Syntax Idea: p�ISSN: 2684-6853 e-ISSN: 2684-883X�����

Vol. 2, No. 11, November 2020

 


FAKTOR RISIKO KEJADIAN RELAPS PADA PENDERITA SKIZOFRENIA PARANOID DI RSKD PROVINSI SULAWESI SELATAN

 

Isymiarni Syarif, Andi Nursiah dan Idris�

Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Islam Makassar Sulawesi Selatan, Indonesia

Email: i[email protected],[email protected] dan [email protected]

 

Abstract

The research aimed to analyse the risk factors of the relapse incident on the patient with paranoid schizophrenia in Regional Specific Hospital South Sulawesi Province. This was an observational analytic research with the case control study design. Samples were as many as 76 cases who underwent relapse during the examination was conducted in the long stay unit and 76 controls who did not experience the relapse during the examination was carried out in the mental clinic. The samples were taken by using the purposive sampling technique. The data were analysed using the odds ratio test and multiple logistic regression method.The results of the research indicates that risk factors of the non-obedience to treatment are: OR = 26.168 (95%CI:10.263-68.355), health insurance OR=6.93 (95%CI:1.44-65.40) and stigma OR = 7.99 (95%CI: 3.65-17.75). Whereas the families� support OR=1.23 (95% CI : 0.55-2.73) and the families� psychoeducation OR = 0.75 (95% CI :0.37-1.53) are not risk factors. The non obedience on treatment OR = 21.11 (95% CI: 5.69 - 52.92) p = 0.000, represents the most risky factor towards the relapse incident on the patient with paranoid schizophrenia. Recommended patient to increased medication adherence and for families of patients� to controlling in treatment and increased support and attention of paranoid schizophrenia and the government regional with Regional Specific Hospital to make regulation about health insurance of mental disorder (paranoid schizophrenia).

 

Keywords: Relapse of paranoid schizophrenia; Risk factor; Paranoid

�

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor risiko kejadian relaps pada pasien skizofrenia paranoid di RSUD Provinsi Sulawesi Selatan. Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan desain studi kasus kontrol. Sampel sebanyak 76 kasus yang mengalami kekambuhan selama pemeriksaan dilakukan di unit rawat inap lama dan 76 kontrol yang tidak mengalami kekambuhan selama pemeriksaan dilakukan di poliklinik jiwa. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik purposive sampling. Analisis data menggunakan uji odds ratio dan metode regresi logistik ganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor risiko ketidakpatuhan berobat adalah: OR = 26.168 (95% CI: 10.263-68.355), jaminan kesehatan OR = 6.93 (95% CI: 1.44-65.40) dan stigma OR = 7.99 (95% CI: 3.65-17.75). Sedangkan dukungan keluarga OR = 1,23 (95% CI: 0,55-2,73) dan psikoedukasi keluarga OR = 0,75 (95% CI: 0,37-1,53) bukan merupakan faktor risiko. Ketidaktaatan pengobatan OR = 21,11 (95% CI: 5,69 - 52,92) p = 0,000, merupakan faktor yang paling berisiko terhadap kejadian relaps pada penderita skizofrenia paranoid. Merekomendasikan pasien untuk meningkatkan kepatuhan pengobatan dan keluarga pasien untuk mengontrol dalam pengobatan dan meningkatkan dukungan dan perhatian skizofrenia paranoid dan pemerintah daerah dengan RSUD Daerah untuk membuat regulasi tentang jaminan kesehatan gangguan jiwa (skizofrenia paranoid).

 

Kata kunci: Relaps skizofrenia paranoid; Faktor risiko;Paranoid;

 

Pendahuluan

Pembangunan dibidang kesehatan merupakan bagian dari pembangunan nasional, pemerintah sebagai institusi yang bertanggung jawab atas pemeliharaan kesehatan harus memenuhi kewajiban dalam menyediakan sarana pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan mutu kesehatan bagi seluruh masyarakat (Naldi, 2019). Kesehatan merupakan kebutuhan manusia yang utama dan menjadi prioritas yang mendasar bagi kehidupan. Pelaksanaan pembangunan di bidang kesehatan melibatkan seluruh warga masyarakat Indonesia hal tersebut dapat dimengerti karena pembangunan kesehatan mempunyai hubungan yang dinamis dengan sektor pembangunan lainnya (Rahmat, 2020).

Salah� satu� jenis� gangguan� jiwa� psikosis fungsional adalah Skizofrenia. Skizofrenia� ditandai� dengan� gejala-gejala positif� dan� negatif,� gejala� positif� seperti pembicaraan�� kacau,�� delusi,�� halusinasi, gangguan� kognitif� dan� persepsi.� Gejala negatif�� seperti Avolition (menurunnya minat dan dorongan), berkurangnya keinginan��� bicara��� dan�� miskinnya��� isi pembicaraan,��� afek��� yang��� datar,��� serta terganggunya relasi personal (Maylani, Fadraersada, & Ramadhan, 2018).

Skizofrenia adalah sekelompok gangguan psikotik dengan distorsi khas proses pikir, kadang-kadang mempunyai perasaan bahwa dirinya sedang dikendalikan oleh kekuatan dari luar dirinya, waham yang kadang-kadang aneh, gangguan persepsi, afek abnormal yang terpadu dengan situasi nyata atau sebenarnya, dan autisme. Skizofrenia merupakan gangguan psikotik yang paling sering. Hampir 1% penduduk di dunia menderita skizofrenia selama hidup mereka. Gejala skizofrenia biasanya muncul pada usia remaja akhir atau dewasa muda (Zahnia & Sumekar, 2016).

Skizofrenia merupakan gangguan psikotik yang bersifat kronis/kambuh ditandai dengan penurunan dan kerusakan kognitif, dimana sebagian besar terjadi gangguan pada memori, perhatian dan kepribadian, semuanya dikaitkan pada kemampuan seseorang dalam beradaptasi baik secara individu maupun sosial (Halder & Mahato, 2009). Penderita skizofrenia juga menunjukkan tanda penurunan dan ketidakmampuan dalam mengatasi masalah serta melakukan aktifitas sehari-hari sehingga penderita dapat kehilangan pekerjaan, teman, kelompok dan komunitas, karena mereka tidak mampu berbuat sesuatu (Latifa, 2010), bahkan ada pasien yang hidup menggelandang dijalan atau dipasung di rumah.

Skizofrenia merupakan suatu gangguan jiwa yang ditandai oleh adanya penyimpangan yang sangat dasar dan adanya perbedaan dari pikiran, disertai dengan adanya ekspresi emosi yang tidak wajar. Skizofrenia sering ditemukan pada lapisan masyarakat dan dapat dialami oleh setiap manusia (Kaunang, Kanine, & Kallo, 2015).

Menurut (Organization, 2001) bahwa prevalensi skizofrenia dalam masyarakat berkisar antara satu sampai tiga per mil penduduk, ini sejalan dengan data Mental Health Research Association 2006, menyebutkan bahwa jumlah penderita dengan skizofrenia di dunia terutama negara berkembang mengalami peningkatan, sekitar 1 dari 100 orang di dunia mengalami skizofrenia (Rafiyah, 2011). Skizofrenia lebih sering dikaitkan dengan status sosial seseorang, lahir secara alamiah namun dalam kehidupan selalu menjadi kontroversi (Corcoran et al., 2009). Sedangkan di Indonesia pada tahun 2007 prevalensi skizofrenia di Indonesia adalah 2 per mil kemudian menurut WHO prevalensi penderita skizofrenia di Indonesia tahun 2013 meningkat menjadi 2,6 per mil pada tahun 2013 (Wahyudi & Fibriana, 2016).. Diantara penderita skizofrenia di seluruh dunia sekitar 20-50% telah melakukan percobaan bunuh diri dan 10% diantaranya meninggal karena bunuh diri. Angka kematian penderita skizofrenia ini 8 kali lebih tinggi daripada angka kematian penduduk pada umumnya (Hawari, 2012).

Prevalensi penderita skizofrenia di Indonesia adalah 0,3-1% dan biasanya timbul pada usia sekitar 18-45 tahun, namun ada juga yang baru berusia 11-12 tahun sudah menderita skizofrenia. Apabila penduduk Indonesia sekitar 200 juta jiwa, maka diperkirakan sekitar 2 juta jiwa menderita skizofrenia, dimana sekitar 99% pasien di RS Jiwa di Indonesia adalah penderita skizofrenia (Arif, 2006).Penderita skizofrenia sering mendapat stigma dan diskriminasi yang lebih besar dari masyarakat disekitarnya dibandingkan individu yang menderita penyakit medis lainnya. Mereka sering mendapat perlakuan yang tidak manusiawi, misalnya perlakuan kekerasan, diasingkan, diisolasi atau dipasung. Mereka sering sekali disebut sebagai orang gila (insanity atau madness) (Amelia & Anwar, 2013).

Menurut data hasil penelitian Setiadi 2006, prevalensi pasien skizofrenia di Indonesia dilaporkan sekitar 2 milliar dari 200 milliar populasi (Rafiyah, 2011). Sejalan dengan pendapat Hawari 2007 bahwa Indonesia sekitar 1 % hingga 2% dari total jumlah penduduk mengalami skizofrenia yaitu mencapai 3 per 100 penduduk dimana prevalensi psikosis adalah 1,44 per 1000 penduduk diperkotaan dan 4,6 per 1000 penduduk di pedesaan berarti jumlah penyandang skizofrenia sebanyak 600.000 orang produktif (Soliman, Ilyas, & Chang, 2007).

Skizofrenia mempunyai beberapa macam jenis, ada skizofrenia hibrefenik, katatonik, afektif, paranoid, dan skizofrenia simplek. Skizofrenia paranoid merupakan jenis skizofrenia terbanyak di seluruh dunia, ini sejalan dengan Durand 2006 yang mengatakan bahwa 50% pasien yang dirawat di Rumah Sakit menderita skizofrenia paranoid (Saputri, 2018).

Skizofrenia paranoid biasanya terjadi pada usia 16-25 tahun. Puncak serangan pada usia remaja dan dewasa muda memang berisiko tinggi karena tahap kehidupan ini penuh stressor yang ditandai dengan adanya gangguan kepribadian paranoid atau kecurigaan berlebihan, menganggap semua orang sebagai musuh. Kondisi penderita seperti ini sering terlambat disadari keluarga dan lingkungannya karena dianggap sebagai bagian dari tahap penyesuaian diri. Pengenalan dan intervensi dini berupa obat dan psikososial sangat penting karena semakin lama ia tidak diobati, kemungkinan kambuh semakin sering dan resistensi terhadap upaya terapi semakin kuat. Selain itu, kekambuhan skizofrenia paranoid� terjadi akibat adanya riwayat skizofrenia dalam keluarga, stress lingkungan dan status sosial ekonomi yang rendah sekurang-kurangnya sebagian adalah karena dideritanya gangguan ini.

Perawatan kasus psikiatri dikatakan mahal karena gangguannya bersifat jangka panjang (Vijay, 2005). Seperti halnya pada penderita skizofrenia paranoid, penderita pada umumnya berespon baik terhadap pengobatan, tetapi angka relaps masih tinggi dalam setahun perjalanan penyakit. Ketidakpatuhan terhadap pengobatan merupakan salah satu penyebab relaps dan pasien perlu dirawat inap kembali (Simanjuntak, 2008). Menurut (Nurbiah, 2017) data kekambuhan menunjukkan bahwa 50% dari kelompok yang pengobatannya dihentikan kambuh selama kurun waktu yang sama, dibandingkan 32 % dari kelompok yang pengobatannya diteruskan sampai paling tidak selama 1 tahun.�

Ketidakpatuhan pengobatan sering kali menjadi dampak dari kesulitan ekonomi dan keuangan keluarga yang tidak sehat seperti terlibat utang, kebangkrutan usaha atau pendapatan yang lebih kecil dari pengeluaran menjadi indikator taraf kesehatan jiwa dan seringkali masalah ini menjadi faktor kambuhnya gangguan jiwa skizofrenia, sebanyak 57,4% penderita kambuh karena tidak memiliki kemampuan ekonomi dalam menanggung biaya. Tingginya biaya perawatan yang harus ditanggung keluarga maupun masyarakat, dimana Biaya berobat yang harus ditanggung penderita tidak hanya meliputi biaya yang langsung berkaitan dengan pelayanan medik seperti harga obat, jasa konsultasi tetapi juga biaya spesifik lainnya seperti biaya transportasi ke rumah sakit dan biaya akomodasi lainnya (Tomb, 2004).

Menurut Nurdiyana dkk (2007) Hal ini tidak terbatas pada keluarga dengan status sosial ekonomi rendah, pendidikan rendah saja, namun juga dialami oleh keluarga kalangan atas, agaknya masih cukup kuat kepercayaan dalam masyarakat bahwa skizofrenia disebabkan oleh kutukan karena dosa, kemasukan� roh-roh jahat ataupun disebabkan oleh guna-guna. Hal ini disebabkan oleh stigma, rasa malu dan penyalahan dari lingkungan sosial yang dialami keluarga. sehingga mereka malu mengakui ataupun mencari bantuan yang diperlukan. Bahkan Bagi beberapa keluarga kehadiran skizofrenia menimbulkan aib yang besar. Sebuah penelitian di Singapura memperlihatkan, terdapat 73% responden yang mengalami kesulitan dalam pekerjaan, 52% mengalami rendah diri dan 51% dimusuhi akibat menderita skizofrenia (Irmansyah, 2005).

Menurut Sasanto, relaps/kekambuhan dapat diminimalkan atau dicegah melalui pengintegrasian antara intervensi farmakologis dan non farmakologis, selain itu dukungan keluarga juga sangat dibutuhkan untuk resosialisasi dan pencegahan relaps (Vijay, 2005). Relaps pada penderita skizofrenia setelah remisi (sembuh bebas dari gejala) yang berada ditengah keluarga merupakan suatu tanda bahwa keluarga gagal untuk melakukan koping dengan baik. Penelitian yang sama di Inggris (Vaugh dalam Keliat, 1996) dan di Amerika serikat (Snyder dalam Keliat, 1996) memperlihatkan bahwa keluarga dengan ekspresi emosi yang tinggi (bermusuhan, mengkritik) diperkirakan kambuh dalam waktu 9 bulan. Hasilnya 57% kembali dirawat dari keluarga dengan ekspresi emosi yang tinggi dan 17% kembali dirawat dari keluarga dengan ekspresi emosi yang rendah. Terapi keluarga dapat diberikan untuk menurunkan ekspresi emosi (Keliat, 1996)

Tingginya angka kekambuhan gangguan jiwa skizofrenia paranoid menjadi masalah bagi rumah sakit, walaupun penyebabnya belum diketahui secara pasti. Berbagai upaya pencegahan telah banyak dilakukan diantaranya dengan melaksanakan program pengobatan pasca perawatan (family psycho education program), kunjungan rumah dan terapi keluarga tetapi upaya tersebut belum banyak memberikan hasil (Sirait, 2008). Angka kekambuhan hanya 21% untuk kelompok yang menerima terapi saja dan 15% untuk kelompok yang menerima terapi dikombinasikan dengan pengobatan (Durand,2006).

Pentingnya peran serta keluarga dalam perawatan klien skizofrenia dapat dipandang dari berbagai segi. Keluarga merupakan tempat dimana individu memulai hubungan interpersonal dengan lingkungannya. Keluarga adalah institusi pendidikan utama bagi individu untuk belajar dan mengembangkan nilai, keyakinan, sikap dan perilaku. Individu menguji coba perilakunya didalam keluarga, dan umpan balik keluarga mempengaruhi individu dalam mengadopsi perilaku tertentu. Semua ini merupakan persiapan individu untuk berperan di masyarakat (Musdalifah, 2009).

Berdasarkan data keadaan morbiditas pasien rawat jalan RSKD Provinsi Sulawesi Selatan di poli jiwa didapatkan jumlah kunjungan untuk gangguan jiwa skizofrenia paranoid tahun 2009 sebanyak 1195 kunjungan (53,22%), tahun 2010 Skizofrenia paranoid pada rawat inap tidak tercatat di bagian rekam medik,akan tetapi pada rawat jalan kejadian skizofrenia paranoid hanya 60 kunjungan (0,36%), dan tahun 2011 sebanyak 543 kunjungan (4,18%) pada rawat inap, sedangkan rawat jalan 2011 tidak ada data yang tercatat di rekam medik. (Rekam Medik RSKD Provinsi Sulawesi Selatan, 2011).

Berdasarkan data tersebut, maka penelitian ini akan menggunakan kelompok relaps sebagai target populasi dalam penelitian ini didasarkan pada kenyataan bahwa rehospitalisasi sering terjadi pada penderita yang mengalami relaps di RSKD Provinsi Sulawesi Selatan pada penderita skizofrenia paranoid. Data tentang kejadian relaps masih minim, ini ditunjang dari hasil wawancara salah satu petugas di RSKD Provinsi Sulawesi Selatan bahwa mereka tidak memiliki data tentang kejadian relaps skizofrenia paranoid. Oleh karena itu, dengan mengetahui faktor risiko yang mengakibatkan terjadinya relaps diharapkan dapat dilakukan pencegahan kejadian relaps dan dapat menurunkan angka rehospitalisasi. Berdasarkan keadaan tersebut, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi kejadian relaps pada skizofrenia paranoid, yang dapat digunakan untuk mencegah kejadian relaps dan menurunkan angka rehospitalisasi.

Untuk menganalisis faktor risiko terhadap kejadian relaps pada penderita skizofrenia paranoid di RSKD Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2012 Merupakan salah satu sumber informasi yang penting untuk penderita skizofrenia paranoid dan keluarganya serta masyarakat luas tentang faktor risiko yang memicu relaps (kekambuhan) skizofrenia paranoid.

 

Metode Penelitian

Penelitian ini adalah observasional analitik dengan menggunakan rancangan case control study. Studi ini merupakan study observasional yang menilai hubungan paparan penyakit dengan cara menentukan sekelompok orang-orang berpenyakit (disebut kasus) dan sekelompok orang-orang yang tidak berpenyakit (disebut kontrol), lalu membandingkan frekuensi paparan pada kedua kelompok.

Pada penelitian ini dilakukan matching pada variabel umur penderita, yaitu dengan menyetarakan masing-masing umur kontrol dengan umur penderita yang terpilih sebagai kasus dengan perbandingan satu kontrol untuk satu kasus yang diikutsertakan sebagai sampel penelitian. Adapun alasan yang mendasari sehingga pada penelitian ini dilakukan matching pada variabel umur penderita erat kaitannya dengan relaps (kekambuhan) skizofrenia paranoid. Skizofrenia paranoid menyerang usia remaja dan dewasa muda yang merupakan risiko tinggi terjadinya relaps (kekambuhan) skizofrenia paranoid.

 

Hasil dan Pembahasan

A.      Hasil Penelitian

1.    Karakteristik sampel

Pada penelitian ini dilakukan matching umur, sehingga frekuensi responden antara kasus dan kontrol sama, menunjukkan bahwa sebagian besar responden menurut kelompok umur lebih didominasi oleh kelompok umur 25-34 tahun sebesar 46,05%, yang terendah yaitu kelompok umur 15-24 tahun yaitu sebanyak 6 orang (7,89%). Lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 1.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ternyata jenis kelamin laki-laki proporsinya jauh lebih besar pada kasus sebesar 84,21%� dari pada kontrol sebesar 60,53%. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 1.

Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan� bahwa ternyata SLTA/sederajat proporsinya jauh lebih besar pada kontrol sebesar 31,58%� dari pada kasus sebesar 30.26 %. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 1.

 

 

 

 

 

 

 

Tabel 1 Distribusi karakteristik responden berdasarkan kasus kontrol

Variabel�

Kejadian relaps skizofrenia Paranoid

Jumlah

Kasus

Kontrol

n

%

N

%

n

%

Jenis kelamin

 

 

 

 

 

 

Laki-laki

64

84,21

46

60,53

110

72,37

Perempuan

12

15,79

30

39,47

42

27,63

Pendidikan

 

 

 

 

 

 

Tidak Tamat SD

10

13.16 �������

11

14.47

21

13.82

Tamat SD

14

18.42�������

18

23.68

32

21.05

SLTP/sederajat

21

27.63�����

19

25,00

40

26.32

SLTA/Sederajat

23

30.26�����

24

31,58

47

30.92

Diploma/PT

8

10.53������

4

5,26

12

7,89

Umur

 

 

 

 

 

 

15-24

6

7.89

6

7.89

12

7.89

25-34

35

46,05

35

46,05

70

46,05

35-44

21

27,63

21

27,63

42

27,63

�>45

14

18,42

14

18,42

28

18,42

 

2.    Analisis bivariat

Tabel 2 Analisis risiko variabel independen terhadap kejadian relaps pada penderita skizofrenia paranoid Di RSKD Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2012 menunjukkan bahwa faktor risiko ketidakpatuhan pengobatan OR = 26,168, (CI 95%:10,263�68,355), jaminan kesehatan OR= 6,93 (95% CI: 1.44-65.40) dan stigma OR=7.99 (95%CI:3.65-17.75) merupakan faktor risiko. Sedangkan� dukungan keluarga OR=1.23 (95% CI:0,55-2,73) dan psikoedukasi keluarga OR=0.75 (95% CI:0,37-1,53) bukan faktor risiko.

Tabel 2 Analisis risiko variabel independen terhadap kejadian relaps pada penderita skizofrenia paranoid

Variabel�

Kejadian relaps skizofrenia Paranoid

Jumlah

OR

CI 95%

 

Kasus

Kontrol

N

%

n

%

n

%

Jaminan kesehatan

 

 

 

 

 

 

 

OR 6.93

1.4-65.4

Risiko Tinggi

12

15.7

2

2.63

14

9.2

Risiko Rendah

64

84.2����������

74

97.3

138

90.8

Ketidakpatuhan pengobatan

 

 

 

 

 

 

 

OR 26,1

10,2-68,3

Risiko Tinggi

65

85,5

14

18,4

79

51.0

Risiko Rendah

11

14,4

62

81,5

73

48.0

Dukungan Keluarga

 

 

 

 

 

 

 

OR 1.23

0.5-2.7

Risiko Tinggi

18

23.6

21

27.6

39

25.7

Risiko Rendah

58

76.3

55

72.3

113

74.3

Stigma keluarga

 

 

 

 

 

 

 

Risiko Tinggi

59

77.6

23

30.3

82

53.9

OR 7.9

3.6-17.7

Risiko Rendah

17

22.4

53

69.7

� 70

46.1

Psikoedukasi keluarga

 

 

 

 

 

 

 

Risiko Tinggi

27

35.5

32

42.1

59

38.8

OR 0.75

0.37-.53

Risiko Rendah

49

64.5

44

57.9

93

61.2

 

3.    Analisis Multivariat

Tabel 3� menunjukkan bahwa ketidakpatuhan pengobatan OR = 21,11 (CI 95% : 5.69 � 52.92) p=0,000 merupakan faktor risiko yang paling berisiko terhadap kejadian relaps penderita skizofrenia paranoid.

Disarankan keluarga untuk mengawasi klien dalam pengobatan dan lebih meningkatkan dukungan serta perhatian terhadap penderita skizofrenia paranoid serta pemerintah daerah bersama RSKD membuat suatu kebijakan tentang jaminan kesehatan terhadap penderita gangguan jiwa (skizofrenia paranoid).

 

Tabel 3. � Hasil uji regresi logistic yang paling berpengaruh terhadap kejadian relaps pada penderita skizofrenia paranoid

 

Variabel

Coefisien

Z

OR

95% CI

P

Lower

Upper

Ketidakpatuhan pengobatan

3.04

6.50

21.11

5.69

52.92

0,000

Stigma keluarga

1.73

3.71

5.69

2,26

14,28

0,000

Constanta

-2.5702

-5.65

 

 

 

 

 

B.       Pembahasan

Dalam penelitian ini terlihat beberapa aspek yang berisiko terhadap kejadian relaps pada penderita skizofrenia paranoid yaitu jaminan kesehatan, ketidakpatuhan pengobatan, dan stigma keluarga.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jaminan kesehatan merupakan faktor risiko terhadap kejadian relaps skizofrenia paranoid, dimana hasil uji statistic menunjukkan nilai rasio odds sebesar 6,93 (95% CI: 1.44-65.40). Dengan demikian tidak adanya jaminan kesehatan memiliki risiko 6,93 kali lebih besar untuk mengakibatkan relaps skizofrenia paranoid dibandingkan dengan yang memiliki jaminan kesehatan.� Oleh karena nilai LL dan UL lebih dari nilai satu maka variabel jaminan kesehatan merupakan faktor risiko terhadap kejadian relaps skizofrenia paranoid.

Penelitian ini sejalan dengan beberapa hasil penelitian, seperti penelitian Simanjuntak, yang mengemukakan bahwa penderita skizofrenia paranoid yang mengalami relaps mempunyai risiko terpapar oleh problem ekonomi sebesar 10,8 kali dibanding dengan penderita skizofrenia paranoid yang tidak relaps (Simanjuntak, 2008). Begitu pula dengan hasil penelitian Corcoran, yang mengemukakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara status sosial ekonomi ayah dengan kejadian relaps skizofrenia paranoid dengan nilai P =0.002 (Corcoran et al., 2009).

Perawatan kasus psikiatri dikatakan mahal karena gangguannya bersifat jangka panjang (Videbeck, 2008). Tingginya biaya perawatan yang harus ditanggung keluarga maupun masyarakat, dimana Biaya berobat yang harus ditanggung penderita tidak hanya meliputi biaya yang langsung berkaitan dengan pelayanan medik seperti harga obat, jasa konsultasi tetapi juga biaya spesifik lainnya seperti biaya transportasi ke rumah sakit dan biaya akomodasi lainnya (Tomb, 2004). Akan tetapi dengan menggunakan jaminan kesehatan dalam bentuk surat keterangan tidak mampu / miskin (KTP/KK, Jamkesmas), membuat keluarga merasa aman, tidak terlalu terbebani dengan biaya pengobatan penderita karena sebagaimana kita ketahui bahwa penyakit ini memerlukan perawatan dan pengobatan serta pemulihan yang lama dan mahal sehingga keluarga harus mengeluarkan dana ekstra dalam menangani kasus ini sehingga tidak terjadi relaps. Keluarga tidak memikirkan lagi biaya pengobatan penderita karena semuanya gratis sesuai program pemerintah setempat, tetapi keluarga memikirkan biaya/kebutuhan lainnya seperti akses ke pelayanan kesehatan dan kebutuhan penderita selama perawatan dan pengobatan.

Berdasarkan hasil analisis Odds Ratio (OR) ketidakpatuhan pengobatan terhadap kejadian relaps skizofrenia paranoid diperoleh nilai OR= 26,168 (95% CI:10,263 -68,355). Dengan demikian adanya ketidakpatuhan pengobatan memiliki risiko 26,16 kali lebih besar untuk mengakibatkan relaps skizofrenia paranoid dibandingkan dengan yang patuh pengobatan. Oleh karena nilai LL dan UL lebih dari nilai satu� maka variabel ketidakpatuhan pengobatan merupakan faktor risiko terhadap kejadian relaps skizofrenia paranoid.

Berdasarkan hasil analisis multivariat hubungan antara ketidak patuhan pengobatan dan stigma secara bersama terhadap kejadian relaps penderita skizofrenia paranoid (Tabel 3), menunjukkan ada hubungan yang bermakna secara statistik dengan kejadian relaps penderita skizofrenia paranoid dengan nilai Rasio Odds (OR) =21,11, (95% CI:5.65�52.92 dan p=0,000). Hal ini menunjukkan bahwa� risiko untuk terjadinya relaps pada skizofrenia paranoid yang tidak patuh pengobatan sebesar 21,11 kali dibandingkan dengan penderita skizofrenia paranoid yang patuh pengobatan. Hal ini disebabkan karena variabel status ketidakpatuhan pengobatan mengurangi peranan variabel lain ketika secara bersama-sama diikutkan dalam analisis multivariat.

Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian (Jung et al., 2011) yang menemukan bahwa Ketidakpatuhan pengobatan memiliki hubungan yang signifikan dengan rehospitalisasi/relaps (OR 0,405, 95% CI:0.193-0.849, �p=0,016 p<0.05). Begitu pula dengan penelitian yang dilakukan oleh (Simanjuntak, 2008), yang mengemukakan bahwa beberapa faktor yang berhubungan dengan ketidakpatuhan pengobatan, seperti faktor sehubungan dengan pasien, pengobatan lingkungan� dan dokter yang memiliki hubungan bermakna dengan kejadian relaps.

Hal yang dapat memicu kekambuhan penyakit jiwa dan memperpanjang proses perawatan gangguan jiwa yang dialami oleh penderita, antara lain penderita tidak minum obat dan tidak kontrol ke dokter secara teratur, menghentikan sendiri obat tanpa persetujuan dari dokter, kurangnya dukungan dari keluarga dan masyarakat, serta adanya masalah kehidupan yang berat yang membuat stress sehingga penderita kambuh dan perlu dirawat di rumah sakit. Ditemukan beberapa informasi bahwa klien yang kambuh dirawat dan tidak patuh minum obat dapat diketahui melalui adanya obat yang ditemukan di sekitar rumah, dan ditemukan obat disaku baju klien (Purwanto, 2010)..

Ketidakpatuhan pengobatan disebabkan karena penderita kurang paham dan mengerti tentang pentingnya pengobatan dalam membantu memulihkan keadaan dan mencegah kekambuhan, Kurangnya kepedulian dan perhatian keluarga yang mungkin bertanggungjawab atas pemberian obat itu kepada penderita dan Sukarnya memperoleh obat tersebut di luar rumah sakit jiwa serta efek samping yang ditimbulkan akibat meminum obat psikiatri tersebut. Selain itu faktor banyaknya jenis obat yang harus diminum seperti dua sampai tiga jenis bahkan empat jenis obat yang diminum setiap harinya yang membuat penderita bosan dan tidak dapat menelan obat walaupun tidak ditemukan kondisi medis yang dapat mengakibatkan penderita tidak minum obat. Selain itu faktor tidak adanya pengawas minum obat dalam keluarga dan adanya persepsi dari keluarga yang menganggap penderita sudah sembuh tanpa berkonsultasi dan menganggap penderita seperti orang normal serta memaksa penderita melakukan aktifitas seperti pada saat penderita sebelum sakit menjadi pemicu terjadinya relaps.

Kepatuhan dalam pengobatan terlihat dari adanya kesadaran diri tentang pentingnya obat, adanya kemandirian, dan kedisiplinan dalam minum obat. Sikap positif ini timbul karena adanya motivasi untuk sembuh, adanya ancaman dirawat kembali, pengalaman yang menyenangkan terhadap pengobatan sebelumnya dan adanya reward yang diberikan dari anggota keluarga.

Hasil penelitian ini menunjukkan nilai Odds Ratio (OR) dukungan keluarga terhadap kejadian relaps skizofrenia paranoid diperoleh nilai OR= 1.23 (95%CI:0,55-2,73). Dengan demikian tidak adanya dukungan keluarga memiliki risiko 1,23 kali lebih besar untuk mengakibatkan relaps skizofrenia paranoid dibandingkan dengan adanya dukungan keluarga. Oleh karena nilai LL dan UL mencakup nilai satu maka variabel dukungan keluarga bukan merupakan faktor risiko terhadap kejadian relaps pada penderita skizofrenia paranoid di RSKD Makassar.

Penelitian ini� sejalan dengan penelitian Sirait 2008, mengemukakan bahwa tidak ada pengaruh antara peran/dukungan keluarga dengan kejadian relaps skizofrenia paranoid. Hal ini mungkin disebabkan karena seluruh anggota keluarga berusaha untuk menghilangkan gangguan-gangguan baik yang bersifat fisik atau psikis yang ada pada anggota keluarga yang lain, dan menjaga satu dengan yang lain tidak hanya dalam keadaan sehat.

Dalam hal ini penderita skizofrenia paranoid yang memperoleh dukungan sosial keluarga, secara emosional merasa lega karena diperhatikan, mendapatkan saran atau kesan yang menyenangkan. Kurangnya perhatian dan dukungan dari lingkungan sosial keluarga dapat menimbulkan konflik atau keguncangan atau kecemasan sehingga mempengaruhi proses penyembuhan penderita dan juga mempengaruhi lamanya pengobatan (Sebayang, 2020). Dengan adanya dukungan dari keluarga, teman atau petugas kesehatan yang menjadi pengawas pengobatan memiliki hubungan dengan kepatuhan pengobatan pasien rawat jalan ataupun rawat inap (Fadli & Mitra, 2013).

Menurut (Friedman, 1998) mengatakan bahwa keluarga ketika menghadapi masalah akan lebih mengandalkan sumber-sumber mereka sendiri, karena mereka menilai dan melihat bahwa kontrol diri dan kemandirian sangat penting selama masa-masa sulit. Selain itu anggota keluarga perlu menjadi kuat dan belajar menyembunyikan perasaan dan menguasai ketegangan dalam diri mereka sendiri. Keluarga berprinsip bahwa ini adalah kewajiban bagi keluarga dalam membantu kesembuhan penderita walau dalam kondisi apapun. Sehingga disimpulkan bahwa keluarga akan memberikan support / dukungan pada anggota keluarga yang mengalami masalah, bagaimanapun caranya dan akan berusaha mencari tahu semua hal yang menyangkut penderita sehingga tidak terjadi relaps. selain itu Petugas kesehatan selalu menganjurkan keluarga penderita untuk mendampingi dan mengunjungi penderita selama pengobatan setidaknya 1 kali seminggu menjenguk atau mendampingi penderita selama pengobatan.

Hasil penelitian menunjukkan nilai Odds Ratio (OR) stigma keluarga terhadap kejadian relaps skizofrenia paranoid diperoleh nilai OR= 7.99 (95%CI:3.65-17.75). Dengan demikian keluarga penderita tidak menganggap penyakit penderita adalah aib dari keluarga yang patut untuk dikucilkan, dihindari, dirahasiakan dan dijauhi memiliki risiko 7.99 kali lebih besar untuk mengakibatkan relaps skizofrenia paranoid dibandingkan dengan keluarga penderita yang menganggap penyakit penderita adalah aib dari keluarga yang patut untuk dikucilkan, dihindari, dirahasiakan dan dijauhi . Oleh karena nilai LL dan UL mencakup nilai lebih dari satu maka variabel stigma merupakan faktor risiko terhadap kejadian relaps pada penderita skizofrenia paranoid di RSKD Makassar.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian (Simanjuntak, 2008) yang menemukan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara faktor lingkungan (stigma) dengan kejadian relaps (p<0,05) dengan nilai OR 13,5 (CI:95%; 5,9-30,7). Begitu pula dengan penelitian Lisa C Felderhof (2007), bahwa pasien skizofrenia paranoid relaps akibat stigma yang negative dari saudara kandung yang diperoleh dari 80 orang yang diinterview selama 50 menit.

Hal ini disebabkan karena adanya stigma terhadap penyakit skizofrenia paranoid yang menimbulkan beban, berupa beban subyektif maupun beban obyektif bagi penderita dan keluarganya. Bagi penderita, anggapan bahwa penyakit ini tidak dapat disembuhkan akan melekat terus dan menambah stigma pada penderitanya, hal ini juga akan menjadikan halangan baginya untuk mendapat perlakuan yang layak, kesulitan dalam mencari pekerjaan, juga keluarga sering dikucilkan, mengalami isoloasi sosial dan diskriminasi dari masyarakat sekitarnya (Fenton, 2005).

Bagi keluarga, akan menimbulkan konflik dalam keluarga, dalam hal ini akan menimbulkan aib bagi keluarga dan membuat mereka mengalami isolasi sosial (merasa orang lain tidak mau bergaul dengan keluarganya), serta menganggap harga diri serta martabat keluarga mereka rendah akibat penyakit yang diderita anggota keluarganya, Sehingga timbul label dan sikap negative terhadap penderita seperti gila, tidak waras dan sikap bermusuhan serta mengkritik, seolah-olah menyalahkan penderita atas semua kejadian yang terjadi dalam keluarganya. Selain itu adanya stigma akan penyimpangan perilaku yang dilakukan penderita menimbulkan perasaan khawatir, takut dan trauma sehingga membuat ekspresi emosi tinggi dalam keluarga yang dapat mempengaruhi kekambuhan penderita. Keluarga dan masyarakat pada umumnya tidak dapat menerima penyimpangan perilaku, persepsi dan pikiran pada penderita dengan skizofrenia paranoid.

Hasil penelitian menunjukkan hasil analisis Odds Ratio (OR) psikoedukasi keluarga terhadap kejadian relaps skizofrenia paranoid diperoleh nilai OR= 0.75 (95% CI:0,37-1,53). Dengan demikian adanya psikoedukasi keluarga memiliki risiko 0.75 kali lebih besar untuk mengakibatkan relaps skizofrenia paranoid dibandingkan dengan yang tidak adanya psikoedukasi keluarga. Oleh karena nilai LL dan UL mencakup nilai satu maka variabel psikoedukasi keluarga bukan merupakan faktor risiko terhadap kejadian relaps pada penderita skizofrenia paranoid di RSKD Makassar.

Penelitian ini sejalan yang dilakukan oleh (Felderhof, 2007), bahwa dengan diberikannya psikoedukasi pada keluarga yang saudara kandungnya terdiagnosa skizofrenia paranoid maka akan menurunkan kejadian relaps. Hal ini didukung oleh (Kembaren, 2009), bahwa mengkombinasikan antara pengobatan antipsikotik dengan pendekatan psikososial merupakan suatu cara yang efektif dibandingkan hanya dengan obat saja dalam mencegah terjadinya relaps pada pasien skizofrenia paranoid.

Hal ini disebabkan karena anggota keluarga berusaha agar penderita skizofrenia paranoid cepat sembuh dan tidak kembali lagi kerumah sakit atau mengalami kekambuhan sehingga membutuhkan biaya rumah sakit yang jauh lebih mahal. Ini sejalan dengan hasil pengamatan selama penelitian bahwa keluarga pada prinsipnya yakin bahwa penyakit penderita bisa disembuhkan, jadi keluarga akan mencari tahu sendiri� tentang penyakit penderita pada klinisi, seperti apa penyakit penderita dan bagaimana perawatan serta pengobatan penyakitnya, sehingga keluarga dapat memberi perawatan pada klien di rumah setelah pulang dari rumah sakit. Selain itu petugas kesehatan juga memberikan informasi secara lengkap yang menyangkut diagnosis maupun perawatan penyakit penderita.

 

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa jaminan kesehatan, ketidakpatuhan pengobatan dan stigma keluarga merupakan faktor risiko terhadap kejadian relaps pada penderita skizofrenia paranoid, serta yang paling berisiko adalah ketidakpatuhan pengobatan. Disarankan pada penderita untuk meningkatkan kepatuhan dalam pengobatan dan bagi keluarga untuk mengawasi klien dalam pengobatan dan lebih meningkatkan dukungan serta perhatian terhadap penderita skizofrenia paranoid serta pemerintah daerah bersama RSKD membuat suatu kebijakan tentang jaminan kesehatan terhadap penderita gangguan jiwa (skizofrenia paranoid), hal ini dikarenakan skizofrenia paranoid memerlukan pengobatan dan perawatan yang lama untuk mencegah terjadinya relaps.

 

BIBLIOGRAFI

 

Amelia, Diny Rezki, & Anwar, Zainul. (2013). Relaps pada pasien skizofrenia. Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan, 1(1), 53�65.

 

Arif, Iman Setiadi. (2006). Skizofrenia memahami dinamika keluarga pasien. Bandung: Refika Aditama.

 

Corcoran, Cheryl, Perrin, Mary, Harlap, Susan, Deutsch, Lisa, Fennig, Shmuel, Manor, Orly, Nahon, Daniella, Kimhy, David, Malaspina, Dolores, & Susser, Ezra. (2009). Effect of socioeconomic status and parents� education at birth on risk of schizophrenia in offspring. Social Psychiatry and Psychiatric Epidemiology, 44(4), 265�271.

 

Fadli, Surya Mulya, & Mitra, Mitra. (2013). Pengetahuan dan Ekspresi Emosi Keluarga serta Frekuensi Kekambuhan Penderita Skizofrenia. Kesmas: National Public Health Journal, 7(10), 466�470.

 

Felderhof, L. .. (2007). A Support and Psychoeducational Group Manual for Adult Siblings of Individuals Diagnosed with Paranoid Schizophrenia.

 

Fenton, W. (2005). Schizophrenia: integrative treatment and functional outcomes. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadock�s Comprehensive Textbook of Psychiatry. 8th Ed. New York: Lippincott Williams & Wilkins, 87�89.

 

Friedman, Marilyn M. (1998). Keperawatan keluarga: teori dan praktik. Jakarta: EGC, 177.

 

Halder, Susmita, & Mahato, Akash Kumar. (2009). Relationship between executive function and problem solving ability of schizophrenia patients. Eastern Journal of Psychiatry, 12(1&), 41.

 

Hawari, Dadang. (2012). Skizofrenia (pendekatan holistik bio-psiko-sosial-spiritual). Jakarta: Badan Penerbit FKUI.

 

Jung, Seung Ho, Kim, Won Hyung, Choi, Hye Jin, Kang, Min Hee, Lee, Jeong Seop, Bae, Jae Nam, & Kim, Chul Eung. (2011). Factors affecting treatment discontinuation and treatment outcome in patients with schizophrenia in Korea: 10-year follow-up study. Psychiatry Investigation, 8(1), 22.

 

Kaunang, Ireine, Kanine, Esrom, & Kallo, Vandri. (2015). Hubungan Kepatuhan Minum Obat Dengan Prevalensi Kekambuhan Pada Pasien Skizofrenia Yang Berobat Jalan Di Ruang Poliklinik Jiwa Rumah Sakit Prof Dr. VL Ratumbuysang Manado. Jurnal Keperawatan, 3(2).

 

Kembaren, L. (2009). Psikoedukasi keluarga pada pasien skizofrenia. (Online) diunduh 28 September 2011.

 

Latifa, Reninta. (2010). Proses bimbingan Islam pada penderita skizofrenia di panti rehabilitasi cacat mental Yayasan Galuh Bekasi.

 

Maylani, Rina Yemima, Fadraersada, Jaka, & Ramadhan, Adam M. (2018). Studi Pemberian Antipsikotik terhadap Beberapa Jenis Skizofrenia Di RSJD Atma Husada Mahakam Samarinda. Proceeding of Mulawarman Pharmaceuticals Conferences, 8, 267�275.

 

Naldi, Maurizio. (2019). A review of sentiment computation methods with R packages. ArXiv Preprint ArXiv:1901.08319.

 

Nurbiah, Nurbiah. (2017). Gambaran Faktor Risiko Pengobatan Pasien Multidrug Resistance Tuberculosis (MDR-TB) di RSUD Labuang Baji Kota Makassar Tahun 2017. Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.

 

Organization, World Health. (2001). The World Health Report 2001: Mental health: new understanding, new hope. World Health Organization.

 

Purwanto, Anang. (2010). Faktor-faktor yang berhubungan dengan kekambuhan pasien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta. Universitas Muhammadiyah Surakarta.

 

Rafiyah, Imas. (2011). Burden on family caregivers caring for patients with schizophrenia and its related factors. Nurse Media Journal of Nursing, 1(1), 29�41.

 

Rahmat, Basuki. (2020). Pengaruh Implementasi Kebijakan Jaminan Kesehatan Daerah Terhadap Kualitas Pelayanan Kesehatan Masyarakat Miskin Pada Dinas Kesehatan Kota Tasikmalaya. Syntax Idea, 2(3), 1�11.

 

Saputri, Rika Paramitha. (2018). Evaluasi Rasionalitas Penggunaan Antipsikotik Pada Pasien Skizofrenia Di Instalasi Rawat Inap Rsjd Atma Husada Mahakam Samarinda Tahun 2016. Universitas Setia Budi Surakarta.

 

Sebayang, Septian. (2020). Hubungan Dukungan Sosial Keluarga dengan Frekuensi Kekambuhan Pasien Skizofrenia Paranoid di Poliklinik RS Jiwa Daerah Propsu Medan. Jurnal Ners Indonesia, 6(2), 47�55.

 

Simanjuntak, Yusak P. (2008). Faktor risiko terjadinya relaps pada pasien skizofrenia paranoid.

 

Soliman, Mohamed A., Ilyas, Ihab F., & Chang, Kevin Chen Chuan. (2007). Top-k query processing in uncertain databases. 2007 IEEE 23rd International Conference on Data Engineering, 896�905. IEEE.

 

Tomb, David A. (2004). Buku saku psikiatri. Jakarta: EGC.

 

Videbeck, Sheila L. (2008). Buku ajar keperawatan jiwa. Jakarta: Egc, 45, 2010�2011.

 

Vijay, Chandra. (2005). Cara Pencegahan dan Pengobatan Gangguan Jiwa.

 

Wahyudi, Agung, & Fibriana, Arulita Ika. (2016). faktor resiko terjadinya Skizofrenia (studi kasus di Wilayah Kerja Puskesmas Pati II). Public Health Perspective Journal, 1(1).

 

Zahnia, Siti, & Sumekar, Dyah Wulan. (2016). Kajian epidemiologis skizofrenia. Jurnal Majority, 5(4), 160�166.