How to cite:
Ananda Siti Nurbaiti (2024) Penerapan Hukum Tata Negara Darurat dalam Perspektif Bencana
Nonalam, (06) 08,
E-ISSN:
2684-883X
PENERAPAN HUKUM TATA NEGARA DARURAT DALAM PERSPEKTIF
BENCANA NONALAM
Ananda Siti Nurbaiti
Universitas Madako Tolitoli, Indonesia
Abstrak
Dalam perspektif Hukum Tata Negara terdapat perbedaan antara hukum dalam keadaan
normal dan hukum dalam keadaan darurat, pada saat negara berada pada keadaan tidak
normal maka diberlakukan HTN Darurat, agar sistem hukum yang mengatur keadaan darurat
dapat diatur lebih komprehensif agar terjamin perlindungan pada saat negara dalam kondisi
darurat. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan konsep pengaturan HTN Darurat dalam
persepektif bencana nonalam berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, penelitian ini dikaji secara normatif dengan menggunakan pendekatan
perundang-undangan (Statutte Approach) dan pendekatan konseptual (Conceptual Approach).
Hasil penelitian ini menunjukkan berdasarkan UUD 1945 keadaan bahaya dan kegentingan
yang memaksa diatur dalam pasal 12 dan 22, aturan tersebut masih ditafsirkan secara luas dan
sempit mengenai keadaan bahaya dan hal ihwal kegentingan yang memaksa pada tingkat
undang-undang. Keadaan darurat bencana nonalam khususnya, belum menggunakan konsep
HTN Darurat padahal bencana nonalam merupakan suatu hal yang sama berbahayanya
dengan bencana alam, dan dipandang perlu untuk dilakukan rekonseptualisasi pada sistem
hukum dalam keadaan darurat dari berbagai ketentuan perundang-undangan.
Kata Kunci : HTN Darurat, Bencana Nonalam, Keadaan Darurat.
Abstract
In the perspective of Constitutional Law, there is a difference between the law in a normal
state and the law in an emergency, when the state is in an abnormal state, the Emergency
HTN is enforced, so that the legal system that regulates emergencies can be regulated more
comprehensively so that protection is guaranteed when the state is in an emergency state.
This study aims to find the concept of Emergency HTN regulation in the perspective of non-
natural disasters based on the Constitution of the Republic of Indonesia in 1945, this study is
studied normatively using a statutory approach (Statutte Approach) and a conceptual
approach (Conceptual Approach). The results of this study show that based on the 1945
Constitution, the state of danger and compelling emergency is regulated in articles 12 and 22,
the regulation is still interpreted broadly and narrowly regarding the state of danger and
matters of compelling emergency at the legal level. Non-natural disaster emergencies, in
particular, have not used the concept of Emergency HTN even though non-natural disasters
are as dangerous as natural disasters, and are considered necessary to reconceptualize the
legal system in emergencies from various legal provisions.
Keywords: Emergency HTN, Non-Natural Disasters, Emergencies
JOURNAL SYNTAX IDEA
pISSN: 2723-4339 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 6, No. 08, Agustus 2024
Penerapan Hukum Tata Negara Darurat dalam Perspektif Bencana Nonalam
Syntax Idea, Vol. 6, No. 08, Agustus 2024 3701
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara yang berdasar atas hukum dengan menjamin keadilan
kepada seluruh warga negaranya. Mengingat Negara tidak selalu berada dalam keadaan
biasa, kadangkala terjadi suatu keadaan yang tidak dapat diprediksi dan bersifat mendadak
(Sasongko, 2022). Pengaturan hukum darurat sangat diperlukan agar Pemerintahan tidak
bertindak secara sewenang-wenang, sebab dalam pemerintahatan darurat, pemerintah
dimungkinkan untuk bertindak dalam hal yang sifatnya luar biasa, untuk mengatasi keadaan
darurat karena hukum seharusnya memiliki sarana undang-undang baik dari segi kesediaan
norma, yang harus sejalan dengan pemahaman konstitusi, dan ketentuan pembentukan
peraturan perundang-undangan.
Keadaan tersebut biasa menimbulkan keadaan yang tidak biasa, ketika terjadi situasi
darurat maka pengaturan hukum yang ada terkadang tidak dapat menjangkau, maka negara
membutuhkan ketentuan khusus untuk mengatasi masalah tersebut, agar negara tidak terhenti
karena kondisi diluar keadaan normal (Fransisco, 2020). Dalam perspektif Hukum Tata
Negara terdapat perbedaan antara hukum dalam keadaan normal dengan hukum dalam
keadaan darurat (Riewanto, 2019). Jimly Asshiddiqie dalam bukunya menjelaskan tentang
dualism konstitusional, dimana artinya sistem hukum yang pertama dalam keadaan normal
berlaku dalam keadaan normal untuk melindungi hak-hak dan kebebasan rakyat, serta yang
kedua berlaku untuk situasi dalam keadaan darurat, hukum yang berlaku disebut Hukum Tata
Negara Darurat (state of emergency) (Asshiddiqie & Safa’at, 2006).
Hukum yang bersifat tidak normal hanya berlaku dalam keadaan tidak normal, artinya
dalam kondisi tertentu atau diluar keadaan normal memerlukan pengaturan yang bersifat
khusus (Prasetyowati, Prananingtyas, & Saptono, 2017). Mengingat negara Indonesia
merupakan negara yang rentan terhadap situasi darurat, hal ini dapat terjadi karena Indonesia
memiliki wilayah yang luas, adanya keanekaragaman suku, budaya dan agama, serta adanya
kekayaan alam yang melimpah. Hal inilah yang dapat menyebabkan terjadinya situasi darurat
yang harus dialami oleh Indonesia, namun besarnya kemungkinan kondisi darurat di
Indonesia tidak dibarengi dengan dimilikinya regulasi hukum kedaruratan yang cukup baik
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Regulasi hukum darurat di Indonesia saat ini, masih mengacu pada Peraturan Pengganti
Undang-Undang 23 Tahun 1959 tentang Pencabutan Undang-Undang No. 74 Tahun 1957
yang berdasar pada UUD NRI 1945, padahal regulasi mengenai kedaruratan ketika terjadi
bencana nonalam merupakan hal yang sangat penting untuk diatur, dimana bencana nonalam
merupakan rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, epidemi dan
wabah penyakit (Ilma, 2020). Salah satu contoh konkret dari terjadinya bencana nonalam
adalah adanya Pandemi Covid-19 (yang dinyatakan sebagai darurat kesehatan) dan
menyebabkan kematian pada 200.000 jiwa penduduk Indonesia. Maka berdasarkan latar
belakang tersebut, Penulis tertarik untuk meneliti seperti apakah penerapan HTN darurat
dalam perspektif bencana nonalam yang dapat dikategorikan sebagai keadaan darurat, dimana
hal tersebut merupakan konsekuensi dari berlakunya hukum tata Negara darurat
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan adalah normatif dengan mengkaji permasalahan
dalam penelitian hokum yang dilihat dari aspek konsep-konsep hukum yang melatar
belakanginya dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statutte approach)
dengan menelaah peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang HTN darurat serta
menggunakan pendekatan konseptual (conceptual approach) dengan menganalisis bahan
Ananda Siti Nurbaiti
3702 Syntax Idea, Vol. 6, No. 08, Agustus 2024
hukum untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin
hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi (Suyanto, 2023).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Bencana Nonalam dari Perspektif HTN Darurat
Berdasarkan UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, dijelaskan
bahwa bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu
kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau
faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa
manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis, dan
selanjutnya pada Pasal 1 ayat (3) dijelaskan bencana nonalam adalah bencana yang
diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal
teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit,
Apabila terjadi bencana nonalam seperti epidemi dan wabah penyakit maka dapat di
Negara Indonesia dapat digunakan konsep HTN Darurat. HTN darurat merupakan
serangkaian pranata dan kewenangan negara secara luar biasa dan istimewa dalam waktu
yang sesingkat-singkatnya, dan dapat menghapuskan suatu keadaan darurat atau keadaan
bahaya yang mengancam kedalam kehidupan biasa menurut Peraturan Perundang-Undangan
yang berlaku (Michael, 2020).
Saat ini bencana alam di kategorikan dalam HTN darurat karena bencana alam termasuk
salah satu hal yang tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan negara sebagaimana
biasaanya, bencana alam berpotensi besar mehilangkan dan memusnahkan atau paling
minimal membuat tidak berfungsi untuk sementara salah satu unsur-unsur suatu Negara,
yakni wilayah (laut, udara, dan darat), penduduk, dan kegiatan pemerintah (Ardianto, Fahmal,
& Bima, 2023)
sedangkan pada bencana nonalam belum ada satu regulasi khusus yang
menjelaskan sejauh mana bencana nonalam terjadi sehingga HTN darurat dapat diberlakukan.
Keadaan Bahaya dan Kegentingan yang Memaksa Berdasarkan Undang-Undang Dasar
NRI 1945
Praktik penyelenggaraan negara sering terjadi hal-hal yang tidak normal dalam menata
kehidupan kenegaraan, di mana sistem hukum yang biasa digunakan tidak mampu
mengakomodasi kepentingan negara atau masyarakat sehingga memerlukan pengaturan
tersendiri untuk menggerakkan fungsi-fungsi negara agar dapat berjalan secara efektif guna
menjamin pemenuhan hak-hak dasar warga negara, maka penggunaan perangkat hukum biasa
sejak semula haruslah mengantisipasi berbagai kemungkinan keadaan yang bersifat tidak
normal agar negara dapat menjamin kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara (Effendi,
2020)
Berdasarkan Pasal 12 UUD NRI 1945 disebutkan Presiden menyatakan keadaan
bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan UU, dan selanjutnya
Pasal 22 UUD NRI 1945 disebutkan:
1) Dalam ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
Penerapan Hukum Tata Negara Darurat dalam Perspektif Bencana Nonalam
Syntax Idea, Vol. 6, No. 08, Agustus 2024 3703
2) Peraturan Pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam
persidangan berikut;
3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka Peraturan Pemerintah itu harus dicabut
Kewenangan yang diberikan kepada Presiden dalam kewenangan menetapkan Perpu
bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum kepada rakyat, walaupun Presiden dituntut
untuk bertindak cepat dan demi keamanan dan keselamatan negara (Marwiyah, 2015).
Peraturan yang ditetapkan untuk menyelenggarakan kegiatan Negara dan pemerintahan dalam
keadaan darurat disebut emergency legislation.
Apabila dipandang dari segi isinya pengaturan tersebut merupakan legilsfatif act atau
undang-undang, namun karena keadaan darurat tidak memungkinkan untuk membahasnya
bersama-sama dengan parlemen, maka kepala pemerintahan eksekutif menetapkannya secara
sepihak tanpa didahului oleh persetujuan parlemen, yaitu dalam bentuk peraturan khusus yang
disebut martial law, emergency law, atau emergency legislation.
Penggunaan Pasal 22 UUD 1945 dalam praktik penyelenggaran pemerintahan di
Indonesia, ditemukan 3 (tiga) alasan yang mendasar, yaitu: adanya unsur yang
membahayakan, adanya unsur kebutuhan yang mengharuskan, dan adanya unsur keterbatasan
waktu. Ketiga unsur tersebut merupakan persyaratan logis untuk memberlakukan atau
mengkategorikan hal ihwal kegentingan yang memaksa, untuk melakukan tindakan hukum
untuk mengantisipasi keadaan yang ada, agar fungsi-fungsi kenegaraan dapat berjalan,
dimana presiden mempunyai kewenangan membentuk Perppu sesuai diamanatkan Pasal 22
UUD NRI 1945 (Imbawani, 2014).
Hukum Tata Negara merupakan hal yang sangat penting dalam penyelenggaraan negara
ketika dihadapi oleh situasi darurat, sebagaiman dalam Pasal 12 UUD 1945 sebagai
konsideran, melainkan hanya memuat pasal 22 UUD 1945, padahal Pasal 12 merupakan pintu
menuju perubahan rezim hukum, yang semula rezim hukum normal berubah menjadi aktivasi
rezim hukum darurat, sedangkan hal ihwal kegentingan yang memaksa memiliki karakteristik
berbeda dengan keadaan bahaya/darurat.
Penerapan Hukum Tata Negara Darurat dalam Perspektif Bencana Nonalam
Keadaan darurat mengakibatkan negara serta pemerintahannya tidak dapat berlangsung
dengan efektif, karena hukum dan segala Peraturan perundang-undangan yang berlaku saat
negara dalam keadaan normal (ordinary condition) tidak dapat berlaku secara efektif, karena
tidak dapat menjawab segala persoalan yang timbul selama keadaan darurat itu berlangsung
karena suatu keadaan darurat itu sangat sulit untuk dapat diprediksi (Ritonga, 2017).
Pengaturan kedaruratan saat ini sesuai dengan amanat Konstitusi pada Pasal 5 dan Pasal
22 UUD NRI Tahun 1945 yang mengatur mengenai UU/ Perpu Undang-Undang adalah
produk hukum yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan persetujuan
betsama Presiden atau sebaliknya. Berbeda halnya dengan Perppu yang dibuat secara sepihak
oleh Presiden, tanpa harus ada persetujuan dari DPR. Namun Perppu sifatnya hanya
sementara, karena Presiden mempunyai kewajiban hukum untuk mengajukan Perppu tersebut
ke DPR sebelum Perppu tersebut disahkan menjadi sebuah UU (Nazriyah, 2010).
Ananda Siti Nurbaiti
3704 Syntax Idea, Vol. 6, No. 08, Agustus 2024
Unsur-unsur utama dalam HTN darurat yakni a) adanya bahaya negara yang patut
dihadapi dengan upaya luar Biasa; b) upaya biasa, pranata yang umum dan lazim tidak
memadai untuk digunakan menanggapi atau menanggulangi bahaya yang ada; c) kewenangan
luar biasa yang diberikan dengan hukum kepada pemerintah negara untuk secepatnya
mengakhiri bahaya darurat tersebut kembali kedalam kehidupan normal; dan d) wewenang
luar biasa dan HTN darurat hanya untuk sementara waktu saja sampai keadaan darurat itu
dipandang sudah tidak membahayakan lagi (Jurdi, 2019).
Bentuk-bentuk pengaturan hukum yang berlaku atau dapat diberlakukan dalam keadaan
darurat, harus meliputi a) peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar untuk
memberlakukan keadaan darurat; b) peraturan perundang-undangan ditetapkan dalam situasi
dari darurat. Salah satu syarat untuk dapat menyatakan suatu keadaan dalam bahaya, ialah
terdapat suatu keadaan yang mengkhawatirkan bagi berlangsungnya kehidupan Negara dan
masyarakat, berdasarkan Pasal 1 Ayat (1) UU No. 23 Tahun 1959 Tentang Pencabutan UU
No. 74 Tahun 1957 dan Penetapan Keadaan Bahaya, telah dirumusankan unsur-unsur untuk
dapat dinyatakan sebagai keadaan darurat, yang berbunyi “Presiden/panglima tertinggi
angkatan perang menyatakan seluruh atau sebagian dari wilayah Negara Republik Indonesia
dalam keadaan bahaya dengan tingkatan keadaan darurat sipil atau keadaan darurat militer
atau keadaan perang.
Keadaan darurat dapat terjadi karena berbagai faktor, yaitu adanya kejadian yang
berasal dari luar (eksternal) maupun dari dalam suatu negara (internal) (Matompo, 2014)
.
Kesesuaian antara jenis kedaruratan dengan kebijakan yang dikeluarkan akibat dari hukum
kedaruratan yang dipilih sangat penting. Adanya kesesuaian membuat kebijakan penanganan
kedaruratan fokus kepada masalah yang dihadapi dengan harapan kedaruratannya segera
berakhir. Salah satu asas penting dalam kedaruratan adalah asas kesementaraan yang memuat
pesan bahwa darurat harus dilakukan dengan batas waktu tertentu, jika memungkinkan
kedaruratan harus segera berakhir tidak perlu membutuhkan waktu yang panjang.
Semakin lama berlakunya keadaan darurat pada umumnya menimbulkan kekhawatiran
yang mendasar. Bukan saja khawatir akan lahirnya dampak yang lebih luas atau
penyalahgunaan kekuasaan, melainkan juga melebar pada tercederainya HAM (Prasetio,
2021). Adapun syarat materiil untuk penetapan perpu yaitu 1) adanya kebutuhan yang
mendesak untuk bertindak; 2) Waktu yang tersedia terbatas atau terdapat kegentingan waktu;
dan 3) Tidak tersedia alternatif lain atau menurut penalaran yang wajar alternatif lain
diperkirakan tidak akan dapat mengatasi keadaan, sehingga penetapan perpu merupakan satu-
satunya cara untuk mengatasi keadaa tersebut.
Berdasarkan Pasal 1 Ayat (1) UU No. 23 Tahun 1959 Tentang Pencabutan UU No. 74
Tahun 1957 dan Penetapan Keadaan Bahaya, telah dirumuskan unsur-unsur untuk dapat
dinyatakan sebagai keadaan darurat, yang dimana berbunyi:
Presiden/panglima tertinggi angkatan perang menyatakan seluruh atau sebagian dari
wilayah NRI dalam keadaan bahaya dengan tingkatan keadaan darurat sipil atau keadaan
darurat militer atau keadaan perang, apabila:
Penerapan Hukum Tata Negara Darurat dalam Perspektif Bencana Nonalam
Syntax Idea, Vol. 6, No. 08, Agustus 2024 3705
1) Keamanan atau ketertiban hukum di seluruh wilayah atau sebagian wilayah NRI terancam
oleh pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam, sehingga
dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa;
2) Timbul perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan perkosaan wilayah NRI dengan cara
apapun juga;
3) Hidup Negara dalam keadaan bahaya atau terdapat keadaan-keadaan khusus ternyata ada
atau dikhawatirkan ada gejala-gejala yang dapat membahayakan hidup Negara.
Berdasarkan ketentuan diatas bencana nonalam dapat juga digolongkan sebagai
penyebab timbulnya keadaan darurat, dengan berbagai persyaratan bahwa dampak pada waktu
dimulainya, saat, dan setelah peristiwa bencana nonalam itu terjadi telah memusnahkan,
menghilangkan atau paling tidak membuat tidak berfungsi untuk sementara elemen-elemen/
unsur-unsur suatu Negara yakni wilayah (laut, udara, dan darat), penduduk, dan pemerintah
sebagai syarat untuk suatu peristiwa bencana alam di kategorikan keadaan darurat/ bahaya.
Dalam penanganan Pandemi Covid-19 yang dilakukan oleh Pemerintah berdasarkan
konsep HTN Darurat, pemerintah mengambil kebijakan legislativ model, dengan menetapkan
Pandemi Covid-19 sebagai darurat kesehatan, dengan berdasarkan Pasal 22 UUD NRI Tahun
1945 yakni hal ihwal kegentingan yang memaksa. Maka secara hukum paradigma dibalik
Penanganan Pandemi COVID-19 Pemerintah menggunakan hukum normal bukan hukum
darurat sebagaimana ketentuan yang secara eksplisit diatur pada Pasal 12 UUD NRI 1945.
Segala tindakan yang dilakukan bersifat emergency de facto.
Padahal kondisi darurat tidak hanya bencana alam, adapun bencana nonalam yang dapat
terjadi kapan saja dan memiliki tingkat kedaruratan yang sama seperti bencana alam, maka
penerapan HTN darurat dalam perspektif bencana nonalam sangat memerlukan sistem norma
hukum yang berlaku pada saat terjadi keadaan bahaya atau keadaan darurat, dimana norma-
norma hukum yang bisa diterapkan dalam keadaan yang tidak normal atau luar biasa tersebut,
hanyalah norma hukum yang secara khusus mengatur keadaan darurat, agar kekuasaan negara
serta keselamatan warga negara dapat terselamatkan.
Dalam menerapkan HTN darurat pada perspektif bencana nonalam dibutuhkan
rekonseptualisasi mengenai hukum keadaan darurat dari berbagai ketentuan, khususnya pada
UU yang mengatur mengenai bencana nonalam seperti dalam UU No 23 Tahun 1959 tentang
Keadaan Bahaya, UU Nomor 24 Tahun 2007 Penanggulangan Bencana dan UU Nomor 6
Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan mengingat terdapat ketidakkonsistenan konsep
keadaan darurat antara satu dengan yang lainnya. Hal ini menjadi hal yang sangat penting
untuk dilakukan, mengingat pemerintah selaku pelaksana kebijakan politik negara
mempunyai wewenang yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku,
memimpin atau mengatur warga negaranya, memberi petunjuk dan arah serta
mengkoordinasikan kegiatan, mengawasi dan melindungi masyarakatnya baik dalam keadaan
normal ataupun negara dalam keadaan tidak normal.
KESIMPULAN
HTN Darurat merupakan serangkaian pranata dan kewenangan negara secara luar biasa
dan istimewa dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dan bersifat sementara, tujuan
Ananda Siti Nurbaiti
3706 Syntax Idea, Vol. 6, No. 08, Agustus 2024
dilakukannya adalah untuk mengatur negara saat berada dalam keadaan tidak normal.
Ketentuan kedaruratan diatur dalam Pasal 12 dan Pasal 22 UUD NRI Tahun 1945, yang
dimana secara praktis pengertian keadaan bahaya dan hal ihwal kegentingan yang memaksa
dalam konteks kedaruratan negara, masih sering ditafsirkan secara multitafsir dalam
penggunaanya dan disisi lain pada tingkat undang-undang memiliki masing-masing konsep
pengertian kedaruratan yang justru tidak memasukkan ketentuan Pasal 12 UUD 1945 sebagai
dasar hukum. Pada penerapan HTN darurat dalam perspektif bencana nonalam seperti gagal
teknologi, epidemi dan wabah penyakit dibutuhkan rekonseptualisasi mengenai hukum
keadaan darurat dari berbagai ketentuan, khususnya pada UU yang mengatur mengenai
bencana nonalam, mengingat bencana nonalam bisa terjadi kapan saja dan sama daruratnya
dengan bencana alam.
BIBLIOGRAFI
.Ardianto, Ardianto, Fahmal, A. Muin, & Bima, Muhammad Rinaldy. (2023). Bencana Alam
Dalam Perspektif Hukum Tata Negara Darurat. Journal of Lex Theory (JLT), 4(1), 41
55.
Asshiddiqie, Jimly, & Safa’at, Muchamad Ali. (2006). teori Hans Kelsen tentang hukum.
Mahkamah Konstitusi RI, Sekretariat Jenderal dan Kenpaniteraan.
Effendi, Basri. (2020). Tafsir Konstitusi Negara Dalam Keadaan Darurat (State Of
Emergency) Dalam Menghadapi Darurat Kesehatan Masyarakat. Jurnal Transformasi
Administrasi, 10(1), 6779.
Fransisco, Wawan. (2020). Interaktif masyarakat terhadap hukum dalam kehidupan normal
baru pasca COVID-19. Journal of Judicial Review, 22(2), 151164.
Ilma, Mughniatul. (2020). Regulasi dispensasi dalam penguatan aturan batas usia kawin bagi
anak pasca lahirnya UU No. 16 Tahun 2019. AL-MANHAJ: Jurnal Hukum Dan Pranata
Sosial Islam, 2(2), 133166.
Imbawani, Djoko. (2014). Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Oleh
Mahkamah Konstitusi. Jurnal Media Hukum, 21(1), 15.
Jurdi, Fajlurrahman. (2019). Hukum tata negara Indonesia. Kencana.
Marwiyah, Siti. (2015). Kewenangan Konstitusional Presiden Terhadap" Hal Ihwal
Kegentingan Yang Memaksa". Kewenangan Konstitusional Presiden Terhadap" Hal
Ihwal Kegentingan Yang Memaksa", 44(3), 296304.
Matompo, Osgar S. (2014). Pembatasan Terhadap Hak Asasi Manusia Dalam Prespektif
Keadaan Darurat. Jurnal Media Hukum, 21(1), 16.
Michael, Tomy. (2020). Hukum Tata Negara Darurat Corona di Indonesia. Mimbar Keadilan,
13(2), 163172.
Nazriyah, Riri. (2010). Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Menguji Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, 17(3), 383405.
Prasetio, Rizki Bagus. (2021). Pandemi Covid-19: Perspektif Hukum Tata Negara Darurat
dan Perlindungan HAM. Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum, 15(2), 327346.
Prasetyowati, Hanifah, Prananingtyas, Paramita, & Saptono, Hendro. (2017). Analisa Yuridis
Larangan Perjanjian Integrasi Vertikal Sebagai Upaya Pencegahan Praktek Monopoli
Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Diponegoro Law Journal, 6(2), 112.
Riewanto, Agus. (2019). Strategi Hukum Tata Negara Progresif Mencegah Politik Uang
Pemilu Serentak. Integritas : Jurnal Antikorupsi, 5(1), 111125.
Ritonga, A. Anshari. (2017). Pengantar Ilmu Hukum Pajak & Perpajakan Indonesia. Jakarta:
Pustaka El Manar, 423, 14.
Penerapan Hukum Tata Negara Darurat dalam Perspektif Bencana Nonalam
Syntax Idea, Vol. 6, No. 08, Agustus 2024 3707
Sasongko, Andy. (2022). Penerapan Fungsi Hukum Jaksa Pengacara Negara untuk
Mewujudkan Kepastian Hukum, Keadilan, dan Kemanfaatan dalam Perkara Perdata dan
Tata Usaha Negara (Berdasarkan kajian Filsafat Hukum). Journal of Law, Society, and
Islamic Civilization, 10(2), 105. https://doi.org/10.20961/jolsic.v10i2.64943
Suyanto, S. H. (2023). Metode Penelitian Hukum Pengantar Penelitian Normatif, Empiris
Dan Gabungan. Unigres Press.
Copyright holder:
Ananda Siti Nurbaiti (2024)
First publication right:
Syntax Idea
This article is licensed under: