Muhammad Rifqi Maulana, Yopie Afriandi Habibie, Nurrahmah Yusuf
3434 Syntax Idea, Vol. 6, No. 08, Agustus 2024
terbesar dalam laporan tahunan 2019-2020 terlihat di Gabon (80%), Filipina (37%), Lesotho
(35%), Indonesia (31%) dan India (25%) (Cantor, McBain, Pera, Bravata, & Whaley, 2021).
Beberapa kendala dalam mendiagnosis TB selama pandemi antara lain mungkin terjadi
karena tiga penyebab, yaitu kemungkinan hasil negatif palsu pada uji tuberkulin, riwayat
kontak TB yang sulit ditelusuri, dan diagnosis TB yang dapat ditegakkan tanpa sistem
skoring. Penyebab pertama, kemungkinan hasil negatif palsu pada uji tuberkulin. Pada
penelitian ini, uji tuberkulin ditemukan positif pada sebagian besar pasien (62,2%). Uji
tuberkulin adalah alat diagnostik TB yang sudah sangat lama tetapi masih mempunyai nilai
diagnostik tinggi dengan sensitivitas dan spesifisitas lebih dari 90%.
Akan tetapi, uji ini memiliki kelemahan karena tidak dapat membedakan kondisi infeksi
dan sakit TB, serta dapat memberikan hasil negatif palsu, seperti pada pasien yang masih
dalam masa inkubasi, penyimpanan tuberkulin tidak baik, penyuntikan tidak tepat, menderita
TB berat, disertai infeksi virus, dehidrasi, keganasan, penggunaan kortikosteroid jangka
panjang, dan kondisi gizi buruk. Status gizi malnutrisi berawal dari gejala berat badan turun
tanpa sebab yang jelas atau berat badan yang tidak naik 1 bulan walaupun sudah dengan
penanganan gizi. Penyebab kedua, kontak TB sulit ditelusuri karena sumber penularan tidak
selalu dapat teridentifikasi. Terutama bagi subjek yang yang memiliki risiko terpapar kuman
TB lebih besar dari lingkungan luar. Analisis yang seksama terhadap data klinis diperlukan
pada kondisi ini. Penyebab ketiga, diagnosis TB sudah dapat ditegakkan tanpa perlu
mencukupi syarat skoring TB bila kuman TB sudah ditemukan pada pemeriksaan apusan
langsung, biakan, ataupun gambaran patologi anatomi TB (Humaira, Fitria, Alkamdani, &
Yani, 2024).
Penemuan kasus TB pada masa pandemi Covid-19 ini turun secara signifikan di
Indonesia secara nasional mengalami penurunan sebesar 25,3%. Salah satu penyebab adalah
diketahuinya bahwa gambaran klinis pasien TB dan Covid-19 hampir serupa yaitu, demam,
sesak napas, dan batuk. Meskipun terdapat perbedaan halus diantara keduanya yaitu pasien
yang terinfeksi Covid-19 cenderung berkembang dalam waktu yang cepat daripada TB, selain
itu dengan pembatasan sosial membuat tracing akan deteksi TB menurun dan lebih banyak
pada tracing pasien Covid-19.
Strategi pada penemuan kasus pada TB terdapat dua macam strategi yaitu penemuan
kasus secara pasif yang dilakukan di fasilitas kesehatan dengan menggunakan jejaring layanan
TB dan kolaborasi dengan berbagai kegiatan. Selain itu penemuan kasus pasien TB secara
aktif atau berbasis keluarga dan masyarakat dimana strategi ini dibantu oleh kader dari
posyandu, tokoh masyarakat, dan tokoh agama, dimana kegiatan dalam penemuan kasus
seacara aktif ini berupa investigasi kontak 10-15 orang yang kontak erat dengan pasien TB,
penemuan di tempat khusus, dan penemuan di populasi berisiko (Muflihah & Martha, 2022).
Pemanfaatan TCM yang digunakan untuk menjaring kasus baru dan kejadian resisten
rifampisin yang semakin meningkat setiap tahun (Organization, 2021).
Tahun 2019 terjadi peningkatan pemaanfaatan TCM untuk menjaring kasus baru 1,5
kali lipat dibandingkan dengan tahun 2018. Data ini semakin diperkuat dengan semakin
besarnya jumlah kasus yang terdeteksi. Hasil negatif setelah dilakukan TCM dominan
didapatkan dari tahun ke tahun, namun tidak sedikit pula didapatkan jumlah kasus resisten
dan sensitif rifampisin. Periode 2014-2019, dari 28.253 suspek TB yang diperiksa sebanyak
672 (2,4%) kasus resisten rifampisin dan 5.437 (19,2%) kasus sensitif rifampisin. Peningkatan
penemuan kasus resisten rifampisin meningkat dari tahun ke tahun. Seiring bertambahnya
jumlah TCM yang meningkat pesat sejak tahun 2018, angka deteksi kasus dengan rifampisin
resisten meningkat 3,75 kali lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2017. Angka ini semakin