How to cite:
Ipon Susanti (2024) Efektivitas Penegakan Hukum Terhadap Perusahaan yang Mengabaikan
Tunggakan Iuran BPJS Ketenagakerjaan (Studi Kasus Pada BPJS Ketenagakerjaan Jakarta Pusat
Dan Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat), (06) 08,
E-ISSN:
2684-883X
EFEKTIVITAS PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PERUSAHAAN YANG
MENGABAIKAN TUNGGAKAN IURAN BPJS KETENAGAKERJAAN (STUDI
KASUS PADA BPJS KETENAGAKERJAAN JAKARTA PUSAT DAN KEJAKSAAN
NEGERI JAKARTA PUSAT)
Ipon Susanti
Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Indonesia
Abstrak
Dalam hal ketenagakerjaan apabila diperhatikan, setiap warga memiliki hak yang melekat
pada hakikat hidupnya dan hal itu adalah hak atas jaminan sosial. Oleh karena itu, sering kali
disebutkan bahwa jaminan sosial merupakan program yang bersifat universal yang harus
diselenggarakan oleh setiap negara, termasuk Negara Republik Indonesia. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mengkaji pengaturan tentang jaminan sosial
berupa BPJS ketenagakerjaan dan alasan dari terjadinya kerjasama antara BPJS
Ketenagakerjaan Jakarta Pusat dan Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat dalam hal penanganan
terhadap perusahaan-perusahaan yang mengabaikan tunggakan iuran BPJS Ketenegakerjaan.
Penelitian ini berjenis hukum empiris, yakni suatu metode penelitian hukum yang mengkaji
tentang aturan hukum dalam kenyataan atau realitas yang ada di masyarakat. Hasil penelitian
ini menyatakan bahwa latar belakang dari BPJS Ketenagakerjaan Jakarta Pusat memberikan
kuasa khusus pada Kejaksaan sebagai Pengacara Negara untuk penegakan dalam rangka
penyelesaian hukum terhadap perusahaan-perusahaan yang mengabaikan tunggakan iuran di
Jakarta ialah dikarenakan tidak efektifnya kinerja penegakan hukum yang dilakukan oleh
Deputi Pemeriksaan dan Pengawasan BPJS Ketenagakerjaan selama ini baik dikarenakan
faktor-faktor internal maupun faktor-faktor eksternal.
Kata Kunci: penegakan hukum, perusahaan, BPJS ketenagakerjaan
Abstract
In terms of employment, if you pay attention, every citizen has a right inherent in the essence
of his life and that is the right to social security. Therefore, it is often mentioned that social
security is a universal program that must be organized by every country, including the
Republic of Indonesia. The purpose of this study is to find out and examine the regulation of
social security in the form of BPJS Employment and the reason for the cooperation between
BPJS Employment Central Jakarta and the Central Jakarta District Attorney's Office in terms
of handling companies that ignore the arrears of BPJS Employment contributions. This
research is a type of empirical law, which is a legal research method that studies the rule of
law in reality or reality in society. The results of this study state that the background of BPJS
Ketenagakerjaan Central Jakarta gives special powers to the Prosecutor's Office as the State
Attorney for enforcement in the context of legal settlement against companies that ignore
arrears of contributions in Jakarta is due to the ineffective performance of law enforcement
JOURNAL SYNTAX IDEA
pISSN: 2723-4339 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 6, No. 08, Agustus 2024
Ipon Susanti
3626 Syntax Idea, Vol. 6, No. 08, Agustus 2024
carried out by the Deputy for Inspection and Supervision of BPJS Ketenagakerjaan so far,
both due to internal and external factors.
Keywords: law enforcement, companies, BPJS Employment
PENDAHULUAN
Selain dari sumber daya alam yang memengaruhi kemajuan suatu negara, sumber daya
manusia juga memiliki andil yang besar dalam proses perkembangan dan kemajuan dari
sebuah negara yaitu dalam hal Ketenagakerjaannya (Tunggal, 2014). Dalam hal
ketenagakerjaan apabila diperhatikan, setiap warga memiliki hak yang melekat pada hakikat
hidupnya dan hal itu adalah hak atas jaminan sosial. Oleh karena itu, sering kali disebutkan
bahwa jaminan sosial merupakan program yang bersifat universal yang harus diselenggarakan
oleh setiap negara, termasuk Negara Republik Indonesia.
Hal tersebut sebagaimana amanat daripada Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
Tahun 1945, pada Pasal 28H ayat (3) menyatakan bahwa Setiap orang berhak atas jaminan
sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia bermartabat
dan Pasal 34 ayat (2) yang menyatakan bahwa Negara mengembangkan sistem jaminan sosial
bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai
dengan martabat kemanusiaan.
Kemudian ketentuan internasional pun mengamanatkan perihal jaminan sosial, hal ini
sebagaimana Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa pada
tanggal 10 Tahun 1948 didalam Pasal 22 menyatakan bahwa:
“Setiap orang, sebagai anggota masyarakat, berhak atas jaminan sosial dan berhak akan
terlaksananya hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang sangat diperlukan untuk martabat
dan pertumbuhan bebas pribadinya, melalui usaha-usaha nasional maupun kerjasama
internasional, dan sesuai dengan pengaturan serta sumber daya setiap Negara” (Suhartoyo,
2018).
Berdasarkan amanat Undang-Undang Dasar 1945 dan Ketentuan Internasional
tersebutlah akhirnya dibuat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional yang selanjutnya disingkat UU SJSN, dinyatakan bahwa Jaminan sosial
adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat
memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak dan Sistem Jaminan Sosial Nasional adalah
suatu tata cara penyelenggaraan program jaminan sosial oleh beberapa badan penyelenggara
jaminan sosial (Ningtyas, 2019).
Kemudian pada Pasal 3 UU SJSN dinyatakan pula bahwa Sistem Jaminan Sosial
Nasional bertujuan untuk memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang
layak bagi setiap peserta dan/atau anggota keluarganya. Selanjutnya pada Pasal 18
menyatakan bahwa ada beberapa jenis program jaminan sosial yaitu jaminan kesehatan,
jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian.
Pada perkembangannya untuk pengimplementasikan jauh lebih masif tentang jaminan
sosial di Indonesia, berlandaskan Pasal 5 ayat (4) UU SJSN yang menyatakan bahwa dalam
hal diperlukan badan penyelenggara jaminan sosial selain dimaksud pada ayat (3), dapat
dibentuk yang baru dengan Undang-Undang, maka dilahirkanlah Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial yang selanjutnya disingkat BPJS dengan payung hukum Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial bertujuan untuk mewujudkan terselenggaranya
pemberian jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap Peserta
dan/atau anggota keluarganya. BPJS terbagi menjadi 2 (dua), yakni BPJS Kesehatan dan
Efektivitas Penegakan Hukum Terhadap Perusahaan yang Mengabaikan Tunggakan Iuran BPJS
Ketenagakerjaan (Studi Kasus Pada BPJS Ketenagakerjaan Jakarta Pusat Dan Kejaksaan Negeri
Jakarta Pusat)
Syntax Idea, Vol. 6, No. 08, Agustus 2024 3627
BPJS Ketenagakerjaan. Dimana BPJS Kesehatan ialah menyelenggarakan program jaminan
kesehatan, sedangkan BPJS Ketenagakerjaan ialah menyelenggarakan program jaminan
kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun dan jaminan kematian.
Pada ketentuan Pasal 15 ayat (1) menyatakan bahwa Pemberi Kerja secara bertahap
wajib mendaftarkan dirinya dan Pekerjanya sebagai Peserta kepada BPJS sesuai dengan
program Jaminan Sosial yang diikuti. Kemudian ayat (2) menjelaskan bahwa Pemberi Kerja
dalam melakukan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib memberikan data
dirinya dan Pekerjanya berikut anggota keluarganya secara lengkap dan benar kepada BPJS.
Adapun pada Pasal 19 ayat (1) menyatakan bahwa Pemberi Kerja wajib memungut Iuran yang
menjadi beban Peserta dari Pekerjanya dan menyetorkannya kepada BPJS dan pada ayat (2)
menyatakan bahwa Pemberi Kerja wajib membayar dan menyetor Iuran yang menjadi
tanggung jawabnya kepada BPJS.
Terkait sanksi pemberi kerja yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun
atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Dengan pengaturan yang telah cukup detail tersebut, namun dalam praktiknya di
berbagai provinsi atau kota/kabupaten tetap belumlah dapat menekan pelanggaran-
pelanggaran yang dilakukan perusahaan khususnya terkait dengan jaminan sosial dalam
bentuk BPJS Ketenagakerjaan baik itu tidak mendaftarkan karyawannya ke dalam BPJS
Ketenagakerjaan atau melakukan pengabaian terhadap kewajiban untuk melakukan
pembayaran iuran BPJS Ketenagakerjaan.
Bisnis.com yang menerangkan bahwa BPJS Ketenagakerjaan mencatat per/Mei 2022
ada lebih dari 20.000 perusahaan yang tidak mengikutsertakan pekerjanya dalam program
jaminan sosial BPJS Ketenagakerjaan (Situmeang, Putri, & Pebrianti, 2023). Direktur Utama
BPJS Ketenagakerjaan Anggoro Eko Cahyo memaparkan dari 63.257 perusahaan yang
dilakukan pengawasan dan pemeriksaan oleh BPJS Ketenagakerjaan, baru 40.144 atau 63%
perusahaan yang patuh, sedangkan sebanyak 23.113 perusahaan belum memberikan
perlindungan kepada pekerjanya (Situmeang et al., 2023).
Detik Jatim melaporkan bahwa data BPJS Ketenagakerjaan Blitar mencatat ada 1.339
PK/BU yang menunggak iuran. Total piutang iuran itu mencapai sebanyak Rp4,8 miliar
dengan rincian kategori pembayaran kurang lancar 559 PK/BU dengan piutang iuran sekitar
Rp 1,2 miliar (Tugas, 2017). Pembayaran diragukan sebanyak 77 PK/BU dengan piutang
iuran sebanyak hampir Rp 1,2 miliar dan pembayaran macet sebanyak 344 PK/BU dengan
piutang iuran hampir Rp1,4 miliar. Dari 1.339 PK/BU di Blitar Raya yang punya piutang
iuran itu, selain perusahaan juga termasuk lembaga pemerintahan dan yang di bawah dinas
pendidikan, ulas Hendra Elvian selaku Kepala Cabang BPJS Ketenagakerjaan Blitar (Tugas,
2017).
Penunggakan iuran BPJS Ketenagakerjaan di Jakarta sendiri sebagaimana laporan
Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi (Wakajati) DKI Jakarta Pathor Rahman mengungkap
terdapat 43 ribu perusahaan di provinsi DKI Jakarta yang menunggak iuran BPJS
Ketenagakerjaan di tahun 2018. Daftar perusahaan tersebut dikategorikan menjadi tersendat,
ragu-ragu dan macet dalam hal pembayaran iuran tersebut. Dari jumlah penunggak iuran
BPJS Ketenagakerjaan tersebut, sebanyak BPJS 6.580 perusahaan/pemberi kerja yang benar-
benar dikategorikan macet dalam pembayaran (RADEN AYU, 2023). Mayoritas penunggak
adalah perusahaan swasta.
Dari permasalahan-permasalahan mengenai perusahaan-perusahaan penunggak iuran
BPJS Ketenagakerjaan tersebut, kemudian dilakukanlah sebuah terobosan hukum dalam hal
penanganan permasalahan tersebut dengan dibuatnya MOU kerjasama antara BPJS
Ipon Susanti
3628 Syntax Idea, Vol. 6, No. 08, Agustus 2024
Ketenagakerjaan dan Kejaksaan Agung Republik Indonesia, dimana pada penerapanannya
MOU ini menjadi dasar untuk membuat perjanjian kerjasama antara BPJS Ketenagakerjaan di
cabang-cabang dengan Kejaksaan Negeri di wilayah-wilayah Indonesia.
Seperti pada detik news yang melaporkan bahwa BPJS Ketenagakerjaan Wilayah
Banten bekerja sama dengan Kejati Banten berupa MoU penyerahan 888 Surat Kuasa Khusus
(SKK) dari 408 perusahaan yang menunggak iuran BPJS Ketenagakerjaan senilai Rp60
miliar. Selama setahun (2023) dengan pendampingan dari Kejati, perusahaan-perusahan
tersebut telah membayar Rp33,5 miliar. Perusahaan membayar tunggakan BPJS
Ketenagakerjaan setelah dilakukan upaya litigasi dan non-litigasi dengan didampingi Kejati
Banten dan jajaran (Suwandi & Wardana, 2022)
Dari data-data tersebut, maka fokus pada penelitian ini ialah untuk mengetahui dan
mengkaji terkait kendala-kendala yang dihadapi BPJS Ketenagakerjaan Jakarta Pusat dalam
penanganan perusahaan-perusahaan yang menunggak atau mengabaikan iuran BPJS
Ketenagakerjaan sehingga pada akhirnya pihak BPJS Ketenagakerjaan harus bekerjasama
dengan Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat untuk membantu penyelesaian hukum pelanggaran
hukum tersebut.
Kemudian menarik untuk dapat dikaji pula, oleh karena terdapat penegakan hukum
secara pidana diluar dari secara administrasi dan keperdataan. Hal ini sebagaimana terdapat
pada Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Balai Karimun Nomor 172 pid.sus/2020/pn tbk.
Dimana kasus ini berawal dari Terdakwa yang mengakuisisi saham PT. Kawasan Dinamika
Harmonitama yang selanjutnya disingkat PT. KDH dari saudara Indra Gunawan, yang mana
PT. KDH diperjual belikan dalam keadaan tidak sehat atau dapat dikatakan sudah tidak
memiliki biaya oprasional untuk melakukan kegiatan dan memiliki beban gaji dan iuran BPJS
Ketenagakerjaan yang tertunggak sejak November 2018 atas 156 orang karyawan yang mana
hal tersebut Terdakwa ketahui.
Pasca mengakuisisi dan menjadi Direktur Utama PT. KDH pada 9 Maret 2019,
Terdakwa justru kesulitan dalam pengembangkan dan mulai kehabisan cara untuk mengelola
perusahaannya, Terdakwa pun menunggak iuran BPJS Ketenagakerjaan selama kurang lebih
1 tahun. Oleh karena dirasa tidak memiliki iktikad baik dalam melakukan pembayaran iuran
tersebut, maka akhirnya dilakukan penegakan hukum secara pidana dan pada akhirnya
terdakwa di vonis pidana penjara selama 4 (empat) bulan.
Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam terkait sistem
penegakan hukum seperti apa saja yang dapat dilakukan terhadap pelanggaran jaminan sosial
sebagai bentuk perlindungan bagi tenaga kerja ini dan apakah ada keterlibatan Kejaksaan
secara langsung dalam melakukan penegakan secara pidana berdasarkan surat kuasa khusus
yang diberikan padanya.
Maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mengkaji pengaturan
tentang jaminan sosial berupa BPJS ketenagakerjaan dan alasan dari terjadinya kerjasama
antara BPJS Ketenagakerjaan Jakarta Pusat dan Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat dalam hal
penanganan terhadap perusahaan-perusahaan yang mengabaikan tunggakan iuran BPJS
Ketenegakerjaan. Untuk mengetahui dan mengkaji bagaimana efektivitas penegakan dalam
rangka penyelesaian hukum yang dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat terhadap
perusahaan-perusahaan yang mengabaikan tunggakan iuran BPJS Ketenagakerjaan dari di
wilayah Jakarta Pusat.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini berjenis hukum empiris, yakni suatu metode penelitian hukum yang
mengkaji tentang aturan hukum dalam kenyataan atau realitas yang ada di masyarakat, yang
Efektivitas Penegakan Hukum Terhadap Perusahaan yang Mengabaikan Tunggakan Iuran BPJS
Ketenagakerjaan (Studi Kasus Pada BPJS Ketenagakerjaan Jakarta Pusat Dan Kejaksaan Negeri
Jakarta Pusat)
Syntax Idea, Vol. 6, No. 08, Agustus 2024 3629
mana objek kajian yang diteliti beranjak dari meneliti bahan hukum primer berupa norma
hukum yang dalam penerapannya masyarakat sebagai subyek hukum berlaku berbeda dari apa
yang tertuang pada rumusan norma. Digunakannya penelitian hukum empiris dikarenakan
penelitian ini direncanakan untuk dapat dilakukan dengan memperoleh sumber data dari BPJS
Ketenagakerjaan Jakarta Pusat dan Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat. Pada penelitian ini,
spesifikasi yang digunakan ialah deskriptif analitis. Deskriptif analitis ialah spesifikasi
penelitian yang dipakai untuk menjabarkan ataupun menggambarkan sebuah kondisi atau
keadaan yang sedang berlangsung atau terjadi dengan tujuan untuk penelitian sehingga
memungkinkan untuk mendapatkan informasi serta hal-hal yang bersifat ideal untuk
kemudian dianalisis dengan berdasarkan teori hukum atau peraturan perundang-undangan
yang berlaku (Ali, 2021).
Dalam penelitian ini, pendekatan yang akan digunakan yaitu menggunakan pendekatan
perundang-undangan (Statue Approach) dan dan pendekatan fakta (the fact approach)
(Diantha, Dharmawan, & Artha, 2018). Adapun yang dimaksud dengan pendekatan
perundang-undangan sebagai salah satu pendekatan penelitian yang digunakan yaitu dengan
menelaah peraturan perundang-undangan yang terkait dengan permasalahan atau isu hukum
yang diteliti. Dalam hal ini peraturan perundang-undangan yang digunakan sebagai bahan
analisis adalah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial, Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2023
tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang.
Kemudian, Pendekatan fakta (the fact approach) yaitu pendekatan dilakukan melalui
pengkajian penerapan aturan perundang-undangan atas kenyataan atau fakta di lapangan
terkait permasalahan hukum yang sedang dibahas (Diantha et al., 2018). Dalam hal ini kasus
yang penulis gunakan ialah berasal dari hasil studi lapangan di BPJS Ketenagakerjaan Jakarta
Pusat dan Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat serta Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Balai
Karimun Nomor 172 pid.sus/2020/pn tbk.
Dalam penelitian ini, jenis data yang digunakan oleh penulis ialah data sekunder. Data
sekunder peroleh dari hasil penelaahan keputusan atau penelaahan terhadap literatur dan
bahan pustaka yang berkaitan dengan suatu masalah atau materi dari penelitian yang sering
disebut dengan bahan hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2016). Dalam penelitian ini, penulis
menggunakan sumber bahan hukum yaitu:
a. Bahan hukum primer, merupakan bahan hukum yang mengikat setiap orang berupa
peraturan perundang-undangan, yurisprudensi atau putusan pengadilan, catatan resmi, dan
perjanjian internasional (traktat) (Peter Mahmud Marzuki, 2016). Bahan hukum primer
yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut:
1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
4) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pengganti Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang
b. Bahan hukum sekunder, adalah bahan hukum yang dapat memberikan suatu penjelasan
terhadap bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder dapat berupa rancangan perundang-
undangan, hasil penelitian buku-buku teks, jurnal ilmiah, surat kabar (Koran), kamus-
kamus, dan berita internet yang berkaitan dengan penelitian yang bersangkutan (Peter
Mahmud Marzuki, 2016).
Ipon Susanti
3630 Syntax Idea, Vol. 6, No. 08, Agustus 2024
c. Bahan hukum tersier merupakan bahan diluar bahasan hukum yang merupakan bahan
hukum yang memberikan petunjuk ataupun penjelasan terhadap bahan hukum primer
maupun sekunder.
Bahan hukum tersier yang digunakan dalam penelitian ini berupa:
kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), kamus hukum.
Dalam penelitian ini, pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan (library
research). Studi kepustakaan merupakan metode pengumpulan data dengan mengumpulkan
dokumen, buku, dan literatur lainnya.
Dalam penelitian ini analisis data dilakukan dengan cara analisis kualitatif, yaitu suatu
metode yang berusaha menguraikan permasalahan dengan memaparkan data disertai analisa
yang mendalam berdasarkan peraturan perundang-undangan, konsep, teori dan pandangan
para ahli hukum. Kemudian dilakukan interprestasi untuk menarik suatu kesimpulan dari
pemasalahan penelitian ini.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Efektivitas Penegakan Dalam Rangka Penyelesaian Hukum Oleh Kejaksaan Negeri
Jakarta Pusat Berdasarkan Kuasa Khusus BPJS Ketenagakerjaan Jakarta Pusat
Terhadap Perusahaan-Perusahaan Yang Mengabaikan Tunggakan Iuran Di Wilayah
Jakarta Pusat
Sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa fungsi Kejaksaan mencakup
aspek preventif dan aspek represif dalam kepidanaan serta Pengacara Negara dalam
Keperdataan dan Tata Usaha Negara. Pada aspek preventif, Jaksa sebagai Pengacara Negara
mempunyai kapasitas sama dengan seperti tokoh yang berperan untuk menunjang hak-hak
negara dalam menyita dana atau aset yang dapat merugikan negara. Selain itu, dalam negara
hukum yang menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat akan banyak ditemukan
keterlibatan dan kepentingan hukum dari negara dan pemerintah di bidang perdata, baik
dalam kedudukan sebagai tergugat maupun sebagai penggugat (Litigasi) atau pihak yang
mempunyai kepentingan hukum dalam penyelesaian sengketa diluar pengadilan (Non
Litigasi) yang dapat diwakilkan kepada Kejaksaan melalui Jaksa Pengacara Negara. Inilah
pandangan antisipatif dari kekuasaan eksekutif yang terkandung dalam Pasal 30 Ayat (2)
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Kemudian, pada peraturan pelaksananya sebagai pedoman dalam pelaksanaan
sebagaimana KEPJA RI No:148/J.A/12/1994 tentang Administrasi Perkara Perdata dan Tata
Usaha Negara yang kemudian diperkuat dengan PERJA RI No:040/A/JA/12/2010 yang
diperbaharui melalui PERJA RI Nomor 9 Tahun 2011 tentang Tugas, Wewenang, dan Fungsi
Kejaksaan dalam Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara serta aturan terbaru yakni PERJA RI
Nomor 7 Tahun 2021 tentang Pedoman Pelaksanaan Penegakan Hukum, Bantuan Hukum,
Pertimbangan Hukum, Tindakan Hukum Lain, dan Pelayanan Hukum di Bidang Perdata dan
Tata Usaha Negara menyatakan bahwa Bantuan Hukum, Pertimbangan Hukum, Pelayanan
Hukum, Tindakan Hukum dan Tindakan Hukum Lain merupakan tugas serta wewenang yang
dimiliki Jaksa Pengacara Negara.
Berangkat dari ketentuan-ketentuan tersebut yang mana berkesinambungan pula dengan
dasar hukum yang dimiliki oleh BPJS Ketenagakerjaan yakni Undang-Undang BPJS pada
Pasal 11 Huruf g dan h, yang mana pada intinya dapat melakukan kerjasama dengan instansi
berwenang dalam hal ini penegak hukum untuk penyelenggaraan program Jaminan Sosial
sebagaimana amanat undang-undang yang melindungi kepentingan masyarakat, maka hal ini
menjadi sejalan dengan ketentuan-ketentuan yang telah ada pada fungsi Jaksa sebagai
Pengacara Negara.
Efektivitas Penegakan Hukum Terhadap Perusahaan yang Mengabaikan Tunggakan Iuran BPJS
Ketenagakerjaan (Studi Kasus Pada BPJS Ketenagakerjaan Jakarta Pusat Dan Kejaksaan Negeri
Jakarta Pusat)
Syntax Idea, Vol. 6, No. 08, Agustus 2024 3631
Dengan demikian dilakukanlah kerjasama dalam bentuk MoU atau Perjanjian
Kerjasama yang ditindaklajuti dengan pemberian surat kuasa khusus pada Kejaksaan sebagai
dasar utama dari pelaksanaan penegakan hukum oleh jaksa sebagai pengacara negara untuk
meningkatkan efektifitas penanganan dan penyelesaian masalah hukum terhadap perusahaan-
perusahaan yang telah melakukan pelanggaran hukum dalam hal ini melakukan tunggakan
iuran BPJS Ketenagakerjaa baik di dalam maupun diluar pengadilan.
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan Bapak Agung Irawan, S.H., M.H selaku
Kasi Perdata dan Tata Usaha Negera Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, dalam hal penegakan
hukum yang dilakukan Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat melalui bagian Perdata dan Tata
Usaha Negera berdasarkan Surat Kuasa Khusus yang diberikan, terdapat dua metode yang
dilakukan yakni:
1. Non Litigasi
a. Mediasi
Menurut Ranuhandoko dalam bukunya “Terminologi Hukum” mediasi diartikan
dengan pihak ketiga yang ikut campur dalam perkara untuk mencapai penyelesaian
(Rasjidi, 2015). Penyelesaian sengketa dengan menengahi menunjukan pada peran yang
ditampilkan pihak ketiga sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya untuk
menengahi dan menyelesaikan sengketa yang terjadi diantara kedua belah pihak yang
bersengketa.
Secara lebih sederhana Mediasi adalah penyelesaian sengketa melalui proses
perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak yang bersengketa dan di bantu
oleh pihak ketiga yang netral dalam hal ini pihak Kejaksaan atau pihak yang tidak
memihak kepada para pihak yang bersengketa. Hal ini sejalan dengan hasil wawancara
dengan Bapak Agung Irawan, S.H., M.H selaku Kasi Perdata dan Tata Usaha Negera
Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat menyatakan bahwa:
Kami bertindak sebagai mediator untuk melakukan mediasi dimulai dengan
memberikan undangan kepada perusahaan penunggak dan BPJS Ketenagakerjaan.
Kemudian para pihak hadir, maka dilakukan perundingan untuk dapat mencari solusi
terkait permasalahan tunggakan tersebut. Dalam proses ini hampir semua kasus
tercapai kesepakatan damai dengan dibuatnya perjanjian untuk melakukan cicilan
sebagai bentuk iktikad baik dari pihak perusahaan. Metode mediasi ini menjadi hal
yang kami prioritaskan oleh karena output dari tujuan ialah dapat terlaksananya
pembayaran tanpa harus ada penegakan litigasi yang memiliki konsekuensi biaya dan
kerugian-kerugian materi, maupun non materi untuk kedua belah pihak”.
b. Somasi
Apabila terhadap undangan mediasi tidak direspon atau terhadap perjanjian damai
dengan melakukan cicilan tidak dilakukan sebagaimana perjanjian, maka tindakan
selanjutnya yang dilakukan pihak Kejaksaan ialah melakukan Somasi. Secara sederhana
somasi adalah teguran. Menurut Jonaedi Efendi dalam Kamus Istilah Hukum Populer,
somatie atau legal notice, atau yang lebih dikenal dengan somasi adalah teguran
terhadap pihak calon tergugat. Adapun tujuan diberikannya somasi adalah memberi
kesempatan kepada pihak calon tergugat untuk berbuat sesuatu atau menghentikan suatu
perbuatan sebagaimana tuntutan pihak penggugat.
Cara ini cukup efektif untuk menyelesaikan sengketa sebelum perkara diajukan ke
pengadilan dan sebagai langkah persiapan Kejaksaan juga sebelum mungkin pada
akhirnya apabila Somasi ini tidak ditanggapi, maka sebagai salah satu bahan hukum
untuk dilakukannya gugatan. Hal ini sejalan dengan hasil wawancara dengan Bapak
Ipon Susanti
3632 Syntax Idea, Vol. 6, No. 08, Agustus 2024
Agung Irawan, S.H., M.H selaku Kasi Perdata dan Tata Usaha Negera Kejaksaan
Negeri Jakarta Pusat menyatakan bahwa:
“Dalam praktiknya beberapa terjadi, dimana terdapat perusahaan yang sudah berjanji
untuk berdamai dan membuat penyataan untuk melakukan pembayaran dengan cara
mencicil, namun tetap melakukan ingkar atas janji yang dibuatnya tersebut. Dengan
hal demikian, maka kami melakukan penindakan dengan cara mengirimkan somasi
kepada perusahaan tersebut sebagai sebuah pengingat sekaligus teguran”.
c. Litigasi
Gugatan Sederhana
Dalam hal secara Mediasi, Somasi atau hal-hal lain yang dirasa sudah
dilakukan secara non-litigasi, namun perusahaan penunggak tetap tidak beriktikad baik,
maka dilakukan Kejaksaan dapat melakukan gugatan mewakili BPJS Ketenagakerjaan.
Menurut M. Natsir Asnawi, gugatan sederhana, (small claim court) adalah gugatan
dalam bidang hukum perdata yang nilai gugatan materilnya paling banyak
Rp200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) yang diselesaikan dengan tata cara dalam
pembuktian sederhana.
Sementara berdasarkan pasal 1 ayat (1) Perma Nomor 2 tahun 2015 tentang Tata
Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana disebutkan bahwa Penyelesaian gugatan
sederhana adalah tata cara di persidangan terhadap gugatan perdata dengan nilai materil
paling banyak Rp200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) yang diselesaikan dengan tata
cara dan pembuktian yang sederhana. Namun, pada tahun 2019, terdapat Perma Nomor
4 Tahun 2019 tentang Perubahan Perma Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara
Penyelesaian Gugatan Sederhana. Ketentuan pasal 1 angka 1 dan pasal 3 ayat (1)
diubah, sehingga berbunyi: penyelesaian gugatan sederhana adalah tata cara
pemeriksaan dipersidangan terhadap gugatan perdata dengan nilai gugatan materil
paling banyak Rp500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) yang diselesaikan dengan tata
cara dan pembuktiannya sederhana. Sejalan dengan hasil wawancara dengan Bapak
Agung Irawan, S.H., M.H selaku Kasi Perdata dan Tata Usaha Negera Kejaksaan
Negeri Jakarta Pusat menyatakan bahwa:
“Gugatan Sederhana ialah cara yang dapat kami lakukan, namun apabila
memang dirasa berbagai cara secara non-litigasi telah dilakukan, tetapi tidak
ada hasil atau tidak ada respon berupa iktikad baik dari perusahaan
penunggak. Dalam praktiknya, pernah terjadi 1-2 kali kami melakukan upaya
gugatan sederhana, namun setelah dalam proses menunggu mekanisme pacsa
mendaftarkan gugatan tersebut justru pihak perusahaan penunggak mengabari
kami dan dilakukan mediasi ulang yang pada akhirnya sepakat berdamai dan
langsung melakukan cicilan”.
Berdasarkan apa yang telah dijelaskan di atas, Bapak Agung Irawan, S.H., M.H
selaku Kasi Perdata dan Tata Usaha Negera Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat juga
menambahkan bahwa dalam melaksanakan penegakan hukum, Kejaksaan Negeri
Jakarta Pusat lebih menggunakan pendekatan yang menitikberatkan secara non litigasi
(mediasi hingga somasi) yang bertujuan utamanya untuk mendapatkan pembayaran
sebagaimana kewajiban dari para perusahaan penunggak dan demi meminimalisir juga
kerugian-kerugian yang tidak perlu diderita oleh para pihak.
Kemudian ia menambahkan bahwa terhadap opsi pemidanaan secara normatif
tidaklah salah karena Undang-Undang telah memberikan opsi tersebut, meskipun sejak
awal kerjasama dengan BPJS Ketenagakerjaan Jakarta Pusat tidak pernah ada kuasa
khusus untuk kami melakukan penegakan hukum secara pidana dan apabila dilakukan
Efektivitas Penegakan Hukum Terhadap Perusahaan yang Mengabaikan Tunggakan Iuran BPJS
Ketenagakerjaan (Studi Kasus Pada BPJS Ketenagakerjaan Jakarta Pusat Dan Kejaksaan Negeri
Jakarta Pusat)
Syntax Idea, Vol. 6, No. 08, Agustus 2024 3633
pun, instansi Kepolisian dirasa lebih memiliki kewenangan tersebut yang akhirnya
dalam prosesnya pihak Kejaksaan pun akan terlibat sebagai Penuntut Umum. Namun
apabila kita kaji kembali, maka opsi tersebut haruslah diletakan sebagai langkah akhir
sebagaimana adagium ultimum remedium yang merupakan asas hukum yang
menempatkan hukum pidana sebagai alat terakhir dalam penegakan hukum.
Selanjutnya, terkait dengan hasil kinerja yang dilakukan oleh pihak Kejaksaan
Negeri Jakarta Pusat sendiri, dapat dikatakan cukup efektif. Hal ini oleh karena dari
setiap Surat Kuasa Khusus yang diberikan oleh BPJS Ketenagakerjaan kepada
Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat dapat menyelesaikannya dengan keberhasilan yang
cukup baik, yakni 56% dapat diselesaikan dengan perusahaan penunggak yang akhirnya
melakukan pembayaran baik langsung secara lunas maupun secara mencicil. Untuk
lebih jelasnya maka dapat dilihat dari tabel berikut:
Tabel 1 Hasil Kinerja Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat Dalam Penyelesaian Hukum
Periode Januari s.d 10 Juni 2024
Jumlah
Penunggak
Jumlah Tunggakan
Iuran
Total Tunggakan
Beserta Denda
Selesai
Ditangani
75 PKBU
Rp28.231.006.093,-
Rp30.871.040.474,-
42
Sumber: Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat
Dari pencapaian kinerja tersebut, maka peneliti juga akan mengkajinya dengan teori
efektivitas hukum untuk dapat menilai apakah upaya-upaya yang telah dilakukan oleh
Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat telah dapat dinyatakan efektif secara teori. Menurut Soerjono
Soekanto, teori efektifitas hukum adalah sejauh mana suatu kelompok dapat mencapai
tujuannya. Suatu hukum dapat dikatakan efektif apabila mempunyai akibat hukum yang
positif, dimana hukum mencapai tujuannya untuk mengarahkan atau mengubah tingkah laku
manusia sehingga menjadi tingkah laku yang berhukum (Orlando, 2022).
Lebih lanjut, Soerjono Soekanto berpendapat bahwa tolak ukur dari efektivitas dalam
penegakan hukum ada 5 (lima), antara lain (Soekanto, 2007):
Faktor Hukum (Undang-Undang)
Fungsi hukum ialah untuk menciptakan keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Namun,
yang menentukan apakah suatu hukum tersebut dapat berfungsinya dengan baik atau tidak
ialah tergantung dari aturan hukum itu sendiri.
Soerjono Soekanto menambahkan bahwa faktor hukum disini ditujukan pada undang-
undang itu sendiri dalam arti materil yakni peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat
oleh penguasa pusat maupun daerah yang sah. Maka itu peraturan tersebut mencakup,
Peraturan pusat yang berlaku untuk semua warga negara atau suatu golongan tertentu saja
maupun yang berlaku umum di sebagian wilayah negara dan Peraturan setempat yang hanya
berlaku di suatu tempat atau daerah saja.
Terdapat 3 (tiga) gangguan terhadap efektifitas penegakan hukum yang berasal dari
undang-undang, diantaranya ialah Pertama, Tidak diikutinya asas-asas berlakunya undang-
undang. Kedua, Belum adanya peraturan pelaksanaan yang sangat dibutuhkan. Ketiga,
Ketidakjelasan arti kata-kata di dalam Undang-Undang yang mengakibatkan kesimpangsiuran
di dalam penafsiran serta penerapan (Soekanto, 2004). Kesimpulan pokok pada penjelasan di
atas ialah mengenai pentingnya kejelasan pada “frasa” dalam undang-undang, agar
Ipon Susanti
3634 Syntax Idea, Vol. 6, No. 08, Agustus 2024
masyarakat dapat dengan mudah mengerti maksudnya dan tidak menimbulkan multitafsir di
dalamnya.
Hasil wawancara peneliti dengan Bapak Agung Irawan, S.H., M.H selaku Kasi Perdata
dan Tata Usaha Negera Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, menjelaskan bahwa terdapat
beberapa peraturan yang menjadi dasar dari pelaksanaan penegakan dalam rangka
penyelesaian hukum terhadap para perusahaan penunggak iuran BPJS Ketenagakerjaan baik
yang sifatnya langsung maupun tidak langsung, antara lain Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan
Penggantu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-
Undang, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia dan
Tentunya Perjanjian Kerjasama serta Surat Kuasa Khusus. Namun, dalam hal acuan utama
kami dalam menjalankan fungsi pengacara negara, ialah Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dan Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 86 Tahun 2013 Tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Kepada
Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara Dan Setiap Orang, Selain Pemberi Kerja,
Pekerja, Dan Penerima Bantuan Iuran Dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial.
Ia menambahkan bahwa semua aturan tersebut sudah sangat baik dan sangat jelas.
Tidak ada ketentuan-ketentuan antara Undang-Undang tersebut atau Pasal-Pasal yang saling
bertentangan. Sebaliknya justru saling menguatkan satu dengan yang lainnya. Serta yang
paling penting ialah bahwa para perusahaan penunggak iuran paham akan pasal-pasal tersebut
dan mengakui bahwa baik secara langsung maupun tidak langsung telah melanggar ketentuan
tersebut.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat penulis simpulkan bahwa pada sub faktor hukum
yang memiliki 3 (tiga) elemen apabila dikaitkan dengan pernyataan narasumber terkait
peraturan-peraturan yang digunakan sebagai landasan hukum untuk pelaksanaan tidaklah
terdapat kekurangan. Pertama, adanya dua aturan hukum yang mengatur terkait iuran BPJS
Ketenagakerjaan yang telah cukup baik, sistematis dan berlandaskan asas-asas berlakunya
undang-Undang. Kedua, peraturan-peraturan ini juga memiliki aturan tertinggi hingga
terendah yang memiliki sinkronisasi secara hierarki dan horizontal dan Undang-Undang BPJS
jo. Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2013, justru saling melengkapi antara aturan
hukum satu dengan yang lain yang digunakan. Ketiga, terkait dengan ketidakjelasan kata-
kata/frasa pada isi pasal di dalam Undang-Undang BPJS dan Peraturan Pemerintah Nomor 86
Tahun 2013, peneliti tidaklah menemukannya hal ini juga telah dikonfirmasi oleh para
narasumber. Maka dengan demikian unsur faktor hukum telah terpenuhi.
Faktor Penegakan Hukum
Pada elemen ini, yang menentukan efektif atau tidaknya kinerja hukum tertulis adalah
aparat penegak hukum. Dalam hubungan ini dikehendaki adanya aparatur yang handal
sehingga aparat tersebut dapat melakukan tugasnya dengan baik. Secara sosiologis, setiap
penegak hukum mempunyai kedudukan dan peranan. Kedudukan merupakan posisi tertentu di
dalam struktur kemasyarakatan, yang mungkin tinggi, sedang atau rendah. Kedudukan
tersebut sebenarnya merupakan suatu wadah yang isinya adalah hak-hak dan kewajiban
tertentu. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban itu merupakan peranan (role occupant).
Suatu hak sebenarnya merupakan wewenang untuk berbuat atau tidak berbuat,
sedangkan kewajiban adalah beban atau tugas. Suatu peranan tertentu dapat dijabarkan ke
dalam unsur-unsur, sebagai berikut (Soekanto & Mamudji, 1979):
Efektivitas Penegakan Hukum Terhadap Perusahaan yang Mengabaikan Tunggakan Iuran BPJS
Ketenagakerjaan (Studi Kasus Pada BPJS Ketenagakerjaan Jakarta Pusat Dan Kejaksaan Negeri
Jakarta Pusat)
Syntax Idea, Vol. 6, No. 08, Agustus 2024 3635
Peranan ideal (ideal role), yakni Peranan yang dilakukan seseorang atau lembaga yang
didasarkan pada nilai-nilai ideal yang seharusnya dilakukan sesuai dengan kedudukannya
dalam suatu sistem. Peranan yang seharusnya (expected role), yakni Peran yang dilakukan
seseorang atau lembaga yang didasarkan pada seperangkat norma yang berlaku pada
kehidupan masyarakat. Peranan yang dianggap oleh diri sendiri (perceived role), yakni
Peranan yang dilakukan seseorang yang memiliki kewenangan untuk memutuskan sebuah
tindakan yang dalam peraturannya belumlah diatur, hal ini dapat dikatakan diskresi. Peranan
yang sebenarnya dilakukan (actual role), yakni Pearanan yang dilakukan seseorang atau
lembaga yang didasarkan pada kenyataan secara konkret dilapangan.
Hasil wawancara peneliti dengan Bapak Agung Irawan, S.H., M.H selaku Kasi Perdata
dan Tata Usaha Negera Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, menjelaskan bahwa dalam
melaksanakan penegakan hukum, Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat lebih menggunakan
pendekatan yang menitikberatkan secara non litigasi (mediasi hingga somasi) yang bertujuan
utamanya untuk mendapatkan pembayaran sebagaimana kewajiban dari para perusahaan
penunggak dan demi meminimalisir juga kerugian-kerugian yang tidak perlu diderita oleh
para pihak.
Kemudian ia menambahkan bahwa meski terdapat opsi pidana yang disematkan dalam
Undang-Undang BPJS, namun menurut kami opsi tersebut haruslah diletakan sebagai langkah
akhir sebagaimana adagium ultimum remedium yang merupakan asas hukum yang
menempatkan hukum pidana sebagai alat terakhir dalam penegakan hukum. Hal ini demi
menciptakan keseimbangan dalam tiga nilai dasar dalam hukum yakni asas kepastian hukum,
asas keadilan dan asas kemanfaatan. Kami menilai bahwa dengan dilakukannya penegakan
secara pidana tanpa melakukan sedemikian upaya non-litigasi maupun litigasi (gugatan),
maka akan mengesampingkan asas kemanfaatan, dimana apabila Dirut dari perusahaan
tersebut dipidana, maka dapat menimbulkan masalah baru dengan perusahaannya yang
mungkin saja tidak terurus dan berakhir bangkrut dan pada akhirnya justru merugikan para
pekerja dari perusahaan tersebut. Dengan demikian kami lebih memilih upaya penegakan
dalam rangka penyelesaian sengketa secara lebih humanis dan terbukti hal tersebut lebih
efektif dengan hasil kinerja sampai dengan saat ini.
Berdasarkan hal tersebut, peneliti menilai meski terdapat ketentuan pidana yang telah
disediakan oleh Undang-Undang BPJS sebagai langkah tegas untuk memberikan efek jera,
Namun justru penelaahan dari pihak Kejaksaan dengan lebih menitikberatkan upaya mediasi
dan somasi selama ini dapat dikatakan sukses. Maka dapat dibenarkan apabila memang
upaya-upaya hukum non litigasi belumlah dilakukan dengan maksimal dan dengan cara
inovasi, maka penegakan secara pidana memang seyogyanya harus ditempatkan pada urutan
paling akhir sebagai langkah yang memang dirasa tidak ada pilihan lain. Dengan demikian
menurut peneliti apa yang telah dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat justru sebagai
contoh yang cukup ideal dalam menerapkan sub. unsur-unsur elemen pada faktor penegakan
hukum yakni peranan ideal, peranan yang seharusnya, peranan yang dianggap oleh diri sendiri
dan peranan yang seharusnya dilakukan. Maka dengan demikian unsur pada faktor penegakan
hukum telah terpenuhi.
Faktor Sarana atau Fasilitas Pendukung
Faktor sarana atau fasilitas pendukung mencakup perangkat lunak dan perangkat keras.
Bahwa para penegak hukum tidak dapat bekerja dengan baik, apabila tidak dilengkapi dengan
kendaraan dan alat-alat komunikasi yang proporsional. Oleh karena itu, sarana atau fasilitas
mempunyai peranan yang sangat penting di dalam penegakan hukum. Tanpa adanya sarana
Ipon Susanti
3636 Syntax Idea, Vol. 6, No. 08, Agustus 2024
atau fasilitas tersebut, tidak akan mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang
seharusnya dengan peranan yang aktual.
Soerjono Soekanto memiliki patokan efektivitas elemen-elemen tertentu dari prasarana,
dimana prasarana tersebut harus secara jelas memang menjadi bagian yang memberikan
kontribusi untuk kelancaran tugas-tugas aparat di tempat atau lokasi kerjanya. Adapun
elemen-elemen tersebut adalah 1). Yang tidak ada-diadakan yang baru betul , 2). Yang rusak
atau salah-diperbaiki atau dibetulkan, 3). Yang kurang-ditambah, 4). Yang macet-dilancarkan,
5). Yang mundur atau merosot-dimajukan atau ditingkatkan (Soekanto, 2004). Kemudian, Ia
menambahkan juga bahwa khususnya untuk faktor sarana atau fasilitas, dapat dilihat melalui
beberapa hal diantaranya ialah: Tenaga manusia yang terdidik dan terampil, Organisasi yang
baik, Peralatan yang memadai, Keuangan yang cukup (Soekanto, 2004).
Hasil wawancara peneliti dengan Bapak Agung Irawan, S.H., M.H selaku Kasi Perdata
dan Tata Usaha Negera Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, menjelaskan bahwa pada dasarnya
kami sebagai Pengacara Negara dalam hal melakukan upaya hukum terkait permasalahan
tunggakan iuran ini telah berbekal diri baik secara sumber daya manusia, keorganisasian yang
baik, peralatan yang cukup memadai dan keuangan yang cukup. Hal ini dapat dilihat dari hasil
kinerja Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat sendiri dalam melakukan penyelesaian sengketa yang
mana tidak dapat dilakukan oleh pihak BPJS Ketenagakerjaan Jakarta Pusat.
Pembekalan diri tentunya sejak awal mendaftarkan diri sebagai jaksa, kemudian
mengikuti pelatihan-pelatihan saat menjadi jaksa hingga membekali diri dengan keahlian-
keahlian khusus bersertifikat seperti pelatihan mediator, pelatihan negosiasi dan lainnya.
Terkait dengan keorganisasian pun secara umum kami seiring sejalan antara perintah dari atas
hingga kebawah untuk dapat menerapkan apa yang menjadi prioritas demi terciptanya
kebaikan untuk negara, termasuk didalamnya ialah masyarakat. Kemudian dengan peralatan
dan keuangan yang saat ini cukup, kami lakukan seefisien mungkin agar penegakan tetap
dapat dijalankan dan terbukti dengan menekankan pendekatan humanis yakni mediasi dan
somasi, kami berhasil mengembalikan dana yang memang seharusnya menjadi hak para
pekerja untuk dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan yang mana prosentase tiap tahun mencapai
lebih dari 60% dan mendapatkan banyak penghargaan atas capaian tersebut.
Hal tersebut apabila peneliti kaji berdasarkan studi dokumen internet dan konfirmasi
dari para narasumber yakni BPJS Ketenagakerjaan Jakarta Pusat, Anggota Dewan Jaminan
Sosial Nasional dan Ketua Forum Peserta Jaminan Sosial mendapatkan kesimpulan bahwa
pada dasarnya Jaksa sebagai Pengacara Negara lebih memiliki kekuatan dalam hal penegakan
hukum baik secara non litigasi maupun litugasi, hal ini menjadikan pilihan yang tepat dengan
menyerahkan permasalahan tunggakan iuran BPJS Ketenagakerjaan kepada instansi
Kejaksaan ini. Selain itu secara sumber daya manusia dalam hal ini keilmuan dan praktik
dalam dunia hukum serta keorganiasasi yang memiliki kewenangan lebih luas, maka
Kejaksaan pastilah lebih memiliki tingkatan beberapa level diatas pengawas dan pemeriksan
dari BPJS Ketenagakerjaan itu sendiri.
Bukti-bukti hasil kinerja dengan pengembalian uang kepada negara dan penghargaan-
penghargaan pun menjadi bukti nyata dari pencapaian Kejaksaan sebagai pengacara negara
meskipun dengan anggaran/keuangan yang dirasa tidak sebanding yang diperoleh dari BPJS
Ketenagakerjaan sebagai fasilitas untuk melakukan penegakan dalam rangka penyelesaian
sengketa ini. Maka dengan hal-hal tersebut, peneliti berkesimpulan bahwa terhadap unsur
elemen faktor pendukung telah terpenuhi.
Faktor Masyarakat
Efektivitas Penegakan Hukum Terhadap Perusahaan yang Mengabaikan Tunggakan Iuran BPJS
Ketenagakerjaan (Studi Kasus Pada BPJS Ketenagakerjaan Jakarta Pusat Dan Kejaksaan Negeri
Jakarta Pusat)
Syntax Idea, Vol. 6, No. 08, Agustus 2024 3637
Penegak hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di
dalam masyarakat. Setiap warga masyarakat atau kelompok sedikit banyaknya mempunyai
kesadaran hukum. Persoalan yang timbul adalah taraf kepatuhan hukum, yaitu kepatuhan
hukum yang tinggi, sedang, atau kurang. Adanya derajat kepatuhan hukum masyarakat
terhadap hukum, merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum.
Tingkat kesadaran masyarakat terhadap suatu aturan hukum, dapat menentukan
berfungsinya aturan hukum itu sendiri. Masalah yang muncul adalah bagaimana taraf
kepatuhan masyarakat akan aturan hukum. Apakah kepatuhan masyarakat tinggi, sedang atau
kurang, yang mana kepatuhan masyarakat terhadap aturan hukum tersebut merupakan tolak
ukur berfungsinya suatu aturan tersebut (Soekanto, 2011).
Salah satu dampak/akibat positif dari masyarakat yang mengetahui hukum adalah
masyarakat jadi memiliki pengetahuan mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban mereka
menurut hukum. Kalau warga masyarakat sudah mengetahui hak dan kewajiban mereka,
maka mereka akan juga mengetahui aktifitas-aktifitas penggunaan upaya-upaya hukum untuk
melindungi dan mengembangkan kebutuhan mereka dengan aturan yang ada, namun
sebaliknya justru masyarakat masih belum mengetahui fungsi hukum untuk memberikan
kompensasi hukum bagi mereka.
Soerjono Soekanto memberikan beberapa faktor mengapa kompensasi hukum untuk
masyarakat kurang atau bahkan tidak tercipta untuk masyarakat, diantaranya ialah (Soekanto,
2011) :
Tidak mengetahui atau tidak menyadari, apabila hak-hak mereka dilanggar atau
terganggu. Tidak mengetahui akan adanya upaya-upaya hukum untuk melindungi
kepentingan-kepentingannya Tidak berdaya untuk memanfaatkan upaya-upaya hukum karena
faktor-faktor keuangan, psikis, sosial, atau politik. Tidak mempunyai pengalaman menjadi
anggota organisasi yang memperjuangkan kepentingan-kepentingannya. Mempunyai
pengalaman-pengalaman kurang baik di dalam proses interaksi dengan berbagai unsur
kalangan hukum formal.
Hasil wawancara peneliti dengan Bapak Agung Irawan, S.H., M.H selaku Kasi Perdata
dan Tata Usaha Negera Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat dan Bapak Sony Mardiyanto selaku
Ketua Umum Forum Peserta Jaminan Sosial menjelaskan bahwa dari sisi pekerja tingkat
kesadaran dan kepatuhan mengacu pada dua faktor yakni rendahnya pendidikan dan
kemiskinan. Sedangkan dari sisi pengusaha terdapat dua faktor juga yakni kemampuan
(stabilitas keuangan) dan kemauan (tidak berniat).
Jadi selain adanya peraturan dan disosialisasikannya peraturan-peraturan tersebut,
namun apabila tingkat kesadaran dari pada masyarakat sebagai pekerja masih sangat rendah
dikarenakan tingkat pendidikan yang rendah dan kemiskinan, maka hukum itu sendiri sulit
untuk dapat diterapkan apabila hidup di dalam lingkungan masyarakat dan inilah yang terjadi
saat ini dikalangan masyarakat dimana fokus utama para pekerja ialah gaji, sedangkan
terhadap BPJS Ketenagakerjaan dapat dikatakan masih acuh. Maka dari itu menjadi pekerjaan
rumah bagi kita semua khususnya pemerintah untuk dapat menaikkan angka pendidikan tinggi
dan menurunkan angka kemiskinan dengan berbagai program. Hal ini agar dapat
menumbuhkan tingkat kesadaran hukum terhadap masyarakat.
Sebaliknya, terhadap pengusaha harus difasilitasi selalu agar kemampuan (stabilitas
keuangan) meningkat dengan cara pemerintah berkewajiban mempertahankan keadaan
ekonomi nasional untuk tetap stabil, dengan demikian perusahaan akan memiliki daya
kamampuan untuk terus mengembangkan perusahaannya agar mendapatkan profit lebih
tinggi, yang dari hal tersebut berdampak pada berjalannya rutinitas kewajibannya terhadap
hak-hak pekerja salah satunya terkait pembayaran iuran BPJS Ketenagakerjaan.
Ipon Susanti
3638 Syntax Idea, Vol. 6, No. 08, Agustus 2024
Dalam keadaan masyarakat yang berpendidikan dan taraf kehidupan yang membaik,
serta daya kemampuan pengusaha yang semakin stabil, maka akan menciptakan tingkat
kesadaran yang lebih tinggi dan dari hal tersebut, secara tidak langsung akan menurunkan
faktor kemauan yang tidak baik (tidak berniat membayar) oleh karena tingkat kesadaran yang
tinggi tersebut.
Dari uraian di atas, peneliti sependapat bahwa alasan taraf hidup dan pendidikan
menjadi faktor utama dalam tingkat kesadaran khususnya kesadaran hukum pada masyarakat.
Karena sulit menumbuhkan tingkat kesadaran dan kepatuhan apabila kesejahteraan masih
belum stabil ditambah tingkat pendidikan yang rendah yang membuat pemikiran sempit dan
praktis akan lebih mendominasi. Maka, menjadi tugas bersama antar lembaga bahkan turut
serta masyarakat untuk membuat program-program pemecahan masalah yang bersifat
konsisten dari hulu ke hilir atau pusat. Salah satunya dengan cara meningkatkan pendidikan
dan menurunkan angka kemiskinan. Maka atas dasar uraian di atas, peneliti menilai bahwa
unsur faktor masyarakat belumlah dapat terpenuhi, walaupun unsur ini telah tertutup dengan
hasil kinerja Kejaksaan yang dapat melakukan penegakan dalam rangka penyelesaian
sengketa.
Faktor Kebudayaan
Kebudayaan pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku,
nilai-nilai mana yang merupakan konsepsi-konsepsi yang abstrak mengenai apa yang
dianggap baik (sehingga dituruti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari). Hukum
perundang-undangan tersebut harus dapat mencerminkan nilai-nilai yang menjadi dasar dari
hukum adat, agar hukum perundang-undangan tersebut dapat berlaku secara aktif.
Hasil wawancara peneliti dengan Bapak Agung Irawan, S.H., M.H selaku Kasi Perdata
dan Tata Usaha Negera Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat dan Bapak Sony Mardiyanto selaku
Ketua Umum Forum Peserta Jaminan Sosial menjelaskan bahwa pada faktor budaya erat
kaitannya dengan faktor masyarakat, dimana tingkat kesadaran masyarakat berakibat pada
pola pikir sempit dan praktis. Kemudian, pola pikir sempit nan praktis tersebut diturunkan
pada anak-anaknya sehingga menjadi budaya yang dianggap benar.
Contohnya ketika orang tua meyakini bahwa upah pekerja yang tidak sesuai UMR
masih dapat diterima daripada tidak mendapatkan upah sama sekali, kemudian pola pikir
tersebut diturunkan pada anak-anaknya, sehingga mengakar dan ketika ketentuan negara
terkait UMR yang tujuannya untuk lebih mensejahterakan pekerja, justru pada akhirnya
dikalahkan dengan budaya tadi. Sehingga dalam penerapannya akan menemukan kesulitan
dari masyarakat itu sendiri.
Apabila hal tersebut dikaitkan dengan peraturan mengenai BPJS Ketenagakerjaan
dimana ketentuan ini merupakan upaya pemerintah untuk dapat melindungi kesejahteraan
pekerja di masa yang akan datang, justru pada kenyataannya dilapangan pola pikir
menyesatkan sebagaimana contoh, telah membuat ketentuan terkait BPJS Ketenagakerjaan
secara tidak langsung tidaklah mendapatkan dukungan dari masyarakat. Hal ini yang menjadi
hambatan penerapan sekaligus hambatan terhadap penegakan terkait pelanggaran terhadap
hak pekerja berupa BPJS Ketenagakerjaan dan hal seperti ini diluar kuasa dari Jaksa sebagai
Pengacara Negara.
Berdasarkan penjelasan tersebut, peneliti pada dasarnya sependapat bahwa terkait
keefektivitasan suatu hukum pada unsur faktor masyarakat dan faktor budaya pada dasarnya
tidaklah dapat dibebankan kepada Jaksa sebagai Pengacara Negara. Hal ini diperlukan
keseriusan peran dari pemerintah sebagai pengatur dan pengarah dari tujuan suatu bangsa.
Dengan demikian peneliti menilai bahwa pada unsur faktor budaya belumlah dapat terpenuhi.
Efektivitas Penegakan Hukum Terhadap Perusahaan yang Mengabaikan Tunggakan Iuran BPJS
Ketenagakerjaan (Studi Kasus Pada BPJS Ketenagakerjaan Jakarta Pusat Dan Kejaksaan Negeri
Jakarta Pusat)
Syntax Idea, Vol. 6, No. 08, Agustus 2024 3639
Namun peneliti sangat memaklumi akan keterbatasan ini, dan tetap mengapresiasi atas kinerja
Kejaksaan yang mana dalam hal melakukan penegakan dalam rangka penyelesaian sengketa
ini tetap dapat dilakukan secara efektif walaupun tanpa dua unsur yakni faktor masyarakat dan
faktor budaya yang mendukung.
Kesimpulan akhir dari hasil analisis peneliti terhadap penegakan dalam rangka
penyelesaian hukum oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat terhadap perusahaan-perusahaan
yang mengabaikan tunggakan iuran di wilayah Jakarta Pusat berdasarkan teori efektivitas
hukum ialah bahwa kinerja dari Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat dapat dikatakan efektif, hal
ini sebagaimana 3 (tiga) dari 5 (lima) variabel/elemen tolak ukur teori efektivitas hukum telah
dapat dipenuhi oleh Kejaksaan.
Kemudian peneliti juga akan menganalisis terkait efektivitas penegakan dalam rangka
penyelesaian hukum oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat terhadap perusahaan-perusahaan
yang mengabaikan tunggakan iuran di wilayah Jakarta Pusat dengan teori perlindungan
hukum, guna mengetahui apakah perlindungan hukum bagi pekerja khususnya terkait hak
BPJS Ketenagakerjaan ditegakkan dengan baik.
Mengutip pendapat Harjono, bahwa perlindungan hukum sebagai perlindungan dengan
menggunakan sarana hukum atau perlindungan yang diberikan oleh hukum untuk kemudian
ditujukan kepada perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan tertentu, yaitu dengan
menjadikan kepentingan-kepentingan yang perlu untuk dilindungi tersebut dalam sebuah hak
hukum. Kemudian, mengutip pendapat Philipus M. Hadjon, bahwa sarana perlindungan
hukum dapat ditinjau dari 2 (dua) hal, yakni perlindungan hukum secara preventif dan
represif. Perlindungan hukum secara preventif dapat ditempuh dengan 2 (dua) sarana yakni
melalui sarana peraturan perundang-undangan dan melalui sarana perjanjian, sedangkan
perlindungan hukum secara represif dapat ditempuh melalui jalur peradilan.
Dari uraian teori perlindungan hukum di atas, pada dasarnya terkait dengan
perlindungan upah pekerja telah terimplementasi atau tertuang dalam Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2011 tentang BPJS. Pada Pasal 15 menyatakan bahwa:
Pemberi Kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan Pekerjanya sebagai
Peserta kepada BPJS sesuai dengan program Jaminan Sosial yang diikuti. Pemberi Kerja,
dalam melakukan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib memberikan data
dirinya dan Pekerjanya berikut anggota keluarganya secara lengkap dan benar kepada BPJS.
Penahapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden.
Kemudian, pada Pasal 16 menyatakan bahwa:
Setiap orang, selain Pemberi Kerja, Pekerja, dan penerima Bantuan Iuran, yang
memenuhi persyaratan kepesertaan dalam program Jaminan Sosial wajib mendaftarkan
dirinya dan anggota keluarganya sebagai Peserta kepada BPJS, sesuai dengan program
Jaminan Sosial yang diikuti.
Setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memberikan data mengenai
dirinya dan anggota keluarganya secara lengkap dan benar kepada BPJS.
Sanksi bagi perusahaan yang tidak melaksanakan ketentuan dalam Pasal 15 dan Pasal
16 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS ialah dapat berupa sanksi
administrasi dan sanksi pidana. Sanksi administrasi dapat dilihat pada Pasal 17 ayat (1) dan
(2) yakni:
Pemberi Kerja selain penyelenggara negara yang tidak melaksanakan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2), dan setiap orang yang tidak
melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dikenai sanksi administratif.
Ipon Susanti
3640 Syntax Idea, Vol. 6, No. 08, Agustus 2024
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a. teguran tertulis, b.
denda; dan/atau c. tidak mendapat pelayanan publik tertentu.
Sementara itu sanksi pidana pun dapat diberikan, hal ini sebagaimana ketentuan pada
Pasal 55 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS yang menyatakan bahwa
“Pemberi Kerja yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1)
atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun atau pidana denda
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”. Namun pada praktiknya walaupun
Undang-Undang telah memberikan ketentuan tegas sebagaimana hal tersebut, dalam
penerapannya pihak BPJS Ketenagakerjaan belum berhasil menurunkan angka pelanggaran
terhadap penunggakan iuran BPJS Ketenagakerjaan. Hingga pada akhirnya meminta bantuan
hukum kepada Kejaksaan sebagai Pengacara Negara untuk menyelesaikan permasalah
tersebut.
Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat yang melakukan penegakan dalam rangka penyelesaian
sengketa dengan menitikberatkan penanganan secara non litigasi (mediasi dan somasi), maka
apabila peneliti kaitkan dengan rumusan perlindungan hukum dari Philipus M. Hadjon,
termasuk ke dalam perlindungan hukum secara preventif. Oleh karena cara tersebut ternyata
efektif dan membawa hasil yang sangat memuaskan dengan jumlah pengembalian dana
(pembayaran iuran) lebih dari 60% dari target di setiap pemberian kuasa khusus, maka dapat
disimpulkan bahwa kinerja dari Kejaksaan telah memenuhi unsur perlindungan hukum secara
preventif dari rumusan Philipus M. Hadjon ini.
Sementara itu, apabila peneliti kaitkan dengan perlindungan represif berdasarkan
rumusan teori perlindungan hukum Philipus M. Hadjon, maka hal tersebut belumlah
terpenuhi. Namun perlu diketahui bahwa perlindungan respresif ini bukanlah tidak ingin
dipenuhi oleh Kejaksaan, melainkan Kejaksaan lebih ingin menggunakannya apabila memang
dirasa sudah tidak ada jalan lain atau dapat dikatakan langkah terakhir sebagaimana adagium
ultimum remedium yang merupakan asas hukum yang menempatkan hukum pidana sebagai
alat terakhir dalam penegakan hukum.
Jadi dalam hal ini peneliti menilai bahwa apa yang dilakukan oleh Kejaksaan Negeri
Jakarta Pusat dapatlah diterima dengan tidak langsung menggunakan fasilitas dari Undang-
Undang BPJS berupa ketentuan Pasal 55 terkait dasar hukum pemidanaan. Dengan syarat
memang metode non litigasi seperti mediasi dan somasi terbukti efektif dan menghasilkan
sebuah keberhasilan dalam hal penyelesaian sengketa yang dalam hal ini ialah terkait
pelanggaran berupa penunggakan iuran BPJS Ketenagakerjaan yang dilakukan oleh perusahaan-
perusahaan.
KESIMPULAN
Latar belakang dari BPJS Ketenagakerjaan Jakarta Pusat memberikan kuasa khusus
pada Kejaksaan sebagai Pengacara Negara untuk penegakan dalam rangka penyelesaian
hukum terhadap perusahaan-perusahaan yang mengabaikan tunggakan iuran di Jakarta ialah
dikarenakan tidak efektifnya kinerja penegakan hukum yang dilakukan oleh Deputi
Pemeriksaan dan Pengawasan BPJS Ketenagakerjaan selama ini baik dikarenakan faktor-
faktor internal maupun faktor-faktor eksternal. Efektivitas penyelesaian sengketa yang
dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat sebagai Pengacara Negara dengan
menggunakan metode non-litigasi dan litigasi dapat dikatakan sangat sukses. Dari
keberhasilan tersebut, pendekatan yang lebih humanis dengan menitikberatkan metode
mediasi dan somasi yang fokus tujuannya agar dapat diperolehnya pengembalian dana
(pembayaran iuran) oleh para perusahaan penunggak dengan meminimalisir risiko
Efektivitas Penegakan Hukum Terhadap Perusahaan yang Mengabaikan Tunggakan Iuran BPJS
Ketenagakerjaan (Studi Kasus Pada BPJS Ketenagakerjaan Jakarta Pusat Dan Kejaksaan Negeri
Jakarta Pusat)
Syntax Idea, Vol. 6, No. 08, Agustus 2024 3641
kemungkinan kerugian-kerugian akibat konflik hukum, apabila dilakukan secara litigasi atau
berkepanjangan.
BIBLIOGRAFI
Ali, Zainuddin. (2021). Metode penelitian hukum. Sinar Grafika.
Diantha, I. Made Pasek, Dharmawan, Ni Ketut Supasti, & Artha, I. Gede. (2018). Metode
Penelitian Hukum dan Penulisan Disertasi. Denpasar: Swastu Nulus.
Ningtyas, Dwi Aprilia. (2019). Pengaruh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional Terhadap Kebijakan Mutu Pelayanan Kesehatan Di
Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL). INFOKES (Informasi
Kesehatan), 3(1), 4257.
Orlando, Galih. (2022). Efektivitas Hukum dan Fungsi Hukum di Indonesia. Tarbiyah Bil
Qalam: Jurnal Pendidikan Agama Dan Sains, 6(1).
Peter Mahmud Marzuki. (2016). Pengantar Ilmu Hukum. jakarta: pranata media grup.
Raden Ayu, Khusnul Amalia. (2023). Penegakan Hukum Terhadap Perusahaan Penunggak
Pembayaran Iuran Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Di Kota Tangerang Selatan.
Rasjidi, Ira Thania. (2015). Penyerapan Istilah Asing Pada Terminologi Hukum Di Indonesia.
Litigasi, 16(2).
Situmeang, Putri Rini, Putri, Lia Ulvi Miranata, & Pebrianti, Ayu. (2023). Implementasi
Perlindungan Hak Pekerja terkait Kecelakaan Kerja oleh BPJS Ketenagakerjaan.
Deposisi: Jurnal Publikasi Ilmu Hukum, 1(4), 270285.
Soekanto, Soerjono. (2004). Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum.
Soekanto, Soerjono. (2007). Sosiologi Suatu Pengantar--Ed. Baru41. Jakarta (ID): PT Raja
Grafindo Persada.
Soekanto, Soerjono. (2011). Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum.
Soekanto, Soerjono, & Mamudji, Sri. (1979). Peranan dan Penggunaan Kepustakaan di Dalam
Penelitian Hukum. Jakarta: Pusat Dokumen Universitas Indonesia.
Suhartoyo, Suhartoyo. (2018). Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Peserta BPJS Kesehatan di
Rumah Sakit. Administrative Law and Governance Journal, 1(1), 4966.
Suwandi, Fahrul Ramdan, & Wardana, Dodi Jaya. (2022). Aspek Hukum Keberlakuan BPJS
Ketenagakerjaan Terhadap Perlindungan Dan Keamanan Kerja. SIBATIK JOURNAL:
Jurnal Ilmiah Bidang Sosial, Ekonomi, Budaya, Teknologi, Dan Pendidikan, 2(1), 251
262.
Tugas, Dodik. (2017). Indek Berita dan Artikel Surat Kabar Jawa Tengah XXIV Nomor 4.
Indek Berita Dan Artikel Surat Kabar Jawa Tengah XXIV Nomor 4.
Tunggal, Hadi Setia. (2014). Seluk Beluk Ketenagakerjaan. Jakarta: Harvarindo.
Copyright holder:
Ipon Susanti (2024)
First publication right:
Syntax Idea
This article is licensed under: