Syntax Idea : Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:

����� e-ISSN :

����� Vol. 1, No. 1 Mei 2019

 


PERAN PESANTREN DALAM MENCEGAH FUNDAMENTALISME DAN RADIKALISME AGAMA

 

Yadin Burhanudin, Ajeng Laeli Trijayanti

Prodi Komunikasi Penyiaran Islam Program Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Email: [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Fundamentalisme agama yang mengarah pada aksi radikalisme agama merupakan fenomena yang harus dicegah. Agama yang seharusnya menjadi sumber cinta, kedamaian, dan keselamatan dalam kehidupan manusia digunakan sebagai instrumen kekejian. Ini bisa dilihat dari peristiwa-peristiwa aksi terorisme global akhir-akhir ini. Penelitian ini mengambil judul Model Komunikasi Antara Asatidzah dan Santri Dalam Mencegah Paham Fundamentalisme-Radikalisme di Pesantren Persis No. 84Ciganitri Bojongsoang Kabupaten Bandung. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana komunikasi yang terjalin di antara asatidzah (pembimbing/pengajar) dengan santri di Pesantren Persis No. 84Ciganitri Bojongsoang Kabupaten Bandung dalam mencegah fundamentalisme-radikalisme agama. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa asatidzah di pesantren ini sepakat bila akar masalah fundamentalisme agama yang mengarah pada tindakan radikalisme agama, salah satunya disebabkan pemahaman agama yang dangkal. Ajaran agama Islam yang terkandung dalam Al Qur'an dan as-Sunnah dalam pemahaman mereka tidak disesuaikan dengan konteks sosial. Komunikasi yang di jalin di antara asatidzah dengan santri dalam mencegah radikalisme-fundamentalisme agama, dilakukan dengan dua cara: secara internal dan eksternal. Secara internal, pesantren mengajarkan dalam setiap mata pelajarannya ajaran Islam yang benar dan utuh sesuai dengan al-Quran dan as-Sunnah. Dengan demikian, para santri memahami Islam tidak sepotong-sepotong seperti yang selama ini dipahami oleh kalangan radikalis. Secara eksternal, pesantren bekerjasama dengan unsur Muspika, khususnya aparat kepolisian (Polsek) dan Koramil dalam melakukan pembinaan dan pencegahan paham radikalisme. Hasilnya, di Pesantren Persis No. 84 Ciganitri Bojongsoang Kabupaten Bandung tidak terindikasi adanya santri yang memiliki atau mengarah kepada paham fundalisme-radikalisme.

 

Kata Kunci: Pesantren, fundamentalisme, Radikalisme, PERSIS

 

Pendahuluan

Fundamentalisme sering dimaknai sebagai gerakan atau keyakinan yang menekankan kepatuhan yang kaku dan literal terhadap ajaran dan doktrin dasar. Sikap kekakuan dalam beragama tersebut, memunculkan aksi radikalisme dengan tindak kekerasan atas nama agama. Kelompok radikalisme seperti Al Qaeda dan ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) menjadi persoalan global saat ini. Kelompok semacam ini menjadikan agama sebagai alat untuk kepentingan politis, seperti jihad untuk cita-cita negara khilafah. Agama dimanfaatkan untuk melakukan teror dan menyebar kekejian demi mencapai ambisi politis. Hal ini menjadi masalah global karena mereka mengekspor teror dan kekejian ke seluruh penjuru dunia. Termutahir peristiwa bom di Jakarta beberapa waktu lalu disinyalir merupakan salah satu ekspor teror dari ISIS. Aksi fundamentalisme-radikalisme agama semacam ini tentu telah mencoreng agama Islam yang seharusnya menyebarkan rahmat (kasih sayang) kepada seluruh semesta. Padahal Allah SWT berfirman di dalam al-Qur�an surat Al-Anbiya Ayat 107 dengan sangat jelas menyatakan:

�Tidaklah aku mengutus engkau (wahai Muhammad) kecuali untuk menebarkan rahmat (kasih sayang) bagi seluruh semesta�. (QS. AlAnbiya : 107).

Peristiwa aksi terosisme di Indonesia mengindikasikan ekspor fundamentalisme-radikalisme agama oleh kelompok radikalis internasional sudah memengaruhi masyarakat Muslim di tanah air. Hal ini tentu bertentangan dengan citra Indonesia yang dikenal sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, yang memiliki karakter Islam yang damai. Fundamentalisme-radikalisme agama yang menimbulkan aksi terorisme agama tentu menjadi kekhawatiran bersama yang harus dicegah. Agama yang seharusnya menjadi sumber cinta kasih, perdamaian, dan keselamatan dalam kehidupan manusia dijadikan alat kekejian.

Di sinilah fungsi institusi agama untuk mencegahnya. Salah satunya adalah pesantren yang memiliki fungsi strategis untuk turut serta mencegahnya. Karena pesantren merupakan tempat transfer nilai-nilai keagamaan. Salah satu pesantren yang menolak tindakan fundamentalisme-radikalisme agama adalah Pesantren PersisNo. 84 Ciganitri Bojongsoang Kabupaten Bandung. Pesantren ini merupakan salah satu pesantren yang berdiri di bawah naungan ormas Persatuan Islam (PERSIS). Mudir (Kepala) Muallimien pesantren, yakni Ustadz Saefudin, menyatakan Pesantren Persis No. 84 memiliki visi Terwujudnya insan yang tafaqquh fiddiin (memahami, mendalami, dan taat beragama Islam). Hal ini sesuai dengan al-Quran surat at-Taubah ayat 122.

Sementara itu, lanjut Saefudin, Pesantren Persis No. 84 juga mengemban misi (a) Memberikan pemahaman kepada para peserta didik mengenai nash-nash al-Quran dan as-Sunnah. (b) Memberikan pemahaman kepada peserta didik mengenai aqidah dan akhlak, (c) Memberi pengetahuan kepada peserta didik tentang ushul fiqih, ilmu hadits, dan IPTEK. (d) Melatih keterampilan peserta didik melalui kegiatan intra-kulikuler dan ekstra-kurikuler.

Di sinilah posisi strategis Pesantren Persis No. 84 Ciganitri untuk menunjukan peran sertanya dalam mencegah fundamentalisme-radikalisme agama. Hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan yang dicapai, yakni agar peserta didik memiliki: (a) Aqidah yang hanif (lurus dan tangguh), (b) Ilmu dan wawasan yang luas, (c) Kemampuan mempraktikkan dan menyebarkan ilmunya kepada masyarakat luas.

Dari latar belakang yang dipaparkan di atas, penelitian ini berusaha mengkaji peran pesantren PPI No.84 Ciganitri dalam mencegah fundamentalisme-radikalisme agama yang berwujud aksi terorisme. Lebih khusus lagi, bagaimana model komunikasi antara asatidzah dengan santri dalam mencegah paham fundamentalisme-radikalisme di lingkungan pesantren.

Kajian tentang pencegahan fundamentalisme-radikalisme agama menjadi penting untuk dilakukan, mengingat masyarakat global saat ini telah terintegrasi dalam pasar bebas, seperti AFTA (Asean Free Trade Area). Hal ini mengakibatkan terjadinya interaksi sosial yang bersifat heterogen. Oleh karena itu, pandangan sempit, sikap egoistik beragama yang cenderung merasa diri paling benar harus dicegah. Hal ini untuk menciptakan hubungan sosial masyarakat global yang hidup berdampingan dalam perbedaan secara damai

 

Metode Peneitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yakni penelitian yang melihat realitas sosial secara subjektif sesuai yang dilihat di lapangan secara alamiah. Sehingga teknik pengumpulan data yang digunakan adalah pertama dengan cara observasi terhadap kegiatan di pesantren. Selain itu proses pengumpulan data juga dilakukan dengan wawancara kepada pembimbing pesantren berkaitan dengan permasalahan yang diteliti, yakni tentang peran pesantren dalam mencegah fundamentalis-radikalisme.

 

Hasil dan Pembahasan

A.     Akar Masalah Fundamentalisme Agama

Akar masalah fundamentalisme-radikalisme agama menurut pandangan para ustadz di Pesantren Persis No. 84 Ciganitri Bojongsoang Kabupaten Bandung, bisa dilihat dari tiga aspek yakni pemahaman ajaran agama, cita-cita negara Islam (khilafah), dan makna Jihad.

1.    Pemahaman Ajaran Agama

Maraknya fenomena fundamentalisme-radikalisme agama, yang berdampak pada kasus terorisme atas nama agama, menurut para asatidzah Pesantren Persis No. 48 Ciganitri adalah karena kedangkalan dalam pemahaman agama. Ajaran agama Islam yang tertuang dalam Al-Qur�an dan Hadis dalam pemahamannya tidak disesuaikan dengan konteks sosial yang ada. Ajaran agama yang difahami apa adanya atau secara literal saja tanpa mengkaitkan dengan alasan kontekstual turunnya suatu ayat.

Seperti yang dikemukakan oleh Ustadz Saefudin. Menurutnya, fundamentalisme agama adalah meyakini agama tanpa melihat kondisi sosial masyarakat, sedangkan agama merupakan bagian dari sosial masyarakat. Fundamentalisme agama pada akhirnya terwujud karena adanya pemahaman agama yang tidak utuh sehingga menimbulkan sisi fundamental seperti aksi radikalisme agama.

�Bisa jadi kalangan radikalis yang ada sekarang, mereka adalah lulusan pesantren. Tetapi Saya mengindikasikan, mereka tidak tuntas dalam mempelajarai agama Islam. Sebab kalaulah mereka tuntas mempelajari ajaran Islam, tidak akan memiliki paham semacam itu (radikalisme),� ucap Ustadz Saefudin.

Hal senada dikemukakan oleh Ustadz Nurohmat. Menurutnya, para penganut radikalisme agama memahmi teks Al-Qur�an dan Hadis tidak disesuaikan dengan konteksnya. Mereka cenderung menafsirkannya secara dangkal dan tidak mendalam. Menurut guru mata pelajaran Ilmu Kalam ini, jika ditarik ke belakang, sebetulnya akar masalah dari fundamentalisme-radikalisme ini adalah terkait persoalan politik atau perebutan kekuasaan. Ustadz Nuromat kemudian memaparkan sejarah munculnya radikalisme agama, yakni berawal dari perpecahan di kalangan umat Islam pada masa khulafaurasyidin, khusunya pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan. Dari persoalan politik melebar ke permasalahan teologi dan kemudian menjadi persoalan ideologi.

�Jadi, radikalisme itu adalah persoalan teologi yang melebar menjadi persoalan ideologi,� ujar Ustadz Nurohmat.��

Sementara Ustadz Deden, mengemukakan bahwa makna dari kata radikalisme sendiri jika diartikan adalah mendalam, dalam konteks agama radikalisme merupakan sikap memaknai ajaran agama secara mendalam dan mengakar. Namun, menurut lulusan IAIN Sunan Gunung Djati Bandung ini, dengan berkembangnya zaman makna radikalisme berubah menjadi aksi kekerasan. Ia menerangkan bahwa para penganut fundamentalisme memahami kontekstualitas ayat Al-Qur�an secara literal, tanpa memperhatikan konteks sosial turunnya ayat tersebut.

Apa yang diungkapkan oleh asatidzah Pesantren Persis No 48 Ciganitri ini, memang sejalan dengan pandangan dari ormas PERSIS secara keseluruhan. Dalam pandangan Persis, sebagaimana dikutip dari laman resminya (www.persis.or.id), kesalahan dari sebagian kecil umat Islam dalam memahami teks al-Quran ketika berinteraksi dengan budaya menyebabkan kekacauan/chaos dan sikap radikalisme. Inilah salah satu penyebab utama teroris, radikal, dan kejahatan atas nama sebuah agama.

Persis memandang bahwa penyebab radikalisme yang utama adalah, adanya agama/dogma di sebuah kelompok kecil yang meluaskan atau mengedapankan ittiqaad/keyakinan yang merupakan kekhususan mereka dan dipaksakan keyakinan itu kepada orang lain. Alhasil, Itiqaad selain yang dipilihnya berdada dan yang berada dalam kekufuran. Hal ini terjadi juga dalam pemeluk agama dan dogma yang lain seperti dalam ajaran Marxisme.

Singkatnya,  sikap segala upaya kemanusian kita mendukungnya dari mana asal dan apa itu namanya, bukankah الكلمة الحكمة ضالة المؤمن حيث وجدها جذبها Artinya:

�kalimat hikmah adalah sesuatu yang hilang dari mukmin, kapan saja ia ditemukan maka dia yang lebih utama memilikinya�.

Hadits ini menurut para ahli, derajatnya dhoif. Tetapi dari segi isi dan tujuanya, seorang mukmin akan menerima serta mencari kebaikan dari mana dan dari siapa asalnya seiring dengan surat al-Maidah (5) ayat 8.

 

2.    Cita-Cita Negara Islam (Khilafah)

Menurut Ustadz Saefudin, para asatidzah di pesantren ini memiliki pemahaman yang sama sebagaimana pemahaman ormas PERSIS secara keseluruhan bahwa khilafah bukan suatu kewajiban. Menurut Ustadz Saefudin, yang mesti diperjuangkan oleh umat Islam adalah menegakkan syariat Islam sebagaimana yang menjadi cita-cita PERSIS selama ini. Adapaun bentuk pemerintahannya bisa bermacam-macam sesuai kondisi sosial masyarakat.

Senada dengan hal itu, Ustadz Nurohmat mengatakan, terbentuknya khilafah memang merupakan cita-cita sebagian besar umat Islam. Dengan demikian, umat Islam akan menyambut dengan baik jika ada peluang ke arah itu. Namun demikian, jikacita-cita khilafah ini tidak terwujud bukan berarti umat Islam berada dalam negara dan pemerintahan yang bathil.

Sementara itu, Ustadz Deden selaku guru mata pelajaran kejamiyahan, menjamin bahwa di Pesantren Persis tidak ada asatidzah yang memberikan doktrin kepada santri mengenai khilafah, yang mengarah kepada gerakan fundamentalisme-radikalisme. Dalam mengajarkan materi tentang kejamiyahan dan siyasah, diakui ustadz Deden, pihaknya menggunakan kitab at-Tibyan karya Imam Nawawi.

 

3.    Makna Jihad

Faham fundamentalisme agama yang cenderung memaknai jihad adalah perang fisik, menurut pandangan para asatidzah tidaklah benar. Jihad harus dimaknai dalam konteks kekinian bahwa pemahaman semacam itu sudah tidak sesuai dengan zamannya. Di Negara damai seperti Indonesia, jihad dengan cara berperang mengangkat senjata tentu tidak relevan lagi.

Menurut Ustadz Saefudin, jihad berasal dari kata al-Juhdu yang artinya kesungguhan. Orang yang bersungguh-sungguh disebutnya mujtahid. Seorang mujtahid tentu ia sangat kental dengan ijtihadnya. Sementara pengertian ijtihad adalah: �Mencurahkan segenap tenaga dan pikiran secara bersungguh-sungguh untuk menetapkan suatu hukum sesuai dengan al-Quran dan as-Sunnah.

�Oleh karena itu inti pokok dari jihad ataupun ijtihad adalah al-Quran dan as-Sunnah. Apapun kemampuan yang kita lakukan dengan tujuan menegakkan kalimat Allah itu juga bagian dari jihad,� tegas ustadz Saefudin yang juga merangkap sebagai dosen di STAI Persis Bandung.

Lalu bagaimana Persis memandang persoalan jihad? Penulis menemukan salah satu tulisan dalam situs resmi Persis, www.persis.or.id, di sana diuraikan makna jihad sebagai berikut:

Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah saw. telah ditanya mengenai amal yang paling utama. Beliau menjawab :�Amalan yang paling utama adalah iman kepada Allah.� Kemudian (ditanyakan lagi) apa lagi? �Jihad di jalan Allah�, jawab Rasulullah saw. Kemudian apa lagi? Rasul menjawab :�Haji Mabrur�.

Hadits ini tergolong hadits masyhur baik di kalangan ahli hadits maupun di kalangan ahli fiqh, sehingga kita tidak akan kesulitan mencarinya, hampir di semua kitab mu�tabar  kita dapat menemukannya. Di dalam shahih Bukhori terdapat pokok bahasan yaitu �kitab jihad� hadits ini terdapat di dalamnya yang sebelumnya juga terdapat dalam pokok bahasan �kitab iman� di bawah sub judul �bab bahwasanya iman itu adalah amal� hadits nomor 26, dan di bawah sub judul �Jihad adalah bagian dari iman�. Di dalam shahih Muslim, kita akan menemukan pokok bahasan yang sama, yaitu �kitab jihad dan bepergian� dengan sub judul di antaranya �bab bayanu kauni iman (bab penjelasan keadaan iman)�,  �bab keutamaan jihad dan berjaga-jaga�. Begitu juga di dalam kitab-kitab sunan,  hadits di atas terdapat di dalamnya dengan di bawah pokok bahasan yang terang yaitu �kitab jihad�. Selain di kitab-kitab hadits, kita juga tidak akan kesulitan menemukan bahasan mengenai jihad di dalam kitab-kitab fiqih semisal kitab Fiqh Sunnah, susunan Sayyid Sabiq, di situ secara rinci dipaparkan hukum jihad, keutamaan jihad, dll.

 

B.     Usaha Mencegah Fundamentalisme Agama

Upaya pesantren dalam mencegah fundamentalisme agama yakni dengan melakukan komunikasi yang intensif dan terarah, yakni secara internal dan eksternal.

1.      Pencegahan secara internal

Penelitian ini menemukan bahwa di Pesantren Persis No. 84 Ciganitri upaya pencegahan fundamentalisme-radikalisme agama melalui kegiatan intra-kurikuler, seperti memasukkan materi melalui mata pelajaran. Dalam hal ini pesantren menjalankan fungsinya sebagai institusi agama yang mengajarkan ilmu agama untuk bertaqwa kepada Allah SWT.

Ustadz Saefudin menjelaskan bahwa di pesantren Persis No. 84 Ciganitri, santri diajarkan memahami teks Al-Qur�an dan Hadits dengan disesuaikan dengan konteksnya. Metode semacam ini disebut asbab al-nuzul atau asbab al-wurud, yakni pemahaman teks Al-Qur�an dan Hadits menurut peristiwa yang mendahului turunnya ayat dan latar belakang sosial budaya. Hal ini untuk memberikan metode penafsiran yang mendalam dan tidak dangkal.

Menurut Magister Manajemen Pendidikan UNISBAini, di pesantren Persis No. 84 Ciganitri santri diajarkan ilmu agama yang utuh, yang tidak hanya memahami sepenggal, sehingga akan membentuk santri yang terbebas dari faham radikalisme. Seperti pemahaman akan dakwah dan jihad dalam agama Islam disesuaikan dengan konteks zaman sekarang. Pemahaman tentang makna jihad di jalan Allah tidak lagi mengangkat senjata. Melainkan dengan cara melakukan amal shaleh yang bermanfaat. Seperti belajar, mengamalkan ilmu, bekerja menafkahi keluarga, dan membantu sesama manusia. Ajaran Islam yang mendalam dan tidak dangkal, menurut Ustadz Deden, akan melahirkan santri yang berdakwah tidak hanya sebatas tentang ilmu agama saja. Namun santri akan berdakwah dengan cara yang sesuai dengan ilmu dan profesi yang ditekuni para santri kelak. Ia mencontohkan jika santri tersebut menjadi seorang dokter maka akan berdakwah menurut keahliannya dalam bidang kedokteran, dengan tetap diimbangi ajaran agama.

Selain memasukannya dalam setiap mata pelajaran, upaya pencegahan paham fundamentalisme-radikalisme juga diterapkan dalam setiap kegiatan intra-kurikuler lainnya. Diawali saat santri mengikuti masa ta�aruf (perkenalan) ketika mereka baru memasuki lingkungan pesantren. Mereka dibekali pemahaman bahwa di pesantren tersebut akan diajarkan mengenai ajaran al-Quran dan as-Sunnah yang utuh dan komprehensif. Sehingga tidak diharapkan ada santri yang membawa atau menyebarkan paham yang bersifat fundamentalisme dan radikalisme.

2.      Pencegahan secara eksternal

Penelitian ini menemukan upaya pencegahan fundamentalisme agama melalui fungsi edukasi pesantren, yakni fungsi pesantren sebagai lembaga pendidikan yang menanamkan nilai-nilai sosial. Untuk mencegahan ini, pihak pesantren bekerjasama dengan Muspika setempat, seperti Polres Bojongsoang maupun Kodim setempat.

Menurut penuturan ustadz Deden, dalam setahun bisa dua kali atau lebih unsur Muspika memberikan penyuluhan mengenai Kamtibmas serta kewaspadaan terhadap merebaknya paham radikalisme.

Dalam kesempatan tersebut, petugas dari Muspika biasanya memberikan pembinaan dengan materi tentang kamtibmas serta waspada radikalisme dan terorisme. Kegiatan tersebut diikuti oleh santri dan didampingi oleh para asatidzah.

Dari unsur kepolisian biasanya mereka menjelaskan tentang tugas pokok Polisi yaitu memelihara keamanan dan ketertiban dalam masyarakat, melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat serta penegakan hukum. Setelah santri mengetahuinya diharapkan peran serta santri dan warga pesantren untuk mendukung pelaksanaan tugas kepolisian. Selain materi tersebut, disampaikan juga penjelasan tentang waspada radikalisme dan terorisme. Santri dan warga pesantren dituntut peka mengamati lingkungan sekitar, untuk mencegah masuknya paham radikalisme maupun terorisme. Apabila ada hal mencurigakan terkait aktivitas tersebut segera lapor kepada pihak kepolisian.

Dalam model dialogis ini, para penyuluh memberikan kesempatan kepada santri untuk bertanya, mengajukan pendapat, ataupun berdiskusi mengenai materi yang disampaikan. Maka terjadi dialog dua arah antara penyuluh selaku komunikator dengan santri selaku komunikan.

 

C.     Model Komunikasi Asatidzah dan Santri

Model perilaku komunikasi sering disebut �model kelompok�. Model ini mengatakan bahwa ideal komunikasi hanya akan terjadi jika pesan-pesan yang bertujuan tentu dapat dikirim kemudian diterima oleh sekelompok orang yang merasa yakin (ditunjukan melalui prilaku) bahwa komunikasi telah terjadi. Salah satu tujuan model komunikasi mengatakan bahwa semua jenis pesan yang bertujuan tertentu yang dikirim oleh pengirim lalu diterima oleh penerima dapat dipertimbangkan sebagai tindakan komunikasi itu sendiri (Liliweri, 2011:83).

Berdasarkan hasil temuan di Pesantren Persis No. 84 Ciganitri, terhadap proses komunikasi kiai, ustadz, dan santri dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Arus komunikasi yang mereka gunakan kadang satu arah dan kadang dua arah, tergantung pada situasi dan kondisi. Komunikasi satu arah seringkali dilakukan seorang kiai, ustadz, dan santri pada saat kegiatan belajar mengajar di kelas. Mereka menyampaikan pesan kepada komunikan sementara pesan yang disampaikan tidak secara langsung ada umpan balik.

Sedangkan komunikasi dua arah terjadi pada kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler,di kelas atau di tempat-tempat yang tidak terencanakan. Komuniksi dua arah ini terjadi saat seorang ustadz menyampaikan pesan kepada santri melalui media kemudian pesan tersebut sampai kepada komunikan dan terjadi peristiwa umpan balik, begitulah seterusnya proses komunikasi terjadi secara interaktif.

1.      Model Transaksi

Dalam model transaksi seorang komunikator menyampaikan pesan kepada penerima, ketika pesan itu tiba pada penerima, maka penerima dapat memberikan umpan balik yang jelas yang memungkinkan pesan itu dapat dipahami sebagaimana yang dimaksud oleh pengirim. Diperjelas oleh Liliweri (2011:102), bahwa model komunikasi transaksional, yang kini banyak digunakan oleh para ahli merupakan kebalikan dari teori linier. Model transaksional menggambarkan proses komunikasi manusia yang lebih akurat karena menghadirkan peran bersama antara pengirim dan penerima pesan. Jika dua orang berada dalam satu ruangan yang sama, maka mereka dapat berkomunikasi tatap muka, mereka dapat mengirim dan menerima pesan secara simultan, mereka dapat mengatasi gangguan komunikasi, kecuali �gangguan� yang berasal dari perbedaan budaya.

Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara yang dilakukan oleh penulis, bahwa Pesantren Persis No. 84 Ciganitri melakukan transaksipenerimaan santri baru 1 kali dalam setahun.Dalam proses transaksi ini tercipta tindakan dialogis antara kiai dan santri. Seorang kiai menjelaskan sejarah singkat pesantren, budaya dan sistem kemudian ditawarkan kepada calon santri baru, ketika santri tersebut menyatakan siap maka seorang kiai secara resmi menyampaikan bahwa anak itu sudah resmi menjadi santri Pesantren Persis No. 84 Ciganitri. Model transaksi ini membentuk pribadi terbuka, artinya; bisa mengungkapkan segala ide dan hasrat yang diilustarasikan lewat komunikasi verbal dan nonverbal. Dalam proses komunikasi inilah asatidzah menyampaikan pesan-pesan, salah satunya pesan agar santri tidak terbujuk oleh rayuan gerakan-gerakan yang mengarah kepada aliran sesat dan fundamentalisme-radikalisme.

Peristiwa proses transaksi penyerahan santri baru kepada kiai mendapatkan perlakuan sama antara putra-putri. Dan yang menjadi aspek pertimbangan adalah psikologi dari masing-masing anak itu karena dengan latar belakang yang berbeda baik itu budaya dan lingkungan yang membangun kepribadian anak itu sebelumnya. Sementara model transaksi yang apresiasikan oleh kiai dan ustadz ketika merencanakan dan menyepakati pola kerja di pesantren.

Proses komunikasi transaksi juga dapat dilihat ketika seorang ustadz mendatangi asatidzah untuk mengajukan ide atau meminta restu untuk mengadakan suatu acara, maka terjadilah pola pertukaran pemikiran dan pendapat yang kemudian disepakati bersama dengan sikap yang toleran terhadap masing-masing ide. Jika kegiatan atau acara itu mengarah kepada hal-hal yang bersifat bathil, maka pihak pesantren tidak akan mengijinkannya. Namun, bila kegiatan itu bernilai positif dan bermanfaat maka pihak pesantren mengijinkan dan mendukungnya.

2.      Model Ritual dan Ekspresif

Model ritual atau ekspresif, berkaitan dengan bagaimana memelihara sebuah masyarakat pesantren dalam keyakinan dan ideologi atau deskripsi informasi tertentu yang bersesuaian dengan nilai-nilai yang diyakini dalam kelompok masyarakat pesantren. Jadi bukan bagaimana menyampaikan dan menanamkan sebuah informasi kepada santri oleh seorang kiai. Yang menjadi penekanan dalam komunikasi ekspresif adalah kepuasan dari pelaku komunikasi. Pesan-pesan yang disampaikan biasanya bersifat ambigu karena tergantung dengan pemahaman atas nilai dan simbol-simbol yang disepakati dalam kelompok masyarakat tertentu atau yang berhubungan langsung dengan budaya tersebut. Mulyana (2007:133) menyatakan: model memberi teoritkus suatu struktur untuk menguji temuan mereka dalam �dunia nyata�. Meskipun demikian, model juga seperti definisi atau teori, pada umumnya tidak pernah sempurnah dan final.

Di Pesantren Persis No. 84 Ciganitri, model ritual dan ekspresif dapat dilihat pada kegiatan khutbah jum�at yang berlangsung di masjid PP Persis Ciganitri, yang lokasinya satu kompleks dengan pesantren. Memang, di Pesantren Persis No. 84 Ciganitri tidak seluruh santri mengikuti kegiatan shalat jum�at di Masjid PP Persis Ciganitri. Hal ini dikarenakan di Pesantren Persis No. 84 Ciganitri hari jum�at merupakan hari libur, sehingga para santri pada hari jum�at berada di lingkungan keluarganya masing-masing. Namun, ada sebagian santri yang mondok di asrama pesantren. Mereka pada hari jum�at melaksanakan shalat jum�atnya di masjid PP Persis Ciganitri.

Dalam shalat jum�at ini, khatib yang bertugas dipastikan adalah kiyai atau ustadz dari kalangan Persis termasuk dari kalangan Pesantren Persis No. 84 Ciganitri. Dengan demikian, materi khutbahnya tidak akan jauh dari pemahaman masyarakat Persis pada umumnya. Yang menjadi materi khutbah biasanya seputar persoalan keagaman dan pola hidup yang ideal, yakni yang berlandaskan al-Quran dan as-Sunnah.

Selain itu, materi khutbah juga bukan hanya semata-mata membangun spritual dan intelektual umat akan tetapi agar ada komunikasi yang intens antara ustadz dan santri. Hal ini sejalan dengan Rakhmat (2009:vii) bahwa dengan komunikasi kita saling pengertian, menumbuhkan persahabatan, memelihara kasih sayang, menyebarkan pengetahuan, dan melestarikan peradaban. Tetapi dengan komunikasi juga kita akan menyuburkan perpecahan, menghidupkan permusuhan, menanamkan kebencian, merintangi kemajuan, dan menghambat pemikiran.

3.      Model Publisitas

Menganalisis dari model komunikasi publisitas ini benar-benar memposisikan komunikan sebagai subjek yang berada di luar batas komunikator, misalnya jika dia adalah penikmat program radio maka posisinya adalah hanya sebagai pendengar. Tidak ada hubungan partisipatif yang terjadi. Komunikasi ini profit-minded dan hanya ditujukan untuk merangsang minat dan emosi komunikan untuk menjadi atau menangkap setiap atensi dari komunikator. Di Pesantren Persis No. 84 Ciganitri, setiap tahun sekali mengadakan acara ta�aruf dalam rangka memperkenalkan sejarah, budaya dan sistem pendidikan sekaligus fungsionarisnya. Dalam hal ini, seorang kiai menceritakan, menjelaskan, meyakinkan santri agar senantiasa berfikir positif terhadap segala aktivitas di pesantren, disamping itu juga seorang pengasuh pesantren memperkenalkan fungsionaris pesantren satu persatu kepada seluruh santri dengan harapan santri mampu mengenal dan mengetahui sehingga mempermudah santri dalam memposisikan kiai dan ustadz sebagaimana mestinya. Artinya, seorang santri tahu kapasitas dari seorang kiai dan ustadz, sehingga memfungsikannya secara profesional dan proporsional.

Proses komunikasi model publisitas ini merupakan komunikasi dalam model santri bersifat pasif, karena tidak ada komunikasi secara interatif antara santri dan kiai. Pada prosesi perkenalan di Pesantren Persis No. 84 Ciganitri, semua fungsionaris pondok diperkenalkan dan dijelaskan tugasnya masing-masing oleh kiai. Hal ini merupakan cara pesantren untuk mengoptimalkan proses pendidikan di pesantren. Setiap interaksi mesti ada peristiwa komunikasi, dan setiap komunikasi mesti bisa dimaknai, karena ada pesan yang ingin disampaikan oleh komunikator kepada komunikan. Model komunikasi publisitas sebagai transportasi dan metafora kontrol dengan memindahkan paradigma berpikir orang dari satu titik ketitik yang lain. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Liliweri (2011:99) bahwa metafora kontrol dapat membuat kita �menikmati� komunikasi yang dihasilkan oleh interaksi antarpersonal yang asietris atau yang simetris. Bukanlah metafora kontrol seperti yang diperankan oleh para pengarang, penulis, dan sutradara yang mengontrol para pemain, agar mereka tidak main-mainkan peran sebagaimana yang telah diskenariokan sebelumnya.

Model komunikasi publisitas ini membutuhkan kemampuan retorika, karena posisi komunikan dalam keadaan pasif. Target yang ingin dicapai dalam model komunikasi publisitas adalah upaya melancarkan hubungan interpersonal kiai, ustadz, dan santri. Liliweri (2011:469) menyatakan bahwa komunikasi publisitas akan membuat seseorang lebih terkenal, dia membuat kita lebih sibuk lelah tetapi publisitas membuat kita lebih banyak beristirahat.

4.      Model Dialogis

Model dialogis yang dilakukan dalam rangka mencegah timbulnya paham fundamentalisme-radikalisme di Pesantren Persis No. 84 Ciganitri dilakukan dengan melibatkan unsur Muspika setempat, di antaranya melibatkan aparat dari Polres Bojongsoang dan aparat Kodim setempat. Menurut penurutan ustadz Saefudin, kegiatan pembinaan dari unsur muspika ini sering dilakukan, bahkan dalam setahun bisa lebih dari dua kali.

Dalam kesempatan tersebut, petugas dari Muspika biasanya memberikan pembinaan dengan materi tentang kamtibmas serta waspada radikalisme dan terorisme. Kegiatan tersebut diikuti oleh santri dan didampingi oleh para asatidzah.

Dari unsur kepolisian biasanya mereka menjelaskan tentang tugas pokok Polisi yaitu memelihara keamanan dan ketertiban dalam masyarakat, melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat serta penegakan hukum. Setelah santri mengetahuinya diharapkan peran serta santri dan warga pesantren untuk mendukung pelaksanaan tugas kepolisian. Selain materi tersebut, disampaikan juga penjelasan tentang waspada radikalisme dan terorisme. Santri dan warga pesantren dituntut peka mengamati lingkungan sekitar, untuk mencegah masuknya paham radikalisme maupun terorisme. Apabila ada hal mencurigakan terkait aktivitas tersebut segera lapor kepada pihak kepolisian.

Dalam model dialogis ini, para penyuluh memberikan kesempatan kepada santri untuk bertanya, mengajukan pendapat, ataupun berdiskusi mengenai materi yang disampaikan. Maka terjadi dialog dua arah antara penyuluh selaku komunikator dengan santri selaku komunikan.

5.      Model Resepsi

Model komunikasi resepsi ini berkaitan erat dengan simbol dan bagaimana kiai, ustadz, atau santri menerima simbol-simbol yang disampaikan komunikator. Komunikan tidak harus selalu menafsirkan dan menerima simbol-simbol dari komunikator sebagai hal yang ideologis, tetapi dapat menafsirkan simbol tersebut sesuai dengan konteksnya masing-masing sehingga sikap apapun yang diambil baik itu afirmatif ataupun kontradiktif adalah suatu hal yang dapat dimaklumi. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Fiske (dalam Sobur, 2009:viii) bahwa relasi antara penanda dan petanda berdasarkan konvensi inilah yang disebut signifikasi (significtion). Semiotika signifikasi, dengan demikian, adalah semiotika yang mempelajari elemen-elemen tanda di dalam sebuah sistem, berdasarkan aturan main dan konvensi tertentu. Sementara Liliweri (2011:92) menerjemahkan resepsi, atau penerimaan (berwarna hijau) merupakan proses di mana penerima menerima sebuah ujaran verbal, dia mendeteksi ucapan melalui indra pendengaran (tingkat fisiologis) dan kemudian menerjemahkan ekspresi itu ke dalam linguistik (tingkat linguistik) dan akhirnya dia menarik kesimpulan atas pesan dengan ekspresi linguistik.

Di Pesantren Persis No. 84 Ciganitri, peristiwa komunikasi antara kiai dengan santri dan santri dengan ustadz dapat terjadi karena ada masalah-masalah yang menerpanya. Bagi santri yang melanggar aturan pondok tentu mendapatkan sanksi sesuai dengan kadar pelanggarannya begitupun ustadz atau bahkan kiai. Proses komunikasi bagi santri yang melanggar ditangani secara khusus oleh ustadz dengan cara mengintrogasi, membuat kronologi secara tertulis, kemudian hasilnya disampaikan kepada kiai untuk meminta kebijakan sanksi yang tepat. Setelah sanksi itu dijatuhkan oleh kiai maka santri yang bersangkutan mendapatkan siraman rohani dari seorang kiai. Dari gambaran singkat di atas jelas proses komunikasi yang berlangsung tidak akan lepas dari simbol-simbol verbal maupun non verbal. Pada saat kiai, ustadz dan santri berekspresi itu merupakan bahasa yang mesti diterjemahkan dengan baik dan tepat, oleh karenanya butuh kekuatan kognitif, spritual dan emosional yang jitu, agar terbentuk daya sensor yang tajam terhadap realitas. Sanksi merupakan akibat dari perbuatan salah, tapi jarang sekali menemukan orang yang bisa menerima sanksi walaupun sebenarnya dia sadar bahwa dia salah. Tapi di Pesantren Persis No. 84 Ciganitri, bagi santri yang melanggar bukan hanya sekedar sanksi yang diberikan kiai atau ustadz, tapi ada bimbingan, pengarahan, dan pantauan khusus dalam menjalankan aktivitas di pesantren. Dengan tujuan; ingin mengetahui sejauh mana efek sanksi terhadapnya. Dengan adanya interpretasi tindakan orang lain, individu dapat mengubah tindakan berikutnya agar sesuai dengan tindakan orang lain.

Modifikasi perilaku ini menuntut santri untuk memastikan terlebih dahulu makna, motif atau maksud apa yang terdapat di belakang tindakan orang lain. Proses demikian hanya akan dimungkinkan bila manusia memiliki dan berbagi simbol (Mulyana, 2008:8-82). Proses komunikasi interpersonal kiai, ustadz, dan santri bisa terjadi pada saat terbangunnya sebuah masalah, misalnya: santri melanggar aturan pesantren, santri sakit, dan sebagainya. Dalam proses introgasi terhadap santri, terbangun komunikasi yang interaktif antara kiai dengan santri, kiai dengan ustadz, atau ustadz dengan santri. Sebagaimana Leary (dalam Liliweri, 2011:93) menyatakan, telaah komunikasi antarpersonal sedapat mungkin memperhatikan dua demensi ini, yaitu demensi dominasi-patuh dan perasaan benci-cinta, dan dua demensi ini selalu terjadi selama dua orang berinteraksi. Model ini mengatakan bahwa, ketika individu berkomunikasi, maka dia akan mengirimkan pesan dan pesan tersebut memiliki kualitas konten yang dominan-submisif dan persaan benci-cinta. Masing-masing pihak akan memberikan tanggapan itu berdasarkan perasaan mereka terhadap pesan.

 

Kesimpuan

Berdasarkan hasil dari penelitian ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1.    Akar masalah fundamentalisme-radikalisme agama yang menimbulkan aksi radikalisme agama, dapat dilihat dari aspek pemahaman agama yang dangkal. Ajaran agama Islam yang tertuang dalam Al-Qur�an dan Hadis dalam pemahamannya tidak disesuaikan dengan konteks sosial yang ada. Kemudian citacita negara Khilafah di seluruh dunia termasuk di Indonesia yang bertentangan dengan ideologi Pancasila. Jihad yang difahami dengan cara berperang mengangkat senjata, yang tidak relevan lagi di zaman sekarang.

2.    Peran Pesantren Persis No. 84 Ciganitri dalam mencegah fundamentalisme-radikalisme agama, dilakukan dengan dua cara yakni: Secara internal dengan melibatkan unsur pesantren, dan (2) Secara eksternal dengan melibatkan aparat Muspika seperti Polres Bojongsoang dan Kodim setempat.

Adapun model komunikasi yang dilakukan dalam pencegahan paham fundamentalisme-radikalisme di Pesantren Persis No. 84 Ciganitri meliputi:: (1) Model transaksi, (2) model ritual dan ekspresi, (3) model publisitas, (4) model dialogis, dan (5) model resepsi

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBIOGRAFI

 

Bungin, Burhan. 2009. Sosiologi Komunikasi. Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Jakarta: Kencana.

 

Martono, Nanang. 2011. Sosiologi Perubahan Sosial. Rajawali Press : Jakarta.

 

Nurdyansah, Dede Eka. 2003. Modernisme dan Fundalisme Islam (Studi Pada Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah). Jakarta: FISIPOL UIN Syarif Hidayatullah.

 

Qomar, Mujamil. 2002. Pesantren: Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi. Jakarta : Erlangga.

 

Qodir, Zuly. 2013. Fundamentalisme Agama: Memahami Penyebab dan Karakter Gerakan. Dalam : Lambang Triono dkk (Ed). Potret Retak Nusantara : Studi Kasus Konflik di Nusantara. Yogjakarta : CSPS Books.

 

Samuel, Hanneman.2012. Peter L. Berger : Sebuah Pengantar. Jakarta : Kepik.

 

Sarwono, Sarlito Wirawan. 2012. Terorisme di Indonesia: Dalam Tinjauan Psikologis. Tangerang: Alvabet

Setiawan, Bahar Agus. 2003. Fundmentalisme Islam (Studi Terhadap Ikhwanul Muslim dan Jamaat-i-islami).Yogjakarta : Fakultas Usuluddin IAIN Sunan Kalijaga.

 

Slamet, Yulius. 2011. Metode Penelitian sosial. Surakarta: Lembaga Pengembangan Pendidikan UNS dan UNS Press.

 

www.persis.or.id

 

www.PPIciganitri.blogspot.com