How to cite:
Milenia Ramadhani (2024) Tantangan Implementasi Pengakuan Hukum Adat dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana Baru di Indonesia, (06) 08,
E-ISSN:
2684-883X
TANTANGAN IMPLEMENTASI PENGAKUAN HUKUM ADAT DALAM KITAB
UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA BARU DI INDONESIA
Milenia Ramadhani
Universitas Widya Mataram, Indonesia
Abstrak
KUHP Nasional atau KUHP Baru telah memberikan pengakuan terhadap hukum yang hidup
(living law) sebagai asas legalitas materiil, sehingga selain melanggar perundangan,
melanggar hukum adat juga dapat dipidanakan dengan ketentuan lebih lanjut. Penelitian ini
bertujuan mengidentifikasi tantangan implementasi living law dalam KUHP baru agar dapat
menjadi pedoman dan masukan para pemangku kepentingan. Penelitian ini merupakan
penelitian normatif yang dipadukan dengan konsep dan teori sosial. Hasil penelitian
menunjukan paling tidak ada 6 tantangan yang perlu disiapkan dalam implementasi KUHP
baru terkait living law, yaitu 1) Perlu sesegera mungkin di bentuk Peraturan Pemerintah dan
Peraturan Daerah yang mengatur terkait hukum yang hidup dalam masyarakat; 2) Perlu
pelibatan Lembaga adat dalam pelaksanaan hukum adat; 3) Perlu diatur tentang hukum
perselisihan antar adat; 4) Perlu adanya identifikasi hukum-hukum adat yang ada di
Indonesia; 5) Perlu pembekalan hakim terhadap persoalan adat istiadat; 6) Perlu kepatuhan
terhadap prinsip Hak Asasi Manusia, UUD NRI 1945 dan Pancasila
Kata Kunci : Living law, Hukum Adat, KUHP Baru.
Abstract
The National Criminal Code or New Criminal Code has recognized living law as a principle
of material legality, so that apart from violating legislation, violating customary law can also
be punished with further provisions. This research aims to identify the challenges of
implementing living law in the new Criminal Code so that it can serve as guidance and input
for stakeholders. This research is normative research combined with social concepts and
theories. The research results show that there are at least 6 challenges that need to be
prepared in the implementation of the new Criminal Code related to living law, namely 1) It
is necessary to form Government Regulations and Regional Regulations that regulate living
law in society as soon as possible; 2) It is necessary to involve traditional institutions in the
implementation of customary law; 3) It is necessary to regulate the law on disputes between
customs; 4) There is a need to identify customary laws that exist in Indonesia; 5) It is
necessary to equip judges regarding customs issues; 6) Compliance with the principles of
Human Rights, the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia and Pancasila is required.
Keywords: Living law, Customary Law, New Criminal Code
JOURNAL SYNTAX IDEA
pISSN: 2723-4339 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 6, No. 08, Agustus 2024
Tantangan Implementasi Pengakuan Hukum Adat dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana Baru di Indonesia
Syntax Idea, Vol. 6, No. 08, Agustus 2024 3709
PENDAHULUAN
Reformasi Kitab Undang-Undang Pudana (KUHP) telah berhasil dilakukan oleh
Indonesia yang disyahkan pada Desember 2022 dan diundangkan pada tanggal 2 Januari
2023. KUHP baru ini mempunyai masa transisi selama 3 tahun, sehingga akan berlaku pada
tanggal 2 januari tahun 2026 mendatang. Diketahui bahwa KUHP yang selama ini berlaku
merupakan warisan Belanda yang berasal dari Wetboek uan Strafrechl uoor Nederlandsch-
Indie dan berlaku sejak Indonesia merdeka tahun 1945. Meskipun selama ini ada upaya
penyesuaian baik berupa perubahan maupun pembaharuan sebanyak 10 kali, namun dirasa
masih belum memenuhi misi perubahan mendasar dari KUHP yang dinginkan, yaitu misi
dekolonialisasi, konsolidasi, demokratisasi, dan harmonisasi secara terkodifikasi dan
menyeluruh. Misi tersebut membawa konsekuensi perubahan mendasar tentang filosofis,
perspektif, konsep dan teori yang mendasarinya. Dalam konteks politik hukum pidana, Barda
Nawawi Arief menyebut upaya reformasi ini untuk mengubah dan memperbarui hukum
pidana agar sesuai dengan nilai-nilai sosial, politik, filosofis, dan budaya masyarakat
Indonesia yang menjadi dasar kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan penegakan hukum
pidana. Oleh karena itu, hukum pidana tidak hanya bersifat normatif, tetapi juga memerlukan
pendekatan empiris, sosiologis, historis, dan integrasi dengan kebijakan sosial dan
pembangunan nasional secara keseluruhan (Arief, 2016).
KUHP baru memberikan perubahan yang mendasar terkait dengan tujuan untuk
mengatur atau mengorganisir ulang (rekonstruksi atau reformulasi) struktur hukum pidana
nasional menjadi lebih terpadu (Apriliani, 2023). KUHP Baru yang diundangkan dengan UU
No. 1 Tahun 2023, meskipun masih menghadapi beberapa kritik terkait rumusan beberapa
pasal, namun telah mengakomodasi sejumlah pemikiran mendasar yang penting untuk
memperbarui penegakan hukum pidana di Indonesia. Konsep-konsep yang menjadi antitesis
dari paradigma klasik positivisme-formil menjadi bagian integral yang signifikan di
dalamnya. Salah satu aspek penting dari beberapa pembaruan dalam KUHP Baru Indonesia
adalah penyatuan hukum yang hidup (living law) dalam sistem hukum pidana nasional yang
baru (Magala, 2023).
Beberapa penelitian sebelumnya melihat persoalan dan permasalahan jika living law
diadopsi dalam hukum pidana sehingga dinilai belum sepenuhnya dapat diterapkan akibat dari
banyaknya kekosongan hukum, aturan yang inkonsistensi, dan pemahaman masyarakat
terhadap living law yang belum merata (Pawana, 2023). Pengaturan hukum yang hidup saat
ini masih berupa pengakuan atau akomodasi, namun belum dapat memberikan kepastian yang
rinci, sehingga masih memerlukan pengaturan yang sifatnya lex specialis (Irawan & Pura,
2023). Namun disisi lain rumusan hukum yang hidup dalam KUHP baru telah sesuai dengan
konsep dan nilai-nilai hukum progresif, termasuk mendekonstruksi positivisme hukum
dengan memperluas prinsip legalitas, menerapkan paradigma holistik, dan mereorientasi
tujuan hukum ke arah keadilan substantive (Magala, 2023). Oleh karena itu akomodasi
hukum adat dalam KUHP baru ini dipastikan akan menemui berbagai tantangan dalam
implementasinya. Tulisan ini bertujuan untuk membahas tentang living law yang ada dalam
KUHP baru dan menguraikan beberapa tantangan ke depan terkait dengan implementasi
hukum adat dalam KUHP baru tersebut.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Pengumpulan data
dilakukan melalui pencarian data sekunder berupa bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder yang relevan dengan pokok permasalahan yang diteliti. Pendekatan yang digunakan
dalam analisis adalah yuridis-normatif dan kemudian dibahas juga dengan pendekatan
sosiologis melalui teori-teori ilmu sosial yang relevan.
Milenia Ramadhani
3710 Syntax Idea, Vol. 6, No. 08, Agustus 2024
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yang berfokus pada
analisis terhadap peraturan perundang-undangan serta literatur yang relevan dengan topik
yang dibahas. Data dikumpulkan melalui studi pustaka yang melibatkan bahan hukum primer,
seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru, serta bahan hukum
sekunder yang mencakup buku, jurnal, dan artikel ilmiah terkait hukum adat dan living law di
Indonesia. Analisis dilakukan dengan pendekatan yuridis-normatif, yang mengkaji isi dan
implikasi hukum dari pengakuan living law dalam KUHP baru, serta mengidentifikasi
tantangan dalam implementasinya. Selain itu, pendekatan sosiologis digunakan untuk
memahami bagaimana hukum adat berinteraksi dengan hukum nasional dan dampaknya
terhadap masyarakat, dengan mempertimbangkan teori-teori sosial yang relevan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hukum yang berlaku di masyarakat (Living Law) dalam KUHP Baru
Hukum yang hidup di masyarakat (living law) menurut Eugene Ehrlich adalah “The
law that dominate life it self, even though it has not been printed in legal propositions” atau
"hukum yang menguasai kehidupan itu sendiri, meskipun tidak tercetak dalam proposisi
hukum." Pandangan ini dapat menerangkan bahwa hukum yang hidup merupakan hukum
yang berpusat pada masyarakat, bukan pada negara. Oleh karena itu, hukum yang hidup
dalam masyarakat tidak hanya mencakup hukum pidana adat, tetapi juga kebiasaan,
kesusilaan, kesopanan, dan norma agama yang menjadi bagian dari hukum yang hidup dan
eksis di masyarakat. Pendapat Soepomo juga menyebutkan bahwa hukum adat adalah hukum
yang hidup dalam masyarakat karena hukum tersebut lahir dan berkembang dari nilai-nilai
yang ada dalam kehidupan nyata suatu masyarakat. Hukum adat merupakan bagian dari living
law yang terus tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan jaman. Cicero yang
menyatakan "ubi societas ibi ius," yang berarti bahwa di dalam setiap kehidupan masyarakat
akan selalu ditemui hukum yang mempunyai fungsi untuk mengatur perilaku atau tindakan
anggota masyarakatnya (Fadlilah, 2022).
Living law sendiri mempunyai karakteristik, yaitu sebagai bentuk yang berarti
diciptakan masyarakat berdasarkan budaya, sebagai sifat yang berarti muncul dari keyakinan,
sebagai pembentuk yang berarti hukum merupakan salah satu aspek budaya yang hidup dan
membentuk masyarakat. Karakteristik lain adalah sebagai tujuan yaitu untuk mewujudkan
keadilan dan kepastian hukum, sebagai pemaksaan yaitu untuk memaksa orang untuk berbuat
atau tidak berbuat sesuatu, dan sebagai berlakuan yang berarti harus ditaati oleh masyarakat
(Fadlilah, 2022). Hukum adat, khususnya delik adat, dapat diartikan sebagai setiap gangguan
yang dilakukan oleh individu atau kelompok, baik yang berwujud maupun tidak berwujud,
yang menimbulkan reaksi adat. Delik adat memiliki empat unsur penting, yaitu: 1) Tindakan
yang dilakukan oleh individu, kelompok, atau pengurus adat; 2) Tindakan tersebut
bertentangan dengan norma-norma hukum adat; 3) Tindakan tersebut dianggap menyebabkan
kegoncangan karena mengganggu keseimbangan dalam masyarakat; dan 4) Tindakan
tersebut memicu reaksi dari masyarakat berupa sanksi adat. Untuk menilai keberadaan hukum
adat, harus terdapat masyarakat adat atau Lembaga adat yang mewakilinya (Putri, 2021).
Tantangan Implementasi Pengakuan Hukum Adat dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana Baru di Indonesia
Syntax Idea, Vol. 6, No. 08, Agustus 2024 3711
Pengaturan dalam KUHP baru terkait living law sendiri berdasarkan Pasal 2 yang
memberikan akomodasi terhadap keberadaan hukum adat dalam pengaturan pidana. Pasal 12
Ayat (2) mengatur tentang perbuatan pidana dapat dinyatakan jika ada perbuatan bertentangan
yang bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Pasal 66, Pasal 96, Pasal 97
dan Pasal 116 mengatur tentang pidana tambahan dapat berupa tentang kewajiban adat sesuai
dengan hukum yang hidup dalam masyarakat setempat. Pasal 120 mengatur tentang pidana
tambahan yang dilakukan korporasi juga dapat melakukan pemenuhan kewajiban adat
setempat. Pasal 597 dan Pasal 601 Ayat (1) menunjukan adanya ancaman pidana bagi yang
melakukan perbuatan dilarang oleh hukum yang berlaku di masyarakat setempat, tidak hanya
yang melanggar perundangan.
Dalam KUHP yang baru, Legalitas yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP lama tetap
diakui, bersamaan dengan pengakuan keberadaan living law sebagai dasar pemidanaan yang
diatur dalam Pasal 2 KUHP. Meskipun living law diakui, Prof. Harkristuti Harkrisnowo
menegaskan bahwa hukum adat tidak secara otomatis berubah menjadi hukum pidana. Ada
beberapa kriteria yang harus dipenuhi, antara lain hukum adat hanya berlaku di daerah tempat
hukum tersebut hidup. Ketentuan dalam hukum adat tidak boleh diatur dalam KUHP untuk
menghindari duplikasi. Hukum adat juga harus sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, konstitusi
tahun 1945, HAM, dan asas hukum umum yang diakui oleh bangsa. Jika ada delik hukum
adat yang tidak memenuhi kriteria tersebut, maka tidak boleh dilaksanakan. Hukum adat yang
berlaku harus ditetapkan terlebih dahulu dalam Peraturan Daerah (Perda) berdasarkan hasil
penelitian empiris. Ancaman sanksi untuk tindak pidana adat dibatasi setara dengan denda
kategori II dalam KUHP, yaitu Rp10 juta ( Harkrisnowo, 2023).
Walaupun hukum progresif berseberangan dengan positivisme, dimana ia menolak
premis-premis dasar yang menuntut semua pengaturan hukum melalui undang-undang.
Hukum tetap dalam bentuk tertulis sebagai instrumen utama, tetapi bukan satu-satunya.
Hukum progresif mendorong agar penegakan hukum tidak dilakukan secara kaku dengan
hanya menggunakan logika undang-undang, melainkan juga mempertimbangkan realitas
sosial masyarakat yang dinamis. Dalam hal ini, Prof. Tjip mengadopsi pemikiran Charles
Sampford tentang konsep social melee, yang menunjukkan bahwa ketertiban dapat dicapai
melalui proses-proses sosial tanpa mengutamakan pendekatan hukum yang kaku. Pendekatan
ini dilakukan dengan cara 'berhukum dengan hati,' di mana aparat penegak hukum menjadi
ujung tombak penegakan hukum progresif. Dengan demikian, akomodasi hukum yang hidup
dalam KUHP memberikan legitimasi yang kuat bagi pengembangan penegakan hukum
dengan karakter progresif dalam sistem hukum pidana Indonesia (Magala, 2023).
Tantangan Implementasi Living Law dalam KUHP Baru
Tulisan ini berusahan untuk mengidentifikasi beberapa tantangan ke depan atas
implementasi KUHP baru terutama terkait dengan pengakomodasian hukum yang hidup
dalam masyarakat. Beberapa tantangan yang mampu diidentifikasi oleh penulis diantaranya:
Perlu sesegera mungkin di bentuk Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah yang
mengatur terkait hukum yang hidup dalam masyarakat
Milenia Ramadhani
3712 Syntax Idea, Vol. 6, No. 08, Agustus 2024
Ketiadaan pengaturan dalam bentuk Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah terkait
hukum yang hidup sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 2 Ayat (3) UU No. 1 Tahun 2023
perlu segera diisi untuk mencegah kekosongan hukum (rechtvacuum) dalam sistem hukum
pidana Indonesia. Pengaturan ini harus dilakukan sejalan dengan lima misi KUHP baru, tanpa
melakukan positivisasi terhadap hukum yang hidup. Hal ini berarti bahwa pemerintah daerah
melalui Peraturan Daerah hanya boleh memberikan pengakuan kepada masyarakat hukum
adat dan hak-haknya dalam menegakkan hukum yang hidup, tanpa mengambil alih penegakan
hukum tersebut melalui aparat penegak hukum yang dipositivisasikan. Formulasi ini bertujuan
untuk mencegah terjadinya reduksionisme terhadap hukum yang hidup, yang akan
bertentangan dengan nilai-nilai progresivitas dan tujuan pengakuan living law/ hukum adat
dalam KUHP baru (Magala, 2023).
Peraturan Pemerintah (PP) yang perlu dibentuk terutama tentang tata cara dan kriteria
penetapan hukum yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian PP ini dapat membatasi
masalah-masalah hukum adat yang dapat menjadi hukum pidana. Kritreria dan tahapan
penetapan hukum juga harus jelas dan detail untuk membatasi kewenangan aparatur atau
pihak lain agar tidak sewenang-wenang. Pada intinya KUHP baru memerlukan aturan teknis
dan operasional dalam penerapan hukum yang hidup dalam masyarakat sebagai asas legalitas
materiil. Pengaturan secara rinci dan berjenjang dengan PP dan Perda dapat menjadi panduan
pelaksanaan KUHP Baru dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Banyaknya aturan-atauran
yang tidak tertulis dalam masyarakat sebagai perwujudan kearifan lokal dan hukum adat akan
dapat menjadi potensi masalah ke depan jika pengaturan pada tataran operasional dan teknis
kurang detail. Oleh karena itu pembentukan PP harus melalui kajian hukum yang detail dan
komprehensif terkait hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia, termasuk hukum adat
yang masih diakui di Indonesia. Sedangkan untuk Perda lebih spesifik mengatur tentang
hukum yang hidup di daerah masing-masing dengan mendengarkan semua perwakilan suku
atau masyarakat adat yang ada, tokoh adat serta masyarakat adat yang ada.
Perlu pelibatan Lembaga adat dalam pelaksanaan hukum adat
Sebelum terbentuknya pemerintahan dan sistem peradilan modern seperti saat ini,
Lembaga adat yang biasanya diketuai oleh kepala adat atau tokoh adat mempunyai peran yang
tenting sebagai pengambil keputusan, khususnya juga sebagai pengadil masyarakat yang
melanggar hukum adat di suatu daerah. Hal ini berarti tokoh adat dan Lembaga adat
mempunyai fungsi penting dalam melestarikan hukum adat yang berlaku. Lembaga adat juga
tidak jarang sebagai pengadil yang memberikan sanksi adat pada pelanggar adat. Lembaga
adat juga yang melahirkan norma atau nilai yang menjadi aturan bersama untuk menjaga
kehidupan kelompok adat tertentu. Lembaga adat juga berperan sebagai penyelesai konflik
yang terjadi diantara anggota masyarakat adat, baik itu secara internal maupun eksternal
dengan adat yang lain (Dasor, 2020). Selain itu Lembaga adat juga berperan penting dalam
upaya pelestarian nilai-nilai budaya masyarakat adat di suatu masyarakat. Pelestari berarti
yang masih mempraktikan serta memegang nilai-nilai yang diwariskan oleh para leluhur
terkait hukum adat atau norma adat (Sonia & Sarwoprasodjo, 2020). Lembaga adat juga
mempunyai peran penting dalam mencegah terjadinya pelanggaran adat atau konflik yang
Tantangan Implementasi Pengakuan Hukum Adat dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana Baru di Indonesia
Syntax Idea, Vol. 6, No. 08, Agustus 2024 3713
terjadi pada level masyarakat. Fungsi ini adalah fungsi preventif yang dapat mencegah
perbuatan yang melanggar hukum atau melanggar adat (Dauh, Sukadana & Widyantara,
2020).
Oleh karena itu, implementasi living law di KUHP Baru harus melibatkan Lembaga
adat yang ada di daerah masing-masing. Pendetailan terkait keterlibatan Lembaga adat ini
harus dirumuskan dalam PP dan Perda yang dibentuk. Hal ini selain berfungsi memberikan
kewenangan juga memberikan batasan-batasan agar tidak terjadi overlapping dengan
Lembaga hukum yang lain. Pelibatan harus dilakukan sejak awal, terutama dalam proses
pembentukan peraturan pemerintah maupun perda serta dalam implementasinya di lapangan.
Perlu diatur tentang hukum perselisihan antar adat
Peluang terjadinya perselisihan atau pelanggaran hukum adat juga terjadi pada pada
antar kelompok adat yang berbeda. Jika hal ini terjadi maka diperlukan juga upaya
penyelesaian perselisihan yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Oleh karena itu perlu
juga pengaturan baik itu dalam PP maupun Perda hukum yag hidup dalam masyarakat untuk
mengaturnya dengan detail. Kejadian ini sering terjadi pada masyarakat adat yang berbatasan
dengan masyarakat adat yang lain. Interaksi antar adat ini seringkali menimbulkan
perselisihan yang mendasari banyak kekerasan antar suku atau masyarakat adat. Jika terjadi
dalam kelompok-kelompok adat yang dinaungi oleh hukum adat dan Lembaga adat yang
sama, hal ini akan mudah diselesaikan. Namun jika di perselisihan itu melibatkan Lembaga
adat yang berbeda, maka akan menjadi sulit dalam penyelesaiannya.
Lembaga yang lebih besar seperti Forum komunikasi antar adat seperti yang ada di
beberapa daerah, misal di Kota Medan Sumatera Utara dapat dijadikan sebagai jalan
mempertemukan perbedaan antar adat. Forum ini dapat menjadi ruang diskusi sampai dengan
ruang penyelesaian perselisihan antar adat. Tidak mudah melakukanya, namun hal ini perlu
diatur agar dapat menyelesaiakan perselisihan yang terjadi antar masyarakat adat. Oleh karena
itu kelembagaan ini juga perlu dipikirkan dalam proses penyusunan PP atau Perda yang
terkait dengan hukum yang hidup dalam masyarakat sebagai perwujudan KUHP baru.
Perlu adanya identifikasi hukum-hukum adat yang ada di Indonesia
Setiap wilayah di Indonesia memiliki kearifan lokal dan bentuk-bentuk hukum adat
yang sudah ada bahkan jauh sebelum Belanda tiba di Indonesia. Penelitian Snouck Hurgronje
pada tahun 1891-1892 berhasil mengidentifikasi 19 wilayah hukum adat di seluruh Nusantara
(Aridi & Permana, 2022). Dalam rangka untuk mempersiapkan implementasi KUHP baru
dalam kaitanya dengan hukum yang hidup dimasyarakat, maka perlu adanya pemetaan
wilayah hukum adat terbaru di Indonesia. Pemetaan terbaru dapat menggunakan dasar
pemetaan lama, namun lebih diperdetail dan diperluas, juga dikembangkan untuk mendukung
pelaksanaan hukum yang hidup di masyarakat. Hal ini mengingat karena perkembangan yang
signifikan pada masyarakat Indonesia saat ini. Pemetaan ini diharapkan dapat memberikan
petunjuk tentang berapa wilayah hukum adat yang ada, apa saja, dan mana yang perlu atau
memadai jika dilakukan positivisasi dalam hukum pidana melalui PP atau perda yang akan
dibuat.
Milenia Ramadhani
3714 Syntax Idea, Vol. 6, No. 08, Agustus 2024
Hukum adat sifatnya dinamis dan berkembang meskipun dalam jangka waktu yang
relatif lama. Oleh karena itu pemetaan wilayah hukum adat perlu dilakukan lagi untuk melihat
dinamikanya dan peluang menjadi hukum yang hidup dalam masyarakat dalam KUHP yang
baru. Jika wilayah hukum adat sudah terpetakan maka identifikasi hukum-hukum adat yang
ada dalam masing-masing wilayah adat dan sub wilayah adat dapat lebih mudah dilakukan.
Perlu pembekalan pada hakim terhadap persoalan adat istiadat
Pemahaman terkait budaya, adat-istiadat, kearifan lokal dan hukum adat yang menjadi
latar belakang suatu masyarakat sangat penting bagi hakim yang menagani perkara, terlebih
jika perkara tersebut terkait dengan hukum adat masyarakat setempat. Hal ini dapat
membentuk kemampuan hakim dalam menemukan ruang keadilan subtantif baik secara
hukum positif maupun hukum adat. Pengetahuan tentang adat istiadat memungkinkan hakim
memahami konteks budaya dan sosial di mana hukum adat diterapkan. Ini penting untuk
memberikan putusan yang adil dan sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat
adat.engan memahami adat istiadat, hakim dapat memberikan putusan yang tidak hanya legal
tetapi juga adil secara substansial. Ini berarti putusan yang sejalan dengan keadilan yang
dirasakan oleh masyarakat adat itu sendiri.
Pengetahuan tentang adat istiadat membantu hakim menghormati dan mengakui
eksistensi hukum lokal yang telah ada jauh sebelum hukum nasional terbentuk. Ini
memperkuat legitimasi sistem peradilan di mata masyarakat adat. Putusan yang tidak
mempertimbangkan adat istiadat dapat menimbulkan ketidakpuasan dan konflik di
masyarakat. Pengetahuan yang baik tentang adat istiadat membantu hakim dalam memberikan
putusan yang diterima dan dipatuhi oleh masyarakat, sehingga mencegah konflik sosial.
Pengetahuan tentang adat istiadat memungkinkan hakim untuk mengakomodasi kepentingan
dan hak-hak masyarakat adat dalam proses peradilan. Ini penting untuk memastikan bahwa
hukum yang hidup di masyarakat adat tetap dihormati dan dilindungi.Hakim dapat
memastikan bahwa putusan yang melibatkan adat istiadat tetap selaras dengan prinsip-prinsip
hukum nasional dan internasional, seperti hak asasi manusia dan konstitusi. Ini mengurangi
risiko ketidakadilan dalam penegakan hukum.
Perlu kepatuhan terhadap prinsip Hak Asasi Manusia, UUD NRI 1945 dan Pancasila.
Pasal 2 (Ayat2) KUHP baru sudah membatasi bahwa hukum yang hidup harus sesuai
dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai luhur Pancasila, UUD NRI 1945 dan HAM.
Pancasila dan UUD NRI 1945 telah menggariskan nilai luhur yang sempurna sebagai hukum
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia, maka sewajarnya jika aturan
dibawahnya, termasuk hukum yang berlaku di masyarakat tidak bertentangan. Nilai luhur
Pancasila tercermin dalam 5 Sila Pancasila, misalnya pada sila pertama adalah religiusitas,
kebebasan beragama dan toleransi; pada sila ke-2 adalah kemanusiaan, keadilan dan
keberadapan; sila ke-3 nilai nasionalisme, persatuan dan gotong royong; sila ke-4 nilai
demokrasi, musyawarah dan kebijaksanaan; sila ke-5 mempunyai nilai kesetaraan, keadilan,
kesetaraan dan keberlanjutan (Sirait, Alexander & Mahulae, 2023).
Tantangan Implementasi Pengakuan Hukum Adat dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana Baru di Indonesia
Syntax Idea, Vol. 6, No. 08, Agustus 2024 3715
Kepatuhan terhadap Hak Asasi Manusia berarti bahwa hukum yang berlaku di
masyarakat tidak boleh melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia seperti kesetaraan,
universal, hak-hak dalam kehidupan, kebebasan, keadilan, serta bermartabat. Pada dasarnya
antara prinsip Hak Asasi Manusia dengan Pancasila sudah selaras dan harmoni sehingga
pemenuhan terhadap nilai-nilai Pancasila termasuk juga memenuhi prinsip Hak asasi manusia
(Husna & Najicha, 2023).
KESIMPULAN
KUHP baru telah mengakomodasi asas legalitas materiil dari hukum yang hidup di
masyarakat (living law) sebagai bagian dari sistem pidana Indonesia. Hal ini berarti hukum
yang hidup dapat menjadi sumber hukum tindak pidana, dimana pelanggaran terhadap hukum
adat dapat dipidanakan. Dalam konteks Indonesia, hukum yang hidup di masyarakat adalah
hukum adat yang bersumber dari kearifan lokal, adat istiadat dan budaya Indonesia. Bukti
diakomodasinya living law dalam KUHP baru adalah adanya pasal-pasal yang berhubungan
dengan living law atau hukum adat. Mengingat kebaruannya, maka dalam penyusunan dan
pelaksanaanya akan timbul polemik dan perdebatan terkait living law dalam KUHP tersebut.
Banyak ahli hukum yang menganalisis beberapa tantangan implementasi living law
dalam KUHP baru ini. Tulisan ini mempu mengidentifikasi 6 tantangan hukum yang hidup
dalam masyarakat ini agar dapat dilaksanakan sesuai cita-cita penyusunan KUHP yang baru
serta mampu mewujudkan keadilan subtantif dan sosial. Tantangan tersebut adalah 1) Perlu
sesegera mungkin di bentuk Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah yang mengatur
terkait hukum yang hidup dalam masyarakat; 2) Perlu pelibatan Lembaga adat dalam
pelaksanaan hukum adat; 3) Perlu diatur tentang hukum perselisihan antar adat; 4) Perlu
adanya identifikasi hukum-hukum adat yang ada di Indonesia; 5) Perlu pembekalan hakim
terhadap persoalan adat istiadat; 6) Perlu kepatuhan terhadap prinsip Hak Asasi Manusia,
UUD NRI 1945 dan Pancasila.
BIBLIOGRAFI
Apriliani, I. R. (2023). Formulasi Sistem Pemidanaan Dan Bentuk Pidana Dalam KUHP Baru
(Doctoral dissertation, Universitas Pancasakti Tegal).
https://repository.upstegal.ac.id/6519/
Aridi, A., & Permana, Y. S. (2022). Kedudukan Hukum Adat Dalam Penguatan Pelestarian
Nilai-Nilai Adat Dalam Yurisprudensi. Jurnal Ilmu Hukum The Juris, 6(2), 352-362.
http://ejournal.stih-awanglong.ac.id/index.php/juris/article/view/602
Arief, B.N. (2016), Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan
Konsep KUHP Baru), Jakarta: Prenadamedia Group.
Dasor, Y W. ( 2020). Revitalisasi Peran Lembaga Adat dalam Penanganan Konflik Sosial:
Studi di Manggarai Nusa Tenggara Timur." Sosio Konsepsia: Jurnal Penelitian dan
Pengembangan Kesejahteraan Sosial 9.3: 213-228.
https://ejournal.kemensos.go.id/index.php/SosioKonsepsia/article/view/1859
Dauh, I. P. A. A., Sukadana, I. K., & Widyantara, I. M. M. (2020). Peran Pranata Adat Dalam
Pencegahan Konflik Antara Kelompok Masyarakat Adat. Jurnal Preferensi Hukum,
1(1), 133-138.
https://www.ejournal.warmadewa.ac.id/index.php/juprehum/article/view/1996
Fadlilah, M. N., & DK, A. A. (2022). Tinjauan Yuridis Mengenai Pertentangan Hukum Yang
Milenia Ramadhani
3716 Syntax Idea, Vol. 6, No. 08, Agustus 2024
Hidup dalam Masyarakat dalam Pasal 2 pada Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana dengan Asas Legalitas. AL-MANHAJ: Jurnal Hukum dan Pranata Sosial Islam,
4(2), 505-514.
https://ejournal.insuriponorogo.ac.id/index.php/almanhaj/article/view/1790
Harkrisnowo, H. (2023, Juni 6), Membumikan KUHP dalam Kancah Nasional’,
https://www.hukumonline.com/berita/a/beragam-perubahan-signifikan-dalam-kuhp-
baru-lt647f0ac6d6a99/
Husna, S. K. I., & Najicha, F. U. (2023). Pancasila dan Hubungannya dengan Hak Asasi
Manusia di Indonesia. Civic Education: Media Kajian Pancasila dan Kewarganegaraan,
7(2), 104-112. https://doi.org/10.36412/jce.v7i2.7869
Irawan, A., & Pura, M. H. (2023). Analisis Yuridis Ketentuan Hukum yang Hidup dalam
Masyarakat pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia. Ajudikasi: Jurnal
Ilmu Hukum, 7(1), 59-74. https://doi.org/10.30656/ajudikasi.v7i1.6453
Magala, A. S. (2023). Akomodasi Hukum Yang Hidup Dalam Kuhp Baru Indonesia Menurut
Perspektif Hukum Progresif. Spektrum Hukum, 20(2), 115-127.
http://dx.doi.org/10.56444/sh.v20i2.4345
Pawana, S. C. (2023). Polemik Atas Konsep" Hukum Yang Hidup" Dalam Pembaharuan
KUHP di Indonesia. JUDICATUM: Jurnal Dimensi Catra Hukum, 1(1), 51-62.
https://doi.org/10.35326/judicatum.v1i1.4045
Putri, N. S. (2021). Memikirkan Kembali Unsur “Hukum Yang Hidup Dalam Masyarakat”
Dalam Pasal 2 Rkuhp Ditinjau Perspektif Asas Legalitas. Indonesia Criminal Law
Review, 1(1), 5. https://scholarhub.ui.ac.id/iclr/vol1/iss1/5/
Sirait, G., Alexander, I. J., & Mahulae, S. H. R. (2023). Sosialisasi Penanaman Nilai-Nilai
Luhur Pancasila Dalam Meningkatkan Karakter Siswa. Pengembangan Penelitian
Pengabdian Jurnal Indonesia (P3JI), 1(3), 104-108.
https://jurnal.migascentral.com/index.php/p3ji/article/view/58
Sonia, T., & Sarwoprasodjo, S. (2020). Peran lembaga adat dalam pelestarian budaya
masyarakat adat kampung naga, desa neglasari, kecamatan salawu, tasikmalaya. Jurnal
Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat [JSKPM], 4(1), 113-124.
https://doi.org/10.29244/jskpm.4.1.113-124
Copyright holder:
Milenia Ramadhani (2024)
First publication right:
Syntax Idea
This article is licensed under: