Syntax Idea: p�ISSN: 2684-6853 e-ISSN: 2684-883X�����

Vol. 2, No. 11, November 2020

 


HUBUNGAN SUBJECTIVE WELL BEING DENGAN KOMITMEN ORGANISASI PADA PEKERJA YANG MELAKUKAN WORK FROM HOME DI MASA PANDEMI COVID 19

 

Ajheng Mulamukti A. Pratiwi, Mahesti Pertiwi dan Anissa Rizky Andriany

Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka, Jakarta,Indonesia

Email: [email protected], [email protected] dan [email protected]

 

Abstract

The purpose of this study was to analyze the differences between the pandemic and the normal period.This research uses quantitative methods with correlational test research, which is a study used to find the relationship between two or more variables. Based on the research, it was found that the level of subjective welfare of employees who carried out WFH was at a low level of 39% and a moderate level of 27% and at a high level of 34%. The factors that influence subjective welfare consist of gender, goals, religion or spirituality, social relationship quality factors, personality. Based on the results of the research conducted, it can show that subjective well-being is not significantly correlated with organizational commitment. This means that there is no significant positive or negative relationship between subjective welfare and organizational commitment to workers who did Work from Home during the Covid-19 Pandemic.

 

Keywords: subjective well-being; organizational commitment; workers working from home;

Abstrak

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisa perbedaan saat masa pandemi dan masa normal. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan jenis penelitian uji korelasional yang merupakan penelitian yang digunakan untuk mencari hubungan antara dua variable atau lebih. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa tingkat subjective well being pada karyawan yang melakukan WFH berada pada taraf rendah yaitu sebanyak sebanyak 39% dan tingkat sedang berjumlah 27 % dan pada taraf tinggi yaitu sebanyak 34%. Faktor-faktor yang mempengaruhi subjective well being terdiri atas jenis kelamin, tujuan, agama atau spiritualitas, factor kualitas hubungan social, kepribadian. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa subjective well being secara signifikan tidak berkorelasi dengan komitmen organisasi. Artinya, tidak terdapat hubungan positif maupun negative yang signifikan antara subjective well being dengan komitemen organisasi pada pekerja yang melakukan Work from Home di masa pandemi Covid-19.

 

Kata kunci: kesejahteraan subjektif; komitmen organisasi; pekerja bekerja dari rumah;

 

Pendahuluan

Severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2) yang lebih dikenal dengan nama virus corona adalah jenis baru dari coronavirus yang menular ke manusia. Virus tersebut dapat menyerang siapapun, baik bayi, anak-anak, dewasa, lansia, ibu hamil, maupun ibu menyusui. Infeksi virus ini telah diberi nama oleh WHO untuk penyakit tersebut yaitu COVID-19 serta pertama kali ditemukan di kota Wuhan, Cina, pada akhir Desember 2019 (Santosa, 2020).

Coronavirus adalah sekumpulan virus dari subfamili Orthocronavirinae dalam keluarga Coronaviridae dan ordo Nidovirales. Kelompok virus ini yang dapat menyebabkan penyakit pada burung dan mamalia, termasuk manusia. Pada manusia, coronavirus menyebabkan infeksi saluran pernapasan yang umumnya ringan, seperti pilek, meskipun beberapa bentuk penyakit seperti; SARS, MERS, dan COVID-19 sifatnya lebih mematikan (Yunus & Rezki, 2020).

Corona Virus Disease pada tahun 2019 (COVID-19) telah menjadi pandemi global semenjak diumumkan oleh WHO pada tanggal 11 Maret 2020. COVID-19 petama kali muncul di Wuhan China pada akhir tahun 2019. Kemudian berkembang dengan cepat dan tidak terkontrol ke seluruh dunia. Tercatat sudah lebih 213 negara yang terkonfirmasi terinfeksi COVID-19 dengan jumlah korban yang terinfeksi sampai tanggal 16 Mei 2020 sebanyak 4.639.427 orang, meninggal 308.810 orang dan sembuh 1.766.175 orang (Tandjung, Al-Gozaly, & Kusumawardhani, 2020).

Sementara di Indonesia kasus Covid 19 pertama muncul pada tanggal 2 Maret 2020 dan sampai tanggal 28 Agustus 2020 jumlah korban yang terinfeksi telah mencapai 163.000 orang dengan 7064 orang meninggal dan 119.000 sembuh (Mastuti et al., 2020). Pandemi Covid-19 yang menjangkau hampir di seluruh negara di dunia tentunya berdampak pada seluruh aspek kehidupan manusia mulai dari fisik maupun psikologis. Sulitnya penanganan membuat pemerintah melakukan kebijakan untuk mengurangi penyebaran virus tersebut. Salah satunya yaitu adanya Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang kebijakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dimana aktivitas dibatasi, dan hampir seluruh kantor yang memberlakukan WFH (work from home).

Para pekerja mengalami dampak terhadap pemberlakuan WFH (work from home) tersebut, karena situasi yang berbeda dengan sebelumnya. WFH (work from home) identik dengan melakukan pekerjaan kantor, rapat, diskusi, dan koordinasi dengan rekan atau mitra kerja dari rumah pegawai masing-masing secara online. Belum terbiasanya karyawan melakukan pekerjaan secara online membuat karyawan harus memaksakan diri untuk mau belajar sehingga pekerjaan dapat terselesaikan sesuai dengan waktu yang diharapkan. Survey online yang dilakukan oleh Asture Solution, 2020 menyatakan bahwa 45,6 % karyawan merasa lebih produktif saat dikantor, 45% merasa produktif saat WFH (work from home). Hal ini mungkin saja dipengaruhi banyak hal atau pekerjaan domestik yang harus dilakukan juga dirumah, untuk karyawan yang sudah berkeluarga tentunya akan berbeda dengan karyawan yang belum berkeluarga. Walaupun menurut (Anggraeni, 2012) pola relasi dan pembagian kerja dalam rumah tangga pada beberapa kasus di kota-kota besar sudah lebih cair antara suami dan istri, namun pembagian peran secara tradisional masih mendominasi. Tentunya WFH (work from home) bagi pegawai yang sudah berkeluarga merupakan tekanan ganda, karena memiliki peran baru mendampingi anak yang juga menjalankan kebijakan pembelajaran jarak jauh (learning from home). Komitmen organisasi disini sangatlah penting untuk keberhasilan dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagai karyawan.

Komitmen organisasi adalah keinginan kuat untuk tetap sebagai anggota organisasi tertentu, keinginan untuk berusaha keras sesuai dengan keinginan organisasi, serta keyakinan tertentu dan penerimaan nilai dan tujuan organisasi. Dengan kata lain merupakan sikap yang merefleksikan loyalitas karyawan pada organisasi dan proses berkelanjutan dimana anggota organisasi mengekspresikan perhatiannya terhadap organisasi dan keberhasilan serta kemajuan yang berkelanjutan (Luthan, 2006). Sedangkan menurut (Darmawan, 2013) Komitmen berarti keinginan karyawan untuk tetap mempertahankan keanggotaanya dalam organisasi dan bersedia melakukan usaha yang tinggi bagi pencapaian tujuan organisasi. bila seorang pegawai memiliki komitmen organisasi yang tinggi, maka berpengaruh pada kinerja pegawai tersebut. Komitmen organisasi merupakan komitmen yang diciptakan oleh semua komponen-komponen individual dalam menjalankan operasional organisasi. Komitmen itu bisa tercipta jika seseorang di organisasi, melaksanakan hak beserta kewajiban mereka berdasarkan dengan tugas juga fungsinya masing-masing dalam organisasi (Riono, Syaifulloh, & Utami, 2020).

Menurut (Robbins, n.d.) terdapat 3 macam dimensi komitmen organisasional yaitu : Komitmen Afektif, Komitmen Normatif, dan Komitmen Berkelanjutan. Komitmen Afektif yaitu Perasaan emosional untuk organisasi dan keyakinan dalam nilai-nilainya. Komitmen Normatif yaitu perasaan wajib untuk tetap berada dalam organisasi karena memang harus begitu, tindakan tersebut merupakan hal benar yang harus dilakukan. Komitmen berkelanjutan yaitu nilai ekonomi yang dirasa dari bertahan dalam suatu organisasi bila dibandingkan dengan meninggalkan organisasi tersebut.

Sedangkan menurut (Meyer & Allen, 1997) menjelaskan terdapat tiga dimensi dari komitmen organisasi, yaitu : Affective Commitment, berkaitan dengan hubungan emosional anggota terhadap organisasinya, identifikasi dengan organisasi, dan keterlibatan anggota dengan kegiatan di organisasi. Ketika seseorang memiliki affective commitment yang tinggi akan terus bertahan dalam organisasi karena karyawan tersebut memiliki kebutuhan untuk menjadi anggota organisasi tersebut, Continuance Commitment pada dimensi ini anggota organisasi memiliki kesadaran bahwa ia akan mengalami kerugian jika meninggalkan organisasi. Seorang karyawan dengan continuance commitment yang tinggi akan terus bertahan dalam organisasi karena karyawan tersebut memiliki kebutuhan untuk menjadi anggota organisasi tersebut. Normative Commitment, karyawan dengan normative commitment yang tinggi akan terus menjadi anggota organisasi karena merasa dirinya harus berada dalam organisasi tersebut, normative commitment yang dari kedua aspek yang disebutkan oleh tokoh-tokoh di atas, terdapat kemiripan dari setiap aspek. Penelitian kali ini, disimpulkan aspek-aspek komitmen organisasi adalah Affective Commitment, Continuance Commitment, dan normative commitment. Aspek-aspek ini mengacu pada pendapat Allen & Meyer yang dirasa memiliki penjelasan yang mudah dipahami.

Faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen organisasi menurut (Meyer & Allen, 1997) adalah : a. Karakteristik Pribadi Individu, terbagi kedalam dua variabel, yaitu variabel demografis dan variabel disposisional. Variabel demografis mencakup gender, usia, status pernikahan, tingkat pendidikan, dan lamanya seseorang bekerja pada suatu organisasi. Variabel disposisional mencakup kepribadian dan nilai yang dimiliki anggota organisasi, termasuk kebutuhan untuk berprestasi, etos kerja yang baik, kebutuhan untuk berafiliasi, dan persepsi individu mengenai kompetensinya sendiri. b. Karakteristik Organisasi, hal-hal yang termasuk dalam karakterisktik organisasi adalah struktur organisasi, desain kebijakan dalam organisasi, dan cara mensosialisasikan kebijakan organisasi tersebut. c. Pengalaman Selama Berorganisasi, pengalaman berorganisasi tercakup dalam kepuasan dan motivasi anggota organisasi selama berada dalam organisasi, perannya dalam organisasi, dan hubungan antara anggota organisasi dengan supervisor atau pemimpinnya.

Keberhasilan yang dicapai dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagai karyawan juga tidak lepas dari kesejahteraan para karyawan itu sendiri. Kesejahteraan dapat dicapai apabila karyawan mampu bekerja secara optimal.Selain itu keterlibatan karyawan dalam bekerja dan adanya kebahagiaan di tempat kerja juga dapat memunculkan well-being pada karyawan itu sendiri (Bakker & Oerlemans, 2010). Salah satu aspek kesejahteraan yang berkembang adalah subjective well-being. Subjective well-being sendiri dapat didefinisikan sebagai evaluasi kognitif dan afektif seseorang dalam menilai aspek kehidupan yang meliputi kepuasan hidup, rasa aman dan nyaman, serta kebahagiaan (Edward Diener, Lucas, & Oishi, 2002).

Menurut (Utami, 2015) subjective well-being secara relatif merupakan atribut psikologi yang stabil dan mampu merefleksikan tingkat kehidupan yang positif pada individu. Individu yang mengalami subjective well-being yang tinggi akan mengalami kepuasan hidup dan merasakan kegembiraan yang lebih sering dari pada merasakan emosi yang kurang menyenangkan. Subjective well-being digunakan untuk menggambarkan kualitas hidup seseorang berdasarkan evaluasi kehidupannya. Evaluasi ini meliputi afek positif dan negatif, seperti penilaian dan perasaan mengenai kepuasan hidup, reaksi terhadap perasaan senang dan sedih, serta kepuasan terhadap kehidupan sosial, kesehatan, lingkungan kerja, dan domain penting lainnya (Ed Diener & Ryan, 2009) membagi komponen subjective well-being menjadi dua, yaitu komponen kognitif, berupa kepuasan hidup dan penilaian, serta komponen afektif berupa afek positif dan afek negatif. Komponen kognitif merupakan hasil evaluasi terhadap kepuasan hidup. Kepuasan hidup terbagi menjadi dua, yaitu kepuasan hidup secara global, adalah evaluasi individu terhadap kehidupan secara menyeluruh. Dan kepuasan hidup pada domain tertentu, yaitu penilaian yang dibuat individu dalam mengevaluasi domain dalam kehidupannya.

Komponen afektif merupakan refleksi pengalaman dasar dalam peristiwa yang terjadi di dalam kehidupan seseorang. Komponen afektif ini terbagi menjadi afek positif, yaitu refleksi emosi dan suasana hati yang menyenangkan dan afek negatif, yaitu representasi emosi dan suasana hati yang tidak menyenangkan

Pemenuhan kebutuhan akan kesejahteraan menjadi suatu kebutuhan yang wajib dicapai. Subjective well-being menjadi tujuan yang utama dalam memenuhi kebutuhan yang ada, baik dalam memenuhi kebutuhan secara fisik maupun secara psikologis (Taris & Schaufeli, 2015). Seperti menurut (Sari & Suprapti, 2013) mengatakan bahwa subjective well-being merupakan suatu kondisi dimana seseorang mampu memiliki sikap yang positif dalam dirinya, dapat membuat keputusan dengan baik, dan memiliki tujuan hidup sehingga menjadikan hidupnya menjadi lebih bermakna. Dalam (Maringan, 2015) menyebutkan bahwa kesejahteraan karyawan merupakan suatu pemenuhan kebutuhan baik jasmani maupun rohani yang diberikan organisasi, sehingga karyawan dapat meningkatkan produktivitas dalam lingkungan kerja. Seorang karyawan yang memiliki subjective well-being tinggi akan lebih komitmen terhadap organisasinya. Berdasarkan fenomena tersebut maka peneliti tertarik untuk meneliti pengaruh antara komitmen organisasi terhadap subjective well-being pada karyawan.

 

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan jenis penelitian uji korelasional yang merupakan penelitian yang digunakan untuk mencari hubungan antara dua variable atau lebih (Silalahi & Mifka, 2015). Penelitian dilakukan pada tanggal 3-18 September 2020. Partisipan dalam penelitian ini adalah sebanyak 75 orang pekerja yang melakukan WFH (work from home) maupun system shift selama masa pandemic covid 19. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah purposive sampling dengan teknik snowball. Adapun kriteria yang digunakan dalam penelitian ini adalah para pekerja yang melakukan work from home atau shift selama masa pandemic, serta berdomisili di Indonesia. Data demografis partisipan telah diperiksa dan dipastikan validitasnya sehingga tidak ada partisipan yang mengisi kuesioner lebih dari satu kali dan semua pernyataan telah terjawab. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner komitmen organisasi yang diadopsi dari (Meyer,1993) dengan aspek affective commitment, continuance commitment, normative commitment dan kuesioner subjective well being milik Diener yang telah diadaptasi ke dalam Bahasa Indonesia (Rostiana, 2011). Kuesioner ini terdiri dari 3 dimensi yaitu positive affect, negative affect dan global life satisfaction.

 

Hasil dan Pembahasan

1.      Hasil

Tabel 1

Distribusi karakteristik responden

Karakteristik

Frekuensi

Persentase (%)

Jenis kelamin

 

 

Laki-laki

19

23%

Perempuan

62

77%

Kelompok usia

 

 

20-34

37

45%

31-40

29

35%

41-50

10

12%

>50

5

8%

Pendidikan terakhir

 

 

SMA

12

15%

D3

6

7%

S1

42

52%

S2

21

26%

S2

 

 

 

Berdasarkan data tabel 1 diketahui bahwa responden berjenis kelamin perempuan (77%) lebih banyak daripada laki-laki. Mayoritas kelompok usia responden pada 20-34 th (45%).Pendidikan terakhir responden terbanyak adalah Perguruan Tinggi yaitu sebanyak (52%).

 

Tabel 2

Uji Korelasi

Correlations

 

Subjective Well Being

Komitmen Organisasi

SWB

Pearson Correlation

1

-.130

Sig. (2-tailed)

 

.246

N

81

81

KO

Pearson Correlation

-.130

1

Sig. (2-tailed)

.246

 

N

81

81

 

 

Berdasarkan data pada tabel 2 hasil uji korelasi Rank Spearman Rho menunjukkan nilai koefisien r -0,130 atau korelasi negative namun nilai P 0,246 (P>0,05) yang berarti tidak terdapat hubungan antara subjective well being dengan komitmen organisasi pada karyawan yang melakukan Work From Home di masa pandemic covid.

 

2.       Pembahasan

a.     Subjective Well Being

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa tingkat subjective well being pada karyawan yang melakukan WFH berada pada taraf rendah yaitu sebanyak sebanyak 39% dan tingkat sedang berjumlah 27 % dan pada taraf tinggi yaitu sebanyak 34%. Faktor-faktor yang mempengaruhi subjective well being terdiri atas jenis kelamin, tujuan, agama atau spiritualitas, factor kualitas hubungan social, kepribadian (Ed Diener, 2009).

Dari hasil penelitian didapatkan sebagian besar responden adalah wanita. Menurut penelitian Diener secara umum tidak terdapat perbedaan subjective well being antara pria dan wanita. Akan tetapi, wanita memiliki intensitas perasaan negative dan positif yang lebih banyak dibandingkan pria. Selain itu dari hasil penelitian didapatkan responden yang terbanyak adalah usia 20-34 tahun, dimana didalam usia tersebut tergolong usia produktif dalam bekerja sehingga karyawan akan berusahan seproduktif mungkin dalam mencapai tujuan yang diinginkannya.

Subjecive well-being sendiri merupakan evaluasi kognitif dan afektif seseorang dalam menilai aspek kehidupan yang meliputi kepuasan hidup, rasa aman dan nyaman, serta kebahagiaan (Edward Diener et al., 2002). Evaluasi kognitif meliputi aspek dalam kepuasan hidup seorang individu, sedangkan evaluasi afektif meliputi afek positif dan negatif, seperti penilaian, reaksi terhadap perasaan senang dan sedih, serta kepuasan terhadap kehidupan sosial, kesehatan, lingkungan kerja, dan domain penting lainnya (Ed Diener & Ryan, 2009).

Karyawan dapat mencapai subjective well being ketika merasakan kebahagiaan atau kepuasan pada satu titik tertentu. Pencapaian tersebut didasarkan dari tujuan yang dibentuk oleh individu itu sendiri. Tujuan tersebut bisa bermakna dalam mencapai kepuasan berdasarkan apa yang mereka inginkan. Hal ini dijabarkan melalui beberapa indikator yang ada dalam komponen kognitif, yaitu kepuasan terhadap kepuasan pribadi, pekerjaan, kehidupan sosial dan keluarga, hingga kepuasan hidup berdasarkan standar yang unik yang dimiliki. Tujuan yang sangat ingin dicapai oleh kebanyakan guru adalah keinginan dalam mengubah hidup mereka.

Pengalaman dalam setiap peristiwa yang dilalui bisa menjadi tolak ukur dalam menentukan tingkat subjective well-being mereka sendiri. Mengungkapkan setiap peristiwa yang terjadi dalam kehidupan, baik itu positif atau negatif dapat membentuk seseorang dalam rangka menghadirkan subjective well-being. Semakin banyak peristiwa positif yang berlangsung dalam kehidupan maka akan menambah rasa well-being-nya, namun apabila banyak peristiwa negatif yang berlangsung dalam kehidupannya maka yang terjadi adalah sebaliknya.

b.    Komitmen Organisasi

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa tingkat komitmen organisasi karyawan yang melakukan work from home tergolong sedang yaitu 59%, sedangkan pada tingkat rendah sebanyak 37% dan sisanya yaitu karyawan yang memiliki komitmen organisasi tinggi yaitu sebanyak 4%.Menurut (Meyer & Allen, 1997) komitmen organisasi didefinisikan sebagai kondisi psikologis dari seseorang yang mana kondisi tersebut mampu menggambarkan kejelasan ikatan antara karyawan dengan organisasinya sehingga akan berdampak pada keputusannya untuk bertahan dalam organisasi tersebut. Komitmen organisasi merupakan keinginan yang kuat dalam mempertahankan diri sebagai anggota dari organisasi, kemauan mengarahkan tenaganya demi organisasi, dan penerimaan nilai dan tujuan organisasi (Fred, 2006). Rasa bangga menjadi bagian dari organisasi juga menggambarkan bahwa karyawan berkomitmen terhadap organisasinya, memiliki keinginan untuk terus berada di dalam organisasi dengan cara memberikan kontribusi terhadap perkembangan organisasi, hingga mampu mempertimbangkan kerugian yang didapat apabila mereka meninggalkan organisasi.

Fenomena yang seringkali terjadi adalah kinerja suatu perusahaan yang telah demikian bagus dapat dirusak, baik secara langsung mapun tidak langsung oleh berbagai perilaku karyawan yang sulit dicegah terjadinya. Salah satu bentuk perilaku karyawan tersebut adalah keinginan berpindah (turnover intentions) yang berujung pada keputusan karyawan untuk meninggalkan pekerjaanya (Toly, 2001). Menurut (Shirayama et al., 2012) turnover intentions merupakan kemungkinan atau kecenderungan karyawan untuk meninggalkan organisasi tempat dia bekerja sekarang, dan kecenderungan ini akan mengarah kepada perilaku turnover. Faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen organisasi adalah factor personal, faktor organisasi, non organizational faktor menurut (Yudhaningsih, 2011).

c.     Hubungan subjective well being dengan komitmen organisasi pada karyawan

Berdasarkan hasil uji Rank Spearman pada hubungan subjective well being dengan komitmen organisasi diperoleh nilai-nilai r -0,130 namun P 0,246 (P>0,05) menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara subjective well being dengan komitmen organisasi pada karyawan yang melakukan work from home di masa pandemic covid.

Kemungkinan ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi komitmen organisasi selain subjective well being. Karyawan yang melakukan work from home memiliki tekanan yang cukup besar dibandingkan dengan saat work from office, karena kondisi yang baru dan lingkungan yang kurang mendukung saat melakukan work from home, akan tetapi responden mampu mengatasi hal tersebut. Kondisi di masa pandemic covid ini tentunya berbeda dengan kondisi normal, karena berdampak terhadap seluruh aspek perekonomian dan berdampak pula dengan perusahaan di Indonesia, dimana banyak perusahaan yang merugi bahkan harus menutup usahanya karena tidak dapat menjalankan kegiatan operasional lagi. Hal ini membaca kekuatiran terhadap karyawan, terlebih banyaknya PHK massal yang dilakukan, sehingga karyawan lebih banyak bertahan dan berusaha untuk tetap berkomitmen terhadap organisasinya.

Berbeda dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh (Teresia & Suyasa, 2008) karyawan dengan pengalaman kerja yang menyenangkan cenderung akan memiliki komitmen organisasi yang lebih tinggi. Apabila karyawan mendapatkan sikap yang positif oleh rekan kerja, merasa organisasi telah memenuhi apa yang diinginkan, serta merasa dirinya penting dalam organisasi, maka keinginan untuk tetap bertahan dalam organisasi pun juga dapat meningkat karena adanya rasa nyaman. Dengan adanya pengalaman kerja yang menyenangkan tersebut, berarti individu telah dapat menguasai dan memahami lingkungan kerja. Penguasaan lingkungan disini termasuk salah satu aspek yang ada dalam psychological well-being. Apabila individu mampu menguasai lingkungan kerjanya dengan baik serta mampu memanfaatkan kesempatan yang ada dalam organisasi, individu tersebut akan berusaha semaksimal mungkin menyelesaikan tugasnya dalam organisasi sesuai dengan tujuan organisasi. Selain itu, rekan-rekan kerja juga dapat mempengaruhi seseorang untuk tetap tinggal dalam organisasi. Ketika rekan-rekan kerja memberikan sikap positif, individu cenderung betah bekerja dalam organisasi sehingga memunculkan komitmen organisasi yang tinggi.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa subjective well being secara signifikan tidak berkorelasi dengan komitmen organisasi. Artinya, tidak terdapat hubungan positif maupun negative yang signifikan antara subjective well being dengan komitemen organisasi pada pekerja yang melakukan Work from Home di masa pandemi Covid-19.

 

BIBLIOGRAFI

 

Anggraeni, Yetty. (2012). Pelayanan Keluarga Berencana. Rohima press.

 

Bakker, A. B., & Oerlemans, W. G. M. (2010). Subjective well-being in organizations,(Eds), Handbook of Positive Organizational Scholarship. Oxford University Press.

 

Darmawan, H. D. (2013). Prinsip-prinsip Perilaku Organisasi. Surabaya: Pena Semeta.

 

Diener, Ed. (2009). Assessing subjective well-being: Progress and opportunities. In Assessing well-being (pp. 25�65). Springer.

 

Diener, Ed, & Ryan, Katherine. (2009). Subjective well-being: A general overview. South African Journal of Psychology, 39(4), 391�406.

 

Diener, Edward, Lucas, Richard E., & Oishi, Shigehiro. (2002). Subjective well-being: The science of happiness and life satisfaction. Handbook of Positive Psychology, 2, 63�73.

 

Fred, Luthans. (2006). Perilaku Organisasi.(Edisi Sepuluh). Yogyakarta: PT. Andi.

 

Maringan, Nikodemus. (2015). Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Secara Sepihak oleh Perusahaan Menurut Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Tadulako University.

 

Mastuti, Rini, Maulana, Syarif, Iqbal, Muhammad, Faried, Annisa Ilmi, Arpan, Arpan, Hasibuan, Ahmad Fauzul Hakim, Wirapraja, Alexander, Saputra, Didin Hadi, Sugianto, Sugianto, & Jamaludin, Jamaludin. (2020). Teaching From Home: dari Belajar Merdeka menuju Merdeka Belajar. Yayasan Kita Menulis.

 

Meyer, John P., & Allen, Natalie J. (1997). Commitment in the workplace: Theory, research, and application. Sage.

 

Riono, Slamet Bambang, Syaifulloh, Muhammad, & Utami, Suci Nur. (2020). Pengaruh Komunikasi Organisasi, Budaya Organisasi, Dan Komitmen Organisasi Terhadap Kinerja Pegawai Di Rumah Sakit dr. Soeselo Kabupaten Tegal. Syntax, 2(4), 139.

 

Robbins, Stephen P. (n.d.). Dan Judge, Timothy A. 2008. Perilaku Organisasi, Buku 1 (Terjemahan).

 

Santosa, Santi Puspa Ariyani dan. (2020). Analisis Pengaruh Social Distancing Dalam Pencegahan Penyebaran Virus Corona Dengan Pelaksanaan Sholat Fardhu Berjamaah Di Masjid Al Ikhlas Desa Sukoharjo Kecamatan Margorejo Kabupaten Pati Jawa Tengah. Jurnal Syntax Idea, 2(5).

 

Sari, D., & Suprapti, V. (2013). Pengaruh dukungan sosial keluarga terhadap Psychological well-being pada masa pensiun. Jurnal Psikologi Pendidikan Dan Perkembangan, 2.

 

Shirayama, Masaki, Seth, Meetu, Lee, Heng Chi, Gu, Weifeng, Ishidate, Takao, Conte Jr, Darryl, & Mello, Craig C. (2012). piRNAs initiate an epigenetic memory of nonself RNA in the C. elegans germline. Cell, 150(1), 65�77.

 

Silalahi, Ulber, & Mifka, Sabda Ali. (2015). Asas-asas manajemen. Refika Aditama.

 

Tandjung, Joannes Ekaprasetya, Al-Gozaly, Mahmudin Nur, & Kusumawardhani, Indriati. (2020). Creative Economy in the Midst of Covid-19: Will Batik Industry Thrive?

 

Taris, Toon W., & Schaufeli, Wilmar. (2015). Individual well-being and performance at work: A conceptual and theoretical overview.

 

Teresia, Natalia, & Suyasa, PTYS. (2008). Komitmen organisasi dan organizational citizenship behavior pada karyawan call centre di PT. X. Phronesis Jurnal Ilmiah Psikologi Industri Dan Organisasi, 10(2), 154�169.

 

Toly, Agus Arianto. (2001). Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi turnover intentions pada staf kantor akuntan publik. Jurnal Akuntansi Dan Keuangan, 3(2), 102�125.

 

Utami, Muhana S. (2015). Keterlibatan dalam kegiatan dan kesejahteraan subjektif mahasiswa. Jurnal Psikologi, 36(2), 144�163.

 

Yudhaningsih, Resi. (2011). Peningkatan efektivitas kerja melalui komitmen, perubahan dan budaya organisasi. Jurnal Pengembangan Humaniora, 11(1), 40�50.

 

Yunus, Nur Rohim, & Rezki, Annissa. (2020). Kebijakan Pemberlakuan Lock Down Sebagai Antisipasi Penyebaran Corona Virus Covid-19. Salam: Jurnal Sosial Dan Budaya Syar-I, 7(3), 227�238.