Syntax Idea : p–ISSN: 2684-6853 e-ISSN : 2684-883X

Vol. 2, No. 9, September 2020

STUDI IMPLEMENTASI PP NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH DI DESA TANJUNGSARI KECAMATAN TANJUNGSARI KABUPATEN BOGOR

Muhammad Arafah Sinjar, Erni Agustina dan Taufiqurahman Sahuri Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran, Jakarta

Email: [email protected], [email protected] dan [email protected]

Abstrak

Di pedesaan atau di pelosok yang jauh dari kota, terutama masyarakat yang masih kental dengan kehidupan adat dan kepercayaan terhadap adanya roh dan kekuatan yang menjaga kelangsungan hidup di dalam masyarakat, tanah merupakan modal dan aset yang harus dipertahankan dan dipelihara, karena tanah merupakan harga diri dan martabat bagi warga dimanapun ia berada. Masyarakat yang jauh dari kota terutama di pedesaan seperti desa Tanjungsari yang diperkirakan masih banyak melakukan jual beli tanah dengan cara kebiasaan lama atau adat yang berkembang dan dianut sebagaimana yang telah ada turun temurun. Transaksi jual beli di desa Tanjungsari, masih banyak yang berdasar tatacara adat, yakni jual beli di hadapan kepala desa atau dengan disaksikan oleh ketua adat desa. Bahkan dalam prakteknya sebagai tanda bukti hanya kwitansi tanda pembayaran atau kertas segel saja. Pada prinsipnya jual beli tanah mereka anggap sudah sah bilamana pihak pembeli tanah telah menyerahkan uang atau harga jual beli yang disepakati oleh kedua belah pihak di hadapan Kepala Desa dan Ketua adat, dan sudah dianggap aman dan terang. Mereka cukup hanya bermodalkan kuitansi tanda terima uang pembayaran di hadapan Kepala Desa dan Ketua Adat. Mereka yang menganut system jual beli tanah demikian, dianggap aman dan tidak terjadi pelanggaran, sehingga telah beralih dari penjual kepada pembeli setelah adanya penyerahan uang dan disaksikan oleh Kepala Desa dan Ketua Adat. Bilaman dilihat dari ketentuan yang ada jual beli tanah menurut hukum adat tidak ada kepastian hukum terhadap status tanahnya bagi pemilik, karena peralihan hak tersebut belum didaftarkan untuk memperoleh sertipikat sebagai tanda bukti kuat. Oleh karena itu penulis akan mengadakan penelitian dan penyuluhan hukum tentang Pertanahan dikaitkan dengan PP Nomor 24 Tahun 1997. Bertujuan untukmeningkatkan pengetahuan yang benar tentang apa saja yang harus dikerjakan, diperhatikan dan dijadikan pedoman bilamana warga akan berusurusan dengan tanah agar tidak terjadi kesalahpahaman, penjualan dan pembelian tanah yang tidak menyalahi aturan yang ada. Dengan metode hukum empiris atau penelitian lapangan dan pengumpulan data penelitian dilakukan dengan teknik wawancara kepada masyarakat. Hasil dan manfaat penelitian ini disamping untuk masyarakat setampat juga memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka penyempurnaan konsepsi hukum pertanahan nasional. Terutama dalam menyusun kebijaksanaan untuk penyempurnaan bidang pertanahan khususnya pelaksanaan transaksi jual beli tanah dimasyarakat

605

This HTML is created from PDF at https://www.pdfonline.com/convert-pdf-to-html/

Muhammad Arafah Sinjar, Erni Agustina dan Taufiqurahman Sahuri

Kata kunci: Tanah Adat; Serifikat Tanah; Kepastian Hukum

Pendahuluan

Sejarah hukum pertanahan bangsa Indonesia pada awalnya diatur dengan ketentuan-ketentuan yang berdasarkan hukum adat dan inilah yang mewarnai hukum nasioanal bangsa Idonesia. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Dasar Pokok-Poko Agraria (akan disebut UUP) (Haryanto, 2012). Tanah milik yang telah bersertifikat selanjutnya akan dimanfaatkan sebagai sumber- sumber ekonomi masyarakat terutama dalam rangka penguatan modal usaha, sehingga berkontribusi nyata dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat (Misbak, 2018).

Para peneliti dan penyuluh hukum di desa ini bertujuan untuk menghantarkan masyarakat lebih mengenal bagaimana “Hukum agrarian yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatauan bangsa, dengan sosialisme Indonesia Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang- undang ini dan dengan peraturan peruandangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”.

Setelah adanya ketentuan hukum agrarian yang menjadi pedoman dan dijadikan tuntunan hukum yang mengatur pertanahan secara luas, terutama dalam hal perbuatan hukum pemindahan hak dari pemilik awal ke pemilik baru yang mengadakan transakasi secara terang dan tunai. Namun demikian jangan sampai jual beli tanah secara adat menghambat pelaksanaa hukum agrarian secara nasional. Dimaklumi bahwa kenyataan yang ada setelah adanya UUP ini, nampaknya jual beli tanah atau perbuatan hukum jual beli tanah secara hukum adat masih berlanjut dan masih banyak masyarakat yang menggunakan hukum adat. Memang hakekat jual beli adalah penyerahan tanah dari pemilik semua kepada pembeli setelah terjadinya pembayaran. Padahal memang Dalam proses jual belitanah dengan menggunakan Konsep Gustaf Radbruch tentang kepastian hukum maka bidang tanah yang terdaftar akan terhindar dari kesewenangwenangan. (Tanya, Simanjuntak, & Hage, 2010). Dan yang menjadi jaminan dan adanya kepastian hukum bilamana ada proses pendaftaran di hadapan Badan Pertanahan Nasional, sehingga tanah yang diterima atau diserahkan oleh penjual memiliki kepastian hukum. Jadi pendaftaran tanah Sebagai pelaksanaan pasl UUPA untuk meberikan jaminan kepastian hukum. Kepastian hukum mengenai letak, batas, dan luas suatu bidang tanah (Parlindungan, 1993).

Jual beli menurut hukum adat yaitu jual beli tanah yang dilakukan oleh penjual dengan pembeli hanya berdasarkan kepercayaan belaka atau hanya di hadapan kepala adat (kepala desa). Dengan dilakukan jual beli dihadapan kepala adat ataupun kepala desa dianggap jual belinya sudah sah dan mengikat kedua pihak. Jual beli tanah menurut hukum adat sudah dianggap sah bila dilakukan dihadapan kepala adat atau kepala desa tanpa ada akta jual beli sekalipun. Bahkan dalam praktiknya sebagai tanda bukti hanya kwitansi tanda pembayaran atau kertas segel saja. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh C. Dewi Wulansari bahwa; Agar transaksi tanah itu sah, artinya dalam

606

Syntax Idea, Vol. 2, No 9, September 2020

This HTML is created from PDF at https://www.pdfonline.com/convert-pdf-to-html/

Studi Implementasi PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah

perbuatan hukum atau mendapat perlindungan hukum, wajib dilakukan dengan bantuan Kepala persekutuan agar perbuatan hukum ini menjadi terang dan atas bantuan Kepala persekutuan lazinnya menerima uang saksi.

Ada baiknya disimak penegasan Soerjono Soekamto bahwa; menurut hukum adat, jual beli tanah adalah suatu perbuatan pemindahan ha katas atanah yang bersifat terang dan tunai. Terang berati perbuatan pemindahan hak atas tersebut harus dilakukan di hadapan kepala adat, yang berperan sebagai pejabat yang menanggung keteraturan dan sahnya perbuatan pemindahan hak tersebut sehingga perbuatan tersebut diketahui oleh umum. Tunai maksudnya, bahwa perbuatan pemindahan hak dan pembayaran harganya dilakukan secara serentak. Oleh karena itu, maka tunai mungkin berarti harga tanah dibayar secara kontan atau baru dibayar sebagian. Dalam hal pembeli tidak membayar sisanya,maka penjual tidak dapat menuntut atas dasar terjadinyaa jual beli tanah, akan tetapi atas dasar hukum utang piutang (Soerjono Soekamto, 1983).

Ada perbedaan jual beli tanah dalam hukum adat dengan jual beli tanah dalam hukum nasional. Sebagaimana diuraikan di atas bahwa jual beli tanah dalam hukum adat merupakan perbuatan hukum pengalihan ha katas tanah seorang kepada orang lain sebagai pemilik baru dalam jangka waktu tertentu baik untuk selama-lamanya (jual lepas) atau hanya dalam waktu terbatas (jual tahunan atau gadai). Jual beli tanah dalam hukum tanah nasional. Jual beli tanah dalam hukum tanah nasional disebut dalam Pasal 26 UUPA yang akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 tetang Pendaftaran Tanah (PP) yang disempurnakan dengan PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Ketentuan-ketentuan di atas merupakan gambaran bagaimna pentingnya kepastian hukum di dalam pemilikan sebidang tanah yang telah diserahkan oleh penjual tanah (pemilik pertama) kepada pemilik baru. Melihat arahan hukum nasional di dalam pertanahan yang mengutamakan adanya bukti pemilikan hak katas tanah. Mengadakan jual beli tanah dihadapan pejabat yang berwenang PPAT. Pembuat akta tanah agar ada bukti terjadinya peraliahan hak. Sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 37 Ayat (1) PP Nomor 24 Tahun 1997 (Hukumonline, 2020).

Adrian Sutedi menegaskan bahwa; Belum lunasnya pembayaran harga tanah yang ditetapkan tersebut tidak menghalangi pemindahan haknya atas tanah, artinya pelaksanaan jual beli tetap selesai. Adapun sisa uang yang harus dibayar oleh pembeli kepada penjual dianggap sebagai utang pembeli kepada penjual, jadi hubungan ini merupakan hubungan utang piutang antara penjual dengan pembeli. Meskipun pembeli masih menanggung utang kepada penjual berkenaan dengan jual beli tanah penjual, namun hak atas tanah tetap pindah dari penjual kepada pembeli saat terselesainya jual beli (Sutedi, 2019).

Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak laiannya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya hanya dapat didaftarkan

Syntax Idea, Vol. 2, No. 9, September 2020

607

This HTML is created from PDF at https://www.pdfonline.com/convert-pdf-to-html/

Muhammad Arafah Sinjar, Erni Agustina dan Taufiqurahman Sahuri

jika yang dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan perauran peruandang-undangan yang berlaku.

Peralihan hak dari penjual ke pada pembeli akan lebih kuat dan memiliki jaminan pemilikan bilamana akta jual beli dibuat oleh Pajabat pembauat akta tanah. Semua proses peralihak hak tersebut bermuara kepada kemudahan untuk memiliki pengakuan dari negra melalui alat bukti yang dibuat oleh Negara (Badan Pertnahan Nasional). Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 31 Ayat (1) PP Nomor 24 Tahun 1997 bahwa: Sertifikat diterbitkan untuk kepentingan pemegang hak yang bersangkutan sesuai dengan data fisik dan data yuridis yang telah didaftarkan dalam buku tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1). Sementara dalam Pasal 32 Ayat (1) PP Nomor 24 Tahun 1997 ditegaskan kembali; Sertifikat merupakan tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut seuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan.

Menjadi modal utama bagi pemilik sertifikat, karena hak pemilikan tanah baginya sangat kuat dan dijamin kepastian hukumnya. Pemilikannya akan selalu diberikan perlindungan oleh Negara. Sepanjang pemilik sertifikat tersebut memperolehnya dengan proses penerbitan dan peralihan hak tersebut benar serta sesuai dengan perosedur hukum berlaku.

Adapun Peran Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam Jual Beli akan menjadi kuat dan dapat dijadikan bukti pengalihan pemilikan tanah kepada pembeli bilamana dilaksanakan di hadapan Pejabat Akta Tanah (PPAT). Sangat penting disimak penegasah seorang ahli dan pakar tanah yaitu Budi Harsono, bahwa;

Akta PPAT berfungsi sebagai alat pembuktian mengenai benar sudah dilakukannya jual beli. Jual beli tersebut masih dapat dibuktikan dengan alat pembuktian yang lain. Akan tetapi, dalam sistim pendaftaran tanah menurut PP No. 24 Tahun 1961 (yang sekarang sudah disempurnakan dengan PP Nomor 24 Tahun 1997), pendaftaran jual beli hanya dapat (boleh) dilakukan dengan akta PPAT sebagai buktinya orang yang melakukan jual beli tanpa dibuktikan dengan akata PPAT tidak akan dapat mempeoleh sertifikat biarpun jual belinya sah menurut hukum (Boedi Harsono, 1977).

Bilamana dikaitkan penegasan pendaftaran tanah menurut Budi Harsono, maka jual beli yang melakukan dalam hukum adat yang tidak disertai dengan akta jual beli dari PPAT sebagaimana masyarakat Desa Tanjungsari Kecamatan Tanjungsari yang menerapkan jual beli tanah secara hukum adat,maka akan mengalami kesukaran untuk mendaftarkan kepemilikannya kepada Badan Pertanahan nasional untuk diakui sebagai miliknya. Sebagaimana yang selama ini masyarakat memilih transaksi jual beli dengan cara hukum adat, yang secara hukum sah adanya, namun tidak dapat dilakukan pendaftaran untuk mendapatkan jaminan dan kepastian hukum sebagaimna ditegaskan dalam penjelasan umum PP Nomor 24 Tahun 1997 bahwa; Di pedesaan atau di pelosok yang jauh dari kota, terutama masyarakat yang masih kental dengan kehidupan adat dan kepercayaan terhadap adanya roh dan kekuatan yang menjaga kelangsungan hidup di dalam masyarakat, tanah merupakan modal dan aset yang harus dipertahankan dan

608

Syntax Idea, Vol. 2, No 9, September 2020

This HTML is created from PDF at https://www.pdfonline.com/convert-pdf-to-html/

Studi Implementasi PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah

dipelihara, karena tanah merupakan harga diri dan martabat bagi warga dimanapun ia berada.

Hanya saja sangat disayangkan, karena kenyataannya adalah tidak setiap warga, keluarga memiliki tanah yang dapat mereka jadikan tempat tinggal maupunn tempat berusaha. Jalan keluarnya adalah mereka yang tidak memiliki tanah berusaha untuk mengadakan pembelian tanah atau menyewa tanah dari pemilik tanah yang sebenarnya. Masyarakat yang jauh dari kota terutama di pedesaan seperti desa Tanjungsari yang diperkirakan masih banyak melakukan jual beli tanah dengan cara kebiasaan lama atau adat yang berkembang dan dianut sebagaimana yang telah ada turun temurun. Transaksi jual beli di desa Tanjungsari, masih banyak yang berdasar tatacara adat, yakni jual beli di hadapan kepala desa atau dengan disaksikan oleh ketua adat desa. Bahkan dalam prakteknya sebagai tanda bukti hanya kwitansi tanda pembayaran atau kertas segel saja. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh C. Dewi Wulansari bahwa; Disinilah nampak ketidaksadaran masyarakat dalam hal pemilikan tanah secara sah. Pentingnya mendaftarkan tanah bagi masyarakat adalah memperoleh kepastian hukum. Kepastian hukum merupakan perlindungan hukum terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan Dalam keadaaan tertentu. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum. Karena adanya kepsstian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan ketertiban masyarakat (Martokusumo, 1988).

Menurut Wulandari, Agar transaksi tanah itu sah, artinya dalam pembuatan hukum atau mendapat perlindungan hukum wajib dilakukan bantuan Kepala persekutuan agar perbuatan hukum ini menjadi terang dan atas bantuan Kepala persekutuan lazimnya menerima uang saksi. (Wulandari, 2012).

Pada prinsipnya jual beli tanah mereka anggap sudah sah bilamana pihak pembeli tanah telah menyerahkan uang atau harga jual beli yang disepakati oleh kedua belah pihak di hadapan Kepala Desa dan Ketua adat, dan sudah dianggap aman dan terang. Mereka cukup hanya bermodalkan kuitansi tanda terima uang pembayaran di hadapan Kepala Desa dan Ketua Adat. Mereka yang menganut system jual beli tanah demikian, dianggap aman dan tidak terjadi pelanggaran, sehingga telah beralih dari penjual kepada pembeli setelah adanya penyerahan uang dan disaksikan oleh Kepala Desa dan Ketua Adat.

Jadi jual beli tanah menurut hukum adat tidak dibuktikan dengan akta jual beli tanah yang dibuat dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sebagaimana ditetapkan oleh peraturan perundang-undagan, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (akan disebut PP Nomor 24 Tahun 1997. Bilaman dilihat dari ketentuan yang ada jual beli tanah menurut hukum adat tidak ada kepastian hukum terhadap status tanahnya bagi pemilik, karena peralihan hak tersebut belum didaftarkan untuk memperoleh sertipikat sebagai tanda bukti kuat.

Nampak tidak mulus pendaftaran tanah Walaupun telah lama diperintahkan oleh UUPA. Secara empiris sampai dengan tahun 1997, selama lebih dari 48 tahu Sejak diterbitkan UUPA, pemerintah telah melaksanakan pendaftaran tanah dengan landasan

Syntax Idea, Vol. 2, No. 9, September 2020

609

This HTML is created from PDF at https://www.pdfonline.com/convert-pdf-to-html/

Muhammad Arafah Sinjar, Erni Agustina dan Taufiqurahman Sahuri

kerja dan landassan hukum pada PP No. 10 tahun 1961. Dengan keterbatasan yang ada

,ternyata pelaksanaan pendaftaran tanah hanya menghasilkan dari 18 juta bidang yang Dapat didaftar. Hasil tersebut dipandang masih belum memadai mengungat jumlah bidang tanah yang ada masih menutut untuk didaftar di seluruh Indonesia saat itu (1977) diperkirakan 75 juta bidang tanah, kemudian terjadi perkebangan atasnya baik melalui pewarisan, pemisahan, pemecahan dan pemberian-pemberian hak baru sehingga saat ini diperkirakan terdadapat 85 juta (Lubis, 2008).

Berkaitan dengan terjadinya peralihan hak atas tanah dalam perbuatan hukum jual beli, maka peran serta PPAT sangat penting dalam pembuatan akta terjadinya peralihan hak atas tanah. Hal ini sebagaimana ditegaskan Boedi Harsono bahwa; Akta PPAT berfungsi sebagai alat pembuktian mengenai benar sudah dilakukannya jual beli. Jual beli tersebut masih dapat dibuktikan dengan alat pembuktian yang lain. Akan tetapi, dalam sistim pendaftaran tanah menurut PP No. 24 Tahun 1961 (yang sekarang sudah disempurnakan dengan PP 24 Tahun 1997), pendaftaran jual beli hanya dapat (boleh) dilakukan dengan akta PPAT sebagai buktinya.. orang yang melakukan jual beli tanpa dibuktikan dengan akta PPAT tidak akan dapat memperoleh sertifikat biarpun jual belinya sah menurut hukum .

Berkaitan dengan hal tersebut, maka pandangan (Salman, 1993) bahwa; Sistem hukum nasional dimasa datang akan lebih bertumpu pada sistem hukum tertulis yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Hukum adat dan hukum Islam secara berangsur-angsur akan terserap atau ditransformasikan ke dalam sistem hukum nasional yang didasarkan pada sistem peraturan perundang-undangan yang diimplementasikan kedalam berbagai peraturan pelaksanaan. Namun dalam hal ini tidak sama sekali berarti bahwa dimasa depan tidak akan ada lagi kaedah-kaedah hukum tidak tertulis. Hukum tidak tertulis akan tetap hadir atau tumbuh, baik dalam bentuk hukum adat, hukum kebiasaan, atau hukum Islam yang belum ditransformasikan kedalam hukuk tertulis serta berbagai hukum tidak tertulis yang bersumber pada yurisprudensi untuk memenuhi kebutuhan praktek hukum sehari-hari.

Pandangan diatas dapat disetujui bahwa dewasa ini dengan kondisi masyarakat yang semakin kompleks maka hukum harus menjadi panglima dalam kehidupan masyarakat. Artinya kehadiran hukum untuk mengatur ketertiban dalam masyarakat, sehingga dalam melakukan interaksi atau hubungan-hubungan guna memenuhi kebutuhan hidup keseharian tetap terjadi keseimbangan hidup. Ketertibah dan kepastian hukum dalam kehidupan masyarakat hanya dapat terjaga manakal tujuan hukum berupa keadilan, kepastian dan kemanfaatan dapat dipertahankan oleh hukum itu sendiri. Walaupun dalam kehidupan sehari-hari ketiga tujuan hukum itu tidak mungkin dapat tercapai secara utuh secara bersamaan.

Dalam hukum adat melakukan jual beli tanah tidak dilakukan dengan suatu surat karena peralihan hak atas tanah merupakan suatu perbuatan tunai dan terang. Sehingga dengan terjadinya kesepakatan dalam hal jual beli ataupun dalam bentuk lain untuk memindahkan atau meng-alihkan hak atas tanahnya, maka seketika itu pula perbuatan hukumnya selesai. Sebagaimana hal tersebut ditegaskan oleh Iman Sudiyat bahwa;

610

Syntax Idea, Vol. 2, No 9, September 2020

This HTML is created from PDF at https://www.pdfonline.com/convert-pdf-to-html/

Studi Implementasi PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah

Transaksi tanah dilapangan hukum harta kekayaan merupakan salah satu bentuk perbuatan tunai yang berobyek tanah. Intinya adalah penyerahan benda (sebagai prestasi) yang berjalan serentak dengan penerimaan pembayaran tunai (seluruhnya, kadang-kadang sebagian selaku kontra prestasi) (Sudiyat, 1981).

Hukum adat dalam pelaksanaan peralihan atau jual beli hak atas tanah yang dilakukan oleh sesama masyarakat mempunyai bentuk dan cara beragam namun tujuan akhir adalah beralihnya hak kepamilikan atas tanah yang menjadi obyek perbuatan hukum. Dalam hukum adat makna jual beli belum berarti bahwa hak atas tanah yang dialihkan tersebut akan dimiliki selamanya oleh pihak pembeli. Sebab dalam hukum adat dikenal adanya jual lepas, jual tahunan, jual gadai dan lain sebaginya yang kesemuanya bentuk tersebut berkonotasi dengan jual beli. Sehingga penegasan yang dikemukakan Adrian Sutedi bahwa transaksi jual beli tanah dalam sistem hukum adat mempunyai 3 muatan dapat dibenarkan. Adapun muatan-muatan yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1.Pemindahan hak atas tanah dengan dasar pembayaran tunai sedemikian rupa dengan hak untuk mendapatkan tanahnya kembali setelah membayar sejumlah uang yang pernah dibayarnya hal ini disebut dengan jual gadai;

2.Pemindahan hak atas tanah atas dasar pembayaran tunai tanpa hak untuk membeli kembali, hal ini yang disebut dengan jual lepas (atau jual beli seperti dikenal sekarang).

3.Pemindahan hak atas tanah atas dasar pembayaran dengan perjanjian bahwa setelah beberapa tahun panen dan tanpa tindakan hukum tertentu tanah akan kembali

.(Sudiyat, 1981; Sutedi, 2019).

Oleh karena itu tujuan penulis setelah adanya penelitian maka dilanjutkan dengan pengabdian untuk memberikan penyuluhan hukum tentang Pertanahan dikaitkan denga PP Nomor 24 Tahun 1997. Diharapkan warga memperoleh pengetahuan yang benar tentang apa saja yang harus dikerjakan, diperhatikan dan dijadikan pedomana bilamana warga akan berusurusan dengan tanah agar tidak terjadi kesalah pahaman, penjualan dan pembelian tanah yang tidak menyalahi aturan yang ada. Diharapka calon pembeli tanah selalu mengidam-idamkan adanya sertifikat tanah Setiap adanya transaksi jual beli tanah. Karena zirawanSoerodjo bahwa sertifikat tanah merupakan surat tanda bukti yang berlaku Sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan yuridis yang termuat di dalamnya sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada Dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan (Soerodjo, 2003).

Metode Penelitian

Kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini dilaksanakan dengan metode dialog, diskusi dan pelatihan kepada para warga masyarakat khayalak sasaran. Agar pendampingan dan pelatihan dapat berjalan dengan baik dan mencapai tujuan yang diharapkan, maka akan dilakukan pencatatan data di RT.003 Kelurahan Tanjungsari setempat untuk mencatat jumlah ibu rumah tangga. Selanjutnya data jumlah murid dari

Syntax Idea, Vol. 2, No. 9, September 2020

611

This HTML is created from PDF at https://www.pdfonline.com/convert-pdf-to-html/

Muhammad Arafah Sinjar, Erni Agustina dan Taufiqurahman Sahuri

Sekolah Dasar tersebut, akan digunakan untuk mengundang ibu rumah tangga setempat untuk hadir dalam kegiatan di RT.002 Kelurahan Tanjungsari, Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Bogor Secara rinci, tahapan yang akan di tempuh dalam pelaksanaan ini antara lain:

1.Tahap Persiapan

a)Proses perizinan kepada pihak Mitra

b)Perolehan dan pengumpulan data

2.Tahap Pelaksanaan

a. Diskusi dengan mitra mengenai peran b. Diskusi dengan mitra mengenai solusi

c. Dialog dengan Pemuda-pemuda usia sekolah tentang kehati-hatian dalam aktifitas jual beli tanah .

3.Tahap Pelaporan

a)Melaporakan kemajuan setelah diadakannya dialog dengan mitra.

b)Mempublikasi dalam bentuk prosiding.

c)Melaporkan laporan akhir.

Hasil dan Pembahasan

Tim Penelti akan menggambarkan yang sempat dipantau terutama Latar Belakang Desa Tanjungsari, suasana wilayah Desa Tanjungsari, terutama masalah gambaran Visi Desa, geografis, demografis, maupn perkembangan peminat bisnis pertanahan. Baik untuk dihuni oleh masyarakat itu sendiri maupun investasi tanah dan bangunan property di wilayah tersebut. Memaparkan jenis-jenis tanah di wilayah Desa Tanjungsari, serta menggambarkan model jual beli tanah dari system secara adat, yakni hanya dibuktikan dengan tanda pembayaran berupa kuitansi atau pernyataan di atas kertas segel dan disakasikan oleh tokoh adat/tokoh masyarakat menuju dan bergeser ke implementasi jual beli yang mengikuti Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran tanah sebgaiamana pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Dasar Pokok-Pokok Agraria, menentukan bahwa transaksi jual beli tanah harus dibuat di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) :

A. Desa Tanjung Sari:

Desa merupakan kesatuan masyaraakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yuridis, demikian bilaman di dasarkan pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, bahwa desa berwenang untuk mengataur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat yang diakui dan/atau dibentuk dalam system Pemerintah Nasional dan berada di Kabupaten Kota, sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Dasar Negara Repuplik IndonesiaTahun 1945. Landasasn Pemikiran dalam pengaturan mengenai desa adalah keaneka ragaman, pertisipasi asli, demokrasi dan pemberdayaan masyarakat.

Adanya wewenang untk mengatur kehidupan warga masyarakat, maka desa berpotensi besar untuk mengembangkan dengan cara menyusun Dokumen Rencana

612

Syntax Idea, Vol. 2, No 9, September 2020

This HTML is created from PDF at https://www.pdfonline.com/convert-pdf-to-html/

Studi Implementasi PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah

Pembangunan Jangka Menengah Desa ( RPJM Desa) sebagai satu kesatuan system perencanaan pembangunan daerah/kabupaten secara partisipatif dan transparan. Walaupun penyusunan rencana pembangunan di desa dengan bebas dan merdeka demi kemajuan desa namun tetap penyusunannya berpedoman pada Dasar Hukum Penyusunan.

B. Visi dan Misi Desa.

Apapun isi rencana program dan kegiatan pembangunan yang akan dilakukan oleh Desa secara bertahap dan berkesinambungan, harus dapat menghantarkan visi dan misi calon kepala desa terpilih, juga diintegrasikan dengan keinginan bersama masyarakat desa dimana proses penyusunan dilakukan secara partisipasi mulai dari tigkat Dusun/RW sampai tingkat Desa. Adapun Visi Desa Tanjungsari adalah”Terwujudnya Masyarakat Desa Tanjungsari yang bertaqwa, berdaya dan terdidik menuju sejahtera 2019.

C. Geografis:

 

 

 

 

 

 

Desa Tanjungsari adalah salah satu

desa di wilayah

Kecamatan Tanjungsari

Kabupaten Bogor dengan Luas Wilayah

kurang

lebih

760,15

Ha

dan

secara

administrasi terbagi dalam 4 Dusun, 8

Rukun

Warga

(RW)

dan

18

Rukun

Tetangga(RT) dengan batas-batas Wilayah sebagai berikut:

 

 

 

 

Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Pasirtanjung

 

 

 

 

 

Sebelah Timur berbatasan dengan Desa dengan Simarasa

 

 

 

 

Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Simarasa

 

 

 

 

 

Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Sibadak.

 

 

 

 

 

Jarak anatara Kantor Desa Tanjungsari ke :

 

 

 

 

 

 

Ibu Kota Kecamatan Tanjungsari

: 0,5 KM

 

 

 

 

Ibu Kota Kabupaten Bogor

: 67 KM

 

 

 

 

Ibu Kota Provinsi Jawa Barat

: 101 KM

 

 

 

 

Ibu Kota Negara RI (Jakarta)

: 80 KM

 

 

 

 

D. Sejarah Terbentuknya Desa dan Pencatatan Agraria

Desa Tanjungsari dalam sejarah berdiri dan dibentuk pada tahun 1960, sejak itulah ada pemerintahan desa dan diangkatnya kepala desa. Seperti halnya kepala desa pertama adalah Mochammad Basari, kepala desa yang terlama menjabat sebagai kepala desa yakni selama dua puluh tiga tahun (23) lamanya, dari tahun 1960-1983. Kemudian berturut-turut M.Naran dari tahun 1983-1984, selanjutnya AD Muchlis dari tahun 1985 sampai pada tahun 1983, kenmudian digantikan oleh maman Suherman, kemudian R. Setiawan yang menjabat kepala desa dengan singkat (tidak sampai satu tahun), dilanjutkan oleh HA. Cahya Winata 2001-2006, digantikan oleh Drs. Ahmad Kosasih hanya tidak lebih satu tahun, kemudian dilanjutkan oleh HA. Cahya Winata dari tahun 2007-2013, dan yang menjabat sekarang adalah Didi Rosidi sampai 2019.

Sejak tahun berdirinya itulah pencatatan tanah dimulai, termasuk penomoran pertama kali Letter C, dan jenis-jenis hak pemilikan tanah lainnya. Sebagai jenis

sumber daya alam yang ada di desa Tanjungsari

yang ditemukan oleh Tim peneliti

Syntax Idea, Vol. 2, No. 9, September 2020

613

This HTML is created from PDF at https://www.pdfonline.com/convert-pdf-to-html/

Muhammad Arafah Sinjar, Erni Agustina dan Taufiqurahman Sahuri

Tanah Kas Desa 14,927, Lahan Pekarangan 297,673, Luas Persawahan 266,9, Tanah Perkebunan/Ladang 179,6, Tanah Perkantoran 0,25, Bangunan Sekolah 0,30, Sungai/Selokan 0,25, Tanah Kuburan Umum 0,25.

E. Demografi

Bilaman dikaitkan dengan sumber daya manusia, maka data Desa Tanjungsari Tahun 2017 di peroleh informasi bahwa jumlah laki-laki 3.362 atau 49,85%, Perempuan 3.381 atau 50,15 % dari jumlah penduduk Desa Tanjungsari atau dari jumlah total penduduk 6.743 orang.

Adapun tingkat pendidikan penduduk Desa Tamansari tidak tamat SD 322, tamat SD 1.577, Tamat SLTP 952, tamat SLTA 152 orang, D1 2 dan S1 baru 5 (lima) orang.

Adapun pekerjaan dan pencaharian warga Desa Tamansari, nampaknya mayoritas pekerjaan Rumah Tangga yang paling banyak yakni 1.331 orang, Bermata pencaharia Buru Tani 1.271 orang, pelajar 956 orang, petani 693, pekerjaan dan profesi bermacam-macam, seperti halnya ada TNI 1 orang, POLRI 2 orang, PNS Umum 5 orang, PNS Guru 9 orang, dukun Para Normal 5 orang, Wartawan 2 orang, Ustaz 25 orang, pedagang keliling 65 rang dan masih banyak profesi lainnya, sehingga potensi pekerja dan profesi berjumah 4. 663.

Dari hasil wawancara tim peneliti dengan Bapak Sekdes Desa Tanjungsari, bahwa rata-rata warga bersemangat untuk bekerja dan bahagia dengan pekerjaan atau profesi yang ditekuninya sehingga dapat dikatakan bahwa selama ini belum ada warga yang pindah dari desanya ke daerah lain untuk mencari pekerjaan yang lebih menjanjikan. Terliahat Jumlah warga yang berumur kelompok tenaga kerja tidak menganggur, ini terlihat dari jumlah penduduk anak, pelajar dan dewasa berjumlah 6.743 sementara kelompok pekerjanya berjumlah 4.663 orang.

F. Sumber Daya Pembangunan

Di Desa Tanjungsari ada 4 PAUD, TKA/TPA 1, SD Negeri 2, PKBM 1, Pondok Pesantren 2. Sementara Sarana Keagamaan di Desa Tanjungsari ; ada Mesjid Jami 10 buah, Langgar tersebar 24 buah, dan Pondok Pesantren di RT. 015/008,013/007.

Di Desa ini juga tersebar penggerak ekonomi seperti Warung 45 buah, Toko 28 buah, Pengemudi ojek 25 orang, Pertukangan 20 tempat, Counter pulsa 14 tempat, Kios Bensin 21 tempat, Bengkel 11, Penggilingan padi 8 pabrik, Tambal ban 10 tempat, , penjual masakan matang 8 lokasi, dan masih banyak sarana tempat usaha kecil-kecilan yang menunjang pergerakan denyut jantung ekonomi di Desa Tanjungsari.

Di DesaTanjungsari juga dilengkapi Sarana Olah Raga, seperti Sepak Bola 3 lapangan, Lapangan Bola Volly 4 lapangan, Lepang Tenis Meja 4 meja, Lapang Bulu Tangksi 2 lokasi.

Desa Tanjungsari Juga dilengkapi dengan kegiatan Jenis Kesenian da Budaya, seperti halnya Pencak Silat, organ tunggal dan Mawaris.

G. Tanah dan Potensi Ekonomi Desa Tanjungsari

614

Syntax Idea, Vol. 2, No 9, September 2020

This HTML is created from PDF at https://www.pdfonline.com/convert-pdf-to-html/

Studi Implementasi PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah

Gambaran geografis berbukit nan indah karena dikelilingi bukit subur dan gunung yang menghijau. Di atas bukit merupakan lokasi asset harta karun yang bertebaran. Terilihat dari berbagai hasil tanaman perkebunan kebun kopi, aren yang menghasilkan gula anau, juga pohon pohon duren serta pohon rambutan. Di lereng- lereng sawah yang penuh tanaman padi, di sela-sela lereng sawah yang bertingkat- tingkat, nampak warung-warung yang berderet dan restaurant yang menyajikan beraneka ragam makanan dan ikan air tawar. Disamping restauran ada kolam ikan yang isinya ikan mujair, ikan emas, sehingga para pendatang dan tourist menikmati lezatnya makanan dan ikan berserta lezatnya sambel dan aneka ragam sayur dan buah-buahan. Di wilayah ini dikenal dengan nama bukit Lendong adalah sebuah bukit berketinggian 700 meter di atas permukaan laut yang berada di bagian timur Bogor, tempatnya di daerah Tanjungsari, Kecamatan Tanjungsari , Kabupaten Bogor. Siapa sangka di atasnya terdapat harta karun yang sangat melimpah. Terhampar luas kebun kopi jenis Rebusta. Sekitar 400 hektar luasnya penuh dengan kopi. Kopi ini sering disebut kopi Lendong seperti tempat pembudidayaannya yaitu bukit Lendong, sudah diproduksi kopi lokal tersebut dengan kemasan standar baku untuk berkompetisi dengan kemasan-kemasan kopi seperti Kapal Api. Di Desa Tanjungsari juga sudah dikemas dengan merek Roasting and Distribution LENDONG Coffee Roasted Produced by Kelompok Guna Tadi Abadi Desa Tanjungsari Kecamatan

Tanjungsari Kabupaten Bogor dengan Jargon “BANGGA KOPI BOGOR”.

Letak wilayah ini sangat setrategis karena lokasinya berada di titik lalulintas yang dilewati warga kota dari Jakarta menuju kota-kota kecil seperti Cianjur dan Bandung sehingga kendaraan ramai walaupun padat tetapi lancar.

Fenomena pertumbuhan penduduk dari tahun ke tahun yang semakin meningkat membuat perkembangan di Indonesia juga menjadi meningkat mengikuti pertumbuhan penduduk tersebut. Tingginya laju pertumbuhan ini membuat perkembangan atau permintaan akan perumahan juga meningkat. Kebutuhan perumahan bagi seluruh lapisan masyarakat baik dari kalangan bawah hingga menengah ke atas merupakan salah satu kebutuhan pokok yang harus dipenuhi dengan sebaik-baiknya saat ini. Menurut sebagian orang apabila tidak memiliki rumah belumlah terpenuhi segala kebutuhannya dengan sebaiknya baiknya, sehingga membawa konsekuensi akan semakin banyak hunian yang dibangun oleh pemerintah ataupun pihak sewasta, salah satunya perumahan-perumahan yang tentunya membutuhkan lahan yang strategis yang memenuhi persyaratan ruang yang memadai untuk dihuni. Demikian pula situasi Tanjungsari yang sudah mulai diincar oleh pengusaha dari dalam maupun dari luar Desa Tanjungsari, seperti dari Jakarta, Bekasi dan daerah lain. Ada per-indifidu maupun perusahaan untuk membangun rumah tunggal, perumahan, maupun bangunan-bangunan yang multi fungsi untuk usaha dan bisnis.

Mengingat semakin berkembangnya pengaruh perkembangan ibu kota Jakarta, Bogor dan bandung, Warga kota cenderung gerah dan dan sudah padat, mereka semakin terjepit dan kekurangan ruang dan tempat untuk hidup dan berusaha

Syntax Idea, Vol. 2, No. 9, September 2020

615

This HTML is created from PDF at https://www.pdfonline.com/convert-pdf-to-html/

Muhammad Arafah Sinjar, Erni Agustina dan Taufiqurahman Sahuri

sehingga wilayah ini banyak dikunjungi warga dari berbagai arah daerah di sekitarnya. Seperti dari Jakarta, bandung, Bogor dan Bekasi. Sebagian mereka mencari rumah, tempat hunian atau property. Pembeli tidak hanya untuk ditempati langsung atau dihuni namun sebagaian mereka mengadakan strategi bisnis untuk investasi ke depan.

Demikian perkembangan yang terjadi sehingga sudah mulai ada transaksi atau jual beli antara pemilik tanah dengan pembeli tanah. Peneliti menyoroti adanya lahan tanah atau pemilikan tanah dari warga yang dilatarbelakangi dari bermacam- macam jenis tanah. Diantaranya:

Tanah ulayat, Girik, Tanah Garapan, Eigemdom verponding (Biasa dikenal adanya tanah-tanah yang statusnya masih tanah-tanah hak barat yang belum dikonversikan menjadi tanah hak Indonesia); maupun tanah bersama warga masyarakat hukum adat. Dan bagaimana status tanah tersebut dikonversikan nya menjadi tanah dengan status yang lebih jelas. Di Desa Tanjung Sari ditemukan ada beberapa istilah tanah:

1. Tanah Girik:

Pengertian girik adah suatu ha katas sebuah tanah, dimana masih berbentuk Surat Keterangan Tanah dari pihak kelurahan dan kecamatan yang merupakan bukti penguasaan atas tanah, bukan sebagai bukti pemilikan, melainkan hanya sebagai identitas pembayar pajak atas tanah yang dikuasainya. Tim menilai bahwa girik hanya sebagai tanda bukti pembayaran pajak atas tanah tidak merupakan tanda pemilikan ha katas tanah. Bilmana ada orang aatau pihak yang memiliki sertifikat maka pemegang surat sertifikatlah yang memiliki klaim hak kebendaaan yang lebih kuat, selama sertifikat tersebut tidak palsu atau diterbitk oleh pihak yang tidak berwenang. Perlu diketahui bahwa girik merupakan hak lama atas tanah yang dikuasai, tidak hanya berasal dari tanah hak adat, namun bisa juga dari tanah milik barat, seperti: eidendom, erfpacht dan opstaal.

Hal ini perlu disosialisasikan di tengah masyarakat, karena telah dijelaskan bahwa masyarakat Indonesia harus melakukan konversi terhadap tanah-tanah hak lama dari hak adat, seperti girik, petok D atau Ketitir dan sebagainya. Yang diakui kuat sebagai pemilik tanah hanyalah yang sesuai UUPA Nomor 5 Tahun 1960, hanya auntuk sertifikat hak atas tanahlah yang merupakan bukti pemilikan yang kuat dan sah. Adapun orang atau pihak yang memegang surat Girik dan surat Keterangan dari Kepala desa/Kelurahan seperti Girik dan Surat Keterangan lainnya, hanyalah merupakan dasar atau persyaratan awal untuk pengajuan perubahan dari tanah hak lama menjadi ha katas tanah yang berbentuk Seritifikat Hak Milik (SHM).

Dasar Hukum Girik :

a. Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraia

b. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

616

Syntax Idea, Vol. 2, No 9, September 2020

This HTML is created from PDF at https://www.pdfonline.com/convert-pdf-to-html/

Studi Implementasi PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah

Adapun cara pengurusan pembelian tanah girik :

a.Pastikan dulu bahwa girik yang dipakai adalah girik asli;

b.Bukti pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)dari sipemilik girik;

c.Surat keterangan bahwa tanah tersebut tidak berada di dalam sengketa dari Kelurahan/ Kecamatan atau Kepala Desa;

d.Surat keterangan riwayat tanah dari Kelurahan /Kecamatan atau Kepala Desa (dari mana dan siapa saja pemilik tanah tersebut sebelumnya sampai saat ini)

e.Surat keterangan dari Kelurahan/ Kecamatan atau Kepala Desa bahwa tanah tersebut tidak diperjual belikan kepada siapapun;

f.Tidak sedang dijaminkan kepada pihak lain.

2. Tanah Bengkok:

Di samping adanya istilah Tanah Benkok juga ada juga nama lain yang dimiliki desa sebagai tanah adat atau tanah asal-usul yang sudah menjadi hak milik desa sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia lahir pada tahun 1945. Di Sumatra Barat maupun negeri di Maluku memiliki tanah adat /ulayat, baik ulayat keluarga, ulayat suku maupun ulayat nagari dan ulayat negeri. Di apulau Jawa di kenal adanya berbagai jenis seperti jenis asal usul: titisoro untuk gaji para guru, pangonan untuk gembala ternak, sengkeran untuk pelestarian tanaman langka, segahan untuk jamuan tamu dari luar yang datang ke desa, dan palungguh atau bengkok untuk penghasilan kepala desa dan pamong desa, tanah kuburan, maupun tanah-tanah lain untuk fasilitas umum. Namun karena perkembangan pembangunan sehingga lambat laun banyak jenis tanah yang hilang dan tidak lagi dikenal apakah itu untuk pembangunan yang diminta sendiri oleh pemerintah untuk membangun fasilitas public. Dari sekian tanah desa, yang masih tersisa dalam jumlah besar adalah tanah Bengkok atau Tanah Palungguh.

Tanah Bengkok itu merupakan Kekayaan Desa yang berupa tanah Desa tidak diperbolehkan dilakukan pelepasan hak kepemilikan kepada pihak lain, kecuali diperlukan untuk kepentingan umum. Pelepasan hak kepemilikan tanah desa dilakukan setelah mendapat ganti rugi sesuai harga yang menguntungkan desa dengan memperhatikan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Jadi praktek jual beli tanah bengkok untuk kepentingan pribadi itu merupakan suatu pelanggaran hukum. Sedangkan menurut pakar tanah bengkok/tanah asset desa tentu tidak bisa dilepaskan dari tanah masyarakat adat setempat. Bagi masyarakat hukum adat, maka tanah mempunyai fungsi fungsi yang sangat penting. Tanah merupakan tempat dimana warga masyarakat hukum adat bertempat tinggal, dan tanah juga memberikan kehidupan baginya.

Pengaturan tentang Tanah Bengkok tersebut dimulai dari Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1982, tentang Sumber pendapatan dan Kekayaan Desa Pengurusan dan pengawasannya. Dalam Pasal 3 dinyatakan bahwa yang disebut kekayaan desa terdiri dari: Tanah kas desa, termasuk tanah bengkok, Pemandian umum yang diurus oleh desa, Pasar Desa, obyek-obyek

Syntax Idea, Vol. 2, No. 9, September 2020

617

This HTML is created from PDF at https://www.pdfonline.com/convert-pdf-to-html/

Muhammad Arafah Sinjar, Erni Agustina dan Taufiqurahman Sahuri

rekreasi yang diurus oleh desa, bangunan milik desa dan lain-lain kekayaan milik pemerintah desa.

Mengenai pengaturan pelepasan tanah bengkok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Kepala Desa. Keputusan Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterbitkan setelah mendapat persetujuan BPD dan mendapat ijin tertulis dari Bupati/ Walikota dan Gubernur. Menurut informasi dari Sekdes Desa Tanjungsari, bahwa istilah Tanah Bengok di Desa Tanjungsari tidak begitu dikenal. Tetapi di Desa ini ada dikenal dengan istilah Tanah Kas Desa, hutan Rakyat, tanah kuburan umum dan Tanah HIbah Masyarakat.

3. Tanah Ulayat

Tanah ulayat adalah bidang tanah yang dia atasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu. Hak ulayat adalah kewenangan yang menurut hukum adat, dimiliki oleh masyarakat hukum adat atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan warganya, yang menurut hukum adat, dimiliki oleh masyarakat hukum adat atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan warganya. Kewenangan itu seprti halnya memperbolehkan masyarakat adat untuk mengambil manfaat yang ada di wilayah tersebut, termasuk sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut dimanfaatkan sebagai kelangsungan hidupnya. Jadi memang ada hubungan yang turun temurun yang terjalin hubungan secara lahiriah dan batiniah yang berlangsung dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.

Tanah Ulayat adalah tanah bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Hak penguasaan atas tanah masyarakat hukum adat dikenal dengan Hak Ulayat . Hak ulayat merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakatn hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yangterletak dalam lingkungan wilayahnya. UU No. 5 Tahun 1960 atau UU Poko agrarian (UUPA) mengakui adnya Hakm Ulayat (Indonesia & Indonesia, 1960). Pengakuan itu disertai dengan 2 (dua) syarat yaitu mengenai eksistensinya dan mengenai pelaksanaannya . Berdasarkan Pasl 3 UUPA, hak ulayat diakui “sepanjang menurut kenyataannnya masih ada”

Dengan demikian selama itu ada kenyataannya di lapangan makanya tanahn ulayat tidak boleh sama sekali dialihkan menjadi tanah hak milik. Bilamana ditemukan di walayah tersebut masih ada masyarakat hukum adat, dengan bukti masih adanya warga masyarakat adat yang diatur oleh hukum adat yang berlaku dan masih aktifnya tokoh-tokoh adat atau masih adanya kepala adat bersangkutan.

Dasar Hukum:

a. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria

b. Peraturan Menteri Negra Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pendaftaran Hak Atas Negara

618

Syntax Idea, Vol. 2, No 9, September 2020

This HTML is created from PDF at https://www.pdfonline.com/convert-pdf-to-html/

Studi Implementasi PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah

dan Hak Pengolahan jadi tanah Ulayat. Tidak dapat dialihkan menjadi tanah hak milik apabila Tanah Ulayat tersebut menurut kenyataan masih ada , misalnya dibuktikan dengan adanya masyarakat hukum adat bersangkutan atau kepala adat bersangkutan. Begitupula sebaliknya, Tanah Ulayat dapat dialihkan menjadi tanah hak milik apabila Tanah Ulayat tersebut menurut kenyataannya tidak ada atau statusnya sudah berupa menjadi “Bekas Tanah Ulayat”

Status tanah ulayat dapat dijadikan sebagai hak milik perorangan apabila status Tanah Ulayat tersebut sudah menjadi “Tanah Negara”. Menurut Sekdes Desa Tanjungsari bahwa Tanah ulayat tersebut sebelum tahun 1960 menjadi tanah-tanah yang digarap oleh warga, setelah adanya Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960 maka dianjurkan untuk melapor kepemerintah untuk didaftar. Mengingat bahwa pada tahun 1960 awal lahirnya Desa Tanjungsari secara formal, dengan kepala desa pertamanya adalah Mochammad Basari (1960-1983) Kepala Desa yang terlama menjabat sebagai Kepala Desa sampai saat ini . Sebelum desa didirika secara formal, di wilayah ini sudah ada lokasi tanah yang disebutnya Hutan Rakyat.

4. Tanah Garapan

Jenis tanah ini banyak ditemukan di wilayah Indonesia, adapun tanah garapan tersebut merupakan tanah yang belum dilekati sesuatu hak dan dikerjakan atau diambil manfaatnya oleh pihak lain. Pihak lain ini dinamakan penggarap, dimana penggarap ini dinamakan penggarap. Tentunya ada ketentuan-ketentuan yang mengaturnya sampai bisa memohonkan sesuatu ha katas tanah untuk menggarap. Arti tanah garapan adalah tanah Negara (perkebunan dan sebagainya) yang digarap oleh penduduk untuk ditanami padi dan tanaman lainnya.

Definisi tanah garapan menurut Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nomor 2 Tahun 2003 tentang Norma dan Standar Mekanisme Ketatalaksanaan Kewenangan Pemerintah di Kabupaten /Kota (“SK Kepala BPN”) adlah sebidang tanah yang sudah atau ataubelum dilekati dengan sesuatu hak yang dikerjakan dan dimanfaatkan oleh pihak lain baik dengan persetujuan atau tanpa jangka waktum tertentu.

Mengenai penggarap yang berusaha untuk merubah statusnya menjadi hak milik, tentunya harus melalui proses pengecekan lebih lanjut. Seperti halnya apakah tanah garapan itu sudah dilekati hak atau dengan sesuatu hak, jika hak tersebut adalah hak milik tentunya tidak bisa didaftarkan menjadi hak milik oleh penggarap. Karena sesuai dengan Pasal 20 Ayat (1) UUPA hak milik adalah hak terkuat dan terpenuh. Kecuali hak milik tersebut sudah jatuh kepada Negara sesuai dengan pasal 27 huruf a UUPA. Tanah garap yang tidak dilekati dengan sesuatu hak, bisa langsung didaftarkan menjadi Hak Milik dengan memperhatikan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang PendaftaranTanah (“PP 24/1997”).

Dasar hukum:

Syntax Idea, Vol. 2, No. 9, September 2020

619

This HTML is created from PDF at https://www.pdfonline.com/convert-pdf-to-html/

Muhammad Arafah Sinjar, Erni Agustina dan Taufiqurahman Sahuri

a. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA)

b.Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

c.Keputusan Kepala badan Pertanahan Nasional (BPN) Nomor 2 Tahun 2003 tentang Norma dan Standar Mekanisme Ketatalaksanaan Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota.

Status tanah garapan menjadi SHM (Sertifikat Hak Milik) bisa didaftar kan menjadi SHM, karena tanah garapan bukan merupakan jenis hak kepemilikan tanah yang diatur UUPA. Untuk tanah garapan yang belum dilekati dengan suatu hak, bisa langsung didaftarkan menjadi Hak Milik.

5. Egendom Verponding

Hak Egendom Verponding (EV) ini merupakan hak tanah yang bersal dari haka-hak Barat. Artinya ini merupakan hak milik tetap atas tanah dan Verponding adalah surat tagihan pajak atas tanah atau tanah dan bangunan dimaksud. Istilah Hak Agendom merupakan sisa-sisa produk hukum pertanahan pada zaman penjajahan colonial Belanda yang artinya hak kepemilikan. Eigendom Verponding dari perspektif peraturan perundang-undangan di bidang agraria. Berdasarkan kamus hukum, yang dimaksud denga “eigendom” adalah milik mutlak. Sedangkan Verponding diartikan harta tetap. Adapun eigendom verponding adalah hak tanah yang bersal dari hak-hak barat. Yang membedakan dari tanah hak eigendom lainnya ialah adanya hak-hak pada pemiliknya, yang bersifat kenegaraan, yang dahulu disebut landheerlijke rechten, kemudian diindonesiakan menjadi “hak-hak pertuanan”

Dijelaskan bahwa di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria bahwa hak eigendom atas tanah yan ada

saat berlakunya

UUPA menjadi

hak

milik. Ketentuan konversi tersebut berlaku

selama pemilik

hak eigendom

atas

tanah tersebut memenuhi persyaratan

sebagaimana yang diatur dalam Pasal 21 UUPA. Hanya saja yang perlu difahami bahwa tidak semua hak eigendom atas tanah selalu dapat dikonversikan menjadi hak milik. Karena ada ketentuan-ketentuan yang mengatur konversi hak eigendom atas tanah menjadi hak pakai, hak guna bangunan, maupun guna usaha. Berdasakan Pasal 22 ayat (2) UUPA, dapat diketahui bahwa salah satu terjadinya hak milik adalah karena undang-undang. Sehingga, ketentuan konversi dalam UUPA, yang menentukan bahwa hak egeindom atas tanah sejak berlakunya UUPA menjadi hak milik merupakan salah satu dasar tejadinya hak milik. Meskipun demikian, perlu diperhatikan bahwa Pasal 23 UUPA memberikan suatu pengertian bahwa hak milik, demikian pula setiap peralihan, hapusnya, dan pembebanannya harus didaftarkan menurut ketentuan peraturan perundang- undangan. Hak eigendom menjadi hak milik bila di dasarkan pada UUPA. Dapat disimpulkan bahwa hak egeindom atas tanah tersebut pada dasarnya tunduk pada

620

Syntax Idea, Vol. 2, No 9, September 2020

This HTML is created from PDF at https://www.pdfonline.com/convert-pdf-to-html/

Studi Implementasi PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah

pengaturan dalam Pasal 23 UUPA, yaitu ketentuan yang mengatur mengenai pendaftaran hak milik.

Memperhatikan ketentuan yang harus ditaati dalam rangka memperoleh hak yang pasti, maka pendaftaran tersebut penting dan diperlukan. Mengingat adanya perubahan system lama menuju ke system hukum yang baru, eigendom adalah bersumber dari system yang mesih menggunakan hukum perdata barat, yang tentunya masih menggunakan hukum perdata barat serta hukum agrarian yang pada sasat itu disusun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi dari pemerintah jajahan.

Untuk keperluan pendaftaran hak, hak atas tanah yang berasal dari kenversi hak-hak lama dibuktikan dengan alat-alat bukti mengenai adanya hak tersebut berupa bukti-bukti tertulis, keterangan saksi dan/atau, pernyataan yang bersangkutan yang kadar kebenarannya oleh Panitia Ajudikasi dalam pendafatran tanah secara sistematik atau oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sprodik, dianggap cukup untuk mendaftar hak, pemegang hak dan hak-hak pihak lain yang membebaninya.

Dasar Hukum:

a.Undang-Uandang No. 72 Tahun 1958 tentang Pajak Verponding Untuk Tahun- Tahun 1957dan berikutnya.

b.Peraturan Pemerintah No, 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran tanah.

Tanah Egendom Verponding yang disebut di atas nampaknya tidak dikenal di desa ini.

6. Letter C

Tim Peneliti juga meluangkan perhatian untuk menelusuri penting dan strategisnya instrument birokrasi dan administrasi pertanahan yang dijadikan dasar riwayat, di dalam Letter C ini akan mendapatkan gambaran riwayat penguasaan tanah dari masa awal hingga saat ini. Pembuktian adanya relevansi tanah dengan nama yang tertera di dalam bukuh C tersebut, terutama dalam pemilikan dan penguasaan tanah tersebut.

Saat pertemuan dengan Kepala Tanjung Sari Desa Tim peneliti bertanya tentang Lekter C dan pentingnya sebagai alat untuk menelusuri pertanahan di desa. Buku C atau lekter C ini tidak ditemukan di Kantor Kepala Desa. Menurut Kepala Desa waktu itu Lekter C atau buku C itu dipegang oleh Sekeretaris Desa (SEKDES). Perlu diperjelas Buku C adalah buku yang disimpan aparatur Desa biasanya Sekretaris Desa (SEKDES). Buku ini biasa juga disebut Pepel yang biasanya dipakai untuk mengurus pajak untuk keperluan pembayaran pajak pada Jaman Penjajahan Kolonial Belanda, dan sekarang dapat dijadikan bukti kepemilikan atas tanah karena tanah yang tercatat dalam buku tersebut sudah dikuasai bertahun-tahun , atas dasar itulah notaris maupun petugas di Kantor Pertanahan dapat melihat siapa yang berhak atas kepemilikan tanah yang belum berstipikat di suatu desa, biasanya isinya Buku C yang lengkap terdiri dari: Nomor Buku C, Kohir, Persil, Kelas Tanah, adalah suatu letak tanah dalam

Syntax Idea, Vol. 2, No. 9, September 2020

621

This HTML is created from PDF at https://www.pdfonline.com/convert-pdf-to-html/

Muhammad Arafah Sinjar, Erni Agustina dan Taufiqurahman Sahuri

pembagiannya atau disebut juga (Blok) Kelas Desa, maksud dari kelas desa adalah suatu kelas tanah yang dipergunakan untuk membedakan antara darat dan tanah sawah atau diantara tanah yang produktif dan non produktif ini terjadi pada saat menentukan pajak yang akan dipungut; Daftar Pajak Bumi yang terdiri atas Nilai Pajak, Luasan Tanah (dalam meter persegi) dan Tahun Pajak. Nama Pemilik Letter C, Nama Pemilik ini merupakan nama pemilik awal sampai pemilik terakhir; Nomor urut pemilik; Nomor bagian persil; Tanda Tangan dan stempel Kepala Desa/ Kelurahan. Dan Letter C adalah kutipan dari Buku C yang diperoleh dari kantor desa dimana tanah itu berada. Letter C ini merupakan tanda bukti bahwa tanah yang dikuasainya memiliki catatan yang berada di Kantor Desa/Kelurahan. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan Letter C menjadi bukti kepemilikan tanah.

Menurut keterangan Sekertaris Desa Tanjungsari, bahwa keistimewaan Letter C adalah nomor pendaftaran tidak pernah berubah, yang berubah adalah nama pemilik yakni dari nama pemilik nama ke pemilik baru, tanah yang dijual atau keterangan bahwa ada yang berkurang atau bertambah dari keterangan langsung pemilik tanah dengan disakasikan oleh tokoh-tokoh masyarakat yang sudah menjadi kebiasaan untuk dihadirkan setiap adanya transaksi jual beli tanah. Setelah itu dicatat oleh Sekdes di dalam Buku C atau letter C tersebut. Letter C terdata dan tercatat sejak berdirinya Desa Tanjungsari pada tahun 1960.

Adapun kekurangannya Buku C karena sering ada pencatatan yang tidak akurat dan adanya penulisan yang salah atau kabur, karena mungkin saja lamanya buku tersebut atau adanya ketidak jelasan saat data tersebut ditulis atau dicatat. Kutipan buku Letter C seperti girik, kekitir, petuk D, inilah yang dipegang dan dikuasai oleh pemilik tanah. Untuk menjaga objektinya data di buku C maka yang aktif mencatat adalah perangkat desa/kelurahan yang mencatat peristiwa hukum yang terjadi setiap ada perbuatan hukum. Seperti apakah Hibah, Jual beli, waris, bagi hasil dan sebagainya. Ketentuan mengenai Letter C sebagai bukti pendaftaran tanah diatur dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria No. 2/1962 mengenai Surat Pajak Hasil Bumi/ Verponding Indonesia atau surat pemberian Hak dan Instansi yang berwenang, dalam peraturan ini diatur bahwa sifat yang dimiliki Letter C, jadi Letter C merupakan bukti awal/pemula untuk mendapatkan tanda bukti hak katas tanah secara yuridis yaitu sertifikat.

7. Petok D

Seritifikat Tanah Petok D atau masyarakat awam menyebutnya letter C, istilah ini muncul pada zaman penjajahan Belanda saat itu dikenal pencatatan tanah pada tingkat kelurahan yang biasa disebut kretek desa. Adapun tujuan Belanda saat itu untuk mempermudah menelusuri pemilik atas bidang tanah untuk ditelusuri pembayaran upetinya ke VOC, bilaman ada pembayaran maka diberikan tanda pembayaran upeti saat iini dikenal PBB. Seiring dengan perkembangan setelah kemerdekaan kekuatan hukum pemegang hak letter C ini semakin melemah, kekuatan hukumnya diragukan dan rawan dipalsukan bahkan

622

Syntax Idea, Vol. 2, No 9, September 2020

This HTML is created from PDF at https://www.pdfonline.com/convert-pdf-to-html/

Studi Implementasi PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah

digandakan. Gambaran ini dapat dilihat dari dunia Perbankan tidak lagi mudah menerimanya sebagai surat tanah kepemilikan yang bisa dijadikan jaminan untuk mengambil kredit dari perbankan, karena banyaknya juga upaya-upaya yang tidak lagi asli dan benar didalam pembuatan Petok D tersebut. Sistem administrasi pencatatan di kretek desa yang sudah sangat tidak relevan lagi di era ke kinian. Mungkin saja ada yang menerimanya tetapi sangat rendah penilaiannya, sehingga yang menjadi anjuran adalah warga pemilik Petok D, Letter C diharapkan untuk meningkatkan sertifikat tanah petok D ke Hak Milik.

8. Model Jual Beli Tanah di Desa Tanjungsari

Dikarenakan kebutuhan dana kepentingan seperti adanya hajatan yang membutuhkan dana, dan penambahan modal kerja sehingga warga menjual tanahnya kepada warga yang menginginkan tanahnya, apakah itu sesama warga desa atau ada warga pembeli dari luar desa. Biasanya warga secara adat saja untuk berteransaksi jual beli tanah, dengan cara mendatangi RT, RW dan Kepala Desa untuk mengemukakan maksud dan tujuannya, yakni akan adanya niat untuk menjual tanahnya. Kebanyakan warga Desa Tanjungsari hanya memiliki catatan pemilikan tanah dari dasar pencatatan Letter C sebagai dasar untuk dibuatkan surat keterangan dari Kepala Desa. Akte Jual Beli cukup dengan materei kemudian disaksikan oleh Tokoh Msyarakat/Kepala Adat.

Menurut pengakuan perangkat desa di Desa Tanjungsari bahwa kebanyakan warga hanya bertahan pada data yang ada di Letter C dengan tidak menjadikan suatu kewajiban yang harus diusahakan oleh mereka untuk mengubahnya hak kepemilikan atas tanah yang masih berbentuk Girik, Petok D dan sejenisnya menjadi Seritifikat Hak Milik atas tanah yang dikuasainya. Mereka baru mendatangi Kantor Desa bilamana ada hajatnya untuk bertransaksi. Menurut Kepala Desa Tanjungsari bahwa ada kebiasaan yang perlu dirubah yakni masih adanya warga yang berperinsip bahwa Surat Keterangan yang berlandaskan Letter C atau Girik bahkan hanya Keterangan dan pengakuan dari Tokoh Masyarakat sudah cukup, tidak perlu lagi mengurusnya suarat tanah yang berbentuk Surat Hak Milik yang menurut mereka ada biaya yang harus dipersiapkan, waktu dan pengurusannya berbelit-belit. Sehingga warga yang akan berteransaksi jual beli tanah baru berusaha untuk mendatangi dan menemui perangkat desa di Kantor Desa untuk diuruskan Surat-Surat Tanah yang terkait Jual Beli. Masih minimnya minat untuk ber-upaya untuk mengurus dan merubah model jual beli tanah secara adat atau kebiasaan yang sudah lama terjadi.

Pihak pembeli dari warga di luar Desa Tanjungsari cenderung bersungguh sungguh untuk mengurus kelengkapan administrasi pertanahan yang bisa dipegang sebagai surat sah dan valid sebagai pegangan surat-surat tanah yang cukup kuat untuk membek-up suatu pemilikan tanah. Terutama pembeli tanah dari luar seperti dari Jakarta dan Bekasi dan daerah lainnya.

Namun sejak lima tahun belakangan ini ada perubahan sikap warga dalam hal jual beli secara adat. Di samping adanya upaya pemerintah untuk mengadakan

Syntax Idea, Vol. 2, No. 9, September 2020

623

This HTML is created from PDF at https://www.pdfonline.com/convert-pdf-to-html/

Muhammad Arafah Sinjar, Erni Agustina dan Taufiqurahman Sahuri

program sosialisasi Sadarkum atau sadar hukum terutama yang berkaitan dengan perkembangan hukum agraria dan sengketa-sengketa tanah yang muncul karena surat-surat pemilikan tidak kuat dan lemah sebagai dokumen pemilikan dan penguasaan tanah.

Juga karena seiring dengan perkembangan yang ada terutama sikap lembaga keuangan sebagai pihak kredior yaitu dunia perbankan yang tidak lagi terlalu berminat untuk menerima jaminan untuk meminjam uang di Bank dengan jaminan surat tanah yang berupa keterangan dari Kepala Desa yang hanya berdasarkan pada Girik maupun keterangan dari Letter C. Saat ini menurut Sekdes sudah mencapai lima puluh persen yang sadar akan pentingnya surat-surat tanah yang masih berbentuk Surat Keterangan yang berdasarkan Letter C, Petok D dan sejenisnya ditingkatkan menjadi Sertifikat Tanah Hak Milik yang sah dari badan Pertanahan.

Hasil yang dicapai peneliti yang dilanjutkan dengan kegiatan pengabdian masyarakat Penyuluhan Pendaftaran mereka sedikit demi sedikit walaupun tidak secara total namun inti persoalan tentang Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah sebagaimana pelaksana Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Agraria, menentukan bahwa transaksi jual beli tanah harus dibuat dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).

Luaran yang dicapai :

1.Memahami mekanisme jual beli tanah

2.Mengetahui pembayaran PBB yang diakibatkan dari jual beli tanah

3.Mereka menyadari kepastian hukum status tanah dengan sertifkat tanah

4.Mereka memahami dan resiko ketidak pastian status sebidang tanah secara hukum.

Kesimpulan

Sudah menjadi keyakinan dan pegangan hidup dalam transakasi jual beli tanah bagi Warga masyarakat Desa Tanjungsari Kecamatan Tanjungsari bahwa jual beli tanah yang penting ada pembayaran di hadapan Kepala Desa dan disaksikan oleh tokoh-tokoh masyarakat, Seperti Tokoh Adat dan disksikan oleh sebagian masyarakat dirasa dan diyakin sudah aman. Jadi ada semacam saling tahu sama tahu diantara mereka yang sangat akrab dan dekat di Desa karena ikatan kekeluargaan di Desa sangat tinggi dan etarat. Dehingga tidak mungkin ada pengingkaran atau penipuan tentan pelaksanaan transaksi jual beli tanah.

Pengetahuan warga masih minim Dalam hal memahami apa yang dimaksud dan tujuan penerapan Peraturan Pemerintah No, 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran tanah, belum memahami bagaimana resiko pemilikan tanh yang tidak mempunyai bobot hak yang bisa dipertanggungjawabkan, belum memahamai bagaimana pentingnya pendaftaran tanah di hadapan Pejabat Pertanahan. Sehingga tidak tahu bahwa resiko pemilikan tanah yang tidak diperkuat dengan serifikat tanah. Terutama mereka tidak tahu bagaimana pentingnya Sertifikat Tanah yang jelas terutama bimana pada waktunya ada Berkaitan dengan pembagian warisan Dalam keluarga.

624

Syntax Idea, Vol. 2, No 9, September 2020

This HTML is created from PDF at https://www.pdfonline.com/convert-pdf-to-html/

Studi Implementasi PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah

BIBLIOGRAFI

Boedi Harsono. (1977). Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang- Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaanya. Jakarta: Djambatan.

Haryanto, Totok Dwinur. (2012). Model Penatagunaan Tanah Di Indonesia Berdasarkan Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960. Wacana Hukum, 8(2).

Hukumonline. (2020). Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1979. Retrieved from https://m.hukumonline.com/pusatdata/detail/21518/node/795/pp-no-24-tahun-1979

Indonesia, PRESIDEN REPUBLIK, & Indonesia, Presiden Republik. (1960). Undang- undang no. 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria (Vol. 144). Ganung Lawu.

Lubis, Mhd. Yamin Lubis dan Abd. Rahim. (2008). Hukum Pendaftaran Tanah. Bandung: Penerbit Bandar Maju.

Martokusumo, Sudikno. (1988). Mengenal Hak Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty. Misbak, Misbak. (2018). IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PROGRAM PRIORITAS

LEGALISASI ASET SERTIFIKAT TANAH BAGI NELAYAN DI KOTA CIREBON. Syntax Literate; Jurnal Ilmiah Indonesia, 3(1), 60–74.

Parlindungan, A. .. (1993). Komentar Undang-Undang Pokok Agraria. Bandung: Manadar Maju.

Salman, Otje. (1993). Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris. Alumni. Soerjono Soekamto. (1983). Hukum Adat Indonesia. Jakarta: Rajawali.

Soerodjo, Irawan. (2003). Kepastian Hukum Hak Atas Tanah Di Indonesia. Surabaya:

Arkola.

Sudiyat, Iman. (1981). Hukum adat: sketsa asas. Liberty Yogyakarta.

Sutedi, Adrian. (2019). Peralihan hak atas tanah dan pendaftarannya. Sinar Grafika.

Tanya, Bernard L., Simanjuntak, Yoan N., & Hage, Markus Y. (2010). Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi. Yogyakarta: Genta Publishing.

Wulandari, Christina Dewi. (2012). Pengaruh Kompensasi terhadap Peningkatan Kinerja Pegawai pada Perusahaan X. UG Jurnal, 6(09).

Syntax Idea, Vol. 2, No. 9, September 2020

625

This HTML is created from PDF at https://www.pdfonline.com/convert-pdf-to-html/