161
Syntax Idea: pISSN: 2684-6853 e-ISSN: 2684-883X
Vol. 3, No. 1, Januari 2021
PSYCHOLOGICAL WELL-BEING KARYAWAN STUDI LITERATUR
Maulina Amalia Sari dan Ameria Monalisa
Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, Indonesia
Abstract
Psychological well-being is often referred to as psychological well-being, which is
ownership of self-acceptance, control of the environment, autonomy, and positive
relationships with others, has a purpose and meaning in life and has a purpose and
meaning in life and has a feeling of growth and development that sustainable. In
several studies, the results of the research conducted indicated that there was a
significant relationship between organizational culture and psychological well-
being. Then there is a significant positive relationship between gratitude and
psychological well-being. Grateful people have a positive attitude towards
themselves, acknowledge and accept various positive and negative aspects of
themselves, and positive feelings about past lives that they have experienced. This
article will use literature research as a means to discuss the effect of organizational
culture and gratitude on employee psychological well-being.
Keywords: organizational culture; gratitude; psychological well-being and employee
Abstrak
Kesejahteraan psikologis sering kali disebut dengan psychological well-being yang
merupakan kepemilikan akan penerimaan terhadap diri sendiri, penguasaan
lingkungan, otonomi, dan hubungan positif dengan orang lain, mempunyai tujuan
dan makna hidup serta mempunyai tujuan dan makna hidup serta mempunyai
perasaan akan pertumbuhan dan perkembangan yang berkelanjutan. Dalam beberapa
penelitian hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa terdapat hubungan
yang signifikan antara budaya organisasi dan psychological well-being. Kemudian
terdapat hubungan positif yang signifikan antara kebersyukuran (gratitude) dan
psychological well-being. Orang yang bersyukur memiliki sikap positif terhadap diri
sendiri, mengakui dan menerima berbagai aspek positif dan negatif dalam dirinya,
dan perasaan positif tentang kehidupan masa lalu yang telah dialaminya. Artikel ini
akan menggunakan penelitian literatur sebagai sarana untuk membahas mengenai
pengaruh budaya organisasi dan kebersyukuran (gratitude) terhadap psychological
well-being karyawan.
Kata kunci: budaya organisasi; kebersyukuran (gratitude); psychological well-being;
dan karyawan
Maulina Amalia Sari dan Ameria Monalisa
162 Syntax Idea, Vol. 3, No 1, Januari 2021
Pendahuluan
Sumber daya manusia (SDM) merupakan salah satu aset penting dalam
organisasi. Organisasi yang unggul selalu dibangun oleh SDM yang berkinerja unggul
(Amir, 2005). Kelancaran kerja setiap unit suatu organisasi dalam melaksanakan
aktivitasnya tergantung kesediaan karyawan yang ada di dalamnya.
Kesejahteraan atau well-being menjadi salah satu topik yang menarik untuk
dibahas terutama dalam perspektif psikologis, karena kesejahteraan merupakan salah
satu bagian penting dalam kehidupan individu dan menjadi suatu kondisi yang sangat
ingin dicapai oleh semua orang dari berbagai umur dan lapisan masyarakat (Sativa &
Helmi, 2013). (Diener & Diener, 1996) menyimpulkan bahwa menjadi sejahtera
merupakan hak setiap orang. Siapapun berhak menjadi sejahtera. Sejahtera bukan hanya
berkaitan dengan dimensi fisik namun juga terkait dengan dimensi psikologis sehingga
terdapat konsep kesejahteraan psikologis (psychological well-being). Sedangkan ramos
(2007) ber-pendapat bahwa kesejahteraan psikologis adalah kebaikan, keharmonisan,
menjalin hubungan baik dengan orang lain baik antar individu maupun dalam
kelompok.
Kesejahteraan karyawan juga dapat mempengaruhi tingkat kinerja karyawan.
Sebuah perusahaan dituntut untuk memberikan kesejahteraan kepada karyawan mereka
agar sebuah tujuan dari organisasi dapat tercapai. Hal-hal yang dapat mempengaruhi
kesejahteraan karyawan adalah sistem penggajian, jaminan sosial, macam-macam
tunjangan, lingkungan kerja, fasilitas yang diberikan, promosi dan sebagainya (Soh,
Zarola, Palaiou, & Furnham, 2016). Ryff mengemukakan karyawan dapat dikatakan
sejahtera secara psikologis bukan hanya sekedar indikator kesehatan mental negatif,
seperti terbebas dari kecemasan, tercapainya kebahagiaan, dan sebagainya akan tetapi
penting untuk diperhatikan kepemilikan akan penerimaan diri, otonomi, kemampuan
menguasai lingkungan, kepemilikan akan tujuan dan arti hidup dan kemampuan untuk
memiliki rasa pertumbuhan dan pengembangan diri secara berkelanjutan.
(Keyes, 2003) mengungkapkan bahwa karyawan yang memiliki kesejahteraan
psikologis yang tinggi akan menunjukkan sikap kooperatif yang lebih besar, tepat waktu
dalam bekerja, rendahnya tingkat absensi, dan dapat bekerja lebih lama. Hal tersebut
akan mendorong karyawan supaya tetap produktif dalam menyelesaikan tugas dan
tanggung jawabnya masing-masing. Perusahaan akan mendapatkan karyawan dengan
loyalitas dan dedikasi tinggi yang memiliki pengalaman serta potensi yang dibutuhkan.
Tingkat kesejahteraan psikologis yang rendah merusak individu dan organisasi. Seperti
yang telah dijelaskan, kesejahteraan psikologis penting untuk kebahagiaan orang secara
keseluruhan dan merupakan dasar untuk berbagai perilaku positif, termasuk bagaimana
orang berperilaku terhadap orang lain, tingkat kepercayaan, kemampuan dalam
pemecahan masalah, kekuatan mental dan ketahanan. Saat psychological well-being
tinggi itu akan menghasilkan manfaat bagi individu dan organisasi (Cropanzano &
Wright, 1999).
Organisasi harus meningkatkan kapabilitasnya agar memiliki daya saing (Ryff &
Keyes, 1995), mengemukakan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi psychological
Psychological Well-Being karyawan studi literatur
Syntax Idea, Vol. 3, No 1, Januari 2021 163
well-being antara lain: kelas sosial, budaya, tingkat ekonomi dan tingkat pendidikan
serta kepribadian. Pada fenomena ini yang menjadi fokus bagian salah satu faktor yang
mempengaruhi psychological well-being adalah budaya, tepatnya yaitu budaya
organisasi atau budaya perusahaan. Sedangkan menurut (Amawidyati & Utami, 2007),
banyak faktor yang mempengaruhi munculnya psychological well-being, salah satunya
adalah budaya organisasi (organization culture). Budaya organisasi merupakan norma-
norma dan nilai-nilai yang mengarahkan perilaku anggota organisasi. Setiap anggota
akan berperilaku sesuai dengan budaya yang berlaku agar diterima oleh lingkungannya
(Robbins, 2008). Budaya organisasi sebagai pola asumsi dasar yang diciptakan,
ditemukan atau dikembangkan oleh kelompok tertentu dalam upaya untuk belajar
mengatasi masalah adaptasi eksternal dan integrasi internalnya, dan yang telah berjalan
dengan baik (Robbins, 2008).
Pada kondisi yang labil sikap syukur sangat dibutuhkan untuk mengekspresikan
emosi positif maupun negatif dari karyawan. Karena bersyukur dapat mendorong
seseorang untuk bergerak maju dengan penuh antusias. Sikap syukur dapat meringankan
kehidupan seseorang. Semakin banyak seseorang bersyukur semakin banyak ia akan
menerima. Semakin jauh seseorang mengingkari, semakin berat beban yang akan
dirasakannya seperti kecewa, frustasi, tidak puas, dan pada akhirnya akan mengganggu
pertumbuhan dan perkembangannya. Kondisi ketidak-puasan itu dirasakan karena
kurangnya penerimaan dan minimnya toleransi terhadap masalah hidup yang dihadapi
serta kurangnya sikap syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan apa yang telah
dicapai dan dimiliki oleh seseorang.
Ketidakpuasan yang disebabkan karena kurangnya rasa syukur ini membuat
seseorang belum mencapai kepuasan hidup, yang merupakan salah satu aspek
pembentuk kesejahteraan subjektif. Hal tersebut senada dengan pendapat (Tay &
Diener, 2011). yang menyatakan bahwa seseorang dikatakan memiliki kesejahteraan
subjektif yang tinggi jika mereka merasa puas dengan kondisi hidup mereka,
mempunyai cukup afeksi positif dan memiliki sedikit afeksi negatif. Karyawan yang
bersyukur akan merasa bahagia dengan kehidupannya. Karena pada dasarnya karyawan
juga dituntut untuk mencapai kesejahteraan. Jika karyawan tidak mencapai
kesejahteraannya dapat menyebabkan berbagai masalah pada karyawan. Masalah-
masalah tersebut berhubungan dengan adanya kebutuhan-kebutuhan untuk mencapai
kesejahteraan dalam rangka penyesuaian diri terhadap lingkungan tempat karyawan itu
hidup dan berkembang. Masalah pengembangan potensi dan masalah kesulitan dalam
penyesuaian diri yang bernuansa negatif merupakan masalah yang sering dialami oleh
karyawan sehingga karyawan tidak akan merasa puas dengan kehidupannya.
Artikel ini akan menggunakan penelitian literatur sebagai sarana untuk membahas
mengenai pengaruh budaya organisasi dan kebersyukuran (Gratitude) terhadap
psychological well-being karyawan.
Maulina Amalia Sari dan Ameria Monalisa
164 Syntax Idea, Vol. 3, No 1, Januari 2021
Metode Penelitian
Kajian ini menggunakan metode studi pustaka (library research). Studi
pustaka adalah kegiatan membaca dan menulis untuk mengumpulkan data,
kemudian data tersebut diolah sebagai bahan dalam penelitian (Zed, 2003). Lebih lanjut
zed menjelaskan bahwa ada empat karakteristik dalam metode studi pustaka, yaitu:
pertama, peneliti mengambil data bukan dari lapangan, tapi dari teks atau tulisan.
Kedua, data kepustakaan bersifat “siap pakai” karena peneliti mengambil data dari teks,
bukan dari lapangan. Ketiga, data pustaka bersifat sekunder, dengan artian data
diperoleh dari tangan kedua, bukan data dari lapangan yang bersifat orisinil. Keempat,
data pustaka dapat diperoleh kapan saja, karena tidak dibatasi oleh ruang dan waktu.
Adapun metode mengumpulkan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
dengan membaca beberapa karya ilmiah, seperti jurnal, text book, dan berbagai
dokumen yang dianggap relevan. Kemudian data tersebut ditelaah, dianalisis, bahkan
dikomparasikan, kemudian disimpulkan dan ditulis dalam bentuk karya tulis ilmiah.
Hasil dan Pembahasan
Kesejahteraan psikologis sering kali disebut dengan psychological well-being
yang merupakan kepemilikan akan penerimaan terhadap diri sendiri, penguasaan
lingkungan, otonomi, dan hubungan positif dengan orang lain, mempunyai tujuan dan
makna hidup serta mempunyai perasaan akan pertumbuhan dan perkembangan yang
berkelanjutan (Ryff, 1989). Psycholigical well-being merupakan suatu keadaan yang
berhubungan dengan kepuasan pribadi, engagement, harapan, rasa syukur, stabilitas
suasana hati, pemaknaan terhadap diri sendiri, harga diri, kegembiraan, kepuasan, dan
optimisme, termasuk juga mengenali kekuatan dan mengembangkan bakat dan minat
yang dimiliki (Bartram & Boniwell, 2010) Menurut (Ryff & Keyes, 1995). dalam
(Amawidyati & Utami, 2007) faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well-
being antara lain: usia, jenis kelamin, kepribadian, kelas sosial, budaya, religiusitas,
tingkat pendidikan serta dukungan sosial. Pada penelitian ini yang menjadi fokus pada
dua faktor yang mempengaruhi psychological well-being adalah budaya dan religiusitas.
(Waterman, 1993) mengemukakan bahwa konsepsi well-being dalam pandangan
eudaimonic menekankan pada bagaimana cara manusia untuk hidup dalam daimon-nya,
atau dirinya yang sejati (true self). Diri yang sejati ini terjadi ketika manusia melakukan
aktivitas yang paling kongruen atau sesuai dengan nilai-nilai yang dianut dan dilakukan
secara menyeluruh serta benar-benar terlibat di dalamnya (fully engaded) (Ryan & Deci,
2001) Daimon juga mengacu pada potensi yang dimiliki tiap-tiap individu, yakni
realisasi yang mempresentasikan pemenuhan hidup yang niscaya setiap individu mampu
melakukannya. Oleh karena itu, pendekatan eudaimonic berfokus pada realisasi diri,
ekspresi pribadi, dan sejauh mana individu mampu untuk mengaktualisasikan potesi
dirinya (Ryan & Deci, 2001).
Menurut (Ryff, 1989), Psychological Well-Being adalah kondisi dimana seseorang
memiliki kemampuan menerima diri sendiri maupun kehidupannya di masa lalu,
pengembangan diri, keyakinan bahwa hidupnya bermakna, memiliki tujuan, memiliki
Psychological Well-Being karyawan studi literatur
Syntax Idea, Vol. 3, No 1, Januari 2021 165
kualitas hubungan positif dengan orang lain, kapasitas untuk mengatur kehidupan di
lingkungan secara efektif dan kemampuan menentukan tindakan sendiri. Ryff
menambahkan bahwa psychological well-being merupakan suatu konsep yang berkaitan
dengan apa yang dirasakan individu mengenai aktivitas dalam kehidupan sehari-hari
serta mengarah pada pengungkapan perasaan-perasaan pribadi atas apa yang dirasakan
oleh individu sebagai hasil dari pengalaman hidupnya. Ryff menggambarkan tentang
karakteristik orang yang memiliki kesejahteraan psikologis merujuk pada pandangan
rogers tentang orang yang berfungsi penuh (fully-functioning person), pandangan
maslow tentang aktualisasi diri (self actualization), pandangan jung tentang individuasi,
konsep allport tentang kematangan, juga sesuai dengan konsep erikson dalam
menggambarkan individu yang mencapai integrasi dibanding putus asa. Psychological
well-being dapat ditandai dengan diperolehnya kebahagiaan, kepuasan hidup dan tidak
adanya gejala-gejala depresi. Menurut bradburn, kebahagian (hapiness) merupakan hasil
dari dari kesejahteraan psikologis dan merupakan tujuan tertinggi yang ingin dicapai
oleh setiap manusia.
1. Hubungan Budaya Organisasi dengan Psychological Well-Being
Budaya organisasi merupakan norma-norma dan nilai-nilai yang mengarahkan
perilaku anggota organisasi. Setiap anggota akan berperilaku sesuai dengan budaya
yang berlaku agar diterima oleh lingkungannya (Robbins, 2008). Pengertian budaya
organisasi menurut (Robbins, 2008) adalah suatu sistem makna bersama yang dianut
oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi tersebut dengan organisasi yang
lain.
Menurut (Amawidyati & Utami, 2007), banyak faktor yang mempengaruhi
munculnya psychological well-being, salah satunya adalah budaya organisasi
(organization culture). Budaya organisasi merupakan norma-norma dan nilai-nilai
yang mengarahkan perilaku anggota organisasi. Setiap anggota akan berperilaku
sesuai dengan budaya yang berlaku agar diterima oleh lingkungannya (Robbins,
2008). Budaya organisasi sebagai “pola asumsi dasar yang diciptakan, ditemukan
atau dikembangkan oleh kelompok tertentu dalam upaya untuk belajar mengatasi
masalah adaptasi eksternal dan integrasi internalnya, dan yang telah berjalan dengan
baik (Robbins, 2008). Hasil penelitian ini menyatakan budaya organisasi memimiliki
pengaruh terhadap psychological well-being. Di dalam organisasi yang positif,
karyawan merasa lebih ingin melakukan pekerjaannya melebihi apa yang telah
disyaratkan dalam uraian pekerjaannya, dan akan selalu mendukung tujuan
organisasi jika mereka diperlukan oleh para atasan dengan positif dan dengan penuh
kesadaran serta percaya bahwa mereka diperlakukan secara adil oleh organisasi.
Di dalam budaya organisasi yang positif, keryawan merasa lebih ingin
melakukan pekerjaannya melebihi apa yang telah disyaratkan dalam uraian
pekerjannya, dan akan selalu mendukung tujuan organisasi jika mereka diperlakukan
oleh para atasan dengan positif dan dengan penuh kesadaran serta percaya bahwa
mereka diperlakukan secara adil oleh organisasi. Budaya organisasi memberikan
kontribusi positif terhadap psychological well-being, yang artinya semakin tinggi
Maulina Amalia Sari dan Ameria Monalisa
166 Syntax Idea, Vol. 3, No 1, Januari 2021
budaya organisasi maka akan semakin tinggi pula psychological well-being,
sebaliknya semakin rendah budaya organisasi maka akan semakin rendah pula
psychological well-being. Sehingga hal ini mencerminkan bahwa memiliki budaya
organisasi yang tinggi menjadi salah satu hal yang dapat memunculkan perilaku
psychological well-being pada karyawan.
2. Hubungan Kebersyukuran (Gratitude) dengan Psychological Well-Being
Secara umum kebersyukuran dapat mempengaruhi cara seseorang menghadapi
suatu masalah yang ada dalam hidupnya. Orang yang memiliki psychological well-
being yang tinggi akan memiliki sikap positif terhadap diri sendiri, mengakui dan
menerima berbagai aspek positif dan negatif dalam dirinya, dan perasaan positif
tentang kehidupan masa lalu serta pula dalam hal bersyukur. Dalam aspek-aspek
antara kedua variabel yang telah dikemukakan di atas dapat dilihat ialah adanya
hubungan significant antara aspek-aspek dari kedua variabel tersebut yang dapat
mempengaruhi psychological well-being pada karyawan dalam sebuah perusahaan.
Hal ini didukung oleh penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh (Wood,
Joseph, & Maltby, 2009) menunjukkan bahwa gratitude atau kebersyukuran menjadi
penting untuk kesejahteraan psikologis (psychological well-being). Oleh karena itu
orang yang bersyukur akan merasa terpenuhi atas segala apa yang telah
didapatkannya serta akan memandang segala sesuatu yang terjadi dengan pandangan
yang positif.
Salah satu aspek psychological well-being yaitu penerimaan diri berkaitan
halnya dengan salah satu dari aspek kebersyukuran yaitu frequency. Seseorang
penderita diabetes mellitus tipe 2 yang memiliki kecenderungan bersyukur akan
merasakan banyak perasaan bersyukur setiap harinya, sehingga individu cenderung
memandang berbagai aspek dalam hidup dan diri dengan lebih positif. Hal ini
didukung oleh peneletian (Ratnayanti & Wahyuningrum, 2016) bahwa orang yang
bersyukur memiliki sikap positif terhadap diri sendiri, mengakui dan menerima
berbagai aspek positif dan negatif dalam dirinya, dan perasaan positif tentang
kehidupan masa lalu.
Selanjutnya pada aspek kebersyukuran lainnya yaitu aspek intensity yang
dimana seorang yang bersyukur ketika mengalami peristiwa positif diharapkan lebih
intens bersyukur berkaitan dengan proses pengembangan pribadi dimana individu
mampu melalui tahap-tahap perkembangan, menentukan tujuan baru dalam hidup,
menyadari potensi dalam diri dan melakukan perbaikan setiap waktu. Hal ini sejalan
dengan pernyataan Sertain, (Sari & Nuryoto, 2002). bahwa kebersyukuran yang
tinggi mampu untuk menerima kondisi diri apa adanya serta mampu menerima dan
mengakui pengalaman positif maupun negatif sebagai usaha untuk berkembang. Lalu
yang terakhir aspek kebersyukuran density ialah menuliskan lebih banyak nama yang
membuat dia bersyukur, hal ini berkaitan dengan kemampuan individu dalam
penguasaan lingkungan dan hubungan interpersonal yang baik. Ketika seseorang
dapat menuliskan nama nama yang membuat dia bersyukur, individu akan menjalin
hubungan yang lebih dekat dengan orang orang tersebut yang dapat membantu
Psychological Well-Being karyawan studi literatur
Syntax Idea, Vol. 3, No 1, Januari 2021 167
individu dalam mengelola kemampuan dirinya. Hal ini sejalan dengan hasil
penelitian (Emmonse & Mccullough, 2003) bahwa bersyukur akan membuat
individu mendapatkan keuntungan secara emosi dan interpersonal.
Bersyukur juga dapat membantu seseorang untuk dapat meningkatkan
kemampuan dirinya dalam menghadapi masalah dan menemukan penyelesaian yang
terbaik bagi masalahnya. (Watkins, Woodward, Stone, & Kolts, 2003) juga
menyatakan bahwa rasa bersyukur yang dimiliki oleh seseorang dapat
mengindikasikan seberapa jauh ia merasa bahagia (well-being) yang dilihat dari
kepuasan terhadap hidupnya (satisfaction with life).
3. Penelitian Terdahulu
Kajian dan penelitian tentang pengaruh budaya organisasi dan gratitude
(kebersyukuran) terhadap psychological well-being sudah banyak dilakukan oleh
para tokoh dan ahli, namun kajian dan penelitian terhadap 3 variabel tersebut dikaji
secara terpisah. Berikut beberapa kajian dan penelitian yang membahas tentang
budaya organisasi, gratitude (kebersyukuran) dan psychological well-being yaitu:
Alvian Permana, dkk (2018) hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan
bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara budaya organisasi dan
psychological well-being. (Fanani, 2014) Hasil penelitian menunjukkan bahwa
budaya organisasi berpengaruh signifikan dan positif terhadap psychological well-
being. (Prabowo, 2017) dari penelitian yang telah dilakukan, didapatkan hasil bahwa
tidak ada hubungan positif yang signifikan antara gratitude dengan psychological
well-being. Fitria (Ratnayanti & Wahyuningrum, 2016), menunjukkan bahwa
terdapat hubungan positif yang signifikan antara gratitude dan psychological well-
being (Yildirim & Alanazi, 2018) hasil dari penelitian ini ditemukan bahwa individu
dengan tingkat rasa terima kasih yang tinggi cenderung mengalami stress yang lebih
rendah dan kepuasan yang lebih besar dengan kehidupan.
(Aisyah & Chisol, 2018) hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan
bahwa pertama, terdapat hubungan positif yang signifikan antara rasa syukur dengan
kesejahteraan psikologis Mukhlis, Ernani Hadiyati, dan Jamal Abdul Naser (2018)
hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa pertama, adanya pengaruh
positif dan signifikan rasa syukur (gratitude) terhadap budaya organisasi Yayasan
(Fuller, Buote, & Stanley, 2017) dan (Müceldili, Erdil, Akgün, & Keskin, 2015)
bahwa rasa syukur (gratitude) yang dalam penelitian ini menggunakan tiga dimensi
yaitu, apresiasi positif, perasaan dan tindakan positif akan menopang tumbuhnya
situasi kerjasama tim ataupun implementasi budaya. (Ting et al., 2014) telah
menunjukkan bahwa rasa syukur berdampak terhadap loyalitas secara sikap. Rasa
syukur (gratitude) dapat memprediksikan kepuasan kerja. M. Lutfi Hadi Wicaksono
dan (Wulandari & Susilawati, 2016) berdasarkan penelitian dan analisis yang telah
dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa rasa syukur dan perilaku prososial
secara bersama-sama memiliki hubungan fungsional terhadap psychological well-
being (Berlita, 2014).
Maulina Amalia Sari dan Ameria Monalisa
168 Syntax Idea, Vol. 3, No 1, Januari 2021
Berdasarkan beberapa penelitian di atas, maka peneliti menganggap tema yang
peneliti angkat dalam penelitian ini masih relevan untuk diteliti, karena walaupun
penelitian ini dan penelitian sebelumnya memiliki beberapa persamaan namun masih
banyak perbedaan yang dijumpai, baik perbedaan prosedural maupun perbedaan
konseptual, sehingga dapat dikatakan bahwa penelitian ini masih baru dan belum
pernah dilakukan.
Kesimpulan
Berdasarkan kajian literatur secara sistematis dari penelitian terdahulu, dapat
disimpulkan bahwa budaya dan kebersyukuran berpengaruh terhadap Psychological
Well-Being. Hal ini sesuai dengan pendapat Menurut (Amawidyati & Utami, 2007)
faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well-being antara lain budaya dan
religiusitas. Perubahan budaya organisasi dari pola tradisionil yang mengandalkan
perubahan secara alamiah menjadi budaya organisasi modern yang terencana dan
bertahap memerlukan proses dan waktu cukup lama. Setelah proses perubahan dimulai,
diperlukan pemantauan secara periodik terhadap kemajuan. Di dalam budaya organisasi
yang positif, keryawan merasa lebih ingin melakukan pekerjaannya melebihi apa yang
telah disyaratkan dalam uraian pekerjannya, dan akan selalu mendukung tujuan
organisasi jika mereka diperlakukan oleh para atasan dengan positif dan dengan penuh
kesadaran serta percaya bahwa mereka diperlakukan secara adil oleh organisasi.
Kebersyukuran sebagai konstruksi kognitif ditunjukkan dengan mengakui kemurahan
dan kebaikan hati atas berkah yang telah diterima dan fokus terhadap hal positif di
dalam dirinya saat ini. Sebagai konstruksi emosi, kebersyukuran ditandai dengan
kemampuan mengubah respons emosi terhadap suatu peristiwa sehingga menjadi lebih
bermakna kebersyukuran sebagai konstruksi perilaku yaitu melakukan tindakan balasan
kepada orang lain atas manfaat dan anugerah yang telah diterima.
BIBLIOGRAFI
Aisyah, Asti, & Chisol, Rohmatun. (2018). Rasa Syukur Kaitannya dengan
Kesejahteraan Psikologis pada Guru Honorer Sekolah Dasar. Proyeksi: Jurnal
Psikologi, 13(2), 109122.
Amawidyati, Sukma Adi Galuh, & Utami, Muhana Sofiati. (2007). Religiusitas dan
psychological well‐being pada korban gempa. Jurnal Psikologi, 34(2), 164176.
Amir. (2005). Sequential extraction of heavy metals during composting of sewage
sludge. Chemosphere, 59(6), 801810.
Bartram, David, & Boniwell, Ilona. (2010). The science of happiness: achieving
sustained psychological wellbeing. In Practice, 29(8), 478482.
Berlita, Diyah Ambar. (2014). Hubungan Antara Sikap Syukur Dengan Kesejahteraan
Subjektif Siswa Man Yogyakarta 1. Skripsi. Program Studi Bimbingan Dan
Psychological Well-Being karyawan studi literatur
Syntax Idea, Vol. 3, No 1, Januari 2021 169
Konseling Jurusan Psikologi Pendidikan.
Cropanzano, Russell, & Wright, Thomas A. (1999). A 5-year study of change in the
relationship between well-being and job performance. Consulting Psychology
Journal: Practice and Research, 51(4), 252.
Diener, Ed, & Diener, Carol. (1996). Most people are happy. Psychological Science,
7(3), 181185.
Emmonse, R. A., & Mccullough, Michael E. (2003). Counting blessings versus
burdens: An experimental investigation of gratitude and subjective well-being in
daily life. Journal of Personality and Social Psychology, 84(2), 377389.
Fanani, Fanani. (2014). Pengaruh budaya organisasi terhadap psychological well being,
job involvement dan kinerja guru SMA Negeri di wilayah Gerbang kertasusila
Provinsi Jawa Timur. Die, 10(1).
Fuller, Daniel, Buote, Richard, & Stanley, Kevin. (2017). A glossary for big data in
population and public health: discussion and commentary on terminology and
research methods. J Epidemiol Community Health, 71(11), 11131117.
Keyes, Ryff &. (2003). Dimensions of well-being and mental health in adulthood.
Müceldili, Büsra, Erdil, Oya, Akgün, Ali Ekber, & Keskin, Halit. (2015). Collective
gratitude: Positive organizational scholarship perspective. International Business
Research, 8(8), 92.
Prabowo, Adhyatman. (2017). Gratitude dan psychological wellbeing pada remaja.
Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan, 5(2), 260270.
Ratnayanti, Theresia Lisiau, & Wahyuningrum, Enjang. (2016). Hubungan Antara
Gratitude Dengan Psychologi Calwellbeing Ibu Yang Memiliki Anak Tunagrahita
Di Slb Negeri Salatiga. Satya Widya, 32(2), 5764.
Robbins, Luthans. (2008). Organizational Behavior, 9th Edition. New Jersey: Prentice-
Hall, Inc, Perilaku Organisasi, Jakarta: Gramedia.
Ryan, Waterman, & Deci. (2001). On happiness and human potentials: A review of
research on hedonic and eudaimonic well-being. Annual Review of Psychology,
52(1), 141166.
Ryff, Carol D. (1989). Happiness is everything, or is it? Explorations on the meaning of
psychological well-being. Journal of Personality and Social Psychology, 57(6),
1069.
Ryff, Carol D., & Keyes, Corey Lee M. (1995). The structure of psychological well-
being revisited. Journal of Personality and Social Psychology, 69(4), 719.
Maulina Amalia Sari dan Ameria Monalisa
170 Syntax Idea, Vol. 3, No 1, Januari 2021
Sari, Endah Puspita, & Nuryoto, Sartini. (2002). Penerimaan diri pada lanjut usia
ditinjau dari kematangan emosi. Jurnal Psikologi, 29(2), 7388.
Sativa, Alissa Rosi, & Helmi, Avin Fadilla. (2013). Syukur dan harga diri dengan
kebahagiaan remaja. WACANA, 5(2).
Soh, Melinda, Zarola, Antonio, Palaiou, Kat, & Furnham, Adrian. (2016). Work-related
well-being. Health Psychology Open, 3(1), 2055102916628380.
Tay, Louis, & Diener, Ed. (2011). Needs and subjective well-being around the world.
Journal of Personality and Social Psychology, 101(2), 354.
Ting, Wen Ying, Huang, Shiang Fen, Lee, Ming Che, Lin, Yung Yang, Lee, Yu Chin,
Feng, Jia Yih, & Su, Wei Juin. (2014). Gender disparities in latent tuberculosis
infection in high-risk individuals: a cross-sectional study. PloS One, 9(11),
e110104.
Waterman, Alan S. (1993). Two conceptions of happiness: Contrasts of personal
expressiveness (eudaimonia) and hedonic enjoyment. Journal of Personality and
Social Psychology, 64(4), 678.
Watkins, Philip C., Woodward, Kathrane, Stone, Tamara, & Kolts, Russell L. (2003).
Gratitude and happiness: Development of a measure of gratitude, and relationships
with subjective well-being. Social Behavior and Personality: An International
Journal, 31(5), 431451.
Wood, Alex M., Joseph, Stephen, & Maltby, John. (2009). Gratitude predicts
psychological well-being above the Big Five facets. Personality and Individual
Differences, 46(4), 443447.
Wulandari, Ayu Ratih, & Susilawati, Luh Kadek Pande Ary. (2016). Peran penerimaan
diri dan dukungan sosial terhadap konsep diri remaja yang tinggal di panti asuhan
di Bali. Jurnal Psikologi Udayana, 3(3), 509518.
Yildirim, Murat, & Alanazi, Zainab Shalal. (2018). Gratitude and life satisfaction:
Mediating role of perceived stress. International Journal of Psychological Studies,
10(3), 2128.
Zed, Mestika. (2003). Kepialangan, politik, dan revolusi: Palembang, 1900-1950.
LP3ES.