How to cite:
Marisca Jessica Yastri, Sudaryono (2024) Kekuatan Ideologi Lokal Penggarap Lahan PAG Sebagai
Pilar Tata Ruang di Sepanjang Pesisir Selatan Kulon Progo, (06) 06,
https://doi.org/10.36418/syntax-idea.v3i6.1227
E-ISSN:
2684-883X
Published by:
Ridwan Institute
KEKUATAN IDEOLOGI LOKAL PENGGARAP LAHAN PAG SEBAGAI PILAR
TATA RUANG DI SEPANJANG PESISIR SELATAN KULON PROGO
Marisca Jessica Yastri, Sudaryono
Universitas Gadjah Mada, Indonesia
Abstrak
Dewasa ini pendekatan terhadap tata ruang berpegang pada kepentingan modal, sehingga
keunikan tata ruang lokal semakin kehilangan jati dirinya. Artikel ini mencoba untuk
menggambarkan paradigma kekuatan pikiran lokal sebagai ideologi yang mampu
menciptakan tata ruang yang teranyam secara spasial (fisik ruang) dan sosial budaya serta
ekonomi. Tujuan penulisan artikel ini adalah eksplorasi dan pengembangan kekuatan ideologi
lokal yang berpengaruh terhadap kekuatan pilar tata ruang di sepanjang pesisir Selatan Kulon
Progo. Artikel ini menyimpulkan bahwa kekuatan ideologi masyarakat penggarap PAG
berdiri diatas tiga pilar yaitu 1) pilar penguasaan ruang inklusif; 2) pilar genealogis; dan 3)
pilar sosial ekonomi.
.
Kata kunci: Otoritas spasial inklusif, genealogis, kontinuitas ekonomi
Abstract
Nowadays, the approach to spatial planning is based on the concerns of a capitalist, so that
the uniqueness of local spatial planning is increasingly undermined. This article attempts to
emphasize the paradigm of the power of local thought as an ideology capable of establishing
spatial, socio-cultural and economic continuity. The aim of this article is to explore and
develop the power of local ideology that influences the strength of spatial pillars along the
South coast of Kulon Progo. This article concludes that the ideological strength of the PAG
community is supported by three pillars: 1) the pillar of inclusive spatial authority; 2) the
genealogical pillar; and 3) the socio-economic pillar.
Keywords: Inclusive spatial authority, genealogical, economic continuity.
PENDAHULUAN
Gambaran peristiwa komodifikasi lahan PAG sebagai pemenuhan cita-cita penyetaraan
Jawa bagian selatan merupakan titik balik pergeseran paradigma ruang pesisir Kulon Progo.
Pembangunan bandara yang digaungkan sebagai infrastruktur urban catalyst secara ekonomi
dan lingkungan, nyatanya mengorbankan nilai keberdayaan komunitas melalui upaya
pengerjaan tanah PAG dari lahan marjinal menjadi lahan produktif pertanian pesisir (Girinata,
2018; Imron, 2014).
Ruang pesisir Selatan Kulon Progo bukan merupakan ruang kosong yang hanya
berisikan hamparan pasir pantai. Wujud ruang yang sesungguhnya memerlukan pendalaman
JOURNAL SYNTAX IDEA
pISSN: 2723-4339 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 6, No. 06, Juni 2024
Marisca Jessica Yastri, Sudaryono
2850 Syntax Idea, Vol. 6, No. 06, Juni 2024
khusus dan dilakukan melalui analisa-analisa ikatan emosional dan spiritual yang dialami
penghuninya (Wahid & SH, 2016). Ruang pesisir Kulon Progo adalah sebuah kesatuan ruang
yang terbentuk dari kluster-kluster ruang lokal yang mulanya adalah sebuah kelompok
masyarakat dengan skala kerabat. Kelompok masyarakat tersebut menciptakan ruang yang
harmonis antara sumberdaya alam dengan sumberdaya budaya. Sepanjang perjalanan sejarah
ruang, maka terciptalah ideologi yang mendarahdaging di dalam penghuni ruang PAG
tersebut.
Perpektif penulisan ini menyatakan bahwa peristiwa ekspansi ruang pesisir Kulon Progo
menjadi bukti nyata bahwa orientasi tata ruang lokal berpegang pada paradigma kontinuitas
(pengulangan) dan jangka panjang. Rantai ekspansi ruang kemudian mengikat kepada
penguasaan ruang secara inklusif. Poin penting artikel ini adalah kepada nilai-nilai pluralisme
lokal yang terdapat di pesisir Kulon Progo. Nilai pluralisme adalah modal dasar dari
penciptaan tata ruang lokal berikut dengan kekuatan ideologinya. (Tilman, Mujiburohman, &
Dewi, 2021) menyatakan bahwa pemanfaatan dan penggunaan tanah kasultanan sudah
berlangsung lama melalui beragam periodisasi dan menjadi bagian integral dari NKRI begitu
pula dengan sistem pemanfaatan inklusifnya (Manzo, 2003).
Kerangka berpikir diatas merupakan suatu pengantar yang mendasari bagaimana suatu
ruang dapat mewujudkan dirinya sebagai satu produk pengetahuan lokal yang dapat berguna
bagi perencanaan tata ruang kedepannya.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif
adalah pendekatan penelitian yang menekankan analisis deskriptif (Rukajat, 2018). Dalam
prosesnya, perspektif subjek menjadi fokus utama, dan teori digunakan oleh peneliti sebagai
panduan untuk memastikan bahwa penelitian berjalan sesuai dengan fakta yang ditemukan di
lapangan. Tujuan dari metode ini adalah untuk menjelaskan fenomena secara mendalam
dengan mengumpulkan data secara menyeluruh (Waruwu, Gulo, Lahagu, Halawa, & Laia,
2023). Obyek penelitian ini adalah strategi dan praktik manajemen komunikasi yang
digunakan dalam kemitraan di industri teknologi. Teknik pengumpulan data pada penelitian
ini yakni dengan studi literatur yang diperoleh dari Google Schoolar dengan periode publikasi
2014-2024 (Sugiyono, 2019). Data yang telah terkumpul kemudian dianalisis dalam tiga
tahapan yakni reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam perjalanan penulisan ini, penulis mengutip dari pernyataan (Triatmodjo, 2015)
yang mengenalkan proses terbentuknya produksi sebuah ruang yang menyatakan bahwa
setiap unsur ruang dan elemen arsitektur dalam setiap skala temporal mampu
merepresentasikan karakter lingkungan diikuti dengan pemaknaan yang berbeda tergantung
kepada penghuninya (Setianingrum, Sudaryono, & Roychansyah, 2021). Keunikan yang
dimiliki oleh pesisir Kulon Progo adalah legitimasi Daerah Istimewa, pengelolaan pertanahan
dan tata ruang menggunakan sistem kerajaan.
a) Pilar 1: Penguasaan Ruang secara Inklusif
Pada masa sebelum berlakunya UU Keistimewaan sekitar tahun 1980 hingga 1990an,
masyarakat selatan dengan bebas memanfaatkan lahan milik raja. Pada waktu itu, kondisi
fisik lahan serta geografis pesisir Kulon Progo merupakan lahan gundukan pasir-pasir,
Kekuatan Ideologi Lokal Penggarap Lahan PAG Sebagai Pilar Tata Ruang di Sepanjang
Pesisir Selatan Kulon Progo
Syntax Idea, Vol. 6, No. 06, Juni 2024 2851
semak belukar dan tidak tereksplorasi. Masyarakat selatan yang dikenal sebagai
masyarakat ‘cubung’ secara swadaya mengupayakan lahan tersebut untuk dijadikan lahan
pertanian pesisir. Sejarah bermukim masyarakat pesisir Kulon Progo berjalan secara
organik melalui penguasaan tanah secara tradisional dan diakui oleh Jogoboyo. Aturan
pembolehan ditujukan untuk kebebasan masyarakat mengambil keuntungan dari tanah dan
segala isinya, yang diistilahkan sebagai ‘hak garap’. Masa ini, pola pertumbuhan ruang
masih berlangsung secara lamban dan pasif.
Sepanjang hidup para moyang orang-orang Cubung tidak bisa mewariskan apapun
selain lahan gersang dan kemiskinan. Mereka tidak dianugerahi kemampuan dan
kesempatan untuk memperoleh sumber kehidupan. Kuncoro (1997) mengutarakan muara
permasalahan ini ada pada lingkaran setan kemiskinan (vicious circle of poverty) termasuk
yang dialami oleh masyarakat pesisir Kulon Progo.
Gambar 1. Pertumbuhan Ruang dan Kependudukan di Pesisir Selatan Kulon Progo
Momentum tahun 1985 merupakan momen penting yang menciptakan kebudayaan
bertani di lahan pesisir Kulon Progo. Keberhasilan seorang peternak ketika menanam
pohon cabe di atas kotoran sapi di pesisir Karangwuni. Praktik sosial masyarakat cubung
yang dulunya hanya menanam singkong telah terinternalisasi di alam pikiran bahwa
mereka adalah “petani cabai”, termasuk di alam pikiran masyarakat pesisir. Secara kolektif
mereka membangun prinsip yang sama untuk memanfaatkan dan menguasai ruang-ruang
pesisir yang terbentang dari barat hingga timur Kulon Progo. Masa ini, pola pertumbuhan
ruang pesisir Kulon Progo sangat masif dan terjadi ekspansi hingga ke desa lainnya.
Gambar 2. Peta Persebaran Pertanian Cabai dan Holtikultura di Sepanjang Pesisir
Kulon Progo
Marisca Jessica Yastri, Sudaryono
2852 Syntax Idea, Vol. 6, No. 06, Juni 2024
Sejak tahun 1990-an penduduk yang bermukim di bagian selatan merupakan
masyarakat petani. Kemudian terjadi transformasi sosial dan budaya yaitu sebagai nelayan
sampingan, selain bertani terkadang juga mencari ikan di laut. Proses kebudayaan bertani
bermuara pada peningkatan kualitas hidup masyarakat pesisir selatan Kulon Progo seperti
renovasi rumah tinggal, biaya pendidikan anak, membeli kendaraan pribadi hingga
menabung. Melihat peluang adanya pasar yang potensial maka pelan-pelan masyarakat
membangun fasilitas wisata, warung makan, kebun agrowisata dan penginapan skala
melati. Terobosan orang Cubung pada waktu itu ternyata menjadi magnet yang
menggiurkan bagi manusia yang akhirnya memutuskan untuk menjadi penggarap lahan
PAG.
Proses yang mudah dan tidak adanya power structure yang kuat pada waktu itu,
maka masyarakat pun dengan bebas berperan sebagai creator kebudayaan dan lingkungan
binaan. Momentum tersebut adalah penanda sejarah berubahnya komodifikasi lahan PAG
yang berorientasi sebagai ladang ekonomi lokal.
b) Pilar 2: Kekuatan Genealogis
Kekuatan kultural serta politik terbentuk atas hubungan Ngarso Dalem sebagai
pemilik tanah dengan masyarakat selaku pengguna tanah, hubungan tersebut telah
berlangsung sejak lama sebelum adanya pengakuan Yogyakarta sebagai provinsi yang
diberikan mandat keistimewaan. Sesuai dengan teori Patron-klien yang disampaikan oleh
James Scott, relasi antara kekuasaan sultan mempunyai pengaruh yang besar terhadap pola
budaya serta status sosial masyarakat (Zaman, 2009). Adanya pertukaran ‘barang dan jasa’
antara sultan dengan rakyat, dalam hal ini rakyat diberikan sarana tanah untuk digunakan
dan ditukar dengan loyalitas kepada sultan.
Hubungan penggunaan tanah kasultanan oleh rakyat dalam nilai politik yang berlaku
di DIY yang berlangsung cukup lama serta turun menurun semakin memperkuat
kontinuitas serta permanensi, membentuk adat istiadat ataupun norma yang dipegang teguh
oleh masyarakat yang mengakui legitimasi tanah tersebut sebagai Kagungan Ndalem”
(Fernando & Pramusinto, 2008). Makna Kagungan Ndalem” sebagai ‘bagian tak
terpisahkan’ atau ‘hak milik’ Kasultanan. Kusumo dalam penelitiannya menyebutkan
bahwa tanah adalah simbol eksistensi kekuasaan Kraton (Kusumo, 2023).
Dalam perkembangannya relasi antara raja dengan rakyat terhadap tanah yang
digarap meningkat perlahan menuju suatu hubungan yang lebih kuat (Fernando &
Pramusinto, 2008). Mulanya hak tanah yang diberikan adalah hak anggaduh yang
sementara, kemudian berkembang menjadi hak anggaduh turun temurun. Kemudian
adanya hak andarbe yang ditandai dengan tanah kebekelan atau yang saat ini dikenal
dengan tanah kas desa yang dilimpahkan sultan kepada kalurahan atau desa-desa. Sejak
berlakunya UU Keistimewaan, rakyat penggarap tanah kasultanan mendapatkan akses hak
tanah yang diikat secara formal yaitu Serat Kekancingan.
Kekuatan nilai tanah dimaknai secara genealogis sebagai hidup dan mati bagi orang
Jawa, tidak hanya mempunyai nilai ekonomi, politik, namun juga harga diri dan reputasi
(Kusumo, 2023). Nilai filosofis tanah sebagai ibu yang memberikan penghidupan bagi
anak-anaknya termasuk bumi serta isinya dan manusia yang menempatinya, tanah disebut
Kekuatan Ideologi Lokal Penggarap Lahan PAG Sebagai Pilar Tata Ruang di Sepanjang
Pesisir Selatan Kulon Progo
Syntax Idea, Vol. 6, No. 06, Juni 2024 2853
sebagai lemah yang tersusun dari suku kata Mah”, atau ibu (bersifat perempuan)
(Kartono, 2005)
c) Pilar 3: Kekuatan Sosial Ekonomi
Mekanisme penguasaan ruang yang hanya boleh dimanfaatkan oleh skala kerabat
terutama masyarakat asli merupakan kekuatan hubungan kekerabatan yang tidak bisa
ditemukan pada konteks penguasaan tanah di wilayah lain. Aturan yang terbentuk
merupakan proses pemufakatan oleh kelompok internal, yaitu penghuni yang ada di
kawasan pesisir Kulon Progo hanya bagi mereka yang memiliki hubungan langsung (orang
tua-anak), hubungan keluarga besar (extended family), ataupun hubungan perkawinan.
Peran masyarakat adalah sebagai penguasa dan pencipta nilai ruang di pesisir Kulon Progo.
Sebelum adanya masyarakat, lahan pasir disana hanya berupa lahan kosong dan
terbengkalai.
Perlahan, aktivitas organik yang tercipta menjadi sebuah karakter ruang pertanian
lahan pesisir membentuk kekuatan sosial dan ekonomi yang dilembagakan dalam bentuk
Lembaga atau paguyuban. Paguyuban merupakan sebuah institusi lokal yang nyatanya
efektif dalam sistem penguasaan ruang lahan pasir. Kekuatan lokalisme pertanian cabai
Karangwuni menjadi momentum terbukanya harapan ruang pesisir yang selama ini dinilai
tidak produktif nyatanya mampu memerdekakan masyarakat. Begitu pula dengan kekuatan
ruang Parangtritis yang luar biasa berdampak pada ekspansi permukiman di sepanjang
pesisir DIY. Kesamaan karakteristik pola fisik dan aktivitas bermukim terjadi pada
permukiman Pantai Samas dan Glagah, pengelolaan tambak udang dan pertanian, kekuatan
ekonomi lokal di sepanjang pariwisata Pantai DIY hingga jaringan pasar PSK. Momentum
tersebut sekaligus membuktikan bahwa konsep keberadaan pesisir DIY ada karena
kekuatan sistem nilai lokal dan bentang ruangnya yang teranyam melalui modal sosial-
spasial (Sudaryono, 2022)
Proses-proses diatas berimplikasi bahwa manusia dan faktor produksinya lah yang
memberikan nilai dari sebuah bidang tanah. Artinya, faktor manusia dan kreasi kerjanya
lebih bernilai daripada aspek legalitas tanah secara hukum.
Konseptualisasi Ideologi Lokal Sebagai Pilar Tata Ruang Pesisir Kulon Progo
Fakta sejarah mengungkapkan legitimasi kekuasaan kerajaan Ngayogyakarta
Hadiningrat merupakan bagian integral Negara Republik Indonesia, diperkuat dengan UU
Nomor 13 Tahun 2012 tentang status DIY sebagai daerah yang diberikan keistimewaan.
Keistimewaan itu termasuk pada status pertanahan dan posisi Kraton sebagai badan hukum
yang memiliki bidang tanah. Namun perjalanan pengelolaan pertanahan tersebut melewati
beberapa periodisasi dengan beragam karakter dan tujuan tertentu.
Fakta sejarah itu membentuk ideologi kebudayaan yang mempengaruhi ruang konkrit
dan elemen lainnya yang lebih dalam.
Dalam konteks pesisir Kulon Progo, tipologi terbangunnya kekuatan ruang diciptakan
oleh aktor ruang. Aktor ruang menciptakan kekuatan ruang karena adanya beragam faktor
pemicu yaitu 1) kebebasan pemanfaatan ruang milik kadipaten secara inklusif; 2) hubungan
kesejarahan sultan dan rakyatnya; serta 3) modal sosial (social capital).
Marisca Jessica Yastri, Sudaryono
2854 Syntax Idea, Vol. 6, No. 06, Juni 2024
Fungsi lahan di pesisir Kulon Progo berada di atas kekuatan lokal masyarakat
penggarap PAG. Kekuatan lokal ini terlihat pada fenomena yaitu 1) pengelolaan ruang-ruang
yang dimanifestasi dalam petak-petak kebun cabai dan sayur; 2) pemanfaatan ruang sebagai
aktivitas ekonomi komunal; 3) pengembangan sarana dan prasarana secara swadaya termasuk
pembangunan wisata dan rumah tinggal, serta; 4) mobilisasi institusi lokal dalam proses
dinamika keterancaman terhadap ruang hidup (aksi protes bandara, pasir besi dan
sebagainya).
Konsepsi fenomena diatas menguatkan apa yang disebut dengan social capital atau
modal sosial. Modal sosial melahirkan ruang tanpa zoning, yang dikenal dengan pelapisan
ruang. Pandangan positivistik tentang lost space dan zoning menjadi konsep yang abu-abu
yang dipatahkan dalam konteks realitas empiris ruang dengan nilai eksistensial-
fenomenalnya. Di sisi lain, eksistensi ruang selatan Jawa secara pragmatis dinilai sebagai
ruang marjinal secara gegabah mengabaikan sejarah ruang. Pernyataan konsep pelapisan
ruang yang dikemukakan Sudaryono, menguatkan bahwa ruang pesisir Kulon Progo bukanlah
ruang kosong atau bebas nilai melainkan sebuah susunan kekuatan-kekuatan ruang.
Pelapisan ruang tidak tersusun secara hierarki namun merupakan produk dari institusi
sosial atau sebagai social capital Putnam (1998) dalam (Sudaryono, 2022). Peran institusi
sosial sudah melangkah lebih jauh sebelum adanya spatial capital. Pembentukan lapisan
ruang secara kolektif dibangun atas dasar kepercayaan atau trust diantara kelompok-
kelompok institusi sosial. Adanya patok tanah yang hanya diakui dalam lingkup internal
merupakan tindakan saling “menandai” dan “menganggap” yang melahirkan konsensus
ruang.
Ideologi masyarakat pesisir Kulon Progo merupakan sintesis dari fungsi serta nilai-nilai.
Memahami dan mengenali karakteristik masyarakat penggarap lahan PAG serta praktik
kehidupan sehari-hari bermuara pada temuan esensi permukiman. Habermas merupakan
tokoh pemikir menyatakan bahwa esensi realitas sosial adalah sesuatu yang terpendam di
balik permukaan yang cenderung tampak, esensi merupakan suatu fakta yang sesungguh-
sungguhnya (Sudarsan, 1998). Legitimasi kekuasaan Kraton dalam konteks legalitas hukum
Kekuatan Ideologi Lokal Penggarap Lahan PAG Sebagai Pilar Tata Ruang di Sepanjang
Pesisir Selatan Kulon Progo
Syntax Idea, Vol. 6, No. 06, Juni 2024 2855
formal termasuk UU Keistimewaan dan turunan hukum lainnya serta adanya pembangunan
bandara yang ‘digaungkan’ untuk kesejahteraan umum, nyatanya memuluskan kegiatan
komodifikasi makna tanah yang semula bernilai guna untuk kepentingan masyarakat petani
lahan pesisir menjadi nilai ekonomi.
Konsep pelapisan ruang juga menimbulkan konsistensi ekspansi ruang di pesisir Kulon
Progo yang berdiri diatas power structure. Meskipun dalam temuan di lapangan ada tokoh
yang mendominasi dalam proses meruang di pesisir Kulon Progo namun sistem yang
dijalankan adalah kekuasaan yang terdistribusi. Fungsi utama tokoh dalam institusi pesisir
Kulon Progo adalah sebagai ‘pemandu’. Pembangunan permukiman di lahan pesisir adalah
bentuk ekspansi ruang yang dilakukan oleh kelompok penggarap PAG, singkatnya tepat
sekali bahwa kekuasaan ruang pesisir Kulon Progo berada di tangan masyarakatnya.
KESIMPULAN
Dalam konteks perencanaan tata ruang, seringkali pendekatan perencanaan selalu
berpegang pada pendekatan pragmatik. Pengakuan terhadap ruang-ruang lokal-otonomik
nyatanya tidak dianggap secara serius sebagai suatu investasi modal sosial negara. Proses
pertumbuhan ruang di pesisir Kulon Progo membuktikan bahwa kekuatan spasial boleh dan
mampu berada ditangan masyarakat lokal. Radius keunikan karakter Cabai Temon yang
berasal dari magnet lokalisme Karangwuni misalnya, berhasil mengeluarkan mereka dari
lingkaran kemiskinan. Cabai Temon berhasil membuktikan bahwa komunitas lokal yang kuat
mampu keluar dari “pengucilan”. Ideologi sebagai strategi yang mempengaruhi elemen ruang
kota dengan menghasilkan material, pola dan praktik sosial ekonomi masyarakat. Faktor fisik
ruang sebagai daerah pesisir yang mulanya sebagai “common property resources” dan
cenderung ditelantarkan kemudian diiringi dengan faktor psikologis masyarakat yang pada
waktu itu mengalami krisis ekonomi global merupakan manifestasi dari terbentuknya
kebudayaan bermukim di lingkungan pesisir Kulon Progo dan sekitarnya.
BIBLIOGRAFI
Fernando, Jose Marcus, & Pramusinto, Agus. (2008). Eksistensi Sultan Grond Dalam Hukum
Tanah Nasional Di Desa Srjgading Kecamatan Sanden Kabupaten Bantul Provinsi
Daerah Istimew A Yogyakarta. Universitas Gadjah Mada.
Girinata, I. Made. (2018). Kawasan Suci Pura Tanah Lot dan Destinasi Wisata.
Imron, Ali. (2014). Analisis kritis terhadap dimensi ideologis reformasi agraria dan capaian
pragmatisnya. Jurnal Cakrawala Hukum, 5(2), 107122.
Kartono, J. Lukito. (2005). Konsep ruang tradisional jawa dalam konteks budaya. Dimensi
Interior, 3(2).
Kusumo, Della. (2023). Nilai-Nilai Keistimewaan Dalam Sistem Pertanahan di Yogyakarta.
Jurnal Multidisiplin West Science, 2(05), 302313.
Manzo, Lynne C. (2003). Beyond house and haven: Toward a revisioning of emotional
relationships with places. Journal of Environmental Psychology, 23(1), 4761.
Rukajat, Ajat. (2018). Pendekatan penelitian kualitatif (Qualitative research approach).
Deepublish.
Setianingrum, Lutfi, Sudaryono, Sudaryono, & Roychansyah, Muhammad Sani. (2021).
Kesadaran Transendental Akan Ikatan Keluarga Sebagai Penjaga Keberadaan Dan
Marisca Jessica Yastri, Sudaryono
2856 Syntax Idea, Vol. 6, No. 06, Juni 2024
Keberlanjutan Elemen Inti Tata Ruang Permukiman Di Kawasan Pathok Negara
Dongkelan. Jurnal Arsitektur ARCADE, 5(2), 206214.
Sudaryono, S. P. (2022). Komunikasi Bisnis. Prenada Media.
Sugiyono. (2019). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Tilman, Antonio, Mujiburohman, Dian Aries, & Dewi, Asih Retno. (2021). Legalisasi tanah
kasultanan dan tanah kadipaten di Daerah Istimewa Yogyakarta. Riau Law Journal,
5(1), 113.
Triatmodjo, Suastiwi. (2015). Membangun Lokalitas Ruang Kota (Building Up Locality in
Urban Space). Ars (Jurnal Seni Rupa & Desain), 18(1), 18.
Wahid, A. M. Yunus, & SH, M. Si. (2016). Pengantar Hukum Tata Ruang. Prenada Media.
Waruwu, Meiman Hidayat, Gulo, Sabayuti, Lahagu, Palindungan, Halawa, Odaligoziduhu, &
Laia, Otanius. (2023). Analisis Tata Kelola Pemerintahan Desa Dalam Pengelolaan
Administrasi dan Keuangan. Jurnal Akuntansi, Manajemen Dan Ekonomi, 2(1), 4447.
Zaman, Komar. (2009). Analisis Hubungan Patron-Klien (Studi Kasus Hubungan Toke Dan
Petani Sawit Pola Swadaya Di Kecamatan Tambusai Utara Kabupaten Rokan Hulu).
Indonesian Journal of Agricultural Economics, 2(2), 183200.
Copyright holder:
Marisca Jessica Yastri, Sudaryono (2024)
First publication right:
Syntax Idea
This article is licensed under: