How to cite:
Tatu Rika Indriani, Sifa Mulya Nurani (2024 Tinjauan Yuridis Terhadap Hak Istri Pasca Perceraian
Berdasarkan Hukum Positif di Indonesia (Studi Kasus Putusan NO. 1583/Pdt.G/2023/PA.JS), (06)
06, https://doi.org/10.36418/syntax-idea.v3i6.1227
E-ISSN:
2684-883X
Published by:
Ridwan Institute
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HAK ISTRI PASCA PERCERAIAN
BERDASARKAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA (Studi Kasus Putusan NO.
1583/Pdt.G/2023/PA.JS)
Tatu Rika Indriani, Sifa Mulya Nurani
Universitas pelita bangsa, Indonesia
Abstrak
Tujuan yang ingin dicapai peneliti dalam melakukan penelitian ini adalah mengetahui
kewajiban yang harus dilaksanakan oleh bekas suami menurut Hukum Positif di Indonesia
pasca putusnya perkawinan. Mengetahui Hak apa saja yang dapat diminta seorang istri
apabila ia digugat cerai oleh suaminya. Islam memandang bahwa pernikahan merupakan
sesuatu yang luhur dan sakral, bermakna ibadah kepada Allah, mengikuti Sunnah Rasulullah
dan dilaksanakan atas dasar keikhlasan, tanggungjawab, dan mengikuti ketentuanketentuan
hukum yang harus diindahkan. Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah pendekatan Yuridis Normatif. Yang kemudian menjadi catatan bahwa dalam hal
nafkah yang harus dipenuhi mantan suami terhadap mantan istri dan anaknya ialah Nafkah
madiyah adalah nafkah yang telah lampau tidak selalu dihubungkan dengan perkara cerai
talak, yang kemudian dalam hal ini istri dapat mengajukan tuntutan nafkah madiyah saat
suaminya mengajukan perkara cerai talak dengan mengajukan gugatan rekonvensi.
Kata kunci: Hak Istri, Pasca Perceraian, Hukum
Abstract
The goal that the researcher wants to achieve in conducting this research is to know the
obligations that must be carried out by ex-husbands according to Positive Law in Indonesia
after the breakup of marriage. Knowing what rights a wife can ask for if she is sued for
divorce by her husband. Islam views that marriage is something noble and sacred, meaning
worship to Allah, following the Sunnah of the Prophet and carried out on the basis of
sincerity, responsibility, and following the provisions of the law that must be heeded. The
research approach used in this study is the Normative Juridical approach. What then
becomes a record is that in terms of alimony that must be fulfilled by the ex-husband against
the ex-wife and children, Nafkah madiyah is alimony that has been in the past is not always
related to the divorce case of talaq, which then in this case the wife can file a claim for
alimony madiyah when her husband files a divorce case of talaq by filing a reconvention
lawsuit.
Keywords: Wife's Rights, Post-Divorce, Law
JOURNAL SYNTAX IDEA
pISSN: 2723-4339 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 6, No. 06, Juni 2024
Tinjauan Yuridis Terhadap Hak Istri Pasca Perceraian Berdasarkan Hukum Positif di
Indonesia (Studi Kasus Putusan NO. 1583/Pdt.G/2023/PA.JS)
Syntax Idea, Vol. 6, No. 06, Juni 2024 2873
PENDAHULUAN
Islam memandang bahwa pernikahan merupakan sesuatu yang luhur dan sakral,
bermakna ibadah kepada Allah, mengikuti Sunnah Rasulullah dan dilaksanakan atas dasar
keikhlasan, tanggungjawab, dan mengikuti ketentuanketentuan hukum yang harus diindahkan.
Dalam Undang-Undang RI Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Bab I pasal 1,
perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami
isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa (Wibisana, 2016).
Pasal 41 huruf c Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang perkawinan
menyatakan bahwa pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan
biaya penghidupan dan /atau menetapkan sesuatu kewajiban bagi bekas suami.
Dari definisi tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwasanya kewajiban pemberian
nafkah kepada istri karena adanya hubungan perkawinan nafkah tersebut berlangsung sampai
perkawinan berakhir. Apabila nafkah tidak diberikan pada saat masih terikat dalam ikatan
perkawinan maka istri berhak menuntut hak nya. Perceraian yang diajukan oleh suami (cerai
talak) suami wajib menanggung nafkah istri pasca perceraian.
Seperti disebutkan dalam pasal 41 undang-undang perkawinan akibat putusnya
perkawinan karena perceraian :
1. Baik orang tua tetap berkewajiban merawat dan mendidik anaknya.
2. Bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut pengadilan
dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
3. Pengadilan mewajibkan mantan suami untuk memberi biaya penghidupan atau
menentukan kewajiban bagi mantan istri.
Oleh sebab itu, penerapan Pasal 41 huruf c Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019
tentang perkawinan. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan
biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.
Putusnya perkawinan yang disebabkan adanya permohonan cerai dari pihak suami yang
kemudian diajukan pada Pengadilan Agama setempat dan apabila permohonan tersebut
dikabulkan berdasarkan pasal 149 Kompilasi Hukum Islam, seorang istri berhak mendapatkan
(Sulastri, 2014) :
a. Pemberian mut’ah yang layak dari bekas suaminya, bisa berupa uang atau benda kecuali
bekas istri tersebut qabla dukhul;
b. Pemberian nafkah, maskan dan kiswah selama istri dalam masa iddah, kecuali bekas istri
telah dijatuhi talak bain atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil;
c. Melunasi mahar yang masih terhutang baik seluruhnya ataupunsebagian apabila qabla
dukhul;
d. Memberikan biaya hadhanah kepada anak yang masih dibawah usia 21 tahun;
e. Berhak atas nafkah lampau / madliyah, apabila selama dalam masa perkawinan suami tidak
memberikan nafkah;
Pemberian nafkah dari bekas suami kepada bekas istri memiliki tujuan untuk
terpenuhinya kebutuhan bekas istri selama dalam masa iddah. Sedangkan besaran nafkah
yang diberikan oleh mantan suami kepada istri harus disetujui oleh kedua belah pihak dan
disesuaikan dengan kemampuan mantan suami. Apabila terjadi perselisihan terkait besaran
nafkah tersebut, maka yang berkewajiban menentukan besaran nafkah adalah pihak
Pengadilan Agama (Ihwanudin, 2016).
Tatu Rika Indriani, Sifa Mulya Nurani
2874 Syntax Idea, Vol. 6, No. 06, Juni 2024
Seperti pada kasus yang terjadi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan dengan Putusan
No. 1538/Pdt.G/2023/PA.JS yang isi putusannya sebagai berikut :
Catatan Amar :
1. Mengabulkan permohonan Pemohon seluruhnya.
2. Memberikan izin kepada Pemohon (Deddy Mahendra Desta bin Prakoso) untuk
menjatuhkan talak satu Raj'i terhadap Termohon (Natasha Rizky Pradita binti Dasnir Sutan
Bagindo) di depan sidang Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
3. Menghukum Pemohon untuk membayar kepada Termohon berupa:
4. Nafkah selama masa iddah sebesar Rp. 600.000.000. (enam ratus juta rupiah).
a. Uang Mutah sebesar Rp. 1.000.000.000 (satu milyar rupiah).
b. Menghukum Pemohon untuk membayar kepada Termohon diktum angka 3 tersebut di
atas pada saat sebelum pengucapan ikrar talak.
c. Menetapkan anak-anak Pemohon dan Termohon yakni:
d. Megumi Arrawda Sachi binti Deddy Mahendra Desta, Perempuan, tanggal lahir 25
Maret 2014.
e. Miskha Arrawfa Najma binti Deddy Mahendra Desta, Perempuan, tanggal lahir 12 Juli
2016.
f. Miguel Arrawsya Janied bin Deddy Mahendra Desta, Laki-laki, tanggal lahir 12
Desember 2018;
Berada di bawah Hadhanah Termohon (Natasha Rizki Pradita binti Dasnir Sutan
Bagindo) dengan ketentuan Termohon berkewajiban memberikan hak akses bagi Pemohon
untuk bertemu dengan anak-anak tersebut di atas;
1. Menghukum Pemohon untuk membayar kepada Termohon nafkah 3 (tiga) orang anak
sebagaimana tersebut pada poin 5 minimal setiap bulannya sebesar Rp.20.000.000,00,-
(dua puluh juta rupiah) sampai anak tersebut dewasa atau berumur 21 tahun di luar biaya
pendidikan, biaya kesehatan dan biaya lainnya, dengan kenaikan sebesar 10% (sepuluh
persen) pertahun.
2. Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya yang timbul dalam perkara ini
yang hingga saat ini dihitung sebesar Rp795.000.00.- (tujuh ratus sembilan puluh lima ribu
rupiah);
Salah satu bentuk ketentuan hukum yang berhubungan dengan kewajiban ketika
pernikahan itu telah berakhir karena perceraian adalah Dalam pasal 152 KHI perihal
kewajiban mantan suami dan memberikan nafkah selama masa idadah, nafkah iddah dan
mut’ah kepada mantan isteri-nya serta kewajiban memberikan nafkah kepada anak yang
belum mumayyiz dan dalam pengasuhan mantan isterinya (hak hadhanah) yang besaranya di
tetapkan Majelis Hakim dalam putusan (Ihwanudin, 2016).
Tujuan yang ingin dicapai peneliti dalam melakukan penelitian ini adalah mengetahui
kewajiban yang harus dilaksanakan oleh bekas suami menurut Hukum Positif di Indonesia
pasca putusnya perkawinan. Mengetahui Hak apa saja yang dapat diminta seorang istri
apabila ia digugat cerai oleh suaminya.
METODE PENELITIAN
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan Yuridis
Normatif. Menurut Soerjono Soekanto pendekatan yuridis normatif yaitu penelitian hukum
yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder sebagai bahan dasar
untuk diteliti dengan cara mengadakan penelusuran terhadap peraturan-peraturan dan
literatur-literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti (Jonaedi Efendi, Johnny
Tinjauan Yuridis Terhadap Hak Istri Pasca Perceraian Berdasarkan Hukum Positif di
Indonesia (Studi Kasus Putusan NO. 1583/Pdt.G/2023/PA.JS)
Syntax Idea, Vol. 6, No. 06, Juni 2024 2875
Ibrahim, & Se, 2018). Peneliti akan meneliti dari regulasi mengenai Tinjauan Yuridis
Terhadap Hak Istri Pasca Perceraian Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah deskriptif-analitis, yaitu dengan
menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dikaitkan dengan teori-teori
hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif yang berkaitan dengan permasalahan (Irianto,
2017). Peneliti menggunakan spesifikasi penelitian deskriptif, yang merupakan metode yang
dipakai untuk menggambarkan suatu kondisi atau keadaan yang sedang terjadi atau
berlangsung yang bertujuan agar dapat memberikan data seteliti mungkin mengenai objek
penelitian sehingga mampu menggali hal-hal yang bersifat ideal yang kemudian dianalisis
berdasarkan teori hukum atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah yang pertama
studi kasus melalui internet. Studi kepustakaan merupakan teknik untuk mendapatkan data
sekunder melalui dokumen-dokumen yang terkait dengan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian (Suyanto, 2023). Guna melengkapi data sekunder, dilakukan dengan Teknik
Analisis Data.
Teknik analisis data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode
kualitatif, yaitu dengan mengumpulkan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, bahan
hukum tersier yang relevan dengan penulisan skripsi ini; kemudian melakukan pemilahan
terhadap bahan-bahan hukum tersebut sesuai dengan permasalahan masing-masing.
Selanjutnya menginterpretasikan data guna mendapatkan kesimpulan dari permasalahan, lalu
kemudian memaparkan kesimpulan dan saran yang dituangkan dalam bentuk tulisan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kasus Posisi Putusan No. 1583/Pdt.G/2023/PA.JS
Desta mengajukan gugatan cerai secara resmi ke Pengadilan Agama (PA) Jakarta
Selatan dan mendapat jadwal sidang perdana 29 Mei 2023. Setelah kedua belah pihak hadir di
tanggal tersebut, maka selanjutnya hakim akan memulai adalah proses mediasi. Mediasi
adalah proses di mana kedua belah pihak bisa sama-sama menyelesaikan masalahnya agar
perceraian tidak terjadi.
Desta sebagai penggugat dan Natasha sebagai tergugat akan dipertemukan dalam
mediasi. Tujuannya untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi dalam rumah mereka
berdua. Mediasi ini bersifat non-sidang jadi murni penyelesaian secara damai dan adil untuk
mencari jalan keluar masalah.
Mediator adalah hakim atau pihak lain yang memiliki sertifikat mediator sebagai pihak
netral yang membantu para pihak. Mediator dilakukan di ruangan khusus Pengadilan Agama.
Mediator berguna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa
menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian. Mediator dipilih dengan
yang sudah bersertifikasi mediator dari Mahkamah Agung (MA) atau telah memperoleh
akreditasi dari MA. Tujuan mediasi agar permasalahan tidak perlu diadili oleh hakim dan
dapat diselesaikan secara damai. Secara umum, mediasi dilakukan maksimal dua kali.
Tatu Rika Indriani, Sifa Mulya Nurani
2876 Syntax Idea, Vol. 6, No. 06, Juni 2024
Jika nanti saat mediasi Desta dan Natasha tidak mencapai kata sepakat untuk berdamai,
maka perceraian dapat dilanjutkan dalam sidang. Setelah mediasi berakhir kedua pihak harus
membayar biaya mediasi yaitu biaya yang timbul dalam proses mediasi. Di antaranya meliputi
biaya pemanggilan para pihak, biaya perjalanan salah satu pihak berdasarkan pengeluaran
nyata, biaya pertemuan, biaya ahli, atau biaya lain yang diperlukan dalam proses mediasi.
Apabila dalam mediasi, Desta dan Natasha berhasil mencapai kata sepakat atau rujuk,
nantinya perlu membuat dokumen hasil kesepakatan perdamaian. Dokumen ini akan dibawa
menghadap hakim memuat ketentuan penyelesaian sengketa yang ditandatangani oleh para
pihak dan mediator.
Hasil kesepakatan para pihak tersebut akan dituangkan dalam putusan perdamaian (akta
dading). Selain itu, para pihak juga bisa mencabut gugatan sebagaimana klausula yang harus
dicantumkan dalam kesepakatan, jika hasil kesepakatan tidak ingin dituangkan dalam
putusan.
Dalam gugatannya, Desta ternyata tidak menggugat harta gana-gini kepada Natasha.
Harta gana-gini adalah harta bersama yang diperoleh selama perkawinan. Berdasarkan Pasal
97 Kompilasi Hukum Islam (KHI) (Pradoto, 2017), harta gana-gini wajib dibagi dua atau
pihak suami dan istri masing-masing berhak mendapat seperdua atau 50 persen sepanjang
tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Jika Desta tidak menggugat harta gana-gini, namun Natasha tetap bisa menggugat
pembagian harta gana-gini. Gugatan harta gana-gini bisa dilakukan ketika putusan percerain
sudah ada. Berarti gugatan harta gana-gini bisa dilakukan oleh Natasha apabila sudah ada
putusan perceraian.
Selain itu, Desta juga tidak mengajukan permohonan hak asuh anak. Menurut Undang-
Undang No.1 Tahun 1974 Pasal 41, kedua orangtua memiliki kewajiban yang sama untuk
memelihara dan mendidik anaknya.
Jika kedua orangtua tak melayangkan gugatan terkait hak asuh atas anaknya saat
bercerai, maka permasalahan hak asuh pun tak perlu diselesaikan di pengadilan. Apabila
Desta tidak mengajukan gugatan hak asuh anak, maka Natasha akan memiliki hak terhadap
ketiga anak mereka. Sebab, ketiga anak mereka masih kecil-kecil. Hal ini juga sesuai dengan
Pasal 105 KHI bahwa pemegang hak asuh anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12
tahun merupakan hak mamanya. Saat anak mereka sudah ada yang berusia 12 tahun, maka
anak dapat memilih di antara papa atau mamanya sebagai pemegang hak asuhnya.
Pertimbangan Hakim dalam Kasus Putusan No. 1583/Pdt.G/2023/PA.JS
Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa
perceraian dianggap sah apabila ikrar talak diucapkan di depan sidang pengadilan. Hal ini
menjadi poin penting karena berkaitan dengan hak istri atas nafkah iddah dan mut'ah pasca
perceraian (pengucapan ikrar talak) Putusan majelis hakim dalam perkara cerai talak nomor
No. 1583/Pdt.G/2023/PA.JS yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde)
dalam rangka menegakkan asas keadilan bagi para pihak yang mencari keadilan. Adapun isi
putusan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon seluruhnya;
Tinjauan Yuridis Terhadap Hak Istri Pasca Perceraian Berdasarkan Hukum Positif di
Indonesia (Studi Kasus Putusan NO. 1583/Pdt.G/2023/PA.JS)
Syntax Idea, Vol. 6, No. 06, Juni 2024 2877
2. Memberikan izin kepada Pemohon (Deddy Mahendra Desta bin Prakoso) untuk
menjatuhkan talak satu Raj'i terhadap Termohon (Natasha Rizky Pradita binti Dasnir Sutan
Bagindo) di depan sidang Pengadilan Agama Jakarta Selatan;
3. Menghukum Pemohon untuk membayar kepada Termohon berupa:
a. Nafkah selama masa iddah sebesar Rp. 600.000.000. (enam ratus juta rupiah)
b. Uang Mut?ah sebesar Rp. 1.000.000.000 (satu milyar rupiah);
b. Menghukum Pemohon untuk membayar kepada Termohon diktum angka 3 tersebut di
atas pada saat sebelum pengucapan ikrar talak;
c. Menetapkan anak-anak Pemohon dan Termohon yakni:
1) Megumi Arrawda Sachi binti Deddy Mahendra Desta, Perempuan, tanggal lahir 25
Maret 2014;
2) Miskha Arrawfa Najma binti Deddy Mahendra Desta, Perempuan, tanggal lahir 12
Juli 2016;
3) Miguel Arrawsya Janied bin Deddy Mahendra Desta, Laki-laki, tanggal lahir 12
Desember 2018;
Berada di bawah Hadhanah Termohon (Natasha Rizki Pradita binti Dasnir Sutan
Bagindo) dengan ketentuan Termohon berkewajiban memberikan hak akses bagi Pemohon
untuk bertemu dengan anak-anak tersebut di atas;
1. Menghukum Pemohon untuk membayar kepada Termohon nafkah 3 (tiga) orang anak
sebagaimana tersebut pada poin 5 minimal setiap bulannya sebesar Rp.20.000.000,00,-
(dua puluh juta rupiah) sampai anak tersebut dewasa atau berumur 21 tahun di luar biaya
pendidikan, biaya kesehatan dan biaya lainnya, dengan kenaikan sebesar 10% (sepuluh
persen) pertahun;
2. Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya yang timbul dalam perkara ini
yang hingga saat ini dihitung sebesar Rp795.000.000.- (tujuh ratus sembilan puluh lima
ribu rupiah);
Sebelum putusan cerai dibacakan, pemohon harus membayar nafkah iddah dan mut'ah
yang telah disepakati dan diputuskan, yang berfungsi sebagai pedoman bagi hakim
Pengadilan Agama dalam memutuskan berapa jumlah nafkah iddah dan mut'ah yang
diberikan berdasarkan kondisi keuangan pemohon (suami). Hal ini juga tertuang dalam
SEMA Nomor 3 Tahun 2018, yang menyebutkan bahwa hakim "wajib mempertimbangkan
rasa keadilan dan putusan dengan menggali kemampuan ekonomi suami dan kebutuhan hidup
pokok istri dan/atau anak" saat menetapkan nafkah madhiyah, nafkah iddah, mut'ah, dan
nafkah anak.
Kedua, setelah putusan dijatuhkan, para pihak memiliki waktu 14 hari untuk
mengajukan gugatan. Jika tidak ada gugatan yang diajukan, maka pemohon dan termohon
dianggap telah menyetujui putusan yang menjatuhkan talak dan segala turunannya. Majelis
hakim kemudian menjadwalkan hari sidang untuk pengucapan ikrar talak. Selama waktu ini,
para pihak diberi kesempatan untuk menyampaikan masalah hukum apa pun, pada saat sidang
ikrar talak, pemohon memberikan kesempatan kepada termohon (istri) untuk menerima
nafkah iddah dan mut'ah darinya. Selain itu, pemohon dapat menyetorkan jumlah uang yang
menjadi beban kepada kasir di Pengadilan Agama. Pemohon kemudian memberikan tanda
Tatu Rika Indriani, Sifa Mulya Nurani
2878 Syntax Idea, Vol. 6, No. 06, Juni 2024
terima kepada termohon, yang digunakan sebagai bukti untuk mencari nafkah iddah dan
mut'ah kepada kasir pengadilan (Alya & Zainuddin, 2024).
Pemohon dapat meminta perpanjangan waktu, khususnya enam bulan (dimulai dari
waktu yang ditetapkan untuk pelaksanaan ikrar talak) untuk membayar nafkah iddah dan
mut'ah jika mereka tidak dapat melaksanakan putusan yang berkekuatan hukum tetap dengan
melakukan pembayaran ini dalam waktu yang ditentukan. Pengadilan tidak dapat
melaksanakan ikrar talak jika pemohon menolak untuk membayar nafkah iddah dan mut'ah,
kecuali jika termohon menyetujui untuk mengizinkan pemohon melakukannya sebelum
nafkah iddah dan mut'ah dibayarkan.
Majelis hakim yang menetapkan tenggat waktu sebagai konsekuensi hukum atas tidak
dilaksanakannya putusan tersebut, berupaya agar hak-hak istri yang harus diperoleh setelah
perceraian dapat terpenuhi dengan baik. Jika upaya hukum ini tidak dilakukan, maka akan
sulit bagi istri untuk mendapatkan hak-haknya setelah perceraian. Ketiga, dan apabila dalam
tenggat waktu yang diberikan pemohon tidak dapat membayar nafkah iddah dan mut'ah, maka
putusan pengadilan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat lagi/dibatalkan
(batal). Pemohon dan termohon akan kembali menjadi suami istri yang sah. Hal ini karena
dianggap perceraian tersebut tidak serius, karena akan dikhawatirkan apabila pemohon telah
melakukan ikrar talak dan tidak dapat memenuhi pembayaran nafkah iddah dan mut’ah, maka
hak yang seharusnya didapatkan oleh termohon setelah terjadinya perceraian tidak terpenuhi.
Apabila Perkawinan Putus Kewajiban Yang Harus Dilaksanakan Oleh Bekas Suami
Menurut Hukum Positif Di Indonesia
Perceraian kerap terjadi khususnya di Indonesia, yang mana dari segi pihak yang
mengajukan dapat diklasifikasian menjadi dua macam, yakni cerai talak dan cerai gugat.
1. Cerai talak didefinisikan dalam Pasal 114 KHI bahwa: “Putusnya perkawinan yang
disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan
perceraian” lebih lanjut dijelaskan dalam Pasal 129 KHI yang berbunyi: “seseorang suami
yang akan menjatuhkan talak kepada istrinya mengajukan permohonan baik lisan maupun
tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri dengan alasan
serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu.”
2. Cerai Gugat didefinisikan dalam Pasal 132 ayat 2 yang berbunyi: “Gugatan perceraian
diajukan oleh isteri atau kuasanya pada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya
mewilayahi tempat tinggal Penggugat kecuali istri meninggalkan tempat kediaman tanpa
izin suami”
Dengan adanya dua klasifikasi jenis perkara perceraian yang dapat diajukan di
Pengadilan Agama memiliki konsekuensi masing-masing. Khususnya sebagaimana judul
yang menjadi pokok bahasan mengenai tuntutan nafkah terhadap perkara perceraian.
Hal mendasar terlebih yang harus difahami berkaitan dengan konsekuensi terhadap
perkara cerai talak sebagaimana, diatur dalam Pasal 41 huruf c Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan menyebutkan: Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami
untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas
isteri.” dan dalam Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam berbunyi:
Tinjauan Yuridis Terhadap Hak Istri Pasca Perceraian Berdasarkan Hukum Positif di
Indonesia (Studi Kasus Putusan NO. 1583/Pdt.G/2023/PA.JS)
Syntax Idea, Vol. 6, No. 06, Juni 2024 2879
“Bilamana perkawinan putus karena cerai talak maka bekas suami wajib:
a. Memberikan mut`ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda,
kecuali bekas isteri tersebut qobla al dukhul;
b. Memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam iddah, kecuali
bekas isteri telahdi jatuhi talak ba‟in atau nusyus dan dalam keadaan tidak hamil;
c. Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separoh apabila qobla al dukhul;
d. Memberikan biaya hadhanan untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.
Kedua dasar hukum tersebut dirasa menjadi suatu hal yang mengikat dalam setiap
perkara cerai talak wajib bagi mantan suami untuk memberikan nafkah iddah, nafkah mut‟ah,
nafkah madiyah, dan nafkah anak. Hal ini cenderung terjadi diskriminatif bagi perkara cerai
gugat, dimana dalam peraturan perundang-undangan tidak diatur mengenai konsekuensi yang
sama seperti perkara cerai talak.
Telah diketahui bersama, bahwa seorang perempuan yang telah bercerai secara syariat
agama masih menanggung masa iddah. Ditinjau dari perspektif maqâshid al-Syarî‟ah maka
seorang mantan istri selama dalam masa iddah wajib diberikan nafkah karena tanpa adanya
nafkah maka mantan istri tersebut akan berada dalam kondisi bahaya. Dikaitkan dengan
dharuriyat al-khamsah (lima mashlahah pokok), mashlahah dalam perlindungan mantan istri
tersebut adalah hifzh al-nafs (memelihara jiwa). Jiwa merupakan salah satu dari dharuriyat al-
Khamsah yang wajib dipelihara. Wajibnya memelihara jiwa telah dimulai sejak di alam rahim
berupa pemeliharaan hasil pembuahan sperma dan ovum bahkan sebelum adanya pembuahan
dengan syari‟at nikah dan pengharaman zina. Perlindungan jiwa tersebut berlanjut dengan
kewajiban orang tua mengurus anak tersebut sejak lahir sampai mandiri bagi laki-laki atau
sampai menikah bagi perempuan. Bagi seorang perempuan, setelah menikah maka
kepengurusannya beralih kepada suami dan setelah terjadinya perceraian semestinya suami
belum bebas dari tanggung jawab sampai habisnya masa iddah.
Tentunya dalam hal ini para penemu hukum atau hakim dituntut untuk memberikan
suatu pertimbangan atas kekosongan hukum yang terjadi. Surat Edaran Mahkamah Agung
No. 03 Tahun 2018 Hasil Pleno Kamar Agama pada point 2 menyebutkan bahwa:
Nafkah madhiyah, nafkah, iddah, mut‟ah, dan nafkah anak menyempurnakan rumusan
Kamar Agama dalam SEMA Nomor: 07 Tahun 2012 angka 16 sehingga berbunyi: “Hakim
dalam menetapkan nafkah madhiyah, nafkah iddah, mut‟ah, dan nafkah anak, harus
mempertimbangkan rasa keadilan dan kepatutan dengan menggali fakta kemampuan ekonomi
suami dan fakta kebutuhan dasar hidup isteri dan/atau anak”
Guna mengakomodir Perma Nomor 3 tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara
Perempuan Berhadapan dengan hukum, maka dalam point 3 Surat Edaran Mahkamah Agung
No. 03 Tahun 2018 Hasil Pleno Kamar Agama, isteri dalam perkara cerai gugat dapat
diberikan nafkah madhiyah, nafkah, iddah, mut‟ah, dan nafkah anak sepanjang tidak nusyuz”
Maka berdasarkan Perma tersebut, tidak menutup kemungkinan dalam perkara cerai
gugat pihak Penggugat (istri) dapat mengajukan tuntutan atas nafkah madhiyah, nafkah,
iddah, mut‟ah, dan nafkah anak sepanjang tidak nusyuz.
Yang kemudian menjadi catatan bahwa dalam hal nafkah yang harus dipenuhi mantan
suami terhadap mantan istri dan anaknya adalah sebagai berikut:
Tatu Rika Indriani, Sifa Mulya Nurani
2880 Syntax Idea, Vol. 6, No. 06, Juni 2024
1. Nafkah madiyah adalah nafkah yang telah lampau tidak selalu dihubungkan dengan
perkara cerai talak, yang kemudian dalam hal ini istri dapat mengajukan tuntutan nafkah
madiyah saat suaminya mengajukan perkara cerai talak dengan mengajukan gugatan
rekonvensi;
2. Nafkah iddah sebagai dasar pemikiran bahwa pada perkara cerai gugat adalah terjadinya
fakta bahwa pasca putusan, mantan isteri menjalani massa iddah. Sehingga konsep nafkah
iddah sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur‟an dijadikan illat yang sama terhadap perkara
cerai talak.
3. Nafkah mut‟ah konsepnya adalah istri yang dicerai merasa menderita karena harus
berpisah dengan suaminya. Guna meminimalisir penderitaan atau rasa sedih tersebut, maka
diwajibkanlah bagi mantan suami untuk memberikan nafkah mut‟ah sebagai penghilang
pilu. Namun beberapa pendapat menyatakan bahwa apabila yang mengajukan adalah istri
yakni dalam perkara cerai gugat, maka nafkah mut‟ah dianggap tidak ada. Dengan melihat
tidak adanya derita yang dialami oleh istri.
4. Dan Nafkah anak tentunya jatuh pada saat setelah terjadinya peristiwa cerai. Yang tidak
menutup kemungkinan dibolehkan dalam perkara cerai gugat untuk mengajukan tuntutan
atas nafkah anak.
Menanggapi adanya SEMA no. 3 Tahun 2018 berkaitan dengan Pasal 149 huruf b
Kompilasi Hukum Islam berbunyi:
“Bilamana perkawinan putus karena cerai talak maka bekas suami wajib:
memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam iddah, kecuali
bekas isteri telah di jatuhi talak ba‟in atau nusyus dan dalam keadaan tidak hamil; yang mana
perlu digaris bawahi bahwa “........kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak ba’in.......”. kalimat
tersebut tentunya membutuhkan redefinisi berkaitan dengan talak ba‟in. Sehingga Majelis
Hakim dalam memutus perkara cerai gugat dengan kumulasi tuntutan nafkah dapat
memperhatikan kedudukan jenis talak yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim. Dalam amar
putusan hakim pada perkara perceraian mengenal bentuk talak terdiri dari 3 macam, yakni:
1. Talak Raj‟i merupakan talak kesatu atau kedua yang dijatuhkan suami kepada istrinya
dalam hal ini suami berhak untuk rujuk selama istri masih dalam masa iddah;
2. Talak Ba‟in Shugraa merupakan talak yang tidak dapat rujuk. Sehingga jika ingin kembali
hidup bersama mantan suami dan mantan isteri harus melangsungkan akad nikah baru.
Terjadi dalam keadaan-keadaan sebagai berikut:
a. Talak yang terjadi qabla al dukhul;
b. Talak dengan tebusan atau khuluk;
c. Talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama;
3. Talak Ba‟in Kubra merupakan talak yang terjadi ketiga kalinya dan tidak dapat dirujuk dan
tidak dapat dinikahi kembali kecuali pernikahan itu dilakukan setelah mantan istri menikah
dengan orang lain.
Dari ketiga macam jenis talak tersebut, bagi mantan istri tetap menanggung masa iddah
kecuali apabila terjadi qabla al dukhul. Untuk implementasi dari pada SEMA tersebut
berkaitan dengan tuntutan nafkah iddah, ada perbedaan pendapatan dalam memaknai talak
ba‟in shugraa dengan tebusan atau khuluk. Namun, yang sering berlaku dalam praktinya, istri
Tinjauan Yuridis Terhadap Hak Istri Pasca Perceraian Berdasarkan Hukum Positif di
Indonesia (Studi Kasus Putusan NO. 1583/Pdt.G/2023/PA.JS)
Syntax Idea, Vol. 6, No. 06, Juni 2024 2881
mengajukan cerai gugat didasarkan karena adanya kondisi suami yang menyebabkan perkara
perceraian dapat diajukan ke Pengadilan Agama sebagaimana tertera dalam Pasal 116 KHI.
Sehingga memaknai hadist dibawah ini.
Hak Yang Dapat Diminta Seorang Istri Apabila Ia Digugat Cerai Oleh Suaminya
Hak yang diperoleh istri jika digugat cerai talak suami itu berupa Nafkah Iddah (Nafkah
Dalam Masa Tunggu), Nafkah Madhiyah, Mut’ah, dan Hadhanah serta penjelasannya
dibawah ini.
Nafkah Idah
Nafkah iddah (nafkah dalam masa tunggu) adalah nafkah yang wajib diberikan oleh
mantan suami kepada mantan isteri yang dijatuhi talak selama mantan istri menjalani masa
iddah (masa tunggu), kecuali jika mantan istrinya melakukan nusyuz (pembangkangan).
Hak Istri mendapatkan nafkah iddah ini diperkuat dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal
152 yang berbunyi (Gunawan, 2016):
Pasal 152
Bekas isteri berhak mendapatkan nafkah iddah dari bekas suaminya kecuali ia nusyuz.
Nafkah Mut’ah
Nafkah mut’ah (penghibur) adalah pemberian dari mantan suami kepada mantan
isterinya yang dijatuhi talak baik berupa uang atau benda lainnya. Kewajiban mantan suami
memberi baik uang atau benda kepada mantan isterinya diatur dalam Kompilasi Hukum Islam
Pasal 149 yang berbunyi:
Pasal 149
Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:
a. Memberikan mut`ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda,
kecuali bekas isteri tersebut qobla al dukhul;
b. Memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam iddah, kecuali
bekas isteri telahdi jatuhi talak ba1in atau nusyur dan dalam keadaan tidak hamil;
c. Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separoh apabila qobla al dukhul;
d. Memberikan biaya hadhanan untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun
Nafkah Madhiyah
Nafkah Madhiyah (nafkah masa lampau) adalah nafkah terdahulu yang dilalaikan atau
tidak dilaksanakan oleh mantan suami kepada mantan isteri sewaktu keduanya masih terikat
perkawinan yang sah.
Hadhanah
Hadhanah (pemeliharaan anak) adalah hak pemeliharaan atas anak yang belum
mumayyiz (terlihat fungsi akalnya) atau belum berumur 12 tahun, atau anak yang telah
berumur 12 tahun atau lebih namun memilih dipelihara oleh ibunya. Hukum Perkawinan yang
berlaku di Indonesia pada pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
Tatu Rika Indriani, Sifa Mulya Nurani
2882 Syntax Idea, Vol. 6, No. 06, Juni 2024
mengatur bahwa ikatan perkawinan dapat putus karena 3 (tiga) hal, yaitu kematian,
perceraian, dan atas putusan pengadilan Pada pasal 39 kemudian diatur bahwa perceraian
hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan
berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak, dan juga untuk melakukan
perceraian harus ada cukup alasan bahwa suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai
suami istri.
Pengajuan perkara perceraian di Pengadilan Agama dapat dilakukan oleh suami atau
istri. Pengajuan perceraian yang dilakukan oleh suami disebut dengan cerai talak, sedangkan
apabila yang mengajukan adalah istri disebut dengan cerai gugat. Dalam proses perkara
perceraian tersebut, istri yang diceraikan oleh suaminya, baik lewat cerai talak maupun cerai
gugat, dapat menuntut hak-haknya sebagai seorang istri yang diceraikan, yang lazim disebut
dengan hak istri pasca perceraian (Arma, 2022).
Hak pertama yang dapat dituntut oleh istri pasca perceraian adalah mut’ah. Mut’ah
artinya suatu hadiah atau kenang-kenangan yang diberikan suami kepada istri yang
diceraikannya. Syariat tentang pemberian mut’ah ditegaskan dalam Islam, di antaranya pada
ayat Alquran Surat Al-Baqarah (2) dijelaskan Dan hendaklah mereka kamu beri mut’ah bagi
yang mampu menurut kemampuannya dan bagi yang tidak mampu menurut kesanggupannya,
yaitu pemberian dengan cara yang patut, yang merupakan kewajiban bagi orang-orang yang
berbuat kebaikandan juga dalam surah Al-Ahzab (33) Bagi perempuan-perempuan yang
diceraikan hendaklah diberikan mut’ah menurut cara yang patut, sebagai suatu kewajiban
bagi orang yang bertakwa”. Imam Syafi’i yang juga dipertegas oleh al-Syarbaini
menyebutkan bahwa kebanyakan para sahabat yang diketahuinya, berdasarkan ayat di atas
menegaskan bahwa yang berhak mendapat mut’ah adalah semua perempuan yang ditalak (Al
Hafizh, 2019).
Kedua, istri yang diceraikan oleh suaminya berhak mendapatkan nafkah selama istri
tersebut menjalani masa iddah, yang lazim dikenal dengan istilah nafkah iddah. Iddah dalam
Islam adalah suatu masa tunggu yang wajib dilakukan oleh wanita, dimana pada masa itu
wanita tidak boleh melakukan perkawinan, baik disebabkan oleh perceraian akibat kematian
suaminya, atau akibat dari perceraian dengan suaminya. Selama masa iddah tersebut suami
wajib untuk tetap memberi nafkah kepada istri yang diceraikannya itu hingga berakhir masa
iddah. Nafkah tersebut meliputi uang untuk kebutuhan pokok, tempat tinggal (maskan), dan
pakaian (kiswah) (Khairuddin, Badri, & Auliyana, 2020).
Ketiga, istri juga berhak menuntut nafkah lampau atau nafkah madhiyah, yaitu nafkah
yang telah dilalaikan oleh suami atau tidak diberikan suami selama dalam pernikahan. Seluruh
ulama sepakat bahwa nafkah yang dilalaikan seorang suami terhadap istrinya dihitung sebagai
hutang yang mesti dibayarkan oleh suami.
Khusus mengenai nafkah selama masa iddah dan nafkah lampau (madhiyah), kewajiban
suami dapat gugur apabila terbukti istri nusyuz. Nusyuz secara umum dimaknai dengan
ketidakpatuhan salah satu pasangan suami-isteri terhadap apa yang seharusnya dipatuhi
dan/atau rasa benci terhadap pasangannya (Jannah, 2010). Nusyuznya seorang istri yang dapat
menggugurkan kewajiban nafkah suami terhadapnya di antaranya adalah istri menolak tinggal
bersama di rumah yang sudah disiapkan oleh suaminya tanpa alasan yang sah (menolak
Tinjauan Yuridis Terhadap Hak Istri Pasca Perceraian Berdasarkan Hukum Positif di
Indonesia (Studi Kasus Putusan NO. 1583/Pdt.G/2023/PA.JS)
Syntax Idea, Vol. 6, No. 06, Juni 2024 2883
tamkin), istri keluar rumah dan bepergian tanpa seizin suami, istri tidak membukakan pintu
bagi suami yang hendak masuk ke rumah atau ke kamar, dan istri menolak ajakan suami
untuk berhubungan suami-istri (bersenggama) padahal ia tidak sedang uzur seperti sakit atau
lainnya, atau saat suami menginginkannya namun ia sibuk dengan urusannya sendiri. Apabila
terbukti istri melakukan perbuatan tersebut di atas, maka gugurlah kewajiban suami untuk
membayarkan nafkah selama iddah dan nafkah lampau kepada istri (EVY, 2023).
Keempat hak pemeliharaan dan pengasuhan anak (biasa disebut dengan Hadanah) dan
juga meminta biaya hadanah. Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 105 dijelaskan bahwa
pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya,
kemudian untuk biaya memenuhi kebutuhan sehari-hari anak yang masih dalam
tanggungan/di bawah umur ditanggung oleh ayahnya (Rochaeti, 2015).
Kelima, hak menuntut pembagian harta bersama. Harta bersama yang dimaksud di sini
adalah harta yang didapat selama masa perkawinan (Faizal, 2015). Apabila sebelum menikah
antara suami dan istri tidak ada perjanjian pembagian harta, maka secara otomatis seluruh
harta yang didapatkan baik oleh usaha suami atau usaha istri dihukum sebagai harta bersama
atau lazim dikenal dengan istilah harta gono-gini. Istri berhak mendapatkan pembagian harta
bersama pasca perceraian tersebut apabila harta dikuasai oleh suami.
Dan yang keenam adalah hak menuntut pelunasan mahar jika terhutang. Apabila ketika
akad nikah suami berhutang maharnya kepada istri, dan selama pernikahan suami belum
sempat melunasinya, maka istri dapat menuntut mahar terhutang tersebut setelah perceraian.
Perceraian yang terjadi tidak hanya berdampak bagi mantan suami atau istri. Anak
sering menjadi korban dari perpisahan orang tuanya tersebut. Oleh karena itu, hak
keperdataan anak harus sangat diperhatikan, sehingga mesti dilakukan upaya-upaya untuk
memberikan jaminan terpeliharanya hak perempuan dan anak pasca perceraian. Hukum di
Indonesia mengatur bahwa hak anak akibat perceraian adalah ayah dan ibu tetap berkewajiban
memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak.
Kemudian ayah yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang
diperlukan anak.
Kondisi pasca perceraian bukan merupakan hal yang mudah bagi perempuan apalagi
anak. Untuk mendukung terwujudnya jaminan perlindungan hak perempuan dan anak pasca
perceraian maka diharapkan setiap perempuan yang akan mengajukan gugatan cerai ke
Pengadilan Agama hendaknya aktif bertanya untuk memastikan haknya pasca perceraian,
sebab negara menjamin kemerdekaan setiap orang untuk menyuarakan aspirasi dan
memperjuangkan hak hukumnya berdasarkan equality before the law (persamaan di muka
hukum).
KESIMPULAN
Yang kemudian menjadi catatan bahwa dalam hal nafkah yang harus dipenuhi mantan
suami terhadap mantan istri dan anaknya ialah Nafkah madiyah adalah nafkah yang telah
lampau tidak selalu dihubungkan dengan perkara cerai talak, yang kemudian dalam hal ini
istri dapat mengajukan tuntutan nafkah madiyah saat suaminya mengajukan perkara cerai
talak dengan mengajukan gugatan rekonvensi. Nafkah iddah sebagai dasar pemikiran bahwa
Tatu Rika Indriani, Sifa Mulya Nurani
2884 Syntax Idea, Vol. 6, No. 06, Juni 2024
pada perkara cerai gugat adalah terjadinya fakta bahwa pasca putusan, mantan isteri menjalani
massa iddah. Sehingga konsep nafkah iddah sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur‟an
dijadikan illat yang sama terhadap perkara cerai talak. Nafkah mut‟ah konsepnya adalah istri
yang dicerai merasa menderita karena harus berpisah dengan suaminya. Guna meminimalisir
penderitaan atau rasa sedih tersebut, maka diwajibkanlah bagi mantan suami untuk
memberikan nafkah mut‟ah sebagai penghilang pilu. Namun beberapa pendapat menyatakan
bahwa apabila yang mengajukan adalah istri yakni dalam perkara cerai gugat, maka nafkah
mut‟ah dianggap tidak ada. Dengan melihat tidak adanya derita yang dialami oleh istri. Dan
Nafkah anak tentunya jatuh pada saat setelah terjadinya peristiwa cerai. Yang tidak menutup
kemungkinan dibolehkan dalam perkara cerai gugat untuk mengajukan tuntutan atas nafkah
anak. Kondisi pasca perceraian bukan merupakan hal yang mudah bagi perempuan apalagi
anak. Untuk mendukung terwujudnya jaminan perlindungan hak perempuan dan anak pasca
perceraian maka diharapkan setiap perempuan yang akan mengajukan gugatan cerai ke
Pengadilan Agama hendaknya aktif bertanya untuk memastikan haknya pasca perceraian,
sebab negara menjamin kemerdekaan setiap orang untuk menyuarakan aspirasi dan
memperjuangkan hak hukumnya berdasarkan equality before the law (persamaan di muka
hukum.
BIBLIOGRAFI
Al Hafizh, Muhammad. (2019). Hak Nafkah Istri Yang Nusyûz(Study Istinbâṭ Hukum
Syafiyyah dan Ẓahiriyah Berdasarkan Pendekatan Maqāṣid asy-Syarī’ah). IAIN Metro.
Alya, Aulia, & Zainuddin, Zainuddin. (2024). Analisis Putusan Pengadilan Agama Nomor
2429/Pdt. G/2023/PA. Mdn Tentang Nafkah Iddah dan Mut’ah oleh Suami Kepada Isteri
dalam Perkara Cerai Talak. UNES Law Review, 6(3), 77917799.
Arma, Hariri Ocviani. (2022). Pembayaran Nafkah Iddah dan Mut’ah Dalam Perkara Cerai
Talak Di Pengadilan Agama. Sakena: Jurnal Hukum Keluarga, 7(2), 156169.
Evy, Septiana Rachman. (2023). Analisis Pelaksanaan Nafkah Anak Dan Mantan Istri Pasca
Putusan Pengadilan Agama Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Hukum Positif Serta
Implikasinya Bagi Perkembangan Hukum Keluarga Islam Di Indonesia (Studi Kasus di
Wilayah Pengadilan Tinggi Agama Bandar Lampung). UIN Raden Intan Lampung.
Faizal, Liky. (2015). Harta bersama dalam Perkawinan. Ijtimaiyya: Jurnal Pengembangan
Masyarakat Islam, 8(2), 77102.
Gunawan, Edi. (2016). Eksistensi Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia. Jurnal Ilmiah Al-
Syir’ah, 8(1).
Ihwanudin, Nandang. (2016). Pemenuhan kewajiban pasca perceraian di pengadilan agama.
Jurnal Auliya, 10(1).
Irianto, Sulistyowati. (2017). Metode Penelitian Kualitatif Dalam Metodologi Penelitian Ilmu
Hukum. Jurnal Hukum & Pembangunan, 32(2), 155172.
Jannah, Hasanatul. (2010). Kompetensi Hukum Pemenuhan Nafkah Istri Pasca Perceraian. De
Jure Jurnal Syariah Dan Hukum, 2(1).
Jonaedi Efendi, S. H. I., Johnny Ibrahim, S. H., & Se, M. M. (2018). Metode Penelitian
Hukum: Normatif dan Empiris. Prenada Media.
Khairuddin, Khairuddin, Badri, Badri, & Auliyana, Nurul. (2020). Pertimbangan Hakim
Terhadap Putusan Nafkah Pasca Perceraian (Analisis Putusan Mahkamah Syar’iyah
Aceh Nomor 01/Pdt. G/2019/MS. Aceh). El-Usrah: Jurnal Hukum Keluarga, 3(2), 164
Tinjauan Yuridis Terhadap Hak Istri Pasca Perceraian Berdasarkan Hukum Positif di
Indonesia (Studi Kasus Putusan NO. 1583/Pdt.G/2023/PA.JS)
Syntax Idea, Vol. 6, No. 06, Juni 2024 2885
189.
Pradoto, Muhammad Tigas. (2017). Aspek Yuridis Pembagian Harta Bersama Dalam
Perkawinan (Tinjauan Hukum Islam Dan Hukum Perdata). Jurnal Jurisprudence, 4(2),
8591.
Rochaeti, Etty. (2015). Analisis Yuridis tentang Harta Bersama (gono gini) dalam perkawinan
menurut Pandangan Hukum islam dan Hukum Positif. Jurnal Wawasan Yuridika, 28(1),
650661.
Sulastri, Sulastri. (2014). Analisis terhadap Kompilasi Hukum Islam Pasal 149 huruf d
tentang Nafkah Anak. UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Suyanto, S. H. (2023). Metode Penelitian Hukum Pengantar Penelitian Normatif, Empiris
Dan Gabungan. Unigres Press.
Wibisana, Wahyu. (2016). Pernikahan dalam islam. Jurnal Pendidikan Agama Islam-Ta’lim,
14(2), 185193.
Copyright holder:
Tatu Rika Indriani, Sifa Mulya Nurani (2024)
First publication right:
Syntax Idea
This article is licensed under: