Syntax Idea : p�ISSN: 2684-6853�
e-ISSN : 2684-883X�����
Vol. 1, No. 6 Oktober 2019
AKIBAT HUKUM
TERHADAP HARTA KEKAYAAN YANG DITIMBULKAN DARI PERKAWINAN SIRI MENURUT KOMPILASI
HUKUM ISLAM
Ratu
Mawar Kartina
Program
Pascasarjana Universitas Swadaya Gunung Jati (UGJ)
Cirebon
Email:
[email protected]
Abstrak
Masyarakat masih mengenal perkawinan
siri, yaitu perkawinan yang tidak dicatatkan oleh Pegawaian Pencatat Nikah yang
tidak memiliki kekuatan dan perlindungan hukum. Sehingga berpengaruh terhadap
kedudukan harta perkawinan dalam perkawinan siri. Dalam hal ini dibutuhkan
penjelasan mengenai akibat hukum perkawinan siri terhadap harta kekayaan dan
upaya yang dapat dilakukan untuk mendapatkan hak dan kewajiban suami istri
terkait harta perkawinan dalam perkawinan siri, agar masyarakat dapat memahami
akibat yang timbul dari perkawinan siri dan upaya agar mendapatkan perlindungan
dan kekuatan hukum yang pasti. Metode Pendekatan penelitian yang digunakan
adalah yuridis normatif didukung dengan yuridis empiris. Adapun bahan hukum
yang digunakan yaitu bahan sekunder berupa perundang-undangan tentang akibat
hukum terhadap harta kekayaan yang ditimbulkan dari perkawinan siri dan
didukung dengan bahan hukum primer. Penelitian dalam pengumpulan bahan hukum dilakukan
melalui studi kepustakaan. Teknik analisa bahan hukum yang digunakan adalah
kualitatif. Nikah
siri menimbulkan efek negatif yaitu tidak diakui negara, suami maupun isteri
tidak dapat memperoleh hak dalam hal perlindungan hukum atas perkawinan, kepastian
hak dan kewajiban orang tua dan anak tidak dapat sepenuhnya dilindungi oleh
Undang-Undang, penyelesain masalah harta kekayaan dalam perkawinan siri sulit
untuk diselesaikan karena tidak ada pihak yang berwenang dalam mengurus
pembagian harta kekayaan dalam perkawinan siri. Dengan
demikian nikah siri adalah pernikahan yang tidak memperoleh perlindungan dan
pelayanan hukum dan perkawinan siri berdampak buruk bagi kelangsungan rumah
tangganya. Salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk dapat memperoleh kekuatan
dan perlindungan hukum yaitu dengan Itsbat nikah atau dengan cara perkawinan
ulang.
Kata kunci: kawin siri, akibat hukum, harta kekayaan.
Pendahuluan
Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami istri, dengan tujuan membentuk
keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Sebagaimana diatur dalam Pasal 1
undang-undang Perkawinan. Berkaitan dengan pengertian perkawinan,
al-Qur�an juga menyebut dalam surat an-Nisa (4): 21, bahwa perkawinan sebagai
mitsaqan galidhan, yakni sebuah ikatan yang kokoh (Yani, 2017).
Perkawinan merupakan aspek penting dalam kehidupan
manusia karena hal tersebut memang mutlak terjadi pada makhluk hidup. Selain itu dalam hal perkawinan juga harus memperhatikan
norma yang ada dimasyarakat karena perkawinan
merupakan sebuah ikatan yang menyatukan antara laki-laki dan perempuan untuk
membentuk suatu keluarga. Indonesia memiliki variasi dalam
bentuk pelaksanaan perkawinannya. Mulai dari
perkawinan melalui Kantor Urusan Agama (KUA), hingga perkawinan yang cukup
dikenal oleh masyarakat dengan perkawinan bawah tangan atau perkawinan siri.
Perkawinan yang tidak dicatatkan atau yang dikenal dengan istilah kawin siri
yaitu perkawinan yang dilakukan dengan tidak dicatatkan di kantor
pegawai pencatatan nikah (KUA bagi yang beragama Islam, Kantor Catatan Sipil
bagi non-Islam).
Sebagaimana diketahui bahwa Undang-Undang Perkawinan
lahir pada tahun 1974, maka sebelum lahirnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
tersebut, di Indonesia berlaku berbagai macam hukum perkawinan. Dengan demikian, hal itu tidak bisa terlepas dari sifat pluralisme
dalam bidang hukum perkawinan yang beraneka ragam. Nikah siri adalah
salah satu bentuk permasalahan yang saat ini masih banyak terjadi di negara
Indonesia, karena memang biasanya nikah siri dilakukan hanya dihadapan seorang
ustadz atau tokoh masyarakat saja sebagai penghulu (Nomor, 1AD). Selain itu, pernikahan siri ini
sangat sulit untuk diketahui bahkan dipantau oleh pihak yang berwenang. Sedangkan dimasyarakat khususnya di Kabupaten Cirebon masih ada
ditemukannya perkawinan yang belum dicatatkan di Pegawai Pencatat Nikah Kantor
Urusan Agama.
Maka jelas bahwa pasangan suami istri yang tidak mencatatkan
perkawinannya tidak akan mempunyai Buku Nikah serta
tidak mempunyai kepastian dan kekuatan hukum dan karenanya tidak pula
dilindungi oleh hukum. Persoalan mengenai perkawinan siri
memang masih menimbulkan pro dan kontra. Sistem hukum
Indonesia tidak mengenal adanya istilah perkawinan siri serta tidak mengatur
secara khusus mengenai perkawinan siri dalam sebuah peraturan. Namun, secara umum, istilah ini diberikan bagi perkawinan yang
tidak dicatatkan kepada Pegawai Pencatat Nikah. Hal ini juga akan berpengaruh terhadap bagaimana kedudukan harta
perkawinan dalam perkawinan siri. Berdasarkan hal tersebut, maka dari itu
penulis tertarik untuk meneliti tentang �Akibat hukum terhadap harta kekayaan
yang ditimbulkan dari perkawinan siri menurut kompilasi hukum islam�.
Metode
Penelitian
Metode Pendekatan
penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif didukung dengan yuridis
empiris. Adapun bahan hukum yang digunakan yaitu bahan sekunder berupa
perundang-undangan tentang akibat hukum terhadap harta kekayaan yang
ditimbulkan dari perkawinan siri dan didukung dengan bahan hukum primer.
Penelitian dalam pengumpulan bahan hukum dilakukan melalui studi kepustakaan.
Hasil dan Pembahasan
A. Akibat Hukum Perkawinan Siri
1.
Kedudukan Harta Kekayaan
Perkawinan
mempunyai akibat hukum tidak hanya terhadap diri pribadi mereka yang
melangsungkan pernikahan, hak dan kewajiban yang mengikat pribadi suami isteri,
mempunyai akibat hukum pula terhadap harta suami isteri tersebut. Hubungan hukum
kekeluargaan dan hubungan hukum kekayaan begitu eratnya, sehingga keduanya
memang dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Hubungan hukum
kekeluargaan menentukan hubungan hukum kekayaannya dan hukum harta perkawinan
tidak lain merupakan hukum kekayaan keluarga.
Seperti hal
nya yang terjadi pada salah satu pelaku nikah siri di daerah kabupaten Cirebon,
dimana pada pasangan suami istri ini melakukan perkawinan siri karena beberapa
faktor yaitu salah satunya mengenai faktor ekonomi, yang mana pernikahan
tersebut dapat dilakukan secepatnya dan cukup dilakukan secara agama saja
sehingga perkawinan siri dianggap lebih ekonomis dan membantu karena cukup
dilakukan dihadapan ulama atau tokoh agama setempat saja. Selain untuk
menghemat biaya pernikahan juga dapat menghindari prosedur administratif yang
dianggap berbelit-bellit. Hal tersebut juga didukung dengan rendahnya pemahaman
mengenai akibat yang ditimbulkan dalam perkawinan sehingga mereka melakukan
perkawinan siri.
Dampak dari
perkawinan siri berpengaruh ketika terjadi permasalahan harta antara suami
istri yang mana si istri mempunyai penghasilan dengan bekerja sebagai Tenaga
Kerja Wanita di luar negeri, sedangkan suami hanya menjadi buruh bangunan.�
Ketika
perkawinan siri tersebut mengalami permasalahan seperti perceraian maka akan
menimbulkan masalah baru khususnya mengenai harta perkawinan, dalam hal ini
upaya dalam menyelesaikan permasalahan tersebut akan mengalami kesulitan.
Karena memang dalam hal pengurusan pembagian harta bersama tersebut tidak ada
pihak yang berwenang untuk membantu menyelesaikan persoalan.
Dalam
perkawinan siri tidak ada pencampuran harta perkawinan. Sehingga begitu sulit
untuk memecahkan persoalan mengenai harta bersama dalam perkawinan siri.
Pada dasarnya
setiap perkawinan, masingmasing pihak dari suami atau isteri mempunyai harta
yang dibawa dan diperoleh sebelum melakukan akad perkawinan. Suami atau isteri
yang telah melakukan perkawinan mempunyai harta yang diperoleh selama perkawinan
yang disebut harta bersama (Idris, 2006).
Suami maupun
isteri mempunyai hak untuk mempergunakan harta bersama yang telah diperolehnya
tersebut untuk kepentingan rumah tangganya tentunya dengan persetujuan kedua
belah pihak. Hal ini berbeda dengan harta bawaan yang keduanya mempunyai hak
untuk mempergunakan tanpa harus ada persetujuan dari keduanya atau masingmasing
berhak menguasainya sepanjang para pihak tidak menentukan lain (Hilman, 1990).
Sedangkan
dalam kasus tersebut diatas suami lebih dominan menguasai harta istri, hal
tersebut akan sangat merugikan pihak isteri. Karena memang dalam perkawinan
siri merupakan hal yang sudah pasti bahwa perempuan yang dinikah siri akan
mengalami dampak besar untuk dirugikan.
Pada dasarnya
penyelesain masalah harta kekayaan dalam perkawinan siri sulit untuk
diselesaikan karena memang tidak ada pihak yang berwenang dalam mengurus
pembagian harta kekayaan dalam perkawinan siri. Selain itu, upaya yang biasanya dilakukan untuk pembagian
harta kekayaan ditempuh oleh perempuan/isteri dengan pendekatan persuasif
dengan melibatkan keluarga pihak suami. Karena memang untuk penyelesaian
harta bersama lembaga peradilan tidak mempunyai kewenangan untuk
menyelesaikannya. Namun, pada umumnya salah satu upaya yang biasa
ditempuh yaitu dengan cara kekeluargaan.
Sehingga
akibat hukum perkawinan siri terhadap harta kekayaan perkawinan tidak memiliki
kekuatan hukum sehingga akan sangat sulit untuk mengatur mengenai harta bersama
dalam perkawinan siri. Dampak
dari perkawinan siri juga akan berpengaruh terhadap
kedudukan istri dan status anak
2.
Kedudukan Isteri
Secara hukum perempuan yang dinikah siri tidak
dianggap sebagai isteri yang sah. Dengan kata lain perkawinan
itu dianggap tidak sah. Karena itu isteri siri tidak berhak
atas nafkah dan harta warisan suami jika suami meninggal dunia. Isteri siri tidak berhak atas harta gono gini jika terjadi
perceraian. Isteri siri tidak berhak mendapat
tunjangan istri dan tunjangan pensiun dari suami.
Sedangkan
secara sosial, isteri siri akan sulit bersosialisasi
karena perempuan yang melakukan perkawinan bawah tangan sering dianggap
masyarakaat tinggal serumah dengan laki-laki tanpa ikatan perkawinan (alias
kumpul kebo) dan banyak yang dianggap sebagai istri simpanan. Mereka rentan untuk dipermainkan oleh laki-laki yang tidak
bertanggung jawab karena mereka tidak memiliki kekuatan hukum apapun, mudah
ditelantarkan, tidak diberi nafkah dengan cukup dan tidak ada kepastian status
dari suami, karena nikah siri tidak diakui oleh hukum.
Isteri dalam perkawinan siri tidak mempunyai bukti
otentik yang diakui hukum sebagai isteri sah. Jika sengketa dalam rumah tangga,
baik dikala masih hidup maupun sudah mati, salah satu pihak atau keduanya tidak
dapat menuntut penyelesaian melalui lembaga peradilan. Sehingga dalam hal ini tidak dapat dituntut secara formal kecuali
hanya secara kekeluargaan.
Para pihak baik suami maupun isteri tidak dapat
memperoleh hak dalam hal perlindungan hukum atas perkawinan yang mereka jalani. Hak suami atau isteri dapat
dilindungi oleh UndangUndang setelah mereka memiliki alat bukti otentik tentang
perkawinannya. Maka untuk mendapatkan kepastian dan
perlindungan hukum salah satu caranya yaitu harus dilakukan Itsbat nikah
seperti yang diatur melalui Pasal 7 KHI.
3.
Kedudukan Anak
Kejelasan status perkawinan suami isteri melalui bukti
otentik tentang perkawinan mereka, menjadi landasan bagi kejelasan status hukum
seorang anak. Seperti
untuk kepengurusan akta kelahiran si anak, landasannya adalah surat nikah. Jika suami isteri tersebut tidak pernah
mencatatkan perkawinannya, maka ketika lahir anak dan memerlukan akta
kelahiran, kantor kependudukan tidak akan mengeluarkan akta kelahiran tersebut (Anshary, 2010).
Selain itu, dengan perkawinan yang tidak dicatatkan
maka kepastian hak dan kewajiban orang tua dan anak pun tidak dapat sepenuhnya
dilindungi oleh UndangUndang.
Asal-usul
seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran yang otentik yang dikeluarkan
oleh pejabat yang berwenang atau oleh Pengadilan Negeri setelah melakukan
pemeriksaan yang teliti atas permohonan yang bersangkutan (Pasal 55) anak yang
sah adalah anak yangdilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
Sedangkan bilamana perkawinan siri (tidak dicatatkan) maka kejelasan mengenai
status anak tersebut akan hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya saja.
B. Upaya Hukum
1.
Itsbat Nikah
Upaya hukum pertama yang dapat dilakukan untuk
mendapatkan pengakuan negara bagi perkawinan yang tidak dicatatkan adalah
melalui pengajuan penetapan nikah (Itsbat nikah). Itsbat nikah adalah perkawinan yang semula tidak
dicatatkan menjadi tercatat dan disahkan oleh negara serta memiliki kekuatan
hukum (Salikin, 2008). Itsbat nikah merupakan istilah
baru dalam fiqh munakahat, yang secara harfiah berarti �penetapan�, atau
�pengukuhan� nikah. Secara substansial konsep ini
difungsikan sebagai ikhtiar agar perkawinan tercatat dan mempunyai kekuatan
hukum.
Dasar
Itsbat nikah Pasal 7 KHI :
a.
Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah
yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.
b.
Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan
Akta Nikah, dapat diajukan Itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.
c.
Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama
terbatas.
d.
Mengenai hal-hal yang berkenaan dengan:
1)
Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian
perceraian; hilangnya Akta Nikah.
2)
Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu
syarat�������������������������������������������������������������
4 Adang Djumhur Salikin, Itsbat Nikah, Adjumhur.blogspot.,
2008, diunduh pada 20 Juli 2018 pukul 6.00 perkawinan.
3)
Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya UU
No. 1/1974.
4)
Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak
mempunyai halangan perkawinan menurut UU No. 1/1974.
e.
Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah
suami atau istri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan
dengan perkawinan itu.
Dari
klausul Pasal 7 KHI tersebut, permohonan Itsbat nikah bagi perkawinan siri yang
dilakukan pada saat sebelum pengesahan UU No. 1/1974 (UUP) sepanjang memenuhi
persyaratan, dalam prakteknya, Pengadilan Agama mengabulkan. Namun
demikian permohonan Itsbat nikah bagi perkawinan siri yang dilakukan pada saat
setelah disahkan UUP tersebut memang cukup sulit dikabulkan kecuali pengajuan
Itsbat nikah dalam rangka peerceraian. Tentu ini
sangat sulit bagi pasangan yang tidak menginginkan perceraian. Selain
itu proses yang akan dijalaninya pun akan memakan waktu yang lama (Undip, n.d.).
Dalam memahami KHI Pasal 7 tersebut, secara umum
itsbat nikah diperlukan agar perkawinan memiliki kekuatan hukum. Namun, prosesnya hanya dapat
dilakukan ketika perkawinan siri masih berlangsung, dengan tujuan untuk
mengukuhkan dan meningkatkan kualitas ikatan perkawinan itu sendiri, selain
agar perkawinan tercatat dan memiliki kekuatan hukum. Itsbat
nikah tidak dapat dilaksanakan ketika perkawinan sudah tidak ada, atau ketika
perceraian sudah terjadi. Sebab, apa yang mau
diitsbatkan ketika perkawinannya sendiri sudah tidak ada. Selambatlambatnya
itsbat nikah mungkin dilakukan ketika proses peceraian dimulai dan ikatan
perkawinan masih ada. Ketika perceraian sudah terjadi, apalagi sesudah habis masa� idah, itsbat
nikah sudah tidak relevan lagi.
�Ada beberapa prosedur dalam pengajuan itsbat
nikah, yaitu:
1.
Menyerahkan surat permnohonan
itsbat nikah ke Pengadilan Agama. Surat keterangan dari KUA setempat.
2.
Surat keterangan dari kepala desa atau lurah yang
menerangkan bahwa pemohon telah menikah.
3.
Fotocopy KTP pemohon Itsbat Nikah.
4.
Membayar biaya perkara,
5.
Dan lain-lain yang akan
ditentukan hakim dalam persidangan.
Tujuan diadakannya itsbat nikah yaitu digunakan dalam
rangka mendapatkan pengakuan dari negara atas perkawinan yang statusnya hanya
sah menurut agama sehingga perkawinan tersebut berkekuatan hukum. Sementara untuk mendapatkan pengesahan anak yang
dilahirkan dari perkawinan siri juga harus disertakan bersamaan dengan
pengajuan Itsbat nikah agar mendapat penetapan yang sama
dengan pengesahan nikah orang tuanya
2.
Perkawinan Ulang
Perkawinan ulang dilakukan layaknya perkawinan menurut
agama Islam (Tajdid).
Tajdid ini bukan karena menganggap pernikahan pertama tidak sah akan tetapi dilakukan untuk melengkapi kekurangan yang ada
pada pernikahan pertama (siri). Namun, perkawinan harus
disertai dengan pencatatan perkawinan oleh pejabat yang berwenang (KUA).
Pencatatan perkawinan ini penting agar ada kejelasan status
bagi perkawinan suami isteri. Namun, jika telah ada anak, status
anakanak yang lahir dalam perkawinan siri (sebelumnya) akan
tetap dianggap sebagai anak diluar kawin, karena perkawinan ulang tidak berlaku
surut terhadap status anak yang dilahirkan sebelum perkawinan ulang
dilangsungkan. Oleh karena itu, dalam akte kelahiran anak
yang lahir sebelum perkawinan ulang tetap sebagai anak luar kawin, sebaliknya
anak yang lahir setelah perkawinan ulang statusnya sebagai anak sah yang lahir
dalam perkawinan.
Karena
Pasal 43 UUP dan Pasal 100 KHI menyebutkan anak yang lahir di luar pernikahan
yang sah (menurut hukum positif) hanya mempunyai hubungan nasab/perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya maka upaya perkawinan ulang menjadi tidak berati
bagi kepentingan status hukum anaknya, kecuali belum ada anak yang dilahirkan
sebelum perkawinan ulang.
Kesimpulan
1. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan (2)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal
4 dan Pasal 5 ayat (1) dan (2) Kompilasi Hukum Islam, suatu perkawinan
disamping harus dilakukan secara sah menurut Hukum Agama juga harus dicatat
oleh Pejabat yang berwenang. Dengan demikian nikah siri adalah pernikahan yang
tidak memperoleh perlindungan dan pelayanan hukum perkawinan, mereka tidak
diakui dalam daftar kependudukan, bagi anak-anak mereka tidak dapat memperoleh
akta kelahiran dan tidak dapat menyelesaikan masalah harta perkawinan melalui
lembaga peradilan.
2. Perkawinan siri banyak menimbulkan dampak buruk bagi
kelangsungan rumah tangganya. Akibat hukum bagi perkawinan yang tidak memiliki
akta nikah tidak dapat melakukan tindakan hukum baik mengenai status para pihak
(suami istri), status anak dan juga mengenai harta perkawinan.
�
BIBLIOGRAFI
Anshary, H. M. (2010). Hukum perkawinan di Indonesia: masalah-masalah
krusial. Pustaka Pelajar.
Hilman, H. (1990). Hukum Perkawinan Indonesia. Bandung:
Mandar Maju.
Idris, R. M. (2006). Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan,
Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam. Sinar Grafika,
Jakarta.
Nomor, U.-U. R. I. (1AD). Tahun 1974 tentang Perkawinan &
Kompilasi Hukum Islam.(2007). Bandung, ID: Citra Umbara Kay.
Salikin, A. D. (2008). Itsbat Nikah.
Undip. (n.d.). Dullah Wasian. Retrieved from http://eprints.undip.ac.id/24443/1/AB%0ADULLAH_WASIAN.pd
Yani, E. A. (2017). Peranan Wali Nikah Siri Dalam Perspektif
Hukum Islam Dan Hukum Positif Di Indonesia. Syntax Literate; Jurnal Ilmiah
Indonesia, 2(11), 40�49.