∆ Mean
SD
t
p
Derajat
Phlebitis
-0,011
0,006
-2,300
0,026a
Kompres
Dingin
-0.006
0,005
-2,300
Edi Supriadi
Syntax Idea, Vol. 3, No 1, Januari 2021 75
Tabel 9
Hasil Uji Friedman Tentang Derajat Phlebitis Posttest pada
CWT Kesatu sampai dengan Keempat
Perlakuan
intervensi
Contrast Water
∆ Mean
SD
Minimum
Maximum
p
Therapy
ke-
1
2,409
0,503
2
3
2
2,409
0,503
2
3
0,000
3
1,909
0,526
1
2
4
1,318
0,477
1
2
Berdasarkan tabel 9 diketahui bahwa mulai penurunan derajat flebititis pada
responden mulai terjadi pada perlakukan yang ke-tiga, ini berarti pemberian
Contrast Water Therapy berpengaruh terhadap penurunan derajat phlebitis pada
pasien terpasang infus, hal ini dibuktikan dengan hasil uji friedman yang
menunjukkan bahwa nilai p 0,000 < 0,05, yang berarti terdapat pengaruh
pemberian Contrast Water Therapy terhadap penurunan derajat phlebitis.
Tabel 10
Hasil uji Friedman Tentang Derajat Phlebitis posttest pada
Kompres Dingin Kesatu sampai dengan Keenam
Perlakuan intervensi
Kompres
Dingin ke-
∆ Mean
SD
Minimum
Maximum
p
1
2,32
0,477
2
3
2
2,36
0,492
2
3
3
2,36
0,492
2
3
0,000
4
2,45
0,510
2
3
5
1,95
0,635
1
3
6
1,68
0,568
1
3
Berdasarkan tabel 10 diketahui bahwa mulai penurunan derajat flebititis dan
tidak mengalami peningkatan derajat lagi mulai terjadi pada perlakukan yang
kelima, ini berarti pemberian kompres dingin berpengaruh terhadap penurunan d
erajat phlebitis pada pasien terpasang infus, hal ini dibuktikan dengan hasil uji
friedman yang menunjukkan bahwa nilai p 0,000 < 0,05, yang berarti
terdapat pengaruh pemberian kompres dingin terhadap penurunan derajat
phlebitis.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka kesimpulan dalam
penelitian ini adalah kedua intervensi baik CWT maupun kompres dingin sama-sama
efektif dalam menurunkan derajat phlebitis, namun intervensi CWT lebih efektif dan
lebih cepat menurunkan derajat phlebitis pada pasien yang terpasang infus bila
dibandingkan dengan kompres dingin. Hal ini ditunjukan dengan hasil penelitian
dimana selisih mean penurunan derajat phlebitis ke arah yang lebih baik pada
Perbandingan Contrast Water Therapy dan kompres dingin terhadap derajat Phlebitis
76 Syntax Idea, Vol. 3, No 1, Januari 2021
kelompok intervensi lebih besar dibandingkan penurunan derajat phlebitis pada
kelompok kontrol yang menggunakan kompres dingin.
Secara umum hasil penelitian ini menunjukan bahwa CWT lebih efektif dalam
menurunkan derajat phlebitis bila dibandingkan dengan kompres dingin. Hal ini dapat
dilihat dari efektifitas frekuensi dan waktu intervensi hingga terjadinya penurunan
derajat phlebitis, dimana untuk intervensi CWT, penurunan derajat phlebitis terjadi
setelah perlakuan ke tiga pada hari ke dua, sedangkan intervensi kompres dingin dapat
menurunkan derajat phlebitis pada hari ke dua pada perlakuan yang ke enam
BIBLIOGRAFI
Annisa, Fitri, Nurhaeni, Nani, & Wanda, Dessie. (2017). Warm water compress as an
alternative for decreasing the degree of phlebitis. Comprehensive Child and
Adolescent Nursing, 40(sup1), 107113.
Apriyani, Ria Khoirunnisa, & Yanti, Lisma. (2018). Analisis Kuantitatif TATA ruang
rawat inap penyakit dalam guna mencapai kepuasan pasien di Rumah Sakit Dustira
TK. II Kota Cimahi. Jurnal INFOKES (Informasi Kesehatan), 2(2), 8393.
Arovah, Novita Intan. (2010). Dasar-dasar fisioterapi pada cedera olahraga. Yogyakarta:
FIK UNY.
Bansal, Ramesh, & Sen, Rajeev. (2008). Bilateral Beckers nevi. Indian Journal of
Dermatology, Venereology, and Leprology, 74(1), 73.
Berman, Audrey, Shirlee, S., Barbara, K., & Glenora, E. (2009). Buku Ajar
Keperawatan Klinis (5th ed.). Jakarta: EGC.
Braun, B. I., Kritchevsky, S. B., Wong, E. S., Solomon, L., Steele, L., Richards, C. L.,
& Steele, L. (2014). Preventing Central Venous CatheterAssociated Primary
Bloodstream Infections: Characteristics of Practices Among Hospitals
Participating in the Evaluation of Processes and Indicators in Infection Control
(EPIC) Study, (May).
Corrigan, Ann, Gorski, Lisa, Hankins, Judy, Perucca, Roxanne, & Alexander, Mary.
(2009). Infusion nursing: An evidence-based approach. Elsevier Health Sciences.
Denton, A., Bodenham, A., & Conquest, A. (2016). Standards for infusion therapy.
Royal College of Nursing, 41.
Dougherty, Lisa. (2008). Obtaining peripheral venous access. Intravenous Therapy in
Nursing Practice, 225270.
Dykstra, Joseph H., Hill, Holly M., Miller, Michael G., Cheatham, Christopher C.,
Michael, Timothy J., & Baker, Robert J. (2009). Comparisons of cubed ice,
crushed ice, and wetted ice on intramuscular and surface temperature changes.
Journal of Athletic Training, 44(2), 136141.
Edi Supriadi
Syntax Idea, Vol. 3, No 1, Januari 2021 77
Fiscus, Kimberly A., Kaminski, Thomas W., & Powers, Michael E. (2005). Changes in
lower-leg blood flow during warm-, cold-, and contrast-water therapy. Archives of
Physical Medicine and Rehabilitation, 86(7), 14041410.
Ganji, Zhila, Shirvani, Marjan A., Rezaei-Abhari, Farideh, & Danesh, Mahmonir.
(2013). The effect of intermittent local heat and cold on labor pain and child birth
outcome. Iranian Journal of Nursing and Midwifery Research, 18(4), 298.
Gauttam, Vijay Kumar, & Vati, Jogindra. (2016). A study to assess and compare the
effectiveness of moist heat versus ice packs application in reducing the signs and
symptoms of intravenous cannulation induced thrombophlebitis among patients
admitted in civil hospital of Dausa District, Rajasthan. IRA-International Journal
of Applied Sciences, 3(3), 410423.
Gorski, Lisa A. (2018). Phillipss Manual of IV Therapeutics: Evidence-Based Practice
for Infusion Therapy. FA Davis.
Hopkins, J. (2015). Thrombophlebitis. Retrieved from//www.hopskinmedicine.org/se/ut
il/display_mod.cfm
Jayanti, Aprilia Eka Suci, Kristiyawati, Sri Puguh, & Purnomo, S. Eko Ch. (2013).
Perbedaan efektivitas kompres hangat dan kompres alkohol terhadap penurunan
nyeri Plebitis pada pemasangan infus di Rsud Tugurejo Semarang. Karya Ilmiah.
Kenimak, Francis M. (2019). Bacterial and Fungal Isolates From Operating Theatres
at Kenyatta National Hospital. university of nairobi.
LaRue, Guy D., & Martin, Peterson. (2011). The impact of dilution on intravenous
therapy. Journal of Infusion Nursing, 34(2), 117123.
Schorr, M., Manzanelli, P., & Basualdo, E. (2012). Elite empresaria y régimen
económico en la Argentina. Las grandes firmas en la posconvertibilidad.
Documento de trabajo, 22.
Meira, Lisiane B., Bugni, James M., Green, Stephanie L., Lee, Chung Wei, Pang, Bo,
Borenshtein, Diana, Rickman, Barry H., Rogers, Arlin B., Moroski-Erkul,
Catherine A., & McFaline, Jose L. (2008). DNA damage induced by chronic
inflammation contributes to colon carcinogenesis in mice. The Journal of Clinical
Investigation, 118(7), 25162525.
Milutinović, Dragana, Simin, Dragana, & Zec, Davor. (2015). Risk factor for phlebitis:
a questionnaire study of nurses perception. Revista Latino-Americana de
Enfermagem, 23(4), 677684.
Neopane, A. (2013). Peripheral venous thrombophlebitis risk and the role of hand
washing. Nepal Journal of Medical Sciences, 2(1), 2629.
Nurjanah, Nunung. (2011). Studi komparasi efektivitas kompres normal salin dan air
Perbandingan Contrast Water Therapy dan kompres dingin terhadap derajat Phlebitis
78 Syntax Idea, Vol. 3, No 1, Januari 2021
hangat terhadap derajat flebitis pada anak yang dilakukan pemasangan infus di
Rsup Dr. Hasan Sadikin Bandung. Hasan Sadikin Bandung. Tersedia Pada:
Http://Www. Stikesayani. Ac. Id.
Nursalam, Dr. (2014). Manajemen Keperawatan" Aplikasi dalam Praktik Keperawatan
Profesional. Salemba Medika.
Pasalioglu, Kadriye Burcu, & Kaya, Hatice. (2014). Catheter indwell time and phlebitis
development during peripheral intravenous catheter administration. Pakistan
Journal of Medical Sciences, 30(4), 725.
Petrofsky, Jerrold, Lohman III, Everett, Lee, Scott, Cuesta, Zaldy de la, Labial, Louie,
Iouciulescu, Raluca, Moseley, Brian, Korson, Rachel, & Malty, Abdul Al. (2007).
Effects of contrast baths on skin blood flow on the dorsal and plantar foot in people
with type 2 diabetes and age-matched controls. Physiotherapy Theory and
Practice, 23(4), 189197.
Potter, A., & Perry, A. (2012). Fundamental Keperawatan (7th ed.). Jakarta: EGC.
Pratiwi, N. (2014). Gambaran Kejadian Trombophlebitis Pasien Rawat Inap di Ruang
11 Bagian Penyakit Dalam Rumah Sakit Dustira. Cimahi.
Purwaningsih, Sri, Salamah, Ella, & Budiarti, Tika A. (2014). Formulasi Skin Lotion
Dengan Penambahan Karagenan Dan Antioksidan Alami Dari Rhizophora
Mucronata Lamk. Jurnal Akuatika, 5(1).
Rizky, Wahyu, & Supriyatiningsih, Supriyatiningsih. (2016). Surveillance Kejadian
Phlebitis pada Pemasangan Kateter Intravena pada Pasien Rawat Inap di Rumah
Sakit Ar. Bunda Prabumulih. Jurnal Ners Dan Kebidanan Indonesia, 2(1), 4249.
Rumpf, H. (1990). The characteristics of systems and their changes of state disperse.
Part. Technol., Chapman and Hall, 854.
Saryono. (2011). Metodologi penelitian keperawatan. Purwokerto: UPT. Percetakan
dan Penerbitan Unsoed.
Sharma, Anil. (2016). Effectiveness of Cold Application, Heparinoid Application &
Megnesium-sulphate Application on Superficial Thrombophlebitis-Literature
Review. International Journal of Nursing Education, 8(2), 12.
Shih, Chiao Yu, Lee, Wen Li, Lee, Chih Wei, Huang, Chien Hui, & Wu, Yu Zu. (2012).
Effect of time ratio of heat to cold on brachial artery blood velocity during contrast
baths. Physical Therapy, 92(3), 448453.
Sri Wahyuni, Nurul. (2014). The Efeectiveness Of Hot Compress Toward Pain
Reduction Due To Phlebitis Caused By Intravenus Line Set Up In Malang And
Ponorogo, East-Java Indonesia. IOSR-JOURNAL, 3(4), 2831.
Edi Supriadi
Syntax Idea, Vol. 3, No 1, Januari 2021 79
Tamsuri, A. (2012). Konsep dan Penatalaksanaan Nyeri. Jakarta: EGC.
Tietjen, Linda, Bossmeyer, Debora, & Mcintosh, Noel. (2010). Panduan Pencegahan
Infeksi untuk Fasilitas Pelayanan Kesehatan Dengan Sumber Daya Terbatas,
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiharjo. Jakarta.
Viatra, Aji Windu, & Triyanto, Slamet. (2014). Seni Kerajinan Songket Kampoeng
Tenundi Indralaya, Palembang. Ekspresi Seni: Jurnal Ilmu Pengetahuan Dan
Karya Seni, 16(2), 168183.
Webster, Joan, McGrail, Matthew, Marsh, Nicole, Wallis, Marianne C., Ray-Barruel,
Gillian, & Rickard, Claire M. (2015). Postinfusion phlebitis: incidence and risk
factors. Nursing Research and Practice, 2015.
Weerasekara, RMIM, Tennakoon, S. U. B., & Suraweera, H. J. (2016). Contrast therapy
and heat therapy in subacute stage of grade I and II lateral ankle sprains. Foot &
Ankle Specialist, 9(4), 307323.
Wood, M., & Rosskerr, J. C. (2011). Basic Steps in Planning Nursing Research (7th
ed.). Amerika: Jones and Bartlett Publishers.