How to cite:
Hajar Imtihani, Muhammad Nasser (2024) Keadilan dalam Reformasi BPJS: Teori Rawls dan Kajian
Kritis Terhadap Kebijakan Kelas Rawat Inap Standar, (06) 08,
E-ISSN:
2684-883X
Keadilan dalam Reformasi BPJS: Teori Rawls dan Kajian Kritis Terhadap Kebijakan
Kelas Rawat Inap Standar
Hajar Imtihani, Muhammad Nasser
Sekolah Tinggi Hukum Militer, Indonesia
Abstrak
Reformasi BPJS Kesehatan di Indonesia melalui Peraturan Presiden No. 59 Tahun 2024 yang
menyatukan sistem kelas dan menggantinya dengan kelas rawat inap standar telah memicu
perdebatan publik. Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan kesetaraan dalam akses
layanan kesehatan, namun menimbulkan berbagai pro dan kontra terkait implementasi dan
dampaknya terhadap berbagai lapisan masyarakat, serta berbagai spekulasi mengenai
kebijakan penetapan iuran. Penelitian ini menggunakan pendekatan kajian kritis dan teori
keadilan sebagai kewajaran dari John Rawls untuk menganalisis dampak dan implikasi dari
kebijakan ini. Untuk mengevaluasi bagaimana kebijakan penyatuan kelas BPJS Kesehatan
mencerminkan prinsip-prinsip keadilan sosial dan mengidentifikasi model iuran atau premi
BPJS yang ideal berdasarkan teori keadilan John Rawls. Penelitian ini untuk mengevaluasi
bagaimana kebijakan penyatuan kelas BPJS Kesehatan mencerminkan prinsip-prinsip
keadilan sosial dan mengidentifikasi model iuran atau premi BPJS yang ideal berdasarkan
teori keadilan John Rawls. Hasilnya mengungkapkan bahwa evaluasi berdasarkan teori
keadilan Rawls menunjukkan bahwa penetapan iuran progresif yang disesuaikan dengan
kemampuan ekonomi peserta adalah solusi yang lebih adil, memastikan bahwa manfaat
terbesar diberikan kepada mereka yang paling tidak beruntung, serta mendukung kesetaraan
kesempatan dalam akses layanan kesehatan. Kebijakan penyatuan sistem kelas dalam BPJS
Kesehatan berpotensi mengurangi diskriminasi dan meningkatkan kesetaraan akses. Namun,
tanpa perbaikan signifikan dalam kualitas dan infrastruktur layanan kesehatan, kebijakan ini
bisa memperdalam ketidakadilan dan memarginalkan golongan masyarakat yang tidak
mampu. Penting bagi pemerintah untuk mengawasi implementasi kebijakan ini secara ketat
dan memastikan dukungan tambahan untuk golongan masyarakat yang lemah. Meskipun
kebijakan penyatuan sistem kelas merupakan langkah menuju kesetaraan, diperlukan
penyesuaian lebih lanjut dalam model iuran untuk mencapai keadilan sosial yang
sesungguhnya. Rekomendasi utama peneliti adalah melanjutkan penerapan skala iuran
progresif dan subsidi pemerintah bagi golongan masyarakat yang tidak mampu, demi
memastikan akses yang adil dan merata terhadap layanan kesehatan.
Kata Kunci: BPJS Kesehatan, Critical Legal Studies, Iuran progresif, Teori Rawls, Keadilan
Sosial
Abstract
The reform of BPJS Kesehatan in Indonesia through Presidential Regulation No. 59 of 2024
which unifies the class system and replaces it with a standard inpatient class has sparked a
public debate. This policy aims to increase equality in access to health services, but it raises
JOURNAL SYNTAX IDEA
pISSN: 2723-4339 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 6, No. 09, September 2024
Keadilan dalam Reformasi BPJS: Teori Rawls dan Kajian Kritis Terhadap Kebijakan Kelas
Rawat Inap Standar
Syntax Idea, Vol. 6, No. 09, September 2024 3833
various pros and cons related to its implementation and impact on various levels of society,
as well as various speculations about the policy of determining contributions. This study uses
the approach of critical studies and the theory of justice as a fairness from John Rawls to
analyze the impact and implications of this policy. To evaluate how BPJS Kesehatan's class
unification policy reflects the principles of social justice and identify the ideal BPJS
contribution or premium model based on John Rawls' theory of justice. This study is to
evaluate how the BPJS Kesehatan class unification policy reflects the principles of social
justice and identify the ideal BPJS contribution or premium model based on John Rawls'
theory of justice. The results reveal that an evaluation based on Rawls' theory of justice shows
that the determination of progressive contributions tailored to the economic ability of
participants is a fairer solution, ensuring that the greatest benefits are given to the most
disadvantaged, as well as supporting equality of opportunity in access to health services. The
policy of unifying the class system in BPJS Kesehatan has the potential to reduce
discrimination and increase equal access. However, without significant improvements in
health care quality and infrastructure, these policies could deepen injustice and marginalize
underprivileged communities. It is important for governments to closely monitor the
implementation of these policies and ensure additional support for vulnerable groups of
society. Although the policy of unifying the class system is a step towards equality, further
adjustments in the contribution model are needed to achieve true social justice. The main
recommendation of the researcher is to continue the implementation of progressive
contribution scales and government subsidies for underprivileged groups, in order to ensure
fair and equitable access to health services.
Keywords : Critical Studies, National health insurance, Rawls Theory, Social justice
PENDAHULUAN
Pada Mei 2024, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59
tahun 2024 tentang Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Perpres itu mengamanatkan
pelayanan kesehatan peserta BPJS Kesehatan berlaku Kelas Rawat Inap Standar (KRIS). Juru
Bicara Kementerian Kesehatan (Kemenkes), dr. Mohammad Syahril, menyatakan bahwa
tujuan dari Perpres ini adalah untuk memastikan semua peserta BPJS Kesehatan mendapatkan
perlakuan yang setara (Danardono, 2015). Perlakuan setara ini termasuk penyediaan sarana
dan prasarana untuk ruang rawat inap standar. Implementasinya diharapkan dapat dilakukan
pada Juli 2025 (Firdaus, 2020). Kebijakan ini sesungguhnya bukanlah hal yang baru, karena
wacana penyatuan kelas 1, 2, dan 3 menjadi satu kelas standar dalam pelayanan kesehatan
BPJS Kesehatan telah menjadi perbincangan antar otoritas sejak tahun 2021, bahkan
sebelumnya lagi telah disebutkan dalam pasal 23 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004
tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) bahwa peserta BPJS yang membutuhkan
rawat inap di Rumah Sakit (RS) maka kelas pelayanan di RS diberikan berdasarkan kelas
standar. Diskusi mengenai KRIS semakin mengemuka dengan terbitnya Peraturan Pemerintah
(PP) Nomor 47 Tahun 2021 yang mengatur penyelenggaraan bidang perumahsakitan,
termasuk pengaturan standar fasilitas rawat inap.
Reformasi kelas rawat inap di BPJS Kesehatan ini didorong oleh kebutuhan untuk
mewujudkan keadilan sosial dalam pelayanan kesehatan. Perbedaan kelas pelayanan dalam
BPJS Kesehatan sering kali menimbulkan ketidaksetaraan dalam akses dan kualitas layanan
yang diterima oleh peserta sehingga bertentangan dengan prinsip keadilan sosial yang
diamanatkan oleh Konstitusi Indonesia. Standar minimal yang diatur dalam PP No. 47 Tahun
2021 mencakup berbagai aspek fasilitas rawat inap, seperti bahan bangunan, luas tempat tidur,
Hajar Imtihani, Muhammad Nasser
3834 Syntax Idea, Vol. 6, No. 09, September 2024
jumlah maksimal tempat tidur per ruangan, serta spesifikasi lainnya yang berkaitan dengan
keselamatan dan kenyamanan pasien. Dengan adanya standar ini, diharapkan kualitas
pelayanan dapat merata, dan setiap peserta BPJS Kesehatan mendapatkan perlakuan yang adil
dan setara. Pro dan kontra mengenai kelas standar menjadi mengemuka setelah adanya
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 tahun 2021 mengenai Penyelenggaraan Bidang
Perumahsakitan (Hariyanto, 2024). Terdapat 12 konsep kelas standar JKN yang mengatur
tentang bahan bangunan, minimal luas tempat tidur, antar tepi tempat tidur, jumlah maksimal
tempat tidur per ruangan, nakas per tempat tidur, suhu ruangan, spesifikasi kamar mandi
dalam ruangan, tirai atau partisi, ventilasi udara, pencahayaan ruangan, spesifikasi
kelengkapan tempat tidur, dan pembagian ruangan.
Penelitian ini penting dilakukan guna mengevaluasi bagaimana penyatuan sistem kelas
dalam BPJS Kesehatan mencerminkan prinsip-prinsip keadilan Rawls melalui pendekatan
kajian kritis. Selanjutnya bagaimana penetapan iuran atau premi BPJS yang ideal dapat
mencerminkan prinsip-prinsip keadilan, khususnya dalam hal kesetaraan kesempatan dan
distribusi beban ekonomi yang adil di Indonesia.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan kajian
kritis Jonaedi Efendi et al., (2018), yang bersumber dari bahan analisis sekunder yang
melibatkan tinjauan literatur, berita, dan laporan terkait kebijakan BPJS Kesehatan. Adapun
teori dan pendekatan untuk menganalisis permasalahan yang diajukan tersebut adalah teori
Keadilan John Rawls. Konsep keadilan teori John Rawls menekankan keadilan sebagai
kewajaran, khususnya melalui difference principle, yang menekankan bahwa ketidaksetaraan
harus menguntungkan kelompok paling tidak beruntung (Taufik, 2013). Sedangkan
pendekatan kajian kritis atau Critical Legal Studies (CLS) merupakan pendekatan yang
berfokus pada bagaimana hukum dapat mencerminkan dinamika kekuasaan dan
mempengaruhi kelompok rentan atau kurang beruntung (Faiz, 2009).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Kritis terhadap Kebijakan KRIS
Critical Legal Studies (CLS) merupakan aliran pemikiran dalam teori hukum yang
mengkritik asumsi-asumsi dasar dari sistem hukum konvensional dan bagaimana hukum
sering kali mencerminkan dan memperkuat struktur kekuasaan yang ada. Dengan pendekatan
ini, kita diajak untuk melihat bahwa hukum tidaklah netral atau objektif, melainkan
merupakan alat yang digunakan oleh kelompok dominan untuk mempertahankan kekuasaan
mereka dan menindas kelompok yang lebih lemah (Rahmatullah, 2021). Dalam konteks
kebijakan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) BPJS Kesehatan, pendekatan ini dapat digunakan
untuk mengevaluasi bagaimana kebijakan ini mempengaruhi distribusi kekuasaan dan
keadilan sosial dalam sistem kesehatan Indonesia.
Sebelum adanya KRIS, sistem kelas 1, 2, dan 3 dalam BPJS Kesehatan menciptakan
hierarki yang didasarkan pada kemampuan finansial peserta. Sistem kelas ini memperkuat
kekuasaan kelompok ekonomi atas yang dapat membeli layanan lebih baik dan
mengesampingkan mereka yang kurang mampu (Pramana & Priastuty, 2023). Hukum dan
kebijakan dalam sistem kelas sebelumnya dapat dilihat sebagai alat yang digunakan untuk
Keadilan dalam Reformasi BPJS: Teori Rawls dan Kajian Kritis Terhadap Kebijakan Kelas
Rawat Inap Standar
Syntax Idea, Vol. 6, No. 09, September 2024 3835
mempertahankan ketidaksetaraan ini, dengan membatasi akses mereka yang kurang mampu
untuk memperoleh layanan kesehatan berkualitas.
Kebijakan KRIS bertujuan untuk menghapuskan hierarki ini dengan menetapkan
standar pelayanan yang sama bagi semua peserta BPJS Kesehatan. Ini merupakan upaya
untuk merombak struktur kekuasaan dalam sistem kesehatan, di mana semua peserta, tanpa
memandang status ekonomi, mendapatkan akses yang setara ke fasilitas kesehatan yang
berkualitas. Kebijakan ini dipandang sebagai langkah untuk menghilangkan diskriminasi yang
secara struktural terintegrasi dalam sistem pelayanan kesehatan. Dengan menyatukan kelas
yang berbeda, KRIS mencoba mengurangi pengaruh kekuasaan ekonomi atas akses layanan
kesehatan, dan memberikan kesempatan yang lebih adil bagi semua peserta untuk menerima
pelayanan yang sama (Bensley & Brookins-Fisher, 2009).
Namun, kita harus ingat bahwa implementasi kebijakan tidak selalu sesuai dengan
tujuan idealnya. Meskipun KRIS dirancang untuk mengurangi ketidaksetaraan, pelaksanaan
kebijakan ini dapat dipengaruhi oleh berbagai dinamika kekuasaan yang ada. Misalnya, rumah
sakit dan penyedia layanan kesehatan yang sebelumnya menguntungkan dari sistem kelas
mungkin menolak atau menghambat implementasi KRIS karena takut kehilangan pendapatan
dari pasien kelas atas (Jeremia, 2023). Selain itu, kelompok ekonomi atas yang merasa
kehilangan eksklusivitas layanan mungkin juga berusaha mempengaruhi kebijakan melalui
tekanan politik atau hukum (Frieden, 2020). Hukum dan kebijakan sering kali tunduk pada
kepentingan kelompok-kelompok yang berkuasa, sehingga penting untuk memantau dan
memastikan bahwa implementasi KRIS benar-benar dilaksanakan sesuai dengan tujuan
awalnya untuk keadilan sosial.
Agar kebijakan KRIS berhasil, diperlukan peningkatan infrastruktur dan sumber daya di
seluruh fasilitas kesehatan. Tanpa dukungan yang memadai, kebijakan ini berpotensi gagal
mencapai tujuannya. KRIS menetapkan 12 kriteria yang harus dipenuhi oleh fasilitas
kesehatan, yaitu bahan bangunan, minimal luas tempat tidur, jarak antar tepi tempat tidur,
jumlah maksimal tempat tidur per ruangan, nakas per tempat tidur, suhu ruangan, spesifikasi
kamar mandi dalam ruangan, tirai atau partisi, ventilasi udara, pencahayaan ruangan,
spesifikasi kelengkapan tempat tidur, dan pembagian ruangan.
Jika standar pelayanan tidak terpenuhi di semua rumah sakit, terutama di daerah
terpencil atau kurang berkembang, maka ketidakadilan baru dapat muncul, di mana peserta di
daerah tersebut tetap tidak mendapatkan layanan yang setara dengan yang di kota besar.
Rumah sakit dengan modal asing dan dalam negeri mungkin memiliki ketahanan yang
berbeda dalam menyikapi perubahan dan penyediaan syarat-syarat KRIS. Rumah sakit yang
didukung oleh modal asing mungkin memiliki akses lebih baik ke sumber daya dan teknologi
yang diperlukan untuk memenuhi standar tersebut, sementara rumah sakit yang berada di
daerah kurang berkembang, mungkin menghadapi kesulitan finansial dan logistik yang lebih
besar. Oleh karena itu, reformasi struktural dalam penyediaan sumber daya medis, pelatihan
tenaga kesehatan, dan distribusi peralatan medis menjadi sangat penting. Kebijakan ini harus
didukung oleh investasi yang signifikan dari pemerintah dan BPJS Kesehatan untuk
memastikan bahwa semua fasilitas kesehatan dapat memenuhi standar KRIS.
Hajar Imtihani, Muhammad Nasser
3836 Syntax Idea, Vol. 6, No. 09, September 2024
Meskipun kebijakan KRIS bertujuan untuk menciptakan kesetaraan dalam akses
layanan kesehatan, penerapan kebijakan ini juga membawa risiko marginalisasi terhadap
kelompok rentan. Salah satu risiko utama adalah ketidakmampuan rumah sakit, terutama di
daerah terpencil atau kurang berkembang, untuk memenuhi standar yang ditetapkan oleh
KRIS. Rumah sakit yang tidak mampu memenuhi standar tersebut berisiko mengalami
penurunan kelas atau bahkan penutupan, yang pada akhirnya dapat mengurangi akses layanan
kesehatan bagi masyarakat di wilayah tersebut (Sulistyorini & Huda, 2022) (Sofian et al.,
2020). Selain itu, terdapat kekhawatiran di kalangan masyarakat mengenai kualitas pelayanan
yang disediakan oleh BPJS Kesehatan. Terdapat pendapat dari masyarakat yang merasa
bahwa, meskipun sudah membayar iuran, kualitas layanan kesehatan di rumah sakit
menggunakan BPJS saat ini sering kali tidak memadai, dengan perbedaan signifikan antara
fasilitas di daerah perkotaan dan daerah terpencil. Dengan diberlakukannya KRIS,
kekhawatiran ini semakin meningkat, karena masyarakat khawatir bahwa penyatuan kelas
akan mengakibatkan penurunan kualitas layanan secara keseluruhan. Mereka berpendapat
bahwa jika sistem berkelas saja masih menghadapi masalah kualitas, penyatuan kelas
berpotensi memperburuk situasi (Hariyanto, 2024).
Melalui pendekatan ini kita dapat melihat dan menggarisbawahi bahwa tanpa perbaikan
signifikan dalam infrastruktur dan sumber daya, kebijakan KRIS dapat memperdalam
ketidakadilan dan memarginalkan kelompok masyarakat yang rentan. Pemerintah dan BPJS
Kesehatan harus memastikan bahwa semua rumah sakit dapat memenuhi standar KRIS dan
meningkatkan kualitas layanan secara merata di seluruh Indonesia.
Analisis Kebijakan melalui Teori Keadilan John Rawls
Teori keadilan oleh John Rawls adalah salah satu teori etika politik yang paling
berpengaruh dalam abad ke-20. Dalam bukunya "A Theory of Justice," Rawls
memperkenalkan dua prinsip utama yang mendasari konsep keadilan sebagai fairness atau
kewajaran (Taufik, 2013). Prinsip-prinsip ini dapat diterapkan untuk mengevaluasi kebijakan
publik, termasuk kebijakan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) dalam BPJS Kesehatan. Berikut
adalah penjabaran lebih mendalam mengenai analisis penerapan teori keadilan Rawls
terhadap kebijakan ini.
Prinsip Pertama: Setiap Orang Memiliki Hak yang Sama atas Kebebasan Dasar
Prinsip pertama Rawls menyatakan bahwa setiap orang harus memiliki hak yang sama
atas kebebasan dasar yang paling luas yang dapat diterima bersama oleh semua orang (Edor,
2020). Dalam konteks pelayanan kesehatan, ini berarti setiap individu harus memiliki hak
yang sama untuk mengakses layanan kesehatan yang memadai, tanpa diskriminasi
berdasarkan status sosial, ekonomi, atau faktor lainnya.
Kebijakan KRIS berusaha untuk mewujudkan prinsip ini dengan menghilangkan
perbedaan kelas dalam pelayanan kesehatan BPJS Kesehatan. Sebelumnya, sistem kelas 1, 2,
dan 3 menciptakan diferensiasi dalam kualitas fasilitas dan pelayanan yang diterima oleh
peserta, yang sangat bergantung pada besarnya iuran yang dibayarkan. Hal ini secara
langsung mempengaruhi kebebasan dasar peserta untuk mengakses layanan kesehatan yang
Keadilan dalam Reformasi BPJS: Teori Rawls dan Kajian Kritis Terhadap Kebijakan Kelas
Rawat Inap Standar
Syntax Idea, Vol. 6, No. 09, September 2024 3837
bermutu. Dengan diterapkannya KRIS, diharapkan bahwa semua peserta, terlepas dari latar
belakang ekonomi mereka, akan menerima pelayanan yang setara. Fasilitas rawat inap yang
disediakan diharapkan memenuhi standar yang sama, sehingga tidak ada lagi disparitas dalam
kualitas layanan. Ini merupakan langkah signifikan untuk menjamin bahwa semua orang
memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang
layak.
Prinsip Kedua: Ketidaksetaraan Sosial dan Ekonomi Harus Menguntungkan yang
Paling Tidak Beruntung
Prinsip kedua Rawls, yang dikenal sebagai difference principle, menyatakan bahwa
ketidaksetaraan sosial dan ekonomi hanya dapat diterima jika menguntungkan mereka yang
paling tidak beruntung dalam Masyarakat (Said & Nurhayati, 2021). Dalam kerangka ini,
kebijakan KRIS harus dievaluasi berdasarkan bagaimana kebijakan tersebut mempengaruhi
akses dan kualitas pelayanan kesehatan bagi kelompok-kelompok yang paling tidak
beruntung, termasuk masyarakat dengan pendapatan rendah, penduduk di daerah terpencil,
dan kelompok-kelompok rentan lainnya. Berikut contoh implementasi Difference Principle
dalam KRIS:
1. Akses Universal dan Standar Minimum: Dengan menetapkan standar minimum untuk
fasilitas rawat inap, kebijakan KRIS bertujuan untuk memastikan bahwa semua peserta
BPJS Kesehatan, terutama mereka yang berasal dari lapisan masyarakat kurang beruntung,
mendapatkan akses yang setara terhadap fasilitas yang layak. Termasuk diantaranya adalah
standar untuk bahan bangunan, luas tempat tidur, dan fasilitas lainnya yang dijamin oleh
peraturan.
2. Distribusi Sumber Daya Kesehatan: Dalam konteks difference principle, kebijakan ini
harus dipandang sebagai upaya untuk mendistribusikan sumber daya kesehatan secara
lebih merata. Sebelumnya, perbedaan kelas dalam layanan kesehatan sering kali
menguntungkan mereka yang mampu membayar lebih, sementara mereka yang kurang
mampu mendapatkan layanan yang lebih rendah kualitasnya. Dengan KRIS, sumber daya
medis dan fasilitas harus disediakan secara merata, yang berarti bahwa rumah sakit dan
fasilitas kesehatan di daerah kurang berkembang juga harus ditingkatkan untuk memenuhi
standar yang ditetapkan.
3. Subsidi Lintas Kelas Ekonomi: Untuk memastikan implementasi yang adil dari kebijakan
ini, penting untuk mempertimbangkan struktur iuran yang progresif. Selaras dengan teori
Rawls ini, untuk memenuhi difference principle, iuran BPJS harus disesuaikan dengan
kemampuan finansial peserta. Mereka yang mampu membayar lebih banyak dapat
dikenakan iuran yang lebih tinggi, yang pada gilirannya dapat mensubsidi biaya pelayanan
bagi mereka yang tidak mampu. Ini tidak hanya memastikan bahwa semua peserta
mendapatkan akses yang sama, tetapi juga mendukung keseimbangan ekonomi dalam
sistem kesehatan.
4. Manfaat bagi Kelompok Rentan: Penyatuan kelas yang berbeda dalam layanan kesehatan
memungkinkan alokasi sumber daya yang lebih efisien dan fokus pada peningkatan
layanan bagi kelompok rentan. Kebijakan ini harus diarahkan untuk memberikan manfaat
Hajar Imtihani, Muhammad Nasser
3838 Syntax Idea, Vol. 6, No. 09, September 2024
terbesar kepada kelompok yang paling tidak beruntung, termasuk mereka yang tinggal di
daerah dengan akses terbatas ke fasilitas kesehatan berkualitas.
Kebijakan BPJS Kesehatan yang tertuang dalam berbagai peraturan perundang-
undangan mencerminkan upaya pemerintah untuk mewujudkan keadilan sosial melalui sistem
jaminan kesehatan yang inklusif dan setara. Hal ini sesuai dengan asas jaminan sosial dalam
penjelasan UU SJSN yaitu asas kemanusiaan, asas manfaat, dan asas keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia [15]. Pasal 23 ayat 4 UU SJSN, yang mengamanatkan bahwa
pelayanan rawat inap di rumah sakit harus diberikan berdasarkan kelas standar, merupakan
langkah awal untuk menghapus diskriminasi berbasis kemampuan ekonomi. Dengan
menetapkan standar yang sama bagi semua peserta BPJS, kebijakan ini selaras dengan prinsip
pertama John Rawls, yaitu kesetaraan dalam kebebasan dasar, yang menuntut agar semua
individu memiliki akses yang setara terhadap layanan vital seperti kesehatan.
Namun, penerapan prinsip ini tidak berhenti pada kesetaraan formal saja, melainkan
harus disertai dengan keadilan substantif yang memastikan bahwa kebijakan tersebut benar-
benar memberikan manfaat yang adil bagi semua peserta. Di sinilah PP No. 47 Tahun 2021
tentang Penyelenggaraan Bidang Perumahsakitan berperan penting. Pasal 16, 17, dan 18 dari
peraturan ini mengatur ketersediaan dan distribusi tempat tidur untuk kelas standar, dengan
penekanan pada alokasi yang adil antara rumah sakit pemerintah dan swasta. Ketentuan ini
menggarisbawahi pentingnya distribusi sumber daya yang sesuai dengan prinsip keadilan
distributif Rawls, di mana sumber daya harus disalurkan untuk menguntungkan mereka yang
paling membutuhkan, seperti masyarakat di daerah terpencil atau kurang berkembang.
Namun, tanpa peningkatan infrastruktur yang memadai, kebijakan ini berisiko gagal mencapai
tujuannya, terutama jika rumah sakit di daerah tersebut tidak mampu memenuhi standar kelas
yang ditetapkan, yang pada akhirnya dapat menciptakan ketidakadilan baru.
PERPRES No. 75 Tahun 2019 dan PERPRES No. 64 Tahun 2020 menambah dimensi
lain dalam analisis keadilan, yaitu terkait penetapan iuran dan keberlanjutan pendanaan.
Kenaikan iuran yang diatur dalam Pasal 34 dari kedua peraturan ini harus dianalisis melalui
lensa keadilan substantif Rawls, yang mengharuskan bahwa iuran disesuaikan dengan
kemampuan ekonomi peserta. Dalam hal ini, pendekatan progresif diperlukan agar iuran yang
lebih tinggi tidak membebani peserta yang kurang mampu. Pasal 103A dari PERPRES No. 75
Tahun 2019 memberikan bantuan pendanaan dari pemerintah pusat kepada daerah, yang
mencerminkan upaya untuk mendistribusikan beban secara adil, namun masih perlu
dievaluasi efektivitasnya dalam menjangkau peserta yang paling rentan. Akhirnya, Pasal 54A
dari PERPRES No. 64 Tahun 2020 menekankan pentingnya evaluasi terus-menerus terhadap
manfaat jaminan kesehatan dan implementasi kelas standar. Hal ini sejalan dengan prinsip
keadilan sebagai kewajaran Rawls, yang mengharuskan bahwa kebijakan harus adaptif dan
responsif terhadap perubahan kebutuhan masyarakat, memastikan bahwa mereka yang paling
tidak beruntung tetap mendapatkan perlindungan yang layak (Edor, 2020).
Secara keseluruhan, rangkaian peraturan ini menggambarkan upaya komprehensif
pemerintah untuk mewujudkan sistem jaminan kesehatan yang adil dan setara. Meski
memiliki tujuan yang mulia dan sejalan dengan prinsip-prinsip keadilan Rawls,
implementasinya dapat menghadapi sejumlah tantangan. Salah satunya adalah kemampuan
Keadilan dalam Reformasi BPJS: Teori Rawls dan Kajian Kritis Terhadap Kebijakan Kelas
Rawat Inap Standar
Syntax Idea, Vol. 6, No. 09, September 2024 3839
pemerintah dan BPJS Kesehatan untuk memastikan bahwa semua fasilitas kesehatan dapat
memenuhi standar yang ditetapkan. Ini memerlukan investasi besar dalam infrastruktur
kesehatan, pelatihan tenaga medis, dan penyediaan peralatan medis yang memadai. Selain itu,
ada potensi resistensi dari kelompok-kelompok yang sebelumnya diuntungkan oleh sistem
kelas, yang mungkin melihat penyatuan kelas sebagai pengurangan kualitas atau eksklusivitas
layanan yang mereka terima. Karena itu, penting untuk melakukan sosialisasi dan komunikasi
yang efektif untuk menjelaskan manfaat kebijakan ini bagi kesetaraan dan keadilan sosial.
Dari perspektif teori keadilan Rawls, kebijakan KRIS merupakan langkah penting
menuju keadilan sosial dalam sistem kesehatan Indonesia. Dengan menstandarisasi layanan
kesehatan dan menghilangkan perbedaan kelas, kebijakan ini berpotensi untuk memberikan
akses yang lebih merata kepada semua peserta BPJS Kesehatan. Namun, kesuksesan
kebijakan ini akan sangat tergantung pada pelaksanaannya yang efektif, termasuk memastikan
bahwa standar layanan yang tinggi dapat dicapai di seluruh wilayah Indonesia, dan bahwa
struktur iuran yang adil diterapkan untuk melindungi kelompok yang paling tidak beruntung.
Penetapan Iuran menggunakan Prinsip Keadilan Substantif
Keadilan substantif menekankan pentingnya hasil nyata dari kebijakan yang
diimplementasikan, bukan sekadar kesetaraan prosedural atau formalitas hukum (Haryono,
2019). Dalam konteks penetapan iuran BPJS Kesehatan, keadilan substantif mengharuskan
bahwa iuran yang ditetapkan harus adil, tidak hanya dalam penentuan nominalnya, tetapi juga
dalam distribusi beban ekonomi yang ditanggung oleh peserta. Dengan kata lain, penetapan
iuran harus mempertimbangkan kemampuan ekonomi masing-masing peserta, memastikan
bahwa mereka yang paling tidak beruntung dalam skala ekonomi tetap dapat memperoleh
akses yang sama terhadap layanan kesehatan berkualitas.
Teori keadilan sebagai kewajaran dari John Rawls memberikan kerangka berpikir yang
relevan untuk analisis ini. Menurut Rawls, prinsip keadilan mensyaratkan bahwa
ketidaksetaraan ekonomi hanya dapat diterima jika ketidaksetaraan tersebut memberikan
manfaat terbesar bagi mereka yang paling tidak beruntung (Said & Nurhayati, 2021). Dalam
konteks BPJS Kesehatan, ini berarti bahwa penetapan iuran harus disusun sedemikian rupa
sehingga tidak membebani secara berlebihan mereka yang berada pada lapisan ekonomi
bawah, sekaligus memastikan bahwa mereka tetap menerima manfaat layanan kesehatan yang
maksimal.
Salah satu pendekatan untuk mencapai keadilan substantif dalam penetapan iuran adalah
melalui skema iuran progresif, di mana iuran disesuaikan dengan tingkat pendapatan atau
kemampuan finansial peserta. Dalam skema ini, peserta dengan pendapatan lebih tinggi
membayar iuran yang lebih besar, sementara mereka yang berpendapatan rendah membayar
iuran yang lebih kecil atau bahkan mendapat subsidi. Pendekatan ini sejalan dengan prinsip
keadilan Rawls, di mana beban ekonomi didistribusikan secara adil, dan manfaat terbesar
diberikan kepada mereka yang paling membutuhkan (Said & Nurhayati, 2021). Namun,
implementasi skema iuran progresif dalam konteks KRIS memerlukan analisis mendalam dan
perencanaan yang cermat. Pertama, perlu ada mekanisme yang transparan dan akurat untuk
menentukan kemampuan ekonomi peserta, yang mencakup berbagai faktor seperti
Hajar Imtihani, Muhammad Nasser
3840 Syntax Idea, Vol. 6, No. 09, September 2024
pendapatan, aset, dan kebutuhan mendesak lainnya. Kedua, pemerintah dan BPJS Kesehatan
harus mempertimbangkan dampak ekonomi dari iuran tersebut terhadap rumah tangga,
terutama bagi mereka yang berada di ambang kemiskinan, untuk memastikan bahwa iuran
tidak menjadi beban tambahan yang justru memperburuk kondisi ekonomi mereka.
Meskipun skema iuran progresif dapat menjadi solusi untuk mencapai keadilan
substantif, terdapat sejumlah tantangan yang harus diatasi. Salah satu tantangan utama adalah
ketidakpastian ekonomi dan fluktuasi pendapatan peserta. Dalam situasi di mana pendapatan
peserta dapat berubah secara signifikan dalam waktu singkat, penetapan iuran yang tetap
mungkin tidak mencerminkan kemampuan ekonomi peserta yang sesungguhnya, sehingga
diperlukan mekanisme penyesuaian yang fleksibel. Selain itu, pengawasan dan penegakan
skema iuran progresif membutuhkan sumber daya administratif yang signifikan, termasuk
pengumpulan data yang akurat, verifikasi informasi, dan penanganan sengketa yang mungkin
timbul. Tanpa pengawasan yang memadai, ada risiko bahwa skema ini dapat disalahgunakan
atau tidak dijalankan secara adil, yang akan merusak tujuan keadilan substantif itu sendiri.
Penetapan iuran yang ideal dalam kebijakan KRIS harus didasarkan pada prinsip
keadilan substantif, yang menekankan pentingnya distribusi beban ekonomi yang adil dan
memastikan bahwa mereka yang paling membutuhkan mendapatkan manfaat terbesar dari
sistem jaminan kesehatan. Skema iuran progresif menawarkan pendekatan yang potensial
untuk mencapai tujuan ini, asalkan diterapkan dengan perencanaan yang matang dan
pengawasan yang ketat. Pemerintah dan BPJS Kesehatan harus memastikan bahwa penetapan
iuran tidak hanya mempertimbangkan aspek keadilan formal, tetapi juga dampak
substantifnya terhadap kesejahteraan masyarakat, terutama kelompok rentan. Dengan
demikian, kebijakan KRIS dapat benar-benar mencerminkan prinsip keadilan sosial dan
memberikan kontribusi nyata terhadap peningkatan kualitas hidup seluruh masyarakat
Indonesia.
KESIMPULAN
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, penelitian ini dapat disimpulkan dalam dua
poin utama yang mencerminkan permasalahan penelitian yang diajukan bahwasanya
Kebijakan penyatuan sistem kelas dalam BPJS Kesehatan melalui KRIS memiliki potensi
besar untuk meningkatkan kesetaraan akses terhadap layanan kesehatan di Indonesia. Dengan
menghilangkan diferensiasi berdasarkan kelas, kebijakan ini berusaha mengurangi
diskriminasi dan mewujudkan prinsip keadilan sosial. Namun, penerapan KRIS juga
membawa risiko marginalisasi terhadap kelompok rentan, terutama di daerah terpencil dan
kurang berkembang. Rumah sakit yang tidak mampu memenuhi standar KRIS dapat
mengalami penurunan kelas atau bahkan penutupan, yang pada gilirannya dapat mengurangi
akses layanan kesehatan bagi masyarakat di wilayah tersebut. Selain itu, kekhawatiran
mengenai penurunan kualitas pelayanan akibat penyatuan kelas juga menjadi tantangan yang
harus dihadapi. Oleh karena itu, agar kebijakan KRIS dapat berhasil, diperlukan peningkatan
infrastruktur dan sumber daya di seluruh fasilitas kesehatan, serta dukungan tambahan bagi
rumah sakit yang mengalami kesulitan dalam memenuhi standar yang ditetapkan.
Keadilan dalam Reformasi BPJS: Teori Rawls dan Kajian Kritis Terhadap Kebijakan Kelas
Rawat Inap Standar
Syntax Idea, Vol. 6, No. 09, September 2024 3841
Penetapan iuran yang ideal dalam kebijakan BPJS Kesehatan harus didasarkan pada
prinsip keadilan substantif, yang mengharuskan distribusi beban ekonomi yang adil dan
memastikan bahwa manfaat terbesar diberikan kepada mereka yang paling membutuhkan.
Pendekatan keadilan substantif, sebagaimana diuraikan dalam teori keadilan sebagai
kewajaran dari John Rawls, menekankan pentingnya skema iuran progresif, di mana iuran
disesuaikan dengan kemampuan ekonomi peserta. Meskipun skema ini berpotensi untuk
mencapai keadilan dalam penetapan iuran, tantangan dalam implementasinya, seperti
fluktuasi pendapatan peserta dan kebutuhan akan pengawasan yang ketat, harus diatasi
dengan perencanaan yang matang. Dengan demikian, penetapan iuran BPJS dapat benar-
benar mencerminkan prinsip keadilan sosial dan berkontribusi terhadap peningkatan
kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat Indonesia.
BIBLIOGRAFI
Bensley, R. J., & Brookins-Fisher, J. (2009). Metode Pendidikan Kesehatan Msyarakat.
Danardono, D. (2015). Critical Legal Studies: Posisi Teori dan Kritik. Kisi Hukum, 14(1), 1
6.
Edor, E. J. (2020). John Rawls’s Concept of Justice as Fairness. PINISI Discretion Review,
4(1), 179190.
Faiz, P. M. (2009). Teori Keadilan John Rawls (John Rawls’ Theory of Justice). Jurnal
Konstitusi, 6(1), 135149.
Firdaus, A. I. F. (2020). Implementasi Kebijakan Kartu Indonesia sehat Di Rumah Sakit
Umum Daerah Dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya. Jurnal Syntax Transformation, 1(7),
297303.
Frieden, J. (2020). The political economy of economic policy. Finance & Development,
57(2), 49.
Hariyanto, A. (2024). Pro Kontra Penghapusan Sistem Kelas BPJS Kesehatan Diganti
dengan KRIS, Begini Kata Warganet.
https://radarsemarang.jawapos.com/kesehatan/724651101/pro-kontra-penghapusan-
sistem-kelas-bpjs-kesehatan-diganti-dengan-kris-begini-kata-warganet
Haryono, H. (2019). Penegakan Hukum Berbasis Nilai Keadilan Substantif (Studi Putusan
MK No. 46/PUU-VII/2012 Tertanggal 13 Februari 2012). Jurnal Hukum Progresif, 7(1),
2039.
Jeremia, A. (2023). Transformasi Rumah Sakit Indonesia Menuju Era Masyarakat 5.0.
Stiletto Book.
Jonaedi Efendi, S. H. I., Johnny Ibrahim, S. H., & Se, M. M. (2018). Metode Penelitian
Hukum: Normatif dan Empiris. Prenada Media.
Pramana, P., & Priastuty, C. W. (2023). Perspektif masyarakat pengguna BPJS Kesehatan
mengenai Kebijakan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS). Jurnal Jaminan Kesehatan
Nasional, 3(1), 3041.
Rahmatullah, I. (2021). Filsafat Hukum Aliran Studi Hukum Kritis (Critical Legal Studies).
Konsep Dan Aktualisasinya Dalam Hukum Indonesia’,’Adalah, 5(3), 110.
Said, M. Y., & Nurhayati, Y. (2021). A review on Rawls Theory of Justice. International
Journal of Law, Environment, and Natural Resources, 1(1), 2936.
Sofian, S. R., Iskandar, D., & Nurodin, I. (2020). Analisis Selisih Tarif Rumah Sakit Dengan
Tarif Inacbg’s Pasien Jkn Rawat Inap Kelas 3 Dan Kaitannta Dengan Kualitas Pelayanan
(Case Study pada RS Betha Medika. Seminar Nasional Manajemen, Ekonomi Dan
Hajar Imtihani, Muhammad Nasser
3842 Syntax Idea, Vol. 6, No. 09, September 2024
Akuntansi, 5(1), 468477.
Sulistyorini, D., & Huda, M. K. (2022). Perlindungan Hukum Rumah Sakit Yang Belum
Memenuhi Kelas Rawat Inap Standar JKN. YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah
Hukum, 8(2), 4856.
Taufik, M. (2013). Filsafat John Rawls tentang teori keadilan. Mukaddimah: Jurnal Studi
Islam, 19(1), 4163.
Copyright holder:
Hajar Imtihani, Muhammad Nasser (2024)
First publication right:
Syntax Idea
This article is licensed under: