Tantangan Implementasi Pengakuan Hukum Adat dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana Baru di Indonesia
Syntax Idea, Vol. 6, No. 08, Agustus 2024 3709
PENDAHULUAN
Reformasi Kitab Undang-Undang Pudana (KUHP) telah berhasil dilakukan oleh
Indonesia yang disyahkan pada Desember 2022 dan diundangkan pada tanggal 2 Januari
2023. KUHP baru ini mempunyai masa transisi selama 3 tahun, sehingga akan berlaku pada
tanggal 2 januari tahun 2026 mendatang. Diketahui bahwa KUHP yang selama ini berlaku
merupakan warisan Belanda yang berasal dari Wetboek uan Strafrechl uoor Nederlandsch-
Indie dan berlaku sejak Indonesia merdeka tahun 1945. Meskipun selama ini ada upaya
penyesuaian baik berupa perubahan maupun pembaharuan sebanyak 10 kali, namun dirasa
masih belum memenuhi misi perubahan mendasar dari KUHP yang dinginkan, yaitu misi
dekolonialisasi, konsolidasi, demokratisasi, dan harmonisasi secara terkodifikasi dan
menyeluruh. Misi tersebut membawa konsekuensi perubahan mendasar tentang filosofis,
perspektif, konsep dan teori yang mendasarinya. Dalam konteks politik hukum pidana, Barda
Nawawi Arief menyebut upaya reformasi ini untuk mengubah dan memperbarui hukum
pidana agar sesuai dengan nilai-nilai sosial, politik, filosofis, dan budaya masyarakat
Indonesia yang menjadi dasar kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan penegakan hukum
pidana. Oleh karena itu, hukum pidana tidak hanya bersifat normatif, tetapi juga memerlukan
pendekatan empiris, sosiologis, historis, dan integrasi dengan kebijakan sosial dan
pembangunan nasional secara keseluruhan (Arief, 2016).
KUHP baru memberikan perubahan yang mendasar terkait dengan tujuan untuk
mengatur atau mengorganisir ulang (rekonstruksi atau reformulasi) struktur hukum pidana
nasional menjadi lebih terpadu (Apriliani, 2023). KUHP Baru yang diundangkan dengan UU
No. 1 Tahun 2023, meskipun masih menghadapi beberapa kritik terkait rumusan beberapa
pasal, namun telah mengakomodasi sejumlah pemikiran mendasar yang penting untuk
memperbarui penegakan hukum pidana di Indonesia. Konsep-konsep yang menjadi antitesis
dari paradigma klasik positivisme-formil menjadi bagian integral yang signifikan di
dalamnya. Salah satu aspek penting dari beberapa pembaruan dalam KUHP Baru Indonesia
adalah penyatuan hukum yang hidup (living law) dalam sistem hukum pidana nasional yang
baru (Magala, 2023).
Beberapa penelitian sebelumnya melihat persoalan dan permasalahan jika living law
diadopsi dalam hukum pidana sehingga dinilai belum sepenuhnya dapat diterapkan akibat dari
banyaknya kekosongan hukum, aturan yang inkonsistensi, dan pemahaman masyarakat
terhadap living law yang belum merata (Pawana, 2023). Pengaturan hukum yang hidup saat
ini masih berupa pengakuan atau akomodasi, namun belum dapat memberikan kepastian yang
rinci, sehingga masih memerlukan pengaturan yang sifatnya lex specialis (Irawan & Pura,
2023). Namun disisi lain rumusan hukum yang hidup dalam KUHP baru telah sesuai dengan
konsep dan nilai-nilai hukum progresif, termasuk mendekonstruksi positivisme hukum
dengan memperluas prinsip legalitas, menerapkan paradigma holistik, dan mereorientasi
tujuan hukum ke arah keadilan substantive (Magala, 2023). Oleh karena itu akomodasi
hukum adat dalam KUHP baru ini dipastikan akan menemui berbagai tantangan dalam
implementasinya. Tulisan ini bertujuan untuk membahas tentang living law yang ada dalam
KUHP baru dan menguraikan beberapa tantangan ke depan terkait dengan implementasi
hukum adat dalam KUHP baru tersebut.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Pengumpulan data
dilakukan melalui pencarian data sekunder berupa bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder yang relevan dengan pokok permasalahan yang diteliti. Pendekatan yang digunakan
dalam analisis adalah yuridis-normatif dan kemudian dibahas juga dengan pendekatan
sosiologis melalui teori-teori ilmu sosial yang relevan.