Bahasa Maskulin dalam Drama All of us are Dead
Syntax Idea, Vol. 6, No. 07, Juli 2024 2949
mengenai sosiolinguistik yang diberikan para ahli tidak akan terlepas dari persoalan
hubungan bahasa dengan kegiatan/aspek-aspek kemasyarakatan (Mujib, 2009).
Hubungan antara bahasa dan jenis kelamin sudah mulai diteliti sejak tahun 1960,
penelitian tersebut menjelaskan bahwa cara wanita dan pria menggunakan bahasa adalah
untuk menegosiasikan hubungan sosial mereka sekaligus membentuk identitas (Bianco,
Hornberger, & McKay, 2010). Buku An Introduction to Sociolinguistics karangan
Holmes (Holmes & Wilson, 2022). menuliskan bahwa faktor utama wanita dan pria
berbicara secara berbeda disebabkan oleh faktor sosial dan budaya. Kemudian bentuk
linguistik yang digunakan pun menyesuaikan komunitas tutur.
Fenomena antara perbedaan bahasa wanita dan pria ini selaras dengan teori yang
ditemukan oleh Jennifer Coates dalam buku yang berjudul Women Men and Language,
berpendapat bahwa banyak perbedaan antara bahasa wanita dan pria. Yang menurut
Philips, dkk. perbedaan bahasa yang digunakan oleh wanita dan pria terjadi karena
masyarakat yang membentuk keduanya secara berbeda. Contohnya, pria ketika berbicara
ke sesama pria, percakapannya cenderung fokus ke kompetisi, ejekan, agresi dan lain-
lain.
Coates, (2015) dalam karyanya, menyatakan bahwa terdapat dua fitur bahasa yang
digunakan oleh pria, yaitu perintah dan arahan serta umpatan dan bahasa yang tabu.
Kedua kategori tersebut cenderung muncul dalam cara pria berkomunikasi, baik ke
sesama pria maupun ke pada lawan jenis.
Kategori pertama adalah perintah dan arahan, yang menurut Coates, pria
cenderung berbicara dalam bentuk perintah daripada sugesti. Contoh, pria menggunakan
kalimat “Jangan membeli barang itu.” yang sebenarnya bisa diubah menjadi bentuk
sugesti seperti “Sebaiknya lihat dulu barang lain” yang tonenya lebih ramah dan tidak
memerintah.
Kategori kedua, adalah umpatan dan bahasa tabu. Umpatan merupakan ekspresi
manusia pada suatu kondisi tertentu. Namun, Coates menyatakan bahwa pria mengumpat
lebih banyak dari wanita, dikarenakan dorongan maskulinitas yang merasa ‘macho’ atau
gagah ketika mengumpat. Contoh kata umpatan adalah “Anjing” “Bangsat”. Sementara
yang dimaksud bahasa tabu atau bahasan tabu bisa mencakup berbagai hal, seperti seks,
kematian, penyakit, dan lainnya. Menurut Coates, pria lebih luwes dalam membicarakan
hal-hal tabu tersebut.
Coates juga memandang perbedaan linguistik merupakan suatu cerminan
perbedaan sosial. Sepanjang masyarakat memandang pria dan wanita berbeda dan tidak
setara, maka perbedaan dalam bahasa laki-laki dan perempuan akan terus berlangsung.
Dengan kata lain, penggunaan bahasa bersifat sensitif terhadap pola-pola hidup dan pola-
pola interaksi.
Salah satu negara yang dilabeli stereotipe patriarki adalah Korea Selatan. Dalam
buku Confucianism and the Family yang ditulis (Cho, 2016), penilaian terhadap status
perempuan dalam masyarakat Konfusianisme, salah satunya Korea Selatan, adalah isu
yang sangat kompleks, dan mungkin hal ini paling rumit di Korea. Secara umum,
masyarakat Korea digambarkan sebagai bentuk patriarki yang ekstrim, terutama pada
masa Dinasti Yi. Perempuan tidak mempunyai posisi publik dan dipaksa untuk bersikap
pasif dan patuh kepada laki-laki, yang secara struktural bersifat sentral.
Dalam Muhammad, Dwiningtyas, & Sos, (2016) dijelaskan bahwa melalui paham
Konfusianisme yang berkembang di Korea Selatan, muncul budaya patriarki yang
menganggap laki-laki lebih berkuasa dibandingkan dengan perempuan. Selain itu
budaya patriarki ini menjadikan laki-laki mampu mendominasi urusan publik. Budaya