Matthew Edbert, Yoan Nursari Simanjuntak, Bebeto Ardyo
2818 Syntax Idea, Vol. 6, No. 06, Juni 2024
PENDAHULUAN
Manusia mampu menciptakan sesuatu. Adanya kemampuan tersebut disebabkan karena
manusia memiliki kemampuan intelektual dan kreativitas untuk menciptakan ciptaan-ciptaan
tersebut. Seiring dengan perkembangan dalam kehidupan masyarakat, muncul kesadaran
bahwa ciptaan yang dihasilkan tersebut mampu memberikan manfaat kepada penciptanya,
baik dalam bentuk materiil, maupun non-materiil, serta setiap orang memiliki hak atas
ciptaannya sendiri. Kesadaran tersebut menyebabkan lahirnya konsep kekayaan intelektual
(intellectual property), yaitu kreativitas yang dihasilkan dari olah pikir manusia dalam rangka
memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan hidup manusia, sebagaimana dikemukakan oleh
(Roisah, 2015). Kekayaan intelektual tersebut termasuk hak cipta, yang merupakan hal yang
penting serta berkaitan erat dengan karya cipta, khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan,
sastra, dan seni. Hal tersebut disebabkan karena hak cipta merupakan bentuk dari
perlindungan hukum bagi hak-hak yang timbul dari ciptaan yang diciptakan oleh pencipta
tersebut, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2014 tentang Hak Cipta (selanjutnya disebut Undang-Undang Hak Cipta), dimana hak
cipta merupakan hak eksklusif bagi pencipta atas ciptaannya yang diwujudkan dengan nyata.
Dengan kata lain, hak cipta berperan sebagai hak yang dipegang khusus oleh pemegang hak
tersebut, sehingga memberikan perlindungan hukum terhadap ciptaan-ciptaannya beserta
dengan manfaat-manfaat yang dihasilkan dari ciptaan tersebut, selama pencipta yang
bersangkutan telah mewujudkan ciptaan tersebut secara nyata, sebagaimana dianutnya prinsip
deklaratif pada hak cipta.
Kehidupan masyarakat saat ini tidak bisa dipisahkan dengan perkembangan teknologi
dan informasi. Hal ini didukung dengan pendapat Suherman, Neldawaty, Dani, & Markah,
(2022) yang menyatakan bahwa banyaknya perubahan yang terjadi terhadap pemenuhan
kebutuhan masyarakat seperti yang pada awalnya bersifat analog menjadi bersifat serba
digital seperti pada saat ini sehingga teknologi informasi menjadi suatu trend perkembangan
teknologi. Fenomena ini dapat terlihat dalam terintegrasinya metaverse dengan aspek karya
cipta melalui adanya non-fungible token (NFT), aset digital pada jaringan blockchain yang
memiliki kode identifikasi serta metadata yang unik dan berbeda satu sama lain (one-of-the-
kind) (Alexander Sugiharto & Muhammad Yusuf Musa, 2020). Aset digital yang dimaksud
berupa karya cipta digital, termasuk gambar digital (crypto art) yang menjadi pokok
pembahasan dalam penulisan ini. Dengan demikian, aset digital tersebut termasuk dalam
ciptaan yang dilindungi oleh hak cipta, yaitu karya seni rupa dalam bentuk gambar
sebagaimana diatur dalam Pasal 40 Ayat (1) huruf f Undang-Undang Hak Cipta. NFT pada
umumnya dipergunakan sebagai alat investasi, dimana sertifikat kepemilikan dari NFT
berdasarkan smart contract yang dienkripsikan ke dalam aset digital tersebut diperjualbelikan
dalam dunia maya melalui berbagai platform pasar (marketplace) berdasarkan jaringan
blockchain, diantaranya OpenSea, Axie Marketplace, dan Rarible, serta menggunakan mata
uang kripto (cryptocurrency) sebagai mata uang pilihan transaksi, sebagaimana dikemukakan
oleh Wood dan kawan-kawan dan dikutip oleh (Gidete, Amirulloh, & Ramli, 2022).
Perdagangan NFT memang merupakan cerminan dari perkembangan kehidupan
masyarakat, tetapi pada kenyataannya, perdagangan tersebut masih belum sempurna. Hal
tersebut dapat terlihat dalam praktiknya, dimana dapat ditemukan permasalahan-permasalahan
yang berkaitan erat dengan hak cipta ciptaan dalam hal tersebut. Salah satu contoh dari
permasalahan tersebut dapat dilihat dari adanya permasalahan antara Kendra Ahimsa (dikenal
sebagai “Ardneks”) dan Twisted Vacancy, dimana karya crypto art Ardneks diplagiarisasi
oleh Twisted Vacancy dan diperjualbelikan sebagai NFT di dunia maya
(Nasional.SindoNews.com, 2021). Pada awal tahun 2021 Ardneks menerima laporan-laporan