How to cite:
Andi Hermawan, Endang Purwaningsih, Chandra Yusuf (2024) Keabsahan Akta Perjanjian
Pengikatan Jual Beli (PPJB) Yang Objeknya Masih Dalam Sengketa di Pengadilan (06) 09,
E-ISSN:
2684-883X
KEABSAHAN AKTA PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI (PPJB) YANG
OBJEKNYA MASIH DALAM SENGKETA DI PENGADILAN
Andi Hermawan, Endang Purwaningsih, Chandra Yusuf
Universitas Yarsi, Indonesia
Abstrak
Notaris membuat akta dalam bentuk akta PPJB didasarkan atas perjanjian pemberian kuasa,
yang berarti terjadi hubungan hukum antara pemberi dengan penerima kuasa didasarkan atas
perjanjian. Kewenangan Notaris membuat Akta Autentik bersumber dari ketentuan Pasal 15
ayat (1) UU Jabatan Notaris. Guna menghindari adanya pelanggaran-pelanggaran yang dapat
mengarah kepada tindakan Notaris yang dapat dijerat oleh pasal-pasal pemidanaan, Notaris
dalam membuat Akta Autentik khususnya akta PPJB harus senantiasa memperhatikan kaidah-
kaidah hukum yang berlaku. Rumusan masalah dalam penelitian ini, mengenai kedudukan
akta PPJB diketahui objek masih dalam sengketa di pengadilan dan akibat hukumnya. Tesis
ini, menggunakan metode penelitian hukum normatif (kepustakaan) dengan analisis kualitatif
terhadap data sekunder untuk mendapatkan kesimpulan tentang kedudukan akta PPJB
diketahui objek masih dalam sengketa di pengadilan tidak sah dikarenakan perbuatan hukum
jual beli melalui PPJB tersebut tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam
Pasal 1320 KUHPerdata dan syarat materil dalam membuat akta PPJB. Akibat hukum akta
PPJB diketahui objeknya masih dalam sengketa di Pengadilan yaitu batal demi hukum dan
tidak mengikat bagi para pihak yang membuatnya. Sehingga, prestasi yang telah dilakukan
kembali seperti semula. Selain itu, berakibat pada Notaris dapat dimintakan tanggung jawab
secara UUJN dan kode etik dalam membuat akta PPJB dimana diketahui objeknya masih
dalam sengketa di pengadilan.
Kata Kunci: Keabsahan, Akta, PPJB, Sengketa.
Abstract
The notary makes a deed in the form of a PPJB deed based on a power of attorney agreement,
which means that a legal relationship exists between the giver and the recipient of the power
of attorney based on an agreement. The authority of a Notary to make an Authentic Deed
comes from the provisions of Article 15 paragraph (1) UUJN. In order to avoid violations
that could lead to Notarial actions that could be charged by criminal articles, Notaries in
making Authentic Deeds, especially PPJB deeds, must always pay attention to the applicable
legal rules. The formulation of the problem in this research is that regarding the position of
the PPJB deed, it is known that the object is still in dispute in court and the legal
consequences of the PPJB. This thesis uses normative legal research methods (library) with
qualitative analysis of secondary data to obtain conclusions about the position of the PPJB
deed, it is known that the object is still in dispute in court and is invalid because the legal act
of buying and selling through the PPJB does not meet the requirements. the validity of the
agreement regulated in Article 1320 of the Civil Code and the material requirements in
making a PPJB deed. As a legal consequence of the PPJB deed, it is known that its object is
JOURNAL SYNTAX IDEA
pISSN: 2723-4339 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 6, No. 09, September 2024
Keabsahan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) Yang Objeknya Masih Dalam
Sengketa di Pengadilan
Syntax Idea, Vol. 6, No. 09, September 2024 3907
still under dispute in court, namely that it is null and void and is not binding on the parties
who made it. So, the achievements that have been made will return to normal. Apart from
that, this results in the Notary being asked to take responsibility under UUJN and the code of
ethics in making PPJB deeds where it is known that the object is still in dispute in court.
Keywords Validity, Deed, PPJB, Dispute.
PENDAHULUAN
Tanah untuk tempat tinggal merupakan salah satu ruang yang dibutuhkan oleh manusia.
Tidak hanya berfungsi sebagai kebutuhan papan untuk manusia dalam bertahan hidup, tanah
juga berfungsi sebagai tempat usaha bagi manusia. Ketersediaan tanah yang terbatas, karena
tanah adalah benda tetap, tidak dapat bertambah dan diperbarui, sedangkan angka penduduk
terus meningkat dari tahun ke tahun membuat tanah menjadi objek yang memiliki nilai
ekonomis yang tinggi. Cara perolehan tanah bagi masyarakat pun hampir terbatas yaitu
melalui jual beli (Wahyuni, 2021).
Tanah sebagai satu bagian dari unsur Negara, menjadi bagian yang sangat penting bagi
kesejahteraan bangsa. Dalam kaitan itu, Negara mempunyai tugas dan wewenang untuk
menggariskan nilai-nilai dalam upaya menata struktur pertanahan yang berkeadilan dan
berwawasan kesejahteraan, sebagai berikut (Muliawan, 2009):
1. Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial;
2. Pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan;
3. Tanah harus dikerjakan sendiri secara aktif oleh pemiliknya dan mencegah cara-cara
pemerasan;
4. Usaha dalam bidang agraria tidak boleh bersifat monopoli;
5. Menjamin kepentingan golongan ekonomi lemah, dan
6. Untuk kepentingan bersama.
Jual beli merupakan suatu bentuk perjanjian yang melahirkan kewajiban atau perikatan
untuk memberikan sesuatu, yang dalam hal ini terwujud dalam bentuk penyerahan kebendaan
yang dijual oleh penjual, dan penyerahan uang oleh pembeli kepada penjual (Widjaja &
Muljadi, 2003). Jual beli adalah perjanjian timbal balik dalam pihak yang satu (penjual),
berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedangkan pihak lainnya (pembeli)
berjanjian untuk membayar harga barang yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari
perolehan hak milik tersebut (Subekti, 1995).
Secara umum jual-beli diatur dalam Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(selanjutnya disebut KUHPerdata), yang menyatakan bahwa “suatu perjanjian dengan mana
pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan hak atas suatu barang dan pihak
yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”. Adapun syarat sahnya perjanjian
sesuai Pasal 1320 KUHPerdata, adalah adanya kesepakatan mereka yang mengikatkan
dirinya, adanya kecakapan untuk membuat suatu perikatan, adanya suatu hal tertentu, dan
suatu sebab yang halal. Jika syarat mengenai kesepakatan dan kecakapan (syarat subyektif)
tidak dipenuhi, maka suatu perjanjian dapat dibatalkan, maksudnya perjanjian tetap ada
sampai adanya keputusan dari hakim. Sedangkan jika syarat mengenai suatu hal tertentu dan
suatu sebab yang halal (syarat obyektif) tidak dipenuhi, maka suatu perjanjian batal demi
hukum artinya sejak awal perjanjian itu dianggap tidak pernah ada perjanjian.
Banyaknya transaksi di antara masyarakat, yang salah satunya adalah jual beli tanah,
maka diperlukan adanya akta autentik sebagai alat pembuktian telah terciptanya hubungan
perdata diantara para pihak sehingga tercipta ketertiban hukum di masyarakat (Wahyuni,
2021). Pembeli sebelum bertransaksi harus mengetahui sejarah tanah yang akan dibelinya
Andi Hermawan, Endang Purwaningsih, Chandra Yusuf
3908 Syntax Idea, Vol. 6, No. 09, September 2024
sejelas-jelas mungkin, caranya yaitu dengan mencocokan keterangan yang diberitahukan oleh
penjual dengan memeriksakan langsung keadaan tanah kepada Badan Pertanahan Nasional
dimana tanah yang akan dibeli berada. Dapat juga melalui bantuan PPAT dalam
pemeriksaanya jika pembeli kurang memahami proses tersebut(Gunawan, 2019).
Effendi Perangin sebagaimana dikutip Urip Santoso menyatakan “Jual beli hak atas
tanah adalah perbuatan hukum yang berupa penyerahan hak milik (penyerahan tanah untuk
selama-lamanya) oleh penjual kepada pembeli, yang pada saat itu juga menyerahkan harganya
kepada penjual” (Urip Santoso, 2019). Untuk menjamin kepastian dan ketertiban hukum
dalam jual beli hak atas tanah diperlukan adanya persyaratan formil. Syarat formil terhadap
obyek jual beli hak atas tanah berupa bukti kepemilikan tanah yang terkait dengan hak atas
tanah, dan juga terkait dengan prosedur peralihan hak atas tanah. Menurut Boedi Harsono,
jual beli tanah merupakan suatu aktivitas jual beli yang ruang lingkup objeknya terbatas hanya
pada hak milik atas tanah (Urip Santoso, 2019).
Hukum adat jual beli tanah adalah suatu pemindahan hak atas tanah yang bersifat terang
dan tunai, terang berarti perbuatan pemindahan hak tersebut harus dilakukan di hadapan
kepala adat, yang berperan sebagai pejabat yang menanggung keteraturan dan sahnya
perbuatan pemindahan hak tersebut, sehingga perbuatan tersebut diketahui oleh umum. Tunai
maksudnya, bahwa perbuatan pemindahan hak dan pembayaran harganya dilakukan secara
serentak. Oleh karena itu, maka tunai mungkin harga dibayar secara kontan, atau dibayar
sebagian (tunai dianggap tunai). Dalam hal pembeli tidak membayar sisanya, maka penjual
tidak dapat menuntut atas dasar terjadinya jual beli tanah, akan tetapi atas dasar hukum utang
piutang (Sutedi, 2007).
Jual beli dalam hukum tanah nasional yang bersumber pada hukum adat bukan
merupakan perjanjian obligatoir. Jual beli (tanah) dalam hukum adat merupakan perbuatan
hukum pemindahan hak yang harus memenuhi 3 (tiga) sifat, yaitu bersifat tunai, artinya harga
yang disetujui bersama dibayar penuh pada saat dilakukan jual beli yang bersangkutan, harus
bersifat terang, artinya pemindahan hak tersebut dilakukan dihadapan pejabat yaitu Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berwenang atas objek perbuatan hukum tersebut dan
bersifat riil atau nyata, artinya dengan ditandatanganinya akta pemindahan hak tersebut, maka
akta tersebut menunjukkan secara nyata sebagai bukti telah dilakukan perbuatan hukum
tersebut (Boedi, 1999).
Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) diberi wewenang oleh negara untuk
membuat Akta Autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang
diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang
berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta Autentik, menjamin kepastian tanggal
pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta semuanya itu
sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain
(Rosdiana, 2021).
Akta autentik yang dibuat oleh Notaris memiliki kekuatan alat bukti terkuat dan penuh
mempunyai peranan penting dalam setiap hubungan hukum dalam kehidupan masyarakat.
Melalui akta autentik yang menentukan secara jelas hak dan kewajiban, akan menjamin
kepastian hukum, dan sekaligus diharapkan pula dapat dihindari terjadinya sengketa. Jadi akta
autentik yang dibuat oleh Notaris mempunyai kekuatan pembuktian yang kuat sepanjang tidak
dibantah kebenarannya oleh siapapun, kecuali bantahan terhadap akta tersebut dapat
dibuktikan sebaliknya (Purwaningsih, 2011).
Banyaknya ketentuan mengenai perbuatan-perbuatan Notaris dalam melaksanakan
kewenangannya, sebagaimana mengacu pada salah satu asas pemerintahan yang baik, Notaris
dalam menjalankan tugas jabatannya wajib berpedoman secara normatif kepada aturan hukum
Keabsahan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) Yang Objeknya Masih Dalam
Sengketa di Pengadilan
Syntax Idea, Vol. 6, No. 09, September 2024 3909
yang berkaitan dengan segala tindakan yang akan diambil untuk kemudian dituangkan dalam
akta. Bertindak berdasarkan aturan hukum yang berlaku akan memberikan kepastian kepada
para pihak, bahwa akta yang dibuat di hadapan atau oleh Notaris telah sesuai dengan aturan
hukm yang berlaku, sehingga jika terjadi permasalahan, akta Notaris dapat dijadikan pedoman
para pihak (Adjie & Gunarsa, 2013). Selain itu akta Notaris adalah Akta Autentik yang
seharusnya isinya dapat dipertanggungjawabkan secara hukum oleh karena itu Notaris dalam
menjalankan kewenangannya harus memperhatikan kewajibannya sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (Selanjutnya disebut UUJN)
dan Kode Etik Notaris serta peraturan perundang-undangan yang terkait.
Notaris dapat diminta pertanggungjawaban, apabila Notaris melakukan perbuatan
melawan hukum. Istilah melawan hukum (onrechmatigedaad) melekat kedua sifat dan pasif
kalau ia sengaja melakukan sesuatu perbuatan yang menimbulkan kerugian pada orang lain
jadi sengaja melakukan gerakan, maka tampaklah dengan jelas sifat aktifnya dari istilah
melawan itu. Sebaliknya kalau ia dengan sengaja diam saja, sedangkan ia sudah mengetahui
bahwa ia harus melakukan sesuatu perbuatan untuk tidak merugikan orang lain, atau dengan
kata lain, apabila dengan sikap pasif saja, maka ia telah melawan tanpa harus menggerakkan
badannya. Inilah sifat pasif dari istilah melawan (Sari, 2021). Apabila Notaris melakukan
suatu perbuatan pembuatan akta atas perintah dan permintaan dari para pihak dan syarat-
syarat formil yang ditentukan oleh undang-undang dalam pembuatan akta telah dipenuhi oleh
Notaris, maka Notaris tidak bertanggung jawab. Pertanggungjawaban atas perbuatan
seseorang biasanya praktis baru ada arti apabila melakukan perbuatan yang tidak diperolehkan
oleh hukum.
Tanggung Jawab Notaris dalam menjalankan tugas profesinya bahwa Notaris sebagai
Pejabat Umum tugas utamanya ialah dalam pembuatan Akta Autentik, kalau Notaris
menjalankan tugas jabatannya sesuai UUJN dan peraturan perundangan di dalam pembuatan
akta, maka secara materiil dalam suasana formal dia sudah memenuhi persyaratan dan tugas
sebaik-baiknya.
Notaris membuat akta dalam bentuk akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (selanjutnya
disebut PPJB) didasarkan atas perjanjian pemberian kuasa, yang berarti terjadi hubungan
hukum antara pemberi dengan penerima kuasa didasarkan atas perjanjian sebagaimana Pasal
1792 KUHPerdata adalah suatu perjanjian dengan mana seorang memberikan kekuasaan
kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan
(Subekti, 1995).
Kewenangan Notaris membuat Akta Autentik bersumber dari ketentuan Pasal 15 ayat
(1) Undang-Undang Jabatan Notaris bahwa Notaris berwenang membuat Akta Autentik
mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan
perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan
dalam Akta Autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta,
memberikan grosse, salinan dan salinan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta itu
tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan
oleh undang-undang. PPJB merupakan akta yang berkaitan dengan perjanjian, yang berarti
bahwa Notaris mempunyai wewenang membuat akta PPJB.
Permasalahan (Mitenage, 2021) dalam penelitian ini, tentang objek berupa tanah dan
bangunan yang masih dalam sengketa pengadilan dilakukan peralihan hak atas tanah melalui
jual beli dengan dasar Pengikatan Perjanjian Jual Beli dan lelang kepada pihak lain,
sebagaimana fakta hukum berikut Putusan Mahkamah Agung Nomor 3103 K/Pdt/2015
Diketahui pada tingkat Pengadilan Negeri Nomor 36/Pdt.G/2014/PN.Bdg tanggal 29
September 2014, Majelis Hakim menyatakan menolak gugatan Penggugat (Abdul
Andi Hermawan, Endang Purwaningsih, Chandra Yusuf
3910 Syntax Idea, Vol. 6, No. 09, September 2024
Rahman/yang dikuasakan pemilik tanah untuk menjual). Tingkat Pengadilan Tinggi
Nomor 63/Pdt/2015/PT.Bdg, Majelis Hakim menyatakan akta PPJB adalah sah dan
mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sedangkan pada tingkat kasasi di Mahkamah
Agung Nomor 3103 K/Pdt/2015, Majelis Hakim menyatakan menolak permohonan
kasasi dari pemohon kasasi (Abdul Rahman/yang dikuasakan pemilik tanah untuk
menjual).”
Putusan Mahkamah Agung Nomor 994K/Pdt/2020
Diketahui pada tingkat Pengadilan Negeri Nomor 218/Pdt.Plw/2017/PN.Btm tanggal 1
Agustus 2018, Majelis Hakim menyatakan Pelawan sebagai Pelawan yang tidak benar
dan menolak perlawanan Pelawan. Tingkat Pengadilan Tinggi Nomor
7/Pdt/2019/PT.Pbr, Majelis Hakim menguatkan Putusan Pengadilan Negeri. Sedangkan
pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung Nomor 994K K/Pdt/2020, Majelis Hakim
menyatakan bahwa jual beli melalui lelang adalah sah walaupun diketahui objek jual
beli tersebut masih dan membatalkan penetapan sita jaminan atas objek jual beli
tersebut.
Berdasarkan uraian fakta hukum tersebut di atas, penulis tertarik untuk meneliti
dikarenakan terdapat permasalahan mengenai kedudukan objek PPJB yang masih dalam
sengketa atas hak kepemilikan dalam perkara di Pengadilan. Dalam hukum agraria mengenai
syarat-syarat dalam perbuatan hukum terhadap pengalihan hak atas tanah (jual beli) terbagi
atas 2 (dua) macam, yaitu:
Notaris yang membuat akta PPJB terkait diketahui objeknya masih dalam sengketa
tentang keabsahan kepemilikan hak atas tanah dapat dimintakan pertanggungjawabannya.
Guna menghindari adanya pelanggaran-pelanggaran yang dapat mengarah kepada tindakan
Notaris yang dapat dijerat oleh pasal-pasal pemidanaan, Notaris dalam membuat Akta
Autentik khususnya akta PPJB harus senantiasa memperhatikan kaidah-kaidah hukum yang
berlaku, diantaranya Notaris dalam menjalankan jabatannya sebagai Pejabat Umum harus
memperhatikan UUJN, peraturan turunan dari undang-undang tersebut, serta aturan-aturan
terkait seperti Kode Etik Notaris dan sebagainya.
Penulis telah melakukan penelitian terhadap beberapa penelitian sebelumnya untuk
membantu penelitian dapat menujukkan orisinalitas dari penelitian. Beberapa hasil penelitian
terdahulu terkait dengan penelitian yang hendak dilakukan, kemudian membuat ringkasannya,
baik penelitian yang sudah terpublikasikan atau belum terpublikasikan yakni Jurnal Indonesia
Notary oleh Novia Gunawan dengan judul “Perlindungan Hukum Bagi Pembeli Tanah Yang
Kehilangan Hak Akibat Jual Beli Atas Tanah Yang Pernah Menjadi Objek Sengketa
Pengadilan Tata Usaha Negara (Putusan Mahkamah Agung Nomor 658 PK/Pdt/2017)”, pada
tahun 2021. Permasalahan dalam jurnal ini, mengenai bentuk perlindungan hukum bagi
pembeli tanah yang kehilangan hak akibat jual beli atas tanah yang pernah menjadi objek
sengketa Pengadilan Tata Usaha Negara dan bentuk tanggung jawab PPAT terhadap akta jual
beli yang dibuat antara Bacce dengan Gunadi Yauw dan Gunadi Yauw dengan John Tandiari.
Hasil penelitian ini, menjelaskan bahwa perlindungan hukum akan didapatkan jika
pembeli tanah dapat membuktikan hak mereka di Pengadilan kemudian jika penjual
memberikan biaya ganti rugi serta mengembalikan uang transaksi pembelian objek jual beli
tanah 100% (seratus persen) kepada pembeli yang dinyatakan harus mengembalikan tanah
kepada pemilik atas nama yang memenangkan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara dan
PPAT bertanggung jawab hanya pada akta jual beli yang dibuat antara Gunadi Yauw dan
John Tandiari karena dibuat secara sadar baik secara pribadi maupun bersama-sama bahwa
tanah sedang dalam sengketa Pengadilan. Jurnal Konstruksi Hukum oleh I Gusti Ayu Ria
Rahmawati, dengan judul “Tanggung Jawab Notaris Dalam Sengketa Para Pihak Terkait Akta
Keabsahan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) Yang Objeknya Masih Dalam
Sengketa di Pengadilan
Syntax Idea, Vol. 6, No. 09, September 2024 3911
PPJB Yang Dibuatnya”, tahun 2020. Permasalahan dalam jurnal ini, mengenai tanggung
jawab Notaris terhadap akta autentik yang dibatalkan di pengadilan dan kapan tanggung
jawab Notaris terhadap akta autentik yang dibuatnya setelah masa pensiun. Hasil penelitian
dalam jurnal ini menjelaskan bahwa tanggung jawab Notaris terhadap akta autentik batal di
pengadilan yakni tanggung jawab secara perdata, Pidana, UUJN dan Kode Etik. Kemudian,
notaris masih bertanggung jawab kendatipun waktu jabatan Notaris itu sudah selesai atau
telah pensiun. Journal Indonesian Notary oleh Andreas dengan judul “Akibat Dari Perjanjian
Pengikatan Jual Beli Yang Dibuat Atas Objek Yang Menjadi Sengketa (Analisa Putusan
Mahkamah Agung Nomor 160/K/PDT/2019)”, tahun 2022. Permasalahan dalam jurnal ini,
mengenai akibat dari perjanjian pengikatan jual beli yang dibuat atas objek yang menjadi
sengketa.
Hasil penelitian dalam jurnal ini, menjelaskan bahwa kewenangan dan tanggung jawab
notaris serta perjanjian pengikatan jual beli dalam hal menjadi objek dalam sengketa. Hasil
analisa adalah bahwa akibat dari perjanjian pengikatan jual beli yang menjadi objek sengketa
adalah tindakan hukum yang terdapat dalam akta tersebut menjadi batal secara hukum.
Hasil penelusuran penulis terhadap beberapa penelitian di atas, terdapat kesamaan
mengenai objek PPJB masih dalam sengketa akan tetapi pembahasan terkait
pertanggungjawaban Notaris yang telah pensiun dan objek penelitian berdasarkan putusan
pengadilan yang berbeda.
METODE PENELITIAN
Dalam penelitian tentang keabsahan akta perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) terkait
objek masih sengketa dalam pengadilan, penulis menggunakan metode normatif atau
penelitian kepustakaan dengan menggunakan peraturan perundang-undangan dan buku-buku
yang terkait dengan keabsahan akta perjanjian pengikatan jual beli (PPJB). Penelitian tentang
keabsahan akta perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) terkait objek masih sengketa dalam
pengadilan, merupakan penelitian deskriptif, menggambarkan kedudukan akta autentik yang
dibuat Notaris untuk kepentingan jual beli dimana diketahui objek jual beli tersebut masih
dalam sengketa di Pengadilan.
Penelitian tentang keabsahan akta perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) terkait objek
masih sengketa dalam pengadilan, dilakukan dengan mengumpulkan data sekunder yang
terdiri dari :
a. Bahan Hukum Primer terkait peraturan perundang-undangan yang digunakan untuk
membahas keabsahan akta perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) terkait objek masih
sengketa dalam pengadilan, seperti:
1. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945,
2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata),
3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
dan Putusan Perkara Nomor 558 K/Pdt/2017,
4. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris dan
5. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2016 tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah;
6. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;
7. Putusan Mahkamah Agung Nomor 3103K/Pdt/2015.
b. Bahan Hukum Sekunder, berupa buku-buku, jurnal terkait keabsahan akta perjanjian
pengikatan jual beli (PPJB) terkait objek masih sengketa dalam pengadilan untuk
mendukung peraturan perundang-undangan tersebut di atas.
Andi Hermawan, Endang Purwaningsih, Chandra Yusuf
3912 Syntax Idea, Vol. 6, No. 09, September 2024
c. Bahan Hukum Tersier, menggunakan Kamus Besar Bahasa Indonesia untuk menjelaskan
pengertian atau definisi seperti akta, perjanjian, implikasi, sah dan lainnya sebagaimana
terdapat dalam kajian tesis penulis.
Terhadap data sekunder berupa peraturan perundang-undangan dan buku-buku, jurnal,
dan tulisan lainnya tentang keabsahan akta perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) terkait
objek masih sengketa dalam pengadilan, selanjutnya data tersebut dianalisis secara kualitatif
untuk mendapatkan hasil penelitian mengenai keabsahan akta PPJB. Hasil penelitian tersebut,
selanjutnya dibuat kesimpulan dan saran sebagai bagian penutup dalam penelitian ini.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Upaya Hukum Terhadap Pihak Pembeli Yang Objeknya Masih Dalam Sengketa
Pengadilan
Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli ini dilaksanakan sebelum adanya peristiwa hukum
jual beli dan dimasukkan pada Akta Jual Beli (AJB). Oleh karena itu, PPJB tidak bisa
disamakan dengan AJB yang merupakan bukti pengalihan hak atas tanah/bangunan dari
penjual kepada pembeli. Akan tetapi, dengan dibuatkannya Perjanjian Pengikatan Jual Beli ini
dikehendaki secara yuridis bisa menjamin kepastian hukum dan hak bagi para pihak. Pada
kajian riset ini peneliti mendapati bahwa surat permohonan tentang permintaan blokir buku
tanah yang diajukan oleh penjual. Permintaan tersebut, dilaksanakan oleh penjual saat penjual
masih menjadi nasabah dari salah satu bank yang memberi pinjaman dengan menjadikan
agunan sertifikat hak milik.
Saat penjual tanah dan bangunan itu menjual tanah dan bangunannya, si penjual tidak
melakukan pencabutan blokir lebih dulu padahal pembelian mana dilaksanakan dengan terang
dan tunai. Bahwa memang, dalam Pasal 1458 KUHPerdata dinyatakan bahwa jual beli sudah
berlangsung antara kedua belah pihak, seketika sesudah orang-orang mendapatkan suatu
kesepakatan mengenai barang dan harganya, meskipun barang tersebut belum diberikan dan
harganya belum dibayarkan. Selanjutnya dijelaskan dalam Pasal 1459 KUHPerdata bahwa
hak milik atas barang yang dijual tidak akan beralih kepada pembeli, sepanjang
penyerahannya belum dilaksanakan sesuai dengan Pasal 612, 613 dan 616 KUHPerdata.
Namun dengan adanya pasal tersebut bukan berarti penjual melalaikan kewajibannya untuk
mencabut blokir sebagai syarat kepastian objek jual beli.
Prinsipnya, sebelum penjual melaksanakan jual beli, berdasarkan Pasal 1491
KUHPerdata ia mesti memberikan jaminan objek sengketa dikuasai secara aman tanpa adanya
intervensi dari pihak manapun, serta diperlukan penjelasan tentang hal-hal penting mengenai
objek tersebut supaya tidak terdapat kecacatan yang disembunyikan, yang disebut dengan
tindakan pencegahan untuk mencegah adanya hal yang merugikan bagi para pihak. Jika
Notaris telah menjalankan cek bersih atas sertipikat hak atas tanah, namun ketika
penyelenggaraan akta PPJB terjadi sengketa antara penjual dengan pihak ketiga, maka Notaris
tidak mempunyai tanggung jawab atas hal tersebut sebab kuncinya, saat Notaris telah
menjalankan cek bersih, maka Notaris telah memenuhi kewajibannya dalam rangka membuat
akta, oleh karenanya di dalam akta PPJB tersebut semestinya ada klausul yang memastikan
atau memberikan jaminan kepentingan para pihak, misalnya Penjual memberi jaminan kepada
Keabsahan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) Yang Objeknya Masih Dalam
Sengketa di Pengadilan
Syntax Idea, Vol. 6, No. 09, September 2024 3913
Pembeli bahwa tanah itu tidak dikenai suatu sitaan, bebas dari gadai dan beban-beban lainnya
yang mempunyai sifat apapun.
Cek bersih yang dilaksanakan Notaris berhubungan dengan Pasal 97 Peraturan Menteri
Negara Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, dalam
hal PPAT akan menjalankan pembuatan akta tentang pengalihan atau pembebanan hak atas
tanah, maka PPAT harus lebih dulu menjalankan pemeriksaan pada kantor pertanahan tentang
kesesuaian sertifikat hak atas tanah yang berkenaan dengan sejumlah daftar yang terdapat di
kantor pertanahan setempat melalui cara menunjukkan sertipikat aslinya (Sentanu, 2019).
Pada dasarnya upaya hukum yang dapat dilakukan sebagai alternative sengketa tidak
sebatas mediasi. Di samping mediasi dikenal pula dengan istilah konsiliasi. Konsiliasi yaitu
pendamai atau Lembaga pendamai. Bentuk ini sesungguhnya tidak berbeda dengan hal yang
ditentukan dalam pasal 131 HIR. Alternatif lain adalah penggunaan arbirtrase. Dengan
disahkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbirtrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa pada Tanggal 12 Agustus 1999 Indonesia sudah mempunyai Perangkat
Hukum yang secara spesifik memberikan pengaturan tentang penyelesaian sengketa di luar
pengadilan. Pada dasarnya mempunyai prinsip fundamental yang berasal dari hukum adat,
beberapa prinsip tersebut meliputi:
1. Mengupayakan supaya memperoleh kesepakatan
2. Menyelesaikan dengan damai
3. Meraih atau mendapat persetujuan
4. Mendapatkan solusi masalah.
Relevan dengan hal tersebut prinsip atau asas hukun di atas, masyarakat hukum adat
melakukan penerapan tata cara penyelesaian sengketa, yaitu dengan musyawarah guna
mencapai mufakat yang dilakukan melalui pengedepanan semangat kekeluargaan dan
kesadaran guna tidak hanya secetas memutuskan perkara yang bertujuan pada pencarian
menang-kalah, tetapi lebih kepada memutuskan perkara yang bertujuan untuk win-win
solution.
Prinsip inilah yang menjadi dasar filosofi dalam pembentukan peraturan perundang-
undang yang menjadi pedoman untuk penyelesaian sengketa alternatif. Karena itulah syarat
sah suatu perjanjian diimplementasikan dalam wujud akta Notaris, syarat subjektif
pencantumannya di awal akta, sementara itu, syarat objektif pencantumannya di badan akta,
sebagai isi akta yaitu wujud atas Pasal 1338 KUHPerdata tentang kebebasan melakukan
kontrak dan memberikan kepastian serta perlindungan hukum terhadap para pihak tentang
perjanjian yang dibuatnya (Mahmud, 2003).
Perlindungan hukum yang dimaksud disini yaitu perlindungan yang diberikan kepada
subjek hukum dalam wujud perangkat hukum baik yang memiliki sifat pencegahan dan juga
yang bersifat penindakan, yang tertulis dan juga yang tidak tertulis. Penindakan yang
dimaksud salah satunya yaitu upaya hukum melalui gugatan pembatalan akta PPJB melalui
pengadilan.
Dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman tidak
menjelaskan secara rinci apa yang menjadi tugas hakim. Namun jika kita melihat pada Pasal
Andi Hermawan, Endang Purwaningsih, Chandra Yusuf
3914 Syntax Idea, Vol. 6, No. 09, September 2024
10 ayat (1) dalam undang-undang yang sama menyebutkan “pengadilan dilarang menolak
untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa
hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.
Tugas hakim di pengadilan perdata yaitu mengkonstantir peristiwa konkrit, artinya
harus menggali benar atau tidaknya peristiwa yang diajukan. Hakim harus melakukan
pembuktian dengan alat-alat bukti yang diajukan di persidangan untuk mendapat kepastian
tentang peristiwa yang diajukan di persidangan. Setelah hakim mengkonstantir suatu peristiwa
maka selanjutnya hakim harus mengkualifisir peristiwa tersebut. Mengkualifisir artinya
menemukan hukum bagi peristiwa yang telah dikonstantir yaitu dengan cara mencari
peraturan hukum yang ada. Jika peraturan hukumnya tidak ada atau tidak jelas, maka hakim
harus menciptakan hukumnya asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan dan harus memenuhi kebutuhan masyarakat. Setelah mengkonstantir dan
mengkualifisir suatu peristiwa, maka tahap terakhir adalah hakim harus mengkonstituir suatu
peristiwa. Mengkonstituir artinya hakim menetapkan hukumnya dengan tujuan untuk
memberikan keadilan (Mertokusumo, 2013).
Putusan pengadilan perdata dijatuhkan oleh hakim harus berdasarkan pertimbangan
yang jelas dan cukup. Apabila putusan tidak memenuhi ketentuan tersebut maka putusan itu
tidak cukup pertimbangan atau onvoldoende gemotiveerd. Yang menjadi dasar pertimbangan
hakim dalam memutus perkara antara lain: pasal-pasal tertentu peraturan perundang-
undangan, yurisprudensi, doktrin hukum, dan hukum kebiasaan. Hal tersebut berdasarkan
Pasal 50 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan:
Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu
dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang
dijadikan dasar untuk mengadili (Asikin & Sh, 2019).
Dalam penelitian tesis ini, upaya hukum yang dapat dilakukan pembeli terkait diketahui
objek berupa tanah dan bangunan yang masih dalam sengketa pengadilan dilakukan peralihan
hak atas tanah melalui jual beli dengan dasar Pengikatan Perjanjian Jual Beli dan lelang
kepada pihak lain, sebagaimana fakta hukum dibawah ini:
Putusan Mahkamah Agung Nomor 3103 K/Pdt/2015
Diketahui pada tingkat Pengadilan Negeri Nomor 36/Pdt.G/2014/PN.Bdg tanggal 29
September 2014, Majelis Hakim menyatakan menolak gugatan Penggugat (Abdul
Rahman/yang dikuasakan pemilik tanah untuk menjual). Tingkat Pengadilan Tinggi
Nomor 63/Pdt/2015/PT.Bdg, Majelis Hakim menyatakan akta PPJB adalah sah dan
mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sedangkan pada tingkat kasasi di Mahkamah
Agung Nomor 3103 K/Pdt/2015, Majelis Hakim menyatakan menolak permohonan
kasasi dari pemohon kasasi (Abdul Rahman/yang dikuasakan pemilik tanah untuk
menjual).
Putusan Mahkamah Agung Nomor 994K/Pdt/2020
Diketahui pada tingkat Pengadilan Negeri Nomor 218/Pdt.Plw/2017/PN.Btm tanggal 1
Agustus 2018, Majelis Hakim menyatakan Pelawan sebagai Pelawan yang tidak benar
Keabsahan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) Yang Objeknya Masih Dalam
Sengketa di Pengadilan
Syntax Idea, Vol. 6, No. 09, September 2024 3915
dan menolak perlawanan Pelawan. Tingkat Pengadilan Tinggi Nomor
7/Pdt/2019/PT.Pbr, Majelis Hakim menguatkan Putusan Pengadilan Negeri. Sedangkan
pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung Nomor 994K K/Pdt/2020, Majelis Hakim
menyatakan bahwa jual beli melalui lelang adalah sah walaupun diketahui objek jual
beli tersebut masih dan membatalkan penetapan sita jaminan atas objek jual beli
tersebut
Menurut pendapat penulis, upaya hukum yang telah dilakukan pihak Pembeli terkait
objek PPJB masih sengketa di pengadilan tersebut tetap tidak memberikan kepastian dan
keadilan hukum bagi pihak pembeli. Hal ini berdasarkan pertimbangan dan Putusan Majelis
Hakim menyatakan sah dan mengikat Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) bagi para pihak
yang membuatnya. Sebagaiman pendapat Sudikno Mertokusumo bahwa lembaga pengadilan
kedudukannya dalam menyelesaikan sengketa tanah harus dapat memberikan keadilan bagi
para pihak yang dirugikan dalam jual beli tanah yang tidak memenuhi syarat-syarat dalam
perundang-undangan.
Pertanggungjawaban Notaris Dalam Membuat Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli
(PPJB) Yang Objeknya Masih Dalam Sengketa Pengadilan
Jabatan Notaris lahir karena masyarakat membutuhkannya, bukan jabatan yang sengaja
diciptakan kemudian baru disosialisasikan kepada khalayak. Jabatan Notaris ini tidak
ditempatkan di lembaga legislatif, eksekutif ataupun yudikatif karena Notaris diharapkan
memiliki posisi netral. Jabatan Notaris diadakan atau kehadirannya dikehendaki oleh aturan
hukum dengan maksud untuk membantu dan melayani masyarakat yang membutuhkan alat
bukti tertulis yang bersifat autentik mengenai keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum
(Afifah, 2017).
Kedudukan notaris sebagai pejabat umum merupakan suatu jabatan terhormat yang
diberikan oleh negara secara atributif melalui undang-undang kepada seseorang yang
dipercaya. Sebagai pejabat umum, notaris diangkat oleh menteri, berdasarkan Pasal 2 UUJN,
dengan diangkatnya seorang notaris maka ia dapat menjalankan tugasnya dengan bebas, tanpa
dipengaruhi badan eksekutif dan badan lainnya dan dapat bertindak netral dan independen.
Tugas notaris adalah untuk melaksanakan sebagian fungsi publik dari negara dan bekerja
untuk pelayanan kepentingan umum khususnya dalam bidang hukum perdata, walaupun
notaris bukan merupakan pegawai negeri yang menerima gaji dari negara (Nurmayanti, 2017).
Notaris bekerja secara independen (mandiri) artinya tidak tergantung kepada atasan atau
siapapun dalam menjalankan tugas dan jabatannya. Seorang notaris harus dapat memutuskan
sendiri akta yang dibuat dan struktur hukum apa yang tepat serta dapat memberikan
penyuluhan hukum kepada klien (Prabowo, 2017)
Baik dalam UUJN Notaris dirumuskan sebagai Pejabat Umum yang berwenang untuk
membuat akta autentik. Dalam hal ini yang dimaksud berwenang adalah meliputi berwenang
terhadap orangnya, yaitu untuk kepentingan siapa akta itu dibuat atau dikehendaki oleh orang
yang berkepentingan. Berwenang terhadap aktanya, yaitu yang berwenang membuat akta
autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan undang-
Undang atau yang dikehendaki yang bersangkutan, serta berwenang terhadap waktunya dan
Andi Hermawan, Endang Purwaningsih, Chandra Yusuf
3916 Syntax Idea, Vol. 6, No. 09, September 2024
berwenang terhadap tempatnya, yaitu sesuai tempat kedudukan dan wilayah Jabatan Pejabat
yang bersangkutan dan menjamin kepastian waktu para penghadap yang tercantum dalam
akta.
Suatu akta autentik mempunyai kekuatan pembuktian lahiriah (kekuatan yang
membuktikan bahwa akta autentik tersebut kehadirannya telah sesuai dengan perundang-
undangan yang berlaku), formal (yang dinyatakan dalam akta autentik tersebut adalah benar
sepanjang tidak dapat dibuktikan bahwa hal tersebut tidak benar) dan material (memberikan
kepastian hukum bahwasanya keterangan yang diberikan akta tersebut adalah benar).
Mengingat akan pentingnya akta autentik ini, seorang notaris hendaknya harus
dapat memenuhi maksud dan kehendak masyarakat serta negara yang dibebankan kepadanya
untuk dapat memberikan kepastian dan perlindungan hukum terhadap perbuatan hukum yang
dilakukan. Dengan cara membuat akta autentik untuk menjamin kepastian peristiwa atau
perbuatan hukum yang dilakukan. Untuk itu seorang notaris harus memperhatikan hal-hal
penting yang mutlak harus terpenuhi dalam pembuatan sebuah akta autentik untuk dapat
memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna. Unsur verlidjen suatu akta menjadi satu hal
penting yang harus dipenuhi terlebih dahulu oleh seorang notaris dalam pembuatan sebuah
akta (Alfiana, 2018).
Pentingnya peranan notaris dalam membantu menciptakan kepastian dan
perlindungan hukum bagi masyarakat, lebih bersifat preventif, atau bersifat pencegahan
terjadinya masalah hukum, dengan cara penerbitan akta autentik yang dibuat di hadapannya
terkait dengan status hukum, hak dan kewajiban seseorang dalam hukum, dan lain
sebagainya, yang berfungsi sebagai alat bukti yang paling sempurna di Pengadilan, dalam
hal terjadi sengketa hak dan kewajiban yang terkait (Sjaifurrachman & Adjie, 2011).
Guna menghindari terjadinya sengketa atau masalah hukum, agar Notaris tidak
melakukan pelanggaran-pelanggaran yang dapat mengarah kepada tindakan Notaris yang
dapat dijerat oleh pasal-pasal pemidanaan, notaris dalam membuat akta autentik khususnya
PPJB harus senantiasa memperhatikan kaidah-kaidah hukum yang berlaku, diantaranya
notaris dalam menjalankan jabatannya sebagai Pejabat Umum harus patuh dan menjalankan
aturan dalam UUJN, peraturan turunan dari undang-undang tersebut, serta aturan-aturan
terkait seperti Kode Etik Notaris dan sebagainya.
Sebagaimana pendapat Jan M. Otto menyatakan kepastian hukum itu adalah kepastian
undang-undang atau peraturan, segala macam cara, metode dan lain sebagainya harus
berdasarkan undang-undang atau hukum tertulis. Kepastian hukum terhadap Notaris dalam
menjalankan tugas dan kewenangannya membuat akta autentik harus berdasarkan UUJN dan
Kode Etik. Dimana dalam aturan tersebut terdapat aturan larangan yang tidak boleh dilakukan
Notaris dalam membuat akta autentik.
Dalam penelitian ini, sengketa yang dibahas mengenai gugatan pembatalan akta
Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang tertuang dalam Akta Nomor 15/2010 yang dibuat di
hadapan Notaris Wira Fransisca, S.H, M.H., dengan objek tanah berada di Jalan Dayang
Sumbi Nomor 2 SHM Nomor 285/Lebak Siliwangi terletak di Kelurahan Lebak Siliwangi
Kota Bandung dengan luas 2.291 m2. Dalam pelaksanaan Perjanjian Pengikatan Jual Beli
tersebut, pihak penjual mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri dengan alasan gugatan,
Keabsahan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) Yang Objeknya Masih Dalam
Sengketa di Pengadilan
Syntax Idea, Vol. 6, No. 09, September 2024 3917
1. Antara Penggugat dengan Tergugat I pada awalnya sepakat akan mengadakan perjanjian
kerjasama pengurusan sengketa kepemilikan atas tanah dan bangunan yang terletak di
Jalan Dayang Sumbi Nomor 2 Bandung, dimana tanah yang terletak di Jalan Dayang
Sumbi Nomor 2 Bandung tersebut dalam sengketa di pengadilan khususnya di tingkat
Kasasi Mahkamah Agung, yaitu dimana Tergugat I sebagai penyandang dana dan sebagai
pihak yang mengurus sengketa di tingkat Kasasi. Kemudian oleh Penggugat dengan
Tergugat I perjanjian tersebut berlanjut ke pembuatan Akta Notaris, tetapi ternyata bukan
perjanjian kerjasama pengurusan yang dibuat melainkan perjanjian pengikatan jual beli
(PPJB)
2. Perjanjian pengikatan jual beli tersebut telah dibuat di hadapan Notaris Wira Fransisca,
S.H, M.H. dengan Akta Nomor 15 Tahun 2010 tertanggal 12-08-2010. Dimana dalam akta
perjanjian jual beli Nomor 15/2010 tersebut terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan apa
telah yang diperjanjikan semula antara Penggugat dengan Tergugat I. Terdapat pihak-pihak
lain yang tidak dikenal oleh Penggugat yang masuk menjadi pihak kedua dalam akta
perjanjian tersebut, yaitu pihak Tergugat II dan Tergugat III, padahal Tergugat II dan
Tergugat III tidak menghadap dimuka Notaris dalam pembuatan akta tersebut.
3. Dalam Akta Nomor 15/2010 tersebut, Penggugat dinyatakan telah menerima uang sebesar
Rp. 1.750.000.000,00 (satu miliar tujuh ratus lima puluh juta rupiah) pada saat
penandatanganan Akta Nomor 15/2010 tersebut dari Tergugat I, padahal Penggugat tidak
pernah menerima uang sebesar Rp. 1.750.000.000,00 dari Tergugat I. Pembayaran uang
tersebut di atas hanyalah merupakan tipu muslihat saja dari Tergugat I, agar Penggugat
sepakat untuk membuat Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang tertuang dalam Akta Nomor
15/2010 tersebut;
Terhadap uraian diatas, adapun pertimbangan Majelis Hakim dalam gugatan pembatalan
Perjanjian Pengikatan Jual Beli dengan Akta Nomor 15/2010 yang dibuat di hadapan Notaris
Wira Fransisca, S.H, M.H., yaitu:
Sesuai dengan ajaran yang terdapat dalam ilmu hukum mengenai nilai kebenaran yang
terkandung dalam suatu suatu akta autentik, yaitu suatu akta autentik tidak hanya
membuktikan bahwa para pihak telah menerangkan yang yang ditulis dalam akta dan yang
diterangkan tersebut adalah benar. Dengan demikian maka akta yang dibuat oleh Penggugat
dengan Tergugat adalah memang benar Akta Pengikatan Jual Beli dan bukan perjanjian
kerjasama, serta pihak-pihak yang terdapat dalam akta No. 15/2010 tanggal 12-08-2010
adalah sebagaimana yang termuat dalam akta a quo.
Mengenai Penggugat mendalilkan telah menerima uang sejumlah Rp 1.750.000.000,-
(satu milyar tujuh ratus lima puluh juta rupiah) dari Tergugat I, namun uang tersebut telah
dikembalikan Penggugat kepada Tergugat I, Majelis Hakim menyangkal dalil Penggugat
tersebut dan mendalilkan telah melakukan pembayaran total sejumlah Rp 3.950.000.000,-
(tiga milyar sembilan ratus lima puluh juta rupiah) dengan rincian sebagai berikut:
1. Rp 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah) tanggal 3 Agustus 2010;
2. Rp 1.750.000.000,- (satu milyar tujuh ratus lima puluh juta rupiah) tanggal 13 Agustus
2010;
3. Rp 450.000.000,- (empat ratus lima puluh juta rupiah) tanggal 28 Agustus 2010;
Andi Hermawan, Endang Purwaningsih, Chandra Yusuf
3918 Syntax Idea, Vol. 6, No. 09, September 2024
4. Rp 1.500.000.000,- (satu milyar lima ratus juta rupiah) tanggal 06 Januari 2012;
Selain itu, pertimbangan Majelis Hakim mengenai Akta Pengikatan Jual Beli Nomor :
15 tanggal 12 Agustus 2010 antara lain disebutkan bahwa syarat-syarat yang diperlukan untuk
pembuatan akta jual beli yang dimaksud belum lengkap, yaitu karena menunggu perkara
Nomor: 138/Pdt/ G/2008/PN Bdg mempunyai keputusan yang tetap (inkracht) yaitu melalui
Putusan Kasasi dari Mahkamah Agung Republik Indonesia. Majelis Hakim
mempertimbangkan bentuk dasar dari PPJB adalah perjanjian, maka harus sesuai dan tunduk
pada ketentuan tentang syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 1320
KUHPerdata, yaitu kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk
membuat perikatan, suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Bahwa perjanjian antara
Penggugat dengan Tergugat I telah tidak memenuhi syarat obyektif suatu perjanjian, yaitu
suatu sebab yang diperkenankan atau causa yang halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal
1320 KUHPerdata, sehingga perjanjian tersebut adalah tidak sah dan batal demi hukum.
Dalam perkara ini, Majelis Hakim mempertimbangkan alat bukti surat yang diajukan
para pihak untuk menambah keyakinan dari Majelis Hakim, antara lain:
1. Alat bukti surat dari pihak Penggugat (lihat lampiran Putusan PN)
a. Akta Pengikatan Jual Beli No: 15 tertanggal 12-08-2010 (P-l);
b. Kwitansi pembayaran tertanggal 3-08-2010 dari Tergugat I kepada Penggugat sebesar
Rp 1.750.000,- (satu milyar tujuh ratus lima puluh juta rupiah) (P-2);
c. Kwitansi pembayaran tertanggal 3-08-2010 dari Penggugat kepada Tergugat I sebesar
Rp 1.750.000,- (satu milyar tujuh ratus lima puluh juta rupiah) (P-3);
d. Putusan No. 138/Pdt/G/2008/PN Bdg (P-4);
e. Putusan No. 84/Pdt/2009/PT Bdg (P-5);
f. Putusan No. 2961/K/PDT/2009 (P-6);
g. Putusan No. 26 PK/PDT/2012 (P-7);
Bahwa fotocopy surat-surat bukti tersebut teiah dicocokkan dengan aslinya dan ternyata
sesuai serta telah pula diberi materai secukupnya, sehingga dapat dipergunakan sebagai bukti
surat dalam perkara ini.
2. Alat bukti surat dari pihak Tergugat (lihat lampiran Putusan PN)
a. Akta Kuasa Untuk Menjual Nomor: 46 tanggal 29 Mei 2009 (T.I DK/P.l DR, T.2
DK/P.2 DR, T.3 DK/P.3 DR - 1);
b. Akta Pengikatan Jual Beli Nomor: 15 tanggal 12 Agustus 2010 (T.I DK/P.l DR, T.2
DK/P.2 DR, T.3 DK/P.3 DR - 2);
c. Kwitansi tanggal 03 Agustus 2010 (T.I DK/P.l DR, T.2 DK/P.2 DR, T.3 DK/P.3 DR, -
3);
d. Kwitansi tanggal 13 Agustus 2010 (T.I DK/P.l DR, T.2 DK/P.2 DR, T.3 DK/P.3 DR, -
4);
e. Kwitansi tanggal 28 Agustus 2010 (T.I DK/P.l DR, T.2 DK/P.2 DR, T.3 DK/P.3 DR, -
5);
f. Kwitansi tanggal 06 Januari 2012 (T.I DK/P.l DR, T.2 DK/P.2 DR, T.3 DK/P.3 DR, -
6);
Keabsahan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) Yang Objeknya Masih Dalam
Sengketa di Pengadilan
Syntax Idea, Vol. 6, No. 09, September 2024 3919
Bahwa fotocopy surat-surat bukti tersebut telah dicocokkan dengan aslinya dan ternyata
sesuai serta telah pula diberi materai secukupnya, sehingga dapat dipergunakan sebagai bukti
surat dalam perkara ini.
Alasan-alasan tersebut mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan
tentang suatu kenyataan, hal mana tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan pada
tingkat kasasi, karena pemeriksaan dalam tingkat kasasi hanya berkenaan dengan adanya
kelalaian dalam memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan
yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan atau bila
Pengadilan tidak berwenang atau melampaui batas wewenangnya, sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah
dan ditambah dalam Undang- Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009. Berdasarkan pertimbangan di atas, ternyata putusan
Judex Facti/Pengadilan Tinggi Bandung dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum
dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi
Abdul Rahman, S.H. tersebut harus ditolak.
Pada putusan tingkat kasasi, Majelis Hakim menyatakan menolak permohonan kasasi
dari Abdul Rahman (Pemohon Kasasi) sehingga isi dan putusan tingkat banding yang tetap
dilakkan eksekusi oleh pihak Pengadilan. Dalam putusan tingkat banding ini, menyatakan
bahwa Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang dibuat di hadapan Notaris Wira Fransisca,
S.H, M.H. dengan Akta Nomor 15 Tahun 2010 tertanggal 12-08-2010 adalah sah dan
mengikat walaupun diketahui bahwa objek PPJB berupa tanah masih dalam sengketa di
Pengadilan.
Dalam hal ini, konsep pertimbangan dan pemikiran Majelis Hakim dalam menyatakan
sah dan mengikat Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) berdasarkan pengertian dari
Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) menurut Herlien Budiono, yaitu “perjanjian bantuan
yang berfungsi sebagai perjanjian pendahuluan yang bentuknya bebas, sehingga Perjanjian
Pengikatan Jual Beli (PPJB) ini dapat dikategorikan ke dalam perjanjian pendahuluan yang
dibuat sebelum dilaksanakannya perjanjian utama/pokok (Putri, 2017).
Selain itu, pada Pasal 1 angka 1 Permen PUPR Nomor 11/PRT/M/2019 tentang Sistem
Perjanjian Pendahuluan Jual Beli Rumah memberikan penjelasan mengenai sistem Perjanjian
Pendahuluan Jual Beli yang selanjutnya disebut Sistem PPJB adalah rangkaian proses
kesepakatan antara setiap orang dengan pelaku pembangunan dalam kegiatan pemasaran yang
dituangkan dalam perjanjian pendahuluan jual beli atau perjanjian pengikatan jual beli
sebelum ditandatangani akta jual beli (Ambiwydjayanti, 2021).
Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) merupakan jenis perjanjian obligatoir, yaitu
perjanjian di mana pihak-pihak sepakat untuk mengikatkan diri melakukan penyerahan suatu
benda kepada pihak lain, sehingga dengan dibuatnya PPJB pada dasarnya belum
mengakibatkan beralihnya hak milik atas suatu benda dari penjual ke pembeli. Tahapan ini
baru merupakan kesepakatan dan harus diikuti dengan perjanjian penyerahan (levering), yaitu
ditandatanganinya Akta Jual Beli (AJB) di hadapan PPAT.
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui alasan-alasan dibuatnya akta Pengikatan
Jual Beli Tanah oleh dan dihadapan notaris:
Andi Hermawan, Endang Purwaningsih, Chandra Yusuf
3920 Syntax Idea, Vol. 6, No. 09, September 2024
1. Pembayaran terhadap obyek tanah yang diperjualbelikan belum dilakukan secara lunas
oleh pihak pembeli. Dalam hal ini pembayaran dilakukan secara bertahap berdasarkan
kesepakatan pihak penjual dan pembeli;
2. Obyek tanah yang diperjualbelikan belum memiliki sertipikat yang merupakan tanda bukti
kepemilikan atas tanah yang sah. Dalam prakteknya tanah yang dijual tersebut masih
berstatuskan tanah yasan yang diwarisi secara turun temurun dan belum pernah
didaftarakan menurut ketentuan yang berlaku tentang pendaftaran tanah. Alat bukti atas
tanah tersebut masih berupa girik yang tercatat dalam buku C tanah di kelurahan;
3. Tanah yang akan dijual telah didaftarkan dan proses pembuatan sertipikat tanah masih
berlangsung di kantor pertanahan;
4. Hak Guna Bangunan atas tanah yang akan dijual hampir habis jangka waktunya dan
sedang dilakukan proses permohonan perpanjangan hak di kantor pertanahan;
5. Pihak Penjual atau pembeli belum memiliki uang untuk membayar Pajak Penghasilan atau
Bea Perolehan Hak Atas Tanah, apabila jual beli dibuat dalam suatu akta PPAT;
6. Dan atau masih terdapat kekurangan-kekurangan dokumen yang diperlukan untuk
pembuatan akta jual beli di hadapan PPAT, dokumen mana dalam proses pengurusan.
Proses jual beli menggunakan struktur Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) pada
umumnya harus diikuti klausula perbuatan penyerahan, dalam hal ini penyerahan secara fisik
maupun yuridis (juridische levering), di mana dalam penyerahan secara yuridis ini
dilaksanakan dengan adanya penandatanganan dan pembuatan Akta Jual Beli (AJB) di
hadapan PPAT, sebagaimana diatur dalam Pasal 19 PP No. 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah. Oleh karena itu, apabila dalam proses jual beli tersebut belum ada Akta
Jual Beli (AJB), maka belum bisa dikatakan telah terjadi penyerahan secara yuridis, sehingga
meskipun telah terjadi PPJB, maka penyerahan fisik dan yuridis belum terjadi.
Dengan demikian, dari beberapa hal tersebut, dapat diketahui bahwa antara Perjanjian
Pengikatan Jual Beli (PPJB) dengan perjanjian jual beli terdapat perbedaan yang mendasar,
yakni terkait perpindahan barang atau objek, di mana dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli
(PPJB) perpindahan atas barang atau objek baru terjadi dalam waktu yang akan datang,
sedangkan dalam perpindahan atas barang atau objek dalam perjanjian jual beli terjadi pada
saat itu juga (berpindah seketika dari pihak penjual kepada pihak pembeli). Dalam konteks
jual beli tanah dan/atau bangunan, maka perpindahan hak atas tanah tersebut baru terjadi
setelah ditandatanganinya Akta Jual Beli (AJB) di hadapan pejabat yang berwenang, yaitu
PPAT.
Berdasarkan dari beberapa pengertian tersebut, dikaitkan dengan pembuatan Perjanjian
Pengikatan Jual Beli (PPJB) Nomor 15 tanggal 12 Agustus 2010, dimana menjadi objek
pengikatan jual beli tersebut adalah tanah yang terletak di Jalan Dayang Sumbi Nomor 2
SHM Nomor 285/Lebak Siliwangi terletak di Kel. Lebak Siliwangi Kota Bandung dengan
luas 2.291 m2 masih dalam sengketa di dalam pengadilan tingkat Peninjauan Kembali. Dalam
Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) Nomor 15 tanggal 12 Agustus 2010 masih belum
lunas pembayarannya dan akan dilunasin setelah perkara pada tingkat Peninjauan Kembali
dan apabila dimenangkan oleh pihak Ny. Hj. Siti Hadijah dan Ny. Rosi Rostika sehingga
menyatakan objek sengketa tersebut kepemilikan yang sah atas tanah yang terletak di Jalan
Keabsahan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) Yang Objeknya Masih Dalam
Sengketa di Pengadilan
Syntax Idea, Vol. 6, No. 09, September 2024 3921
Dayang Sumbi Nomor 2 SHM Nomor 285/Lebak Siliwangi terletak di Kel. Lebak Siliwangi
Kota Bandung dengan luas 2.291 m2.
Dalam penelitian diketahui bahwa Notaris Wira Fransisca, S.H, M.H. telah membuat
Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) Nomor 15 Tahun 2010 tertanggal 12-08-2010,
dimana diketahuinya bahwa objek PPJB merupakan objek sengketa dalam perkara:
a. Pengadilan Negeri Bandung No.138/Pdt.G/2008/PN.Bdg. Jo.
b. Pengadilan Tinggi Jabar No.84/Pdt/2009/PT.Bdg. Jo.
c. Mahkamah Agung R.I No. 2961 K/Pdt/2009 Jo
d. Putusan Peninjauan Kembali No.26 PK/Pdt/2012.
Berdasarkan uraian analisa penulis sebelumnya, bahwa pembuatan Akta Perjanjian
Pengikatan Jual Beli (PPJB) Nomor 15 Tahun 2010 tertanggal 12-08-2010 oleh Notaris Wira
Fransisca, S.H, M.H. tersebut tidak sah dengan alasan tidak terpenuhinya syarat hal tertentu
dalam Pasal 1320 KUHPer dan objek tidak dalam sengketa sebagai syarat materil yang tidak
terpenuhi dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB).
Terhadap hal ini, Notaris Wira Fransisca, S.H, M.H., dapat diminta
pertanggungjawabannya secara hukum dikarenakan dalam pembuatan Akta Perjanjian
Pengikatan Jual Beli (PPJB) Nomor 15 Tahun 2010 tertanggal 12-08-2010 tersebut diketahui
dan tetap dilakukan tanpa menunggu hasil dari putusan pengadilan yang berkekuatan hukum
tetap (inkracht). Menurut penulis, akibat dari perbuatan Notaris Wira Fransisca, S.H, M.H.,
tersebut adalah Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) Nomor 15 Tahun 2010 dapat
dibatalkan.
Sebagaimana teori Hans Kelsen yang menyatakan bahwa konsep tanggug jawab hukum
berhubungan dengan konsep kewajiban hukum, bahwa seseorang bertanggung jawab secara
hukum atas perbuatan tertentu atau bahwa dia memikul tanggung jawab hukum berarti bahwa
dia bertanggung jawab atas suatu sanksi bila perbuatannya bertentangan Tanggung jawab
hukum dapat dibedakan atas pertanggung jawaban individu dan pertanggung jawaban
kolektif. Pertanggung jawaban individu adalah tanggung jawab seseorang atas pelanggaran
yang dilakukannya sendiri, sedangkan pertanggung jawaban kolektif adalah tanggung jawab
seorang individu atas suatu pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain.
Dalam penelitian ini, bentuk pertanggungjawaban yang dapat dimintakan terhadap
Notaris yaitu tanggung jawab individu. Pada prinsipnya, wujud pertanggungjawaban Notaris
Wira Fransisca, S.H, M.H., terhadap Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) Nomor 15
Tahun 2010 tertanggal 12-08-2010 yang dibatalkan adalah:
Pertanggung jawaban secara administratif
Yaitu apabila notaris terbukti melakukan pelanggaran, maka dalam pasal 85 UUJN telah
ditentukan beberapa sanksi atau hukuman bagi notaris yang telah mengabaikan keluhuran dari
martabat atau tugas jabatannya ataupun telah melakukan pelanggaran terhadap peraturan
umum serta kesalahan-kesalahan lainnya, baik dalam menjalankan jabatan maupun di luar
tugasnya sebagai notaris. Sanksi- sanksi tersebut dapat berupa :
a. Peneguran secara lisan
b. Peneguran secara secara tertulis
Andi Hermawan, Endang Purwaningsih, Chandra Yusuf
3922 Syntax Idea, Vol. 6, No. 09, September 2024
c. Pemberhentian sementara
d. Pemberhentian dengan hormat ataupun
e. Pemberhentian dengan tidak hormat seorang notaris setelah meminta pertimbangan dari
Mahkamah Agung.
Jenis sanksi yang dijatuhkan kepadanya disesuaikan dengan berat- ringannya kesalahan
yang telah dibuat oleh Notaris tersebut. Berdasarkan Pasal 84 UUJN yang mengatur mengenai
hal- hal yang berkaitan dengan akta, maka apabila dilanggar akan menyebabkan akta yang
dibuat notaris menjadi hanya memiliki kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan
atau suatu akta batal demi hukum. Hal ini dapat menjadi alasan bagi para pihak untuk
menuntut penggantian biaya, ganti rugi dan bunga kepada Notaris.
Selain itu, sesuai dengan ketentuan UUJN, Organisasi Notaris juga dapat menetapkan
dan menegakkan Kode Etik Notaris dalam rangka Ikatan Notaris Indonesia atau INI juga
memiliki kode etik notaris yang merupakan keseluruhan kaedah moral yang ditentukan oleh
perkumpulan berdasarkan Keputusan Kongres Ikatan Notaris Indonesia. Sanksi yang dapat
diterapkan kepada anggota INI yang telah terbukti melakukan pelanggaran selaku seorang
Notaris dapat berupa:
a. Peringatan secara lisan.
b. Peringatan secara tertulis.
c. Skorsing.
d. Pemecatan sementara dari keanggotaan INI.
e. Pemecatan dari keanggotaan INI.
f. Pemberhentian dari keanggotaan INI secara tidak hormat.
Penjatuhan sanksi-sanksi tersebut disesuaikan terhadap kuantitas dan kualitas
pelanggaran yang dilakukan oleh notaris yang menjadi anggota INI tersebut.
Pertanggung jawaban secara Hukum Perdata
Apabila notaris melakukan perbuatan yang merugikan orang lain karena akta yang
dibuatnya, maka sesuai dengan Pasal 1365 KUHPerdata, ”Tiap perbuatan melanggar hukum
yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya
menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian”. Oleh karena itu Notaris harus mengganti
kerugian yang diderita orang lain yang dirugikan akibat akta yang dibuatnya. Oleh karena itu
bentuk pertanggungjawaban notaris adalah sanksi untuk mengganti kerugian, bunga, biaya
atau memulihkan keadaan hukum seseorang karena perbuatannya atau kesalahannya yang
menimbulkan kerugian yang tidak dikehendaki.
KESIMPULAN
Kedudukan akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang objeknya masih dalam
sengketa di pengadilan batal demi hukum dikarenakan perbuatan hukum jual beli melalui
PPJB tersebut tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian yaitu kepemilikan atas objek PPJB
belum jelas (hal tertentu pada Pasal 1320 KUHPerdata) dikarenakan masih dalam
pemeriksaan pada perkara yang lain. Kepemilikan atas objek yang belum tersebut tidak dapat
dilakukan atau dialihkan kepada orang lain walaupun diikat dengan akta PPJB. Dikarenakan
Keabsahan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) Yang Objeknya Masih Dalam
Sengketa di Pengadilan
Syntax Idea, Vol. 6, No. 09, September 2024 3923
syarat materil yang harus dipenuhi dalam membuat akta PPJB yaitu objeknya tidak dalam/lagi
sengketa di Pengadilan.
Akibat hukum akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang objeknya masih dalam
sengketa di Pengadilan tidak mengikat bagi para pihak yang membuatnya (prestasi yang telah
dilakukan kembali seperti semula). Akibat hukum lainnya yaitu Pejabat Notaris dapat
dimintakan tanggung jawab secara UUJN dan kode etik melalui persidangan kode etik
(instansi), dengan alasan bahwa seharusnya Notaris tidak membuat akta PPJB untuk
kepentingan para penghadap dikarenakan objeknya masih dalam sengketa di pengadilan.
BIBLIOGRAFI
Adjie, H., & Gunarsa, A. (2013). Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai
Pejabat Publik.
Afifah, K. (2017). Tanggung jawab dan Perlindungan Hukum bagi Notaris secara Perdata
terhadap Akta yang dibuatnya. Lex Renaissance, 2(1), 10.
Alfiana, R. (2018). Ambiguitas Bentuk Akta Notaris (Analisis Undang-Undang Tentang
Jabatan Notaris dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Lex Jurnalica, 15(3), 299
307.
Ambiwydjayanti, D. T. (2021). Urgensi Perjanjian Pendahuluan Jual Beli Satuan Rumah
Susun Menurut Permen Pupr No. 11/Prt/M/2019. Al Qodiri: Jurnal Pendidikan, Sosial
Dan Keagamaan, 18(3), 767781.
Asikin, H. Z., & Sh, S. U. (2019). Hukum acara perdata di Indonesia. Prenada Media.
Boedi, H. (1999). Sejarah Pembentukan Undang-undang pokok Agraria. Isi Dan
Pelaksanaannya, Jakarta, Djambatan.
Gunawan, N. (2019). Perlindungan Hukum Bagi Pembeli Tanah Yang Kehilangan Hak
Akibat Jual Beli Atas Tanah Yang Pernah Menjadi Objek Sengketa Pengadilan Tata
Usaha Negara (Contoh Kasus: Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor
658 PK/PDT/2017). Indonesian Notary, 3(2), 41.
Mahmud, M. P. (2003). Batas-Batas Kebebasan Berkontrak. Yuridika, 18(3).
Mertokusumo, S. (2013). Hukum Acara Perdata Indonesia Edisi Revisi. Cahaya Atma
Pustaka, Yogyakarta.
Mitenage, K. E. G. (2021). Tanggung Jawab Notaris Dalam Pembuatan Akta Yang Tidak
Sesuai Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Jo. Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. Al Qodiri Jurnal Pendidikan Sosial Dan
Keagamaan, 19(2), 628640.
Muliawan, J. W. (2009). Pemberian Hak Milik Untuk Rumah Tinggal: Suatu Kajian Normatif
Untuk Keadilan Bagi Rakyat. Jakarta.
Nurmayanti, R. (2017). Peran Dan Tanggung Jawab Notaris Dalam Pelaksanaan Pembuatan
Akta Koperasi. Jurnal Akta, 4(4), 609622.
Prabowo, T. S. (2017). Tanggung Jawab Calon Notaris Yang Sedang Magang Terhadap
Kerahasiaan Akta. UNS (Sebelas Maret University).
Purwaningsih, E. (2011). Penegakan Hukum Jabatan Notaris Dalam Pembuatan Perjanjian
Berdasarkan Pancasila Dalam Rangka Kepastian Hukum. Adil: Jurnal Hukum, 2(3),
323336.
Putri, D. K. (2017). Perbedaan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Lunas Dengan Perjanjian
Pengikatan Jual Beli Tidak Lunas. Jurnal Akta, 4(4), 623634.
Rosdiana, A. C. (2021). Peran Notaris Dan Keabsahan Akta Rups Yang Dilaksanakan Secara
Elektronik (Dilihat Dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 16/Pojk. 04/2020 Dan
Andi Hermawan, Endang Purwaningsih, Chandra Yusuf
3924 Syntax Idea, Vol. 6, No. 09, September 2024
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris). Indonesian Notary, 3(2), 15.
Sari, I. (2021). Perbuatan Melawan Hukum (PMH) Dalam Hukum Pidana Dan Hukum
Perdata. Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara, 11(1).
Sentanu, F. (2019). Analisis Yuridis Pengajuan Gugatan Pembatalan Pengikatan Jual Beli
(PJB) Hak Atas Tanah oleh Pihak Calon Penjual Karena Adanya Gugatan dari Pihak
Ketiga (Studi Putusan MA No. 3703. K/PDT/2016). Universitas Sumatera Utara.
Sjaifurrachman, & Adjie, H. (2011). Aspek Pertanggungjawaban Notaris dalam Pembuatan
Akta. Mandar Maju.
Subekti, R. (1995). Aneka Perjanjian, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Sutedi, A. (2007). Peralihan hak atas tanah dan pendaftarannya.
Urip Santoso, S. H. (2019). Pendaftaran dan peralihan hak atas tanah. Prenada Media.
Wahyuni, Y. S. (2021). Kekuatan Hukum Pembuktian Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli
Tanah (Ppjb) Dalam Kasus Sengketa Perdata (Analisa Putusan Mahkamah Agung
Nomor: 994/K/Pdt/2020 Jo Putusan Pengadilan Negeri Batam Nomor: 218/PDT.
G/2017/PN BTM). Indonesian Notary, 3(4), 7.
Widjaja, G., & Muljadi, K. (2003). Jual beli. (No Title).
Copyright holder:
Andi Hermawan, Endang Purwaningsih, Chandra Yusuf (2024)
First publication right:
Syntax Idea
This article is licensed under: