Syntax Idea: p�ISSN: 2684-6853 e-ISSN: 2684-883X�����

Vol. 2, No. 7, Juli 2020

 

 


ANALISIS PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA PADA PASIEN DEMAM TYPOID RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT DAERAH GUNUNG JATI CIREBON

 

Triani Kurniawati dan Khoeriyah

Sekolah Tinggi Kesehatan (STIKES) An Nasher, Cirebon

Email: [email protected] dan [email protected]

 

Abstrak

Demam typoid adalah penyakit infeksi saluran pencernaan yang disebabkan oleh bakteri Salmonella Typhi. Penyakit ini merupakan salah satu penyakit yang sering terjadi, khususnya di negara berkembang. Dalam proses pengobatan penyakit demam typoid dibutuhkan antibiotika. Penggunaan antibiotika yang tidak tepat dapat meningkatkan resiko kejadian efek samping dan resistensi antibiotika. Tujuan Penelitian ini adalah mengetahui pola penggunaan antibiotika dan menganalisis rasionalitas penggunaan antibiotika pada pasien demam typoid rawat inap di Rumah Sakit Daerah Gunung Jati Cirebon periode 2018. Tinjauan Pustaka Penggunaan antibiotika disini di batasi pada tepat diagnosa, tepat indikasi, tepat obat dan tepat dosis. Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental yang bersifat retrospektif. Data yang diambil berasal dari rekam medik pasien demam typoid 49 pasien. Hasil penelitian menunjukan antibiotika yang sering digunakan adalah golongan sepalosporin, yaitu ceftriaxon sebanyak 55%. Dan untuk rasionalitas pengobatan adalah tepat diagnosa 100%, tepat indikasi 100% tepat obat 100% dan tepat dosis 84%.

 

Kata kunci: Demam Typoid; Antibiotika; Rasionalitas Obat

 

Pendahuluan

Demam typoid merupakan suatu penyakit yang menyerang saluran pencernaan dan disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi. Demam typoid sampai dengan saat ini masih sering dijumpai dibanyak di beberaapa negara berkembang, terutama negara yang memiliki suhu tropis dan subtropics (Widodo, 2008). Salmonella typhi adalah sejenis kuman batang Gram negatif, yang tidak mempunyai spora, ia hanya bergerak dengan flagel peritrik, dan bersifat intraseluler fakultatif dan anerob fakultatif (Iswari, R., Asmono, N., Santoso, U.S., 1998).

Sampai saat ini demam typoid masih menjadi masalah kesehatan global terutama di negara-negara berkembang, khususnya di Asia Tenggara, Afrika, dan Amerika Latin (Hatta & Smits, 2007). Insiden penyakit ini masih sangat tinggi dan diperkirakan sejumlah 21 juta kasus dengan lebih dari 700 kasus berakhir dengan kematian (Cita, 2011). Hal ini disebabkan penyebaran demam typoid berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk, serta standar-standar kesehatan industri pengolahan makanan yang masih rendah (Prasetyo, 2011).

World Health Organization (WHO) memperkirakan pada tahun 2012 angka kejadian demam typoid diseluruh dunia sekitar 17 juta jiwa per tahun, sedangkan angka kematian penyebab demam typoid mencapai 600.000 dan 70% terjadi di Asia. Di Indonesia sendiri, penyakit demam typoid bersifat endemik (Organization, 2000). Menurut WHO angka penderita demam typoid mencapai 81% per 100.000 populasi (Depkes, 2013). Pada area demam typoid banyak ditemukan kasus demam typoid terjadi pada usia 3-19 tahun.

Demam tifoid umumnya ditandai oleh demam sore hari dengan serangkaian keluhan klinis seperti anoreksia, mialgia, nyeri abdomen, dan obstipasi. Disertai juga dengan tanda seperti lidah kotor, rasa nyeri pada perut dan pembengkakan pada stadiumlanjut dari hati atau limpa atau keduanya (Nelwan, 2012). Manifestasi klinis demam tifoid yang terjadi pada anak tidak mempunyai ciri khas tersendiri dansangat bermacam-macam, melainkan seringnya diperoleh trias tifoid, yaitu demam yang dialami lebih dari 5 hari, adanya gangguan pada saluran pencernaan dan juga disertai atau tidak adanya gangguan kesadaran, serta bradikardia relatif (Cita, 2011). Umumnya perjalanan penyakit ini berlangsung dalam jangka waktu pendek dan jarang menetap lebih dari 2 minggu (NA, Hapsari, & Budijitno, n.d.).

Demam Tifoid dalam prinsip penatalaksanaanya masih menganut trilogi penatalaksanaan antara lain meliputi : perawatan dan istirahat yang cukup, diet dan terapi penunjang (baik simptomatik maupun suportif), juga pemberian antimikroba. Selain itu juga diperlukan tatalaksana komplikasi demam tifoid yang meliputi komplikasi intestinal atau ekstraintestinal (Depkes, 2013). Antibiotika merupakan obat utama yang sering dipakai oleh kebanyakan orang untuk mengobati penyakit infeksi seperti demam typoid. Penggunaan antibiotika seyogyanya bisa menyebabkan munuclnya masalah resistensi dan juga efek samping yang tidak diaharpkan pada obat (Juwono, 2004). Terhalangnya proses percepatan penyembuhan penyakit, efek samping pada obat mengalami peningkatan, dan muncullnya supra infeksi (Gunawan, 2007).

Penggunaan obat yang rasional merupakan tanggung jawab apoteker untuk menjamin efektifitas dan efisiensi penggunaan obat bagi pasien agar pasien dapat memperoleh obat yang sesuai kebutuhannya dengan harga yang sesuai. Penggunaan obat yang rasional sangat penting dalam rangka tercapainya kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat yang lebih baik (Cippole R.J, Strand L.M., 2012). Interaksi obat dapat didefinisikan sebagai kerja atau efek obat yang berubah, atau mengalami modifikasi sebagai akibat interkasi obat dengan satu atau lebih (Zuniarto & Pandanwangi, 2020). Selain itu, penggunaan obat yang rasional disertai dengan pemberian informasi obat yang benar dan lengkap mulai dari tentang manfaat farmakologis obat hingga cara penggunaannya akan mengoptimalkan terapi pasien. Sehingga, kondisi pasien akan membaik dan kualitas hidupnya meningkat (Anonim, 2000).

Secara praktis, penggunaan obat dikatakan rasional (Kemenkes, 2011) jika memenuhi kriteria:

1)        Diagnosis yang tepat��

2)        Indikasi yang tepat

3)        Pemilihan obat yang tepat

4)        Dosis yang tepat

5)        Pemberian obat dengan cara yang tepat

6)        Interval waktu pemberian obat yang tepat

7)        Lama pemberian obat yang tepat

8)        Waspada terhadap efek samping

9)        Penilaian kondisi pasien yang tepat

10)    Obat yang diberikan harus efektif dan aman dengan mutu terjamin, serta tersedia setiap saat dengan harga yang terjangkau

11)    Informasi yangtepat

12)    Tindak lanjut yang tepat (follow-up)

13)    Penyerahan obat yang tepat (dispensing)

14)    Pasien patuh terhadap perintah pengobatan yang dibutuhkan, ketidaktaatan minum obat umumnya terjadi pada keadaan berikut:

a.    Jenis dan/atau jumlah obat yang diberikan terlalu banyak

b.    Frekuensi pemberian obat per hari terlalu sering

c.    Jenis kesediaan obat terlalu beragam

d.    Pemberian obat dalam jangka panjang tanpa informasi

e.    Pasien tidak mendapatkan informasi/penjelasan yang cukup mengenai cara minum/menggunakan obat

f.     Timbulnya efek samping (misalnya ruam kulit dan nyeri lambung), atau efek ikutan (urin menjadi merah karena minum rifampisin) tanpa diberikan penjelasan terlebih dahulu).��

 

Metode Penelitian

Jenis metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan metode retrospektif karena data yang digunakan tidak diambil pada keadaan kasus selama perawatan, melainkan dari data lembar catatan medik pasien pada periode tertentu pada masa lampau. Tempat penelitian ini dilaksanakan pada pasien demam typoid rawat inap RSD Gunung Jati Cirebon dengan alamat Jalan Kesambi No. 56 Kota Cirebon.

Waktu pengambilan data penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2019, Analisis data dilaksanakan bulan Agustus 2019. Populasi yang digunakan adalah pasien demam typoid rawat inap yang tercantum dalam kartu rekam medik di RSD Gunung jati.Sampel dalam penelitian ini adalah data pasien demam typoid rawat inap dengan terapi antibiotika yang tercantum dalam kartu rekam medik di Rumah Sakit Daerah Gunung Jati pada periode Januari - Desember 2018.

Alat atau instrumen penelitian yang digunakan adalah lembar data pasien dan lembar penggunaan antibiotika (resep) yang akan digunakan sebagai data yang akan diambil untuk bahan penelitian. Lembar data tersebut terdiri dari nama pasien, jenis kelamin, tanggal masuk pasien, tanggal keluar pasien keterangan keluar pasien, nama antibiotika yang diresepkan, dosis pemakaian antibiotika, rute penggunaan antibiotika, bentuk sediaan antibiotika, lama penggunaan antibiotika serta penggunaan antibiotika.��

 

Hasil dan Pembahasan

Penelitian yang berjudul Analisis Penggunaan Antibiotika Pada Pasien Demam Typoid Rawat Inap di Rumah Sakit Daerah Gunung Jati Cirebon Periode Januari � Desember 2018 bertujuan untuk mengetahui pola penggunaan antibiotika dan rasionalitas obat pada pasien demam typoid rawat inap di RSD Gunung Jati Cirebon yang meliputi tepat diagnosa, tepat indikasi, tepat obat dan tepat dosis.

Berdasarkan perhitungan besar sampel, subjek yang telah memenuhi kriteria inklusi adalah 49 kasus, yaitu pasien demam typoid tanpa penyakit penyerta yang memiliki lembar rakam medik lengkap. Dari penelitian yang telah dilakukan di Rumah Sakit Daerah Gunung Jati Cirebon diperoleh data sebagai berikut :

1.      Karateristik Pasien :

Tabel 1

Jenis Kelamin

No

Jenis Kelamin

Frekuensi

Persentase

1

Laki-Laki

19

39%

2

Perempuan

30

61%

 

Jumlah

49

100%

 

Tabel 2

Usia

No

Umur (Tahun)

Frekuensi

Persentase

1

0 - 12

16

33%

2

13 - 24

18

37%

3

25 - 36

8

16%

4

37 - 48

2

4%

5

49 - 60

2

4%

6

61 +

3

6%

 

Jumlah

49

100%

 

2.      Jenis Antibiotika yang di gunakan

Tabel 3

Jenis antibiotika

No

Nama Antibiotik

Jumlah Obat

Persentase

1

Seftriakson

27

55%

2

Kloramfenikol

8

16%

3

Siprofloksasin

5

10%

4

Cefixime

4

8%

5

Thiampenikol

3

6%

6

Amoxsisilin

2

4%

 

Jumlah

49

100%

 

3.      Rasionalitas Antibiotika

Tabel 4

Tepat Diagnosa

No

Tepat Diagnosa

Frekuensi

Persentase

1

Tepat diagnosa

49

100%

2

Tidak tepat diagnosa

0

0%

 

Jumlah

49

100%

 

Tabel 5

Tepat Indikasi

No

Tepat Indikasi

Frekuensi

Persentase

1

Tepat indikasi

49

100%

2

Tidak tepat indikasi

0

0%

 

Jumlah

49

100%

 

Tabel 6

Tepat Obat

No

Tepat Obat

Frekuensi

Persentase

1

Tepat obat

49

100%

2

Tidak tepat obat

0

0%

 

Jumlah

49

100%

 

Tabel 7

Tepat Dosis

No

Tepat Dosis

Frekuensi

Persentase

1

Tepat dosis

41

84%

2

Tidak tepat dosis

8

16%

 

Jumlah

49

100%

 

Kesimpulan

Antibiotika yang paling banyak digunakan untuk pasien demam typoid rawat inap adalah golongan antibiotika sepalosporin generasi ke 3 yaitu seftriakson dengan persentase 55%, kloramfenikol 16%, siprofloksasin 10%, cefixime 8%, thiampenikol 6%, dan amoksisilin 4%.

Dari hasil kajian rasionalitas penggunaan obat pada pasien rawat inap demam typoid di Rumah Sakit Daerah Gunung Jati Cirebon dengan parameter tepat diagnosa, tepat indikasi, tepat obat, tepat dosis yang dilihat dari rekam medik dan literatur diperoleh hasil : (a) Ketepatan diagnosa pada pasien demam typoid rawat inap di Rumah Sakit Daerah Gunung Jati Cirebon diperoleh hasil 100%, (b). Ketepatan indikasi pada pasien demam typoid rawat inap di Rumah Sakit Daerah Gunung Jati Cirebon diperoleh hasil 100%, (c). Ketepatan obat pada pasien demam typoid rawat inap di Rumah Sakit Daerah Gunung Jati Cirebon diperoleh hasil 100%. (d). Ketepatan dosis pada pasien demam typoid rawat inap di Rumah Sakit Daerah Gunung Jati Cirebon diperoleh hasil 84%.

BIBLIOGRAFI

 

Anonim, Departemen Kesehatan RI. (2000). Informasi Obat Nasional Indonesia. Jakarta: . Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan.

 

Cippole R.J, Strand L.M., dan Morley P. .. (2012). Pharmaceutical Care Practice: Patient-Centered Approach to Medication Management (3rd Editio). New York City: McGraw Hill.

 

Cita, Yatnita Parama. (2011). Bakteri Salmonella typhi dan demam tifoid. Jurnal Kesehatan Masyarakat Andalas, 6(1), 42�46.

 

Depkes, R. I. (2013). Laporan Tahunan Promkes Tahun 2006. Depkes RI. Jakarta.

 

Gunawan, S. G. (2007). Farmakologi dan Terapi (Edisi Keli). Jakarta: Penerbit Departemen Farmakologi dan Therapeutik FKUI.

 

Hatta, Mochammad, & Smits, Henk L. (2007). Detection of Salmonella typhi by nested polymerase chain reaction in blood, urine, and stool samples. The American Journal of Tropical Medicine and Hygiene, 76(1), 139�143.

 

Iswari, R., Asmono, N., Santoso, U.S., S. Lina. (1998). Pola kepekaan kuman Salmonella terhadap obat kloramfenikol, ampisilin dan kotrimoksazol selama kurun waktu 1979- 24. 1983. Majalah Kedokteran Indonesia, 36:13-19.

 

Juwono, R. (2004). Ilmu Penyakit Dalam (Jilid 1). Jakarta: Fakultas Kedokteran UI.

 

NA, Carolina Innesa, Hapsari, MMDEAH, & Budijitno, Selamet. (n.d.). Perbaikan Gambaran Klinis Demam Terhadap Terapi Antibiotik Pada Anak Dengan Demam Tifoid. Jurnal Kedokteran Diponegoro, 2(1), 114224.

 

Nelwan, R. H. H. (2012). Tata laksana terkini demam tifoid. Cermin Dunia Kedokteran, 39(4), 247�250.

 

Organization, World Health. (2000). Health topics Typoid fever. Weekly Epidemiological Record, 75(21), 257�264. Retrieved from http://www.who.int/topics/typoid fever/en/

 

Prasetyo, R. V. &. Ismoedijanto. (2011). Metode Diagnostik Demam Tifoid pada Anak. Retrieved September 6, 2011, from www.pediatrik.com/buletin/06224114418-f53zji.doc

 

RI, Kementrian Kesehatan. (2011). Pedoman Pelayanan Kefarmasian Untuk Terapi Antibiotik. Jakarta.

 

Widodo, D. (2008). Demam Typoid, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta.

 

Zuniarto, Ahmad Azrul, & Pandanwangi, Siti. (2020). Kajian Interaksi Obat Pada Resep di Poli Penyakit Dalam RSU X Cirebon. Syntax Literate; Jurnal Ilmiah Indonesia, 5(4), 9�21.