How to cite:
Samparisna Koibur (2024) Implementasi SSL VPN (Secure Socket Layer Virtual Private Network)
Pada Badan Bank Tanah, (06) 09,
E-ISSN:
2684-883X
SEJARAH OTONOMI KHUSUS PAPUA SEBUAH UPAYA MENYELESAIKAN
KONFLIK
Samparisna Koibur
Universitas Indonesia, Indonesia
Abstrak
Konstitusi Indonesia tidak mengenal adanya pengkhususan suku, ras dan agama yang
dikaitkan dengan hak-hak politik warga negara. Keanekaragaman suku, ras dan agama tapi
tetap satu itulah esensi semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi landasan semangat
persatuan seperti tersurat dalam UUD 1945. Sebagaimana Sukarno dan Mohammad Yamin,
para nasionalis Indonesia juga berpendapat bahwa status politik Papua sebagai bagian integral
Indonesia telah selesai. Premis ini berdasar fakta bahwa rakyat Papua melalui DMP telah
memilih atau memutuskan bergabung dengan Indonesia dalam Pepera. Penelitian ini
dimaksudkan untuk menjelaskan latar belakang historis dari pemberian status otonomi khusus
bagi Papua, mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhinya, serta menilai keberhasilan
kebijakan ini dalam meredakan konflik dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua.
Tipe penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif analitik.
Penelitian ini diperoleh hasil Pemberian otonomi khusus kepada Papua merupakan upaya
pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan konflik yang berkepanjangan dan memberikan
kesejahteraan bagi masyarakat Papua. Namun, pelaksanaan otonomi khusus ini masih
menghadapi berbagai tantangan, seperti perbedaan persepsi antara pemerintah pusat dan
daerah, terbatasnya sumber daya manusia, dan masih adanya kelompok yang menginginkan
kemerdekaan.
Kata Kunci: Otonomi, Papua, Konflik
Abstract
The Indonesia Constitution does not recognize the specialization of ethnicity, race and
religion associated with the political rights of citizens. Diversity of ethnicities, races and
religions but still one is the essence of the motto Bhinneka Tunggal Ika which is the
foundation of the spirit of unity as stated in the 1945 Constitution. Like Sukarno and
Mohammad Yamin, Indonesia nationalists also argue that Papua's political status as an
integral part of Indonesia has been completed. This premise is based on the fact that the
Papuan people through the DMP have chosen or decided to join Indonesia in Pepera. This
study aims to unravel the long history of granting special autonomy to Papua, analyze the
factors behind it, and evaluate the extent to which this policy has been successful in
overcoming conflicts and realizing the welfare of the Papuan people. This type of research
uses a qualitative method with a descriptive analytical approach. This research was obtained
as a result of the granting of special autonomy to Papua as an effort by the Indonesia
government to resolve prolonged conflicts and provide welfare for the Papuan people.
However, the implementation of this special autonomy still faces various challenges, such as
JOURNAL SYNTAX IDEA
pISSN: 2723-4339 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 6, No. 09, September 2024
Samparisna Koibur
6076 Syntax Idea, Vol. 6, No. 09, September 2024
differences in perception between the central and regional governments, limited human
resources, and there are still groups that want independence.
Keywords: Autonomy, Papua, Conflict
PENDAHULUAN
Provinsi Papua, dengan kekayaan alamnya yang melimpah dan keragaman budaya yang
unik, telah menjadi pusat perhatian nasional maupun internasional. Sejarah panjang wilayah
ini, khususnya hubungannya dengan pemerintah pusat, telah diwarnai oleh berbagai dinamika,
termasuk konflik yang berkepanjangan. Sebagai upaya untuk menyelesaikan konflik dan
memberikan kesejahteraan bagi masyarakat Papua, pemerintah Indonesia memberikan status
otonomi khusus kepada provinsi ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengurai sejarah panjang
pemberian otonomi khusus kepada Papua, menganalisis faktor-faktor yang
melatarbelakanginya, serta mengevaluasi sejauh mana kebijakan ini berhasil dalam mengatasi
konflik dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat Papua.
Konflik di Papua merupakan masalah kompleks yang memiliki akar sejarah yang
panjang. Sejak integrasi Papua ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) pada tahun 1969, Ketidakadilan, diskriminasi, serta distribusi yang tidak merata atas
sumber daya alam menjadi pemicu perlawanan di kalangan masyarakat Papua.
Konflik yang terjadi di Papua berakar dari sebuah ketidakadilan yang bersumber dari
ketidakmerataan distribusi hasil-hasil pembangunan ekonomi yang dijalankan oleh orde baru.
Proses ketidakmerataan distribusi hasil-hasil pembangunan ekonomi ini pada akhirnya
terlembaga menjadi sebuah upaya pemiskinan yang sifatnya terstruktur dan permanen apakah
itu memang disengaja atau secara otomatis konsep pembangunan ekonomi yang dijalankan
dan sekaligus berfungsi sebagai sebuah ideologi negara mau tidak mau harus lebih
memperhatikan kebutuhan pusat daripada daerah sebagai sumber kekuatan dana
pembangunan (Rathgeber, 2006).
Terkait dengan konflik yang terjadi, Komnas HAM menuliskan bahwa ada 41 kasus
kekerasan yang terjadi di Tanah Papua mulai 1 Januari sampai 1 Juni 2024. Dari puluhan
kasus tersebut didominasi oleh peristiwa kontak senjata dan penembakan sebanyak 25 kasus.
Kepala Perwakilan Komnas HAM Papua Frits Ramandey mengatakan, akibat berbagai kasus
kekerasan itu tercatat 53 orang menjadi korban, di mana 32 orang meninggal dunia dan 21
orang luka-luka (Saputra et al., 2024).
Konflik di Papua semakin manifest dan upaya untuk memerdekaan diri juga semakin
intensif, setelah pemerintahan Soeharto jatuh. Dalam tulisan di jurnalnya, Suropati, (2019)
menuliskan bahwa dalam pandangan kaum nasionalis Indonesia, menurut (Kivimäki &
Thorning, 2002) orang Papua tanpa memandang suku, ras dan agama adalah termasuk orang
Indonesia, karena mereka tinggal dalam wilayah eks-jajahan Hindia Belanda dan mengalami
nasib yang sama pada masa penjajahan. Undang-Undang Dasar Indonesia tidak memuat
ketentuan khusus terkait suku, ras, atau agama yang berkaitan dengan hak politik setiap warga
negara. Keberagaman ini, yang mencakup suku, ras, dan agama, terwujud dalam prinsip
Bhinneka Tunggal Ika yang tercantum dalam UUD 1945 sebagai fondasi persatuan nasional.
Sebagaimana Sukarno dan Mohammad Yamin, para nasionalis Indonesia juga berpendapat
bahwa status politik Papua sebagai bagian integral Indonesia telah selesai. Premis ini berdasar
fakta bahwa rakyat Papua melalui DMP telah memilih atau memutuskan bergabung dengan
Indonesia dalam Pepera. Oleh karena itu, ide separatisme atau keinginan merdeka menjadi
satu persoalan yang tidak bisa ditoleransi, karena bertentangan dengan konstitusi (Suropati,
2019).
Sejarah Otonomi Khusus Papua Sebuah Upaya Menyelesaikan Konflik
Syntax Idea, Vol. 6, No. 09, September 2024 6077
Akar masalah pertama adalah debat sejarah integrasi, status politik dan identitas politik
Papua karena perbedaan cara pandang yang diametral antara kaum nasionalis Indonesia dan
nasionalis Papua. Persetujuan New York 1962 yang di dalamnya berisi keharusan rakyat
Papua melaksanakan Pepera, suatu keputusan yang dengan berat hati Sukarno harus
menerimanya. Itulah sebabnya tiga hari pasca-penyerahan Papua dari UNTEA, Sukarno
merespons dengan berpidato di Jayapura dan dengan tegas mengatakan bahwa sejak
Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945, sejarah integrasi, status politik dan
identitas politik Papua telah selesai. Alasannya bukan semata fakta sejarah mendukung klaim
tersebut, tapi tentu karena Papua adalah juga wilayah jajahan Hindia Belanda (Penders, 2021).
Dengan kata lain, masalah utama konflik Papua dilandasi pemikiran kaum nasionalis
Indonesia terhadap konstruksi pemaknaan Papua sebagai wacana kolonial yang melegitimasi
kehadiran Indonesia. Sayang pada saat bersamaan kaum nasionalis Indonesia cenderung
memandang rendah orang Papua. Hasil penelitian LIPI (2004) memperkuat premis bahwa
masalah utama Papua karena perbedaan mendasar konstruksi nasionalisme Indonesia vs
nasionalisme Papua. (Kivimäki & Thorning, 2002) Para nasionalis Indonesia juga
berpendapat bahwa status politik Papua telah selesai karena perwakilan-perwakilan orang
Papua telah memilih bergabung dengan Indonesia dalam Pepera 1969 sebagaimana ditentukan
dalam Persetujuan New York 1962. Bagi kelompok ini, gagasan separatisme adalah tindakan
yang bertentangan dengan hukum karena keutuhan negara merupakan hal yang sakral
(Kivimäki & Thorning, 2002).
Kaum nasionalis Indonesia bisa saja mengklaim bahwa sejarah integrasi, status politik
dan identitas politik Papua telah final. Tapi tentu tidak demikian dengan kaum nasionalis
Papua, kelompok elite perlawanan yang menurut (McGibbon, 2006) kelahirannya dipicu
janji-janji kosong kemerdekaan oleh Belanda. Tapi karena posisi tawar lemah, Belanda
cenderung enggan melanjutkan pembicaraan bertema kemerdekaan. Walaupun usahanya
mendeklarasikan kemerdekaan gagal, tapi semangatnya tetap dipelihara oleh para nasionalis
Papua kontemporer sebagai modal utama melanjutkan perjuangan mewujudkan cita-cita
kemerdekaan. Kelompok inilah yang selama ini dikenal gigih melakukan berbagai manuver
untuk membangun perlawanan. Antara lain wacana kepapuaan berdasar perbedaan ras, yaitu
orang Papua ras Melanesia, dan orang-orang Indonesia lainnya ras Polinesia. (McGibbon,
2006) Klaim rasial ini diperkuat dengan perbedaan identitas politik dan identitas nasional
berdasar cara pandang atau interpretasi terhadap hukum internasional dan sejarah Papua.
Contohnya Persetujuan New York 1962 yang dalam prosesnya tidak melibatkan orang asli
Papua sama sekali, sehingga mereka merasa ditinggalkan. Hal yang sama terulang pada
penentuan status politik Papua melalui mekanisme Pepera tahun 1969. Kaum nasionalis
Papua menganggap orang asli Papua tidak diberi tempat, karena dari 1.026 orang
perwakilannya di DMP, seluruhnya ditentukan pihak militer Indonesia. Secara keseluruhan,
baik prosedur penentuan perwakilan DMP maupun proses pelaksanaan Pepera dianggap tidak
fair, dan menghilangkan kesempatan orang asli Papua untuk menentukan nasibnya sendiri.
Dengan kata lain, orang asli Papua merasa tidak dilibatkan dalam proses pengambilan
keputusan penting menyangkut masa depannya. Akibatnya, tidak sedikit orang asli Papua
memendam kekecewaan tentang proses integrasi Tanah Air mereka (McGibbon, 2006).
Penelitian terdahulu terkait dengan Otonomi Khusus Papua ataupun problem Papua
yakni (Webb-Gannon, 2014). Dalam jurnalnya berjudul “Merdeka in West Papua : peace,
justice and political independence”. Dituliskan bahwa…pemimpin demonstrasi terus menerus
meneriakkan, "Papua!" melalui sebuah megafon yang menggema; kerumunan massa - yang
dicat dengan warna merah, putih dan biru bendera nasionalis Bintang Kejora, mengenakan
bulu dan perhiasan tradisional atau batik yang terinspirasi dari desain Papua Barat -
Samparisna Koibur
6078 Syntax Idea, Vol. 6, No. 09, September 2024
meneriakkan kembali, "Merdeka!". Demonstrasi ini menandai dimulainya protes rakyat
terbesar dalam sejarah Papua Barat, yang menyerukan agar pemerintah provinsi Papua Barat
"mengembalikan" Undang-Undang Otonomi Khusus tahun 2001 yang sangat dibenci dan
tidak berhasil ke Jakarta, serta meminta diadakannya referendum mengenai status politik
Papua Barat. Sejak pengambilalihan tanah mereka oleh Indonesia pada tahun 1962-1963,
rakyat Papua Barat telah berkampanye untuk kemerdekaan melalui jalur diplomatik,
perlawanan sipil dan militer. Undang-Undang Otonomi Khusus tahun 2001 merupakan upaya
pemerintah Indonesia pasca-Suharto untuk menenangkan masyarakat internasional dan rakyat
Papua Barat dengan merespon tuntutan kemerdekaan Papua Barat dengan kompromi yang
menjanjikan otonomi yang lebih besar bagi provinsi tersebut. Di atas kertas, kompromi
tersebut mencakup konsesi yang signifikan bagi rakyat Papua, seperti memberikan lebih
banyak keuntungan yang mengalir kembali ke Papua Barat dari tambang emas dan tembaga
Freeport McMoRan yang menguntungkan, mengizinkan kebebasan berekspresi secara
kultural, termasuk hak mengibarkan bendera Bintang Kejora, "meluruskan" perbedaan
pemahaman antara orang Papua dan orang Indonesia mengenai sejarah Papua Barat, serta
menjanjikan peningkatan fasilitas pendidikan dan kesehatan. Namun, dalam praktiknya,
hanya sedikit dari janji-janji tersebut yang terwujud dan, dalam waktu kurang dari satu
dekade, sebagian besar masyarakat Papua telah menganggap implementasi undang-undang
tersebut sebagai sebuah kegagalan.
METODE PENELITIAN
Tipe penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif
analitik. Yang dimaksud dengan deskriptif adalah metodologi yang menemukan pengetahuan
tentang obyek penelitian pada suatu masa tertentu dengan cara mengumpulkan data berupa
kata - kata, gambar dan bukan angka-angka (Moleong, 2017). Ide penelitian kualitatif adalah
dengan sengaja memilih informan atau dokumen atau bahan - bahan visual yang dapat
memberikan jawaban terbaik pertanyaan penelitian (Creswell, 2019). Penelitian dilakukan
dengan teknik pengumpulan data kepustakaan (library research), dengan data-data seperti
buku, makalah, terbitan-terbitan berkala, surat kabar, undang-undang, surat keputusan atau
ketetapan pemerintah, hasil-hasil penelitian, laporan-laporan peristiwa, kliping dan
sebagainya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pembangunan di Papua merupakan isu yang kompleks dan multidimensi. Sejak
diberikannya otonomi khusus, berbagai upaya pembangunan telah dilakukan oleh pemerintah
pusat dan daerah. Namun, masih banyak tantangan yang harus dihadapi, seperti pembangunan
infrastruktur masih belum merata, terutama di daerah-daerah terpencil. Akses terhadap
transportasi, energi, dan komunikasi masih menjadi kendala, kualitas sumber daya manusia
masih perlu ditingkatkan, terutama di bidang pendidikan dan kesehatan, kesenjangan sosial
antara masyarakat asli Papua dengan pendatang masih cukup tinggi dan eksploitasi sumber
daya alam yang belum optimal dan seringkali menimbulkan konflik kepentingan.
Pemberian otonomi khusus adalah langkah untuk mengatasi konflik di Papua serta
memberikan masyarakat setempat kesempatan lebih besar untuk mengatur wilayah mereka
secara mandiri. Otonomi Khusus mempunyai kelebihan bahwa pemerintah daerah memiliki
kewenangan yang lebih luas dalam mengelola sumber daya alam dan mengatur pemerintahan,
masyarakat Papua memiliki kesempatan yang lebih besar untuk terlibat dalam pengambilan
Sejarah Otonomi Khusus Papua Sebuah Upaya Menyelesaikan Konflik
Syntax Idea, Vol. 6, No. 09, September 2024 6079
keputusan, dan diharapkan otonomi khusus dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat
Papua (Latupeirissa et al., 2021).
Akan tetapi penerapannya, Otsus hingga kini belum berjalan optimal. Berbagai kendala
menghinggapi perjalanannya diantaranya; distrubusi kewenangan dan aliran dana yang tidak
jelas, inkonsistensi pemerintah pusat dan Pemda Papua, hingga konflik kepentingan dan
kekuasaan di antara elit lokal Papua, yang akhirnya mengakibatan menurunnya kepercayaan
masyarakat Papua. Informan penelitian mengatakan bahwa penerapan UU No. 21 Tahun 2001
belum efektif dalam meningkatkan kesejahteraan warga Papua yang sebagian besar tetap
miskin dan banyak yang kelaparan, serta dana otonomi khusus seakan belum menyentuh
masyarakat kecil. Setidaknya ada empat hal yang menyebabkan UU belum memenuhi
harapan masyarakat, yaitu belum ada penguat hukum (peraturan daerah Provinsi dan
peraturan daerah khusus), belum ada kesesuaian fungsi pemerintahan, belum ada sumber daya
manusia (SDM) yang memadai, dan terbatasnya fasilitas pemerintahan (Anugerah, 2019).
Selanjutnya, kendala yang muncul dan mengganggu efektifitas dalam penerapan Otsus
itu dapat dijelaskan lebih jauh sebagai berikut: Pertama, lambatnya penerbitan Peraturan
Pemerintah (PP) No 54 Tahun 2004 tentang Pembentukan Majelis Rakyat Papua (MRP).
Sejak Pemerintah Provinsi Papua memasukkan Draft PP tentang pembentukan Majelis Rakyat
Papua (MRP) Tahun 2002, implementasi pembentukan Majelis Rakyat Papua baru
dilaksanakan pada Bulan November 2005, padahal berdasarkan aturan yang ada lembaga ini
harus dibentuk paling lambat satu tahun setelah UU Otsus diberlakukan. Kedua, minimnya
aturan pelaksanaan dalam bentuk Perdasi dan Perdasus. Dalam kurun penerapan UU Otsus
bagi Provinsi Papua khususnya penyusunan peraturan pelaksanaan dalam bentuk Perdasi dan
Perdasus belum berjalan optimal padahal untuk mengejawantahkan UU No 21 Tahun 2001
diperlukan adanya Perdasi dan Perdasus sebagai instrumen operasionalisasi dalam
mewujudkan citacita pembangunan yang berorientasi pada perlindungan dan penegakan hak-
hak dasar orang asli Papua. Hal ini dipertegas dalam pasal 75 UU No 21/2001 bahwa
"peraturan pelaksanaan yang dimaksud dalam Undang-undang Otonomi Khusus ditetapkan
paling lambat 2 (dua) tahun sejak diundangkan". Ketiga, lemahnya konsistensi atas
perlindungan dan penegakan HAM. Harus diakui implementasi UU Otsus tidak serta-merta
mampu membawa perubahan signifikan dalam proses penegakan HAM di Papua (Suriadin,
2022).
Adanya pemekaran wilayah, memunculkan akibat ketergesa-gesaan pemerintah dalam
menjalankan kebijakan pemekaran yang sebenarnya dimaksudkan untuk mengefektifkan
fungsi pelayanan pemerintahan dan pemerataan pembangunan di wilayah Papua. Namun
demikian, kebijakan pemekaran sebagaimana dimaksud pemerintah justru memicu terjadinya
konflik mengingat terbitnya Inpres Nomor 1/2003 pada tanggal 27 Januari 2003 tentang
percepatan pelaksanaan Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999 yaitu pembentukan Provinsi
Irian Jaya Barat, Irian Jaya Tengah, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten
Puncak Jaya, dan Kota Sorong, dibuat tanpa melibatkan MPRP sebagaimana amanat UU
Otsus. Konflik yang terjadi baik akibat pemekaran wilayah maupun proses pergantian
kekuasaan yang melibatkan elit lokal di Papua ini mengganggu efektifitas penyelenggaraan
pemerintahan di beberapa daerah di Papua dan pada akhirnya mempengaruhi penerapan
Otonomi Khusus (Wanimbo, 2015). Sebagaimana tersirat di dalam Undang-undang Otonomi
Khusus Papua yang menegaskan bahwa keberhasilan pelaksanaan Undang-undang Otonomi
Khusus sangat tergantung sejauh mana tata pemerintahan yang baik (good governance)
berjalan dengan efektif dan efisien dalam kerangka melayani kepentingan publik yang lebih
adil, demokratis dan acountabilty (NASIONAL, 2020).
Samparisna Koibur
6080 Syntax Idea, Vol. 6, No. 09, September 2024
Mengenai konflik, informan penelitian mengutarakan bahwa konflik di Papua memiliki
berbagai bentuk, mulai dari konflik bersenjata hingga konflik sosial. Beberapa faktor yang
memicu konflik antara lain (Taum, 2015):
1. Perbedaan kepentingan: Perbedaan kepentingan antara pemerintah pusat, pemerintah
daerah, dan masyarakat adat.
2. Pelanggaran HAM: Adanya dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat
keamanan.
3. Kesenjangan sosial: Kesenjangan sosial yang tinggi memicu rasa ketidakadilan dan
ketidakpuasan.
4. Pengaruh kelompok separatis: Adanya kelompok separatis yang terus melakukan
perlawanan terhadap pemerintah.
Upaya Penyelesaian Konflik, adalah dengan melakukan dialog Pemerintah terus
berupaya melakukan dialog dengan berbagai pihak untuk mencari solusi damai. Selain itu,
pemerintah berupaya menegakkan hukum dan memberikan perlindungan kepada masyarakat
dan pembangunan infrastruktur dan peningkatan kesejahteraan masyarakat diharapkan dapat
mengurangi potensi konflik.
KESIMPULAN
Pembangunan di Papua, nasionalisme dan aspirasi kemerdekaan, otonomi khusus, dan
konflik di Papua merupakan isu yang saling terkait dan kompleks. Untuk menyelesaikan
masalah di Papua diperlukan pendekatan yang komprehensif dan melibatkan semua pihak
terkait. Pemberian otonomi khusus kepada Papua merupakan upaya pemerintah Indonesia
untuk menyelesaikan konflik yang berkepanjangan dan memberikan kesejahteraan bagi
masyarakat Papua. Namun, pelaksanaan otonomi khusus ini masih menghadapi berbagai
tantangan, seperti perbedaan persepsi antara pemerintah pusat dan daerah, terbatasnya sumber
daya manusia, dan masih adanya kelompok yang menginginkan kemerdekaan.
BIBLIOGRAFI
Anugerah, B. (2019). Papua: Mengurai Konflik dan Merumuskan Solusi. Jurnal Lemhannas
RI, 7(4), 5165.
Creswell, J. W. (2019). Research design: Pendekatan metode kualitatif, kuantitatif dan
campuran.
Kivimäki, T., & Thorning, R. (2002). Democritization and Regional Power Sharing in
Papua/Irian Jaya: Increased Opportunites and Decreased Motivations for Violence. Asian
Survey, 42(4), 651672.
Latupeirissa, J. J. P., Wijaya, I. P. D., & Suryawan, I. M. Y. (2021). Problematika
pelaksanaan kebijakan otonomi khusus kepada daerah Papua dan Papua Barat dengan
perspektif kebijakan publik. Sawala: Jurnal Administrasi Negara, 9(2), 168178.
McGibbon, R. (2006). Pitfalls of Papua. Lowy Institute for International Policy, Sydney.
Moleong, L. J. (2017). Metodologi penelitian kualitatif (Revisi). Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 102107.
NASIONAL, B. P. H. (2020). Hasil Penyelarasan Naskah Akademik Rancangan Undang-
Undang Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001
Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.
Penders, C. L. M. (2021). The West New Guinea Debacle: Dutch Decolonisation and
Indonesia, 1945-1962. Brill.
Rathgeber, T. (2006). Hak-hak ekonomi, sosial dan budaya di Papua Barat: studi realita sosial
Sejarah Otonomi Khusus Papua Sebuah Upaya Menyelesaikan Konflik
Syntax Idea, Vol. 6, No. 09, September 2024 6081
dan perspektif politik. (No Title).
Saputra, A., Rahman, N. A., & Kurniati, K. (2024). Hukuman Mati: Dilema Antara Maslahat
Mursalah dan Hak Asasi Manusia di Indonesia. ALADALAH: Jurnal Politik, Sosial,
Hukum Dan Humaniora, 2(4), 148159.
Suriadin, S. (2022). Analisis Resolusi Konflik Pasca Disahkan Undang Undang Nomor 2
Tahun 2021 Tentang Otonomi Khusus Jilid II Papua. Politeia: Jurnal Ilmu Politik, 14(2),
8697.
Suropati, U. (2019). Solusi Komprehensif Menuju Papua Baru: Penyelesaian Konflik Papua
Secara Damai, Adil dan Bermartabat. Jurnal Lemhannas RI, 7(1), 7389.
Taum, Y. Y. (2015). Kekerasan dan konflik di papua: akar masalah dan strategi
mengatasinya. Jurnal Penelitian, 19(1).
Wanimbo, D. (2015). Implementasi Otonomi Khusus dalam Proses Pelayanan Publik1 (Studi
Tentang Proses Pelayanan Bidang Pendidikan dan Kesehatan Kabupaten Lanny Jaya
Propinsi Papua). Politico: Jurnal Ilmu Politik, 2(6), 1064.
Webb-Gannon, C. (2014). Merdeka in West Papua: peace, justice and political independence.
Anthropologica, 353367.
Copyright holder:
Samparisna Koibur (2024)
First publication right:
Syntax Idea
This article is licensed under: