191
Syntax Idea: pISSN: 2684-6853 e-ISSN: 2684-883X
Vol. 3, No. 1, Januari 2021
AL-HIWALAH DAN IMPLEMENTASINYA PADA PERBANKAN SYARIAH
DI TINJAU DARI KAIDAH FIQIH
Neni Hardiati dan Januri
Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung Jawa Barat,Indonesia
Abstract
Hiwalah means a contract of help or tabarru, hiwalah is effectively applied to
Islamic banking because there are rules contained therein, which provide benefits
between the customer and the bank. This hiwalah activity requires fees from the first
party to the second party the bank as a third party. Tabarru means giving sincerity
from one individual to another without any imbalance affecting the ownership of the
given person. Tabarru is carried out in providing assistance to individuals who are
in conditions of economic difficulty, or to a social or religious institution that needs
funds for the progress of society and religion. Therefore, tabarru 'is highly
recommended in Islamic law. However, in a bank, there are services that are agreed
upon as a risk from accounts payable, namely between the customer and the bank
institution. Hiwalah activity itself means that activities on the responsibility of a
muhil or in banking are called debtors to people who are obliged to pay debts that
have such debts. Technically, Islamic banking is based on sharia principles in
helping each other to ease the burden on parties who are having difficulty paying
their debts, so as not to interfere with the financial cycle of economic activities in
society. In transferring funds, this must be avoided from ribawi. In this article, we
use literature study in al-hiwalah activities in Islamic banking according to fiqh
principles.
Keywords: Al-Hiwalah; Islamic banking; fiqh principles
Abstrak
Hiwalah sendiri merupakan akad tolong menolong atau tabarru, hiwalah efektif
diterapkan pada perbankan Syariah sebab ada kaidah yang terkandung di dalamnya
yaitu yang memberikan manfaat antara nasabah dan bank. Kegiatan hiwalah ini
yakni menanggung utang dari pihak pertama kepada pihak kedua sementara bank
sebagai pihak ketiga. Tabarru ialah memberikan keikhlasan dari individu satu pada
individu lain tanpa ada imbalan yang berimbas perpindahan kepemilikan harta itu
dari pemberi terhadap orang yang diberi. Tabarru dilaksanakn dalam memberikan
bantuan kepada individu yang dalam kondisi kesusahan ekonomi, atau suatu
lembaga sosial atau keagamaan yang membutuhkan dana bagi kemajuan masyarkat
dan agama. Sebab itu, tabarru’ sangat dianjurkan dalam syariat Islam. Namun
dalam bank adanya jasa yang disepakati sebagai resiko dari utang piutang, yakni
antara nasabah dan lembaga bank. Kegiatan Hiwalah sendiri ialah kegiatan dalam
menanggung tanggungan seorang muhil atau dalam perbankan disebut debitur
kepada orang yang berkewajiban dalam membayar utang yang memiliki utang
tersebut. Pada perbankan Syariah teknisnya didasarkan pada prinsip-prinsip syariah
Neni Hardiati dan Januri
192 Syntax Idea, Vol. 3, No 1, Januari 2021
dalam saling tolong menolong untuk meringankan beban pihak yang sedang
memiliki kesulitan dalam membayar utangnya, sehingga tidak mengganggu
perputaran keuangan dalam kegiatan perekonomian di masyarakat. Dalam
pengalihan dana hal ini harus terhindar dari ribawi. Pada penulisan artikel ini
menggunakan studi pustaka dalam menganalisis kegiatan al-hiwalah dalam
perbankan syariah sesuai kaidah fiqih.
Kata kunci: Al-Hiwalah; perbankan syariah; kaidah fiqh
Pendahuluan
Kehidupan manusia di dunia tidak lepas dalam berinteraksi dengan manusia
lainnya guna mempermudah kehidupan bermuamalah sebagaimana tujuan utama
syariah. Islam sebagai pandangan hidup yang selaras dan terpadu, di rancang agar dapat
menghantarkan pada falah manusia melalui terciptanya keharmonisan di antara hajat
manusia yaitu terkait moral, materil maupun pelaksanaan keadilan di masyarakat
sebagai kegiatan tolong menolong. Pembangunan ekonomi berdasarkan ajaran Islam
yang bersumber dari kajian mengenai ekonomi dalam Al-Quran, hadist, maupun sejarah
Islam. Di antara produk pemikiran ekonomi yang diterapkan pada dunia bank Syariah
yaitu Al-Hiwalah atau yang lebih dikenal dalam masyarakat yaitu konsep pengalihan
utang (Siswanto, 2017). Prinsip hiwalah yaitu dari pihak bank membuat jasa
tanggungan pemindahan piutang yang dilakukan oleh nasabah kepada pihak lain. Sebab
hal ini, bank syariah memiliki terobosan dalam kegiatannya agar terhindar dari riba,
gharar maupun maisyir dalam menciptakan produknya, salah satunya al hiwalah sebagai
produk jasa alternatif dalam keuangan syariah (T. Abrar, 2017). Sebagai umat manusia
di muka bumi tidak akan terhidar dari namanya kebutuhan yang beraneka macam, Di
antara manusia tersebut ada yang mampu menghidupi kebutuhannya dan ada pula yang
tidak mencukupi. Bagi yang belum terpenuhi keperluannya, salah satu caranya melalui
kegiatan berhutang. Seorang yang berhutang harus membayar utangnya sesuai
perjanjian yang disepakati bersama. Namun masalah yang saat ini banyak sekali orang
yang berhutang menunda-nunda pembayarannya sehingga merugikan orang lain, karena
dengan adanya penundaan tersebut apalagi tanpa alasan akan menghambat kegiatan
perekonomian yang serius. Sehingga akan ada kedzaliman di dalamnya, maka dari itu
melunasi utang adalah suatu kewajiban. Sebab hal ini akan menjadi dasar sebuah
kepercayaan. Islam memiliki solusi dalam hal ini yaitu dengan dasar keadilan dan
menghilangkan kedzaliman dan saling menjalimi di antara penghutang dan pemberi
utang, solusi dari masalah tersebut yaitu dengan proses hawalah (Nizaruddin, 2013).
Dalam perbankan masalah yang sering timbul adalah adanya kredit macet. Solusi dalam
hal ini dengan memindahkan utangnya kepada pihak ketiga namun harus dengan
persetujuan pihak pemberi utang (Syahpawi, 2012). Teknis pengalihan utang di bank
syariah ini sesuai dengan fatwa Nomor 12/DSN/-MUI/IV/2000 mengenai Hiwalah,
bahwasanya ijab dan qabul wajib di buat para pihak dalam melaksanakan akad. Secara
general dalam pelaksanaan hawalah yaitu membantu supplier [pemasok] dalam
Al-Hiwalah dan implemenstasinya pada perbankan syariah di tinjau dari kaidah fiqih
Syntax Idea, Vol. 3, No 1, Januari 2021 193
menghasilkan modal tunai supaya bisa melanjutkan usahanya. Dalam hal ini bank
menghasilkan ganti biaya atas pemindahan utang (M.Rizki Naufal, 2018).
Sesuai uraian di atas penulis ingin mendefinisikan terkait al hiwalah dalam sistem
perbankan Syariah. Dalam bank syariah risiko tebesar ada pada penyaluran dana seperti
pembiyaan. Sebab semakin tinggi pembiayaan bermasalah di lembaga perbankan
syariah semakin tinggi juga pihak bank dalam menangani kasus tersebut, masalah
tersebut bisa dari lembaga sendiri maupun dari nasabahnya. Contoh dari pihak bank
dalam pembiyaan di khawatirkan kurang teliti dalam menganalisis sehingga ada
kemungkinan seperti pemalsuan data. Bagi nasabah dalam masalah pembiyaan sering
terjadi karena tidak mampu lagi membayar atau sudah bangkrut dan tidak ada itikad
baik dalam membayar angsuran tersebut pihak bank. Adanya hawalah memiliki peranan
penting dimasa sekarang tidak terkecuali dalam dunia perbankan khususnya bank
syariah yang dalam kegiatannya menggunakan prinsip kehati-hatian. (Toyyibi, 2019).
Hiwalah di syariatkan oleh Islam dan dibolehkan sebab ada maslahat memabntu dan
memudahkan dalam kegiatan muamalah. Hiwalah juga termasuk bukti saling tolong
menolong terhadap sesama. Dalam Imam Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah
bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Menunda membayar utang bagi orang yang mampu adalah kezaliman dan jika
seseorang dari kalian utangnya di pindahkan kepada orang mampu, hendaknya dia
terima”.
Dari hadist tersebut Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengintruksikan supaya
pemberi utang bila diminta oleh pengutangnya menagih pada yang kaya agar ia
meminta haknya pada orang yang di hiwalahkan kepadanya sehingga haknya tercukupi.
Namun apabila pengutang mengalihkan utannya terhadap orang yang sudah bangkrut
sehingga pemberi pinjaman berhak memindahkan penagihan pada si pengutang
pertama.Firman menerima pemindahan utang menurut sebagian ulama ialah wajib,
tetapi jumhur ulama memiliki pendapat hukumnya sunah. Ada pula yang beropini
bahwasanya hiwalah itu tidak sejalan dengan qiyas sebab hal tersebut sama dengan jual
beli utang, sementara jual beli utang itu dilarang. Namun pendapat ini dibantah oleh
Ibnul Qayyim, beliau mendefinisikan hiwalah bahwasanya hiwalah itu sejalan dengan
qiyas, sebab masuk ke dalam jenis pemenuhan hak bukan jual beli. Ibdul Qayyim
mengemukakan “jika itu jual beli utang dengan utang, tetapi secara syara tidak
melarangnya bahkan kaidah-kaidah syara membolehkannya. Sehingga timbul rumusan
masalahnya yaitu apakah yang dimaksud hiwalah dan apa bisa diterapkan pada
perbankan Syariah? Hiwalah sendiri termasuk Akad Tabarru’ (gratuitous contract)
yakni perjanjian dalam suatu transaksi yang tidak ditujukan untuk memperoleh laba
(transaksi nirlaba). Tujuan dari transaksi ini adalah tolong menolong dalam rangka
berbuat kebaikan (Nurhayati, 2013). Sesuai kaidah fiqh berikut ini:




Neni Hardiati dan Januri
194 Syntax Idea, Vol. 3, No 1, Januari 2021
Setiap utang piutang yang mendatangkan manfaat (untung yang berpiutang)
adalah riba yaitu haram.

“Tidaklah sempurna ‘aqad tabarru’ kecuali
setelah diserahkan, (sebelum diminta sudah diserahkan).
Dasar Qaidah :
a. Al-Qur’an surah al-Maidah ayat 1:







Hai orang-orang yang beriman penuhilah akad-akad itu.
Akad hiwalah ini masuk ke dalam akad tabarru atau akad tolong menolong.
Tabarru ialah memberikan keikhlasan dari individu satu pada individu lain tanpa ada
imbalan yang berimbas perpindahan kepemilikan harta itu dari pemberi terhadap
orang yang diberi. Tabarru dilaksanakn dalam memberikan bantuan kepada individu
yang dalam kondisi kesusahan ekonomi, atau suatu lembaga sosial atau keagamaan
yang membutuhkan dana bagi kemajuan masyarkat dan agama. Sebab itu, tabarru’
sangat dianjurkan dalam syariat Islam (Azhari, 2015).
Metode Penelitian
Metode yang digunakan oleh penulis dalam penulisan artikel ini adalah metode
kajian literature. Kajian literatur adalah cara yang dipakai untuk menghimpun data-data
atau sumber-sumber yang berhubungan dengan topik yang diangkat dalam suatu
penelitian. Studi literatur bisa didapat dari berbagai sumber seperti jurnal, buku
dokumentasi, internet dan pustaka, dan lain-lain. Dalam penulisan artikel ini, studi
literatur yang dilakukan oleh penulis yaitu dengan melakukan pencarian terhadap
berbagai sumber tertulis, baik berupa buku-buku, arsip, majalah, artikel, dan jurnal, atau
dokumen-dokumen yang relevan dengan permasalahan yang dikaji. Kegiatan penunjang
yang dilakukan dalam melakukan kajian literature ini meliputi mencari, membaca, dan
menelaah pendapat pendapat dari para ahli dan bahan pustaka yang memuat teori-teori
yang relevan yang di lakukan dengan cara mengumpulkan, menganalisis buku, karya
ilmiah dan dokumen terkait seperti tesis dan jurnal yang berkaitan dengan hiwalah
maupun perbankan syariah. Langkah-langkah yang di laksanakan dalam studi pustaka
ini adalah mereduksi data dalam bentuk editing dan meringkas guna mendapat kan data
utama mengenai intisari artikel, penyajian data, penarikan kesimpulan, verifikasi dan
penelaahan terhadap data yang di peroleh agar dapat menarik hasil dengan benar
(Sugiyono, 2015).
Al-Hiwalah dan implemenstasinya pada perbankan syariah di tinjau dari kaidah fiqih
Syntax Idea, Vol. 3, No 1, Januari 2021 195
Hasil dan Pembahasan
1. Definisi Hiwalah
Al-hiwalah secara verbal memiliki arti al-intiqal atau pindah, yang di lafazkan
dengan Hala 'ani 'ahdi, [berpindah, berpaling, berbalik dari janji], sementara dalam
istilah, definisi al-hiwalah menurut para ulama Hanafiyah ialah memindah [al-Naqlu]
penagihan dari yang memiliki tanggungan pihak yang memiliki utang [al-Madin]
untuk tanggungan pihak al-Multazim atau yang wajib membayar utang, hal ini
disebut al- Muhal alaihi. Hal ini memiliki perbedaan dengan al-kafalah yang
memiliki arti ialah Dham-mu atau menggabungkan tanggungan di dalam tuntutan
atau penagihan, bukan memindah [al-Naqlu]. Sebab itu, melalui al-hiwalah menurut
kesepakatan ulama, dalam hal ini pihak berhutang atau al- muhil tidak di tagih lagi
(Wulandari, 2019). Lalu, timbul sebuah pertanyaan apakah utang yang ada pun
berpindah pula? Dalam persoalan ini, para imam madzhab Hanafi memiliki pendapat
berbeda, akan tetapi yang shahih ialah bahwasanya utang yang dimiliki pun ikut
berpindah. Maka dari itu, pengarang kitab, “al-„Inayah,” mendefiniskan al-hiwalah
yaitu menurut istilah ulama fiqh ialah memindahkan (alTahwil) utang dari
tanggungan pihak ashil (dalam hal ini ialah al-Muhil) ke tanggungan pihak al-
Muhal„ alaihi dalam bentuk al-Tawatstsuq (penguatan, penjaminan).Menurut Maliki,
Syafi’i, dan Hanbali, "al-hiwalah" ialah pengalihan atau pemindahan hak dalam
menuntut pembayaran utang dari satu pihak kepada pihak yang lain (Syahpawi,
2012). Sedangkan definisi Al- Hiwalah bagi para Ulama’ berbeda- beda dalam
mendefinisikannya, antara lain sebagai berikut:
Secara umum para ulama mendefinisikan dalam bahasa AL-Hiwalah ialah al-
intiqal dan al-tahwil maksudnya yakni memindahkan atau mengoperkan. Maka
Abdur Rahman Al Jaziri beropini bahwasanya yang dimaksud dengan hiwalah dalam
bahasa yakni “Pemindahan dari suatu tempat ke tempat yang lain”. Sebaliknya
penafsiran hiwalah menurut istilah, para ulama memiliki perbedaan opini dalam
mendefinisikannya antara lain (Suhendi, 2010).
a. Menurut Hanafiyah, hiwalah memiliki arti yakni: “Memindahkan tagihan dari
tanggungan pemilik utang terhadap yang wajib menanggungnya.
b. Menurut Syafi’i, Maliki dan Hanbali, hiwalah yakni: “memindahkan hak dalam
pembayaran utang dari seseorang kepada orang lain.
c. Al Jaziri mendefinikan hiwalah ialah: Utang tanggungan seseorang di alihkan
pada pihak lain sebagai tanggungjawabnya.
d. Syihab Al Din Al Qalyubi mendefinisikan hiwalah yakni: “perjanjian dalam
memindahkan utang seseorang terhadap orang lain.
e. Menurut Sayyid Sabiq, hiwalah ialah dipindahkannya tanggungan dari muhil
menjadi tanggung jawab muhal’alaih.
f. Menurut Idris Ahmad,dalam mendefinisikan hiwalah yakni suatu akad (ijab
Kabul) memindahkan utang yang ditanggung seseorang karena memiliki utang
terhadap pihak lain, yakni orang lain itu memiliki utang juga kepada yang
mengalihkannya.
Neni Hardiati dan Januri
196 Syntax Idea, Vol. 3, No 1, Januari 2021
Sehingga dapat disimpulkan menurut berbagai ulama bahwasanya Hiwalah
itu ialah pemindahan utang oleh orang yang memiliki utang bagi pihak lain yang
harus menanggungnya. Hal ini akan berlangsung pula pemindahan tanggung jawab
hak dari pihak satu untuk orang lain yang sehrausnya menanggungnya ( Nizaruddin,
2013).
Sehingga penulis dapat kesimpulan bahwa hiwalah memiliki arti pemindahan
utang baik berupa hak untuk di pindahkan pembayarannya dalam hal ini kewajiban
dalam mendapatkan pembayaran utang dari pihak lain yang memiliki utang dan
piutang dengan saling amanah dan sesuai kesepakatan bersama.
Contohnya : Ana sebagai muhal atau yang memberikan pinjaman kepada Bani
sebagai (muhil), sementara Bani masih memiliki piutang terhadap Ceni sebagai
(muhal ‘alaih). Namun karena Bani tidak dapat membayar utangnya pada Ana, ia
memindahkan beban utang tersebut kepada Ceni. Setelah Ceni membayar utang
Bani kepada Ana, sehingga utang Ceni sebelumnya yang ada pada Bani dianggap
selesai. Sesuai dengan kadiah fiqih berikut ini:
 [ Pengikut itu mengikuti ]
Qaidah tersebut di atas, tujuannya yaitu sesuatu yang pada zatnya mengikut
pada yang lain, sehingga hukumnya juga mengikut terhadap yang diikuti. Oleh
karenanya pengikut itu ialah bagian dari sesuatu yang diikuti, atau bagian itu
mempunyai ikatan dalam proses terjadinya. Seperti anak hewan yang dalam
kandungan induknya, atau kunci dengan anak kuncinya. Secara sederhana makna
kaidah



yakni
segala sesuatu yang berstatus sebagai pengikut (tabi’) secara hukum wajib mengikuti
pada sesuatu yang diikuti. Hal ini juga bermakna jika menghendaki dalam qaidah ini
tentang sesuatu yang mengikuti, perlu kiranya identifikasi sesuatu yang dianggap
sebagai pengikut.
Qaidah tersebut di atas, juga menurunkan qaidah
yang berbunyi:






(sesuatu yang mengikuti tidak boleh mendahului sesuatu yang diikuti).
Qaidah ini menandaskan bahwa yang menjadi panutan senantiasa harus di
dahulukandan diprioritaskan, sedangkan pengikut harus harus setelahnya. Aplikasi
qaidah ini sangat banyak dalam kitab fiqh yang ada, di antaranya hukum utang
piutang dengan syarat gadai diperbolehkan dengan syarat dalam
Al-Hiwalah dan implemenstasinya pada perbankan syariah di tinjau dari kaidah fiqih
Syntax Idea, Vol. 3, No 1, Januari 2021 197
Dasar Hukum Kaidah Hiwalah
a. Al-Qur’an
Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesulitan, Maka berilah tangguh
sampai Dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu,
lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui (Q.S. Al-Baqarah : 280)”.
b. Hadits
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairoh, bahwasanya
Rasulullah SAW, bersabda:
“Melambatkan membayar utang hukum yang diperbuat oleh orang mampu ialah
perbuatan zalim. Namun jika salah satu dari nkamu dipindahkan kepada orang
yang mudah membayar hutang, sehingga segeralah ia beralih (diterima
pemindhaan tersebut)(HR al-Bukhari dan Muslim).
c. Ijma
Para ulama sependapat dalam membolehkan kegiatan hawalah. Hawalah
diperbolehkan untuk utang yang bukan wujud barang/ benda, sebab hawalah
ialah pengalihan utang, oleh karena itu wajib dibayar oleh yang memiliki
kewajiban dan mampu secara finansial.
d. Hukum Positif
Hiwalah terdapat pada sebuah produk bank syariah tyang berdasarkan
Undang-Undang No.21 tahun 2008, yakni pada pasal 19 ayat 1 menjelaskan
bahwa dalam kegiatan usaha bank umum syariah melaksanakan pengambilahian
utang yang di dasarkan pada akad hiwalah atau lain yang sesuai prinsip syariah.
2. Rukun dan Syarat dalam Hiwalah
a. Rukun Hiwalah
Menurut mazhab Hanafi rukun dalam hiwalah boleh hanya ijab dan qabul,
yakni ijab ialah pernyataan melaksanakan dalam kegiatan hiwalah dari pihak
kesatu, dan qabul dari pihak kedua dua maupun pihak ke tiga sebagai
pernyataan menerima kegiatan hiwalah.
Menurut tiga mazhab lainnya seperti Maliki, Syafi’i dan Hambali
mendefinisikan rukun hiwalah menjadi enam kategori yakni:
a. Pihak kesatu, muhil ilalah individu yang memiliki utang dan
sekaligus pihak yang berpiutang,
b. Kedua, muhal atau muhtal ialah yang memberikan utang
kepada seseorang yang memiliki utang.
c. Ketiga muhal alaih ialah seseorang yang memiliki utang kepada
pihak kedua dan wajib membayar hutang kepada yang memebrikan utang
Neni Hardiati dan Januri
198 Syntax Idea, Vol. 3, No 1, Januari 2021
atau pihak ketiga.
d. Memiliki utang dari pihak kesatu kepada pihak kedua, muhal bih
ialah utang pihak kesatu atau muhil kepada pihak kedua atau muhtal.
e. Adanya utang dari muhal alaih terhadap muhal, dan utang muhal ‘alaih
kepada muhil.
f. Ada pernyataan hiwalah atau sighoh.
Pernyatannya jika di umpamkan Ana
(muhil) berhutang dengan Bani (muhal) dan Ana berpiutang dengan Ceni
(muhal alaih), jadi Ana seseorang yang berhutang dan berpiutang , Bani
hanya berpiutang dan Ceni hanya berhutang. Selanjutnya Ana memiliki
persetujuan kepada Bani menyuruh Ceni menanggung utangnya terhadap
Bani, kemudian terjadi perjanjian hiwalah, terbebaslah Ana dari utangnya
pada Bani, sehingga Ceni tidak berhutang kepada Ana, karena utangnya pada
Ana, sudah mengalihkan pada Bani dengan begitu Ceni wajib bayar utangnya
tersebut pada Bani tidak lagi pada Ana (Toyyibi, 2019).
b. Syarat-Syarat Hiwalah
Berikut syarat-syarat hiwalah yang dikemukan Hanafiyah oleh Al-Jaziri
1978:212 dalam (Sudiarti, 2018) yakni:
a. Muhil ialah sesorang yang mengalihkan utang. Muhil wajib sudah balig
serta berakal, namun jika dilakukan muhil masih anak kecil berakibat batal
atau tidak sah.
b. Muhtal yakni individu yang menerima hiwalah. Muhtal wajib individu yang
berakal dan sudah mampu secara hukum, jadi jika dibuat oleh yang tidak
berakal atau gila maka hiwalahnya tidak sah.
c. Muhal'alaih ialah seseorang yang dihiwalahi, pun syartatnya jug sama harus
memiliki kewarasan serta meridoi.
d. Terdapat utang Muhil terhadap Muhal alaih serta Muhtal terhadap Muhil.
e. Sehingga syarat-syarat hiwalah yang berkaitan dengan utang yang di alihkan
dari pihak kesatu, kedua maupun ketiga, yakni:
1) Syarat Muhil (Pengalihan utang)
Memiliki dua syarat yakni:
a. Memiliki kemampuan dalam melaksanakan perjanjian akad. Hal ini bisa di
dapatkan bila ia memiliki akal sehat dan mampu. Hiwalah tidak sah jika di
buat oleh seseorang yang kewarasannya terganggu dan anak-anak sebab
tak mampu atau belum bisa dipandang sebagai seseorang yang memiliki
kemampuan hukum.
b. Adanya rasa rela bagi seorang Muhil. Hal ini di karenakan hiwalah
memiliki arti pelupusan hak miki sehingga tidak sah bila ia terpaksa. Ibn
Kamal berkata dalam al Idah bahwasanya syarat kerelaan dalam
pengalihan utang dibutuhkan waktu berlakunya suatu tuntutan.
Kerelaan orang yang menerima pindahan utang yakni hal ini yang
wajib dalam kegiatan hiwalah menurut para ulama seperti mazhab
Hanafiah, Malikiah maupun Syafi’iah memiliki pendapat bahwsanya nilai
Al-Hiwalah dan implemenstasinya pada perbankan syariah di tinjau dari kaidah fiqih
Syntax Idea, Vol. 3, No 1, Januari 2021 199
kerekaan seseorang yang menerima pindahan utang tersebut yakni sebuah
hal yang harus dibuat dalam hiwalah sebab utang yang dialihkan ialah
haknya, sebab itu tidak bisa di alihkan dari sebuah tanggungan individu
pada individu lainnya tanpa ada sebuah kerelaan (Nugraheni, 2017).
Kesimpulannya sebab penyelesaian sebuah tanggungan memiliki nilai
perbedaan, dapat dengan mudah, sulit, cepat maupun tertunda-tunda.
Hanabilah mengemukakan bahwasanya bila muhal ‘alaih dalam hal ini
seseorang yang memilikiutang pada muhil harus mampu membayar
dengan tidak menunda-nunda maupun tidak membangkangnya, kemjudian
orang yang menerima pengalihan harus terima pengalihan tersebut
kemudian tanpa diisyaratkan adanya rasa rela darinya.
Mayoritas para ulama memiliki beralasan tentang ada tidaknya
kewajiban muhal (orang yang menerima pindahan) dalam menerima
hiwalah yakni sebab muhal ‘alaih keadaannya yang memiliki ada
perbedaan yang gampang melunasi dan ada pula yang melambatkan
pembayaran. Sehingga dengan begitu, maka muhal ‘alaih gampang dengan
cepat dalam membayar tanggungannya, bisa dibilang bahwasanya muhal
harus menerima hiwalah. Akan tetapi maka muhal ‘alaih masuk dalam
individu yang rumit dan suka menunda-nunda menyelesaikan utangnya,
semua ulama memilik pendapat muhal tanpa mewajibkan dalam
menetrima kegiatan hiwalah (Karim & Islam, 2006).
Bagi seorang Muhil memiliki persyaratan yakni, ia disyaratkan dalam
berkewajiban kesatu, mempunyai berkemampuan dalam melaksanakan
perjanjian atau akad. Hal ini untuk bisa dimiliki maka ia harus berakal
sehat dan mampu. Sebab Hawalah tidak sah jika dilaksankan oleh orang
yang kurang waras dan anak kecil sebab ia belum bisa dipandang sebagai
individu yang memiliki kemampuan secara hukum. Kedua, Muhil
memiliki kerelaan. Ini di karenakan hawalah memiliki maksud
kepemilikan dengan begitu tidak sah bila dipaksakan. Di luar itu
persyaratan ini diharuskan para ahli fiqih terutama bagi meredam rasa
kecewa ataupun menyingung yang mungkin akan dirasakan oleh seorang
Muhil dalam melakukan perjanjian hawalah (Siswanto, 2017).
2) Syarat Muhal (Pemiutang Asal)
Ada tiga tiga syarat yakni:
a. Harus mempunyai kemampuan dalam melakukan akad. Hal ini setara
dengan syarat yang wajib dipenuhi oleh Muhil.
b. Kerelaan dari Muhal karena tidak sah jika hal itu dipaksakan.
c. Penerimaan penawaran harusnya berlaku untuk majlis aqad. Ini ialah
persyaratan berkontrak dalam perjanjian.
Pendapat para ulama seperti dari Malikiah, Syafi’iah dan Hanabilah
bahwasanya tidak ada syarat kerelaan muhal ‘alaih, ini didasarkan pada hadist
yang artinya: Bila salah satu individu diantara kamu sekalian dialihkan
Neni Hardiati dan Januri
200 Syntax Idea, Vol. 3, No 1, Januari 2021
utangnya terhadap individu yang mampu, maka ikutilah atau menerima.
(HR.Bukhari dan Muslim). Selain itu, hak ada pada muhil dan juga boleh
menerimanya sendiri maupun mewakilkan pada orang lain. Hanafiah
menyatakan bahwa diisyaratkan adanya suatu kerelaan muhal ‘alaih sebab
setiap individu memiliki perbedaan sikap dalam memebereskan persoalan
utang piutangnya, sebab tak harus melalui sebuah yang tidak membuat
keharusannya. Pernyataan yang rajih (valid) yakni tidak ditentukan adanya
kerelaan muhal ‘alaih. Kemudian muhal ‘alaih utangnya akan dibayar dengan
kuantitas yang setara dengan siapapun dari keduanya (Rahmi, 2018).
3) Syarat Muhal Alaih (Penerima Pindah Hutang)
a. Muhil dan Muhal harus berakal serta baligh.
b. Kerelaan disini berarti tidak memiliki unsur-unsur paksaan dalam
menerima pengalihan utang, perjanjiannya tak sah, namun hal ini
menurut ulama Maliki tidak mensyaratkan kerelaan dalam penerima
hiwalah. Dalam penerimaan mestinya dibuat di dalam sebuah majlis
akad. Abu Hanifah da Muhammad, menyatakan syarat ketiga dibawah
ini yakni syarat perjanjian. Sehingga syarat yang berhubungan dengan
Muhal Alaih. Kesatu, sama dengan syarat pertama bagi Muhil dan Muhal
yaitu berakal dan balig. Kedua, adanya sebuah kerelaan dari hatinya
sebab tidak boleh ada pemaksaan. Ketiga, ia harus menerima perjanjian
hawalah di dalam sebuah majlis ataupun di luar majlis. (Hermansyah,
2013).
4) Ketentuan Muhal Bih (Hutang).
Para ulama berpendapat bahwa ada dua ketentuan dalam pelaksanaan
pengalihan utang, yakni:
a. Dalam utang hendakanya berlangsung kepada piutang dan pengalihan
utang. Seandainyaa bila bukan utang dalam peran akadnya menjadi
perwakilan, kemudian aplikasinya hiwalah dalam wujud barang tidak
sah, sebab dia tidak termasuk dalam tanggungan.
b. Hutang tersebut hendaklah berupa utang umum. Hutang yang tidak
general tidak legal dipindahkan, seperti bayaran ganjaran yang mesti
dibayar oleh seseorang yang dibenarkan menanggungnya melalui
pembayaran, sebab hal tersebut utangnya tidak lazim. Sederhananya,
setiap utang yang tidak sah tidakbisa di buat tujuan jaminan, dan
dipindahkan (Nugraheni, 2017).
Kesimpulannya syarat yang berkaitan dengan Muhal Bih. Kesatu
yakni, harus berwujud utang serta utang tersebut merupakan tanggungan dari
seorang Muhil terhadap Muhal. Kedua, utang tersebut wajib berwujud utang
secara umum maksudnya jika utang itu dapat dihapuskan melalui pelunasan
ataupun penghapusan.
Al-Hiwalah dan implemenstasinya pada perbankan syariah di tinjau dari kaidah fiqih
Syntax Idea, Vol. 3, No 1, Januari 2021 201
5) Beban Muhil Setelah Hiwalah
Hiwalah yang berlangsung sah melalui sendirinya tanggung jawab
sebagai muhil selesai. Sehingga muhal ‘alaih mengalami kerugian ataupun
membantah hiwalah atau juga meninggal dunia, sehingga muhal tidak
diperbolehkan kembali lagi pada muhil, hal ini yakni menurut pernyataan
ulama jumhur. Menurut madzhab Maliki, jika muhil sudah menipu muhal,
ternyata muhal alaih individu yang fakir sehingga tidak mempunyai sesuatu
apapun dalam membayarnya, dengan itu muhal boleh kembali lagi pada
muhil. Imam Malik, mengemukakan orang yang menghiwalahkan utang
terhadap pihak lain, selanjutnya muhal ‘alaih mengalami kerugian atau
meninggalkan dunia dan ia belum bisa bayar kewajibannya, sebab muhal
tidak boleh kembali bagi muhil Abu Hanifah, Syarih dan Ustman memiliki
opini bahwasanya jika dalam kondisi muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan
atau meninggal dunia, sehingga seseorang yang memberikan utang akan
balik lagi terhadap muhil dalam menagihnya (Jafar, Bahar, & Lusiana, 2013).
6) Jenis-Jenis Hiwalah
Adapun jenis-jenis hiwalah sebagai berikut:
a. Hiwalah Muthlaqoh
Hiwalah Muthlaqoh terjadi jika seseorang yang berhutang (pihak
kesatu) terhadap seseorang (pihak kedua) dalam mengalihkan hak
penagihannya terhadap pihak ketiga tanpa didasari pihak ketiga tersebut
memiliki utang terhadap orang kesatu. Contohnya: Jika Ana berhutang
terhadap Bani dan Ana mengalihkan hak penagihan Bani terhadap Ceni,
sedangkan Ceni tidak memiliki hubungan utang pituang kepada Bani,
dengan begitu hiwalah ini bernama Muthlaqoh. Namun hanya terdapat
dalam madzhab Hanafi dan Syi’ah sedangkan jumhur ulama
mengkategorikan jenis hiwalah ini sebagai kafalah (Mawardi & Susanti,
2019).
b. Hiwalah Muqoyyadah
Bilamana ada kegaitan bila Muhil mengalihkan hak penagihan
Muhal terhadap Muhal Alaih sebab terakhir ada utang terhadap Muhal,
hal ini disebut Hiwalah Muqoyyadah. Hiwalah ini yang bolehkan (jaiz)
yang di dasarkan yang di sepakati para ulama.
Ketiga madzhab selain madzhab hanafi mengemukakan bahwasanya
hanya membolehkan hiwalah muqayyadah dan menciptakan ketentuan
terhadap hiwalah muqayyadah supaya utang muhal terhadap muhil dan utang
muhal alaih terhadap muhil wajib setara, baik sifat maupun jumlahnya. Bila
telah serupa jenis dan jumlahnya, sehingga salah hiwalahnya.Namun bila
salah satunya memiliki perbedaan, hal ini menjadikan hiwalah tidak sah
(Nugraheni, 2017). Hiwalah Jika ditinjau dari segi obyeknya terdapat dua
objek, yakni:
Neni Hardiati dan Januri
202 Syntax Idea, Vol. 3, No 1, Januari 2021
a. Hiwalah Haq
Hiwalah ini ialah pengaliahn piutang dari satu piutang terhadap
piutang yang lain dalam wujud uang bukan dalam bentuk barang. Dalam
hal ini yang bertindak sebagai Muhil ialah pemberi hutang yang
mengalihkan haknya pada pemberi hutang pihak lain sementara orang
yang berhutang tidak berganti, yang berganti ialah piutang. Ini terjadi
jika piutang Ana memiliki utang terhadap piutang Bani.
b. Hiwalah Dayn
Hiwalah ini ialah pengalihan utang terhadap orang lain yang
memiliki utang untuknya yang memiliki perbedaan dari hiwalah Haq.
Sehingga hakikatnya hiwalah dayn setara dengan pemahaman dengan
hiwalah yang sudah dikemukakan terdahulu.
7) Berakhirnya Akad Hiwalah
Hal-hal yang mengakibatkan hiwalah bisa berakhir yakni :
a. Adanya pembatalan atau fasakh. Sehingga ini terjadi jika akad hiwalah
belum dibuat sampai tahapan akhir lalu dibatalakn. Dalam keadaan ini hak
penagihan dari Muhal dapat kembali lagi terhadap Muhil.
b. Hilangnya hak Muhal Alaih disebabkan karena ia meninggal dunia atau
terjadi kebangkrutan ataupun ia mengingkari adanya perjanjian hiwalah
sedangkan Muhal tidak bisa menghadirkan bukti atau saksi.
c. Jika Muhal alaih sudah melakukan tanggungjawabnya terhadap Muhal.
Hal ini yang berarti akad hiwalah betul-betul telah dicukupi oleh semua
pihak.
d. Muhal meninggal duni sedangkan Muhal alaih mewarisi harta hiwalah
sebab pewarisan ialah salah satu penyebab kepemilikan. Namun bila akad
ini hiwalah muqoyyadah, sehingga akan berakhir sudah, akad hiwalah itu
menurut madzhab Hanafi.
e. Muhal menghibahkan atau menyedekahkan harta hiwalah terhadap Muhal
Alaih dan ia pun menerimanya sedekahnya itu.
f. Jika Muhal menghapusbukukan kewajiban membayar hutang kepada
Muhal Allah.
8) Produk Hiwalah pada Bank Syariah
Dalam kegiatan perbankan Syariah hiwalah sebuah produk fasilitasyang
umumnya agar bisa membantu supplier menghasilakn modal tunai suapay
bisa melanjutkan usahanya. Sehingga bank dapat ganti biaya atas jasa
pemindahan hutang. Dalam mengantisipasi kerugian yang bisa saja timbul,
dalam hal ini bank butuh kegaitan dalam penelitian atas kemampuan pihak
yang berhutang dan kebenaran suatu transaksi di antara yang mengalihkan
utang dengan yang berhutang tersebut. Sebab keperluan supplier akan di
likuiditas, sehingga ia meminta bank untuk mengalih piutang. Melalui
kegiatan tersebut Bank akan menerima pembayaran dari pemilik proyek
(Huda & Heykal, 2010).
Al-Hiwalah dan implemenstasinya pada perbankan syariah di tinjau dari kaidah fiqih
Syntax Idea, Vol. 3, No 1, Januari 2021 203
Akad hiwalah pada umumnya diimplementasikan kepada hal-hal berikut
ini yaknit:
1. Factoring atau anjak piutang, dimana para nasabah yang mempunyai
piutang terhadap pihak ketiga mengalihkan piutang itu pada bank,
kemudian bank membayar piutang dan bank menagihnya dari pihak
ketiga.
2. Post-dated check, hal ini bank bertindak sebagai juru tagih tanpa
membayarkan dulu piutang tersebut.
3. Bill discounting. Secara prinsip, bill discounting setara dengan hiwalah.
Hanya saja, dalam bill discounting nasabah hanya membayar fee,
sementara pembahasan fee tidak di dapati dalam perjanjian al hiwalah.
3. Analisis Teoritis
Sebagai Asas Kebermanfaatan bagi masyarakat sehingga suatu perjanjian harus
mendatangkan kemaslahatan dalam kehidpuan bermuamalah karena tujuan dari
syariah ialah agar dapat meningkatkan kemaslahatan umat yang terdapat pada
pemeliharaan keyakinan, akal, hidup, keturunan maupun harta yang hal ini terdapat
pada Al-Hiwalah. Kemudian dalam implementasinya di perbankan syariah wajib
sesuai dengan fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional, Majelis Ulama
Indonesia yakni fatwa Nomor 12/DSN/-MUI/IV/2000 mengenai hiwalah.
Hiwalah ini diperbolehkan karena sebab adanya maslahat, dalam kegiatan manusia
dalam kemudahan bermuamalah. Sebab hiwalah termasuk akad tabaru yang memiliki
tujuan untuk tidak memperoleh keuntungan, namun jika ingin mendapatkan
keuntungan biasanya bank syariah menggunakan hiwalah bil ujrah namun hanya
terdapat pada hiwalah mutlaqah, sehingga muhal alaih boleh meminta imbalan atas
ketersediaanya secara jelas namun harus sesuai kesepakatan bersama. Walaupun
untuk hiwalah bil ujrah masih banyak perdebatan karena takut merusak makna
hiwalah tersebut, namun pendapat yang paling kuat ialah pendapat yang
membolehkan pengambilan ujrah atas akad tolong menolong jika ada saling ridho
dikedua belah pihak dan tidak mengandung kegiatan ribawi, dan yang di pungut atas
jasanya bukan pada akad utang pitang atau yang berpotensi menjadi akad piutang
(Wulandari, 2019). Pelaksanaan teknis di perbankan syariah seperti yang dilakukan
di PT. Bank BRI Syariah KCP Soreang tempat prakek kerja lapangan penulis yakni
akad pemindahan utang nasabah terhadap bank. Posisi nasabah meminta tolong
kepada bank supaya membayar terlebih dulu utangnya atas akadnya terhadap yang
berutang. Kemudian bank selanjutnya menagih kepada yang berutang tersebut.
Bantuan bank tersebut dalam membayarkan utang lebih dulu, namun bank biasanya
membebankan biaya jasa penagihan. Namun dalam menentukan biaya jasa kecil dan
besarnya tergantung resiko Dalam piutang tersebut. Dalam akad hiwalah ini
memebrikan manfaat dan keuntungan yakni:
Neni Hardiati dan Januri
204 Syntax Idea, Vol. 3, No 1, Januari 2021
a. Di mungkinkan dapat menyelsaikan piutang dengan segera.
b. Tersedia dana talangan bagi yang membutuhkan.
c. Menjadi sumber dana penghasilan non pembiyaan bagi bank Syariah.
Kesimpulan
Kaidah fiqh al-hiwalah




Artinya setiap utang piutang yang mendatangkan manfaat (untung yang berpiutang)
adalah riba yaitu haram cocok di implementasikan pada perbankan Syariah dalam
pelaksanan pada akad tabarru. Dalam perihal ini terjalin perpindahan tanggungan
ataupun hak dari seseorang terhadap pihak lain. Menurut para ulama, hiwalah ialah
pemindahan beban hutang dari muhil (orang yang berhutang) jadi tanggungan muhal‘
alaih (orang yang berkewajiban membayar hutang). Dalam hiwalah Muthlaqoh terjalin
bila orang yang berhutang (orang awal) kepada orang lain( orang kedua) alihkan hak
penagihannya kepada pihak ketiga tanpa didasari pihak ketiga ini berhutang kepada
orang awal Hiwalah Muqoyyadah terjalin bila Muhil alihkan hak penagihan Muhal
kepada Muhal Alaih sebab yang terakhir memiliki hutang kepada Muhal. Inilah hiwalah
yang boleh( jaiz) bersumber pada konvensi para ulama.
Dalam praktek perbankan syariah sarana hiwalah lazimnya buat menolong
supplier memperoleh modal tunai supaya bisa melanjutkan usahanya. Bank menemukan
ubah bayaran atas jasa pemindahan hutang. Buat mengestimasi kerugian yang hendak
mencuat bank butuh melaksanakan riset atas keahlian pihak yang berhutang serta
kebenaran transaksi antara yang memindahkan hutang dengan yang berhutang.
BIBLIOGRAFI
Azhari, Fathurrahman. (2015). Qawaid Fiqhiyyah Muamalah. In Journal of Chemical
Information and Modeling.
Hermansyah. (2013). Implementasi Akad Hawalah Pada Bank Syariah Dihubungkan
Dengan Pasal 26 Undang-Undang No.21 Tahun 2008. Scientica, Vol. 1, p. 3.
Huda, Nurul, & Heykal, Mohamad. (2010). Lembaga Keuangan Islam. Kencana.
Jafar, Nurhaedar, Bahar, Burhanuddin, & Lusiana, Siswanti. (2013). Perlindungan
Hukum Terhadap Bank Syariah Pada Akad Hiwalah. Syariah, 02(04), 116.
Karim, Adiwarman A., & Islam, Bank. (2006). Analisis Fiqih dan Keuangan, Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada.
M.Rzki Naufal, S. .. (2018). Aplikasi Akad Hawalah Dalam Pengambil-Alihan Hutang
Dari Perbankan Konvensional. Journal of Chemical Information and Modeling, 1
173. Retrieved from https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/8191/Tesi
s M. Rizki Naufal.pdf?sequence=1
Al-Hiwalah dan implemenstasinya pada perbankan syariah di tinjau dari kaidah fiqih
Syntax Idea, Vol. 3, No 1, Januari 2021 205
Mawardi, Sumari, & Susanti, Nawal Ika. (2019). Analisis Jual Beli Kredit Sepeda
Motor Dengan Sistem Hiwalah (Studi Kasus Masyarakat Desa Tegalsari
Kecamatan Tegalsari Kabupaten Banyuwangi Yang Mengajukan Kredit Di Dealer
Wafa Motor Dan Melalui Leasing Fif (Financial Information Finance ). 5(2), 127
144.
Nizaruddin. (2013). Hiwalah Dan Aplikasinya dalam Lembaga Keuangan Syariah.
Studia Islamika, 7(1), 326365.
Nugraheni, Destri Budi. (2017). Analisis Fatwa Dew an Syariah Nasional Tent ang
Wakalah, Haw alah , dan Kaf alah Dalam Kegiat an Jasa Perusahaan Pem
biayaan Syariah. 2, 124136.
Nurhayati, Sri. (2013). Akuntansi Syariah di Indonesia (Edisi 3). Salemba Empat:
Jakarta.
Rahmi, Rahmi. (2018). Aplikasi Akad-akad pada perbankan syariah. Al Hurriyah:
Jurnal Hukum Islam, 15(1), 89102.
Siswanto, Eko. (2017). Pengalihan Utang Dalam Ekonomi Islam. Islamic Economic,
2(2), 111127.
Sudiarti, Sri. (2018). Fiqih Muamalah Kontemporer. Retrieved from
http://repository.uinsu.ac.id/5517/1/Fiqih Muamalah Kontemporer
Sugiyono. (2015). Metode penelitian pendidikan. Jakarta: Mitra Wacana Merdeka, pp.
286288.
Suhendi, Hendi. (2010). Fiqh Muamalah, Ed. 1, Cet. Jakarta: Rajawali Pers.
Syahpawi, syahpawi. (2012). Hiwalah sebagai solusi dalam mengatasi kredit macet
dalam perbankan syariah. Jurnal Ilmiah Ekonomi Kita, I(vol 1 No.2 [2012]:
Istihaduna: Jurnal Ilmisah Ekonomi Kita-Desember), 165175.
T. Abrar, Za. (2017). Hiwalah Dan Aplikasinya Dalam Produk Bai Al-Istishna Di
Bank Syariah. Jurnal Ekonomi Dan Bisnis Islam, 1(2), 114.
Toyyibi, Abdul Majid. (2019). Implementasi Hawalah Pada Pembiayaan Bermasalah
Studi Kasus Koperasi Jasa Keuangan Syariah Usaha Gabungan Terpadu Bmt
Sidogiri Kcp Omben Tahun Buku 2018. Profit: Jurnal Kajian Ekonomi Dan
Perbankan Syariah, 3(2), 3850.
Wulandari, Fifi. (2019). Implementasi Fatwa DSN MUI No. 31/DSN-MUI/VI/2002
Tentang Pengalihan Utang Terhadap Pembiayaan Take Over di BRI Syariah
Kantor Cabang Madiun. Journal of Chemical Information and Modeling, 53(9),
16891699.