Implementasi SSL VPN (Secure Socket Layer Virtual Private Network) Pada Badan Bank
Tanah
Syntax Idea, Vol. 6, No. 09, September 2024 3997
architecture, with the use of the courtyard of the mosque building which functions as a
pavilion. When two or more cultures meet, acculturation occurs in the architecture of the
building, both in several architectural elements and in the entire building. In this context,
cultural acculturation can produce a balanced architectural style between two cultures or one
architectural style can be more dominant than the other.
Keywords: Acculturation, Javanese Culture, Mosque
PENDAHULUAN
Indonesia dengan lebih dari 200 juta penduduk dan tersebar di banyak pulau, memiliki
kekayaan budaya yang meliputi berbagai suku, budaya, ras, dan kepercayaan agama (Antara
& Yogantari, 2018; Ayuningrum, 2017; Syafitri, Ariesta, Maryamah, & Berlianna, 2024) .
Dari Banda Aceh hingga ujung timur di Papua, adat dan tradisi yang beragam ini menciptakan
perbedaan yang menghasilkan pertemuan dan percampuran budaya yang dikenal sebagai
akulturasi .
Dalam konteks arsitektur, akulturasi terjadi ketika dua atau lebih gaya arsitektur
bertemu dan menciptakan perpaduan baru baik dalam elemen arsitektural maupun secara
keseluruhan pada bangunan (Pasaribu, Sudarwani, & Eni, 2023). Setiap daerah memiliki
budaya yang khas, sehingga perbedaan budaya tersebut juga tercermin dalam gaya arsitektur
yang berbeda.
Bangunan peribadatan, seperti masjid, mencerminkan ciri khas dari sistem kepercayaan
dan budaya yang telah berkembang. Di masa lalu, masjid memiliki peran yang luas dalam
menjaga nilai, norma, dan jiwa keagamaan masyarakat serta dalam menyelaraskan kebutuhan
mereka dengan kegiatan masjid.
Masjid, sebagai tempat utama ibadah dalam agama Islam, menjadi tempat di mana
terjadi integrasi antara budaya Islam yang diperkenalkan oleh para penyebar agama Islam
dengan budaya lokal yang telah ada sebelumnya (Fauzy & Arraya, 2015; Zainuri, 2021).
Dalam proses integrasi ini, budaya baru memperoleh unsur-unsur budaya asli tanpa
menggantikannya. Evolusi bentuk dan gaya bangunan masjid di berbagai belahan dunia,
termasuk masjid-masjid bersejarah di Indonesia, mencerminkan pengaruh geografis dan
budaya lokal yang melebur dalam desain regional mereka. Dalam konteks pembangunan
masjid, banyak nilai-nilai Islam tercermin baik secara langsung maupun tidak langsung.
Faktor-faktor seperti perkembangan teknologi dan periode kepemimpinan di suatu daerah
juga memiliki pengaruh terhadap struktur pembangunan masjid. Salah satu pendekatan yang
digunakan adalah dengan menggabungkan unsur-unsur budaya Jawa dalam perancangan
bangunan tersebut. Oleh karena itu, penelitian ini akan mengeksplorasi integrasi budaya
arsitektur pada bangunan masjid yang terkait dengan masa kepemimpinan yang mengilhami
pembangunan masjid tersebut (Ichsan, Armita, Minarno, & Sumadi, 2022).
Pada masa wali, gaya arsitektur masjid cenderung mengintegrasikan unsur-unsur
tradisional Jawa dan Hindu yang masih konsisten dengan ajaran Islam atau tidak saling
bertentangan. Struktur utama bangunannya menggunakan metode konstruksi tradisional,
seperti gabungan denah bangunan joglo dengan atap bangunan Meru, yang merupakan bagian
dari bangunan suci Majapahit. Penyusunan bangunan ini dikenal sebagai tajug atau bangunan
limas dalam budaya Jawa, dengan ciri khas puncak dan atap yang berbentuk tingkat ganjil,
sering kali tiga atau lima (Siswayanti, 2016a, 2016b).
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan proses akulturasi yang terjadi dalam struktur
fisik dan nilai-nilai yang tersemat dalam Masjid At-Tin. Fokus penelitian ini terletak pada
Masjid At-Tin yang berlokasi di Jakarta dan didirikan pada masa pemerintahan Presiden