Syntax Idea: p�ISSN: 2684-6853 e-ISSN: 2684-883X�����
Vol. 2, No. 11, November 2020
HUBUNGAN SUBJECTIVE
WELL BEING DENGAN KOMITMEN ORGANISASI PADA PEKERJA YANG MELAKUKAN WORK FROM
HOME DI MASA PANDEMI COVID 19
Ajheng Mulamukti A. Pratiwi, Mahesti Pertiwi dan Anissa Rizky
Andriany
Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka,
Jakarta,Indonesia
Email: [email protected], [email protected]
dan [email protected]
Abstract
The purpose of this study was to analyze the
differences between the pandemic and the normal period.This research uses quantitative methods with
correlational test research, which is a study used to find the relationship
between two or more variables. Based on the research, it was found that the
level of subjective welfare of employees who carried out WFH was at a low level
of 39% and a moderate level of 27% and at a high level of 34%. The factors that
influence subjective welfare consist of gender, goals, religion or
spirituality, social relationship quality factors, personality. Based on the
results of the research conducted, it can show that subjective well-being is
not significantly correlated with organizational commitment. This means that
there is no significant positive or negative relationship between subjective
welfare and organizational commitment to workers who did Work from Home during
the Covid-19 Pandemic.
Keywords: subjective
well-being; organizational commitment; workers working from home;
Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah untuk
menganalisa perbedaan saat masa pandemi dan masa normal. Penelitian ini
menggunakan metode kuantitatif dengan jenis penelitian uji korelasional yang
merupakan penelitian yang digunakan untuk mencari hubungan antara dua variable
atau lebih. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa tingkat subjective
well being pada karyawan yang melakukan WFH berada pada taraf rendah yaitu
sebanyak sebanyak 39% dan tingkat sedang berjumlah 27 % dan pada taraf tinggi
yaitu sebanyak 34%. Faktor-faktor yang mempengaruhi subjective well being terdiri
atas jenis kelamin, tujuan, agama atau spiritualitas, factor kualitas hubungan
social, kepribadian. Berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa subjective well being secara
signifikan tidak berkorelasi dengan komitmen
organisasi. Artinya, tidak terdapat hubungan positif maupun negative
yang signifikan antara subjective well being dengan komitemen organisasi pada pekerja yang melakukan Work from Home di masa pandemi
Covid-19.
Kata kunci: kesejahteraan subjektif; komitmen organisasi; pekerja bekerja dari rumah;
Pendahuluan
Severe
acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2) yang lebih
dikenal dengan nama virus corona adalah jenis baru dari coronavirus yang
menular ke manusia. Virus tersebut dapat menyerang siapapun, baik bayi,
anak-anak, dewasa, lansia, ibu hamil, maupun ibu menyusui. Infeksi virus ini
telah diberi nama oleh WHO untuk penyakit tersebut yaitu COVID-19 serta pertama
kali ditemukan di kota Wuhan, Cina, pada akhir Desember 2019 (Santosa, 2020).
Coronavirus adalah sekumpulan virus dari subfamili
Orthocronavirinae dalam keluarga Coronaviridae dan ordo Nidovirales. Kelompok
virus ini yang dapat menyebabkan penyakit pada burung dan mamalia, termasuk
manusia. Pada manusia, coronavirus menyebabkan infeksi saluran pernapasan yang
umumnya ringan, seperti pilek, meskipun beberapa bentuk penyakit seperti; SARS,
MERS, dan COVID-19 sifatnya lebih mematikan (Yunus & Rezki, 2020).
Corona
Virus Disease pada tahun 2019 (COVID-19) telah menjadi pandemi global semenjak
diumumkan oleh WHO pada tanggal 11 Maret 2020. COVID-19 petama kali muncul di
Wuhan China pada akhir tahun 2019. Kemudian berkembang dengan cepat dan tidak
terkontrol ke seluruh dunia. Tercatat sudah lebih 213 negara yang terkonfirmasi
terinfeksi COVID-19 dengan jumlah korban yang terinfeksi sampai tanggal 16 Mei
2020 sebanyak 4.639.427 orang, meninggal 308.810 orang dan sembuh 1.766.175
orang (Tandjung, Al-Gozaly, & Kusumawardhani, 2020).
Sementara
di Indonesia kasus Covid 19 pertama muncul pada tanggal 2 Maret 2020 dan sampai
tanggal 28 Agustus 2020 jumlah korban yang terinfeksi telah mencapai 163.000
orang dengan 7064 orang meninggal dan 119.000 sembuh (Mastuti et al., 2020). Pandemi Covid-19 yang menjangkau hampir di seluruh negara di
dunia tentunya berdampak pada seluruh aspek kehidupan manusia mulai dari fisik
maupun psikologis. Sulitnya penanganan membuat pemerintah melakukan kebijakan
untuk mengurangi penyebaran virus tersebut. Salah satunya yaitu adanya Peraturan
Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang kebijakan PSBB (Pembatasan Sosial
Berskala Besar) dimana aktivitas dibatasi, dan hampir seluruh kantor yang memberlakukan
WFH (work from home).
Para pekerja mengalami
dampak terhadap pemberlakuan WFH (work
from home) tersebut, karena situasi yang berbeda dengan sebelumnya. WFH (work from home) identik dengan melakukan
pekerjaan kantor, rapat, diskusi, dan koordinasi dengan rekan atau mitra kerja
dari rumah pegawai masing-masing secara online. Belum terbiasanya karyawan
melakukan pekerjaan secara online membuat karyawan harus memaksakan diri untuk
mau belajar sehingga pekerjaan dapat terselesaikan sesuai dengan waktu yang
diharapkan. Survey online yang dilakukan oleh Asture Solution, 2020 menyatakan
bahwa 45,6 % karyawan merasa lebih produktif saat dikantor, 45% merasa
produktif saat WFH (work from home).
Hal ini mungkin saja dipengaruhi banyak hal atau pekerjaan domestik yang harus
dilakukan juga dirumah, untuk karyawan yang sudah berkeluarga tentunya akan
berbeda dengan karyawan yang belum berkeluarga. Walaupun menurut (Anggraeni, 2012) pola relasi dan pembagian kerja
dalam rumah tangga pada beberapa kasus di kota-kota besar sudah lebih cair
antara suami dan istri, namun pembagian peran secara tradisional masih
mendominasi. Tentunya WFH (work from home)
bagi pegawai yang sudah berkeluarga merupakan tekanan ganda, karena memiliki
peran baru mendampingi anak yang juga menjalankan kebijakan pembelajaran jarak
jauh (learning from home). Komitmen
organisasi disini sangatlah penting untuk keberhasilan dalam melaksanakan tugas
dan tanggung jawab sebagai karyawan.
Komitmen
organisasi adalah keinginan kuat untuk tetap sebagai anggota organisasi
tertentu, keinginan untuk berusaha keras sesuai dengan keinginan organisasi,
serta keyakinan tertentu dan penerimaan nilai dan tujuan organisasi. Dengan
kata lain merupakan sikap yang merefleksikan loyalitas karyawan pada organisasi
dan proses berkelanjutan dimana anggota organisasi mengekspresikan perhatiannya
terhadap organisasi dan keberhasilan serta kemajuan yang berkelanjutan (Luthan,
2006).
Sedangkan menurut (Darmawan, 2013) Komitmen berarti keinginan
karyawan untuk tetap mempertahankan keanggotaanya dalam organisasi dan bersedia
melakukan usaha yang tinggi bagi pencapaian tujuan organisasi. bila seorang
pegawai memiliki komitmen organisasi yang tinggi, maka berpengaruh pada kinerja
pegawai tersebut. Komitmen organisasi merupakan komitmen yang diciptakan oleh
semua komponen-komponen individual dalam menjalankan operasional organisasi.
Komitmen itu bisa tercipta jika seseorang di organisasi, melaksanakan hak
beserta kewajiban mereka berdasarkan dengan tugas juga fungsinya masing-masing
dalam organisasi (Riono, Syaifulloh, & Utami, 2020).
Menurut
(Robbins, n.d.) terdapat 3 macam dimensi komitmen organisasional
yaitu : Komitmen Afektif, Komitmen Normatif, dan Komitmen Berkelanjutan.
Komitmen Afektif yaitu Perasaan emosional untuk organisasi dan keyakinan dalam
nilai-nilainya. Komitmen Normatif yaitu perasaan wajib untuk tetap berada dalam
organisasi karena memang harus begitu, tindakan tersebut merupakan hal benar
yang harus dilakukan. Komitmen berkelanjutan yaitu nilai ekonomi yang dirasa
dari bertahan dalam suatu organisasi bila dibandingkan dengan meninggalkan
organisasi tersebut.
Sedangkan
menurut (Meyer & Allen, 1997) menjelaskan terdapat tiga
dimensi dari komitmen organisasi, yaitu : Affective
Commitment, berkaitan dengan hubungan emosional anggota terhadap
organisasinya, identifikasi dengan organisasi, dan keterlibatan anggota dengan
kegiatan di organisasi. Ketika seseorang memiliki affective commitment yang tinggi akan terus bertahan dalam
organisasi karena karyawan tersebut memiliki kebutuhan untuk menjadi anggota
organisasi tersebut, Continuance
Commitment pada dimensi ini anggota organisasi memiliki kesadaran bahwa ia
akan mengalami kerugian jika meninggalkan organisasi. Seorang karyawan dengan continuance commitment yang tinggi akan
terus bertahan dalam organisasi karena karyawan tersebut memiliki kebutuhan
untuk menjadi anggota organisasi tersebut. Normative
Commitment, karyawan dengan normative
commitment yang tinggi akan terus menjadi anggota organisasi karena merasa
dirinya harus berada dalam organisasi tersebut, normative commitment yang dari kedua aspek yang disebutkan oleh
tokoh-tokoh di atas, terdapat kemiripan dari setiap aspek. Penelitian kali ini,
disimpulkan aspek-aspek komitmen organisasi adalah Affective Commitment, Continuance Commitment, dan normative commitment. Aspek-aspek ini
mengacu pada pendapat Allen & Meyer yang dirasa memiliki penjelasan yang
mudah dipahami.
Faktor-faktor
yang mempengaruhi komitmen organisasi menurut (Meyer & Allen, 1997) adalah : a. Karakteristik
Pribadi Individu, terbagi kedalam dua variabel, yaitu variabel demografis dan
variabel disposisional. Variabel demografis mencakup gender, usia, status
pernikahan, tingkat pendidikan, dan lamanya seseorang bekerja pada suatu
organisasi. Variabel disposisional mencakup kepribadian dan nilai yang dimiliki
anggota organisasi, termasuk kebutuhan untuk berprestasi, etos kerja yang baik,
kebutuhan untuk berafiliasi, dan persepsi individu mengenai kompetensinya
sendiri. b. Karakteristik Organisasi, hal-hal yang termasuk dalam
karakterisktik organisasi adalah struktur organisasi, desain kebijakan dalam
organisasi, dan cara mensosialisasikan kebijakan organisasi tersebut. c.
Pengalaman Selama Berorganisasi, pengalaman berorganisasi tercakup dalam
kepuasan dan motivasi anggota organisasi selama berada dalam organisasi,
perannya dalam organisasi, dan hubungan antara anggota organisasi dengan
supervisor atau pemimpinnya.
Keberhasilan
yang dicapai dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagai karyawan juga
tidak lepas dari kesejahteraan para karyawan itu sendiri. Kesejahteraan dapat
dicapai apabila karyawan mampu bekerja secara optimal.� Selain itu keterlibatan karyawan dalam
bekerja dan adanya kebahagiaan di tempat kerja juga dapat memunculkan well-being pada karyawan itu sendiri (Bakker & Oerlemans, 2010). Salah satu aspek
kesejahteraan yang berkembang adalah subjective
well-being. Subjective well-being
sendiri dapat didefinisikan sebagai evaluasi kognitif dan afektif seseorang
dalam menilai aspek kehidupan yang meliputi kepuasan hidup, rasa aman dan
nyaman, serta kebahagiaan (Edward Diener, Lucas, & Oishi, 2002). �
Menurut
(Utami, 2015) subjective
well-being secara relatif merupakan atribut psikologi yang stabil dan mampu
merefleksikan tingkat kehidupan yang positif pada individu. Individu yang
mengalami subjective well-being yang
tinggi akan mengalami kepuasan hidup dan merasakan kegembiraan yang lebih
sering dari pada merasakan emosi yang kurang menyenangkan. Subjective well-being digunakan untuk menggambarkan kualitas hidup
seseorang berdasarkan evaluasi kehidupannya. Evaluasi ini meliputi afek positif
dan negatif, seperti penilaian dan perasaan mengenai kepuasan hidup, reaksi
terhadap perasaan senang dan sedih, serta kepuasan terhadap kehidupan sosial,
kesehatan, lingkungan kerja, dan domain penting lainnya (Ed Diener & Ryan, 2009) membagi komponen subjective well-being menjadi dua, yaitu
komponen kognitif, berupa kepuasan hidup dan penilaian, serta komponen afektif
berupa afek positif dan afek negatif. Komponen kognitif merupakan hasil
evaluasi terhadap kepuasan hidup. Kepuasan hidup terbagi menjadi dua, yaitu
kepuasan hidup secara global, adalah evaluasi individu terhadap kehidupan
secara menyeluruh. Dan kepuasan hidup pada domain tertentu, yaitu penilaian
yang dibuat individu dalam mengevaluasi domain dalam kehidupannya.
Komponen
afektif merupakan refleksi pengalaman dasar dalam peristiwa yang terjadi di
dalam kehidupan seseorang. Komponen afektif ini terbagi menjadi afek positif,
yaitu refleksi emosi dan suasana hati yang menyenangkan dan afek negatif, yaitu
representasi emosi dan suasana hati yang tidak menyenangkan
Pemenuhan
kebutuhan akan kesejahteraan menjadi suatu kebutuhan yang wajib dicapai. Subjective well-being menjadi tujuan
yang utama dalam memenuhi kebutuhan yang ada, baik dalam memenuhi kebutuhan
secara fisik maupun secara psikologis (Taris & Schaufeli, 2015). Seperti menurut (Sari & Suprapti, 2013) mengatakan bahwa subjective
well-being merupakan suatu kondisi dimana seseorang mampu memiliki sikap yang
positif dalam dirinya, dapat membuat keputusan dengan baik, dan memiliki tujuan
hidup sehingga menjadikan hidupnya menjadi lebih bermakna. Dalam (Maringan, 2015) menyebutkan bahwa kesejahteraan karyawan merupakan
suatu pemenuhan kebutuhan baik jasmani maupun rohani yang diberikan organisasi,
sehingga karyawan dapat meningkatkan produktivitas dalam lingkungan kerja.
Seorang karyawan yang memiliki subjective
well-being tinggi akan lebih komitmen terhadap organisasinya. Berdasarkan
fenomena tersebut maka peneliti tertarik untuk meneliti pengaruh antara
komitmen organisasi terhadap subjective
well-being pada karyawan.
Metode Penelitian
Penelitian
ini menggunakan metode kuantitatif dengan jenis penelitian uji korelasional
yang merupakan penelitian yang digunakan untuk mencari hubungan antara dua variable
atau lebih (Silalahi & Mifka, 2015). Penelitian dilakukan pada
tanggal 3-18 September 2020. Partisipan dalam penelitian ini adalah sebanyak 75
orang pekerja yang melakukan WFH (work
from home) maupun system shift
selama masa pandemic covid 19. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini
adalah purposive sampling dengan teknik snowball.
Adapun kriteria yang digunakan dalam penelitian ini adalah para pekerja yang
melakukan work from home atau shift selama masa pandemic, serta
berdomisili di Indonesia. Data demografis partisipan telah diperiksa dan
dipastikan validitasnya sehingga tidak ada partisipan yang mengisi kuesioner
lebih dari satu kali dan semua pernyataan telah terjawab. Alat ukur yang
digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner komitmen organisasi yang
diadopsi dari (Meyer,1993) dengan aspek affective
commitment, continuance commitment, normative commitment dan kuesioner subjective well being milik Diener yang
telah diadaptasi ke dalam Bahasa Indonesia
(Rostiana, 2011). Kuesioner ini terdiri dari 3 dimensi yaitu positive affect, negative affect dan global life satisfaction.
Hasil dan Pembahasan
1. Hasil
Tabel 1
Distribusi karakteristik responden
Karakteristik |
Frekuensi |
Persentase
(%) |
Jenis
kelamin |
|
|
Laki-laki |
19 |
23% |
Perempuan |
62 |
77% |
Kelompok
usia |
|
|
20-34 |
37 |
45% |
31-40 |
29 |
35% |
41-50 |
10 |
12% |
>50 |
5 |
8% |
Pendidikan
terakhir |
|
|
SMA |
12 |
15% |
D3 |
6 |
7% |
S1 |
42 |
52% |
S2 |
21 |
26% |
S2 |
|
|
Berdasarkan data tabel 1
diketahui bahwa responden berjenis kelamin perempuan (77%) lebih banyak
daripada laki-laki. Mayoritas kelompok usia responden pada 20-34 th (45%).� Pendidikan terakhir responden terbanyak
adalah Perguruan Tinggi yaitu sebanyak (52%).
Tabel 2
Uji Korelasi
Correlations |
|||
|
Subjective
Well Being |
Komitmen Organisasi |
|
SWB |
Pearson Correlation |
1 |
-.130 |
Sig. (2-tailed) |
|
.246 |
|
N |
81 |
81 |
|
KO |
Pearson Correlation |
-.130 |
1 |
Sig. (2-tailed) |
.246 |
|
|
N |
81 |
81 |
|
|
Berdasarkan
data pada tabel 2 hasil uji korelasi Rank Spearman Rho menunjukkan nilai
koefisien r -0,130 atau korelasi negative namun nilai P 0,246 (P>0,05)
yang berarti tidak terdapat hubungan antara subjective well
being dengan
komitmen organisasi pada karyawan yang melakukan Work From Home di masa
pandemic covid. 2.
Pembahasan |
a.
Subjective Well Being
Berdasarkan hasil penelitian
didapatkan bahwa tingkat subjective well
being pada karyawan yang melakukan WFH berada pada taraf rendah yaitu
sebanyak sebanyak 39% dan tingkat sedang berjumlah 27 % dan pada taraf tinggi
yaitu sebanyak 34%. Faktor-faktor yang mempengaruhi subjective well being terdiri atas jenis kelamin, tujuan, agama
atau spiritualitas, factor kualitas hubungan social, kepribadian (Ed Diener, 2009).
Dari hasil penelitian
didapatkan sebagian besar responden adalah wanita. Menurut penelitian Diener
secara umum tidak terdapat perbedaan subjective
well being antara pria dan wanita. Akan tetapi, wanita memiliki intensitas
perasaan negative dan positif yang lebih banyak dibandingkan pria. Selain itu
dari hasil penelitian didapatkan responden yang terbanyak adalah usia 20-34
tahun, dimana didalam usia tersebut tergolong usia produktif dalam bekerja
sehingga karyawan akan berusahan seproduktif mungkin dalam mencapai tujuan yang
diinginkannya.
Subjecive well-being sendiri
merupakan evaluasi kognitif dan afektif seseorang dalam menilai aspek kehidupan
yang meliputi kepuasan hidup, rasa aman dan nyaman, serta kebahagiaan (Edward Diener et al., 2002). Evaluasi kognitif meliputi
aspek dalam kepuasan hidup seorang individu, sedangkan evaluasi afektif
meliputi afek positif dan negatif, seperti penilaian, reaksi terhadap perasaan
senang dan sedih, serta kepuasan terhadap kehidupan sosial, kesehatan,
lingkungan kerja, dan domain penting lainnya (Ed Diener & Ryan, 2009).
Karyawan dapat mencapai subjective well being ketika merasakan
kebahagiaan atau kepuasan pada satu titik tertentu. Pencapaian tersebut
didasarkan dari tujuan yang dibentuk oleh individu itu sendiri. Tujuan tersebut
bisa bermakna dalam mencapai kepuasan berdasarkan apa yang mereka inginkan. Hal
ini dijabarkan melalui beberapa indikator yang ada dalam komponen kognitif,
yaitu kepuasan terhadap kepuasan pribadi, pekerjaan, kehidupan sosial dan
keluarga, hingga kepuasan hidup berdasarkan standar yang unik yang dimiliki.
Tujuan yang sangat ingin dicapai oleh kebanyakan guru adalah keinginan dalam
mengubah hidup mereka.
Pengalaman dalam setiap
peristiwa yang dilalui bisa menjadi tolak ukur dalam menentukan tingkat
subjective well-being mereka sendiri. Mengungkapkan setiap peristiwa yang
terjadi dalam kehidupan, baik itu positif atau negatif dapat membentuk
seseorang dalam rangka menghadirkan subjective well-being. Semakin banyak
peristiwa positif yang berlangsung dalam kehidupan maka akan menambah rasa
well-being-nya, namun apabila banyak peristiwa negatif yang berlangsung dalam
kehidupannya maka yang terjadi adalah sebaliknya.
b.
Komitmen Organisasi
Berdasarkan hasil penelitian
didapatkan bahwa tingkat komitmen organisasi karyawan yang melakukan work from home tergolong sedang yaitu
59%, sedangkan pada tingkat rendah sebanyak 37% dan sisanya yaitu karyawan yang
memiliki komitmen organisasi tinggi yaitu sebanyak 4%.� Menurut (Meyer & Allen, 1997) komitmen organisasi
didefinisikan sebagai kondisi psikologis dari seseorang yang mana kondisi
tersebut mampu menggambarkan kejelasan ikatan antara karyawan dengan
organisasinya sehingga akan berdampak pada keputusannya untuk bertahan dalam
organisasi tersebut. Komitmen organisasi merupakan keinginan yang kuat dalam
mempertahankan diri sebagai anggota dari organisasi, kemauan mengarahkan
tenaganya demi organisasi, dan penerimaan nilai dan tujuan organisasi (Fred, 2006). Rasa bangga menjadi bagian dari organisasi juga
menggambarkan bahwa karyawan berkomitmen terhadap organisasinya, memiliki
keinginan untuk terus berada di dalam organisasi dengan cara memberikan
kontribusi terhadap perkembangan organisasi, hingga mampu mempertimbangkan
kerugian yang didapat apabila mereka meninggalkan organisasi.
Fenomena yang seringkali terjadi
adalah kinerja suatu perusahaan yang telah demikian bagus dapat dirusak, baik
secara langsung mapun tidak langsung oleh berbagai perilaku karyawan yang sulit
dicegah terjadinya. Salah satu bentuk perilaku karyawan tersebut adalah
keinginan berpindah (turnover intentions)
yang berujung pada keputusan karyawan untuk meninggalkan pekerjaanya (Toly, 2001). Menurut (Shirayama et al., 2012) turnover intentions merupakan kemungkinan atau kecenderungan
karyawan untuk meninggalkan organisasi tempat dia bekerja sekarang, dan
kecenderungan ini akan mengarah kepada perilaku turnover. Faktor-faktor yang
mempengaruhi komitmen organisasi adalah factor personal, faktor organisasi, non organizational faktor menurut (Yudhaningsih, 2011).
c.
Hubungan subjective
well being dengan komitmen organisasi pada karyawan
Berdasarkan hasil uji Rank
Spearman pada hubungan subjective well
being dengan komitmen organisasi diperoleh nilai-nilai r -0,130 namun P
0,246 (P>0,05) menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara subjective well being dengan komitmen
organisasi pada karyawan yang melakukan work from home di masa pandemic covid.
Kemungkinan ada beberapa
faktor yang dapat mempengaruhi komitmen organisasi selain subjective well being. Karyawan yang melakukan work from home memiliki tekanan yang cukup besar dibandingkan
dengan saat work from office, karena
kondisi yang baru dan lingkungan yang kurang mendukung saat melakukan work from home, akan tetapi responden
mampu mengatasi hal tersebut. Kondisi di masa pandemic covid ini tentunya
berbeda dengan kondisi normal, karena berdampak terhadap seluruh aspek
perekonomian dan berdampak pula dengan perusahaan di Indonesia, dimana banyak
perusahaan yang merugi bahkan harus menutup usahanya karena tidak dapat
menjalankan kegiatan operasional lagi. Hal ini membaca kekuatiran terhadap
karyawan, terlebih banyaknya PHK massal yang dilakukan, sehingga karyawan lebih
banyak bertahan dan berusaha untuk tetap berkomitmen terhadap organisasinya.
Berbeda dengan penelitian
sebelumnya yang dilakukan oleh (Teresia & Suyasa, 2008) karyawan dengan pengalaman
kerja yang menyenangkan cenderung akan memiliki komitmen organisasi yang lebih
tinggi. Apabila karyawan mendapatkan sikap yang positif oleh rekan kerja,
merasa organisasi telah memenuhi apa yang diinginkan, serta merasa dirinya
penting dalam organisasi, maka keinginan untuk tetap bertahan dalam organisasi
pun juga dapat meningkat karena adanya rasa nyaman. Dengan adanya pengalaman
kerja yang menyenangkan tersebut, berarti individu telah dapat menguasai dan memahami
lingkungan kerja. Penguasaan lingkungan disini termasuk salah satu aspek yang
ada dalam psychological well-being. Apabila individu mampu menguasai lingkungan
kerjanya dengan baik serta mampu memanfaatkan kesempatan yang ada dalam
organisasi, individu tersebut akan berusaha semaksimal mungkin menyelesaikan
tugasnya dalam organisasi sesuai dengan tujuan organisasi. Selain itu,
rekan-rekan kerja juga dapat mempengaruhi seseorang untuk tetap tinggal dalam
organisasi. Ketika rekan-rekan kerja memberikan sikap positif, individu
cenderung betah bekerja dalam organisasi sehingga memunculkan komitmen
organisasi yang tinggi.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat
disimpulkan bahwa subjective well being secara
signifikan tidak berkorelasi dengan komitmen
organisasi. Artinya, tidak terdapat hubungan positif maupun negative
yang signifikan antara subjective well
being dengan komitemen organisasi
pada pekerja yang melakukan Work from Home di masa pandemi
Covid-19.
BIBLIOGRAFI
Anggraeni,
Yetty. (2012). Pelayanan Keluarga Berencana. Rohima press.
Bakker, A. B., &
Oerlemans, W. G. M. (2010). Subjective well-being in organizations,(Eds),
Handbook of Positive Organizational Scholarship. Oxford University Press.
Darmawan, H. D.
(2013). Prinsip-prinsip Perilaku Organisasi. Surabaya: Pena Semeta.
Diener, Ed. (2009).
Assessing subjective well-being: Progress and opportunities. In Assessing
well-being (pp. 25�65). Springer.
Diener, Ed, &
Ryan, Katherine. (2009). Subjective well-being: A general overview. South
African Journal of Psychology, 39(4), 391�406.
Diener, Edward,
Lucas, Richard E., & Oishi, Shigehiro. (2002). Subjective well-being: The
science of happiness and life satisfaction. Handbook of Positive Psychology,
2, 63�73.
Fred, Luthans.
(2006). Perilaku Organisasi.(Edisi Sepuluh). Yogyakarta: PT. Andi.
Maringan, Nikodemus.
(2015). Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Secara
Sepihak oleh Perusahaan Menurut Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Tadulako University.
Mastuti, Rini,
Maulana, Syarif, Iqbal, Muhammad, Faried, Annisa Ilmi, Arpan, Arpan, Hasibuan,
Ahmad Fauzul Hakim, Wirapraja, Alexander, Saputra, Didin Hadi, Sugianto,
Sugianto, & Jamaludin, Jamaludin. (2020). Teaching From Home: dari
Belajar Merdeka menuju Merdeka Belajar. Yayasan Kita Menulis.
Meyer, John P.,
& Allen, Natalie J. (1997). Commitment in the workplace: Theory,
research, and application. Sage.
Riono, Slamet
Bambang, Syaifulloh, Muhammad, & Utami, Suci Nur. (2020). Pengaruh
Komunikasi Organisasi, Budaya Organisasi, Dan Komitmen Organisasi Terhadap
Kinerja Pegawai Di Rumah Sakit dr. Soeselo Kabupaten Tegal. Syntax, 2(4),
139.
Robbins, Stephen P.
(n.d.). Dan Judge, Timothy A. 2008. Perilaku Organisasi, Buku 1 (Terjemahan).
Santosa, Santi Puspa
Ariyani dan. (2020). Analisis Pengaruh Social Distancing Dalam Pencegahan
Penyebaran Virus Corona Dengan Pelaksanaan Sholat Fardhu Berjamaah Di Masjid Al
Ikhlas Desa Sukoharjo Kecamatan Margorejo Kabupaten Pati Jawa Tengah. Jurnal
Syntax Idea, 2(5).
Sari, D., &
Suprapti, V. (2013). Pengaruh dukungan sosial keluarga terhadap Psychological
well-being pada masa pensiun. Jurnal Psikologi Pendidikan Dan Perkembangan,
2.
Shirayama, Masaki,
Seth, Meetu, Lee, Heng Chi, Gu, Weifeng, Ishidate, Takao, Conte Jr, Darryl,
& Mello, Craig C. (2012). piRNAs initiate an epigenetic memory of nonself
RNA in the C. elegans germline. Cell, 150(1), 65�77.
Silalahi, Ulber,
& Mifka, Sabda Ali. (2015). Asas-asas manajemen. Refika Aditama.
Tandjung, Joannes
Ekaprasetya, Al-Gozaly, Mahmudin Nur, & Kusumawardhani, Indriati. (2020). Creative
Economy in the Midst of Covid-19: Will Batik Industry Thrive?
Taris, Toon W.,
& Schaufeli, Wilmar. (2015). Individual well-being and performance at
work: A conceptual and theoretical overview.
Teresia, Natalia,
& Suyasa, PTYS. (2008). Komitmen organisasi dan organizational citizenship
behavior pada karyawan call centre di PT. X. Phronesis Jurnal Ilmiah
Psikologi Industri Dan Organisasi, 10(2), 154�169.
Toly, Agus Arianto.
(2001). Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi turnover intentions pada staf
kantor akuntan publik. Jurnal Akuntansi Dan Keuangan, 3(2),
102�125.
Utami, Muhana S.
(2015). Keterlibatan dalam kegiatan dan kesejahteraan subjektif mahasiswa. Jurnal
Psikologi, 36(2), 144�163.
Yudhaningsih, Resi.
(2011). Peningkatan efektivitas kerja melalui komitmen, perubahan dan budaya
organisasi. Jurnal Pengembangan Humaniora, 11(1), 40�50.
Yunus, Nur Rohim,
& Rezki, Annissa. (2020). Kebijakan Pemberlakuan Lock Down Sebagai
Antisipasi Penyebaran Corona Virus Covid-19. Salam: Jurnal Sosial Dan Budaya
Syar-I, 7(3), 227�238.