How to cite:
Arif Budiman, Mohammad Ryan Bakry, Iskandar Muda (2024) Rekognisi Hukum Penggunaan
Bahasa Asing dalam Pembuatan Akta Notaris Berdasarkan Ketentuan Hukum di Indonesia, (06) 09,
E-ISSN:
2684-883X
REKOGNISI HUKUM PENGGUNAAN BAHASA ASING DALAM PEMBUATAN
AKTA NOTARIS BERDASARKAN KETENTUAN HUKUM DI INDONESIA
Arif Budiman, Mohammad Ryan Bakry, Iskandar Muda
Universitas Yarsi, Indonesia
Abstrak
Dalam sistem hukum Indonesia, penggunaan bahasa asing dalam pembuatan akta notaris
merupakan isu yang kompleks dan signifikan. Notaris, sebagai pejabat umum yang
berwenang, wajib menyusun akta dalam bahasa Indonesia sesuai dengan Undang-undang
Jabatan Notaris No. 2 Tahun 2014 Pasal 43 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009
tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis rekognisi hukum terhadap penggunaan bahasa asing dalam akta
notaris dan implikasinya terhadap keabsahan akta tersebut. Metode penelitian yang digunakan
adalah yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan studi kasus. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa meskipun terdapat ketentuan yang mengharuskan penggunaan
bahasa Indonesia, masih terdapat keleluasaan dalam penggunaan bahasa asing dengan syarat
akta tersebut diterjemahkan oleh penerjemah tersumpah dan dicantumkan bersama akta
aslinya. Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa rekognisi hukum terhadap penggunaan
bahasa asing dalam akta notaris di Indonesia diatur secara ketat untuk memastikan kejelasan
dan keabsahan dokumen hukum, serta untuk melindungi hak-hak pihak yang terlibat.
Implikasi praktis dari temuan ini adalah perlunya notaris memastikan kepatuhan terhadap
regulasi bahasa guna menghindari potensi sengketa hukum di kemudian hari.
Kata Kunci: Notaris, Bahasa Asing, Akta.
Abstract
In the Indonesian legal system, the use of foreign languages in making notarial deeds is a
complex and significant issue. Notaries, as authorized public officials, are required to draw
up deeds in Indonesian in accordance with Law on Notary Positions No. 2 of 2014 Article 43
and Law Number 24 of 2009 concerning the National Flag, Language and Emblem, as well
as the National Anthem. This research aims to analyze the legal recognition of the use of
foreign languages in notarial deeds and its implications for the validity of the deed. The
research method used is normative juridical with a statutory approach and case studies. The
research results show that although there are provisions requiring the use of Indonesian,
there is still freedom in using foreign languages provided that the deed is translated by a
sworn translator and included with the original deed. The conclusion of this research is that
legal recognition of the use of foreign languages in notarial acts in Indonesia is strictly
regulated to ensure clarity and validity of legal documents, as well as to protect the rights of
the parties involved. The practical implication of these findings is the need for notaries to
ensure compliance with language regulations to avoid potential legal disputes in the future.
JOURNAL SYNTAX IDEA
pISSN: 2723-4339 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 6, No. 09, September 2024
Arif Budiman, Mohammad Ryan Bakry, Iskandar Muda
3878 Syntax Idea, Vol. 6, No. 09, September 2024
Keywords : Notary, Foreign Language, Deed.
PENDAHULUAN
Rekognisi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesi (KBBI) adalah hal atau keadaan yang
diakui; pengakuan; pengenalan; dan penghargaan (Moeljadi et al., 2016). Pada Era globalisasi
saat ini persaingan dalam mencari lowongan pekerjaan sangatlah ketat. Oleh karena itu skill
dalam bidang tertentu seperti pengguasaan menggunakan bahasa asing sangat membuka
peluang dalam mendapatkan pekerjaan. Diperjelas dengan banyak lembaga-lembaga, institusi
maupun perusahaan yang lebih mengutamakan para calon pekerja yang memiliki penguasaan
bahasa asing sampai dengan pembuatan kontrak kerja dalam bahasa asing.
Kepotensialan bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional dapat dilihat dari
beberapa faktor yang mendukung dan atau yang memengaruhinya. Secara garis besar, faktor
tersebut dapat dibagi menjadi dua kelompok, yakni yang berasal dari bahasa itu sendiri atau
biasanya disebut dengan istilah faktor intrabahasa dan faktor yang berasal dari luar bahasa
atau biasa disebut dengan istilah faktor ekstrabahasa. Pengelompokan itu sebenarnya tidak
dapat dipisahkan secara tegas karena antara faktor intrabahasa dan faktor ekstrabahasa
kadang-kadang hadir bersama-sama. Pengelompokan itu akan memudahkan cara pandang kita
terhadap potensi bahasa Indonesia menuju bahasa internasional.
Faktor intrabahasa, antara lain, meliputi sistem bahasa. Sistem bahasa Indonesia dapat
dikatakan sudah mapan. Artinya, beberapa aspek yang terkait dengan bahasa Indonesia sudah
diatur dan sudah dibakukan. Bahasa Indonesia telah memiliki sistem ejaan yang mapan, yakni
dengan diberlakukannya Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan, yang terkenal dengan
singkatannya EYD. Buku panduannya pun sudah diterbitkan dengan judul Pedoman Ejaan
Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Dengan demikian, dari segi tata tulis bahasa
Indonesia telah memiliki aturan yang baku. Di samping itu, untuk mengantisipasi pengaruh
bahasa lain dan untuk pengembangan peristilahan bahasa Indonesia, juga telah diterbitkan
buku Pedoman Umum Pembentukan Istilah.
Penulisan ejaan bahasa Indonesia tidak menggunakan salah satu huruf daerah yang ada
di Indonesia. Penulisannya menggunakan huruf Latin yang sudah digunakan secara
internasional. Hal itu memungkinkan bahasa Indonesia mudah dipelajari karena lafal sesuai
dengan lambang hurufnya. Bahasa Indonesia juga relative mudah beradaptasi dengan istilah
asing dengan melakukan penyerapan, termasuk istilah bahasa Inggris yang banyak diserap
menajdai bahasa Indonesia (Dahlan, 2018; Soto, 2015).
Terkait dengan pembakuan suatu bahasa, kita tidak dapat terlepas dari keberadaan
kamus. Kamus inilah yang dipakai sebagai sarana untuk membakukan kosakata yang
digunakan dalam sebuah bahasa. Oleh karena itu, peran kamus sangatlah penting. Dengan
adanya kamus, kita dapat mengetahui bahwa suatu bahasa sudah dikodifikasi. Adanya kamus
dapat menunjukkan bahwa seberapa banyak kosakata bahasa tersebut dapat digunakan untuk
mengungkapkan ide, menjelaskan pengetahuan dan mengekspresikan sikap oleh penuturnya.
Kekayaan ide, pengetahuan, dan sikap penuturnya tersebut dapat dilihat dari jumlah kosakata
yang termuat dalam kamusnya. Kosakata bahasa Indonesia hingga saat ini masih terus
dikembangkan dengan cara menyerap kosakata bahasa daerah dan bahasa asing. Sebagai
contoh, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi ke-4 (2008) (Pusat Bahasa, 2008), telah
memuat lebih dari 90.000 lema. Sebagai perbandingan, dapat dilihat jumlah kosakata sebagai
lema yang termuat di dalam KBBI, yaitu edisi satu 62.100 (1988), edisi dua 68.000 (1991),
edisi ketiga 78.000 (2001), dan edisi keempat 90.000 (2008). Perubahan jumlah kosakata dari
edisi ke edisi menunjukkan bahwa kosakata bahasa Indonesia mengalami perkembangan yang
luar biasa. Hanya dalam waktu dua decade jumlah kosakata bertambah sebanyak 27.900,
Rekognisi Hukum Penggunaan Bahasa Asing dalam Pembuatan Akta Notaris Berdasarkan
Ketentuan Hukum di Indonesia
Syntax Idea, Vol. 6, No. 09, September 2024 3879
belum lagi ditambah terbutnya kamus istilah berbagai bidang ilmu, tesaurus, dan glosarium.
Glosarium berbagai bidang ilmu pun sudag diterbitkan, antara lain Glosarium Kedokteran,
Glosarium Biologi, Glosarium Fisika, Glosarium Kimia, Glosarium Matematika, Glosarium
Pendidikan, dan Glosarium Perikanan.
Dari apa yang dikemukakan di atas dapat dikatakan bahwa bahasa Indonesia mampu
berperan sebagai bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi serta mampu sebagai wahana
komunikasi di dunia politik, bisnis, pariwisata, seni, budaya, dan sebagainya. Dengan kata
lain, bahasa Indonesia mampu berperan sebagai bahasa dan sarana komunikasi di segala
bidang. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa bahasa Indonesia juga mampu sebagai
sarana komunikasi di dunia intermasional.
Faktor ekstrabahasa dapat digolongkan ke dalam dua kelompok, yakni faktor yang dapat
memengaruhi secara langsung dan faktor yang dapat memengaruhi secara tidak langsung.
Faktor ekstrabahasa yang dapat memengaruhi secara langsung adalah jumlah penutur bahasa
Indoensia dan sikap penutur bahasa Indonesia. Indonesia dengan jumlah penduduk terbesar
keempat di dunia merupakan modal yang sangat berarti untuk menjadikan bahasa Indonesia
sebagai bahasa internasional. Memang, tidak semua penduduk Indonesia dalam kehidupan
sehari-harinya menggunakan bahasa Indonesia secara aktif, tetapi hampir semua penduduk
Indonesia mengerti bahasa Indonesia.
Untuk dapat mendukung bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional, tentu saja
perlu diciptakan sikap yang positif dari penutur bahasa Indonesia. Sikap yang positif penutur
terhadap bahasa Indonesia tersebut ditandai dengan kesenangan orang Indonesia untuk
menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar. Apabila penutur tersebut telah senang
menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar, tentu saja mereka akan setia
menggunakannya. Kesetiaan penutur menggunakan bahasa Indonesia ini akan
membangkitkan kebanggaan terhadap bahasa Indonesia. Itulah yang disebut sebagai penutur
yang memiliki sikap positif terhadap bahasa Indonesia.
Faktor ekstrabahasa yang dapat mempengaruhi secara tidak langsung, antara lain adalah
daya tarik kekayaan alam dan budaya Indonesia. Kekayaan alam Indonesia yang sangat
melimpah merupakan daya tarik bagi pelaku ekonomi dari mancanegara untuk berinvestasi di
Indonesia. Dengan banyaknya pelaku ekonomi dari mancanegara yang berinvestasi di
Indonesia ini mau tidak mau akan berdampak pada banyak orang asing yang masuk ke
Indonesia. Hal itu dapat berdampak pula pada banyaknya orang asing yang ingin mempelajari
bahasa Indonesia. Saat ini sudah banyak perguruan tinggi atau lembaga pendidikan (219
lembaga di 74 negara), baik di dalam negeri maupun di luar negeri, yang menyelenggarakan
BIPA (Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing) (Andarwulan & Aswadi, 2019).
Dalam peraturan perundang-undangan memang tidak dijelaskan definisi bahasa
internasional sehingga perlu ditengok referensi lain yang menguraikan hal itu. Setakat ini,
frasa bahasa internasional sekurang-kurangnya mengacu pada empat konsep, yaitu (1) bahasa
resmi Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), (2) bahasa perhubungan antarnegara, (3) bahasa
Inggris sebagai bahasa dunia, dan (4) bahasa Esperanto. Pemahaman yang tepat atas konsep
yang dimaksud dalam regulasi akan menentukan ketepatan strategi (Francoise & Hum, 2017).
Dari perspektif EGIDS, status Bahasa Internasional merupakan status tertinggi (level 0)
dari 13 level status bahasa (level terakhir: Punah). Indikator EGIDS Level 0 ialah ketika
sebuah bahasa digunakan secara luas dalam perdagangan, pertukaran ilmu pengetahuan, dan
kebijakan internasional. Bahasa yang masuk kategori ini, menurut Ethnologue.com, meliputi
Inggris, Prancis, Spanyol, Rusia, Arab, dan Mandarin.
Hampir senada dengan hal itu, Walter mengajukan skala tipologi bahasa berdasarkan
dua parameter, yaitu kedudukan politis dan tingkat perkembangan bahasa. Berdasarkan skala
Arif Budiman, Mohammad Ryan Bakry, Iskandar Muda
3880 Syntax Idea, Vol. 6, No. 09, September 2024
itu, bahasa di dunia terbagi ke dalam enam level: Bahasa Internasional, Bahasa Utama,
Bahasa Nasional Maju/Berkembang, Bahasa Nasional Kurang Berkembang, Bahasa
Subnasional Kurang Berkembang, dan Bahasa Lisan Lokal. Bahasa Internasional memiliki
tiga indikator, yaitu (1) sejarah panjang penggunaannya dalam ragam tulis, (2) statusnya
sebagai bahasa nasional atau bahasa resmi di beberapa negara, dan (3) penggunaannya
sebagai sarana bisnis, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan diplomasi. Sebanyak enam bahasa
yang digolongkan dalam kategori ini adalah Inggris, Prancis, Arab, Spanyol, Jerman, dan
Portugis. Menurut tipologi ini, bahasa Rusia dan Mandarin tidak termasuk dalam kategori
Bahasa Internasional, tetapi kategori Bahasa Utama. Mayoritas bahasa dalam kategori Bahasa
Utama hanya menjadi bahasa nasional di negara tertentu dan tidak digunakan sebagai sarana
komunikasi atau wahana ilmu pengetahuan internasional (Walter & Benson, 2012).
Konsep ketiga berkaitan dengan luasnya pengaruh bahasa Inggris dalam ranah politik,
ekonomi, dan ipteks dewasa ini. Bahasa Inggris barangkali merupakan bahasa pertama yang
muncul di benak mayoritas orang ketika mendengar atau membaca frasa bahasa internasional.
Luasnya pengaruh bahasa Inggris di seluruh dunia—hingga muncul adagium “Matahari tak
pernah tenggelam di Imperium Inggris Raya”tidak lepas dari sejarah panjang revolusi
industri, kolonialisme, dan Perang Dunia II. Kachru (Kachru et al., 1985) menggambarkan
sebaran penutur bahasa Inggris ke dalam tiga lingkaran, yaitu lingkaran dalam (inner circle),
lingkaran luar (outer circle), dan lingkaran perluasan (expanding circle). Lingkaran dalam
mengacu pada negara penutur utama bahasa Inggris, seperti Inggris, Amerika, Australia,
Kanada, dan Selandia Baru; lingkaran luar mengacu pada negara yang secara historis (era
kolonial) menjadi sasaran awal penyebaran bahasa Inggris sehingga sekarang bahasa ini
berperan penting dalam pemerintahan negara tersebut, seperti India, Singapura, dan Nigeria;
dan lingkaran perluasan mengacu pada negara yang menggunakan bahasa Inggris untuk
tujuan tertentu meskipun negara tersebut tidak memiliki ikatan sejarah sebagai bekas koloni
Inggris, seperti Tiongkok, Indonesia, Iran, dan Jepang.
Konsep keempat berkaitan dengan maraknya gerakan memunculkan bahasa buatan
untuk menjembatani komunikasi antarwarga dunia pada abad ke-19. Dalam sejarah linguistik
Eropa, gerakan tersebut tidak muncul di ruang hampa. Menurunnya pengaruh bahasa Latin
sebagai lingua franca di Eropa dan meningkatnya persaingan antara bahasa Prancis (unggul
dalam diplomasi), Jerman (unggul dalam sains), dan Inggris (unggul dalam perdagangan),
diyakini sebagai faktor penting yang melatarbelakangi munculnya gerakan mencipta bahasa
buatan Garvia (Soto, 2015). Bahasa buatan diharapkan berlaku universal dan tidak terasosiasi
dengan sentimen bangsa atau ras tertentu. Salah satu bahasa buatan itu diciptakan oleh L.L.
Zamenof pada tahun 1887. Ketika pertama kali dipublikasikan, nama yang diberikan oleh
Zamenof ialah Bahasa Internasional. Esperanto merupakan pseudonim penulisnya.
Belakangan, justru pseudonim itu yang dipakai untuk menyebut nama bahasa yang diciptakan.
Jadi, konsep seperti apa yang dimaksud dalam regulasi? Apakah konsep pertama
(bahasa resmi PBB) atau konsep kedua (bahasa perhubungan antarnegara)? Atau konsep lain?
Jika ingin menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa PBB, pemerintah perlu mengambil
langkah-langkah politik yang strategis, seperti mengajukan proposal ilmiah kepada Majelis
Umum PBB, mengupayakan proposal tersebut disetujui 2/3 dari 193 negara anggota, dan
mengawal proses selanjutnya dalam sidang-sidang di Dewan Keamanan PBB sampai
terbitnya resolusi persetujuan Francois (Francoise & Hum, 2017)
. Pada saat bersamaan,
Indonesia harus siap seandainya diwajibkan mengucurkan anggaran sebagaimana ditanggung
oleh negara-negara Arab pada tahun 1973. Perjuangan berat di setiap tahapan perlu ditempuh
dengan kegigihan dan napas panjang dari para diplomat kita, terutama dalam menghadapi
resistensi negara lain dan hak veto yang dimiliki oleh beberapa negara. Jika pengakuan
Rekognisi Hukum Penggunaan Bahasa Asing dalam Pembuatan Akta Notaris Berdasarkan
Ketentuan Hukum di Indonesia
Syntax Idea, Vol. 6, No. 09, September 2024 3881
sebagai bahasa PBB menjadi target, Indonesia berkompetisi dengan negara-negara lain,
seperti India, Jerman, Jepang, dan Portugal. Pemerintah India, misalnya, sangat getol
mengusung bahasa Hindi sebagai bahasa resmi PBB. Bahkan, agenda itu sudah digaungkan
sejak tahun 1975 dalam Kongres Pertama Bahasa Hindi Sedunia yang diselenggarakan di
Nagpur, India.
Tetapi di era globalisasi seperti ini terdapat beberapa pengaruh hingga merubah bahasa
keaslian Indonesia. Era globalisasi sendiri adalah era perubahan global yang melanda seluruh
dunia termasuk Indonesia. Dampak yang terjadi sangatlah besar akibat perubahan era ini
terhadap segala aspek kehidupan ini termasuk aspek bahasa. Perubahan aspek bahasa sendiri
dipicu oleh semakin canggih-nya teknologi.
Dengan teknologi yang semakin meningkat pada era globalisasi dapat memengaruhi
dari berbagai aspek. Mengapa kemajuan teknologi dapat memicu perubahan aspek bahasa?
Salah satunya yaitu karena dengan kecanggihan teknologi dapat semakin memudahkan
masuknya bahasa asing dan menyebabkan bahasa asing menjadi menyusup masuk ke negara
Indonesia.
Menurut (Firmansyah, 2019) saat ini penguasaan bahasa asing menjadi modal utama
dalam berkompetisi menghadapi era globalisasi. Namun, hal tersebut dapat semakin
mempengaruhi terhadap eksistensi bahasa Indonesia. Banyak lembaga atau perusahaan yang
lebih mengutamakan calon pekerja yang memiliki keahlian di bidang bahasa asing sendiri.
Hal ini yang membuat masyarakat umum lebih tertarik untuk mempelajari bahasa asing
ketimbang memperdalam pemahaman tentang bahasa Indonesia. Pemakaian Bahasa asing
yang sering terlihat yaitu Bahasa Inggris. Tidak dipungkiri, Bahasa inggris sudah mengambil
alih ke-esistensian Bahasa Indonesia. Karena, Bahasa Inggris merupakan bahasa internasional
yang sangat luas dalam penggunaan-nya Beberapa hal negatif jika penguasaan bahas asing
lebih disukai banyak orang dibandingkan penguasaan bahasa Indonesia. Diantaranya, yaitu:
1. Masyarakat mulai meremahkan bahasa Indonesia
2. Masyarakat akan menjadi lupa jika Bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan Bangsa
Indonesia
3. Mulai menganggap rendah bacaan Indonesia, hal tersebut dapat memicu penurunan
sastrawan Indonesia
4. Masyarakat akan menjadi lupa dan sulit mengucapkan bahasa Indonesia yang baik dan
benar
5. Dapat melunturkan keaslian bangsa Indonesia dan semangat nasionalisme serta
mengurangi sikap bangga kepada bahasa dan budaya sendiri.
Jika terus dibiarkan, tidak dipungkiri bahasa Indonesia dapat mengakibatkan hal-hal
buruk terjadi. Hal inilah yang harus disikapi dengan sigap, kalau tidak ingin ke-esistensian
bahasa Indonesia luntur akibat adanya bahasa asing yang semakin merajalela. Untuk
menghindari hal tersebut, perlu pemahaman sejak dini akan pentingnya Bahasa Indonesia.
Tujuan dalam pembuatan artikel ini untuk mengetahui dampak bahasa asing terhadap bahasa
Indonesia sendiri diera globalisasi sebagai ancaman atau peluang.
Dalam rangka mendorong percepatan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi,
pemerintah sangat memerlukan kontribusi para investor baik local maupun asing. Kontribusi
ini dapat dihasilkan melalui lalu lintas ekspor dan impor, terbukanya lapangan pekerjaan baru,
masuknya para pakar, ilm pengetahuan, pendapatan pajak dan masih banyak keuntungan
lainnya.
Sebagai tempat untuk melakukan kegiatan investasi, Indonesia memiliki potensi yang
sangat besar dan daya tarik tersendiri bagi investor terutama investor asing yang diantaranya
(Hadiyanto & Pusvisasari, 2021) :
Arif Budiman, Mohammad Ryan Bakry, Iskandar Muda
3882 Syntax Idea, Vol. 6, No. 09, September 2024
Bagi investor asing yang ingin berinvestasi di Indonesia, alangkah lebih baik jika
terlebih dahulu negara asal investor tersebut telah memiliki Bilateral Investment Treaties
(BITs) dengan Indonesia, yaitu perjanjian yang dibuat antara kedua negara yang mengatur
mengenai kegiatan investasi di wilayah salah satu negara (negara penerima modal) oleh
investor dari negara yang lainnya (negara penanam modal) (Anisah & Wicaksono, 2017).
BITs juga memuat aturan-aturan di antara kedua negara mengenai bagaimana investasi asing
tersebut dapat dilindungi.
Kedudukan dan penggunaan bahasa Indonesia disebutkan dalam Pasal 36 Undang-
Undang Dasar 1945 (UUD 1945) bahwa dalam kedudukannya sebagai bahasa Negara, bahasa
Indonesia digunakan sebagai bahasa resmi dalam berbagai bidang, seperti dalam bidang
pendidikan, kebudayaan, ilmu pengetahuan, pemerintahan, serta hukum dan perundang-
undangan. Bahkan jauh sebelum itu pada tahun 1928 persisnya pada tanggal 28 Oktober 1928
pemuda-pemudi Bangsa Indonesia telah berikrar dalam Sumpah Pemuda yang merupakan
suatu pengakuan dari Pemuda-Pemudi Indonesia yang mengikrarkan satu tanah air, satu
bangsa dan satu bahasa. yang hingga kini setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Sumpah
Pemuda. Bahasa Indonesia merupakan Bahasa persatuan, dimana bahasa ini digunakan
sebagai alat komunikasi yang resmi di wilayah Indonesia.
Sejalan dengan kedudukan bahasa Indonesia seperti yang diikrarkan dalam Sumpah
Pemuda dan dinyatakan dalam UUD 1945, serta lebih khusus dipertegas lagi di dalam UU
No. 24 Tahun 2009 semua produk hukum dan perundang-undangan di Indonesia wajib
menggunakan bahasa Indonesia. Demikian pula halnya dengan akta perjanjian oleh pihak-
pihak yang berkontrak melalui Notaris atau yang disebut akta notaris. Hanya saja, Bahasa
Indonesia yang digunakan dalam akta notaris memiliki ciri khas atau karakteristik tersendiri
yang tampak dalam komposisi, peristilahan, dan gaya pengungkapannya. Terlepas dari
karakteristiknya, Bahasa Indonesia dalam akta notaris tetap terikat pada aturan atau kaidah
yang berlaku dalam Bahasa Indonesia secara umum.
Herlien Budiono mengemukakan “dalam pengertian sehari-hari yang disebut bahasa itu
meliputi dua bidang, yaitu bunyi yang dihasilkan oleh alat-alat ucap dan arti atau makna yang
tersirat dalam arus bunyi tersebut” (Budiono, 2016). Menurut Gorys Keraf “fungsi bahasa
pada umumnya adalah sebagai alat komunikasi atau alat perhubungan antar anggota
masyarakat, suatu komunikasi yang diadakan dengan mempergunakan bunyi yang dihasilkan
oleh alat ucap manusia” (Nugrahadi, 2019).
Penjelasan Pasal 43 ayat (1) UUJN menyebut bahasa Indonesia yang dimaksud dalam
ketentuan ini adalah bahasa Indonesia yang tunduk pada kaidah bahasa Indonesia yang baku.
Herlien Budiono mengemukakan bahwa “Bahasa digunakan oleh para notaris dalam
menjalankan jabatannya yaitu membuat akta yang seyogianya mengikuti pula permainan
bahasa sesuai dengan aturan mainnya” (Budiono, 2016) Menurut Anton M. Moellono yang
dikutip oleh Budiono, laras bahasa hukum mempunyai
Bahasa akta harus dapat menggambarkan bermacam-macam aktivitas para penghadap.
Notaris harus dapat menjabarkan suatu kesepakatan di antara para pihak telah terjadi,
mengingat kesepakatan yang tercapai di antara para pihak merupakan salah satu unsur
essentialia dari perjanjian. Notaris harus dapat menggunakan bahasa untuk menerjemahkan
unsur-unsur perjanjian, syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana Pasal 1320 Kiab Undang-
undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUH Perdata), tindakan hukum tertentu,
perjanjian bernama, perjanjian tidak bernama, dan sebagainya.
Kedudukan Notaris sebagai Pejabat Umum, dalam arti kewenangan yang ada pada
Notaris tidak pernah diberikan kepada pejabat-pejabat lainnya, sepanjang kewenangan
tersebut tidak menjadi kewenangan pejabat-pejabat lainnya, maka kewenangan tersebut
Rekognisi Hukum Penggunaan Bahasa Asing dalam Pembuatan Akta Notaris Berdasarkan
Ketentuan Hukum di Indonesia
Syntax Idea, Vol. 6, No. 09, September 2024 3883
menjadi kewenangan Notaris. Notaris sebagai Pejabat Publik yang berwenang untuk membuat
akta autentik, maka terlebih dahulu perlu dijabarkan secara mendetail mengenai apa itu yang
dimaksud dengan Akta yang dibuat oleh Notaris, bagaimana sifat Akta yang dibuat oleh
Notaris, konstruksi Akta, dan apa muatan mendasar dari sebuah Akta itu sendiri. Asli akta
yang dibuat notaris merupakan arsip negara yang wajib disimpan dan dipelihara oleh notaris.
Hal ini tersurat dari pengertian tentang protokol notaris yang diartikan sebagai kumpulan
dokumen yang merupakan arsip negara yang harus disimpan dan dipelihara oleh Notaris
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 43 UUJN ini bersifat norma kabur (Vague Norm) yang menimbulkan multi tafsir,
dimana seharusnya apabila Akta Notaris wajib menggunakan bahasa Indonesia, pembuat
undang-undang tidak perlu memberikan celah dengan mempersilahkan Notaris membuat Akta
dalam bahasa asing (selain bahasa Indonesia) atas permintaan para pihak. Akibat ketidak
konsistenan ketentuan dalam Pasal 43 UUJN tersebut di atas menimbulkan kerancuan bagi
Notaris dalam membuat suatu Akta Notaris yang seharusnya hanya wajib menggunakan
Bahasa Indonesia.
Membahas masalah akta, tidak bisa lepas dari syarat-syarat sahnya suatu perjanjian
sebagaimana tercantum dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Untuk sahnya suatu perjanjian
diperlukan 4 syarat:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
3. Suatu hal tertentu.
4. Suatu sebab yang halal.
Unsur-unsur dalam pasal ini bisa menentukan sah tidaknya suatu perjanjian atau akta,
termasuk penggunaan bahasa asing selain bahasa Indonesia yang masuk unsur suatu sebab
yang terlarang. Akta atau perjanjian wajib menggunakan bahasa Indonesia. Pada praktiknya
ada akta yang dibuat dalam bahasa asing selain bahasa Indonesia sehingga bertentangan
dengan Pasal 43 ayat (1) UUJN dan Pasal 31 UU No. 24 Tahun 2009, sementara secara
normatif jika hal tersebut dilanggar tidak ada sanksi apapun, baik dalam UUJN maupun UU
No. 24 Tahun 2009. Permasalahan kekaburan norma yang menyebabkan tidak adanya
kepastian hukum itulah yang mendorong penulis untuk mengangkat permasalahan
sebagaimana di bawah ini. Tesis ini mengkaji prinsip kepastian hukum dalam pembuatan akta
notaris tidak dengan bahasa Indonesia (menggunakan bahasa asing).
Penelitian ini mempunyai dua tujuan yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan
umum yang ingin dicapai adalah untuk menganalisis kewajiban penggunaan bahasa Indonesia
dalam pembuatan suatu akta notaris sebagaimana ditentukan dalam Pasal 43 ayat (1) UUJN
dan konsekuensinya bila akta dibuat dalam bahasa asing. Tujuan khususnya adalah Untuk
menganalisis rekognisi hukum yang mengatur pengakuan penerapan hukum yang
mengizinkan pembuatan Akta Notaris dalam bahasa asing selain bahasa Indonesia. Untuk
menganalisis kewenangan rekognisi hukum pada penggunaan bahasa asing dalam pembuatan
akta notaris di Indonesia.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan tipe penelitian doktrinal hukum dengan cara meneliti bahan
pustaka atau data sekunder yaitu Kode Etik Notaris sebagai bagian dari hukum positif di
Indonesia serta peraturan perundang-undangan (law in books hukum dikonsepkan sebagai
kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas.
Arif Budiman, Mohammad Ryan Bakry, Iskandar Muda
3884 Syntax Idea, Vol. 6, No. 09, September 2024
Penelitian Hukum Normatif merupakan penelitian hukum yang dilakukan dengan cara
meneliti bahan pustaka atau data sekunder (Kristiawan et al., 2022).
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mengikat berupa peraturan perundang-
undangan, terdiri dari Kitab Undang- undang Hukum Perdata (KUH Perdata), Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4432) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Republik Indonesia
Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5491), Undang-
undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 152, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5071),
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta
Lagu Kebangsaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 109, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5035). Bahan hukum sekunder merupakan
bahan hukum yang bersifat menjelaskan bahan hukum primer berupa buku-buku literatur,
catatan ilmiah, karya ilmiah dan berbagai media cetak yang berlaku dan ada kaitannya dengan
permasalahan yang sedang dibahas (Ali, 2021).
Bahan hukum dianalisa menggunakan langkah-langkah yang diawali dengan
inventarisasi semua bahan hukum yang terkait dengan pokok permasalahan, kemudian
diadakan klasifikasi bahan hukum yang terkait dan selanjutnya bahan hukum tersebut disusun
dengan sistematisasi untuk lebih mudah membaca dan mempelajarinya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Rekognisi Hukum Sebagai Bentuk Pengakuan Hukum
Pasal 43 dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 maupun Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris hanya menyebut kata akta misalnya : akta wajib dibuat dalam
bahasa Indonesia, jika para pihak menghendaki akta dapat dibuat dalam Bahasa asing, dan
seterusnya , yang menjadi pertanyaan adalah bentuk akta yang manakah yang dimaksud oleh
pasal 43 tersebut ? Sebagaimana telah diuraikan pada kajian Pustaka bahwa menurut
bentuknya, akta dapat dibedakan menjadi akta di bawah tangan dan akta otentik. Akta di
bawah tangan adalah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa
bantuan dari seorang pejabat . Sedangkan yang dimaksud dengan akta otentik adalah
sebagaimana diatur dalam pasal 1868 KUH Perdata yaitu suatu akta yang bentuknya
ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang
berkuasa untuk itu ditempat di mana akta dibuatnya. Pegawai ( pejabat ) umum yang
dimaksud dalam pasal 1868 KUH Perdata tersebut adalah Notaris. Hal ini tercantum dalam
Pasal 1 angka 1 Undang - Undang No. 2 Tahun 2014 yang menyebutkan bahwa Notaris
adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan memiliki kewenangan
lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Jabatan Notaris atau berdasarkan
undang-undang lainnya.
Rekognisi Hukum Penggunaan Bahasa Asing dalam Pembuatan Akta Notaris Berdasarkan
Ketentuan Hukum di Indonesia
Syntax Idea, Vol. 6, No. 09, September 2024 3885
Sehingga akta yang dimaksud dalam pasal 43 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
maupun Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UndangUndang
Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris tersebut, dapat dibaca dalam pasal 1 ayat 7
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 adalah akta Notaris atau akta authentik yang dibuat
oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2014.
Selanjutnya bahasa apakah yang dipergunakan dalam akta ? Sebagaimana telah
diuraikan sebelumnya dalam latar belakang, bahwa pengaturan tentang bahasa dalam akta
telah ada sejak zaman Belanda sebagaimana tercantum dalam Pasal 27 Notaris Reglement Stl
1860 Nomor 3, yang menyatakan: “Akta dapat dibuat dalam bahasa yang dikehendaki oleh
para pihak, asal saja dimengerti oleh Notaris “. Namun dengan pembatasan untuk pembuatan
surat wasiat atau surat yang bertalian dengan Surat Wasiat, apabila pewaris adalah orang
Eropa, maka harus dibuat dalam bahasa mana pewaris menyatakan kemauannya itu, meminta
penyimpanan itu atau menyerahkan Surat Wasiat Tertutup itu.
Pada tahun 2004, ketika Undang-Undang Nomor 30 tentang Jabatan Notaris
diundangkan, maka pengaturan tentang kebahasaan akta Notaris menjadi eksplisit
sebagaimana tercantum dalam pasal 43 nya dan menjadi semakin eksplisit dengan diubahnya
atau dipertegasnya pasal 43 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tersebut dalam pasal 43
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 30
Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
Penggunaan bahasa Indonesia dalam akta semakin dipertegas dalam Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2014 dengan kata “wajib “ ( pasal 43 ayat 1 ). “Wajib” menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia artinya “mesti dilakukan, tak boleh tidak mesti dilakukan dengan
demikian pasal 43 ayat 1 bersifat memaksa sehingga harus ditaati oleh Notaris.
Namun kewajiban untuk membuat akta dalam bahasa Indonesia sebagaimana dalam
pasal 43 ayat 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tersebut dilemahkan oleh ayat-ayat
berikutnya ( ayat 3 sampai dengan 5 ) yaitu dengan diperbolehkannya membuat akta yang
menggunakan bahasa asing jika para pihak menghendakinya (Pasal 43 ayat 3 ) dan dalam hal
akta dibuat dalam bahasa asing maka Notaris wajib menerjemahkannya ke dalam bahasa
Indonesia ( Pasal 43 ayat 4 ) serta apabila Notaris tidak dapat menerjemahkannya atau
menjelaskannya, akta tersebut diterjemahkan atau dijelaskan oleh seorang penerjemah resmi
(Pasal 43 ayat 5). Terlebih lagi, untuk akta yang dibuat dalam bahasa asing tersebut tidak
dibatasi dengan koridor sepanjang undang-undang tidak menentukan lain sehingga akta
apapun sepanjang para pihak menghendaki dapat dibuat dalam bahasa asing.
Keleluasaan membuat akta dalam bahasa asing dengan hanya menerjemahkan atau
menjelaskan isi akta tersebut dalam bahasa Indonesia menjadi semakin sempit dengan adanya
ketentuan dalam Pasal 43 ayat 6 yang pada intinya menyatakan bahwa apabila terdapat
perbedaan penafsiran terhadap isi akta yang dibuat dalam bahasa asing, maka yang digunakan
adalah akta yang dibuat dalam bahasa Indonesia (bukan akta yang diterjemahkan atau
dijelaskan oleh penerjemah resmi ).
Ketidak konsistenan tersebut terjadi antara ayat 1 dengan ayat 3 dan 4 Akta wajib dibuat
(dikerjakan atau dibikin) dalam bahasa Indonesia dimana dalam ayat 1 nya telah dengan tegas
Arif Budiman, Mohammad Ryan Bakry, Iskandar Muda
3886 Syntax Idea, Vol. 6, No. 09, September 2024
menyatakan bahwa Akta wajib dibuat (dikerjakan atau dibikin) dalam bahasa Indonesia,
namun ayat 3 nya memperbolehkan akta dibuat ( dikerjakan atau dibikin ) dalam bahasa asing
jika para pihak menghendaki dan ayat 4 nya menyatakan bahwa apabila akta dibuat dalam
bahasa asing maka Notaris wajib menerjemahkan akta tersebut ke dalam bahasa Indonesia.
Secara gramatikal, ayat 4 tersebut mengandung arti bahwa dalam hal akta dibuat dalam
bahasa asing, maka Notaris tidak perlu membuat akta dalam bahasa Indonesia melainkan
hanya menyalin akta dalam bahasa asing tersebut ke dalam bahasa Indonesia.
Di samping itu di dalam pasal 43 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 maupun
penjelasannya tidak mengatur maupun menyebutkan dengan jelas tentang bentuk dari akta
terjemahan ke dalam bahasa Indonesia itu apakah diterjemahkan secara tertulis atau lisan dan
jika dibuat tertulis tidak ada ketentuan apakah terjemahan tersebut harus dilekatkan pada
minuta aktanya atau bagaimana. Oleh karena itu ayat 3 dan 4 tersebut seharusnya tidak perlu
ada karena ke dua ayat tersebut bertentangan dengan ayat 1 dan 6 Pasal 43 Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2014 yang menyebutkan bahwa Akta wajib dibuat (dikerjakan atau dibikin)
dalam bahasa Indonesia dan dalam hal terdapat perbedaan penafsiran terhadap isi Akta maka
yang digunakan adalah Akta yang dibuat dalam bahasa Indonesia ( bukan yang disalin
kedalam bahasa Indonesia).
Kebahasaan dalam akta selain diatur dalam undang-undang khusus tentang jabatan
notaris terdapat juga dalam undang-undang lain yang terkait dengan bahasa yaitu Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu
Kebangsaan khususnya dalam pasal 31 nya yang menyatakan sebagai berikut : (1) Bahasa
Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga
negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan
warga negara Indonesia ; (2) Nota kesepahaman atau perjanjian sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) yang melibatkan pihak asing ditulis juga dalam bahasa nasional pihak asing tersebut
dan/atau Bahasa Inggris .
Rekognisi Hukum Penggunaan Bahasa Asing dalam Pembuatan Akta Notaris Berdasarkan
Ketentuan Hukum di Indonesia
Syntax Idea, Vol. 6, No. 09, September 2024 3887
Gambar 1 Pisau Analisis
Tanggung Jawab Notaris Dalam Pembuatan Akta Otentik Dalam Bahasa Asing
Dalam menjalankan suatu jabatan¸Notaris memiliki kewenangan yang melekat dalam
jabatannya. Kewenangan yang terdapat dalam jabatannya ini melahirkan suatu
pertanggungjawaban, sesuai terhadap prinsip “gee bevoegheid zonder verantwoordelijkheid”
yaitu tiada kewenangan tanpa pertanggungjawaban”.
Segala bentuk wewenang yang didapatkan dari jabatan apapun tentunya memiliki
sumber. Terdapat 3 (tiga) jenis wewenang yang dikenal pada hukum administrasi yaitu
delegasi, mandat, dan atribusi. Atribusi merupakan wewenang yang timbul dari peraturan
perundang-undangan yang sifatnya baru dan datang langsung dari aturan hukum. Wewenang
yang didapatkan secara delegasi dapat diartikan sebagai pengalihan wewenang yang mana
didasari oleh aturan hukum. Mandat pada dasarnya bukan merupakan suatu pemindahan
maupun pengalihan wewenang, namun dikarenakan yang memiliki kewenangan tidak dapat
melaksanakan wewenangnya pada saat itu oleh karena itu wewenang tersebut di kuasakan.
Notaris sendiri merupakan jabatan yang memiliki kewenangan atribusi karena bersumber
langsung dari UUJN itu sendiri.
Pembuatan akta oleh seorang Notaris wajib merujuk pada bab VII UUJN, Pasal 38
sampai dengan Pasal 53 UUJN. Ketentuan sebagaimana dimaksud memberikan
batasanbatasan dan petunjuk petunjuk bagaimana seorang Notaris melakukan kewajibannya
dengan benar, namun dalam UUJN sendiri terdapat ketidaktegasan antar Ayat dalam satu
pasal yang sama dalam Pasal 43 UUJN. Dalam Pasal 43 Ayat (3) mengatur, “jika para pihak
menghendaki, Akta dapat dibuat dalam bahasa asing”, sedangkan dalam Ayat (1) diatur
bahwa “akta wajib dibuat dalam bahasa indonesia”. Melihat dari rumusan pasal tersebut tentu
memberikan pandangan apabila Notaris membuat akta tidak dalam bahasa Indonesia, Notaris
Arif Budiman, Mohammad Ryan Bakry, Iskandar Muda
3888 Syntax Idea, Vol. 6, No. 09, September 2024
tersebut melanggar syarat keabsahan akta mengenai bentuknya atau lebih dikenal dengan
syarat formil. Sehingga secara langsung mengurangi kekuatan pembuktian akta tersebut.
Menurut Vegting dan Kranenburg ada 2 (dua) teori yang mendasari bentuk yakni “teori
fautes personalles yang menjelaskan bahwa kerugian yang dialami oleh pihak ketiga dapat
dibebankan pada pejabat yang berwenang bila mana melalui kewenangannya tersebut telah
menimbulkan kerugian. Pembebanan tanggung jawab pada teori ini menitiberatkan pada
pertanggungjawaban pejabat sebagai natuurlijk persoon. Lelu menurut teori fautes de services
menyatakan bahwa kerugian yang diderita oleh pihak ketiga dapat dibebankan kepada pejabat
yang berwenang dari instansinya”. Sehingga dari teori ini diketahui bahwa
pertanggungjawaban dibebankan langsung terhadap jabatan dari pejabat tersebut. Tanggung
jawab Notaris dapat dikatakan sejalan dengan Teori Fautes Personalles oleh Vegtug dan
Kranenburg, karena Notaris menjalankan kewenangan berdasarkan suatu jabatan yang diatur
dalam UUJN. Kewenangan serta tanggung jawab Notaris lahir dari adanya UUJN. Saat
seseorang diangkat sebagai Notaris dan telah melalui sumpah jabatan maka pada saat itu juga
segala tugas dan tanggung jawab jabatan Notaris melekat pada dirinya dan ia diwajibkan
untuk melaksanakan tugas-tugasnya berdasarkan undang-undang berlaku.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya mempersamakan pemaknaan dalam bahasa
tertentu terutama bahasa asing selain bahasa Indonesia dapat menjadi suatu masalah.
Terutama untuk Notaris yang tidak fasih dalam berbahasa asing, hal tersebut dapat memicu
multitafsir dalam suatu pemaknaan kata tertentu. Tanggung jawab seorang Notaris muncul
pada saat ia bertindak membuat akta otentik dengan tidak mengikuti pedoman UUJN.
Tanggung jawab Notaris tersebut dapat diklasifikasikan dalam berbagai segi hukum
seperti: tanggung jawab secara administrasi, perdata dan pidana yang dapat dijelaskan sebagai
berikut :
1. Tanggung jawab secara administrasi
Secara administrasi Notaris bertanggung jawab bila terdapat pelanggaran
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 85 UUJN. Dalam Pasal 85 UUJN menentukan sanksi
administratif terkait melakukan pelanggaran yang terdapat didalam Pasal tersebut.
Penerapan sanksi terhadap Notaris atas pelanggaran tersebut dapat dalam bentuk teguran
secara lisan maupun tertulis, atau dapat juga dikenakan sanksi pemberhentian tugas
sementara. Sampai pada pemberhentian permanen yang dilaksanakan baik dengan hormat
maupun tidak hormat.
2. Tanggung jawab secara perdata
Notaris dapat dimintai pertanggungjawaban secara perdata apabila melakukan suatu
pelanggaran yang merugikan bagi para pihak yang terikat dalam akta yang dibuatnya.
Sanksi dapat berupa ganti rugi maupun beserta bunga, penggantian biaya dan segala hal
yang merupakan akibat pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris sebagai natuurlijk
persoon yang menyebabkan akta para pihak berubah menjadi akta dibawah tangan
sebagaimana dimaksud Pasal 84 UUJN.
3. Tanggung jawab secara pidana
Apabila ditemukan fakta bahwa Notaris dalam proses penyusunan aktanya terbukti
secara sengaja dengan itikad buruk melanggar ketentuan UUJN demi kepentingan pribadi
Rekognisi Hukum Penggunaan Bahasa Asing dalam Pembuatan Akta Notaris Berdasarkan
Ketentuan Hukum di Indonesia
Syntax Idea, Vol. 6, No. 09, September 2024 3889
maupun pihak tertentu maka ia dapat dimintai pertanggungjawaban secara pidana. Dalam
hal ini Notaris tidak dapat lagi dilindungi dengan ketentuan UUJN melainkan harus
bertanggungjawab secara pidana dibawah ketentuan Pasal 266 KUHP yang mengatur
bahwa siapapun yang meminta atau memasukkan keterangan palsu, dalam hal ini adalah
segala bentuk keterangan baik secara lisan mapun tertulis yang mengandung unsur ketidak
benaran yang seolah-olah benar yang kemudian sengaja dipergunakan di dalam pembuatan
akta autentik. Ancaman pidana tersebut berlaku sama jika siapapun dengan sengaja
menggunakan akta tersebut sehingga menyebabkan suatu kerugian terhadap orang lain.
Akibat Pembuatan Akta Notaris Menggunakan Bahasa Asing Yang Bertentangan
Dengan Undang-undang
Perjanjian yang dibuat dengan melibatkan setidaknya salah satunya merupakan pihak
dari Indonesia baik Lembaga negara, institusi, badan hukum ataupun subjek hukum orang
pribadi harus menggunakan bahasa Indonesia. Dalam hal perjanjian tersebut melibatkan pihak
dari negara lain dengan bahasa asing, maka guna memberikan kepastian hukum bagi para
pihak akta tersebut dapat dibuat dalam bahasa asing dengan tetap menerjemahkannya dalam
bahasa Indonesia. Hal ini merupakan ketentuan baku yang menjadi syarat formil dari akta
notaris. Tindakan pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat berakibat kepada suatu akta hanya
mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau suatu akta menjadi batal
demi hukum. Oleh sebab itu, akta perjanjian yang dibuat dengan sekurang-kuranganya salah
satu pihaknya adalah subjek hukum Indonesia tidak boleh dibuat hanya dalam bahasa asing
tanpa diterjemahkan ke bahasa asing.
Kekuatan Hukum Kontrak Berbahasa Asing Dalam Perjanjian
Pendekatan umum terhadap penggunaan bahasa dalam perjanjian Indonesia antara pihak
asing dengan pihak Indonesia adalah (untuk kemudahan, akan diasumsikan pihak selain
Indonesia akan menggunakan Bahasa Inggris): i) menggunakan hanya salah satu bahasa,
Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris saja; dan ii) menggunakan Bahasa Indonesia dan
Bahasa Inggris secara bersamaan dalam satu dokumen perjanjian (model bilingual). Pada
beberapa kasus juga dapat ditemui perjanjian yang menggunakan bahasa Indonesia saja
namun dengan melampirkan hasil diskusi/negosiasi para pihak yang dilakukan dalam Bahasa
Inggris.
Pendekatan yang terbukti paling baik terkait penggunaan bahasa adalah perjanjian
ditulis secara akurat dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris (model bilingual). Perjanjian
model bilingual menjamin bahwa para pihak paham atas hak dan kewajibannya, mekanisme
yang harus dilakukan apabila peristiwa yang tidak terduga terjadi, dan metode penyelesaian
sengketa apabila para pihak tidak dapat menyelesaikannya sendiri. Pemahaman atas ketiga
unsur ini adalah pondasi agar suatu perjanjian dapat diimplementasikan dengan baik.
Ketika para pihak telah sepakat untuk membuat perjanjian model bilingual, pertanyaan
yang muncul kemudian adalah apa yang akan terjadi apabila terdapat perbedaan-perbedaan
penafsiran dalam kedua versi bahasa. Kondisi pertama, perjanjian tidak mengatur bahasa
rujukan (governing/prevailing languange) atau menyebutkan bahwa kedua versi bahasa akan
Arif Budiman, Mohammad Ryan Bakry, Iskandar Muda
3890 Syntax Idea, Vol. 6, No. 09, September 2024
berlaku sama. Konsekuensi dari pengaturan seperti ini adalah hakim (atau arbiter apabila
penyelesaian sengketa dilakukan melalui arbitrase) dapat menentukan sendiri versi bahasa
mana yang akan mereka gunakan sebagai rujukan untuk menyelesaikan sengketa.
Situasi kedua, perjanjian sudah memuat pasal mengenai bahasa rujukan. Biasanya, salah
satu bahasa akan dianggap sebagai bahasa rujukan. Terkait dengan hal ini, timbul pertanyaan,
apakah dimungkinkan untuk menentukan bahwa Bahasa Inggris digunakan sebagai bahasa
rujukan.
Pasal 31 ayat (1)Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan
Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan (UU No. 24/2009)menyatakan bahwa, “Bahasa
Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga
negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan
warga negara Indonesia”.
Lebih lanjut, Pasal 31 ayat (2) UU No. 24/2009 menyebutkan, “Nota kesepahaman atau
perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang melibatkan pihak asing ditulis juga
dalam bahasa nasional pihak asing tersebut dan/atau bahasa Inggris. Pada bagianPenjelasan
Pasal 31 ayat (2) menyebutkan, “Dalam perjanjian bilateral, naskah perjanjian ditulis dalam
bahasa Indonesia, bahasa nasional negara lain tersebut, dan/atau bahasa Inggris, dan semua
naskah itu sama aslinya”. Dengan demikian, pada dasarnya UU No. 24/2009 tidak mengatur
versi bahasa mana yang dapat menjadi bahasa rujukan dan hanya menyatakan bahwa kedua
versi bahasa yang digunakan sama kuatnya.
Filosofi dari Pasal 31 UU No. 24/2009 sebenarnya adalah untuk memastikan bahwa
para pihak dalam perjanjian mempunyai persepsi dan pemahaman yang sama terhadap isi
perjanjian yang disepakati di antara mereka. Ketika pihak yang berkepentingan dalam suatu
proyek sebagiannya adalah pihak asing, berdasarkan asas kebebasan berkontrak dalam pasal
1338 KUHPerdata, para pihak dapat memilih bahasa yang dipahami oleh semua pihak terkait
(common language) sebagai bahasa rujukan. Untuk proyek yang para pihaknya berasal dari
negara-negara yang berbeda tentu lebih logis apabila memilih Bahasa Inggris sebagai bahasa
rujukan.
Sepuluh tahun berlalu, pada tanggal 30 September 2019, Pemerintah akhirnya
menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia
(Perpres Bahasa Indonesia) sebagai ketentuan lebih lanjut dari UU No. 24/2009.
Pasal 26 Perpres Bahasa Indonesia menjelaskan bahwa Bahasa Indonesia wajib
digunakan dalam perjanjian yang melibatkan lembaga swasta Indonesia atau perseorangan
warga negara Indonesia. Perjanjian yang melibatkan pihak asing ditulis juga dalam bahasa
nasional pihak asing tersebut. Bahasa nasional pihak asing digunakan sebagai padanan atau
terjemahan Bahasa Indonesia untuk menyamakan pemahaman dengan pihak asing. Dalam hal
terjadi perbedaan penafsiran terhadap padanan atau terjemahan, bahasa yang digunakan
adalah bahasa yang disepakati dalam perjanjian.
Ketika mencoba memahami perumusan Pasal 26 Perpres Bahasa Indonesia diperoleh
pemahaman bahwa ketika suatu perjanjian melibatkan pihak Indonesia dan pihak asing, maka
pertama-tama para pihak harus membuat perjanjian dalam Bahasa Indonesia terlebih dahulu.
Rekognisi Hukum Penggunaan Bahasa Asing dalam Pembuatan Akta Notaris Berdasarkan
Ketentuan Hukum di Indonesia
Syntax Idea, Vol. 6, No. 09, September 2024 3891
Rancangan final perjanjian bahasa Indonesia kemudian akan diterjemahkan ke dalam Bahasa
Inggris. Terakhir, kedua versi bahasa dari perjanjian akan ditandatangani oleh para pihak.
Perpres Bahasa Indonesia tidak mempertimbangkan hal yang menjadi kunci
permasalahan dalam perumusan perjanjian di Indonesia menerjemahkan perjanjian dalam
Bahasa Indonesia ke bahasa lain. Terjemahan yang baik dan akurat dari perjanjian dalam
Bahasa Indonesia sangat penting, namun sulit dilakukan. Ini merupakan salah satu alasan
mengapa perusahaan-perusahaan besar yang sudah lama berada di Indonesia memilih untuk
menerjemahkan perjanjiannya terlebih dahulu secara in-house (internal).
Ada beberapa alasan mengapa sulit untuk memperoleh terjemahan yang baik dari
perjanjian dalam Bahasa Indonesia. Menerjemahkan dokumen hukum memerlukan keahlian
khusus tentunya selain dari penguasaan yang tinggi terhadap kedua bahasa yang akan
diterjemahkan. Keahlian bahasa saja tidak cukup. Istilah hukum yang sangat spesifik sering
kali sulit untuk diterjemahkan. Individu atau penerjemah yang memiliki kualifikasi seperti itu
tidak banyak di Indonesia. Masih ada anggapan bahwa penerjemahan perjanjian dapat
dilakukan oleh siapa saja asalkan paham Bahasa Inggris.
Terjemahan atas perjanjian dalam Bahasa Indonesia juga sulit dilakukan karena
memerlukan pengalaman dan perhatian terhadap detail agar terjemahan menjadi akurat.
Beberapa ekspresi dan istilah dalam Bahasa Indonesia tidak mudah untuk diterjemahkan
dalam Bahasa Inggris. Terkadang untuk memfasilitasinya, istilah dalam Bahasa Indonesia
(atau Inggris) harus disesuaikan agar maknanya tetap sama.
Untuk perjanjian terkait proyek-proyek yang dikerjakan menggunakan teknologi tinggi
atau memanfaatkan barang-barang yang diproduksi di luar negeri, seringkali perjanjian
awalnya ditulis dalam Bahasa Inggris karena perjanjian mencantumkan daftar rincian (sebagai
lampiran) teknologi atau barang-barang yang akan dipakai dengan menggunakan
istilah/bahasa yang memang sudah lazim digunakan dalam industri tersebut, kebanyakan
dalam Bahasa Inggris.
Pada perjanjian-perjanjian seperti ini, badan perjanjian (body of the agreement) akan
diterjemahkan ke Bahasa Indonesia. Istilah-istilah teknis dalam Bahasa Inggris pada badan
perjanjian sering kali dibiarkan apa adanya dan cukup ditulis dengan cetak miring pada
perjanjian versi Bahasa Indonesia. Bagian lampiran akan dibiarkan dalam bahasa Inggris
tanpa terjemahan.
Berdasarkan pengaturan dalam Pasal 26 Perpres Bahasa Indonesia, dapat
diintepretasikan bahwa selama istilah-istilah Bahasa Inggris memiliki padanan dalam Bahasa
Indonesia, maka istilah tersebut wajib ditulis pula dalam Bahasa Indonesia pada perjanjian
versi Bahasa Indonesia karena versi Bahasa Inggris hanya berlaku sebagai terjemahan dari
versi Bahasa Indonesia.
Konsekuensinya, penyiapan perjanjian dengan model bilingual akan memakan waktu
lama karena para pihak harus memeriksa hasil pekerjaan penerjemah dengan sangat detail
untuk memastikan keakuratannya. Pada akhirnya, para pihak dapat saja menentukan
mengenai bahasa rujukan, tapi hal itu bukan menjadi substitusi dari terjemahan perjanjian
yang baik dan akurat, karena pada dasarnya kedua versi bahasa adalah sama. Selain itu,
Arif Budiman, Mohammad Ryan Bakry, Iskandar Muda
3892 Syntax Idea, Vol. 6, No. 09, September 2024
penggunaan istilah-istilah yang kurang dikenal kemungkinan akan membingungkan bagi
pihak-pihak terkait (stakeholders) yang bukan merupakan para pihak dalam perjanjian.
Konsep yang dianut dalam Perpres Bahasa Indonesia hampir serupa dengan konsep
pada Perjanjian Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) sebagimana diatur
dalam Pasal 32 ayat (2) huruf s Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama
Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur (Perpres No. 38/2015),
yaitu: “Perjanjian KPBU paling kurang memuat ketentuan mengenai: s. penggunaan bahasa
dalam Perjanjian, yaitu Bahasa Indonesia atau apabila diperlukan dapat dibuat dalam Bahasa
Indonesia dan Bahasa Inggris (sebagai terjemahan/official translation), serta menggunakan
Bahasa Indonesia dalam penyelesaian perselisihan di wilayah hukum Indonesia; dan”.
Ketika berhadapan dengan dokumen multi bahasa, maka yang perlu dipertimbangkan
adalah mekanisme apa dan di wilayah mana sengketa akan diselesaikan. Tidak semua
perjanjian sudah menentukan bahwa perselisihan atau tuntutan yang timbul wajib diselesaikan
di Indonesia. Pada beberapa proyek yang besar dan kompleks, perselisihan atau tuntutan yang
timbul akan diselesaikan berdasarkan ICC Rules dengan tempat dan kedudukan arbitrase
adalah Singapura.
Apabila perjanjian mencantumkan mekanisme penyelesaian sengketa seperti yang diatur
dalam Perpres No. 38/2015 maka akan relevan apabila Bahasa Indonesia dijadikan bahasa
utama. Perlu pula diingat, dalam proyek KPBU pihak yang akan menjadi Penanggung Jawab
Proyek Kerjasama adalah Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah/BUMN/BUMD.
Stakeholders dari proyek KPBU juga termasuk DPRD dan lembaga pembiayaan dalam
negeri.
Dapat dipahami apabila pihak-pihak tersebut merasa lebih nyaman ketika menggunakan
perjanjian dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa utama. Suatu kondisi yang berbeda
dibandingkan ketika para pihak dalam perjanjian adalah dua badan usaha swasta murni
dimana pemahaman menyeluruh terhadap konsep transaksi sering kali dianggap lebih penting
daripada sekadar pemilihan bahasa.
Kesimpulannya, para pihak, terutama pihak asing, harus lebih memperhatikan proses
perumusan perjanjian dengan model bilingual di Indonesia. Komunikasi yang jelas saat
negosiasi serta penggunaan bahasa dan istilah yang sederhana dalam perjanjian akan sangat
penting pascaberlakunya Perpres Bahasa Indonesia. Perusahaan asing yang mau berusaha di
Indonesia atau melakukan transaksi dengan pihak Indonesia harus memperhatikan kultur dan
bahasa yang berbeda dengan kultur di negara asal mereka.
Urgensi Penggunaan Bahasa Asing Dalam Pembuatan Akta
Dalam Pasal 43 Ayat (3) UUJN mengatur “jika para pihak menghendaki, akta dapat
dibuat dalam bahasa asing.” Ketentuan pasal tersebut merupakan ketentuan pengecualian dari
ketentuan “akta wajib dibuat dalam bahasa indonesia” yang terdapat pada Ayat (1). Rumusan
pasal tersebut menjadi sangat bertolak belakang dengan rumusan pasal sebelumnya, hal ini
tentu menunjukan adanya pertentangan norma di dalam satu perundang-undangan yang sama.
Pertentangan tidak hanya terdapat pada UUJN, dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia (selanjutnya disebut UUD 1945) pada Pasal 36 mengatur “Bahasa negara
Rekognisi Hukum Penggunaan Bahasa Asing dalam Pembuatan Akta Notaris Berdasarkan
Ketentuan Hukum di Indonesia
Syntax Idea, Vol. 6, No. 09, September 2024 3893
adalah bahasa Indonesia”. Hal itu menunjukan UUD 1945 menghendaki dalam kegiatan
berbangsa dan bernegara dihubungkan memalui bahasa Indonesia termasuk dalam kegiatan
hubungan hukum, sedangkan dalam Pasal 43 Ayat (3) UUJN tidak mencerminkan tujuan
tersebut.
Dalam Perumusan Pasal 43 Ayat (3) UUJN jelas menunjukan ketidakharmonisan
dengan maksud serta tujuan norma konstitusional yakni UUD 1945. Asas ”lex superior
derogat legi inferior” tentu tepat digunakan sebagai dasar berfikir dalam permasalahan di
penelitian ini, karena asas tersebut memberikan pedoman bahwa ketentuan dalam suatu aturan
dapat mengesampingkan aturan yang tingkatan hirarkinya lebih rendah. Berbicara mengenai
hirarki perundang-undangan tentu tidak terlepas dari teori Stufenbeau oleh Hans Kelsen. Ia
menyatakan bahwa peraturan di dalam sistem hukum memiliki jenjang atau hirarki, yang
mana peraturan hukum dengan drajat lebih rendah wajib mengikuti kaidah aturan diatasnya
dan peraturan hukum tersebut juga harus berpegang pada aturan hukum konstitusi (UUD
1945). Aturan konstitusi juga harus berdasar pada norma dasar/groundnorm dalam hal ini
Pancasila sebagai dasar negara.
Bila melihat dari teori tersebut, ketentuan dari Pasal 43 Ayat (3) UUJN tidak dapat
bertolak belakang dengan ketentuan Pasal 36 UUD 1945. Bila itu terjadi maka akan timbul
ketidakharmonisan tujuan dari aturan hukum negara itu sendiri, karena aturan hukum tidak
serta merta disusun untuk mengatur kehidupan masyarakat saja namun juga untuk menuntun
suatu cita-cita maupun tujuan dari suatu masyarakat. Salah satunya penggunaan bahasa
Indonesia untuk sarana komunikasi yang utama dan resmi serta sarana melakukan hubungan
hukum di Indonesia.
Pada dasarnya penggunaan bahasa dalam akta bukan merupakan permasalahan yang
tanpa jalan keluar, karena dalam UUJN sendiri telah diatur mengenai hal tersebut bahwa
“dalam hal penghadap tidak mengerti bahasa yang digunakan dalam akta, Notaris wajib
menerjemahkan atau menjelaskan isi akta itu dalam bahasa yang dimengerti oleh penghadap”.
Ketentuan itu tentunya dapat digunakan apabila penghadap yang ingin membuat akta di
Notaris tidak memahami bahasa Indonesia, sehingga mengurangi urgensi penyusunan akta
berbahasa asing.
Tidak semua Notaris memiliki kemampuan dalam penggunaan dan pemaknaan bahasa
asing, terlebih dalam konteks ini bahasa asing yang dimaksud tidak terbatas hanya pada
bahasa Inggris sebagai bahasa internasional. Oleh karenanya dalam Pasal 43 Ayat (5) UUJN
ditentukan “apabila Notaris tidak dapat menerjemahkan atau menjelaskannya, akta tersebut
diterjemahkan atau dijelaskan oleh seorang penerjemah resmi”.
Perihal akta tersebut diterjemahkan secara lisan maka pada bagian penutup akta
diberikan keterangan bahwa akta telah diterjemahkan dan dijelaskan kepada para penghadap
dikarenakan para penghadap tidak memahami bahasa Indonesia. Dalam hal akta
diterjemahkan oleh penerjemah resmi maka dalam penutup akta juga diberikan keterangan hal
tersebut dan akta juga dibubuhi tanda tangan penerjemah resmi. Sama halnya dengan
penerjemahan secara tertulis, penambahan keterangan dalam penutup akta juga diperlukan.
Bedanya di dalam keterangannya disebutkan bahwa terjemahan dari akta tersebut telah dibuat
secara tertulis pada lembar atau dokumen terpisah. Terkait terjemahaan akta yang dilakukan
Arif Budiman, Mohammad Ryan Bakry, Iskandar Muda
3894 Syntax Idea, Vol. 6, No. 09, September 2024
oleh penerjemah resmi juga diberikan keterangan yang sama dan ditambah dengan
pembubuhan tanda tangan penerjemah resmi tersebut pada akta.
Penggunaan bahasa Indonesia sangatlah penting dalam segala bentuk aspek kehidupan
masyarakat. Terlebih dalam penyusunan suatu akta otentik oleh Notaris, karena pemaknaan
setiap kosa kata yang ada dalam bahasa Indonesia tidak serta merta dapat dimaknai ke dalam
bahasa asing. Notaris sendiri memiliki tanggung jawab yang sangat besar untuk menghasilkan
suatu produk hukum yang sesuai dengan keinginan penghadap. Tanggung jawab tersebut
mewajibkan Notaris memiliki sifat ketelitian dan kecermatan pada setiap tahapan pembuatan
akta yang dimulai dari menkonstantir, mengkualifisir, dan menkonstituir suatu peristiwa.
Notaris sudah seharusnya mengutamakan penggunaan bahasa Indonesia di dalam
pembuatan aktanya guna mendukung penyusunan akta yang cermat dan tanpa cela, karena
bagaimanapun juga bahasa Indonesia merupakan bahasa ibu bagi para warga negara
indonesia. Tentunya Notaris yang sejak awal memang diharuskan berkewarganegaraan
Indonesia (seuai dengan Pasal 3 huruf a UUJN) akan lebih mudah menciptakan produk
hukum yang sempurna tanpa cacat secara formal bila menggunakan bahasa nasionalnya
sendiri.
Salah satu asas dalam perjanjian adalah asas kebebasan berkontrak, yang dapat
dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi: "Semua perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya". Asas
ini merupaka suatu asa yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk: (a). Membuat
atau tidak membuat perjanjian;(b). Mengadakan perjanjian dengan siapa pun; (c).
Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, serta (d). Menentukan bentuk
perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.
Begitu pula dengan penggunaan bahasa asing dalam pembuatan perjanjian dengan akta
otentik yang dibuat dihadapan notaris, yang mana disebutkan dalam Pasal 43 UU No. 30
Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, sebagai berikut: 1). Akta dibuat dalam bahasa
Indonesia. 2). Dalam hal penghadap tidak mengerti bahasa yang digunakan dalam akta,
Notaris wajib menerjemahkan atau menjelaskan isi akta itu dalam bahasa yang dimengerti
oleh penghadap. 3). Apabila Notaris tidak dapat menerjemahkan atau menjelaskannya, akta
tersebut diterjemahkan atau dijelaskan oleh seorang penerjemah resmi. 4). Akta dapat dibuat
dalam bahasa lain yang dipahami oleh Notaris dan saksi apabila pihak yang berkepentingan
menghendaki sepanjang undang-undang tidak menentukan lain. 5). Dalam hal akta dibuat
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Notaris wajib menerjemahkannya ke dalam bahasa
Indonesia.
Ketentuan Pasal 43 UU No. 02 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris tersebut sesuai
juga dengan ketentuan dalam UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang
Negara Serta Lagu Kebangsaan, sebagai berikut: 1). Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam
nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan Lembaga negara, instansi pemerintah
Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia, atau perseorangan warga negara Indonesia.
2). Nota kesepahaman atau perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang melibatkan
pihak asing ditulis juga dalam bahasa nasional pihak asing tersebut dan/atau bahasa Inggris.
Rekognisi Hukum Penggunaan Bahasa Asing dalam Pembuatan Akta Notaris Berdasarkan
Ketentuan Hukum di Indonesia
Syntax Idea, Vol. 6, No. 09, September 2024 3895
KESIMPULAN
Konsep regkognisi hukum sebagai bentuk pengakuan hukum adalah perihal penerapan
penggunaan bahasa asing kedalam Akta Otentik yag didasarkan atas peraturan perundang-
undangan. Sehingga kedudukan rekognisi hukum adalah untuk menempatkan bahasa Asing
yang belum diatur dalam peraturan perundang-undang terkait dalam akta kenotariatan untuk
dapat berlaku dan diberlakukan agar memiliki kekuatan hukum yang sama dengan Akta
bahasa Indonesia.
Kewenangan rekognisi hukum pada penggunaan bahasa asing dalam pembuatan akta
notaris di Indonesia adalah didasarkan atas suatu ketentuan peraturan perundang-undangan
yang menjadi dasar kewenangan penggunaan bahasa Asing terhadap pembuatan Akta Otentik
oleh Notaris khususnya pada Undang-undang Jabatan Notaris No. 2 Tahun 2014 Pasal 43.
Manifestasi dari kewenangan notaris dalam pembuatan akta yang harus memperhatikan
unsur-unsur esensial dari syarat-syarat perjanjian, yaitu kesepakatan para pihak, penggunaan
bahasa untuk menafsirkan dan menjelaskan dengan jelas kesepakatan yang tercantum dalam
akta untuk memenuhi syarat perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 dan 1336 KUH
Perdata. Selain itu, secara normatif, Ratio legis ini juga mengacu pada Pasal 31 ayat (1) dan
(2) UU No. 24 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa nota kesepemahaman yang melibatkan
orang asing juga dapat ditulis dalam bahasa asing. Kata "Dapat" dapat diinterpretasikan
sebagai kewenangan yang dimiliki oleh Notaris untuk melakukan suatu tindakan sehingga
memberikan kepastian hukum bagi para pihak.
BIBLIOGRAFI
Ali, Z. (2021). Metode penelitian hukum. Sinar Grafika.
Andarwulan, T., & Aswadi, A. (2019). Menilik Sikap Bahasa Mahasiswa Universitas
Brawijaya: Upaya Peneguhan Bahasa Indonesia Menuju Internasionalisasi Bahasa.
WASKITA: Jurnal Pendidikan Nilai Dan Pembangunan Karakter, 2(2), 6170.
Anisah, S., & Wicaksono, L. S. (2017). Hukum investasi, Yogyakarta. FH UII Press.
Budiono, H. (2016). Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan Buku Kesatu.
Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Dahlan, M. (2018). Rekognisi hak masyarakat hukum adat dalam Konstitusi. Undang: Jurnal
Hukum, 1(2), 187217.
Firmansyah, D. (2019). Pengaruh Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris di Era Globalisasi.
Francoise, J., & Hum, S. (2017). Political Process of Indonesian Language (Bahasa Indonesia)
to be one of United Nations Official Languages. Prosiding. Seminar Nasional Bahasa
Ibu X. Denpasar: Udayana University Press.
Hadiyanto, R., & Pusvisasari, L. (2021). Aspek Hukum Pasar Modal Syariah di Indonesia.
Tahkim (Jurnal Peradaban Dan Hukum Islam), 4(2), 6584.
Kachru, B. B., Quirk, R., & Widdowson, H. G. (1985). Standards, codification and
sociolinguistic realism. World Englishes. Critical Concepts in Linguistics, 241270.
Kristiawan, Y., Bakry, M. R., & Santosa, I. (2022). Implementasi Substansi Prinsip Kejelasan
Rumusan Dalam Penyusunan Kode Etik Notaris Di Indonesia. ADIL: Jurnal Hukum.
Moeljadi, D., Sugianto, R., Hendrick, J. S., & Hartono, K. (2016). Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI). Badan Pengembangan Bahasa dan Kebukuan, Kementerian
Pendidikan dan ….
Nugrahadi, C. (2019). Prinsip Kepastian Hukum Akta Notaris yang Dibuat dalam Bahasa
Arif Budiman, Mohammad Ryan Bakry, Iskandar Muda
3896 Syntax Idea, Vol. 6, No. 09, September 2024
Asing. Fakultas Hukum.
Pusat Bahasa, T. P. K. (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia. IV). Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Soto, R. G. (2015). Esperanto and its rivals: The struggle for an international language.
University of Pennsylvania Press.
Walter, S., & Benson, C. (2012). Language policy and medium of instruction in formal
education. The Cambridge handbook of language policy, 278-300.
Copyright holder:
Arif Budiman, Mohammad Ryan Bakry, Iskandar Muda (2024)
First publication right:
Syntax Idea
This article is licensed under: