Tinjauan Yuridis Terhadap Hak Istri Pasca Perceraian Berdasarkan Hukum Positif di
Indonesia (Studi Kasus Putusan NO. 1583/Pdt.G/2023/PA.JS)
Syntax Idea, Vol. 6, No. 06, Juni 2024 2879
“Bilamana perkawinan putus karena cerai talak maka bekas suami wajib:
a. Memberikan mut`ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda,
kecuali bekas isteri tersebut qobla al dukhul;
b. Memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam iddah, kecuali
bekas isteri telahdi jatuhi talak ba‟in atau nusyus dan dalam keadaan tidak hamil;
c. Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separoh apabila qobla al dukhul;
d. Memberikan biaya hadhanan untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.
Kedua dasar hukum tersebut dirasa menjadi suatu hal yang mengikat dalam setiap
perkara cerai talak wajib bagi mantan suami untuk memberikan nafkah iddah, nafkah mut‟ah,
nafkah madiyah, dan nafkah anak. Hal ini cenderung terjadi diskriminatif bagi perkara cerai
gugat, dimana dalam peraturan perundang-undangan tidak diatur mengenai konsekuensi yang
sama seperti perkara cerai talak.
Telah diketahui bersama, bahwa seorang perempuan yang telah bercerai secara syariat
agama masih menanggung masa iddah. Ditinjau dari perspektif maqâshid al-Syarî‟ah maka
seorang mantan istri selama dalam masa iddah wajib diberikan nafkah karena tanpa adanya
nafkah maka mantan istri tersebut akan berada dalam kondisi bahaya. Dikaitkan dengan
dharuriyat al-khamsah (lima mashlahah pokok), mashlahah dalam perlindungan mantan istri
tersebut adalah hifzh al-nafs (memelihara jiwa). Jiwa merupakan salah satu dari dharuriyat al-
Khamsah yang wajib dipelihara. Wajibnya memelihara jiwa telah dimulai sejak di alam rahim
berupa pemeliharaan hasil pembuahan sperma dan ovum bahkan sebelum adanya pembuahan
dengan syari‟at nikah dan pengharaman zina. Perlindungan jiwa tersebut berlanjut dengan
kewajiban orang tua mengurus anak tersebut sejak lahir sampai mandiri bagi laki-laki atau
sampai menikah bagi perempuan. Bagi seorang perempuan, setelah menikah maka
kepengurusannya beralih kepada suami dan setelah terjadinya perceraian semestinya suami
belum bebas dari tanggung jawab sampai habisnya masa iddah.
Tentunya dalam hal ini para penemu hukum atau hakim dituntut untuk memberikan
suatu pertimbangan atas kekosongan hukum yang terjadi. Surat Edaran Mahkamah Agung
No. 03 Tahun 2018 Hasil Pleno Kamar Agama pada point 2 menyebutkan bahwa:
Nafkah madhiyah, nafkah, iddah, mut‟ah, dan nafkah anak menyempurnakan rumusan
Kamar Agama dalam SEMA Nomor: 07 Tahun 2012 angka 16 sehingga berbunyi: “Hakim
dalam menetapkan nafkah madhiyah, nafkah iddah, mut‟ah, dan nafkah anak, harus
mempertimbangkan rasa keadilan dan kepatutan dengan menggali fakta kemampuan ekonomi
suami dan fakta kebutuhan dasar hidup isteri dan/atau anak”
Guna mengakomodir Perma Nomor 3 tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara
Perempuan Berhadapan dengan hukum, maka dalam point 3 Surat Edaran Mahkamah Agung
No. 03 Tahun 2018 Hasil Pleno Kamar Agama, isteri dalam perkara cerai gugat dapat
diberikan nafkah madhiyah, nafkah, iddah, mut‟ah, dan nafkah anak sepanjang tidak nusyuz”
Maka berdasarkan Perma tersebut, tidak menutup kemungkinan dalam perkara cerai
gugat pihak Penggugat (istri) dapat mengajukan tuntutan atas nafkah madhiyah, nafkah,
iddah, mut‟ah, dan nafkah anak sepanjang tidak nusyuz.
Yang kemudian menjadi catatan bahwa dalam hal nafkah yang harus dipenuhi mantan
suami terhadap mantan istri dan anaknya adalah sebagai berikut: