Syntax Idea : p�ISSN:
2684-6853�
e-ISSN : 2684-883X�����
Vol. 1, No. 5
September 2019
NALAR INFILTRATIF-SUBSTANTIF TAFSIR AL-QUR�AN
(STUDI ARKEOLOGI �ASH�LAH" DAN �DAKH�LAH� DALAM NARASI PENAFSIRAN)
Aik Iksan Anshori
Universitas
Islam al-Ihya Kuningan (UNISA)
Email:
[email protected]
Abstrak
Tujuan penelitian ini tidak lain untuk menjustifikasi rupa-bentuk terma
�ash�lah� ketika menemui �kerancuan� ilmiah. Metode pendekatan yang
diketangahkan dalam tulisan ini adalah berdasarkan kaidah kritik
evaluatif-rekonstruktif tanpa dekontruktif-destruktif (al-naqdu li al-taqw�m wa
i��dat al-bin� la ila al-tafk�k wa al-ifn�). Dimana penting untuk
merekontruksi dan mencari ide-ide struktural dalam bangunan penafsiran
ad-dakh�lah (sesat) yang dianggap penyelewengan untuk membedakan dari
penafsiran al-ash�lah (lurus) demi menjaga orisinalitas tafsir. Tulisan
ini� menyoroti arkeologi dan epsitemologi
yang ada dalam narasi pembacaan Infiltratif-Substansif sebagai intrumen
penafsiran al-Qur�an.
Kata
Kunci���� :
Ash�lah� dan �Dakh�lah, Kritik Ilmu
Tafsir, Sejarah Pengetahuan Islam.
Pengantar
Pencarian keaslian/orisinalitas Islam sejatinya bukan
merupakan wacana baru. Ia mengemuka dan mulai mendapatkan momentumnya ketika
dipakai dan dijadikan konsep ledakan pembaharuan pemikiran Islam. Hasan Hanafi
mendefinisikan konsep keautentikan dengan jargon: al-Ash�lah wa al-Mu�shirah
sebagai sebuah pelestarian nilai-nilai prinsipil entitas Islam
generasi pertama, kemudian merelevansikannya dalam konteks kekinian (Hanafi, 2000). Tema ini pun, sekalipun lain maksud, kerap dipakai Muhamad
Arkoun dalam memetakan Islam As�l (Islam Perdana) dan Islam Mujtama� (Islam
Lokal). Menurutnya, agama telah terkontaminasi oleh budaya-budaya yang
sebetulnya itu bukan ajaran murni agama sendiri, di mana habitat agama asal
telah berakulturasi dan menjelma menjadi Islam Lokal. Sehingga pada tahap
tertentu, bukan lagi sebagai representasi agama murni akibat
ter/dikontaminasi oleh budaya cetakan lokal yang penuh muatan mitos dan mistis (Muhamad Arkoun, 1996). Arkoun menginginkan ada upaya purifikasi serta pembersihan
secara besar-besaran dengan mendekonstruksi nalar dogmatis masa lampau yang
menghegemonik hingga kini.
Sekalipun �ash�lah�
kerap digembor-gemborkan, namun dikotomi atau lawan terma ini tidak memiliki
padanan baku sehingga para pemikir membuat istilah ini dengan sesuai dengan
proyek dan kepentingan ilmiahnya. Namun demikian, secara mufakat bisa dikatakan
bahwa Islam dalam frame ontologis dan epitemologis mengandung muatan �ash�lah� dan �dakh�lah� yang koheren dalam kesatuan integral pengetahuan Islam.
Hal ini terkandung dalam semua disiplin ilmu tanpa terkecuali. Nah, agar
tidak terjebak dengan kesalah pahaman terma ada baiknya mengulas ulang
pengertian ini. Tujuannya tidak lain untuk menjustifikasi rupa-bentuk terma �ash�lah� ketika menemui �kerancuan�
ilmiah.
Dalam kamus Lisan al-Arab, secara etimologi �as�l/ash�lah� diartikan: penetapan pendapat
sesuai logika/ts�bit al-ra�y �qil. Sementara dalam kamus Misb�h al-Mun�r
diartikan: sebentuk pokok asasi yang mendasari atas segalanya. Tentu terma
terminologi ia akan mempunyai implikasi pengertian sesuai bidang keilmuan dan
tingkatan spesifik-universal �sekaligus dalam waktu bersamaan akan memunculkan
�dakh�lah� dengan sendirinya sesuai
kadar dan kapasitas. Tingkatan universal adalah ketika terma ini dibenturkan
dengan kata kunci peradaban: Islam Murni (Islam As�l) dan non Islam (ghair
Islam) sebagai identifikasi peradaban luar yang merasuk-menyusup kemudian
berakulturasi di mana Islam berkembang dan menjadi agama lokal akibat� terpengaruh budaya, ilmu pengetahuan dan
unsur lokal sejenis. Singkatnya, proses penyifatan ini akan menganut tergantung
kepada siapa atau apa yang disifati, maka sebagai dikotomi Islam As�l,
timbulah terma Yunani Dakh�l, India Dakh�l, Persia Dakh�l, Masihiah Dakh�l,
Yahudi Dakh�l, dan sejenisnya. Universalitas makna ini akan tampak ketika
seorang subyek menempatkan diri sebagai outsider terhadap objek diluar
kuasa pengetahuannya yang khas dan berdiri secara mandiri �seperti muslim
memandang Barat. Tentu pandangan ini mesti dikondisikan benar-benar murni
sebelum menuju prosesi simpul keterpengaruhan (ta�s�r wa taatsur). Sebab
bagaimanapun, pada akhirnya suatu peradaban tidak akan bisa lepas mengalami
kontak budaya yang tak bisa tolak sebagai proses keniscayaan alamiah �sekalipun
kadang terdapat respon beberapa kelompok Islam fundamental yang mengembalikan
kepada �asal pokok Islam�, dengan cara purifikasi/ta�s�liyah radikal.
Disinilah, dalam gesekan-gesekan demikian, kemudian muncul gejala-gejala yang
kelak dinamai unsur dakh�l akibat transformasi pengetahuan dan kebutuhan
keilmuan. Yang perlu diketahui, proses borrowing and influency
ini akan terus berlangsung selama peradaban dunia terus berjalan-kembang sesuai
putaran roda zaman dan tuntutan keadaan dari masa dulu hingga masa kekinian dan
kedisinian dan masa depan. Ia tak lain adalah sabda zaman.
Hal inilah yang mesti disadari kaum muslim, bahwa asimilasi
pengetahuan dan peradaban merupakan syarat kemajuan sebuah pengetahuan agar
mampu berkembang dan� bersinergi dengan
tuntutan zaman. Tantangan pengetahuan adalah bagaimana bisa memperbaharui
dirinya di hadapan zaman. Sementara tantangan agama adalah bagaiamana agar
selalu segar dalam setiap masa hingga bisa dikonsumsi oleh manusia penghuni
masanya, sebab jika agama dihidangkan dengan �basi� alias tidak relevan
beresiko ditinggal pemeluknya secara perlahan. Dengan kata lain, bisa saja
manusia menjauh dari aturan-praktek keagamaan dan agama hanya sebagai simbol
identitas dan keyakinan semata �gara-gara sudah tidak bisa bersahabat
dan di ajak kompromi. Atau kemungkinan terburuk adalah agama di-recycle bin-kan
dan Tuhan dianggap telah menemui ajalnya sebagaimana yang pernah terjadi di
Barat, tepatnya di era modern (yang kemudian popular era �kematian Tuhan�
meminjam bahasa Nietzhe). Dan di saat yang sama, manusia modern tampak begitu
angkuh mendewakan akal bahkan menjadi tuhan-tuhan kecil bagi dirinya.�
Metode Penelitian
Metode Pembacaan Infiltratif-Substansif
Tulisan ini �menyoroti arkeologi dan epsitemologi yang ada
dalam narasi Pembacaan Infiltratif-Substansif dimana sudah menjadi tradisi yang
begitu mengakar dalam nalar Islam sebagai intrumen penafsiran al-Qur�an
sehingga menjadikan penafsiran tidak lepas dari bias kepentingan. Akibatnya
muncul semacam penyelewangan (inhiraf�t)
dari penafsiran yang semestinya. Ini yang kemudian terjadi gesekan abadi antara
tafsir otoritatif (validitatif) dan tafsir otorian (kesewenang-wenangan).
Metode pendekatan yang diketangahkan dalam tulisan ini adalah
berdasarkan kaidah kritik evaluatif-rekonstruktif tanpa dekontruktif-destruktif
(al-naqdu li al-taqw�m wa i��dat al-bin�
la ila al-tafk�k wa al-ifn�). Dimana penting untuk merekontruksi dan
mencari ide-ide struktural dalam bangunan penafsiran ad-dakh�lah yang dianggap penyelewengan untuk membedakan dari
penafsiran al-ash�lah demi menjaga
orisinalitas tafsir. Pisau analisa yang digunakan agar mendapatkan bangunan metode
kritik tafsir rekontruktif ini memakai beberapa pendekatan seperti: Pendekatan
sejarah, fenomenologis, kritik sastra, dan hermeneutik objektif.
Hal ini
dalam rangka: 1. Memotret geneologi-arkeologi penafsiran infiltratif dalam
sejarah Islam tradisi penafsiran, 2. Memotret pengaruh fenomenologi dalam pasar
raya tafsir serta dinamika yang terjadi dalam konteks budaya, sosiologi
pengetahuan, 3. Mengkritisi dan menstrukturisasi metodologi nalar kritisme
tafsir melalui pendekatan kritik sastra Amin al-Khuli dan aplikasi sistematis,
validatif, objektif sesuai teori Hermeneutika objektif (Hirsch,
1967).
Hasil dan Pembahasan
1.
�Ash�lah� dan �Dakh�lah�: Proses Identifikasi-Konsepsi
Mencari identitas dan
celah distingsif antar keduanya merupakan pekerjaan gampang-gampang susah.
Pasalnya harus rajin mencari dan menguak kembali lembaran-lembaran arsif kuno,
yang biasa dikenal turats. Turats dalam pembacaan Jabiri adalah �segala sesuatu
yang telah berlalu�. Dalam hal ini pemaknaan turats sebagai sebagai khazanah
As�l Islam tentunya akan memasukan hal ihwal yang lahir dari rahim Islam, yang
terbagi menjadi tiga kategori keilmuan: (1) nash/literal meliputi
al-Qur�an, Hadits, tafsir, fikih dan sirah. (2) aqliyah/rasional
meliputi ilmu eksakta (seperti geologi, kimia, kedokteran, matematika,
astronomi, aritmatika, dan teknik) dan ilmu humaniora (seperti bahasa, sastra,
dan sejarah). (3) al-naqliyah wa al-aqliyah/literal-rasional (seperti
ilmu kalam, ushul fiqh, tasawuf, filsafat).�
Namun demikian,
memasukan al-Qur�an dan Hadits sebagai bagian dari turast menurut sebagian
ulama terlalu sederhana dan terkesan �meremehkan�, sebab konotasi turats adalah
segala produk manusiawi, yang memiliki karakter khas verifikasi-falsifikasi (yahtamil
khata�-shaw�b).� Sementara al-Qur�an
dan Hadits merupakan dua elemen yang bersumber dari Tuhan dan kenabian, yang
jelas-jelas dijamin kebenaran dan kesuciannya. Lepas dari pro-kontra ini, yang
jelas keduanya disepakati konsensus umat sebagai sumber asal dan pokok agama
Islam. Tak pelak, karenanya, Islam identik peradaban teks.
Setelah memetakan
elemen-elemen �turats� ini, barulah melakukan pembongkaran arkeologi
pengetahuan demi menemukan entitas �ash�lah�
dan �dakh�lah� dalam lanskap khazanah
Islam. Ada tiga metode guna menemukan jati diri kedua elemen tersebut: pertama,
proses identifikasi yang bersifat dikotomik: antara Islam dan non Islam secara
ketat. Yang pertama ini berfungsi sekedar melacak motif dan latar belakang guna
mengenal dan (kemudian) menguasai jika perlu �how to will� meminjam
bahasa Nietzhe. Kedua, menemukan unsur kontradiksi secara prinsipil (mutadh�dayn)
untuk kemudian dienyahkan karena�
bertentangan dengan nilai-nilai keaslian Islam. Ketiga. Menemukan unsur
mutualisme yang saling mengisi dan melengkapi (tad�khul) dalam keduanya (Khalil, n.d.). Tujuannya tidak lain agar bisa menyulih dan memfilter ulang
bahan-bahan tersebut menjadi tambang futuristik yang kelak berguna bagi
masing-masing dispilin keilmuan. Sebab bagaimanapun, keberadaan �dakh�lah� yang muncul secara kodrati
dalam sejarah Islam itu, harus dipahami dengan sikap arif sebagai entitas yang
muncul dari ilmu itu sendiri. Sehingga, dengan demikian, wajib diwaspadai atas
gejala penyakit atau bahkan gejala potensial sekaligus, artinya ia akan bermuka
dua berlawanan layaknya dewa Janus Romawi: muka positif/salbiyah dan
negatif/ij�biyah. Tinggal bagaimana pintar-pintar memilah-milih dan
menyulihnya.
Disinilah tantangannya,
sebab bisa saja terjebak ke dalamnya dengan tidak bisa mengenali mana sisi
energi positif dan mana energi negatif dalam konteks dakh�lah itu. Ini di satu sisi, di sisi lain ditambah ruwet dan
kompleks ketika didapati bahwa kedua materi �ash�lah� dan �dakh�lah�
itu, ternyata bersemayam dalam kesatuan entitas yang integral, sebagai satu
disiplin ilmu. Bahkan jika berpindah ke lain disiplin, justru akan menyalahi
kode etik serta aturan main malah balik dianggap tidak berdispilin dan
sewenang-wenang melakukan tindak anomali intelektual. Secara tegas, bisa saja
�mudah� diketemukan ketika mampu dengan jeli dan arif mendeskripsikan antar
unsur internal, yang asasi (baik As�l Islam maupun Islam As�l, sebagaimana
dijelaskan sela-sela di muka) maupun unsur eksternal, yang melekat (al-khut�t
al-ar�dhah), tanpa perlu memaksakan diri melakukan proses pemecah-belahan
secara ekstrim semacam bentuk partikularistik dan menjadi sub-sub sendiri
(taf�shil wa juziy�t) dalam kesatuan materi dan arsip pengetahuan klasik atau
modern tersebut (Khalil, n.d.). Disinilah, sekali lagi, saya tekankan sebagai fenomena �gampang-gampang susah�.
Yang perlu dijadikan
entry point, bahwa proyek ini sama sekali tidak ada kaitan dengan proyek yang
dilancarkan pemikir kenamaan Prancis, Muhamad Arkoun sebab tema �ash�lah� merupakan lahan basah siapa
saja. Di mana dalam hampir semua karyanya gemar sekali melakukan apa yang
dikenal dengan �problematisasi� (baca: asykalah). Yakni menjadikan
sesuatu yang semula dianggap terang benderang dan maklum kebenarannya oleh umat
Islam, kemudian dimunculkan menjadi sebentuk problema. Lantas merancang ulang
menjadi sesuatu yang berpotensi sebagai sebuah pemikiran yang benar-benar
anyar. Dalam bahasa lain, ia kerap menggunakan terma deplacement (zahzahah/tahwil)
atau pengalihan. Artinya sesuatu yang semula diyakini sebagi dogma publik
dibongkar menjadi: pertama, pengalihan konsepsi dari posisi lawasnya yang
ortodoks dan dogmatik. Kedua, mendekonstruksi via wacana baru. Ketiga, melampaui
makna konservatif dan hegemonik (Muhamad Arkoun, 1996).
2.
�Ash�lah� dan �Dakh�lah� dalam Disiplin Ilmu Tafsir
Semua satu kata,
Al-Qur�an merupakan petunjuk kebenaran dan undang-undang kehidupan umat Islam. Di
dalamnya mengandung ajaran-ajaran universal yang tidak hanya membahas kehidupan
manusia, keyakinanya, ide pikirannya, perasaannya, amalannya, atau bukan hanya
kebudayaan dan tetek-bengek kemanusian, melainkan pernyataan luruh
selengkap-lengkapnya dan seutuh-utuhnya atas urusan dunia dan akhirat. Ia tidak
hanya membahas melulu teori spekulatif yang kadang abai terhadap realita sebagaimana
karakter filsafat yang kerap memandang agama dari kejauhan melainkan gabungan
antar teori ajaran dan praktek amaliyah.
Gambaran dengan apa
yang dikehendaki dan dimaui nalar al-Qur�an secara totalitas, pernah terjadi
ketika Nabi Muhamad masih dalam keadaan hidup dan menyampaikan
risalah-risalahnya. Bisa dipastikan, pada masa ini umat tidak pernah mengalami
keguncangan ketika menemui problematika sebab Sang Mandataris Tuhan akan
tanggap menjawab secara langsung apapun masalahnya. Namun, ketika Nabi mangkat
meninggalkan umatnya, maka terjadilah �huru-hara agama dan kemudian timbul
�ilmu raba-raba dan duga-duga� (saja?) nalar al-Qur�an dan Hadits�, seolah umat
kehilangan kendali tunggal dan tak punya arah (lagi?). Sementara ajaran agama
tidak atau belum sepenuhnya diejawantahkan dan barangkali sengaja ditakdiran
seperti ini, agar ada hikmahnya kelak. Satu hal yang diwariskan Nabi ketika
menjelang ajal, memberi wasiat untuk selalu memegang teguh kepada al-Qur�an dan
Hadits agar menjadi lentera kehidupan bagi umatnya kelak (dan wajar jika
kehilangan Nabi merupakan musibah akbar dalam Islam). Betapa bahwa teks agama
merupakan otoritas tertinggi sebagai satu-satunya korpus penafsiran yang paling
absah pada masa-masa ini. Sebab teks agama merupakan rekaman dan jejak wahyu
yang bersumber langsung kepada sang pemilik tunggal; al-Qur�an adalah
kalamullah dan Hadits adalah agama itu sendiri, ibarat dua sisi mata uang.
Tidak ada jalan yang
paling aman kecuali mengikuti jejak arkeologi otoritas wahyu ini ketika
pemeluknya ingin mengembangkan dan mengamalkan ajaran agamanya. Sebab wilayah
ijtihad akal hanya berlaku ketika tidak didapati �arsip-arsip sakral� ini. Maka
munculah penafsiran transmisional (al-ma�ts�r); sebuah arti tafsir bersumberkan
langsung dari jejaring Nabi, sahabat, dan tabiin. Dengan demikian, secara
geneologis model penafsiran ini merupakan warisan era kehidupan Nabi (dan
berlanjut sampai tabiin) yang kala itu masih produktif menerima kidung wahyu.
Dalam pada itu, akibat karakter al-ma�ts�r yang cenderung oral ini, pada
perkembangannya, paradigma tafsir dihegemoni oleh orang-orang yang telah
mendapatkan �lisensi hak cipta� dari Nabi sebagai tafsir absolut. Terkecuali
itu, tidak bisa diterima, apapun bentuknya. Hingga pada awal dua H. al-ma�ts�r
ini tetap meruyak dan menjadi mainstream metode tafsir (Goldziher, 1985). Bagi umat yang merasa terkungkung akalnya, pekerjaan tafsir
dianggap momok menjijikan yang bergentayangan dengan rupa kegamangan setiap
melakukan upaya penafsiran baru. Artinya ada kesan streotif; bahwa penafsiran
menggunakan nalar adalah penafsiran yang lebih berdasarkan �syahwat pribadi�
dan belum layak sebagai tafsir bi al-ilm. Bahkan dianggap kesalahan
fatal sampai pengkafiran, sekalipun esensinya benar: �man q�la fi al-Qur�an
bi al-ra�y fa ashaba fa qad akhta� (Goldziher, 1985).
Akibat ketergantungan
penuh dengan budaya oral-transmisional yang dianggap ilmu paling yakin dan
paling benar (Goldziher, 1985), dari sinilah muncul semarak penafsiran cerita israiliy�t
ahlu kitab Nasrani-Yahudi. Sebab masih dianggap relatif aman, cenderung masuk
kategori al-ma�ts�r. Logikanya, sebab jelas tidak menggunakan nalar tapi
sama-sama ilmu riwayat. Jadinya sekedar meriwayatkan peristiwa atau mitos yang
bersenyawa dengan al-Qur�an, bahkan tafsir jadi-jadian (hasil rekayasa atau
khayalan pribadi yang disandarkan kepada orang terpercaya) ikut andil di dalamnya
(Goldziher, 1985). Paradigma israiliy�t pun mewabah pada penafsiran bi
al-ma�tsur dan hampir saja tiada sekat pembatas, hingga kadang identik
tafsir itu sendiri. Dan agaknya mayoritas sahabat menyetujui kosensus
diskursif ini, terkecuali sosok Abdullah bin Mas�ud. Sejak awal ia konsisten
membangun mazhab nalar (ra�y) sembari membangkang metode penafsiran
transimisional sebab berakhir-akibat pada pembebekan buta mitologi. Ia mengecam
tindakan menganulir nalar sebab dianggap pemasungan kebebasan akal sebagai
mesin (re)produksi tafsir. Sama sekali tidak menyukai ketika ada yang bertanya,
lantas dengan entengnya menjawab: �Allah lebih tahu�. Suatu hal yang naif,
menurutnya (Goldziher, 1985).
Pengaruh israiliy�t
ini menimpa pula pada corak tafsir Ibnu Abas. Bahkan dianggap fasilitator
terbesar, yang ternyata, konon, sering mengajak jamaah untuk mengkhatamkan
Injil secara rutin demi mendapatkan ridha ilahi (Goldziher, 1985). Ini bisa terlacak melalui akses orang-orang terdekatnya,
yang eks ahlu kitab; di mana mereka dikategorikan sebagai penyuplai besar israiliy�t
dalam tafsir Ibnu Abbas yang dalam pengajian madrasahanya tidak jauh beda
dengan ajaran yudio-kristiani (Goldziher, 1985). Orang-orang terdekat itu, di antaranya, adalah Abdullah bin
Salam dan Ka�ab al-Ahbar; dua dedengkot ulama ahlu kitab yang telah memeluk
Islam (Goldziher, 1985). Namun demikian, data ini sebetulnya tidak sesuai dengan
fakta-fakta dari kalangan Islam sendiri yang menyatakan bahwa Ibnu Abbas tidak
terpengaruh mitos israiliy�t dalam corak tafsirnya.
Tongkat estafet tafsir
Ibnu Abbas diteruskan murid-muridnya. Salah satu yang terkenal adalah Mujahid
yang banyak meriwayatkan tafsir langsung dari gurunya. Puncaknya ketika berada
di tangan Muhamad Jarir al-Thabari. Ia, lewat karya tafsirnya, menggunakan
metodologi analisa riwayat secara selektif dengan mengandalkan ilmu linguistik
dan penguasaan syair-syair kuno ketika menemukan riwayat-riwayat yang
kontradiktif. Serta memperluas jejaring tafsir israiliy�t langsung
bersumber pada kitab asalnya (Goldziher, 1985).
Dengan kondisi
sosiologis yang memaksakan kepada teks sentries inilah, secara alam bawah sadar mengakibatkan suburnya
unsur-unsur eksternal yang sebetulnya bukan bawaan asli agama. Paling tidak,
unsur eksternal ini muncul oleh beberapa faktor: (1) desakan kebutuhan
pemahaman agama yang terus konstan berkembang sebagai respon kehiduapan, (2)
teks agama sudah mengalami purna makna dan tidak bisa menjawab keadaan (al-nash
mut�nahi wa al-w�qie ghair mut�nahi), (3) corak tafsir nalar masih ilegal
hingga penghujung 2 H. (4) akibatnya penafsiran ahlu kitab menjadi satu-satunya
solusi sebab sama-sama memiliki kemiripan riwayat oral dan mental agama samawi.
Tidak cukup disini, bahkan mewabahnya penafsiran karangan atau Hadits palsu yang dialamatkan kepada Nabi.
Tujuannya, tentu semata-mata demi mendapat
legalitas semu dan otoritas tafsir.
3.
Ontologi �Ash�lah� dan �Dakh�lah� Sebagai Korpus �Teks Tertutup�
Secara umum, garis
besar al-Qur�an memiliki dua dimensi makna. Pertama, ia
tidak butuh ditafsirkan. Sebab al-Qur�an sudah terang benderang menjelaskan
dirinya sendiri dengan kekuatan kalimat-kalimatnya hingga tidak perlu
diperdebatkan lagi maknanya secara logika bahasa mupun adat sehingga tidak
boleh dipaksa menafsirkan kembali. Kedua, memerlukan penafsiran ulang. Disinilah al-Qur�an memerlukan
penjelasan ilmu tafsir (Al-Thufi, 1989). Bekerja menemukan unsur �ash�lah� dan �dakh�lah�
dalam dispilin ilmu tafsir, tentu memerlukan upaya-upaya studi bongkar sembari
merekonstruksi dan membagi bagian mana yang masuk kategori �ash�lah� dan mana yang �dakh�lah�. Disinilah pentingnya
menerapkan ilmu al-Qur�an dan ilmu Hadits guna menganalisa dan mendeteksi
secara lebih dekat akan �keselamatan� (baca: �ash�lah�) atau �kebocoran� (�dakh�lah�)
celah-celah yang terjadi, khususnya dalam horizon teks sebagai sebuah
representasi ontologis teks primer agama kelas pertama kelas kedua ketika masuk
horizon ontologi teks-nalar sebagai korpus teks terbuka, yang lebih menekankan
kekuatan intervensi metodologi sebagai jalan menuju reprosduksi nalar ijtihad.
Di bawah ini, saya mencoba memetakan secara terpisah bagian komponen keaslian
dan kesusupan secara berurutan mulai dari �ash�lah�
dan �dakh�lah� tekstual sebagai
korpus tertutup; teks-nalar-konteks sebagai�
korpus terbuka; dan terakhir, metodologi �ash�lah� dan �dakh�lah�.
Sumber-sumber �ash�lah� dalam ontologi teks bisa
diperinci sebagai berikut sesuai kadar tingkatan: pertama. Tafsir al-Qur�an.
Yang dimaksud disini adalah penafsiran al-Qur�an dengan mengunakan ayat-ayat
al-Qur�an sendiri (tafsir al-rabbani). Penafsiran ini dengan pendekatan intra
teks (al-Qur�an bi al-Qur�an), sebab tidak mengunakan sumber asli lain yang
lebih rendah, yakni ketika diketemukan satu ayat ditafsirkan oleh ayat lainnya.
Disinilah pentingnya menguasai materi-materi yang berkenaan dengan sebuah tema
penafsiran terhadapa ayat-ayat sejenis secara menyeluruh. Sebab pembahas global
(mujm�l) terkadang dijelaskan secara khusus pada bagian ayat lainnya. Sebagaimana misalnya, penafsiran taubat Adam as
dijelaskan secara nyata ketika mengetahui doa taubat Adam as.
Sumber asli al-Qur�an ini harus didahulukan di atas sumber-sumber asli lainnya
sebab kedudukanya yang paling tinggi dalam agama sesuai maksud Hadits Muadz bin Jabal yang terkenal itu. Alasannya karena tentu Sang Empunya kalam lebih berhak mengerti dengan makna-makna yang dikehendaki serta mengetahui tujuan akbar al-Qur�an
dibanding lainnya.�
Sayangnya,
sumber pertama ini kadang tidak terlalu mendapat perhatian serius oleh para
ulama salaf. Barangkali mereka terlalu sibuk dengan pembendaharaan arsip-arsip
suci yang ditinggalkan oleh Nabi maupun sahabat/tabiin, sehingga melupakan hal yang
utama ini. Tafsir al-Thabari misalnya,
cenderung mengabaikan metode ini secara sumber pertama. Ia lebih berkutat
menggunakan metode penafsiran dengan Hadits (al-tafsir bi al-Hadits) atau atsar
sahabat/tabiin dengan memfokuskan pada analisa riwayat secara selektif dengan
mengandalkan ilmu linguistik dan penguasaan syair-syair kuno ketika menemukan
riwayat-riwayat yang kontradiktif. Disamping andil dalam memperluas jejaring
tafsir israiliy�t. Kebanyakan �tafsir al-bayani al-Qur�an� dalam
kitab-kitab klasik bukan merupakan tafsir �yang
semestinya�. Melainkan hanya sebagai penguat atau justifikasi bahasa,
bacaan, atau kepentingan fikih. Tak pelak, al-Qur�an hanya serupa jadi perangkat kedua dan eksploitasi kepentingan
para mujtahid. Dan ironiknya, sama sekali bukan
ditujukan untuk kepentingan yang kembali kepada al-Qur�an sendiri, namun
lebih tepat dianggap aksesoris belaka sabab-musabab ini
yang kemudian mendorong Muhammad Abduh
mengkaji
ulang penafsiran al-Qur�an terhadap tafsir-tafsir klasik dan meneriakkan jargon: kembali
kepada sentralitas al-Qur�an.
Jika ditelisik ulang, dalam hal ini
kesalahan yang cukup telak mesti dikembalikan terhadap sumber (metodologi) tafsir yang dipakai, dimana umumnya metodologi penafsiraan
al-Qur�an ternyata tidak menempatkan al-Qur�an
sendiri secara proporsional. Maksudnya sebagai
lahan subur tafsir paling awal. Metodologi yang ada selama ini adalah melalui
sumber (1) Hadits Nabi (2) ucapan sahabat (3) ucapan tabiin (4) akal, dengan ketentuannya. Akibatnya terjadilah dis-orientasi tafsir. Sampai-sampai,
saking populernya metode ini timbul adagium �al-Qur�an lebih membutuhkan kepada
sunah ketimbang Sunah terhadap al-Qur�an�, yang nisbatkan kepada imam al-Awzai
dan diamini raksasa-raksasa ulama klasik macam Ahmad ibnu Hanbal (Sunah hakim
bagi al-Qur�an), dan lain-lain (Buhindi, 2007).
Penafsiran al-Qur�an
adalah penafsiran dengan menggunakan kuasa al-Qur�an
sendiri tanpa melibatkan teks Hadits maupun Ats�r.
Zamakhsari mengartikannya dengan ungkapan indah: �al-Qur�an yufasir badhuh badhan�.
Tentu saja ia akan bisa dijelaskan ketika ada subjek penafsir yang menjelaskan,
yakni dengan cara memilah-milih ayat per-ayat dan mengumpulkannya dalam satu
tematik, baru kemudian mengkomparsikan satu dengan yang lainnya agar bisa
memperinci ayat spesifik dan ayat global; mengalihkan yang mutlak kepada yang
muqayyad; yang umum kepada yang khusus (Al-Amin, 2007). Disinilah intervensi manusia (ijtih�d basyariyah)
untuk melakukan ijtihad dalam upaya menjelas tirai-tirai yang melingkupinya (Buhindi, 2007). Namun demikian, ia tetap dikatakan sebagai sumber asli
tekstual tertinggi di atas Hadits sebab masih melandaskan diri dengan materi al-Qur�an.
Karena posisinya yang begitu tinggi ini, tak pelak mampu menyulih dan mentarjih
pendapat hasil ijtihad manusiawi yang bersifat hukum maupun akidah (karena
mendudukannya sebagai produk budaya dan kalah telah oleh al-Qur�an), bahkan
menghalau dan melampaui Hadits maupun Ats�r termasuk, diantaranya membuang
Hadist Ahad yang kapabel, sekalipun dianggap hujah oleh imam Syafi�i, ketika
bertentangan secara mendasar (Al-Amin, 2007). Sebab, meminjam
ungkapan Ibnu Taymiyyah,
segala hal-ihwal yang bertentangan dengan kitab dan Hadits mutawatir maka
dianggap batil dan hujahnya rancu. Dengan demikian, syarat sang penafsir tidak
boleh melakukan konfrontasi dengan ayat yang ditafsirinya (mufasar),
jika melanggar maka tidak dianggap sebagai produk tafsir; dianggap melakukan
tindak reduksionis tarhadap al-Qur�an.
Inilah yang kemudian
ditempuh mengilhami sosok Muhammad Abduh dalam upayanya mengembalikan ilmu
tafsir terhadap syarat-syarat orisinalitas tafsir qur�anik (ash�lah al-nash
al-Qur�aniy) yang begitu urgen, namun faktanya dilupakan banyak ulama
tafsir klasik. Usaha al-Qur�an sebagai hakim yang mutlak dan menempatkan mahkum
atas lainnya ini diikuti jejaknya oleh murid tersayang, rasyid ridha dalam
kitab tafsir al-manarnya samapai sesumbar: �saya tidak meyakini (dan tidak mau
peduli) keberadaan keabsahan suatu Hadits atau ucapan sahabat agung, yang dalam
faktanya menyalahi normativitas teks, sekalipun diriwayatkan dari lelaki
terpercaya (rij^al tsiq�h)� (Al-Amin, 2007). Pada era kontemporer, model ini mewujud sempurna dalam
tafsir al-Bay�n li al-Qur�an milik pemikir perempuan yang banyak
melakukan pembaharuan ilmu tafsir, Binti Sathi, dan banyak lainnya, seperti
tren tafsir tematik yang mulai mendapatkan perhatian.
Kedua, tafsir nabawiah.
Sumber asli kedua ini dijelaskan langsung dalam al-Qur�an (al-Nahl: 44). Artinya Hadits merupakan sumber kedua setelah al-Qur�an dan, dengan demikian, Nabi adalah satu-satunya yang mampu menjelaskan penafsiran
universalitas al-Qur�an. Bagaimana tidak, beliau adalah pemiliki otoritas
tunggal syariah (al-sy�ri� al-maz�j) dan sabdanya adalah wahyu yang suci
dari hawa nafsu (al-Najm:3,4).
Secara Hadits perlu dijelaskan agar
bisa mengidentifikasi mana Hadits yang
masuk kategori �ash�lah�
tafsir. Terdapat tiga varian Hadits yang bergumul sebagai tafsir
al-Qur�an (masd�r al-tafsir) (Al-Amin, 2007). (1) penguat dan penopang (al-ta�kid). Yakni
memperkokoh posisi pemahaman ajaran dan hukuman yang terdapat dalam al-Qur�an.
seperti ajaran tauhid, keimanan dan Hadits-Hadits yang berkenaan dengan
perintah ibadah shalat, puasa, haji dan lain (al-sy�rih), yakni menjelaskan
hal-ihwal dalam al-Qur�an, baik yang umum, mutlak, dan hal-hal yang berkaitan
dengan syarat-syarat, bagian-bagian, halangan-halangan, batasan-batasan dan
segala hal yang berkaitan dengan pertanyaan �apa dan bagaimana semestinya�. (3)
pengkhusus (mukhashsish). Sebagaimana al-Qur�an mampu
men-takhsis dengan ayat-ayatnya sendiri, begitu juga dalam Hadits.
Sekalipun dalam Hadits Ahad masih terdapat ulama yang berselisih dalam hal
memperbolehkannya.
Dengan tiga kategori
ini bisa ditemukan keberadaan Hadits sebagai �kitab tafsir al-Qur�an� yang
paling sakral dan bebas dari kesalahan secara esensial. Al-Suyuti
dalam al-itq�nnya menyebut bahwa tafsir nabawiah mencapai lebih dari dua
ratus lima puluh riwayat. Tentu nominal ini dengan tidak menghitung transmisi
yang dha�f, majh�l, murs�l (Al-Amin, 2007). Sebagian ulama enggan menyebut bilangan dan batasan tafsir
nabawi, saking sedikit dan kelangkaannya jika dibanding dengan jumlah ayat-ayat
al-Qur�an yang mencapai enam ribu-an ayat. Karenanya, seperti anjuran Alusi
dalam al-R�h al-Ma��niy, akan
sangat riskan dan kerepotan sekali andai memaksakan tafsir dengan mencukupkan
diri terhadap tafsir nabawi ini. Termasuk juga tafsir sahabat dan tabiin yang
biasa disebut tafsir al-ma�tsur, yang bercorak
transmisional. Untungnya, untuk mengatasi kebuntuan ini, beberapa ulama
tafsir kontemporer melakukan upaya re-aktualisasi makna tafsir al-ma�ts�r.
Permasalahnya yang harus diangkat ke permukaan adalah tentang karakter makna tasir nabawi yang �relevansional�, yakni sudah berkurang kendur ketepatan dan ketajaman maknanya.
Hingga memerlukan aktualisasi makna ulang agar relevan maknanya pada tempo doeloe juga
relevan maknanya pada masa kini (mu�shir lahu wa mu�shir lana). Pendeknya, Nabi diposisikan ikon tafsir yang memberikan semacam tauladan ajaran tafsir (ta�l�m) semata. Sebagai guru tafsir, beliau disamping memberikan contoh, juga memberi
arahan dan petunjuk kepada murid-muridnya (umat) guna memberi rambu-rambu jalan
demi menuju tujuan bukan menemukan tujuan itu atau bahkan menciptakan dan
memfermanenkannya (maksud lain tafsir nabawi yang finish makna) (Buhindi, 2007). Hipotesa ini bisa dikuatkan dengan dasar (Buhindi, 2007) (1), tafsir nabawi masuk kategori takwil dan aplikasi/tathb�q,
sebagai �contoh terbatas� yang menyesuaikan diri secara kondisonal dan
situasional dengan penanya dan penjelasan pada zaman Nabi. Ia, dengan demikian,
bukan tafsir yang menjelaskan kosakata/kalimat serta makna yang final dalam
al-Qur�an, namun sebentuk model ideal tafsir yang
perlu digugu dan ditiru pengikutnya. Sebagaimana
ketika Nabi menjelaskan tasfir al-Qur�an dengan kekuatan ayat (intra
teks qur�anik), yang kemudian dijadikan model ideal dan ditiru sebagai sumber
tafsir tertinggi. (2) para sahabat dan orang-orang setelahnya tidak membatasi
diri dengan mencukupkan diri atas penjelasan yang
disampaikan Nabi. Nyatanya para sahabat berlomba melakukan eksplorasi
makna terhadap ayat-ayat yang berkenaan dengan hukum seperti yang kerap
didemonstrasikan sahabat Ibnu Abas, Sang penerjemah al-Qur�an �turjuman
al-Qur�an�, Umar bin Khatab, Ibnu Mas�ud an banyak lainnya. Namun dibalik
diskursus tafsir nabawi ini, tentu yang tidak boleh dilupakan bahwa Hadits
sebagai representsi ucapan, tindakan dan ketetapan dari Nabi, disisi lain mampu
berdiri sendiri sebagai rujukan hukum mandiri (masd�r tasyrie li ta�s�s
ahk�m jad�dah) tanpa melibatkan al-Qur�an sama sekali, seperti kasus
halangan mendapatkan hak waris ketika membunuh ahli warisnya dll (Buhindi, 2007).
Dalam pada itu, ada
diskusrus yang hampir-hampir serupa tapi tak sama, akibat kesalah kaprahan dan
tidak bisa membedakan atas dua perkara ini; dikotomi antara tafsir nabawi murni
dan tafsir bi al-Hadits nabawi. Yang pertama adalah yang dimaksud dengan sumber
asli kedua corak tafsir Hadits, sementara yang kedua adalah tafsir yang tidak
dilakukan oleh Nabi melainkan oleh ahali tafsir atau ahli Hadits dengan
menghubung-hubungkannya melalui ijtihad sendiri. Dalam hal akan ada kaitan tiga
horizon yang melingkupi (1) ayat (2) Hadits
(3) korelasi antar keduanya, dengan menggantungkan penguasaan dan kekuatan
penafsir dalam menghubungkan keduanya. Artinya dalam hal sudah murni ijtihad
yang berpeluang benar-salah �namun demikian, tetap saja masuk kategori �ash�lah� versi teks, menimbang tetap
tidak keluar dari jejaring tafsir transmisional Hadits sebagai korpus teks
tertutup. Fenomena ini banyak bertebaran dalam kitab-kitab tafsir maupun Hadits
seperti al-J�mi� al-Shah�h milik Imam Bukhari (Buhindi, 2007). Dengan demikian, �tafsir bi al-Hadits� ini tidak lebih sama
dengan tafsir-tafsir kebanyakan sebagai bagian produk nomenklatur tradisi dan
budaya manusia pada masanya, yang dibungkus dengan wajah agama:
disebutlah peradaban Islam.
Ketiga, tafsir sahabat.
Tafsir ini masuk urutan ketiga setelah tafsir rabbani dan
tafsir nabawi. Sebagaimana dimaklumi, sahabat adalah
manusai-manusia pilihan yang sangat beruntung bisa mendapatkan akses wahyu
langsung dari Nabi. Karenanya mereka lebih paham
dengan petunjuk dan keadaan yang sebenarnya asal muasal turunnya ayat. Perkataannya
dianggap �sumber tafsir� mengingat keberadaan
mereka adalah pelaku sejarah, baik terlibat secara
langsung atau menyaksikan atau diceritai sahabat lainnya. Disamping itu, mereka dibekali dengan pemahaman ajeg, ilmu lurus disertai
tindakan amal soleh. Barangkali secara psikologis mereka mendapat emanasi
kenabian langsung (dan memantul kepada tabiin sehingga perkataannya pun
didaulat sebagai� sumber asli tafsir
versi tekstual?) sehingga keduanya layak dimasukan tafsir al-ma�ts�r.
Terlebih ada jaminan dari Nabi untuk mengikuti jalan mereka, �ash�biy ka
nuj�m bi ayyihim iqtadaytum ihtadaytum. Dengan demikian, jelaslah bahwa
alasan memasukkan kepada sumber tafsir �ash�lah�
versi teks (al-ma�ts�r) tentu saja karena perkataan-perkataan sahabat
secara mutlak disepadankan dengan Hadits Marfu� (Hadits dengan model transmisi
langsung kepada Nabi) (Al-Amin, 2007). Ini pendapat pertama yang diamini oleh kebanyakan ulama
termasuk al-Zarkasyi. Pendapat kedua, posisi sepadan dengan Hadits Marfu� hanya
dikonsentrasikan pada ucapan sahabat yang terlibat pada saat turunnya wahyu,
baik sebagai pelaku maupun saksi sejarah.
Pendapat ketiga,
sebagaimana yang dikembangkan oleh ulama kontemporer sama sekali tidak bisa
disamakan dengan Hadits Marfu� bahkan dinilai
terlalu berlebihan. Karenanya, tak bisa dijadikan hujah yang kuat. Alasan
logisnya, sekalipun dijamin jargon semua sahabat adil (sahabat kulluhum ad�l)
bagaimanapun, tidak boleh melupakan satu hal; mereka bukan Nabi dan perkataannya
hanya merupakan ijtihad kecuali jika benar-benar yang membatasi riwayat dari
nabi. Nyatanya banyak sahabat yang berselisih paham dalam menangani kasus-kasus
partikular, sebagian sahabat mengoreksi yang lain, atau tidak sampainya suatu
riwayat dari Nabi karena alasan tertentu seperti meninggal duluan atau
menyebarnya para sahabat ke penjuru daerah (Al-Thufi, 1989). Bagaiamanapun, seperti yang ditegaskan al-Thufi dalam
menganalisa tafsir sahabat ini, tidak semua sahabat mengerti dan paham ilmu
al-Qur�an. kecuali hanya bilangan sedikit, seperti Ibnu Mas�ud, Ibnu Abas dan
beberapa sahabat agung. Kemudian mentransferkan kepada para tabiin sesuai aset
tafsir yang dimilikinya. Itu pun kadang tidak merata karena alasan-alasan di atas
atau tabiin sendiri tidak menyempurnakan ilmunya, dengan meminta kepada sahabat yang lain dalam kasus yang
sama, umpamanya.
Keempat. Tafsir tabiin.
Pertanyaan terpenting dalam tafsir tabiin mungkin patut dilontarkan: standar dan atas dasar apa yang membuat
tafsir tabiin dimasukan kategori �keaslian dan kesusupan� versi
teks/transmisional? Padahal mereka jelas jauh keutamaanya dibawah tingkat
sahabat. Pun, mereka pun tidak menyaksikan atau terlibat dalam peristiwa
penyejarahan al-Qur�an. Dan lagi mereka tidak mendapatkan emanasi kewahyuan
Nabi selayak sahabat kecuali sebatas mendapat pantulan aura kenabian atau
jangan-jangan hal ini adalah�
keberuntungan akbar hingga pemikiran tabiin didaulat �sabda teks atas
konteks�. Pertanyaan-pertanyaan demikian membuat tafsir tabiin oleh sebagian agak
ragu-ragu dimasukan
nominasi sumber tafsir asli keempat versi teks ini. Mereka yang ngotot memasukannya memiliki kriteria, bahwa (1) tafsir
tabiin yang direkrut jika memang sudah memjadi ijma tabiin atau (2) paling
tidak, ungkapannya mendekati hakum Marfu�-Mursal������� dengan catatan tidak memasukan ruang
ijtihad nalar (3) tafsir tersebut hanya dikhususkan kepada para pembesar tabiin
yang mashur seperti Mujahid, Ikrimah, Said ibnu Jubair (4) tidak memenuhi
kriteria di atas, namun harus didukung Hadits Mursal yang lain (Ibrahim, n.d.).
4.
Sumber-Sumber �Dakh�lah� dalam al-Qur�an Versi Tektual
Menelaah arsip-arsip �dakh�lah� sebagai sebuah penyusupan dan
penyisipan atas sumber-sumber tekstual merupakan kendala yang tidak bisa
dianggap sepele. Dengan menelusuri aspek �dakh�lah�
dalam belantara tafsir al-ma�s�r, minimal tujuan
mendapatkan penyusupun yang ditoleransi dan yang terlarang, bisa terdeteksi. Demi
menjadikan program pengaslian atau autentisifikasi (tasil�yah) berjalan mulus.
Konsekuensi resiko terkecil akan �menghardik� para raksasa ulama tafsir dalam
kitab mereka dengan melancarkan serangan �purifikasi�, yang mengancam
kesakralan dan penghormatan ucapan-ucapannya. Hal yang terbaik ditanamkan
kepada publik tentunya bukan maksud merongrong kewibawaan ulama sebab mesti
dibedakan antara sosok ulama dan ucapan ulama. Dengan demikian, berarti sudah menempatkan sesuatu pada tempat atau hak-nya cecara proporsional.
Fenomena
�kerasukan/penyusupan� ini sebetulnya sudah mulai dirasakan sejak era sahabat,
tepatnya era akhir Khulafa al-Rasyidin di masa-masa arbitrasi Utsman (fitnah
al-kubra). Sayangnya, keadaan ini diperburuk
dengan sikap sahabat yang tidak memberi respon tegas antipati atau meridhainya.
Pertimbangannya, bisa jadi� mengingat faktor mitologi dan cerita-cerita terdahulu masih merupakan budaya masanya sehingga sulit untuk mengantisipasi atau menyumbat kran-kran informasi ini (Khladun, 2004). Lebih-lebih tafsir nalar belum menjadi tren dan dianggap pamali.
Puncaknya pada tahun 41 H. yakni masa tabiin dan setelahnya; ketika mulai
muncul pakewuh umat muslim dalam kepimpinan dan tampuk pemerintahan sehingga,
bermula dari faktor politik ini, meruyaklah sekte-sekte macam Syiah, Khawarij,
Muktazilah dan kelompok-kelompok zindik yang menabur fitnah. Dengan berbagai
kepentingannya, mereka silih berlomba untuk mengukuhkan fanatisme sektenya
sebagai �sekte terbenar dan terlurus� dengan menyandarkan atau membuat
riwayat-riwayat palsu yang disandarkan kepada Nabi, sahabat atau tabiin. Tak
pelak, bergelimpanganlah Hadits Shahih dan Mursal
yang notabenenya merupakan rekaan, buatan dan ciptaan �pihak yang
berkepentingan� semata. Istilah ini kemudian populer
dengan hadit-Hadits mawdhu�. Bahkan seoarang penulis legendaris, Ahmad Amin, mensinyalir konon
sudah ada sejak zaman Rasulullah (Al-Amin, 2007).�����������������
Diskursus Hadits palsu
ini sejatinya merupakan kompilasi sekaligus akumulasi berbagai faktor, ekses,
dan kecenderungan fanatik yang menimbulkan kubangan kesalahan, kebocoron
keaslian, perubahan-perubahan reduktif dan esensial yang khurafat dan merugikan (Al-Amin, 2007). Dalam pada itu, kesusupan yang terjadi pada tafsir muncul
secara bersamaan dengan maraknya Hadits-Hadits mawdhu�, dimana kemudian lebih
populis dengan tafsir mawdhu� yang dimaksud bukan tafsir �tematis� sebagaimana
tafsir-tafsir yang dikembangkan ulama sekarang melainkan tafsir palsu dan
buatan. Jika diringkas faktor-faktor itu adalah
sebagai berikut:
1.
Zindik dan kaum fobia Islam.
Zindik adalah orang-orang yang menyembunyikan kekefirannya dan
menampakan kemuslimannya. Seolah muslim padahal kafir. Bersama-sama dengan
golongan anti Islam mereka bahu-membahu memecah belah dan membuat pelapukan
Islam dari dalam setelah usaha-usaha menampilkan kekuatan fisik menemui
kegagalan seperti perang atau berhujah dan berdebat.
2.
Politik. Khususnya masa-masa umawiyah bekuasa dan setelahnya.
Tujuannya tidak lain
untuk menghegemoni dan menarik simpati umat muslim yang kala itu masih �shock�;
dengan menjual-jual tafsir dan Hadits buatan, bahwa transisi kekhilafahan dari
ahli bait menuju bani umayah merupakan anugerah dan sudah dibentuk sedemikian
rupa sebagaiamana yang telah prediksikan oleh �Hadits-Hadits� dan tafsir berbau
bani umayah (Ibrahim, n.d.).
3.
Fanatisme dan sekterianisme mazhab (Ibrahim, n.d.).
Tidak lain tujuannya untuk memperkokoh mazhab dan sekte mereka dengan menjual
ayat-ayat Tuhan dan menafsirknnya sesuai kepentingan,
berikut didukung Hadits-Hadits palsu. Seperti sekte Khawarij,
Karamiyah, Jahmiyah dan lain-lain, yang
getol melancarkan proyek ini demi kepentingan sektenya dan bertahan dari serangan lawan-lawannya. Begitu juga yang
terjadi dalam mazhab fikih dimana pengikutnya saling mengunggulkan imam mazhab
seperti pengikut imam Syafi�i dan Abu Hanifah (Al-Amin, 2007). Dengan cara ini, bahkan tak jarang
saling menghina, timbul percekcokan satu sama lainnya, hingga terjadi pertumpahan
darah.
4.
Niat baik ibadah (Al-Amin, 2007).
Tentu tidak setiap
unsur penyusupan ini karena motif jelek, bahkan terkadang maksud hatinya adalah
mulya demi ibadah mendekatan diri serta mengajak kebaikan kepada yang lain (targh�b
wa tarh�b), namun apa daya karena awam serta tidak menahu pengetahuan
agama, maka jadilah rusak amalnya. Seperti yang kerap dilakukan oleh para kaum
sufi demi menjustifikasi segala lelaku asketiknya. Yang naif, ketika
disampaikan kepada mereka tentang ancaman Nabi �barang siapa berbohong kepadaku
(dengan membuat-buat Hadits) maka duduklah persinggahannya dalam neraka�,
dengan enteng menjawab bahwa Hadits itu ditujukan semata-mata jika merugikan
Nabi sementara jika maksudnya untuk kebaikan maka sah-sah saja (Ibrahim, n.d.).
5.
Mitologi Yudio-Kristiani.
Mereka rata-rata adalah
para juru dakwah yang menggantungkan kehidupnya di masjid-masjid atau pasar
dalam ceramah agama. Sasarannya adalah kaum awam. Untuk menarik jamaah dan
terikat kepada mereka (supaya laku) ditampilkanlah cerita-cerita mitos ahli kitab. Gejala ini sebetulnya sudah mulai muncul sejak era sahabat, dimana
yang pertama kali memulai adalah Tamin al-Dariy pada saat mendapat izin sahabat
Utsan setelah sebelumnya sempat ditolak sahabat Umar� hingga dari sini kemudian merebak pesat
karena kecenderungan orang awam yang senang cerita-cerita.
Mungkin perlu disebut,
sebuah kitab yang saya rekomendasikan membahas tuntas dan kritis bagaimana
proses dan pengaruh mendasar akidah Nashrani merasuk dalam akidah muslim adalah
kitab kontemporer berjudul �Pengaruh Kristiani Terhadap Tafsir al-Qur�an (al-ta�s�r
al-mashiah f� tafs�r al-Qur�an al-Kar�m) karangan Musthafa Buhindi, seorang
pemikir terkenal perbandingan keagamaan. Kitab yang hemat saya berbobot dan bergizi itu, karena disamping
merujuk terhadap literatur tafsir klasik juga, terpenting,
merujuk langsung terhadap titik persamaan dalam kitab perjanjian lama dan
baru.
Dari semua ini, yang
paling mengkhawatirkan adanya fenomena meruyaknya �Dakh�lah� ini, sementara di sisi lain kita dipertontonkan dengan
keberadaan ilmu tafsir, dengan segenap dasar-dasar, kaidah-kaidah, dan
metodologinya terkesan acuh membiarkan begitu saja kecuali beberapa ulama
seperti Ibu Katsir yang kritis terhadap israiliy�t. Diam dan membisu
dalam lipatan dan putraran zaman. Bahkan �Dakh�lah� ini jika kita sadar sejatinya menggerogoti
pada hampir balungan setiap disiplin ilmu keislaman.
Sunggguh ironik. Disinilah pentingnya menerapkan konspep �al-ash�lah� dan �dakh�lah� sebagai upaya purifikasi dan netralisasi virus luar ini,
sehingga diharapkan bisa benar-benar kondusif dalam tumbuh kembang keilmuan
Islam. Tentunya dengan mmengambil sikap tengah, tidak dengan membuang unsur Dakh�lah itu secara membati buta sebab
bagaimanapun hukum �ta�s�r dan taassur� akan tetap berlaku sebagai sunatullah
yang akan mengintai setiap keilmuan Islam. Disinilah
perlunya sikap kearifan lokal-global atas arus budaya atau peradaban luar
semacam sikap dan bentuk aktualisasi, modifikasi, adaptasi, atau
Islamisasi Pengetahuan.��
5.
�Ash�lah� dan �Dakh�lah� Versi Nalar Sebagai �Korpus Terbuka�
Terma keaslian dalam
wilayah nalar, tentu tidak sama dengan keaslian wilayah tekstual. Dalam
wilayah tekstual akan lebih mudah mendapati
keaslian itu. Standarnya sudah agak terbaku terbuku-kan dalam kitab-kitab tafsir. Keaslian tekstual bisa disebut sebagai keaslian korpus
tertutup sebab dilingkari oleh kekuatan kuasa
tekstual. Lainnya hal dengan keaslian versi nalar ini dimana tekstual bukan
dijadikan tujuan melainkan sebagai alat atau kendaraan untuk
memperoleh tujuan makna terdalam melalui perangakat akal.
Membincang keaslian dalam wilayah diskursus manusia,
secara umum ia merupakan peradaban terberi dan khas pada setiap bangsa atau
budaya yang ada di dunia. Dalam hal ini, tidak
bisa dinafikan bahwa manusia sebagai makhluk berpikir akan menjadi �makhluk
cermin� bagi manusia masanya atau manusia masa depan. Tindakan keterpengaruhan,
pengulang-ulangan ide, repitisi, tautologis merupak sifat khas pikiran manusia
sebagai makhluk berperadaban. Keaslian dalam kacamata Barat,
terutama persepsi Edward Said, disebandingkan
dengan dua pokok (A) pekerjaan inovatif. (B) pemikiran inovatif (Said, n.d.). Artinya jika suatu
hal bisa menyuguhkan secara baru maka ia bisa dikatakan original. Dan ia tidak
selalu berbau tekstual, bahkan terma keaslian merupakan wilayah maha luas dan
mencakup apa saja, seperti ujaran Said:
�Not only does one speak
of a book as original, of a writer as possessing greater or lesser originality
than another, but also of originality uses of such a form, type, character,
structure, morever, specialized version of originality are found in all
thinking about literary origins, novelty, radicalism, innovation, influence, tradition, conventions, and periods� (Said, n.d.).
Terpenting bahwa proses
dan derivasi menuju keaslian itu bisa selalu dilewati dengan berbagai cara, sekalipun faktanya merupakan hasil repitisi dan
pengulangan (pada awalnya)
hingga menjadi (evolusi) keaslian versi baru. Dalam hal ini, perlu disebut bahwa lawan keaslian di Barat biasa
dihadapkan secara dikotomik dengan terma �revitisi, peniruan, mimikri,
penjiplakan, pengulangan� Ciri khas keaslian, merujuk kepada pemikiran Said
secara acak, bisa diidentifikasi sebagai berikut. Pertama, model baru. (Said, n.d.) Kedua, lurus. Ketiga, dibawah payung ideologis/institusi
resmi (Said, n.d.). Keempat, suara
mayoritas/dominan. Dengan kata lain, jika
suatu pemikiran telah memenuhi hal tersebut maka bisa diklaim �keaslian�. Dan saya sepakat dengan konsep
�keaslian� yang ditawarkan Said. Maksudnya dalam hal terapan identifikasi dalam
tubuh Islam, bukan dalam hal definisi Said sebab �keaslian� versi Barat bisa
menerima apa pun dari luar tubuhnya selama memenuhi standar, sementara dalam
Islam sama sekali anti dan akan masuk keranjang �penyusupan�; sebagai dikotomi
dari keaslian.
Dalam diskursus tafsir,
terma keaslian versi nalar mungkin bisa mengadopsi� apa yang ditawarkan Said sebab sekalipun
sejatinya ditujukan dalam bidang kesusutraan, sebagaiaman yang digeluti Said,
namun ia pun menandaskan bisa diterapkan dalam wilayah pemikiran keagamaan (Said, n.d.). Bahkan, disamping terapan dalan sumber-sumber tekstual, pun
dapat diketemukan dalam format, tipe, karakter, struktur; sebagai suatu
rangkaian yang lazim disebut metodologi merujuk Said di atas.
Dalam hal ini, jika
kita menyetujui bahwa metodologi merupakan hal yang bisa �di-asli-kan� tentunya
ada juga yang bisa �dipalsukan�. Artinya, jika diterapkan dalam perkembangan
ilmu Islam, khususnya metodologi ilmu tafsir maka harus merujuk kepada
sumber-sumber dimana metodologi bertempat tinggal itu, yang kemudian barulah
diatas namakan �keaslian�, terkait bahasa, habitat asli, tradisi, dan
pemikiran. Dengan kata lain, karena al-Qur�an sebagai lahan tafsir merupakan
produk Arab maka segalanya harus berangkat dari titik tolak dan jejaring
metodologi yang melingkupi watak bahasa Arab (Khladun, 2004). Praktis tidak usah repot-repot mencari, cukup
�menerjemahkan� metodologi yang dibuat oleh para ulama tafsir ini. Sebagaimana telah maklum, bahwa ilmu yang biasa diperbantukan dalam
mereproduksi tafsir ini merupakan syarat mutlak yang harus dikuasai seorang
ahli tafsir sebab merupakan satu-satunya motor penggerak tafsir. Imam Suyuti, dalam al-itq�n f� ul�m al-Qur�an, menyebutkan ada lima belas: 1. Ilmu Bahasa. Dengan bahasa,
bisa mengetahui ontologi bahasa dalam segala sendi-sendinya, dari mulai
mempereteli kosa-kata, dilal�h (fenomen) bahasa menyangkut umum, khusus, musytarak
dan lain sebagainya. 2. Ilmu Nahwu. Gramatika Arab tidak seperti gramatika
lainnya yang cenderung praktis dan tidak njilemet, karenanya butuh pendalaman serius. Sementara pengaruh makna dalam Arab bisa diketahui dengan
perubahan i�r�b atau� status kalimat (tark�b). Nahwu merupakan logika bahasa,
disamping ilmu tashr�f/morfologis.
3. Tashrif/morfologis. Guna mengetahui perubahan bentuk-bentuk dan jenis-jenis (abniyah wa shiyag) kalimat isim, fiil, atau huruf. 4.
Istisyq�q/derivasi. Untuk mengetahui asal-muasal suatu kalimat. 5. Ma��ni. Guna
mengetahui karakteristik susunan kalam dari segi kedigjayaan makna. 6. Bay�n.
Guna mengatahui karakteristik perbedaan menyangkut kejelasan dan kesamaran
fenomen suatu lafadz. 7. Bad�e�. Mengetetahui model pembacaan kalam dari segi
keindahannya. Ketiga yang terakhir ini masuk dispilin ilmu balaghah; sebuah
cabang kesustraan Arab guna mengatahui kemukjizatan makna al-Qur�an yang
terdalam. Ketiga ini merupakan rukun terbesar dalam ilmu tafsir. 8. Ilmu
qira�t/varian bacaan. Guna mengetahui
tata cara
pengucapan dan menelusuri seluk beluk bacaan yang besar pengaruhnya terhadap aplikasi tafsir dan hukum. 9. Ush�luddin.
Yakni ilmu ketauhidan mencakup sifat wajib, mustahil, wenang dan lain sebagainya yang termaktub dalam al-Qur�an. 10. Ushul fikih.
Sebagai motor reproduksi hukum dalam menggali dan menelusuri ayat-ayat hukum.
11. Asb�b al-nuj�l/kronologi turun ayat. Guna mengetahui secara pasti maksud
diturunkannya suatu ayat serta tidak terjebak dalam keserampangan otorianisme
hukum. 12. N�sikh-mans�kh. Konsep abrogasi ini bertujuan mengetahui hukum yang dieliminasi dan hukum yang mesti diterapkan,
dengan mengetahui dan menelusuri kronologi zaman terdepan-terbelakang. 13.
Fikih. Guna mengetahui lalu-lintas hukum. 14. Hadits-Hadits yang menafsirkan
atas ayat-ayat yang umum dan samar. 15. Ilmu mawhib. Ilmu yang diwariskan
langsung dari Allah kepada mereka yang mengamalkan ilmu yang dipelajari (Al-Suyuti, n.d.).
Dengan demikian,
mengecualikan dari perangkat yang lima belas ini dipastikan merupakan �produk
ilegal� yang menyusup dalam sumber asli metodologi tafsir Islam. Barang siapa
menafsrikan tanpa menggunakan syarat-syarat di atas niscaya tidak dianggap
sebagai produk tafsir asli sebab �hasil (tafsir) asli didapat jika mengunakan
proses (metodologi) asli�. Tak pelak, tafsir ilegal kelak masuk tafsir terlarang
(al-mahiy anhu), bahkan diancam oleh Nabi �sesiapa yang menafsirkan
dengan akalnya (tanpa memenuhi prosedural hukum) maka diancam masuk neraka� (Al-Suyuti, n.d.).
Sementara itu, guna
menghasilkan produk/hasil tafsir versi nalar maka tidak boleh lepas dari kaidah
dasar yang� telah disarikan dalam tujuan
dan visi-misi asli-asasi dalam nilai-nilai al-Qur�an (al-maq�shid
al-ashliyah al-qur�niyah). Thahir bin Atsur
dalam karya magnum opusnya, al-Tahr�r wa al-Tanw�r menyebutkan ada
delapan, sebagaimana berikut: 1. Pembangunan dan pembelajaran akidah benar (ishl�h
aq�dah wa ta�l�m al-aqd al-shah�h). Tujuan ini merupakan tujuan akbar dalam
al-Qur�an sebab mampu meneguhkan iman dan keyakinan hati untuk kemantapan
bertauhid dan membersihkan hati dari kotoran-kotoran syirik, ateisme, dan
pemberhalaan kepada selain Allah Yang Maha Esa. 2. Pembersihan akhlak. Sebab
tujuan Nabi Muhammad tidak lain
diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia. 3. Syariah. Termasuk di dalamnya
membahas hukum ibadah, mu�malah,
mun�kahah, jin�yah dan lain sebagainya.
4. Pengaturan umat (siy�sah kal-umat). Demi menjaga stabilitas dan memelihara keutuhan umat agar
selalu bersatu dan bekerja sama demi kemajuan dan pembentukan Islam yang madani
(al-takw�n al-j�miah). 5.
Cerita-cerita dan informasi umat terdahulu. Sebagai bekal pengetahuan
(sosiologi dan antropologi) dan pembelajaran umat Islam serta suri tauladan
sekaligus peringatan agar tidak terjebak pada kubangan yang sama; bagaimana
semestinya beragama yang lurus dan benar sesuai petujuk-petunjuk Tuhan. 6.
Balajar menyesuaikan diri dengan kondisi keadaan dan pengetahuan pada setiap
putaran zaman (taghayur ahk�m wa ma�rifah bi taghayur azminah wa amkinah).
Tujuannya untuk bisa mengadaptasikan syariat Islam agar bisa diterima dan
berkembang pada setiap masa. Sebagai contoh adalah terjadinya persinggungan
ilmu-ilmu Arab dengan ilmu-ilmu non Arab, dimana agama mengalami perkembangan
sedememikian rupa ketika dipeluk oleh orang-orang non Arab, di saat yang sama
mereka sebelumnya adalah orang-orang yang dibesarkan dalam lingkungan berpengatahuan
dan berperadaban tinggi seperti budaya tulis menulis, filsafat dan lain
sebagainya bandingkan dengan orang Arab yang melulu terbatas pada ilmu sastra
awalnya. sehingga Islam mengalami tumbuh kembang secara dinamis dengan budaya
lokal. Disinilah sejatinya al-Qur�an menyindir dan mengajak umat Islam untuk
tetap terbuka dengan pengetahuan peradaban guna kemajuan umat Islam sendiri
agar tidak ketinggalan dan ditinggalkan umatnya; hal yastawi al-ladz�n
ya�lamun wa al-ladz�n l� ya lam�n. Disaat yang lain al-Qur�an memuji
orang-orang yang berusaha mencari pengetahuan hikmah/filsafat hidup; yu�ti
al-hikmah man yasya� wa man yu�ti al-hikmah fa qad utiya khair kats�ra. 7.
Petuah, nasehat, ancaman, peringatan, dan kabar gembira. Yang masuk pada kelompok ayat-ayat al-targh�ib wa al-tarh�b. 8. Mukzizat al-Qur�an
dalam segala dimensi (Al-Asyur, n.d.)� Dengan demikian
ketika didapati buah-buah pikiran tafsir yang sesuai dengan tujuan-tujuan di
atas maka ia dengan sendirinya masuk dalam kategori �keaslian� via nalar.
Dalam bahasa lain,
pemikiran bid�ah atau penyusupan hitam (al-dakh�lah
al-salbiyah) dalam tafsir nalar ini secara ringkas ada tiga model dengan
menggunakan pembacaan ulama al-Azhar sekarang. 1. Timbul dari pemahaman keliru
akibat kecerobohan menggunakan perangkat metodologi yang keliru atau kekurangan
syarat-syarat ijtihad sekalipun mempunyai tujuan mulya. Seperti yang ditunjukan
secara ngawur oleh para �penafsir� kontemporer. 2.
Terlalu ngotot terhadap pemahaman literalis kalimat
tanpa mempedulikan kontradiksi logika akal. Seperti yang dilakukan kaum
mutajasim; yang memaknai sifat Tuhan sesuai bunyi teks.
3. Kesewenang-wenangan/otorianisme makna dan takwil sesuai kehendak
nafsu dan fanatisme mazhab.
Kebanyakan para
penafsir ini cenderung acuh terhadap horizon: ujaran pewicara al-Qur�an (mutakalim
bi al-Qur�an), turunnya wahyu (al-munazal alayh), audiens (mukh�tab) (Al-Suyuti, n.d.). Eksesnya, terjadilah �dakh�lah�
menyesatkan dan pemikiran bid�ah. Lantaran tidak memahami lalu-lintas ketiga
unsur ini, bahkan parahnya terkadang mencari tujuan dan pemahaman sendiri lantas
baru mencari ayat-ayat yang mendukung akidah dan tujuannya. Akhir cerita, al-Qur�an pun kehilangan sebagai
sentralitas agama karena diposisikan terbalik: sebagai
sampingan dan bukan tujuan demi sebuah arogansi kepentingan.�
Tentu adagaium �hasil
tafsir asli didapat jika mengunakan proses asli� bukan merupakan kaidah mati, hanya
sekedar parameter umum. Pendeknya, adagium ini tidak sebanding lurus atas
diskursus �proses menuju hasil�, sebab untuk menghasilkan
keaslian tafsir tetap harus menggunakan standar-standar pasti yang telah
disepakati dan diseruput dari nilai-nilai keaslian al-Qur�an. Artinya
sebuah metodologi yang mentah tidak selalu berhasil dalam
proyek �keaslian� tafsir. Terkadang
menghasilkan juga tafsir-tafsir anomali dan keluar dari jalur keaslian,
analoginya ibarat dalam sebuah pabrik sekalipun menggunakan mesin yang satu,
namun hasil produksinya tidak pernah lepas dari produk suskes dan produk gagal.
Begitu juga sebaliknya, untuk menghasilkan tafsir asli maka tidak selalu
mematok dan terpusat kepada satu metodologi asal. Bahwa metodologi asal hanya
diposisikan sebagi alat bantu pertama sejati yang tidak bisa
lepas sama sekali bahkan syarat mutlak dan harga mati menuju proses pengaslian
namun tidak ada salahnya jika menggunakan �metodologi alternatif� sepanjang
hasilnya bisa dipertanggungjawabkan sebagai tafsir asli via tekstual.
Thahir bin Asyur
sempat menyinggung bagus dalam hal ini; bahwa perkawinan metodologi antara yang
asli dari dalam Islam dan luar Islam merupakan suatu dialektika sejarah yang
harmonis dan dinamis. Bahkan sangat dianjurkan selagi metode impor itu bisa
membantu dan mengabdikan diri (khidmah li al-maq�shid al-Qur�aniyah)
kepada maksud tujuan al-Qur�an sebagai bentuk sikap inklusivitas keilmuan Islam
terhadap pengetahuan sekuler. Jika pun agak melenceng dari tujuan aslinya, maka
dengan sendirinya tidak dikatakan tafsir melainkan sebagai diskursus pelengkap
dan tambahan yang posisinya tetap membebek kepada dan untuk tafsir (Al-Asyur, n.d.).
Dalam sejarah modern,
diskursus ini ditunjukan oleh Fazlur Rahman
dalam hermeneutik gandanya yang dipengaruhi oleh Gadamer,
Delthy, terutama Betty pada buku: Major Themes of the
al-Qur�an dan Islamic Methodologi in History-nya. Bangunan
hermeneutiknya merupakan respon terhadap pendekatan tafsir tradisional abad
pertengahan dan tafsir modern yang terkesan sepotong-potong dan
partikualristik. Ia pertama-pertama menjelaskan bagaimana persinggungan
otoritas wahyu yang diperantarai oleh realitias historis dan kultural Islam
perdana di mana kemudian Islam berkembang. Bahwa asb�b al-nuz�l
merupakan aspek elanvital terpenting dalam kacamata Fazlu Rahman.
Sebab merupakan ilmu sosiologi al-Qur�an yang paling ampuh; manakala bisa
menjembati dan memperantarai kondisi-kondisi sosial-kemasyarakatan yang ada
menuju gerbang pengantar pemahaman utuh dan komprehensif. Mengabaikannya
akan mengancam terhadap kekeliruan
kajian al-Qur�an modern (Rahman, 1970).
Hermeneutik gandanya
adalah (1) teori kenabian dan hakikat wahyu. (2) pemahaman sejarah, dengan
menemukan kembali al-Qur�an dalam momentum sejarah. Dalam
beberapa teori ini, bisa diterjemahkan menjadi metodologi tiga: 1. Pendekatan
sejarah normatif. Demi menemukan pemahaman utuh teks al-Qur�an, yakni dengan
mengetahui kronologi turunnya wahyu. 2. Objektivitas otonom al-Qur�an, guna
menghindari subjektivitas penafsiran sebab akan membahayakan terhadap
kelangsungan makna al-Qur�an secara otonom dan berbalik terhadap otorianisme
penafsir. 3. Pendekatan sosiologis, mendudukan objektivitas al-Qur�an akan
dipahami secara sempurna dengan pendekatan sosiologis sebab akan didapati
pemahamanan sesuai logika perkembangan wahyu dan kehidupan pribadi Nabi (Rahman, 1970).����
Penafsiran intra-teks
qur�anik akan mampu memahami kesuluruhan wahyu secara koherensif dan konsisten.
Ia begitu menekankan terhadap sentralitas al-Qur�an sebagai upaya penghidupan
makna dan relevansi norma-norma Islam. memang diakui dialog penafsiran wahyu
dan sejarah konteks-sosial adalah hubungan yang ruwet dan kompleks. Di dalamnya
menunjukan bagaiaman wahyu terbuka terhadap proses sejarah, di satu sisi. Dan
di sisi lain al-Qur�an merupakan alat aktif dalam mengeliminasi tradisi lokal, nilai, dan norma sempit jahiliyah yang
menghalangi dan bertentangan dengan ruh Islam. Dalam hal
ini al-Qur�an pun terkadang berwajah ramah dengan mengadapsi dan mempertahankan
kearifan lokal seperti thawaf, melempar jumrah, dan wukuf di arafah dalam
ibadah haji dan disaat yang sama melarang thawaf bertelanjang bulat warisan
tradisi jahilayah; larangan menikahi dua saudara sekaligus, memberi mahar dan
disaat yang sama melarang nikah shig�r, istibda�, badaldan banyak lainnya (Karim, 1990).
Tokoh kontemporer
lainnya yang getol menerapkan hermenutik adalah Muhammad Arkoun. Dimana ia
membagi al-Qur�an menjadi dua kategori. Pertama, teks primer, yaitu al-Qur�an. Kedua,
teks sekunder, yaitu seluruh teks yang mengabdi pada al-Qur�an. Tak heran jika
garapan yang paling ditekankan adalah pembacaan ulang al-Qur�an, sebab
merupakan piranti dalam yang paling mendasar atas segalanya; dari sanalah mulai
lahir turats Islam secara umum, sehingga, untuk menggarap ulang, harus dari
sana pula memulainya agar kran akal Islam yang tertutup bisa terbuka kembali,
sebagaimana impian proyek Kritik Nalar Islamnya. Salah satunya adalah kampanye
membuka workshop studi-studi al-Qur�an (Muhammad Arkoun, n.d.).
Dalam aplikasinya,
Arkoun, seperti yang tampak dalam kitab al-Qur�an: Min al-Tafs�r al-Maur�ts
ila Tahl�l Khit�b al-D�niy, mendemonstrasikan �kepiawaiannya� ketika
menerapkan analisis semiotika ke dalam teks-teks suci dengan cara melampaui
batas kemampuan semiotika itu sendiri. Ia bertendensi selama ini semiotika
belum mengembangkan peralatan analitik khusus untuk teks-teks suci. Sebab
memperlakukan� teks-teks keagamaan tidak
sama dengan teks lainnya, karena berpretensi pada acuan petanda terakhir,
petanda transendental (signifie dernier). Bahkan dalam bangunan
pemikirannya, Derrida yang berpendapat bahwa bahasa tulisan lebih awal
ketimbang lisan dalam bidang filsafat bahasa bisa disajikan, tanpa berbenturan
dengan asumsi yang memandang bahwa bahasa lisan lebih awal ketimbang bahasa
tulisan dalam bidang antropologi, perkembangan kebudayaan atau peradaban.
Kesimpulan
Tulisan ini bermaksud menelaah dan mendiagnosa narasi tafsir
infiltratif dan tafsir objektif yang mengalami kembang surut dalam tradisinya. Harapan
mampu memberikan wawasan dan kekayaan bagi kita sebagai catatan sebagai
berikut:
1.
Pembacaan� komprehensif sejarah
pengetahuan dalam arus transformatif bingkai nalar infiltratif-substansif� atas kuasa pengetahuan Islam, khususnya
bidang ilmu tafsir.
2.
Menyegarkan pemahaman pengatahuan tentang tradisi kritik tafsir al-Qur�an
dalam bentangan sejarah.
3.
Dapat dijadikan masukan dalam pengembangan formulasi ilmu
kritik tafsir al-Qur�an.
4.
Secara teologis dapat berguna bagi keyakinan dan ajaran tentang arti
orisinalitas dan sakralitas al-Qur�an sebagai pedoman, kitab hidayah (way of
live), dimana kandungan penafsiran juga tidak bisa lepas dari bias ideologis,
penyelewangan yang menjauh dari pemahaman murni al-Qur�an.
5.
Menjadi rumusan metodologis tentang model dan langkah kritik tafsir dalam
memotret teks al-Qur�an sebagai korpus tertutup dan korpus terbuka.
BIBLIOGRAFI
Al-Amin, I. (2007). Manhaj al-Naqd f� al-tafs�r (cet. I). Beirut:
Dar al-Hadi.
Al-Asyur, M. al-T. bin. (n.d.). al-Tahr�r wa Tanw�r. Dar
Al-Suhnun, I, 39�41.
Al-Suyuti. (n.d.). al-Itq�n f� Ul�m al-Qur�an. Dar
Al-Fikri, II, 178�179.
Al-Thufi, N. (1989). al-Iks�r fi Ilm al-Tafs�r (cet.
I). Beirut: Dar al-Awzai.
Arkoun, Muhamad. (1996). T�r�khiyyah al-Fikri al-Arabiy
al-Isl�miy (cet. II). Markaz al-Tsaqafi al-Arabi.
Arkoun, Muhammad. (n.d.). Qadhaya fi Naqd al-Aql al-Dini:
Kayfa Nafhamu al-Islam al-Yawm? (cet. III). Dar al-Thali�ah.
Buhindi, M. (2007). al-Ta�s�r al-Mas�hiy fi Tafs�r
al-Qur�an (cet. II). Beirut: Dar al-Thaliah.
Goldziher, I. (1985). Die richtungen Per Islamichen
koranauslegung, dialih-Arabkan:Madz�hib al-Tafs�r al-Islam (cet. III).
Retrieved from https://www.academia.edu/35047109/Orientalis_Ignaz_Goldziher
Hanafi, H. (2000). Muqaddimah fi Ilm al-Istghr�b,
al-Muasisah al-Jami�iyyah li al-Diras�t wa al-Nasyr wa al-Tawzi� (cet. II).
Beirut.
Hirsch, E. D. (1967). Validity in Interpretation
(illustrate). Yale University Press.
Ibrahim, H. M. (n.d.). al-Dakh�l f� tafs�r al-Qur�an
al-Kar�m. Diktat Tingkat III Ushuludin Jurusan Tafsir.
Karim, K. A. (1990). al-Zud�r al-Tarikhiyah fi Syariah
al-Islamiyah (cet. I). Cairo: Syina li al-Nasyr.
Khalil, I. (n.d.). Madkhal il� Isl�miyah al-Ma�rifah,
al-Ma�had al-Alami al-Fikr al-Islami (cet. 200,). U.S.A.
Khladun, I. (2004). Muqaddimah (cet. I). Cairo: Dar
al-Fajr li al-Turats.
Rahman, F. (1970). Islamic Modernism; Its Scope, Method and
Alternatives. International Journal of Middle East Studies, I.
Rusyd, I. (1973). Fashl al-Maq�l (cet. IV). Beirut:
Dar al-Masyriq.
Said, E. W. (n.d.). the word, the text, and the critic.
Cambridge: Harvard university press.