How to cite:
Fuji Pratama, Hendri J Pandiangan, Armunanto Hutahaean (2024) Efektifitas Penerapan Regulasi
Tindak Pidana Pemilu dalam Mengatasi Aktor Non Formal dalam Praktek Perantara, (06) 09,
E-ISSN:
2684-883X
EFEKTIFITAS PENERAPAN REGULASI TINDAK PIDANA PEMILU DALAM
MENGATASI AKTOR NON FORMAL DALAM PRAKTEK PERANTARA
Fuji Pratama, Hendri J Pandiangan, Armunanto Hutahaean
Universitas Kristen Indonesia, Indonesia
Abstrak
Praktek perantara dalam pemilu seringkali melibatkan aktor non-formal yang berperan
penting dalam mempengaruhi hasil pemilu melalui cara-cara yang melanggar hukum.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efektifitas dan kendala penerapan regulasi tindak
pidana pemilu dalam mengatasi aktor non formal dalam praktek perantara di Kabupaten
Belitung. Studi ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif-analitis Data
dikumpulkan melalui wawancara dan observasi mendalam. Informan adalah Masyarakat dan
Bawaslu. Hasil penelitian menunjukkan penerapan regulasi tindak pidana pemilu dalam
mengatasi aktor non-formal dalam praktek perantara belum sepenuhnya efektif karena
kesulitan dalam pembuktian. Dalam upaya menegakkan integritas dan keadilan Pemilihan
Umum di Kabupaten Belitung, terdapat tantangan besar terkait praktik politik uang yang
melibatkan aktor non-formal sebagai perantara. Tantangan ini mencakup kedudukan aktor
non-formal, faktor regulasi, bentuk pemberian politik uang yang tidak teridentifikasi sebagai
kasus politik uang, serta rendahnya kesadaran politik masyarakat.
Kata Kunci: Aktor Non-Formal, Efektivitas, Penegakan Hukum, Pemilu, Praktek Perantara,
Abstract
Election intermediary practices often involve non-formal actors who play a significant role in
influencing election outcomes through illegal means. This study aims to analyze the
effectiveness and challenges of implementing electoral crime regulations in addressing non-
formal actors in intermediary practices in Belitung Regency. The study uses a qualitative
method with a descriptive-analytical approach. Data were collected through in-depth
interviews and observations. Informants included the community and the Election Supervisory
Committee (Bawaslu). The results indicate that the implementation of electoral crime
regulations to address non-formal actors in intermediary practices has not been fully effective
due to difficulties in proving allegations. In efforts to uphold the integrity and fairness of
elections in Belitung Regency, there are significant challenges related to money politics
practices involving non-formal actors as intermediaries. These challenges include the
position of non-formal actors, regulatory factors, forms of money politics that are not
identified as cases of electoral corruption, and the low political awareness of the community.
Keywords: Non-Formal Actors, Effectiveness, Law Enforcement, Elections, Intermediary
Practices
.
JOURNAL SYNTAX IDEA
pISSN: 2723-4339 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 6, No. 09, September 2024
Fuji Pratama, Hendri J Pandiangan, Armunanto Hutahaean
3856 Syntax Idea, Vol. 6, No. 09, September 2024
PENDAHULUAN
Pemilihan umum (Pemilu) memiliki peran yang sangat penting dalam sistem demokrasi
suatu negara. Sebagai pilar utama dalam proses demokrasi, Pemilu memberikan warga negara
hak untuk secara langsung atau tidak langsung memilih para pemimpin mereka dan
menentukan arah serta kepemimpinan suatu negara. Melalui Pemilu, masyarakat memiliki
kesempatan untuk mengekspresikan pandangan politik mereka, mengajukan aspirasi, dan
memilih para pemimpin yang dianggap akan mewakili kepentingan mereka dengan baik.
Proses Pemilu yang adil, transparan, dan jujur adalah fondasi utama bagi keberhasilan sistem
demokrasi. Dalam Pemilu yang bebas dan adil, setiap warga negara memiliki hak yang sama
untuk berpartisipasi tanpa diskriminasi, dan setiap suara memiliki bobot yang sama dalam
menentukan hasilnya.
Negara Indonesia merupakan Negara hukum dengan ciri-ciri sebagai negara modern
yang berbasis demokrasi dan berkedaulatan penuh oleh rakyat.(Perbawa, 2019) Sebagai
konsekuensi dari negara hukum dengan demikian bahwa setiap sikap, kebijakan dan perilaku
alat negara serta penduduk harus berdasarkan atas hukum (Ramadhan, 2021). Posisi Indonesia
dianggap berada pada Negara yang menerapkan demokrasi dengan baik. Bahkan banyak
pihak yang menyatakan bahwa Indonesia adalah Negara yang paling demokratis. Lebih dari
itu, Indonesia disebut sebagai Negara demokratis yang terbesar. Misalnya, Nallom Kurniawan
peneliti Mahkamah Konstitusi menyebutkan bahwa dengan sistem one man, one vote dan one
value pada proses elektoral adalah salah satu indikator, bahwa Indonesia adalah Negara
demokrasi terbesar, bukan Amerika Serikat. Sistem tersebut menganut model satu orang
Warga Negara Indonesia, mempunyai hak yang sama dengan Warga Negara Indonesia
lainnya (Wiguna, 2021).
Dikebanyakan negara demokrasi, Pemilu dianggap lambang, sekaligus tolak ukur dari
demokrasi (Larasati & Ningtiyas, 2017). Pemillihan umum pada hakekatnya adalah sarana
kedaulatan rakyat, sehingga tidak satu pun negara di dunia ini yang mengklaim dirinya
sebagai negara demokratis yang tidak menyelenggarakan Pemilu (Karmanis, 2021). Pemilu
dihadirkan sebagai instrumen untuk memastikan adanya transisi dan rotasi kekuasaan berjalan
demokratis. Pemilu menjadi tempat arena kontestasi bagi para elite politik untuk maju
menjadi pemimpin baik di tingkat lokal maupun di tingkat nasional (Bulqiyah et al., 2019).
Selain itu, Pemilu juga merupakan sarana untuk mendorong akuntabilitas dan kontrol publik
terhadap negara.
Namun, pada kenyataanya pemilihan umum tidak lepas dari aktor lokal yang bermain
dalam memenangkan kandidat. Tokoh lokal merupakan salah satu aktor sentral dalam
kemenangan kandidat. Mereka dipercaya sebagai tokoh dengan reputasi baik di daerah
mereka dimana reputasi tersebut dipercaya mampu menarik loyalitas pemilih. Mereka dikenal
sebagai pemilih yang handal dan mampu mengenal pemilih akar rumput dengan baik
(Umanailo et al., 2020). Transaksi yang dimainkan oleh aktor lokal tersebut adalah dengan
melakukan pertukaran materi kepada pemilih agar memilih kandidat yang diusungnya.
Praktek transaksi politik yang terjadi antara tokoh lokal dan masyarakat sangat sulit
sekali diuangkap. Para tokok lokal hidup dan berdampingan bersama masyarakat lainya dan
berbaur satu sama lain dalam kehidupan sehari-hari. Akan sangat sulit menemukan
masyarakat yang melaporkan para tokoh lokal yang bermain dalam pusaran perpolitikan
ilegal. Satu sama lain dari mereka akan saling melindungi satu sama lain mengingat transaksi
yang terjalin antar mereka merupakan sebuah transaksi yang dianggap menguntungkan karena
masyarakat mendapatkan imbalan baik jangka panjang maupun jangka pendek.
Praktek pertukaran materi yang terjadi antara pemilih dan makelar suara merupakan
salah satu fenomena yang lazim terjadi dalam tatanan demokrasi di Indonesia. Padalah
Efektifitas Penerapan Regulasi Tindak Pidana Pemilu dalam Mengatasi Aktor Non Formal
dalam Praktek Perantara
Syntax Idea, Vol. 6, No. 09, September 2024 3857
legalitas pemilu di Indonesia telah diatur dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan
Umum (UU Pemilu). Secara sistematis, ketentuan tentang politik uang dapat dijumpai pada
Buku V Bab II di bawah titel Ketentuan Pidana Pemilu, pada Pasal 523.
Ilmuan seluruh dunia telah banyak memberikan perhatianya terhadap praktek transaksi
materi yang terjadi di Indonesia. Pertama, Aspinall dalam penelitianya memberikan
penekanan atas kontribusi materi yang diperuntukkan kepada pemilih guna mendapatkan
loyalitas pemilih (Aspinall, 2014). Aspinall menyoroti praktek broker yang berperan dalam
perpolitikan di Indonesia sebagai aktor yang mampu memiliki otonom yang besar melebihi
kandidat dalam mengontrol pemilih. Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Tawakkal dimana
dalam penelitianya menekankan pada transaksi materi yang ada dalam pemilihan politik lokal
sebagai praktek yang tidak ditentang di Indonesia. Tawakkal juga memberikan penekanan
pada aktor non formal yang memiliki keterlibatan penuh atas kemenangan kandidat. Ketiga,
penelitian yang dilakukan oleh Asmawati dimana dalam penelitianya menunjukkan bahwa
adanya praktek makelar suara di negara demokrasi berkembang sebagai salah satu proses
yang harus dilalui karena negara masih belum memiliki kematangan dalam berdemokrasi
(Asmawati et al., 2021)
Tujuan dalam menyebutkan literasi yang telah diteliti menjadi salah satu mekanisme
yang dapat menjamin orisinalitas ide dan keaslian kajian dalam penelitian ini. Beberapa
penelitian diatas menunjukkan bahwa proses pertukaran materi yang dilakukan oleh broker
politik merupakan suatu yang lazim di Indonesia sebagai praktek yang tidak memiliki
pertentangan. Apalagi, di negara yang belum memiliki kematangan dalam berdemokrasi
praktek ini menjadi sesuatu yang dimaklumi meskipun dalam regulasi telah jelas melanggar
dari konstitusi.
Perlu adanya penekanan bahwa literasi terdahulu memberikan konsentrasi terhadap
praktek transaksi materi yang terjadi di Indonesia. Disinilah peneliti bermaksud mengisi
kekosongan literasi dengan mengisi celah dari segi hukum dimana regulais yang mengatur
adanya praktek pelanggaran yang dilakukan dalam konstentasi politik masih belum tersentuh
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian Hukum Normatif-Empiris (applied law research),
yaitu suatu penelitian yang menggunakan studi kasus hukum normatif-empiris berupa produk
perilaku hukum. Pokok kajiannya adalah pelaksanaan atau implementasi ketentuan hukum
positif dan kontrak secara faktual pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam
masyarakat guna mencapai tujuan yang telah ditentukan.
Adapun tahap-tahap yang harus ditempuh penulis dalam penelitian kepustakaan sebagai
berikut :
a. Mengumpulkan bahan-bahan penelitian. Mengingat penelitian ini adalah penelitian
kepustakaan, maka bahan yang dikumpulkan berupa informasi atau data empirik yang
bersumber dari buku-buku jurnal, jurnal, hasil laporan penelitian resmi maupun ilmiah dan
literatur lain yang mendukung penelitian ini.
b. Membaca bahan kepustakaan. Kegiatan membaca untuk tujuan penelitian bukanlah
pekerjaan yang pasif. Pembaca bukan diminta untuk menyerap begitu saja semua informasi
pengetahuan dalam bahan bacaan melainkan sebuah kegiatan perburuan yang menuntut
keterlibatan pembaca secara aktif dan kritis agar bisa memperoleh hasil maksimal. Dalam
membaca bahan penelitian, pembaca harus menggali secara mendalam bahan bacaan yang
memungkinkan akan menemukan ide-ide baru yang terkait dengan judul penelitian
Mengolah data penelitian. Semua bahan yang telah dibaca kemudian diolah atau
dianalisisuntuk mendapatkan suatu kesimpulan yang disusun dalam bentuk laporan penelitian.
Fuji Pratama, Hendri J Pandiangan, Armunanto Hutahaean
3858 Syntax Idea, Vol. 6, No. 09, September 2024
Peter Mahmud Marzuki merumuskan penelitian hukum sebagai suatu proses untuk
menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrindoktrin hukum guna
menjawab isu hukum yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2008). Dalam penelitian hukum
ini, penulis menggunakan penelitian hukum yang bersifat deskriptif, yaitu suatu penelitian
untuk memberikan data yang seteliti mungkin dengan menggambarkan gejala tertentu.
Metode penelitian jenis ini dimaksudkan untuk menggambarkan semua data yang
diperoleh yang berkaitan dengan judul penelitian secara jelas dan rinci yang kemudian
dianalisis guna menjawab permasalahan yang ada. Dalam penelitian ini penulis ingin
memperoleh gambaran yang lengkap dan jelas tentang.
Pendekatan dalam penelitian ini bersifat deskriptif analisis yang merupakan proses
penggambaran daerah penelitian. Bentuk analisis yang digunakan oleh penulis dilakukan
dengan cara data yang diperoleh dari sumber hukum yang dikumpulkan, diklarifikasi baru
kemudian dianalisis secara kualitatif, artinya menguraikan data secara bermutu dan bentuk
kalimat yang teratur, sistematis logis, tidak tumpang tindih, dan efektif, sehingga
memudahkan interpretasi data dan pemahaman hasil analisis, selanjutnya hasil dari sumber
hukum tersebut dikonstruksikan berupa kesimpulan dengan menggunakan logika berfikir
induktif, yakni penalaran yang berlaku khusus pada masalah tertentu dan konkrit yang
dihadapi, oleh karena itu hal-hal yang dirumuskan secara khusus diterapkan pada keadaan
umum, sehingga hasil analisis tersebut dapat menjawab permasalahan dalam penelitian
(Arikunto, 2010).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam upaya menegakkan integritas dan keadilan dalam Pemilihan Umum Kepala
Daerah (Pemilukada), Kabupaten Belitung dihadapkan pada tantangan besar terkait praktik
politik uang yang melibatkan aktor non formal sebagai perantara. Berikut ini kendala
penerapan regulasi indak pidana dalam mengatasi actor non formal.
Kedudukan Aktor Non Formal
Seperti tokoh agama dan tokoh masyarakat, dalam konteks pemilu seringkali sulit untuk
diidentifikasi secara jelas dan terukur. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yang kompleks
dalam dinamika politik dan sosial Masyarakat (Tutukansa, 2022). Pertama, tokoh agama
seringkali memiliki pengaruh yang kuat dan luas di kalangan masyarakat, namun seringkali
kekuatan ini sulit untuk diukur secara objektif. Kedua, tokoh agama dan took Masyarakat
mungkin tidak secara langsung terlibat dalam aktivitas politik atau pemilu, namun dapat
mempengaruhi opini dan keputusan politik masyarakat melalui pengaruh moral dan
spiritualnya. Selain itu, peran tokoh agama dalam pemilu seringkali melibatkan dimensi yang
lebih subtansial dan kompleks, seperti memberikan panduan moral atau arahan etis kepada
para pengikutnya. Dalam banyak kasus, tokoh agama memiliki pengaruh yang signifikan
dalam membentuk sikap dan perilaku politik umatnya. Namun, identifikasi dan penilaian
terhadap pengaruh mereka dalam konteks pemilu seringkali menjadi subjektif dan sulit diukur
secara empiris. Berikut hasil wawancara dengan Bawaslu:
“Salah satu kendala utama yang kami hadapi dalam menangani praktik makelar suara
adalah kedudukan tokoh tokoh yang terlibat. Makelar suara sering kali berasal dari
lingkungan politik yang kuat, termasuk kader partai politik, tokoh masyarakat, atau bahkan
pejabat pemerintah. Jadi baik dari kalangan pemerintah dan bukan, tantangan atau
Efektifitas Penerapan Regulasi Tindak Pidana Pemilu dalam Mengatasi Aktor Non Formal
dalam Praktek Perantara
Syntax Idea, Vol. 6, No. 09, September 2024 3859
kesulitannya tetap sama, karena mereka juga tahu celah dari aturan Bawaslu, sehingga kami
kesulitan untuk mengungkap”
Lebih lanjut beliau menjelaskan:
“Kedudukan aktor non formal ini sering kali memberikan perlindungan dan dukungan
politik kepada makelar suara, sehingga membuat proses penyelidikan dan penegakan hukum
menjadi sulit. Selain itu, mereka juga dapat memanfaatkan kekuatan politik dan sumber daya
finansial untuk menghambat atau mengintimidasi lembaga penegak hukum dan saksi-saksi
yang berani melaporkan praktik makelar suara”
Berdasarkan kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa salah satu kendala utama dalam
penanggulangan praktik makelar suara adalah kedudukan dan keterlibatan tokoh-tokoh yang
kuat dalam lingkungan politik. Makelar suara sering kali memiliki hubungan erat dengan
kader partai politik, tokoh masyarakat, atau bahkan pejabat pemerintah, yang membuat proses
penegakan hukum menjadi sulit. Pernyataan tersebut juga menggambarkan bahwa praktik
makelar suara tidak hanya dilakukan oleh aktor non formal, tetapi juga melibatkan individu
atau institusi yang memiliki kedudukan atau kekuatan politik yang signifikan. Hal ini
menunjukkan bahwa tantangan yang dihadapi oleh badan pengawas pemilu dalam menangani
makelar suara tidaklah mudah, karena mereka harus menghadapi tekanan politik dan kekuatan
dari berbagai pihak, baik dari kalangan pemerintah maupun non-pemerintah.
Selain itu, karakteristik dari peran aktor non formal, termasuk tokoh agama, seringkali
tidak selalu terbatas pada wilayah tertentu atau struktur formal. Mereka dapat beroperasi di
luar batas-batas institusi formal dan memiliki jaringan sosial yang luas dan fleksibel. Hal ini
membuat sulit bagi pihak yang berwenang untuk mengidentifikasi dan mengukur pengaruh
serta aktivitas mereka dalam konteks pemilu. Dalam upaya mengatasi kompleksitas ini,
penting untuk melakukan pemantauan yang cermat terhadap dinamika politik lokal serta
berkomunikasi secara terbuka dengan para pemimpin masyarakat, termasuk tokoh agama,
untuk memahami peran dan pengaruh mereka dalam pemilu.
Faktor Regulasi
Terdapat Regulasi Yang Menyebabkan Subjek Hukum Dapat Lolos Dari Jeratan
Undang-Undang.
Adanya kelemahan dan keterbatasan regulasi Pemilu yang menjadi kewenangan Badan
Pengawas Pemilu (Bawaslu) di kabupaten/kota untuk melakukan penindakan terhadap
pelanggaran Pemilihan khususnya politik uang. Hal ini terkait dengan aspek hukum soal
pembuktian politik uang yang mengharuskan Bawaslu memiliki bukti material berupa saksi
pelapor, pihak pelaku politik uang dan alat bukti pendukung lainnya (Andiraharja, 2020).
Menurut bunyi Pasal 89 UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang penyelenggaraan pemilu
yaitu suatu tindakan memenuhi unsur praktek politik uang jika pelaksana kampanye
melakukan pemberian uang/materi sebagai imbalan kepada peserta kampanye (pemilih) untuk
memilih atau tidak memilih parpol tertentu. Untuk membuktikan adanya pelanggaran Pemilu
pada masa sebelum pencoblosan terkait politik uang maka ketentuan pasal ini mengharuskan
Bawaslu kabupaten/kota melacak bukti-bukti material yang mengarah pada praktik politik
uang. Padahal upaya untuk mendapatkan alat bukti praktik politik uang tidak mudah jika saksi
Fuji Pratama, Hendri J Pandiangan, Armunanto Hutahaean
3860 Syntax Idea, Vol. 6, No. 09, September 2024
tidak bersedia bersaksi dan bukti hasil transaksi politik uang tidak terpenuhi. Kondisi ini
menyebabkan penindakan pelanggaran politik uang yang terjadi sebelum pencoblosan tidak
dapat dilakukan maksimal. Jika ada bukti empirik adanya praktik pemberian uang atau materi
kepada pemilih, maka pihak Bawaslu kesulitan mendapatkan saksi yang bersedia diminta
keterangan
Bentuk Pemberian Politik Uang Tidak Teridentifikasi Sebagai Kasus Politik Uang
Transaksi pemberian uang dalam konteks politik uang seringkali tidak dilakukan secara
langsung oleh calon, melainkan melalui perantara seperti tim sukses atau pihak-pihak lain
yang berkepentingan dengan calon tersebut. Modus operandi yang digunakan dalam praktik
ini sangat beragam. Salah satu cara yang umum adalah memanfaatkan acara-acara sosial
seperti pengajian, pertemuan PKK ibu-ibu di tingkat desa, atau kegiatan sosial lainnya yang
dihadiri oleh calon. Dalam acara-acara tersebut, uang atau barang sering kali diberikan
dengan dalih sebagai pengganti uang transportasi (Sari, 2023).
Praktek pemberian uang dengan dalih pengganti transportasi merupakan salah satu
bentuk politik uang yang paling umum. Meskipun demikian, pembuktian hukumnya sangat
sulit karena terhambat oleh konteks kejadian dan interpretasi makna politik uang itu sendiri.
Jika pemberian tersebut diklaim sebagai ganti transportasi dan selama acara tersebut calon
tidak secara eksplisit menyinggung visi, misi, atau mengajak peserta untuk memilih dirinya,
maka pembuktiannya menjadi lebih rumit. Misalnya, dalam sebuah acara masyarakat
setempat, calon mungkin hadir sebagai tamu undangan dan memberikan sejumlah uang
kepada peserta dengan alasan membantu biaya transportasi. Selama acara berlangsung, jika
calon tersebut tidak berbicara tentang kampanye politiknya atau tidak secara langsung
mengajak peserta untuk memilih dirinya, pembuktian bahwa tindakan tersebut merupakan
politik uang menjadi sulit. Dalam situasi seperti ini, niat dan tujuan dari pemberian uang
tersebut bisa diperdebatkan, dan pihak berwenang harus mengumpulkan bukti yang kuat
untuk membuktikan adanya pelanggaran. Hasil wawancara kepada Bawaslu mengaku selalu
lebih berhati-hati dan teliti dalam mengamati dan menganalisis situasi makelar suara karena
jika sala identifikasi bisa menyerang lembaga bawaslu sendiri.
“Kami melakukan survei dan investigasi yang lebih mendalam untuk mencari tahu
tujuan sebenarnya dari pemberian uang tersebut. Selain itu, kami juga berusaha untuk lebih
proaktif dalam memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang berbagai bentuk politik
uang yang mungkin terjadi, termasuk yang tersembunyi di balik kegiatan sosial atau amal.
Tantangan utama dalam pembuktian hukum terhadap praktik politik uang seperti ini
adalah kontekstualisasi peristiwa dan interpretasi hukum yang tepat. Bukti-bukti yang
diperlukan untuk mendukung klaim politik uang harus menunjukkan adanya niat untuk
mempengaruhi pilihan pemilih. Dalam banyak kasus, perantara atau tim sukses yang
menyalurkan uang mungkin tidak memberikan instruksi langsung terkait pemilihan, tetapi
keberadaan mereka dan tindakan mereka cukup untuk menciptakan pengaruh terselubung.
Kesadaran Masyarakat
Efektifitas Penerapan Regulasi Tindak Pidana Pemilu dalam Mengatasi Aktor Non Formal
dalam Praktek Perantara
Syntax Idea, Vol. 6, No. 09, September 2024 3861
Peran masyarakat dalam mencegah praktik politik uang sangatlah vital. Dalam proses
pengawasan, partisipasi aktif masyarakat tidak hanya diharapkan, tetapi juga diperlukan untuk
memastikan pencegahan terhadap terjadinya politik uang. Namun, ironisnya, terdapat
kecenderungan di mana masyarakat tampaknya kurang peduli terhadap larangan tersebut dan
bahkan menganggap politik uang sebagai hal yang lazim dalam setiap proses pemilihan, baik
itu pemilihan kepala daerah maupun legislatif (Sahbana, 2017).
Sikap apatis dan toleransi terhadap politik uang ini menciptakan lingkungan di mana
praktik tersebut semakin menjadi bagian dari budaya politik lokal. Masyarakat, terlepas dari
kesadaran akan larangan politik uang, kadang-kadang bahkan memandangnya sebagai suatu
hal yang wajar dan diterima dalam proses politik. Pandangan ini dapat merusak integritas dan
esensi demokrasi, karena politik uang secara fundamental bertentangan dengan prinsip-prinsip
demokrasi yang mengedepankan kebebasan, keadilan, dan partisipasi yang adil dari seluruh
warga negara. Tingginya tingkat toleransi terhadap politik uang juga dapat menghambat
upaya pencegahan dan penegakan hukum (Dewi et al., 2022). Ketika masyarakat tidak lagi
memandang politik uang sebagai pelanggaran serius, mereka cenderung tidak aktif dalam
melaporkan praktik tersebut atau bahkan menjadi bagian dari lingkaran politik uang itu
sendiri. Akibatnya, praktik politik uang dapat terus berlanjut tanpa hambatan, merusak
integritas proses pemilihan dan menciderai kepercayaan masyarakat terhadap sistem politik
secara keseluruhan. Oleh karena itu, penting bagi pihak berwenang dan pemangku
kepentingan untuk melakukan upaya edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat mengenai
bahaya politik uang serta konsekuensi negatifnya terhadap demokrasi dan kehidupan
masyarakat secara umum. Pemberian pemahaman yang jelas mengenai pentingnya menjaga
integritas pemilihan dan menolak praktik politik uang harus menjadi prioritas dalam upaya
pembangunan budaya politik yang bersih dan transparan.
Hasil wawancara dengan Bawaslu mengaku sejauh ini, bawaslu melihat bahwa
kesadaran masyarakat terhadap peran mereka dalam pemilu cukup bervariasi. Ada yang
sangat aktif dan peduli terhadap proses pemilihan, namun ada juga yang kurang peduli atau
bahkan tidak tahu apa yang seharusnya mereka lakukan. Salah satu tantangan utama adalah
meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya partisipasi dalam pemilihan dan
bagaimana mereka dapat berkontribusi secara positif. Bawaslu juga menemukan adanya
perubahan yang lambat namun pasti dalam kesadaran masyarakat terhadap politik uang dan
praktik korupsi dalam pemilihan umum. Semakin banyak informasi dan edukasi yang
disampaikan kepada masyarakat tentang bahaya politik uang dan praktik korupsi, semakin
banyak pula masyarakat yang sadar akan pentingnya menolak praktik-praktik tersebut.
Namun, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk mengubah pola pikir dan budaya
politik yang sudah tertanam dalam masyarakat.
Berdasarkan uraian kendalan di atas dengan demikian, untuk memperbaiki kelemahan
ini, pengawas pemilu perlu mengadopsi pendekatan yang lebih holistik dan realistis dalam
menilai pelanggaran hukum dalam pemilu. Bawaslu dan Polri perlu memperhatikan konteks
sosial, politik, dan ekonomi di mana pemilu berlangsung, serta memahami bagaimana faktor-
faktor ini dapat mempengaruhi integritas proses pemilu. Dengan demikian, pengawasan
Fuji Pratama, Hendri J Pandiangan, Armunanto Hutahaean
3862 Syntax Idea, Vol. 6, No. 09, September 2024
pemilu dapat menjadi lebih efektif dalam mencegah dan menangani pelanggaran hukum, dan
pada gilirannya, memperkuat fondasi demokrasi.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa Penerapan regulasi tindak
pidana pemilu dalam mengatasi aktor non formal dalam praktek peranta belum efektif karena
adanya kesulitan dalam pembuktian laporan tersebut. Belum efektifnya penerapan tersebut
dibuktikan dengan menurunnya jumlah laporan yang berhasil diproses padahal realitanya di
lapangan ada banyak isu yang menunjukkan Tindakan makelar suara oleh tokoh penting di
Masyarakat. Dalam upaya menegakkan integritas dan keadilan dalam Pemilihan Umum di
Kabupaten Belitung dihadapkan pada tantangan besar terkait praktik politik uang yang
melibatkan aktor non formal sebagai perantara seperti kedudukan actor non formal, faktor
regulasi, Bentuk Pemberian Politik Uang Tidak Teridentifikasi Sebagai Kasus Politik Uang
dan masih banyaknya kesadaran politik Masyarakat yang rendah..
BIBLIOGRAFI
Andiraharja, D. G. (2020). Politik Hukum pada Penanganan Tindak Pidana Pemilu. Khazanah
Hukum, 2(1), 2431.
Arikunto, S. (2010). Prosedur penelitian suatu pendekatan praktek. (No Title).
Asmawati, A., Tawakkal, T. I., & Muadi, S. (2021). Religion, Political Contestation and
Democracy: Kiai’s Role as Vote Broker in Madurese Local Political Battle. Buletin Al-
Turas, 27(1), 3754. https://doi.org/10.15408/bat.v27i1.15650
Aspinall, E. (2014). WHEN BROKERS BETRAY: Clientelism, Social Networks, and
Electoral Politics in Indonesia. Critical Asian Studies, 46(4), 545570.
https://doi.org/10.1080/14672715.2014.960706
Bulqiyah, H., Muadi, S., & Tawakkal, G. T. I. (2019). Pemilihan Kepala Desa dam Partisipasi
Masyarakat Marjinal: Studi Kasus di Pulau Bawean, Indonesia. Jurnal Wacana Politik,
4(1), 6880.
Dewi, L. Y., Sinaga, H. L. N., Pratiwi, N. A., & Widiyasono, N. (2022). Analisis Peran
Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam Partisipasi Politik Masyarakat di Pilkada serta
Meminimalisir Golput. Jurnal Ilmu Politik Dan Pemerintahan, 8(1).
Karmanis, K. (2021). Electronic-Voting (E-Voting) dan Pemilihan Umum (Studi Komparasi
di Indonesia, Brazil, India, Swiss dan Australia). Mimbar Administrasi, 18(2), 1124.
Larasati, M., & Ningtiyas, V. (2017). Demokrasi Dalam Pemilihan Umum Abstrak Latar
Belakang Rumusan Masalah Tinjauan Pustaka.
Perbawa, S. L. P. (2019). Penegakan Hukum Dalam Pemilihan Umum. Jurnal Ilmiah
Dinamika Sosial, 3(1), 80. https://doi.org/10.38043/jids.v3i1.1765
Peter Mahmud Marzuki. (2008). Penelitian Hukum, Cet 2,. Kencana.
Ramadhan, M. N. (2021). Evaluasi Penegakan Hukum Pidana Pemilu dalam Penyelenggaraan
Pemilu 2019. Jurnal Adhyasta Pemilu, 2(2), 115127.
https://doi.org/10.55108/jap.v2i2.12
Sahbana, S. (2017). Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pemilihan umum. Warta
Dharmawangsa, 51.
Sari, P. I. (2023). Implementasi Pembentukan Kampung Anti Politik Uang Dalam Pilkada
Kabupaten Karimun Tahun 2020 (Studi Kasus Kampung Toga Parit Lapis, Kabupaten
Karimun). AGORA, 12(4), 384394.
Efektifitas Penerapan Regulasi Tindak Pidana Pemilu dalam Mengatasi Aktor Non Formal
dalam Praktek Perantara
Syntax Idea, Vol. 6, No. 09, September 2024 3863
Tutukansa, A. F. (2022). Maraknya Pengaruh Kompleks Politik Identitas Di Indonesia.
Khazanah: Jurnal Mahasiswa, 14(1).
Umanailo, M. C. B., Asmawati, A., Tawakkal, G. T. I., & Muadi, S. (2020). Kemenangan
Klebun: Ketahanan Bejingan Terhadap Loyalitas Pemilih. Civic-Culture: Jurnal Ilmu
Pendidikan PKn Dan Sosial Budaya, 4(2), 399407.
Wiguna, M. O. C. (2021). Pentingnya Prinsip Kebijaksaanaan Berdasarkan Pancasila Dalam
Kehidupan Hukum Dan Demokrasi Indonesia. Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum, 15(1),
133148.
Copyright holder:
Fuji Pratama, Hendri J Pandiangan, Armunanto Hutahaean (2024)
First publication right:
Syntax Idea
This article is licensed under: