How to cite:
Qorry A'yuna Putri (2024) Konsep Kewajiban Keturunan dalam Islam dan Fenomena Childfree di
Kalangan Gen Z Ditinjau dari Mashlahah Mursalah, (06) 08,
E-ISSN:
2684-883X
KONSEP KEWAJIBAN KETURUNAN DALAM ISLAM DAN FENOMENA
CHILDFREE DI KALANGAN GEN Z DITINJAU DARI MASHLAHAH MURSALAH
Qorry A'yuna Putri
Universitas Islam Negeri Sultan Thaha Saifuddin, Indonesia
Abstrak
Fenomena childfree atau keputusan untuk tidak memiliki anak semakin populer di kalangan
Generasi Z, yang hidup di era digital dan globalisasi. Keputusan ini didasari oleh berbagai
alasan, termasuk kekhawatiran tentang overpopulasi, dampak lingkungan, kondisi ekonomi,
serta kesehatan mental dan kesejahteraan pribadi. Penelitian ini bertujuan untuk
mengeksplorasi dan menganalisis konsep kewajiban keturunan dalam Islam serta
mengevaluasi fenomena childfree di kalangan Gen Z dari perspektif mashlahah mursalah.
Tujuan utamanya adalah untuk memahami bagaimana prinsip-prinsip syariat dapat diterapkan
dalam konteks modern dan bagaimana keputusan untuk tidak memiliki anak dapat
diintegrasikan dengan nilai-nilai Islam yang menekankan kemaslahatan dan kesejahteraan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan mengandalkan data
sekunder yang diperoleh dari berbagai literatur, termasuk buku, artikel jurnal, dan dokumen-
dokumen terkait. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keputusan untuk tidak memiliki anak
dapat dipahami dan dievaluasi melalui prinsip mashlahah mursalah, dengan
mempertimbangkan kesejahteraan individu dan masyarakat. Dalam situasi di mana keputusan
untuk tidak memiliki anak didasari oleh alasan yang sah, seperti kesehatan mental, kondisi
ekonomi, atau kekhawatiran lingkungan, hal ini dapat dianggap sebagai pilihan yang valid
dan membawa kemaslahatan yang lebih besar. Prinsip mashlahah mursalah memberikan
kerangka kerja yang fleksibel untuk menilai keputusan ini, memastikan bahwa setiap tindakan
yang diambil sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan, kemaslahatan, dan rahmat dalam Islam.
Kata Kunci: Kewajiban Keturunan, Generasi Z, Childfree, Mashlahah Mursalah, Ushul Fiqh.
Abstract
The phenomenon of childfree or the decision not to have children is increasingly popular
among Generation Z, who live in the era of digital and globalization. This decision was based
on a variety of reasons, including concerns about overpopulation, environmental impacts,
economic conditions, and mental health and personal well-being. This research aims to
explore and analyze the concept of obligatory descent in Islam and evaluate the phenomenon
of childfreedom among Gen Z from the perspective of mashlahah murlah. The main objective
is to understand how the principles of sharia can be applied in a modern context and how the
decision not to have children can be integrated with Islamic values that emphasize benefit and
welfare. This research uses a descriptive qualitative approach by relying on secondary data
obtained from various literature, including books, journal articles and related documents.
The research results show that the decision not to have children can be understood and
evaluated through the principle of mashlahah murlah, taking into account the welfare of the
individual and society. In situations where the decision not to have children is based on valid
JOURNAL SYNTAX IDEA
pISSN: 2723-4339 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 6, No. 08, Agustus 2024
Implementasi SSL VPN (Secure Socket Layer Virtual Private Network) Pada Badan Bank
Tanah
Syntax Idea, Vol. 6, No. 08, Agustus 2024 3387
reasons, such as mental health, economic conditions, or environmental concerns, this can be
considered a valid choice and bring greater benefits. The principle of mashlahah murlah
provides a flexible framework for assessing these decisions, ensuring that any action taken is
in accordance with the principles of justice, benefit and mercy in Islam.
Keywords: Obligations of Heredity, Generation Z, Childfree, Mashlahah Murlah, Ushul Fiqh
PENDAHULUAN
Pada era modern ini saat ini fenomena sosial seringkali mengalami perubahan yang
signifikan. Salah satu fenomena yang menarik perhatian adalah pilihan untuk hidup tanpa
anak atau yang dikenal dengan istilah 'childfree'. Pilihan ini semakin populer di kalangan
Generasi Z, kelompok yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012. Keputusan untuk tidak
memiliki anak seringkali didasari oleh berbagai alasan, mulai dari ekonomi, kesehatan, hingga
pertimbangan lingkungan. Namun, fenomena ini juga memunculkan berbagai diskusi dan
debat, terutama dalam konteks nilai-nilai agama dan budaya. Islam sebagai agama yang
komprehensif memiliki pandangan yang mendalam terkait kehidupan keluarga dan tanggung
jawab keturunan (Maulida Rohmatul Laili et al., 2023). Dalam Islam, memiliki keturunan
bukan hanya dianggap sebagai anugerah, tetapi juga sebagai salah satu kewajiban. Konsep ini
dikenal dengan istilah 'kewajiban keturunan' yang melibatkan berbagai aspek, termasuk
kewajiban menjaga keturunan, mendidik anak dalam ajaran Islam, dan meneruskan nilai-nilai
agama. Namun, dengan berkembangnya fenomena childfree, muncul pertanyaan mengenai
bagaimana konsep kewajiban keturunan ini dapat dipahami dan diterapkan dalam konteks
modern, khususnya di kalangan Gen Z (Munawarudin, 2023).
Dalam ajaran Islam keluarga adalah unit dasar masyarakat dan memiliki peran penting
dalam membentuk individu yang beriman dan bertakwa. Al-Quran dan Hadis Nabi
Muhammad SAW menekankan pentingnya memiliki keturunan yang shalih dan shalihah.
Ayat-ayat Al-Quran seperti dalam Surah Al-Furqan ayat 74 :











Artinya : Dan orang-orang yang berkata, “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada
kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami
pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.”
Surah Al-Furqan ayat 74 menggambarkan doa orang-orang beriman yang memohon
kepada Allah untuk diberkahi dengan pasangan dan keturunan yang menjadi penyejuk mata
dan penyenang hati mereka. Ayat ini menekankan pentingnya memiliki keluarga yang
harmonis dan keturunan yang shalih dan shalihah dalam pandangan Islam. Keterkaitannya
dengan konsep kewajiban keturunan dalam Islam adalah bahwa memiliki anak yang baik
merupakan salah satu tujuan dari pernikahan dalam Islam, dimana orang tua diharapkan dapat
mendidik anak-anak mereka menjadi generasi yang bertakwa dan mampu memimpin serta
memberikan teladan bagi orang lain. Ayat ini juga menunjukkan bahwa memiliki keturunan
yang berakhlak baik adalah bentuk keberkahan dan anugerah dari Allah yang harus dijaga dan
disyukuri, serta menjadi motivasi bagi orang tua untuk berusaha membentuk keluarga yang
saleh sesuai dengan ajaran Islam.
Kewajiban keturunan dalam Islam melibatkan tanggung jawab orang tua untuk
memberikan pendidikan agama, moral, dan etika kepada anak-anak mereka. Ini mencakup
upaya untuk memastikan bahwa anak-anak tumbuh dalam lingkungan yang Islami dan
mendapatkan pengetahuan yang cukup tentang ajaran agama. Selain itu, orang tua juga
memiliki kewajiban untuk menyediakan kebutuhan dasar anak-anak mereka, termasuk
makanan, pakaian, tempat tinggal, dan Pendidikan (Fajriyani, 2023). Generasi Z sebagai
Qorry A'yuna Putri
3388 Syntax Idea, Vol. 6, No. 08, Agustus 2024
generasi yang tumbuh di era digital dan globalisasi, menghadapi tantangan dan dinamika yang
berbeda dibandingkan generasi sebelumnya. Mereka cenderung lebih terbuka terhadap
berbagai perspektif dan lebih kritis dalam mengambil keputusan terkait kehidupan pribadi
mereka, termasuk keputusan untuk tidak memiliki anak. Alasan-alasan yang mendasari
keputusan ini bervariasi, mulai dari kekhawatiran akan overpopulasi, tanggung jawab
ekonomi yang besar, hingga isu-isu kesehatan mental dan fisik.
Fenomena childfree ini menimbulkan diskusi di berbagai kalangan terutama dalam
masyarakat yang nilai-nilai keagamaannya kuat. Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana
fenomena ini dapat dipahami dan diterima dalam kerangka ajaran Islam yang menekankan
pentingnya keturunan. Mashlahah Mursalah adalah salah satu konsep dalam ushul fiqh yang
berfokus pada kemaslahatan atau kebaikan umum yang tidak secara langsung disebutkan
dalam teks-teks syariat (Al-Quran dan Hadis). Konsep ini memungkinkan adanya fleksibilitas
dalam penerapan hukum Islam untuk memastikan bahwa ajaran agama tetap relevan dengan
perkembangan zaman dan situasi yang dihadapi umat Islam (Riris Almutiroh, Nurti
Budiyanti, Neng Mulyati, Laila Nur Sampurna, Aeldi Despriadi, 2023).
Dalam konteks kewajiban keturunan dan fenomena childfree, mashlahah mursalah
dapat digunakan sebagai alat untuk mengevaluasi apakah keputusan untuk tidak memiliki
anak dapat dianggap sebagai pilihan yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Ini melibatkan
analisis mendalam tentang dampak sosial, ekonomi, dan psikologis dari keputusan tersebut,
serta mempertimbangkan kesejahteraan individu dan masyarakat secara keseluruhan (Ibny,
2023). Sebelum masuk ke dalam pembahasan lebih mendalam mengenai mashlahah mursalah,
penting untuk memahami bahwa dalam Islam, ada pengecualian terhadap kewajiban
keturunan jika seseorang tidak mampu secara fisik atau mental untuk memiliki anak. Islam
memberikan kemudahan bagi mereka yang mengalami ketidakmampuan dengan memberikan
kelonggaran dalam pelaksanaan kewajiban ini. Pilihan untuk tidak memiliki anak juga harus
dilihat dalam konteks yang lebih luas, termasuk alasan-alasan yang mendasarinya. Islam
mengajarkan pentingnya niat dan tujuan di balik setiap tindakan. Oleh karena itu, keputusan
untuk tidak memiliki anak harus dipertimbangkan dengan matang dan berdasarkan
pertimbangan yang sah menurut syariat (Habibi et al., 2023).
Fenomena childfree di kalangan Gen Z merupakan isu yang kompleks dan
memerlukan pendekatan yang holistik untuk memahaminya dalam konteks ajaran Islam.
Dengan menggunakan konsep mashlahah mursalah, diharapkan dapat ditemukan titik temu
antara fenomena modern ini dan prinsip-prinsip agama, sehingga menghasilkan solusi yang
bermanfaat bagi individu dan masyarakat. Selanjutnya, akan dibahas lebih mendalam
mengenai mashlahah mursalah dan bagaimana konsep ini dapat diterapkan dalam konteks
kewajiban keturunan dan fenomena childfree.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif deskriptif.
Penelitian kualitatif deskriptif bertujuan untuk menggambarkan fenomena secara mendalam
dan komprehensif sesuai dengan konteks yang ada (Sugiyono, 2019). Dalam konteks
penelitian ini, pendekatan kualitatif deskriptif digunakan untuk memahami dan
menggambarkan konsep kewajiban keturunan dalam Islam serta fenomena childfree di
kalangan Gen Z ditinjau dari perspektif mashlahah mursalah. Penelitian ini akan
mengidentifikasi dan menganalisis berbagai pandangan, pemikiran, dan interpretasi terkait
dengan kewajiban keturunan dalam Islam dan bagaimana fenomena childfree dapat dipahami
dan dinilai dari sudut pandang mashlahah mursalah.
Implementasi SSL VPN (Secure Socket Layer Virtual Private Network) Pada Badan Bank
Tanah
Syntax Idea, Vol. 6, No. 08, Agustus 2024 3389
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang bersumber
dari berbagai literatur, termasuk buku, artikel jurnal, dan dokumen-dokumen terkait. Data
sekunder yang digunakan mencakup kajian-kajian terdahulu mengenai kewajiban keturunan
dalam Islam, penelitian tentang fenomena childfree, serta tulisan-tulisan yang membahas
konsep mashlahah mursalah dalam ushul fiqh. Selain itu, data sekunder juga diperoleh dari
sumber-sumber digital seperti artikel online, blog, dan publikasi dari lembaga-lembaga
penelitian yang relevan (Sugiyono, 2018). Data yang terkumpul akan dianalisis secara
kualitatif dengan menggunakan teknik analisis isi untuk mengidentifikasi tema-tema utama,
pola-pola, dan hubungan antara konsep-konsep yang diteliti. Hasil analisis ini akan digunakan
untuk memberikan gambaran yang mendalam dan komprehensif mengenai hubungan antara
kewajiban keturunan dalam Islam dan fenomena childfree di kalangan Gen Z, serta
bagaimana mashlahah mursalah dapat menjadi landasan dalam mengevaluasi dan memahami
fenomena tersebut.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Konsep kewajiban keturunan dalam Islam memiliki landasan yang kuat dalam teks-teks
keagamaan, terutama Al-Quran dan Hadis. Dalam Islam, memiliki keturunan tidak hanya
dianggap sebagai berkah tetapi juga sebagai tanggung jawab besar yang harus dipikul oleh
setiap orang tua. Kewajiban ini melibatkan berbagai aspek, mulai dari memberikan
pendidikan agama, memenuhi kebutuhan fisik dan emosional anak, hingga memastikan
bahwa anak-anak tumbuh dalam lingkungan yang mendukung perkembangan iman dan takwa
mereka. Namun, Islam juga mengakui bahwa tidak semua orang mampu untuk memenuhi
kewajiban ini karena berbagai alasan, termasuk ketidakmampuan fisik, mental, atau kondisi
ekonomi yang tidak memungkinkan. Oleh karena itu, ketidakmampuan untuk memiliki atau
merawat anak dalam kondisi tertentu dapat dipertimbangkan sebagai pengecualian dalam
kewajiban ini (Rayhan, 2024).
Dalam hukum keluarga Islam pengecualian terhadap kewajiban memiliki keturunan
dapat ditemukan dalam berbagai teks dan interpretasi syariat. Misalnya, dalam kasus di mana
pasangan tidak mampu memiliki anak karena alasan medis, Islam memberikan kelonggaran
dan tidak membebankan mereka dengan kewajiban yang tidak dapat mereka penuhi. Hal ini
sesuai dengan prinsip-prinsip dasar syariat yang menekankan pada keadilan dan kemudahan
bagi umat. Di samping itu, keputusan untuk tidak memiliki anak karena alasan yang sah dan
berdasarkan pertimbangan matang juga dapat diterima dalam Islam. Al-Quran menyebutkan
bahwa Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya (QS. Al-
Baqarah: 286) :










































Artinya : Allah tidak membebani seseorang, kecuali menurut kesanggupannya. Baginya
ada sesuatu (pahala) dari (kebajikan) yang diusahakannya dan terhadapnya ada (pula) sesuatu
(siksa) atas (kejahatan) yang diperbuatnya. (Mereka berdoa,) “Wahai Tuhan kami, janganlah
Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami salah. Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau
bebani kami dengan beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang
sebelum kami. Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak
sanggup kami memikulnya. Maafkanlah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami.
Engkaulah pelindung kami. Maka, tolonglah kami dalam menghadapi kaum kafir.”
Ayat ini, QS. Al-Baqarah: 286, mengandung pesan penting tentang kemurahan dan
keadilan Allah dalam memberikan beban kepada hamba-Nya. Allah menegaskan bahwa Dia
Qorry A'yuna Putri
3390 Syntax Idea, Vol. 6, No. 08, Agustus 2024
tidak akan membebani seseorang melebihi kemampuannya. Ini menunjukkan betapa besar
kasih sayang Allah kepada manusia, karena Dia mengetahui batas kemampuan setiap individu
dan memberikan kewajiban serta ujian sesuai dengan kapasitas mereka. Ayat ini memberikan
penghiburan bagi umat Islam bahwa segala perintah dan larangan yang diberikan oleh Allah
adalah dalam batas kemampuan manusia untuk memenuhinya. Selain itu, ayat ini juga
menyiratkan bahwa segala amal baik yang dilakukan oleh seseorang akan mendapatkan
pahala, dan setiap kesalahan yang dilakukan akan ada konsekuensi yang adil sesuai dengan
perbuatannya.
Doa yang terkandung dalam ayat ini juga mencerminkan pengakuan kelemahan
manusia dan permohonan perlindungan serta pengampunan dari Allah. Permohonan agar
tidak dihukum atas kelalaian dan kesalahan, serta agar tidak dibebani dengan beban yang
berat seperti yang pernah diberikan kepada umat sebelumnya, menunjukkan kesadaran bahwa
manusia adalah makhluk yang lemah dan rentan terhadap kesalahan (Nisa’ et al., 2023). Doa
ini juga memohon agar Allah tidak memberikan beban yang melebihi kemampuan mereka,
serta meminta maaf, ampunan, dan rahmat-Nya. Ini mencerminkan sikap tawakkal dan
ketergantungan penuh kepada Allah dalam menghadapi tantangan dan ujian hidup. Dengan
demikian, ayat ini tidak hanya memberikan pemahaman tentang keadilan Allah tetapi juga
menuntun umat Islam untuk selalu berdoa, memohon perlindungan, dan mengakui
keterbatasan mereka di hadapan Sang Pencipta. Ayat QS. Al-Baqarah: 286 memiliki
keterkaitan erat dengan konsep kewajiban keturunan dalam Islam dan fenomena childfree di
kalangan Gen Z. Ayat ini menegaskan bahwa Allah tidak membebani seseorang melebihi
kesanggupannya, yang berarti bahwa kewajiban memiliki keturunan juga harus dipahami
dalam konteks kemampuan individu. Bagi mereka yang secara fisik, mental, atau ekonomi
tidak mampu memenuhi kewajiban ini, Islam memberikan kelonggaran sesuai dengan prinsip
keadilan dan rahmat Allah. Dalam konteks fenomena childfree, jika keputusan untuk tidak
memiliki anak didasarkan pada alasan yang sah dan pertimbangan matang sesuai dengan
kapasitas individu, maka hal ini dapat dipahami dan diterima dalam kerangka ajaran Islam
(Rasyid, 2022). Dengan demikian, ayat ini mengajarkan pentingnya memahami dan
menghormati batas kemampuan manusia dalam melaksanakan kewajiban agama.
Fenomena childfree di kalangan Gen Z menimbulkan diskusi yang mendalam
mengenai bagaimana konsep kewajiban keturunan ini dapat diaplikasikan dalam konteks
modern. Banyak individu dari generasi ini memilih untuk tidak memiliki anak karena
berbagai alasan, termasuk kekhawatiran tentang overpopulasi, perubahan iklim, dan kondisi
ekonomi yang tidak menentu. Selain itu, faktor-faktor seperti kesehatan mental dan keinginan
untuk fokus pada pengembangan diri juga memainkan peran penting dalam keputusan ini.
Dalam Islam, niat dan tujuan di balik setiap tindakan sangat penting. Oleh karena itu,
keputusan untuk tidak memiliki anak harus dilihat dari perspektif niat yang mendasarinya.
Jika keputusan tersebut didasari oleh alasan yang sah dan sesuai dengan prinsip-prinsip Islam,
maka dapat dipertimbangkan sebagai pilihan yang valid.
Mashlahah Mursalah sebagai salah satu prinsip dalam ushul fiqh, berfokus pada
kemaslahatan umum atau kebaikan yang tidak secara eksplisit disebutkan dalam teks-teks
syariat. Prinsip ini memungkinkan adanya fleksibilitas dalam penerapan hukum Islam untuk
memastikan relevansi dan manfaatnya dalam berbagai situasi dan konteks. Dalam konteks
kewajiban keturunan dan fenomena childfree, mashlahah mursalah dapat digunakan untuk
mengevaluasi apakah keputusan untuk tidak memiliki anak dapat diterima dalam Islam.
Analisis mashlahah mursalah melibatkan pertimbangan mendalam tentang dampak sosial,
ekonomi, dan psikologis dari keputusan tersebut, serta bagaimana keputusan tersebut
mempengaruhi kesejahteraan individu dan masyarakat secara keseluruhan. Dalam
Implementasi SSL VPN (Secure Socket Layer Virtual Private Network) Pada Badan Bank
Tanah
Syntax Idea, Vol. 6, No. 08, Agustus 2024 3391
menerapkan mashlahah mursalah, penting untuk mempertimbangkan apakah keputusan untuk
tidak memiliki anak membawa kemaslahatan yang lebih besar atau menghindari kerugian
yang lebih besar (Salahuddin & Hidayat, 2022). Misalnya, jika memiliki anak dapat
menimbulkan beban ekonomi yang berat bagi keluarga dan mengurangi kualitas hidup mereka
secara signifikan, maka keputusan untuk tidak memiliki anak mungkin dapat dianggap
sebagai pilihan yang lebih maslahat. Selain itu, jika keputusan tersebut didasari oleh
pertimbangan untuk menjaga kesehatan mental dan kesejahteraan emosional individu, maka
hal ini juga dapat dipandang sebagai bentuk kemaslahatan yang sah.
Penting untuk diingat bahwa mashlahah mursalah harus diterapkan dengan hati-hati dan
berdasarkan pertimbangan yang mendalam. Keputusan untuk tidak memiliki anak tidak boleh
didasarkan pada alasan yang bersifat egois atau bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar
Islam. Sebaliknya, keputusan tersebut harus didasari oleh niat yang baik dan pertimbangan
yang matang untuk mencapai kemaslahatan yang lebih besar bagi individu dan masyarakat.
Dalam hal ini, peran ulama dan ahli hukum Islam sangat penting dalam memberikan panduan
dan nasihat yang tepat bagi individu yang menghadapi dilema terkait kewajiban keturunan
dan pilihan untuk tidak memiliki anak. Secara keseluruhan, penelitian ini menunjukkan bahwa
konsep kewajiban keturunan dalam Islam dapat dipahami dan diterapkan dengan fleksibilitas,
terutama dalam konteks fenomena childfree di kalangan Gen Z. Dengan menggunakan prinsip
mashlahah mursalah, umat Islam dapat mengevaluasi dan menilai keputusan ini secara bijak,
memastikan bahwa setiap tindakan yang diambil membawa manfaat yang lebih besar dan
sesuai dengan ajaran Islam. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan panduan yang
berguna bagi umat Islam dalam menghadapi fenomena modern ini dan mengambil keputusan
yang tepat berdasarkan prinsip-prinsip agama.
Konsep Kewajiban Keturunan dalam Islam
Konsep kewajiban keturunan dalam Islam merupakan salah satu aspek penting dalam
ajaran agama yang menekankan pada pentingnya memiliki dan mendidik keturunan. Al-Quran
dan Hadis memberikan petunjuk yang jelas mengenai tanggung jawab orang tua terhadap
anak-anak mereka. Kewajiban ini mencakup berbagai aspek kehidupan, termasuk pendidikan
agama, moral, etika, serta pemenuhan kebutuhan fisik dan emosional anak. Dalam
pembahasan ini, kita akan menguraikan konsep kewajiban keturunan dalam Islam secara
mendalam, termasuk landasan tekstualnya, implementasinya dalam kehidupan sehari-hari,
serta relevansinya dengan konteks modern (Zakiyyah & Mursalin, 2023).
Konsep kewajiban keturunan dalam Islam memiliki landasan yang kuat dalam Al-
Quran dan Hadis. Salah satu ayat yang sering dijadikan rujukan adalah Surah Al-Furqan ayat
74, yang menyebutkan doa orang-orang beriman untuk diberikan keturunan yang menjadi
penyejuk mata dan penyenang hati mereka:


















Artinya: "Dan orang-orang yang berkata, 'Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami
pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami
pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.'"
Ayat ini menunjukkan betapa pentingnya memiliki keturunan yang shalih dan shalihah
dalam pandangan Islam. Keturunan yang baik bukan hanya menjadi penyejuk mata dan
penyenang hati bagi orang tua, tetapi juga diharapkan menjadi pemimpin yang mampu
memberikan teladan bagi orang-orang yang bertakwa. Hadis Nabi Muhammad SAW juga
memberikan banyak petunjuk mengenai pentingnya mendidik anak-anak dalam ajaran Islam.
Salah satu hadis yang terkenal adalah:
Qorry A'yuna Putri
3392 Syntax Idea, Vol. 6, No. 08, Agustus 2024
"Setiap anak yang dilahirkan adalah dalam keadaan fitrah. Maka kedua orang tuanyalah
yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi." (HR. Bukhari)
Hadis ini menekankan tanggung jawab orang tua dalam membentuk dan mengarahkan
anak-anak mereka sesuai dengan fitrah atau potensi bawaan yang diberikan oleh Allah. Orang
tua memiliki peran kunci dalam memastikan bahwa anak-anak mereka tumbuh menjadi
individu yang beriman dan bertakwa. Salah satu aspek utama dari kewajiban keturunan dalam
Islam adalah pendidikan agama. Orang tua bertanggung jawab untuk mengenalkan anak-anak
mereka pada ajaran Islam sejak dini. Ini mencakup pengajaran tentang rukun iman, rukun
Islam, serta nilai-nilai moral dan etika yang diajarkan oleh agama. Pendidikan agama tidak
hanya dilakukan melalui pengajaran formal, tetapi juga melalui contoh dan teladan yang
diberikan oleh orang tua dalam kehidupan sehari-hari.
Orang tua diharapkan untuk memastikan bahwa anak-anak mereka memahami dan
mengamalkan ajaran-ajaran Islam dalam setiap aspek kehidupan mereka. Ini termasuk
pengajaran tentang shalat, puasa, zakat, haji, serta nilai-nilai seperti kejujuran, keadilan, dan
kebaikan. Pendidikan agama yang baik akan membantu anak-anak untuk tumbuh menjadi
individu yang beriman, bertakwa, dan mampu menghadapi tantangan hidup dengan sikap
yang sesuai dengan ajaran Islam. Orang tua juga memiliki kewajiban untuk memenuhi
kebutuhan fisik dan emosional anak-anak mereka. Ini mencakup penyediaan makanan,
pakaian, tempat tinggal, serta perhatian dan kasih sayang yang diperlukan untuk
perkembangan anak yang sehat. Islam mengajarkan bahwa kesejahteraan fisik dan emosional
anak-anak adalah tanggung jawab utama orang tua.
Dalam Al-Quran, terdapat banyak ayat yang menekankan pentingnya pemenuhan
kebutuhan dasar anak-anak. Salah satu contohnya adalah dalam Surah Al-Baqarah ayat 233:





























































































Artinya: "Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu
bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah adalah memberi makan
dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani lebih dari
kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan jangan
pula seorang ayah karena anaknya, dan waris pun berkewajiban demikian. Jika keduanya
ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka
tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka
tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.
Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu
kerjakan."
Ayat ini menekankan tanggung jawab ayah dalam menyediakan nafkah untuk ibu yang
menyusui anaknya, serta pentingnya kerjasama dan musyawarah dalam pengambilan
keputusan terkait pemeliharaan anak. Pemenuhan kebutuhan fisik dan emosional ini sangat
penting untuk memastikan bahwa anak-anak tumbuh dengan baik dan sehat.
Tanggung jawab orang tua terhadap anak-anak mereka menjadi semakin kompleks
dan menantang. Globalisasi, kemajuan teknologi, dan perubahan sosial membawa dampak
besar terhadap cara orang tua mendidik dan merawat anak-anak mereka. Salah satu tantangan
utama yang dihadapi oleh orang tua modern adalah bagaimana menjaga keseimbangan antara
tuntutan karir dan tanggung jawab keluarga. Banyak orang tua yang bekerja di luar rumah
menghadapi kesulitan dalam menyediakan waktu dan perhatian yang cukup untuk anak-anak
mereka. Dalam situasi seperti ini, penting bagi orang tua untuk mencari cara-cara kreatif
Implementasi SSL VPN (Secure Socket Layer Virtual Private Network) Pada Badan Bank
Tanah
Syntax Idea, Vol. 6, No. 08, Agustus 2024 3393
untuk tetap terlibat dalam kehidupan anak-anak mereka, misalnya melalui komunikasi yang
efektif, pemanfaatan teknologi untuk tetap terhubung, serta memastikan bahwa anak-anak
mendapatkan pendidikan dan pengawasan yang baik selama mereka bekerja.
Isu-isu seperti pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan anak juga menjadi perhatian
utama dalam konteks modern. Orang tua harus memastikan bahwa anak-anak mereka
mendapatkan pendidikan yang berkualitas, akses ke layanan kesehatan yang memadai, serta
lingkungan yang aman dan mendukung untuk pertumbuhan dan perkembangan mereka.
Tantangan-tantangan ini memerlukan upaya yang berkelanjutan dan komitmen yang kuat dari
orang tua untuk memenuhi kewajiban mereka terhadap anak-anak mereka.
Dalam ushul fiqh konsep kewajiban keturunan berkaitan dengan tujuan syariat (maqasid
al-shariah) yang mencakup perlindungan agama (hifz al-din), jiwa (hifz al-nafs), akal (hifz al-
aql), keturunan (hifz al-nasl), dan harta (hifz al-mal). Kewajiban memiliki dan mendidik
keturunan secara langsung berkaitan dengan perlindungan keturunan (hifz al-nasl), yang
bertujuan untuk menjaga kelangsungan umat manusia dan memastikan bahwa setiap generasi
tumbuh dengan nilai-nilai dan ajaran Islam yang kuat. Ushul fiqh memberikan kerangka kerja
untuk memahami dan menerapkan kewajiban keturunan dalam berbagai konteks, termasuk
dalam situasi di mana individu mungkin mengalami ketidakmampuan atau menghadapi
tantangan tertentu. Prinsip-prinsip seperti kemaslahatan (mashlahah), kemudahan (taysir), dan
keseimbangan (i'tidal) digunakan untuk memastikan bahwa kewajiban ini diterapkan dengan
cara yang adil dan proporsional (Alfini et al., 2023).
Islam mengakui bahwa tidak semua orang mampu untuk memenuhi kewajiban memiliki
keturunan karena berbagai alasan, termasuk ketidakmampuan fisik, mental, atau kondisi
ekonomi yang tidak memungkinkan. Dalam situasi seperti ini, Islam memberikan kelonggaran
dan tidak membebankan mereka dengan kewajiban yang tidak dapat mereka penuhi. Prinsip
ini sesuai dengan ayat QS. Al-Baqarah: 286 yang menyatakan bahwa Allah tidak membebani
seseorang melebihi kesanggupannya. Ketidakmampuan fisik untuk memiliki anak, misalnya,
dapat disebabkan oleh kondisi medis yang membuat seseorang tidak dapat hamil atau
melahirkan. Dalam situasi ini, pasangan yang menghadapi ketidakmampuan tersebut tidak
diwajibkan untuk memiliki anak, dan mereka dapat mencari solusi lain seperti adopsi atau
teknologi reproduksi berbantu jika memungkinkan dan sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.
Ketidakmampuan mental atau emosional juga dapat menjadi alasan yang sah untuk
tidak memiliki anak. Orang tua yang mengalami gangguan mental atau emosional yang serius
mungkin tidak mampu memberikan perhatian dan perawatan yang diperlukan untuk
membesarkan anak dengan baik. Dalam situasi ini, adalah bijaksana untuk
mempertimbangkan apakah memiliki anak adalah pilihan yang tepat, mengingat tanggung
jawab besar yang terlibat dalam membesarkan anak.
Peran Mashlahah Mursalah dalam Kewajiban Keturunan
Mashlahah Mursalah sebagai salah satu prinsip dalam ushul fiqh, berfokus pada
kemaslahatan umum atau kebaikan yang tidak secara eksplisit disebutkan dalam teks-teks
syariat. Prinsip ini memungkinkan adanya fleksibilitas dalam penerapan hukum Islam untuk
memastikan bahwa ajaran agama tetap relevan dengan perkembangan zaman dan situasi yang
dihadapi umat Islam. Dalam konteks kewajiban keturunan, mashlahah mursalah dapat
digunakan untuk mengevaluasi apakah keputusan untuk tidak memiliki anak dapat diterima
dalam Islam. Analisis mashlahah mursalah melibatkan pertimbangan mendalam tentang
dampak sosial, ekonomi, dan psikologis dari keputusan untuk tidak memiliki anak. Jika
keputusan tersebut didasari oleh alasan yang sah dan membawa kemaslahatan yang lebih
besar, maka hal ini dapat dipertimbangkan sebagai pilihan yang valid dalam Islam. Misalnya,
Qorry A'yuna Putri
3394 Syntax Idea, Vol. 6, No. 08, Agustus 2024
jika memiliki anak dapat menimbulkan beban ekonomi yang berat bagi keluarga atau
mengurangi kualitas hidup mereka secara signifikan, maka keputusan untuk tidak memiliki
anak mungkin dapat dianggap sebagai pilihan yang lebih maslahat. Mashlahah mursalah juga
mempertimbangkan kesejahteraan individu dan masyarakat secara keseluruhan. Keputusan
untuk tidak memiliki anak yang didasari oleh pertimbangan untuk menjaga kesehatan mental
dan kesejahteraan emosional individu dapat dipandang sebagai bentuk kemaslahatan yang
sah. Dalam hal ini, penting untuk memastikan bahwa keputusan tersebut tidak didasari oleh
alasan yang bersifat egois atau bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam, tetapi
didasari oleh niat yang baik dan pertimbangan yang matang untuk mencapai kemaslahatan
yang lebih besar.
Implementasi dalam Kehidupan Sehari-Hari
Implementasi kewajiban keturunan dalam kehidupan sehari-hari memerlukan upaya
yang berkelanjutan dan komitmen yang kuat dari orang tua. Selain memastikan pemenuhan
kebutuhan fisik dan emosional anak, orang tua juga harus aktif dalam memberikan pendidikan
agama dan moral kepada anak-anak mereka. Ini termasuk mengajarkan mereka tentang
ajaran-ajaran Islam, serta memberikan contoh dan teladan yang baik dalam kehidupan sehari-
hari. Orang tua juga harus mencari cara untuk mengatasi tantangan modern yang dihadapi
dalam mendidik anak-anak. Ini bisa termasuk memanfaatkan teknologi untuk mendukung
pendidikan anak, serta mencari bantuan dan dukungan dari keluarga, teman, dan komunitas
jika diperlukan. Penting bagi orang tua untuk selalu berkomunikasi dengan anak-anak mereka
dan membangun hubungan yang kuat dan positif dengan mereka. Penting bagi orang tua
untuk tetap fleksibel dan adaptif dalam pendekatan mereka terhadap pengasuhan anak. Setiap
anak adalah individu yang unik dengan kebutuhan dan potensi yang berbeda. Oleh karena itu,
orang tua harus selalu berusaha untuk memahami dan memenuhi kebutuhan anak-anak
mereka dengan cara yang paling sesuai dengan situasi dan kondisi mereka.
Konsep kewajiban keturunan dalam Islam merupakan tanggung jawab besar yang
melibatkan berbagai aspek kehidupan. Dengan landasan yang kuat dalam Al-Quran dan
Hadis, kewajiban ini mencakup pendidikan agama, pemenuhan kebutuhan fisik dan
emosional, serta upaya untuk membesarkan anak-anak yang shalih dan shalihah. Dalam
konteks modern, orang tua menghadapi berbagai tantangan dalam memenuhi kewajiban ini,
tetapi dengan upaya yang berkelanjutan dan komitmen yang kuat, mereka dapat mengatasinya
dengan baik.
Islam juga memberikan kelonggaran bagi mereka yang tidak mampu memenuhi
kewajiban ini karena berbagai alasan. Prinsip mashlahah mursalah memberikan kerangka
kerja yang fleksibel dan relevan untuk mengevaluasi dan menilai keputusan terkait kewajiban
keturunan, memastikan bahwa setiap tindakan yang diambil sesuai dengan prinsip-prinsip
keadilan, kemaslahatan, dan rahmat dalam Islam. Dengan memahami dan menerapkan konsep
kewajiban keturunan dengan cara yang bijaksana dan proporsional, umat Islam dapat
membentuk generasi yang beriman dan bertakwa, serta memberikan kontribusi positif bagi
masyarakat secara keseluruhan.
Fenomena Childfree di Kalangan Gen Z Ditinjau dari Mashlahah Mursalah
Mashlahah Mursalah sebagai salah satu prinsip dalam ushul fiqh, berfokus pada
kemaslahatan atau kebaikan umum yang tidak secara eksplisit disebutkan dalam teks-teks
syariat (Al-Quran dan Hadis). Prinsip ini memberikan fleksibilitas dalam penerapan hukum
Islam, memungkinkan umat Islam untuk menilai relevansi dan manfaat keputusan dalam
berbagai situasi dan konteks modern. Dalam konteks fenomena childfree mashlahah mursalah
Implementasi SSL VPN (Secure Socket Layer Virtual Private Network) Pada Badan Bank
Tanah
Syntax Idea, Vol. 6, No. 08, Agustus 2024 3395
dapat digunakan untuk mengevaluasi keputusan ini berdasarkan dampaknya terhadap
kesejahteraan individu dan masyarakat.
Mashlahah dharuriyat adalah kemaslahatan yang sangat penting dan tidak dapat
ditinggalkan karena terkait langsung dengan lima tujuan utama syariat (maqasid al-shariah):
perlindungan agama (hifz al-din), jiwa (hifz al-nafs), akal (hifz al-aql), keturunan (hifz al-
nasl), dan harta (hifz al-mal). Dalam konteks childfree, kategori ini mengharuskan kita
mempertimbangkan apakah keputusan untuk tidak memiliki anak mempengaruhi salah satu
dari tujuan utama ini. Misalnya jika keputusan untuk tidak memiliki anak didasari oleh alasan
kesehatan mental yang serius, maka ini masuk ke dalam kategori dharuriyat karena kesehatan
jiwa adalah salah satu maqasid al-shariah. Menjaga kesehatan mental seseorang agar tetap
stabil dan seimbang merupakan bentuk perlindungan terhadap jiwa yang diakui dalam Islam.
Dalam hal ini, keputusan childfree bisa dianggap sebagai langkah yang sesuai dengan
mashlahah dharuriyat.
Mashlahah hajiyat adalah kemaslahatan yang diperlukan untuk menghilangkan kesulitan
atau meringankan beban, tetapi tidak sampai pada tingkat darurat. Keputusan untuk tidak
memiliki anak karena alasan ekonomi, misalnya, bisa masuk ke dalam kategori hajiyat. Jika
kondisi ekonomi tidak memungkinkan untuk memberikan kehidupan yang layak bagi anak,
maka keputusan ini dapat membantu mengurangi beban finansial yang berlebihan dan
mencegah kesulitan yang lebih besar di masa depan. Dalam situasi di mana biaya hidup,
pendidikan, dan kesehatan sangat tinggi, keputusan untuk tidak memiliki anak dapat dianggap
sebagai langkah yang bijak dan proporsional untuk memastikan kesejahteraan finansial
keluarga. Hal ini sejalan dengan prinsip Islam yang mengajarkan tanggung jawab untuk
memenuhi kebutuhan dasar anak dan tidak membebani diri sendiri dengan kewajiban yang
tidak mampu dipenuhi.
Mashlahah tahsiniyat adalah kemaslahatan yang bersifat memperbaiki atau
memperindah, bertujuan untuk mencapai kesempurnaan hidup dan menghindari hal-hal yang
tidak diinginkan. Keputusan untuk tidak memiliki anak demi menjaga kualitas hidup,
kebebasan pribadi, dan kesehatan lingkungan dapat dipandang sebagai bagian dari mashlahah
tahsiniyat. Dalam hal ini, keputusan childfree dapat membantu individu mencapai kualitas
hidup yang lebih baik dan berkontribusi pada pelestarian lingkungan. Islam mengajarkan
pentingnya menjaga dan melestarikan bumi sebagai amanah dari Allah. Dengan mengurangi
populasi dan dampak negatif terhadap sumber daya alam, keputusan ini dapat dipandang
sebagai tindakan yang mendukung prinsip menjaga dan melestarikan alam, yang merupakan
salah satu bentuk kemaslahatan tahsiniyat.
Menggunakan prinsip mashlahah mursalah untuk mengevaluasi fenomena childfree
memerlukan analisis yang komprehensif dan mendalam. Pertama, perlu diidentifikasi alasan
dan motif di balik keputusan untuk tidak memiliki anak. Apakah keputusan ini didasari oleh
alasan yang sah dan sesuai dengan prinsip-prinsip Islam? Jika ya, maka langkah berikutnya
adalah menganalisis dampak sosial, ekonomi, dan psikologis dari keputusan tersebut.
Keputusan ini harus membawa kemaslahatan yang lebih besar atau menghindari kerugian
yang lebih besar bagi individu dan masyarakat. Penting untuk mempertimbangkan dampak
jangka panjang dari fenomena childfree terhadap struktur sosial dan nilai-nilai keluarga dalam
masyarakat Islam. Prinsip mashlahah mursalah mengharuskan kita untuk memastikan bahwa
keputusan ini tidak hanya menguntungkan individu tetapi juga tidak merugikan kesejahteraan
masyarakat secara keseluruhan. Dalam hal ini, konsultasi dengan ulama atau ahli hukum
Islam yang kompeten dapat memberikan panduan dan nasihat yang tepat. Dengan memahami
dan menerapkan konsep mashlahah mursalah dengan hati-hati, umat Islam dapat menemukan
Qorry A'yuna Putri
3396 Syntax Idea, Vol. 6, No. 08, Agustus 2024
titik temu antara fenomena modern seperti childfree dan prinsip-prinsip agama, sehingga
menghasilkan solusi yang bermanfaat bagi individu dan masyarakat secara keseluruhan.
Mashlahah mursalah adalah salah satu prinsip dalam ushul fiqh yang berfokus pada
kemaslahatan atau kebaikan umum yang tidak secara langsung disebutkan dalam teks-teks
syariat (Al-Quran dan Hadis). Prinsip ini memungkinkan adanya fleksibilitas dalam
penerapan hukum Islam untuk memastikan relevansi dan manfaatnya dalam berbagai situasi
dan konteks yang dihadapi umat Islam. Dalam konteks fenomena childfree, mashlahah
mursalah dapat digunakan sebagai alat untuk mengevaluasi dan memahami keputusan ini dari
perspektif syariat. Mashlahah mursalah melibatkan pertimbangan mendalam tentang dampak
sosial, ekonomi, dan psikologis dari keputusan untuk tidak memiliki anak. Prinsip ini juga
mempertimbangkan kesejahteraan individu dan masyarakat secara keseluruhan. Dalam
mengevaluasi fenomena childfree, beberapa aspek penting harus diperhatikan (Munawarudin,
2023) :
1. Keputusan untuk tidak memiliki anak seringkali didasari oleh pertimbangan kesejahteraan
individu, termasuk kesehatan mental dan fisik. Jika memiliki anak dapat menimbulkan
beban yang berat secara emosional dan mental bagi individu, maka keputusan untuk tidak
memiliki anak dapat dipandang sebagai pilihan yang lebih maslahat. Islam menekankan
pentingnya menjaga kesehatan dan kesejahteraan individu, seperti yang tercermin dalam
berbagai ajaran dan prinsip syariat.
2. Situasi ekonomi yang sulit dapat menjadi alasan yang sah untuk tidak memiliki anak. Jika
kondisi ekonomi tidak memungkinkan untuk memberikan kehidupan yang layak bagi anak,
maka keputusan untuk tidak memiliki anak dapat dianggap sebagai tindakan yang
bijaksana. Islam mengajarkan tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan dasar anak, dan
jika hal ini tidak dapat dipenuhi, maka keputusan tersebut dapat dipertimbangkan dari
perspektif mashlahah mursalah.
3. Fenomena childfree juga dapat memiliki dampak sosial yang perlu dipertimbangkan.
Keputusan untuk tidak memiliki anak dapat mengurangi tekanan populasi dan membantu
dalam menjaga keseimbangan sumber daya alam. Namun, penting untuk memastikan
bahwa keputusan ini tidak berdampak negatif terhadap struktur sosial dan nilai-nilai
keluarga dalam masyarakat. Mashlahah mursalah mengharuskan analisis mendalam
tentang dampak sosial dari keputusan ini dan bagaimana ia dapat mempengaruhi
kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
Menggunakan prinsip mashlahah mursalah untuk mengevaluasi fenomena childfree
memerlukan analisis yang komprehensif dan mendalam. Kesehatan mental dan emosional
adalah aspek penting dari kesejahteraan individu. Jika keputusan untuk tidak memiliki anak
didasari oleh alasan kesehatan mental, maka hal ini perlu dipertimbangkan secara serius.
Islam sangat menghargai kesehatan dan kesejahteraan individu, dan keputusan yang dapat
meningkatkan kesejahteraan individu harus dipandang sebagai tindakan yang sesuai dengan
prinsip mashlahah mursalah. Situasi ekonomi yang sulit dapat menjadi alasan yang sah untuk
tidak memiliki anak. Biaya tinggi untuk membesarkan anak, termasuk biaya pendidikan,
perawatan kesehatan, dan kebutuhan dasar lainnya, dapat menjadi beban yang berat bagi
banyak keluarga. Dalam konteks ini, keputusan untuk tidak memiliki anak dapat dianggap
sebagai langkah yang bijaksana untuk menghindari kesulitan ekonomi yang berlebihan.
Prinsip mashlahah mursalah mendukung tindakan yang dapat mencegah kesulitan dan
memastikan kesejahteraan ekonomi individu dan keluarga.
Keputusan untuk tidak memiliki anak juga dapat dilihat sebagai kontribusi positif
terhadap lingkungan. Dengan mengurangi populasi, dampak negatif terhadap sumber daya
alam dan lingkungan dapat diminimalkan. Islam mengajarkan pentingnya menjaga dan
Implementasi SSL VPN (Secure Socket Layer Virtual Private Network) Pada Badan Bank
Tanah
Syntax Idea, Vol. 6, No. 08, Agustus 2024 3397
melestarikan bumi sebagai amanah dari Allah. Dalam konteks ini, keputusan untuk tidak
memiliki anak dapat dipandang sebagai tindakan yang mendukung prinsip menjaga dan
melestarikan alam. Keputusan untuk tidak memiliki anak dapat mencerminkan perubahan
nilai dan norma sosial. Dalam masyarakat yang semakin terbuka dan menerima berbagai
pilihan hidup, keputusan ini dapat menjadi lebih diterima. Namun, penting untuk memastikan
bahwa keputusan ini tidak merusak struktur sosial dan nilai-nilai keluarga yang penting dalam
Islam. Analisis mashlahah mursalah harus mempertimbangkan dampak jangka panjang dari
fenomena ini terhadap masyarakat dan bagaimana ia dapat mempengaruhi nilai-nilai keluarga
dan solidaritas sosial (Hasan, 2021).
Fenomena childfree di kalangan Gen Z adalah isu yang kompleks dan memerlukan
pendekatan yang holistik untuk memahaminya dalam konteks ajaran Islam. Dengan
menggunakan prinsip mashlahah mursalah, umat Islam dapat mengevaluasi keputusan ini
secara bijak, memastikan bahwa setiap tindakan yang diambil membawa manfaat yang lebih
besar dan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan, kemaslahatan, dan rahmat dalam Islam.
Penting untuk memahami alasan dan motif di balik keputusan untuk tidak memiliki anak,
serta menganalisis dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan dari keputusan tersebut. Dengan
pendekatan yang hati-hati dan komprehensif, umat Islam dapat menemukan titik temu antara
fenomena modern ini dan prinsip-prinsip agama, sehingga menghasilkan solusi yang
bermanfaat bagi individu dan masyarakat.
KESIMPULAN
Konsep kewajiban keturunan dalam Islam adalah tanggung jawab yang mendalam dan
komprehensif yang melibatkan pendidikan agama, moral, dan pemenuhan kebutuhan fisik dan
emosional anak. Dalam ajaran Islam, memiliki dan mendidik keturunan yang shalih dan
shalihah dianggap sebagai anugerah besar dan tanggung jawab utama orang tua. Al-Quran dan
Hadis memberikan panduan yang jelas mengenai pentingnya kewajiban ini. Namun, Islam
juga mengakui adanya keterbatasan manusia dan memberikan kelonggaran bagi mereka yang
tidak mampu memenuhi kewajiban ini karena berbagai alasan, termasuk ketidakmampuan
fisik, mental, atau ekonomi. Fenomena childfree di kalangan Gen Z menunjukkan perubahan
signifikan dalam nilai-nilai dan norma sosial. Banyak individu dari generasi ini memilih untuk
tidak memiliki anak karena alasan ekonomi, kesehatan mental, dan kekhawatiran lingkungan.
Keputusan ini menimbulkan berbagai diskusi dan pertanyaan mengenai bagaimana fenomena
ini dapat dipahami dan diterima dalam kerangka ajaran Islam. Dengan pendekatan yang hati-
hati dan komprehensif, umat Islam dapat mengevaluasi keputusan ini melalui prinsip
mashlahah mursalah, yang berfokus pada kemaslahatan umum dan kesejahteraan umat.
Mashlahah mursalah memberikan kerangka kerja yang fleksibel untuk menilai
keputusan childfree dengan mempertimbangkan dampak sosial, ekonomi, dan psikologis. Jika
keputusan untuk tidak memiliki anak didasari oleh alasan yang sah dan membawa
kemaslahatan yang lebih besar, maka hal ini dapat dipertimbangkan sebagai pilihan yang
valid dalam Islam. Prinsip ini memastikan bahwa keputusan yang diambil tidak hanya
menguntungkan individu tetapi juga tidak merugikan kesejahteraan masyarakat secara
keseluruhan. Dengan demikian, mashlahah mursalah membantu menemukan keseimbangan
antara nilai-nilai agama dan kebutuhan serta realitas modern. Secara keseluruhan, memahami
Qorry A'yuna Putri
3398 Syntax Idea, Vol. 6, No. 08, Agustus 2024
konsep kewajiban keturunan dalam Islam dan fenomena childfree melalui mashlahah
mursalah memungkinkan umat Islam untuk menghadapi dinamika sosial dan tantangan
modern dengan bijaksana. Prinsip ini menekankan pentingnya mempertimbangkan
kesejahteraan individu dan masyarakat dalam setiap keputusan yang diambil. Dengan
pendekatan yang tepat, umat Islam dapat menjalani kehidupan yang sesuai dengan ajaran
agama sambil tetap relevan dan responsif terhadap perubahan zaman. Fenomena childfree dan
kewajiban keturunan, ketika dipahami dengan benar, dapat membawa manfaat yang lebih
besar bagi individu, keluarga, dan masyarakat luas.
BIBLIOGRAFI
Alfini, F., Firdani, J., & Syamsu, A. (2023). Pandangan Islam Terhadap Keputusan Hidup
Tanpa Anak Setelah Menikah. Sosio Religi: Jurnal Kajian Pendidikan Umum, 21(1),
1625.
Fajriyani, N. (2023). Childfree Perspektif Tafsir Al-Mishbah: Analisis Qs. Al-Nahl(16) Ayat
72. Jurnal Studi Islam, 12(1), 82. Https://Doi.Org/10.33477/Jsi.V12i1.5260
Habibi, J., Ma’arif, K., Putra, A. P., & Burhanusyihab, A. (2023). Perkawinan Childfree
Dalam Perspektif Hukum Islam. Transformatif, 7(2), 139152.
Https://Doi.Org/10.23971/Tf.V7i2.5903
Hasan, S. R. (2021). Cerai Dengan Alasan Salah Satu Pasangan Memilih Childfree Perspektif
Kompilasi Hukum Islam Syafiq. Al-Majaalis : Jurnal Dirasat Islamiyah, 11(1), 132.
Ibny, A. R. (2023). Fenomena Childfree Di Indonesia Dalam Perspektif Pemikiran Imam Al-
Ghazali Dan Imam An-Nawawi. Skripsi.
Maulida Rohmatul Laili, Retpitasari, E. R., & Irma Juliawati. (2023). Interpretasi Islam Atas
Wacana Childfree Gita Savitri. Kediri Journal Of Journalism And Digital Media
(Kjourdia), 1(1), 4469. Https://Doi.Org/10.30762/Kjourdia.V1i1.1384
Munawarudin, A. (2023). Childfree Dalam Pandangan Maqashid Syariah. Jurnal Hukum Dan
Hukum Islam Yustisi, 10(2), 119137.
Nisa’, A. R., Putri Lestari, E. W., Pradana, H. H., & Dyaksa, R. S. (2023). Fenomena
Childfree Dalam Tinjauan Maslahah Mursalah (Studi Fenomenologi Terhadap Generasi
5.0). Psycho Aksara : Jurnal Psikologi, 1(2), 179189.
Https://Doi.Org/10.28926/Pyschoaksara.V1i2.1026
Rasyid, Y. A. (2022). Refleksi Hukum Islam Terhadap Fenomena Childfree Perspektif
Maslȃhah Mursalah. Syaksia Jurnal Hukum Keluarga Islam, 23(2), 148163.
Http://Dx.Doi.Org/10.37035/Syakhsia
Rayhan, R. R. (2024). Fenomena Childfree Dalam Pernikahan Perspektif Tentang
Perkawinan. Jurnal Ilmiah Nusantara ( Jinu), 1(3), 2336.
Riris Almutiroh, Nurti Budiyanti, Neng Mulyati, Laila Nur Sampurna, Aeldi Despriadi, N. A.
(2023). Fenomena Childfree Dalam Pandangan Mahasiswa Beragama Islam. Nizham:
Jurnal Studi Keislaman, 11(01), 5363.
Salahuddin, C. W., & Hidayat, T. (2022). Tinjauan Maslahah Mursalah Terhadap Fenomena
Childfree. Diktum: Jurnal Syariah Dan Hukum, 20(2), 399414.
Https://Doi.Org/10.35905/Diktum.V20i2.2924
Sugiyono. (2018). Metode Penelitian Kuantitatif. Alfabeta.
Sugiyono. (2019). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, Dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Badan.
Zakiyyah, E., & Mursalin, H. (2023). Fenomena Childfree Dalam Perspektif Islam.
Mauriduna: Journal Of Islamic Studies, 4(2), 192203.
Implementasi SSL VPN (Secure Socket Layer Virtual Private Network) Pada Badan Bank
Tanah
Syntax Idea, Vol. 6, No. 08, Agustus 2024 3399
Https://Doi.Org/10.37274/Mauriduna.V4i2.840
Copyright holder:
Qorry A'yuna Putri (2024)
First publication right:
Syntax Idea
This article is licensed under: