Syntax Idea : Jurnal
Ilmiah Indonesia p�ISSN:
����� e-ISSN :
����� Vol. 1, No. 1 Mei 2019
PERAN
PESANTREN DALAM MENCEGAH FUNDAMENTALISME DAN RADIKALISME AGAMA
Yadin
Burhanudin, Ajeng Laeli Trijayanti
Prodi Komunikasi Penyiaran Islam Program
Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Email: [email protected], [email protected]
�
Abstrak
Fundamentalisme agama yang mengarah
pada aksi radikalisme agama merupakan fenomena yang harus dicegah. Agama yang
seharusnya menjadi sumber cinta, kedamaian, dan keselamatan dalam kehidupan
manusia digunakan sebagai instrumen kekejian. Ini bisa dilihat dari
peristiwa-peristiwa aksi terorisme global akhir-akhir ini. Penelitian ini
mengambil judul Model Komunikasi Antara Asatidzah dan Santri Dalam Mencegah
Paham Fundamentalisme-Radikalisme di Pesantren Persis No. 84� Ciganitri Bojongsoang Kabupaten Bandung. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana komunikasi yang terjalin di
antara asatidzah
(pembimbing/pengajar) dengan santri di Pesantren Persis No. 84� Ciganitri Bojongsoang Kabupaten Bandung dalam
mencegah fundamentalisme-radikalisme agama. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa asatidzah di pesantren ini sepakat bila akar masalah fundamentalisme
agama yang mengarah pada tindakan radikalisme agama, salah satunya disebabkan
pemahaman agama yang dangkal. Ajaran agama Islam yang terkandung dalam Al
Qur'an dan as-Sunnah dalam pemahaman mereka tidak disesuaikan dengan konteks
sosial. Komunikasi yang di jalin di antara asatidzah dengan santri dalam
mencegah radikalisme-fundamentalisme agama, dilakukan dengan dua cara: secara
internal dan eksternal. Secara internal, pesantren mengajarkan dalam setiap
mata pelajarannya ajaran Islam yang benar dan utuh sesuai dengan al-Quran dan
as-Sunnah. Dengan demikian, para santri memahami Islam tidak sepotong-sepotong
seperti yang selama ini dipahami oleh kalangan radikalis. Secara eksternal,
pesantren bekerjasama dengan unsur Muspika, khususnya aparat kepolisian
(Polsek) dan Koramil dalam melakukan pembinaan dan pencegahan paham
radikalisme. Hasilnya, di Pesantren Persis No. 84 Ciganitri Bojongsoang
Kabupaten Bandung tidak terindikasi adanya santri yang memiliki atau mengarah
kepada paham fundalisme-radikalisme.
Kata
Kunci: �Pesantren,
fundamentalisme, Radikalisme, PERSIS
Pendahuluan
Fundamentalisme
sering dimaknai sebagai gerakan atau keyakinan yang menekankan kepatuhan yang
kaku dan literal terhadap ajaran dan doktrin dasar. Sikap kekakuan dalam
beragama tersebut, memunculkan aksi radikalisme dengan tindak kekerasan atas
nama agama. Kelompok radikalisme seperti Al Qaeda dan ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) menjadi
persoalan global saat ini. Kelompok semacam ini menjadikan agama sebagai alat untuk
kepentingan politis, seperti jihad untuk cita-cita negara khilafah. Agama
dimanfaatkan untuk melakukan teror dan menyebar kekejian demi mencapai ambisi
politis. Hal ini menjadi masalah global karena mereka mengekspor teror dan
kekejian ke seluruh penjuru dunia. Termutahir peristiwa bom di Jakarta beberapa
waktu lalu disinyalir merupakan salah satu ekspor teror dari ISIS. Aksi
fundamentalisme-radikalisme agama semacam ini tentu telah mencoreng agama Islam
yang seharusnya menyebarkan rahmat (kasih sayang) kepada seluruh semesta.
Padahal Allah SWT berfirman di dalam al-Qur�an surat Al-Anbiya Ayat 107 dengan
sangat jelas menyatakan:
�Tidaklah aku mengutus engkau (wahai Muhammad) kecuali untuk
menebarkan rahmat (kasih sayang) bagi seluruh semesta�. (QS. AlAnbiya : 107).
Peristiwa
aksi terosisme di Indonesia mengindikasikan ekspor fundamentalisme-radikalisme
agama oleh kelompok radikalis internasional sudah memengaruhi masyarakat Muslim
di tanah air. Hal ini tentu bertentangan dengan citra Indonesia yang dikenal
sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, yang memiliki karakter
Islam yang damai. Fundamentalisme-radikalisme agama yang menimbulkan aksi
terorisme agama tentu menjadi kekhawatiran bersama yang harus dicegah. Agama
yang seharusnya menjadi sumber cinta kasih, perdamaian, dan keselamatan dalam
kehidupan manusia dijadikan alat kekejian.
Di
sinilah fungsi institusi agama untuk mencegahnya. Salah satunya adalah
pesantren yang memiliki fungsi strategis untuk turut serta mencegahnya. Karena
pesantren merupakan tempat transfer nilai-nilai keagamaan. Salah satu pesantren
yang menolak tindakan fundamentalisme-radikalisme agama adalah Pesantren
Persis� No. 84 Ciganitri Bojongsoang
Kabupaten Bandung. Pesantren ini merupakan salah satu pesantren yang berdiri di
bawah naungan ormas Persatuan Islam (PERSIS). Mudir (Kepala) Muallimien
pesantren, yakni Ustadz Saefudin, menyatakan Pesantren Persis No. 84 memiliki
visi Terwujudnya insan yang tafaqquh
fiddiin (memahami, mendalami, dan taat beragama Islam). Hal ini sesuai
dengan al-Quran surat at-Taubah ayat 122.
Sementara
itu, lanjut Saefudin, Pesantren Persis No. 84 juga mengemban misi (a)
Memberikan pemahaman kepada para peserta didik mengenai nash-nash al-Quran dan
as-Sunnah. (b) Memberikan pemahaman kepada peserta didik mengenai aqidah dan
akhlak, (c) Memberi pengetahuan kepada peserta didik tentang ushul fiqih, ilmu
hadits, dan IPTEK. (d) Melatih keterampilan peserta didik melalui kegiatan
intra-kulikuler dan ekstra-kurikuler.
Di
sinilah posisi strategis Pesantren Persis No. 84 Ciganitri untuk menunjukan
peran sertanya dalam mencegah fundamentalisme-radikalisme agama. Hal ini
sejalan dengan tujuan pendidikan yang dicapai, yakni agar peserta didik
memiliki: (a) Aqidah yang hanif (lurus dan tangguh), (b) Ilmu dan wawasan yang
luas, (c) Kemampuan mempraktikkan dan menyebarkan ilmunya kepada masyarakat
luas.
Dari
latar belakang yang dipaparkan di atas, penelitian ini berusaha mengkaji peran
pesantren PPI No.84 Ciganitri dalam mencegah fundamentalisme-radikalisme agama
yang berwujud aksi terorisme. Lebih khusus lagi, bagaimana model komunikasi
antara asatidzah dengan santri dalam mencegah paham fundamentalisme-radikalisme
di lingkungan pesantren.
Kajian
tentang pencegahan fundamentalisme-radikalisme agama menjadi penting untuk
dilakukan, mengingat masyarakat global saat ini telah terintegrasi dalam pasar
bebas, seperti AFTA (Asean Free Trade
Area). Hal ini mengakibatkan terjadinya interaksi sosial yang bersifat
heterogen. Oleh karena itu, pandangan sempit, sikap egoistik beragama yang
cenderung merasa diri paling benar harus dicegah. Hal ini untuk menciptakan
hubungan sosial masyarakat global yang hidup berdampingan dalam perbedaan
secara damai
Metode Peneitian
Penelitian
ini menggunakan metode kualitatif, yakni penelitian yang melihat realitas
sosial secara subjektif sesuai yang dilihat di lapangan secara alamiah.
Sehingga teknik pengumpulan data yang digunakan adalah pertama dengan cara
observasi terhadap kegiatan di pesantren. Selain itu proses pengumpulan data
juga dilakukan dengan wawancara kepada pembimbing pesantren berkaitan dengan
permasalahan yang diteliti, yakni tentang peran pesantren dalam mencegah
fundamentalis-radikalisme.
Hasil dan Pembahasan
A.
Akar Masalah Fundamentalisme Agama
Akar
masalah fundamentalisme-radikalisme agama menurut pandangan para ustadz di
Pesantren Persis No. 84 Ciganitri Bojongsoang Kabupaten Bandung, bisa dilihat
dari tiga aspek yakni pemahaman ajaran agama, cita-cita negara Islam
(khilafah), dan makna Jihad.
1.
Pemahaman
Ajaran Agama
Maraknya fenomena
fundamentalisme-radikalisme agama, yang berdampak pada kasus terorisme atas
nama agama, menurut para asatidzah Pesantren Persis No. 48 Ciganitri adalah
karena kedangkalan dalam pemahaman agama. Ajaran agama Islam yang tertuang
dalam Al-Qur�an dan Hadis dalam pemahamannya tidak disesuaikan dengan konteks
sosial yang ada. Ajaran agama yang difahami apa adanya atau secara literal saja
tanpa mengkaitkan dengan alasan kontekstual turunnya suatu ayat.
Seperti yang dikemukakan oleh Ustadz
Saefudin. Menurutnya, fundamentalisme agama adalah meyakini agama tanpa melihat
kondisi sosial masyarakat, sedangkan agama merupakan bagian dari sosial
masyarakat. Fundamentalisme agama pada akhirnya terwujud karena adanya
pemahaman agama yang tidak utuh sehingga menimbulkan sisi fundamental seperti
aksi radikalisme agama.
�Bisa jadi kalangan radikalis yang
ada sekarang, mereka adalah lulusan pesantren. Tetapi Saya mengindikasikan,
mereka tidak tuntas dalam mempelajarai agama Islam. Sebab kalaulah mereka
tuntas mempelajari ajaran Islam, tidak akan memiliki paham semacam itu
(radikalisme),� ucap Ustadz Saefudin.
Hal senada dikemukakan oleh Ustadz
Nurohmat. Menurutnya, para penganut radikalisme agama memahmi teks Al-Qur�an
dan Hadis tidak disesuaikan dengan konteksnya. Mereka cenderung menafsirkannya
secara dangkal dan tidak mendalam. Menurut guru mata pelajaran Ilmu Kalam ini,
jika ditarik ke belakang, sebetulnya akar masalah dari
fundamentalisme-radikalisme ini adalah terkait persoalan politik atau perebutan
kekuasaan. Ustadz Nuromat kemudian memaparkan sejarah munculnya radikalisme
agama, yakni berawal dari perpecahan di kalangan umat Islam pada masa
khulafaurasyidin, khusunya pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan. Dari
persoalan politik melebar ke permasalahan teologi dan kemudian menjadi
persoalan ideologi.
�Jadi, radikalisme itu adalah
persoalan teologi yang melebar menjadi persoalan ideologi,� ujar Ustadz
Nurohmat.��
Sementara Ustadz Deden, mengemukakan
bahwa makna dari kata radikalisme sendiri jika diartikan adalah mendalam, dalam
konteks agama radikalisme merupakan sikap memaknai ajaran agama secara mendalam
dan mengakar. Namun, menurut lulusan IAIN Sunan Gunung Djati Bandung ini,
dengan berkembangnya zaman makna radikalisme berubah menjadi aksi kekerasan. Ia
menerangkan bahwa para penganut fundamentalisme memahami kontekstualitas ayat
Al-Qur�an secara literal, tanpa memperhatikan konteks sosial turunnya ayat
tersebut.
Apa yang diungkapkan oleh asatidzah
Pesantren Persis No 48 Ciganitri ini, memang sejalan dengan pandangan dari
ormas PERSIS secara keseluruhan. Dalam pandangan
Persis, sebagaimana dikutip dari laman resminya (www.persis.or.id), kesalahan dari sebagian kecil umat Islam dalam
memahami teks al-Quran ketika berinteraksi dengan budaya menyebabkan kekacauan/chaos dan sikap radikalisme. Inilah
salah satu penyebab utama teroris, radikal, dan kejahatan atas nama sebuah
agama.
�Persis memandang bahwa penyebab radikalisme yang utama
adalah, adanya agama/dogma di sebuah kelompok kecil yang meluaskan atau
mengedapankan ittiqaad/keyakinan yang
merupakan kekhususan mereka dan dipaksakan keyakinan itu kepada orang lain.
Alhasil, Itiqaad selain yang
dipilihnya berdada dan yang berada dalam kekufuran. Hal ini terjadi juga dalam
pemeluk agama dan dogma yang lain seperti dalam ajaran Marxisme.
Singkatnya,
sikap segala upaya kemanusian kita mendukungnya dari mana asal dan apa itu
namanya, bukankah الكلمة الحكمة ضالة المؤمن حيث وجدها جذبها Artinya:
�kalimat hikmah adalah sesuatu yang hilang dari mukmin, kapan
saja ia ditemukan maka dia yang lebih utama memilikinya�.
Hadits ini menurut para ahli,
derajatnya dhoif. Tetapi dari segi isi dan
tujuanya, seorang mukmin akan menerima serta mencari kebaikan dari mana dan
dari siapa asalnya seiring dengan surat al-Maidah (5) ayat 8.
2.
Cita-Cita
Negara Islam (Khilafah)
Menurut Ustadz Saefudin, para
asatidzah di pesantren ini memiliki pemahaman yang sama sebagaimana pemahaman
ormas PERSIS secara keseluruhan bahwa khilafah bukan suatu kewajiban. Menurut
Ustadz Saefudin, yang mesti diperjuangkan oleh umat Islam adalah menegakkan
syariat Islam sebagaimana yang menjadi cita-cita PERSIS selama ini. Adapaun
bentuk pemerintahannya bisa bermacam-macam sesuai kondisi sosial masyarakat.
Senada dengan hal itu, Ustadz
Nurohmat mengatakan, terbentuknya khilafah memang merupakan cita-cita sebagian
besar umat Islam. Dengan demikian, umat Islam akan menyambut dengan baik jika
ada peluang ke arah itu. Namun demikian, jika�
cita-cita khilafah ini tidak terwujud bukan berarti umat Islam berada
dalam negara dan pemerintahan yang bathil.
Sementara itu, Ustadz Deden selaku
guru mata pelajaran kejamiyahan, menjamin bahwa di Pesantren Persis tidak ada
asatidzah yang memberikan doktrin kepada santri mengenai khilafah, yang
mengarah kepada gerakan fundamentalisme-radikalisme. Dalam mengajarkan materi
tentang kejamiyahan dan siyasah, diakui ustadz Deden, pihaknya menggunakan kitab
at-Tibyan karya Imam Nawawi.�
3.
Makna Jihad
Faham fundamentalisme agama yang
cenderung memaknai jihad adalah perang fisik, menurut pandangan para asatidzah
tidaklah benar. Jihad harus dimaknai dalam konteks kekinian bahwa pemahaman
semacam itu sudah tidak sesuai dengan zamannya. Di Negara damai seperti
Indonesia, jihad dengan cara berperang mengangkat senjata tentu tidak relevan
lagi.
Menurut Ustadz Saefudin, jihad
berasal dari kata al-Juhdu yang
artinya kesungguhan. Orang yang bersungguh-sungguh disebutnya mujtahid. Seorang mujtahid tentu ia
sangat kental dengan ijtihadnya. Sementara pengertian ijtihad adalah: �Mencurahkan segenap tenaga dan pikiran secara
bersungguh-sungguh untuk menetapkan suatu hukum sesuai dengan al-Quran dan
as-Sunnah.
�Oleh karena itu inti pokok dari
jihad ataupun ijtihad adalah al-Quran dan as-Sunnah. Apapun kemampuan yang kita
lakukan dengan tujuan menegakkan kalimat Allah itu juga bagian dari jihad,�
tegas ustadz Saefudin yang juga merangkap sebagai dosen di STAI Persis Bandung.
Lalu bagaimana Persis memandang
persoalan jihad? Penulis menemukan salah satu tulisan dalam situs resmi Persis,
www.persis.or.id, di sana diuraikan makna jihad sebagai berikut:
Dari Abu Hurairah bahwasanya
Rasulullah saw. telah ditanya mengenai amal yang paling utama. Beliau menjawab
:�Amalan yang paling utama adalah iman kepada Allah.� Kemudian (ditanyakan
lagi) apa lagi? �Jihad di jalan Allah�, jawab Rasulullah saw. Kemudian apa
lagi? Rasul menjawab :�Haji Mabrur�.
Hadits ini tergolong hadits masyhur baik di
kalangan ahli hadits maupun di kalangan ahli fiqh, sehingga kita tidak akan
kesulitan mencarinya, hampir di semua kitab mu�tabar kita dapat
menemukannya. Di dalam shahih Bukhori terdapat pokok bahasan yaitu �kitab
jihad� hadits ini terdapat di dalamnya yang sebelumnya juga terdapat dalam
pokok bahasan �kitab iman� di bawah sub judul �bab bahwasanya iman itu adalah
amal� hadits nomor 26, dan di bawah sub judul �Jihad adalah bagian dari iman�.
Di dalam shahih Muslim, kita akan menemukan pokok bahasan yang sama, yaitu
�kitab jihad dan bepergian� dengan sub judul di antaranya �bab bayanu kauni
iman (bab penjelasan keadaan iman)�, �bab keutamaan jihad dan
berjaga-jaga�. Begitu juga di dalam kitab-kitab sunan, hadits di atas
terdapat di dalamnya dengan di bawah pokok bahasan yang terang yaitu �kitab
jihad�. Selain di kitab-kitab hadits, kita juga tidak akan kesulitan menemukan
bahasan mengenai jihad di dalam kitab-kitab fiqih semisal kitab Fiqh Sunnah,
susunan Sayyid Sabiq, di situ secara rinci dipaparkan hukum jihad, keutamaan
jihad, dll.
B.
Usaha Mencegah Fundamentalisme Agama
Upaya pesantren dalam mencegah
fundamentalisme agama yakni dengan melakukan komunikasi yang intensif dan
terarah, yakni secara internal dan eksternal.
�
1.
Pencegahan
secara internal
Penelitian ini menemukan bahwa di
Pesantren Persis No. 84 Ciganitri upaya pencegahan fundamentalisme-radikalisme
agama melalui kegiatan intra-kurikuler, seperti memasukkan materi melalui mata
pelajaran. Dalam hal ini pesantren menjalankan fungsinya sebagai institusi
agama yang mengajarkan ilmu agama untuk bertaqwa kepada Allah SWT.
Ustadz Saefudin menjelaskan bahwa di
pesantren Persis No. 84 Ciganitri, santri diajarkan memahami teks Al-Qur�an dan
Hadits dengan disesuaikan dengan konteksnya. Metode semacam ini disebut asbab
al-nuzul atau asbab al-wurud, yakni pemahaman teks Al-Qur�an dan Hadits menurut
peristiwa yang mendahului turunnya ayat dan latar belakang sosial budaya. Hal
ini untuk memberikan metode penafsiran yang mendalam dan tidak dangkal.
Menurut Magister Manajemen
Pendidikan UNISBA� ini, di pesantren
Persis No. 84 Ciganitri santri diajarkan ilmu agama yang utuh, yang tidak hanya
memahami sepenggal, sehingga akan membentuk santri yang terbebas dari faham
radikalisme. Seperti pemahaman akan dakwah dan jihad dalam agama Islam
disesuaikan dengan konteks zaman sekarang. Pemahaman tentang makna jihad di
jalan Allah tidak lagi mengangkat senjata. Melainkan dengan cara melakukan amal
shaleh yang bermanfaat. Seperti belajar, mengamalkan ilmu, bekerja menafkahi
keluarga, dan membantu sesama manusia. Ajaran Islam yang mendalam dan tidak
dangkal, menurut Ustadz Deden, akan melahirkan santri yang berdakwah tidak
hanya sebatas tentang ilmu agama saja. Namun santri akan berdakwah dengan cara
yang sesuai dengan ilmu dan profesi yang ditekuni para santri kelak. Ia
mencontohkan jika santri tersebut menjadi seorang dokter maka akan berdakwah
menurut keahliannya dalam bidang kedokteran, dengan tetap diimbangi ajaran
agama.
Selain memasukannya dalam setiap
mata pelajaran, upaya pencegahan paham fundamentalisme-radikalisme juga
diterapkan dalam setiap kegiatan intra-kurikuler lainnya. Diawali saat santri
mengikuti masa ta�aruf (perkenalan) ketika mereka baru memasuki lingkungan
pesantren. Mereka dibekali pemahaman bahwa di pesantren tersebut akan diajarkan
mengenai ajaran al-Quran dan as-Sunnah yang utuh dan komprehensif. Sehingga
tidak diharapkan ada santri yang membawa atau menyebarkan paham yang bersifat
fundamentalisme dan radikalisme.
2.
Pencegahan
secara eksternal
Penelitian ini menemukan upaya
pencegahan fundamentalisme agama melalui fungsi edukasi pesantren, yakni fungsi
pesantren sebagai lembaga pendidikan yang menanamkan nilai-nilai sosial. Untuk
mencegahan ini, pihak pesantren bekerjasama dengan Muspika setempat, seperti
Polres Bojongsoang maupun Kodim setempat.
Menurut penuturan ustadz Deden,
dalam setahun bisa dua kali atau lebih unsur Muspika memberikan penyuluhan
mengenai Kamtibmas serta kewaspadaan terhadap merebaknya paham radikalisme.
Dalam
kesempatan tersebut, petugas dari Muspika biasanya memberikan pembinaan dengan
materi tentang kamtibmas serta waspada radikalisme dan terorisme. Kegiatan
tersebut diikuti oleh santri dan didampingi oleh para asatidzah.
Dari
unsur kepolisian biasanya mereka menjelaskan tentang tugas pokok Polisi yaitu
memelihara keamanan dan ketertiban dalam masyarakat, melindungi, mengayomi dan
melayani masyarakat serta penegakan hukum. Setelah santri mengetahuinya
diharapkan peran serta santri dan warga pesantren untuk mendukung pelaksanaan
tugas kepolisian. Selain materi tersebut, disampaikan juga penjelasan tentang
waspada radikalisme dan terorisme. Santri dan warga pesantren dituntut peka
mengamati lingkungan sekitar, untuk mencegah masuknya paham radikalisme maupun
terorisme. Apabila ada hal mencurigakan terkait aktivitas tersebut segera lapor
kepada pihak kepolisian.
Dalam model dialogis ini, para
penyuluh memberikan kesempatan kepada santri untuk bertanya, mengajukan
pendapat, ataupun berdiskusi mengenai materi yang disampaikan. Maka terjadi
dialog dua arah antara penyuluh selaku komunikator dengan santri selaku
komunikan.
C.
Model Komunikasi Asatidzah dan Santri
Model perilaku komunikasi sering
disebut �model kelompok�. Model ini mengatakan bahwa ideal komunikasi hanya
akan terjadi jika pesan-pesan yang bertujuan tentu dapat dikirim kemudian
diterima oleh sekelompok orang yang merasa yakin (ditunjukan melalui prilaku)
bahwa komunikasi telah terjadi. Salah satu tujuan model komunikasi mengatakan
bahwa semua jenis pesan yang bertujuan tertentu yang dikirim oleh pengirim lalu
diterima oleh penerima dapat dipertimbangkan sebagai tindakan komunikasi itu
sendiri (Liliweri, 2011:83).
Berdasarkan hasil temuan di
Pesantren Persis No. 84 Ciganitri, terhadap proses komunikasi kiai, ustadz, dan
santri dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Arus komunikasi yang mereka
gunakan kadang satu arah dan kadang dua arah, tergantung pada situasi dan
kondisi. Komunikasi satu arah seringkali dilakukan seorang kiai, ustadz, dan
santri pada saat kegiatan belajar mengajar di kelas. Mereka menyampaikan pesan
kepada komunikan sementara pesan yang disampaikan tidak secara langsung ada
umpan balik.
Sedangkan komunikasi dua arah
terjadi pada kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler,�
di kelas atau di tempat-tempat yang tidak terencanakan. Komuniksi dua
arah ini terjadi saat seorang ustadz menyampaikan pesan kepada santri melalui
media kemudian pesan tersebut sampai kepada komunikan dan terjadi peristiwa
umpan balik, begitulah seterusnya proses komunikasi terjadi secara interaktif.
1. Model Transaksi
Dalam model transaksi seorang
komunikator menyampaikan pesan kepada penerima, ketika pesan itu tiba pada
penerima, maka penerima dapat memberikan umpan balik yang jelas yang
memungkinkan pesan itu dapat dipahami sebagaimana yang dimaksud oleh pengirim.
Diperjelas oleh Liliweri (2011:102), bahwa model komunikasi transaksional, yang
kini banyak digunakan oleh para ahli merupakan kebalikan dari teori linier.
Model transaksional menggambarkan proses komunikasi manusia yang lebih akurat
karena menghadirkan peran bersama antara pengirim dan penerima pesan. Jika dua
orang berada dalam satu ruangan yang sama, maka mereka dapat berkomunikasi
tatap muka, mereka dapat mengirim dan menerima pesan secara simultan, mereka
dapat mengatasi gangguan komunikasi, kecuali �gangguan� yang berasal dari
perbedaan budaya.
Berdasarkan hasil pengamatan dan
wawancara yang dilakukan oleh penulis, bahwa Pesantren Persis No. 84 Ciganitri
melakukan transaksi� penerimaan santri
baru 1 kali dalam setahun.� Dalam proses
transaksi ini tercipta tindakan dialogis antara kiai dan santri. Seorang kiai
menjelaskan sejarah singkat pesantren, budaya dan sistem kemudian ditawarkan
kepada calon santri baru, ketika santri tersebut menyatakan siap maka seorang
kiai secara resmi menyampaikan bahwa anak itu sudah resmi menjadi santri
Pesantren Persis No. 84 Ciganitri. Model transaksi ini membentuk pribadi
terbuka, artinya; bisa mengungkapkan segala ide dan hasrat yang diilustarasikan
lewat komunikasi verbal dan nonverbal. Dalam proses komunikasi inilah asatidzah
menyampaikan pesan-pesan, salah satunya pesan agar santri tidak terbujuk oleh
rayuan gerakan-gerakan yang mengarah kepada aliran sesat dan
fundamentalisme-radikalisme.
Peristiwa proses transaksi
penyerahan santri baru kepada kiai mendapatkan perlakuan sama antara
putra-putri. Dan yang menjadi aspek pertimbangan adalah psikologi dari
masing-masing anak itu karena dengan latar belakang yang berbeda baik itu
budaya dan lingkungan yang membangun kepribadian anak itu sebelumnya. Sementara
model transaksi yang apresiasikan oleh kiai dan ustadz ketika merencanakan dan
menyepakati pola kerja di pesantren.
Proses komunikasi transaksi juga
dapat dilihat ketika seorang ustadz mendatangi asatidzah untuk mengajukan ide
atau meminta restu untuk mengadakan suatu acara, maka terjadilah pola
pertukaran pemikiran dan pendapat yang kemudian disepakati bersama dengan sikap
yang toleran terhadap masing-masing ide. Jika kegiatan atau acara itu mengarah
kepada hal-hal yang bersifat bathil, maka pihak pesantren tidak akan mengijinkannya.
Namun, bila kegiatan itu bernilai positif dan bermanfaat maka pihak pesantren
mengijinkan dan mendukungnya.
2. Model Ritual dan Ekspresif
Model ritual atau ekspresif,
berkaitan dengan bagaimana memelihara sebuah masyarakat pesantren dalam keyakinan
dan ideologi atau deskripsi informasi tertentu yang bersesuaian dengan
nilai-nilai yang diyakini dalam kelompok masyarakat pesantren. Jadi bukan
bagaimana menyampaikan dan menanamkan sebuah informasi kepada santri oleh
seorang kiai. Yang menjadi penekanan dalam komunikasi ekspresif adalah kepuasan
dari pelaku komunikasi. Pesan-pesan yang disampaikan biasanya bersifat ambigu
karena tergantung dengan pemahaman atas nilai dan simbol-simbol yang disepakati
dalam kelompok masyarakat tertentu atau yang berhubungan langsung dengan budaya
tersebut. Mulyana (2007:133) menyatakan: model memberi teoritkus suatu struktur
untuk menguji temuan mereka dalam �dunia nyata�. Meskipun demikian, model juga
seperti definisi atau teori, pada umumnya tidak pernah sempurnah dan final.
Di Pesantren Persis No. 84
Ciganitri, model ritual dan ekspresif dapat dilihat pada kegiatan khutbah
jum�at yang berlangsung di masjid PP Persis Ciganitri, yang lokasinya satu
kompleks dengan pesantren. Memang, di Pesantren Persis No. 84 Ciganitri tidak
seluruh santri mengikuti kegiatan shalat jum�at di Masjid PP Persis Ciganitri.
Hal ini dikarenakan di Pesantren Persis No. 84 Ciganitri hari jum�at merupakan
hari libur, sehingga para santri pada hari jum�at berada di lingkungan
keluarganya masing-masing. Namun, ada sebagian santri yang mondok di asrama
pesantren. Mereka pada hari jum�at melaksanakan shalat jum�atnya di masjid PP
Persis Ciganitri.
Dalam shalat jum�at ini, khatib yang
bertugas dipastikan adalah kiyai atau ustadz dari kalangan Persis termasuk dari
kalangan Pesantren Persis No. 84 Ciganitri. Dengan demikian, materi khutbahnya
tidak akan jauh dari pemahaman masyarakat Persis pada umumnya. Yang menjadi
materi khutbah biasanya seputar persoalan keagaman dan pola hidup yang ideal,
yakni yang berlandaskan al-Quran dan as-Sunnah.
Selain itu, materi khutbah juga
bukan hanya semata-mata membangun spritual dan intelektual umat akan tetapi
agar ada komunikasi yang intens antara ustadz dan santri. Hal ini sejalan
dengan Rakhmat (2009:vii) bahwa dengan komunikasi kita saling pengertian,
menumbuhkan persahabatan, memelihara kasih sayang, menyebarkan pengetahuan, dan
melestarikan peradaban. Tetapi dengan komunikasi juga kita akan menyuburkan
perpecahan, menghidupkan permusuhan, menanamkan kebencian, merintangi kemajuan,
dan menghambat pemikiran.
3. Model Publisitas
Menganalisis dari model komunikasi
publisitas ini benar-benar memposisikan komunikan sebagai subjek yang berada di
luar batas komunikator, misalnya jika dia adalah penikmat program radio maka
posisinya adalah hanya sebagai pendengar. Tidak ada hubungan partisipatif yang
terjadi. Komunikasi ini profit-minded dan hanya ditujukan untuk merangsang
minat dan emosi komunikan untuk menjadi atau menangkap setiap atensi dari
komunikator. Di Pesantren Persis No. 84 Ciganitri, setiap tahun sekali
mengadakan acara ta�aruf dalam rangka memperkenalkan sejarah, budaya dan sistem
pendidikan sekaligus fungsionarisnya. Dalam hal ini, seorang kiai menceritakan,
menjelaskan, meyakinkan santri agar senantiasa berfikir positif terhadap segala
aktivitas di pesantren, disamping itu juga seorang pengasuh pesantren
memperkenalkan fungsionaris pesantren satu persatu kepada seluruh santri dengan
harapan santri mampu mengenal dan mengetahui sehingga mempermudah santri dalam
memposisikan kiai dan ustadz sebagaimana mestinya. Artinya, seorang santri tahu
kapasitas dari seorang kiai dan ustadz, sehingga memfungsikannya secara
profesional dan proporsional.
Proses komunikasi model publisitas
ini merupakan komunikasi dalam model santri bersifat pasif, karena tidak ada
komunikasi secara interatif antara santri dan kiai. Pada prosesi perkenalan di
Pesantren Persis No. 84 Ciganitri, semua fungsionaris pondok diperkenalkan dan
dijelaskan tugasnya masing-masing oleh kiai. Hal ini merupakan cara pesantren
untuk mengoptimalkan proses pendidikan di pesantren. Setiap interaksi mesti ada
peristiwa komunikasi, dan setiap komunikasi mesti bisa dimaknai, karena ada
pesan yang ingin disampaikan oleh komunikator kepada komunikan. Model komunikasi
publisitas sebagai transportasi dan metafora kontrol dengan memindahkan
paradigma berpikir orang dari satu titik ketitik yang lain. Sebagaimana yang
dinyatakan oleh Liliweri (2011:99) bahwa metafora kontrol dapat membuat kita
�menikmati� komunikasi yang dihasilkan oleh interaksi antarpersonal yang
asietris atau yang simetris. Bukanlah metafora kontrol seperti yang diperankan
oleh para pengarang, penulis, dan sutradara yang mengontrol para pemain, agar
mereka tidak main-mainkan peran sebagaimana yang telah diskenariokan
sebelumnya.
Model komunikasi publisitas ini
membutuhkan kemampuan retorika, karena posisi komunikan dalam keadaan pasif.
Target yang ingin dicapai dalam model komunikasi publisitas adalah upaya
melancarkan hubungan interpersonal kiai, ustadz, dan santri. Liliweri
(2011:469) menyatakan bahwa komunikasi publisitas akan membuat seseorang lebih
terkenal, dia membuat kita lebih sibuk lelah tetapi publisitas membuat kita
lebih banyak beristirahat.
4. Model Dialogis
Model dialogis yang dilakukan dalam rangka
mencegah timbulnya paham fundamentalisme-radikalisme di Pesantren Persis No. 84
Ciganitri dilakukan dengan melibatkan unsur Muspika setempat, di antaranya
melibatkan aparat dari Polres Bojongsoang dan aparat Kodim setempat. Menurut
penurutan ustadz Saefudin, kegiatan pembinaan dari unsur muspika ini sering
dilakukan, bahkan dalam setahun bisa lebih dari dua kali.
Dalam kesempatan tersebut, petugas dari Muspika
biasanya memberikan pembinaan dengan materi tentang kamtibmas serta waspada
radikalisme dan terorisme. Kegiatan tersebut diikuti oleh santri dan didampingi
oleh para asatidzah.
Dari unsur kepolisian biasanya mereka
menjelaskan tentang tugas pokok Polisi yaitu memelihara keamanan dan ketertiban
dalam masyarakat, melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat serta penegakan
hukum. Setelah santri mengetahuinya diharapkan peran serta santri dan warga
pesantren untuk mendukung pelaksanaan tugas kepolisian. Selain materi tersebut,
disampaikan juga penjelasan tentang waspada radikalisme dan terorisme. Santri
dan warga pesantren dituntut peka mengamati lingkungan sekitar, untuk mencegah
masuknya paham radikalisme maupun terorisme. Apabila ada hal mencurigakan
terkait aktivitas tersebut segera lapor kepada pihak kepolisian.
Dalam model
dialogis ini, para penyuluh memberikan kesempatan kepada santri untuk bertanya,
mengajukan pendapat, ataupun berdiskusi mengenai materi yang disampaikan. Maka
terjadi dialog dua arah antara penyuluh selaku komunikator dengan santri selaku
komunikan.
5.
Model Resepsi
Model komunikasi resepsi ini
berkaitan erat dengan simbol dan bagaimana kiai, ustadz, atau santri menerima
simbol-simbol yang disampaikan komunikator. Komunikan tidak harus selalu
menafsirkan dan menerima simbol-simbol dari komunikator sebagai hal yang
ideologis, tetapi dapat menafsirkan simbol tersebut sesuai dengan konteksnya
masing-masing sehingga sikap apapun yang diambil baik itu afirmatif ataupun
kontradiktif adalah suatu hal yang dapat dimaklumi. Sebagaimana yang dinyatakan
oleh Fiske (dalam Sobur, 2009:viii) bahwa relasi antara penanda dan petanda
berdasarkan konvensi inilah yang disebut signifikasi (significtion). Semiotika
signifikasi, dengan demikian, adalah semiotika yang mempelajari elemen-elemen
tanda di dalam sebuah sistem, berdasarkan aturan main dan konvensi tertentu.
Sementara Liliweri (2011:92) menerjemahkan resepsi, atau penerimaan (berwarna
hijau) merupakan proses di mana penerima menerima sebuah ujaran verbal, dia
mendeteksi ucapan melalui indra pendengaran (tingkat fisiologis) dan kemudian
menerjemahkan ekspresi itu ke dalam linguistik (tingkat linguistik) dan
akhirnya dia menarik kesimpulan atas pesan dengan ekspresi linguistik.
Di Pesantren Persis No. 84
Ciganitri, peristiwa komunikasi antara kiai dengan santri dan santri dengan
ustadz dapat terjadi karena ada masalah-masalah yang menerpanya. Bagi santri
yang melanggar aturan pondok tentu mendapatkan sanksi sesuai dengan kadar pelanggarannya
begitupun ustadz atau bahkan kiai. Proses komunikasi bagi santri yang melanggar
ditangani secara khusus oleh ustadz dengan cara mengintrogasi, membuat
kronologi secara tertulis, kemudian hasilnya disampaikan kepada kiai untuk
meminta kebijakan sanksi yang tepat. Setelah sanksi itu dijatuhkan oleh kiai
maka santri yang bersangkutan mendapatkan siraman rohani dari seorang kiai.
Dari gambaran singkat di atas jelas proses komunikasi yang berlangsung tidak
akan lepas dari simbol-simbol verbal maupun non verbal. Pada saat kiai, ustadz
dan santri berekspresi itu merupakan bahasa yang mesti diterjemahkan dengan
baik dan tepat, oleh karenanya butuh kekuatan kognitif, spritual dan emosional
yang jitu, agar terbentuk daya sensor yang tajam terhadap realitas. Sanksi
merupakan akibat dari perbuatan salah, tapi jarang sekali menemukan orang yang
bisa menerima sanksi walaupun sebenarnya dia sadar bahwa dia salah. Tapi di
Pesantren Persis No. 84 Ciganitri, bagi santri yang melanggar bukan hanya
sekedar sanksi yang diberikan kiai atau ustadz, tapi ada bimbingan, pengarahan,
dan pantauan khusus dalam menjalankan aktivitas di pesantren. Dengan tujuan;
ingin mengetahui sejauh mana efek sanksi terhadapnya. Dengan adanya
interpretasi tindakan orang lain, individu dapat mengubah tindakan berikutnya
agar sesuai dengan tindakan orang lain.
Modifikasi perilaku ini menuntut
santri untuk memastikan terlebih dahulu makna, motif atau maksud apa yang
terdapat di belakang tindakan orang lain. Proses demikian hanya akan dimungkinkan
bila manusia memiliki dan berbagi simbol (Mulyana, 2008:8-82). Proses
komunikasi interpersonal kiai, ustadz, dan santri bisa terjadi pada saat
terbangunnya sebuah masalah, misalnya: santri melanggar aturan pesantren,
santri sakit, dan sebagainya. Dalam proses introgasi terhadap santri, terbangun
komunikasi yang interaktif antara kiai dengan santri, kiai dengan ustadz, atau
ustadz dengan santri. Sebagaimana Leary (dalam Liliweri, 2011:93) menyatakan,
telaah komunikasi antarpersonal sedapat mungkin memperhatikan dua demensi ini,
yaitu demensi dominasi-patuh dan perasaan benci-cinta, dan dua demensi ini
selalu terjadi selama dua orang berinteraksi. Model ini mengatakan bahwa,
ketika individu berkomunikasi, maka dia akan mengirimkan pesan dan pesan
tersebut memiliki kualitas konten yang dominan-submisif dan persaan
benci-cinta. Masing-masing pihak akan memberikan tanggapan itu berdasarkan
perasaan mereka terhadap pesan.
Kesimpuan
Berdasarkan
hasil dari penelitian ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1.
Akar masalah
fundamentalisme-radikalisme agama yang menimbulkan aksi radikalisme agama,
dapat dilihat dari aspek pemahaman agama yang dangkal. Ajaran agama Islam yang
tertuang dalam Al-Qur�an dan Hadis dalam pemahamannya tidak disesuaikan dengan
konteks sosial yang ada. Kemudian citacita negara Khilafah di seluruh dunia
termasuk di Indonesia yang bertentangan dengan ideologi Pancasila. Jihad yang
difahami dengan cara berperang mengangkat senjata, yang tidak relevan lagi di
zaman sekarang.
2.
Peran Pesantren
Persis No. 84 Ciganitri dalam mencegah fundamentalisme-radikalisme agama,
dilakukan dengan dua cara yakni: Secara internal dengan melibatkan unsur
pesantren, dan (2) Secara eksternal dengan melibatkan aparat Muspika seperti
Polres Bojongsoang dan Kodim setempat.
Adapun
model komunikasi yang dilakukan dalam pencegahan paham
fundamentalisme-radikalisme di Pesantren Persis No. 84 Ciganitri meliputi:: (1)
Model transaksi, (2) model ritual dan ekspresi, (3) model publisitas, (4) model
dialogis, dan (5) model resepsi
BIBIOGRAFI
Bungin, Burhan. 2009. Sosiologi Komunikasi. Teori, Paradigma, dan
Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Jakarta: Kencana.
Martono, Nanang. 2011. Sosiologi Perubahan Sosial. Rajawali Press :
Jakarta.
Nurdyansah, Dede Eka. 2003. Modernisme dan Fundalisme Islam (Studi
Pada Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah). Jakarta: FISIPOL UIN Syarif
Hidayatullah.
Qomar, Mujamil. 2002. Pesantren: Dari Transformasi Metodologi
Menuju Demokratisasi Institusi. Jakarta : Erlangga.
Qodir, Zuly. 2013. Fundamentalisme Agama: Memahami Penyebab dan
Karakter Gerakan. Dalam : Lambang Triono dkk (Ed). Potret Retak Nusantara :
Studi Kasus Konflik di Nusantara. Yogjakarta : CSPS Books.
Samuel, Hanneman.2012. Peter L. Berger : Sebuah Pengantar. Jakarta
: Kepik.
Sarwono, Sarlito Wirawan. 2012. Terorisme di Indonesia: Dalam
Tinjauan Psikologis. Tangerang: Alvabet
Setiawan, Bahar Agus. 2003. Fundmentalisme Islam (Studi Terhadap
Ikhwanul Muslim dan Jamaat-i-islami).Yogjakarta : Fakultas Usuluddin IAIN Sunan
Kalijaga.
Slamet, Yulius. 2011. Metode Penelitian sosial. Surakarta: Lembaga
Pengembangan Pendidikan UNS dan UNS Press.