How to cite:
Febri Souisa (2024) Implementasi SSL VPN (Secure Socket Layer Virtual Private Network) Pada
Badan Bank Tanah, (06) 08,
E-ISSN:
2684-883X
Implementasi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Makar
Febri Souisa
Universitas Muhammadiyah Sorong, Indonesia
Abstrak
Indonesia adalah negara hukum sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 1 Ayat 3. Hukum
harus menjadi acuan tertinggi dalam kehidupan bermasyarakat, memastikan semua orang
diperlakukan sama tanpa diskriminasi. Tujaun penelitian ini ialah untuk mengetahui
Implementasi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Makar. Metode
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian normative, yang
mengambil data-data berdasarkan kepustakaan. Hasil yan diperoleh dalam penelitian ini
bahwa hukum pidana digunakan untuk menanggulangi kejahatan dan dibagi menjadi hukum
pidana materiil dan hukum pidana formil. Walaupun peraturan telah ada, pelanggaran seperti
tindak pidana makar yang mengancam negara masih terjadi. KUHP mengatur tindak pidana
makar sebagai delik formil, di mana tidak diperlukan akibat dari tindak pidana untuk dapat
dihukum. Ketidaktepatan dalam menafsirkan konsep makar dapat mengancam hak demokrasi.
Oleh karena itu, diperlukan perumusan yang jelas mengenai tindak pidana makar agar
penegak hukum tidak bertindak represif. Berbagai interpretasi mengenai pasal makar
menyebabkan perbedaan dalam penerapannya, seperti terlihat dalam kasus Jhon Bless dan
Ethus Paulus Miwak Kareth. Kesalahan dalam penafsiran ini menunjukkan perlunya definisi
makar yang lebih limitatif untuk melindungi hak asasi manusia.
Kata Kunci: negara hukum, UUD 1945, hukum pidana, KUHP, delik formil, hak demokrasi
Abstract
Indonesia is a country of law as stipulated in the 1945 Constitution Article 1 Paragraph 3.
The law must be the highest reference in public life, ensuring that everyone is treated equally
without discrimination. The purpose of this research is to find out the Implementation of the
Criminal Code Against Treason Crimes. The research method used in this study is a
normative research method, which takes data based on literature. The results obtained in this
study are that criminal law is used to overcome crime and is divided into material criminal
law and formal criminal law. Even though regulations exist, violations such as treason crimes
that threaten the state still occur. The Criminal Code regulates the crime of treason as a
formal offense, where the consequences of the crime are not required to be punishable.
Inaccuracies in interpreting the concept of treason can threaten democratic rights.
Therefore, a clear formulation of the crime of treason is needed so that law enforcement does
not act repressively. Various interpretations of the article of treason have led to differences in
its application, as seen in the case of Jhon Bless and Ethus Paulus Miwak Kareth. This
misinterpretation points to the need for a more restrictive definition of treason to protect
human rights.
JOURNAL SYNTAX IDEA
pISSN: 2723-4339 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 6, No. 08, Agustus 2024
Febri Souisa
3468 Syntax Idea, Vol. 6, No. 08, Agustus 2024
Keywords: state of law, 1945 Constitution, criminal law, Criminal Code, formal
deliberations, democratic rights
PENDAHULUAN
Indonesia adalah negara hukum yang ketentuannya tertuang dalam Undang-Undang
Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Pasal 1 Ayat 3. Implikasi dari ketentuan ini
adalah bahwa hukum harus menjadi acuan tertinggi dalam kehidupan bermasyarakat untuk
menciptakan suasana tertib (Isnantiana, 2019). Ini berarti bahwa dalam negara hukum
memperlakukan semua orang sama tanpa perbedaan yang didasarakan atas ras (keturunan),
agama, kedudukan sosial atau kekayaan (Sidharta, 2000). Suatu hukum berlaku secara
filosofis apabila aturan hukum tersebut sesuai dengan cita-cita hukum (Rechts Idee) sebagai
nilai positif yang tertinggi, cita-cita hukum yang tertinggi di Indonesia adalah masyarakat adil
dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 (Ediwarman, 2014).
Hukum pidana di Indonesia digunakan sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan,
yang telah menjadi bagian dari kebijakan atau politik hukum bangsa Indonesia. Hukum
pidana terdiri dari hukum pidana materiil, yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP), dan hukum pidana formil, yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) (Deni Setyo Bagus Yuherawan, 2014). Meskipun peraturan-
peraturan ini telah diterapkan, pelanggaran tetap terjadi, termasuk kejahatan terhadap
kepentingan hukum negara yang dikenal sebagai pidana makar.
Makar terhadap negara dan bentuk pemerintahan merupakan tindak pidana yang
berbahaya dan mengancam kelestarian bangsa dan negara. Pengaturan mengenai tindak
pidana makar dalam KUHP sebagai delik formil menimbulkan penafsiran yang luas dan
berbeda-beda, yang berpotensi mengancam hak-hak demokrasi (Samosir, Ediwarman, &
Siregar, 2021). Delik formil tidak memerlukan akibat dari tindak pidana; niat, mufakat, atau
upaya menggulingkan pemerintahan yang sah sudah cukup untuk dikenakan pasal makar
Harahap, (2018) untuk mencegah terjadinya penafsiran yang luas dan berbeda-beda,
pembentuk UU harus dapat merumuskan unsur-unsur yang jelas mengenai tindak pidana
makar dan perbuatan permulaannya, sehingga pemerintah (aparat penegak hukum) dapat
terhindar dari kemungkinan bertindak represif terhadap kemerdekaan.
Berbagai penafsiran mengenai pasal makar menyebabkan perbedaan arti dan
pemaknaan yang rentan terhadap kesewenang-wenangan. Fadillah Agus, seorang pakar
hukum humaniter, mengartikan makar sebagai perbuatan kekerasan dengan menggunakan
cara atau senjata tertentu terhadap pihak lawan (Ellryz, 2017). Sofian & Pratama, (2021), ahli
hukum pidana Universitas Bina Nusantara, menyatakan bahwa makar memerlukan dua unsur,
yaitu niat dan permulaan pelaksanaan, dimana mengkritik pemerintah belum bisa dimaknai
sebagai makar melainkan hak kebebasan berpendapat. Seharusnya, pasal mengenai makar
dalam KUHP didefinisikan secara limitative agar tidak ada kesewenang-wenangan yang
merugikan hak asasi manusia.
Kasus-kasus seperti Jhon Bless dan Ethus Paulus Miwak Kareth menggambarkan
perbedaan dalam penerapan pasal makar. Jhon Bless didakwa melakukan makar namun
divonis bebas karena hanya menonton aksi, sementara Ethus Paulus yang meminta
referendum untuk Papua dianggap melanggar hukum meskipun tidak menggunakan
kekerasan. Hal ini menunjukkan perlunya definisi yang jelas mengenai tindak pidana makar
dalam KUHP agar tidak ada kesewenang-wenangan yang merugikan hak asasi manusia.
Implementasi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Makar
Syntax Idea, Vol. 6, No. 08, Agustus 2024 3469
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
normative, yang mengambil data-data berdasarkan kepustakaan (Purwati, 2020). Dalam
penelitian hukum ini, untuk menyelesaikan isu mengenai masalah hukum dan memberikan
preskripsi mengenai unsur masalah, peneliti memerlukan sumber data penelitian yang disebut
bahan hukum, baik hukum primer maupun hukum sekunder. Data primer yaitu sumber data
yang ada kaitannya langsung dengan tema skripsi ini, mencakup undang-undang KUHP
tentang makar dalam pasal 104, 106, 107, 108, dan 109, putusan-putusan pengadilan, dan
buku-buku lainnya yang membahas mengenai pidana makar. Data sekunder adalah sumber
pendukung data primer, termasuk tulisan-tulisan, skripsi, dan jurnal lainnya yang relevan dan
dapat mendukung penyelesaian penelitian ini. Data tersier mencakup data web/internet yang
diharapkan mendukung penulisan penelitian ini, seperti berita-berita dari Kompas, Tempo,
Kumparan, Merdeka, Republika, dan media elektronik lainnya yang berkaitan dengan
pembahasan. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah pendekatan yuridis normative
(Safa’at, 2013), di mana data diambil dari sumber sekunder dengan memproses bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Pengumpulan data dilakukan
dengan mencari permasalahan yang relevan dalam penelitian ini, mengumpulkan dan
menganalisis peraturan, konvensi, traktat, dan aturan lain yang terkait dengan topik penelitian,
serta literatur, pendapat para ahli, dan tulisan-tulisan terkait. Teknik analisis data
menggunakan pendekatan yuridis normative (Isnaini, 2017), dengan mengumpulkan dan
meneliti bahan-bahan hukum dan peraturan perundang-undangan tentang tindak pidana
makar. Penelitian normatif yang bersifat kualitatif ini mengacu pada norma hukum yang
terdapat pada kitab undang-undang hukum pidana serta putusan-putusan pengadilan negeri.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaturan Hukum Pidana Indonesia Tentang Unsur-Unsur Kejahatan Yang Dianggap
Makar
Suatu perbuatan tidak dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana jika tidak dilarang
oleh undang-undang pidana. Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh undang-
undang pidana, suatu perbuatan yang onwematig (bertentangan dengan undang-undang) (Deni
Setyo Bagus Yuherawan, 2014). Konsep hukum pidana mengenal asas legalitas yang
dirumuskan dalam adagium “nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali”, yang
berarti “tiada delik, tiada pidana, tanpa undang-undang pidana terlebih dahulu”. Esensi dari
asas legalitas adalah bahwa hanya undang-undang pidana yang dapat mengkualifikasi
perbuatan sebagai tindak pidana dan menetapkan ancaman pidananya. Pembuat undang-
undang hukum pidana adalah kewenangan kekuasaan legislatif. Mereka berwenang untuk
mengkualifikasi perbuatan pidana dan ancaman pidana (Deni Setyo Bagus Yuherawan, 2014).
KUHP tidak memberikan pengertian yang jelas mengenai makar. Menurut Andi
Hamzah, yang dikutip oleh Ahmad Sofyan, “Makar” adalah terjemahan dari bahasa Belanda
yaitu "aanslag", yang berarti serangan atau penyerangan dengan maksud tidak baik. Andi
Hamzah menjelaskan bahwa aanslag berarti percobaan membunuh, yang awalnya ditujukan
kepada Raja, namun dalam konteks sekarang dapat ditujukan kepada Presiden.
Menurut Ahmad Sofyan, konstruksi hukum tentang makar menjadi terlalu luas dan
lentur, sehingga makar harus dikembalikan ke bentuk hukum aslinya, yaitu delik percobaan,
yang menghilangkan unsur ketiga dari delik percobaan pidana biasa. Dengan demikian, unsur-
unsur makar hanya terdiri dari niat, perbuatan permulaan pelaksanaan, ditujukan untuk
menghilangkan nyawa presiden/wakil presiden atau menghilangkan kemerdekaan atau
membuat mereka tidak cakap pemerintah (Deni Setyo Bagus Yuherawan, 2014).
Febri Souisa
3470 Syntax Idea, Vol. 6, No. 08, Agustus 2024
Kejahatan yang termasuk dalam kategori makar mengancam kepentingan hukum atas
keamanan dan keselamatan negara, sebagaimana dimuat dalam Bab I dan Buku II KUHP,
terdiri dari tiga bentuk, yaitu menyerang keamanan presiden dan wakil presiden, menyerang
keamanan dan keutuhan negara, dan menyerang keamanan hukum serta tegaknya kepentingan
negara. Jenis kejahatan makar dengan cara menyerang keamanan Presiden atau Wakil
Presiden disebutkan dalam Pasal 104 KUHP, yang mengancam hukuman mati atau penjara
bagi orang yang melakukan makar dengan niat membunuh, merampas kemerdekaan, atau
menjadikan tidak cakap dalam memerintah.
Kejahatan yang menyerang keamanan dan keutuhan wilayah ini juga berupa kejahatan
makar. Kejahatan makar yang dimaksud ini dirumuskan pada Pasal 106 KUHP, yang
mengancam hukuman penjara seumur hidup atau penjara sementara paling lama dua puluh
tahun bagi pelaku makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian dari wilayah negara
terlepas.
Makar yang tidak selalu dilakukan dengan kekerasan atau menggunakan senjata dapat
berupa tindakan seperti membentuk organisasi dengan tujuan menggulingkan pemerintahan
yang sah. Makar dalam bentuk ini dirumuskan pada Pasal 107 KUHP, yang mengancam
pidana penjara paling lama lima belas tahun bagi pelaku, dan bagi para pemimpin dan
pengatur makar tersebut diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau paling lama dua
puluh tahun.
Tindak pidana makar menurut Pasal 107 KUHP menyatakan bahwa makar yang
dilakukan dengan maksud untuk merobohkan pemerintahan memiliki unsur-unsur subjektif
(dengan maksud) dan objektif (makar, yang dilakukan, untuk merobohkan pemerintahan).
Penggunaan kata "omwenteling" dalam rumusan Pasal 107 KUHP menunjukkan bahwa
tindakan makar adalah menghancurkan atau mengubah bentuk pemerintahan yang sah
menurut Undang-Undang Dasar dengan cara yang tidak sesuai dengan ketentuan undang-
undang.
Lamintang dan Theo Lamintang menyatakan bahwa percobaan (poging) untuk
melakukan tindak pidana makar dapat dipidana dengan hukuman yang sama beratnya dengan
tindak pidana yang telah selesai dilakukan, meskipun ada perbedaan antara makar dan
percobaan yang bersifat principal (Supriadi, 2019). Pada umumnya, pembatalan niat secara
sukarela dalam tindak pidana makar tidak menghapus pidana bagi pelakunya.
Makar dapat didefinisikan sebagai delik yang sarat dengan muatan politis, namun dalam
konteks perbuatan delik makar dalam KUHP, tujuannya adalah melindungi keutuhan negara
dan menjauhkan negara dari ancaman. Tindak pidana makar diatur dalam Pasal 107 KUHP
yang mengaitkan tindakan tersebut dengan permulaan pelaksanaan yang diatur dalam Pasal 53
KUHP, menunjukkan bahwa makar tidak sama dengan percobaan kejahatan lainnya karena
adanya unsur "vrijwillige terugtred" tidak menghapus pidana bagi pelakunya (Panjaitan,
Syahrin, Marlina, & Leviza, 2016).
Contoh kasus makar yang terjadi di Papua seperti kasus yang menjerat Jhon Bless alias
Oscar yang dituntut penjara karena melanggar Pasal 106 KUHP, namun dinyatakan bebas
karena tidak terbukti melanggar pasal tersebut, menunjukkan kompleksitas penanganan kasus
makar dalam sistem hukum pidana Indonesia.
Penerapan Hukuman Pidana Terhadap Kejahatan Yang Dianggap Makar
Ketentuan dalam KUHP mengenai tindak pidana politik terkait erat dengan tindak
pidana terhadap keamanan negara, seperti yang diatur dalam Pasal 104, 106, dan 107 tentang
makar yang bertujuan untuk membunuh Presiden atau Wakil Presiden (Ardianto, 2024).
Seiring dengan perkembangan masyarakat dan teknologi, kebijakan hukum perlu ditingkatkan
Implementasi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Makar
Syntax Idea, Vol. 6, No. 08, Agustus 2024 3471
untuk menanggulangi kejahatan modern yang semakin kompleks, melalui pembangunan
sistem hukum pidana yang mencakup kultur, struktur, dan substansi hukum pidana.
Tindak pidana terhadap keamanan negara, seperti makar, biasanya berlatar belakang
tujuan politik. Pengertian dan batasan tindak pidana politik berbeda di setiap negara dan
bahkan di antara para sarjana dan hakim. Kejahatan terhadap keamanan negara adalah relatif,
bergantung pada persepsi pemerintah dan pertimbangan objektif serta subjektif dari pimpinan
dan moral masyarakat. Dalam hal ini, pernytaan Mardjono Reksodiputro dari siti faridah
menyebutkan inti dari perbuatan yang dilarang dalam Bab-I (dari buku II) KUHP tersebut
adalah makar (treason; verraad), perbuatan mana yang dimaksud di kategorikan sebagai
“sebagai penghianatan terhadap negara dan bangsa” (Ravena & SH, 2017)
Prinsip negara hukum dan demokrasi sangat penting dalam merumuskan kebijakan
terkait tindak pidana makar. Kebijakan ini harus sejalan dengan kaidah negara hukum dan
demokrasi untuk menghasilkan kebijakan yang adil dan melindungi hak-hak dasar warga
negara. Prinsip-prinsip ini juga harus diterapkan untuk memastikan bahwa hukum pidana
tidak mencederai hak asasi warga negara dan memungkinkan mereka untuk berpartisipasi
dalam proses demokrasi.
RUU KUHP menawarkan definisi makar yang lebih jelas dibandingkan KUHP, yaitu
penggulingan pemerintahan yang melibatkan tindakan permulaan dan bukan hanya niat.
Meskipun terdapat tindakan permulaan, jika pelaku mengundurkan diri secara sukarela, tetap
dianggap telah melakukan makar. Namun, penjelasan ini masih bisa menimbulkan perbedaan
penafsiran, terutama dalam menentukan perbuatan permulaan.
Dalam menyusun norma terkait tindak pidana makar, prinsip lex certa dan lex scripta
harus diikuti untuk memastikan kejelasan dan kepastian hukum. Mardjono Reksodiputro
menekankan pentingnya unsur kekerasan dalam tindak pidana makar (Isnaini, 2017).
Penyusunan norma ini harus mencegah adanya interpretasi ganda yang dapat menimbulkan
ketidakpastian hukum.
Politik hukum memainkan peran penting dalam pembentukan kebijakan terkait tindak
pidana makar. Politik hukum adalah kerangka dasar kebijakan negara dalam ranah hukum
yang mencerminkan nilai-nilai masyarakat. Kebijakan ini membantu merumuskan aturan
terkait tindak pidana makar secara efektif sesuai dengan nilai-nilai yang dianut masyarakat,
sehingga mendukung tercapainya tujuan negara yang diinginkan.
KESIMPULAN
Perbuatan dianggap sebagai tindak pidana hanya jika dilarang oleh undang-undang
pidana, sesuai asas legalitas "tiada delik, tiada pidana, tanpa undang-undang pidana terlebih
dahulu." Makar, yang diatur dalam Pasal 104, 106, dan 107 KUHP Indonesia, mencakup
upaya terhadap presiden, keutuhan wilayah negara, serta penggulingan pemerintahan, dengan
unsur subjektif (niat jahat) dan unsur objektif (permulaan pelaksanaan). Berbeda dengan
percobaan tindak pidana lain, pembatalan niat secara sukarela dalam tindak pidana makar
tetap memungkinkan pelaku dihukum. Penegakan hukum terkait makar bertujuan melindungi
keutuhan negara namun rentan terhadap penyalahgunaan politis oleh penguasa.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memerlukan kebijakan hukum yang
menertibkan dan melindungi masyarakat. Kejahatan dengan dimensi baru akibat
perkembangan ini memerlukan penanggulangan yang efektif melalui pembenahan sistem
hukum pidana yang mencakup pembangunan kultur, struktur, dan substansi hukum pidana.
Tindak pidana terhadap keamanan negara seringkali berlatar politik dan memerlukan
Febri Souisa
3472 Syntax Idea, Vol. 6, No. 08, Agustus 2024
penafsiran hati-hati sesuai prinsip negara hukum dan demokrasi. RUU KUHP merumuskan
pengertian makar lebih jelas sebagai penggulingan pemerintahan secara tidak sah, dengan
unsur permulaan pelaksanaan tindakan. Prinsip lex certa dan lex scripta harus dipatuhi untuk
mencegah ketidakpastian hukum, dan politik hukum memainkan peran penting dalam
pembentukan kebijakan legislasi yang mencerminkan nilai-nilai masyarakat dan mengatur
kehidupan sosial dengan efektif.
BIBLIOGRAFI
Ardianto, Roby. (2024). Analisis Perbuatan Makar Terhadap Pemerintah Yang Sah Dalam Hukum
Pidana. Hukum Pidana.
Deni Setyo Bagus Yuherawan. (2014). Dekrontuksi Asas Legalitas Hukum Pidana”Sejarah Asas
Legalitas Dan Gagasan Pembaharuan Filosofis Hukum Pidana. Malang: Setara Press.
Ediwarman. (2014). Penegakan Hukum Pidana Dalam Presperktif Kriminologi. Yogyakarta: Genta
Publishing.
Ellryz, Rubby. (2017). Perlindungan Relawan Kemanusiaan dalam Konflik Bersenjata Menurut
Hukum Humaniter. Lex et Societatis, 5(2).
Harahap, Asliani. (2018). Pembaharuan Hukum Pidana Berbasis Hukum Adat. EduTech: Jurnal Ilmu
Pendidikan Dan Ilmu Sosial, 4(2).
Isnaini, Enik. (2017). Tinjauan yuridis normatif perjudian online menurut hukum positif di indonesia.
Jurnal Independent, 5(1), 2332.
Isnantiana, Nur Iftitah. (2019). Hukum dan sistem hukum sebagai pilar negara. Jurnal Hukum
Ekonomi Syariah, 2(1), 1935.
Panjaitan, Lani Sujiagnes, Syahrin, Alvi, Marlina, Marlina, & Leviza, Jelly. (2016). Penerapan Hukum
Pidana Terhadap Tindak Pidana Makar oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Kabupaten
Jayawijaya (StudiPutusanNomor 38/Pid. B/2011/PN. Wmn). USU Law Journal, 4(3), 8898.
Purwati, Ani. (2020). Metode penelitian hukum teori & praktek. Jakad Media Publishing.
Ravena, H. Dey, & SH, M. H. (2017). Kebijakan Kriminal:[Criminal Policy]. Prenada Media.
Safa’at, Rachmad. (2013). Ambivalensi Pendekatan Yuridis Normatif Dan Yuridis Sosiologis Dalam
Menelaah Sistem Kearifan Lokal Masyarakat Adat Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam. Lex
Jurnalica, 10(1), 18060.
Samosir, Kaston Rudy, Ediwarman, Ediwarman, & Siregar, Taufik. (2021). Analisis Hukum
Mengenai Tindak Pidana Anak Yang Terlibat Geng Motor Sebagai Upaya Penegakan Hukum.
Journal of Education, Humaniora and Social Sciences (JEHSS), 4(2), 11131121.
Sidharta, Mochtar kusumaatmadja &. B. Rief. (2000). Pengantar Ilm Hukum, Suatu Pengenalan
Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Hukum. Bandung: Alumni.
Sofian, Ahmad, & Pratama, Bambang. (2021). Tindak Pidana Mata Uang dalam Konteks Hukum
Pidana dan Hukum Siber. Jurnal Hukum Pidana Dan Kriminologi, 2(2), 4963.
Supriadi, Dedi. (2019). Tinjauan Yuridis Mengenai Penerapan Concursus (Ketentuan pasal 65 kuhp)
Oleh Hakim dalam Hukum Pidana Indonesia. Jurnal Akrab Juara, 4(2).
Copyright holder:
Febri Souisa (2024)
First publication right:
Syntax Idea
This article is licensed under: