Syntax Idea : p�ISSN: 2684-6853� e-ISSN : 2684-883X�����
Vol. 2, No. 6, Juni 2020
LATIHAN PROPRIOSEPTIF DAN THERABAND EXERCISE LEBIH MENINGKATKAN
STABILITAS DARIPADA LATIHAN PROPRIOSEPTIF DAN ANTERO POSTERIOR GLIDE PADA
PEMAIN BASKET YANG MENGALAMI ANKLE SPRAIN KRONIS
Futi Nurul Destya
Universitas Udayana Denpasar
Email: [email protected]
Abstrak
Gangguan stabilitas adalah masalah yang sering terjadi pada pasien yang
terkena ankle sprain kronis. Ketidakstabilan pada ankle sprain kronik merupakan
hasil dari saraf (proprioseptif, refleks, waktu reaksi otot), otot (strength,
power, dan endurance) dan mechanical mechanism (ligamen laxity). Tujuan
penelitian untuk membuktikan latihan proprioseptif dan theraband exercise lebih
meningkatkan stabilitas dibanding latihan proprioseptif dan antero posterior
glide pada ankle sprain kronis. Penelitian ini menggunakan quasi eksperimental
dengan rancangan penelitian pre-test and post-test control group design.
Penelitian ini dilakukan pada 16 orang, kelompok I terdiri dari 8 orang dengan
intervensi yang diberikan adalah latihan proprioseptif dan theraband exercise
dan kelompok II yang terdiri dari 8 orang dengan intervensi yang diberikan
adalah latihan proprioseptif dan antero posterior glide. Stabilitas diukur menggunakan
Balance Error Scoring System (BESS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
terdapat peningkatan stabilitas pada kelompok perlakuan I dan II. Uji beda
menggunakan paired sampel t-test, pada kelompok I didapatkan nilai rerata pre
test 31,25�5,20 dan post test 3,25�1,66, didapatkan hasil p=0,001 (p<0,05),
yang berarti ada perbedaan bermakna nilai stabilitas sebelum dan sesudah
latihan pada kelompok I. Serta uji pada kelompok II didapatkan rerata pre test
29,75�4,26 dan post test 11,87�2,10 didapatkan hasil p=0,001 (p<0,05), yang
berarti ada perbedaan bermakna nilai stabilitas sebelum dan sesudah latihan
pada kelompok II. Hasil uji beda kedua sampel perlakuan menggunakan independent
sample t-test selisih pada kelompok I dan kelompok II didapatkan rerata 28,00�4,34
dan 17,87�2,90 dengan p=0,001 (p<0,05), yang berarti ada perbedaan bermakna
nilai stabilitas setelah perlakuan antara kelompok I dan kelompok II. Disimpulkan
bahwa latihan proprioseptif dan theraband exercise lebih meningkatkan
stabilitas dibanding latihan proprioseptif dan antero posterior glide pada
pemain basket yang mengalami ankle sprain kronis.
Kata kunci: Proprioseptif , Theraband Exercise, Antero Posterior
Glide, Ankle Sprain Kronis
Pendahuluan
Memiliki prestasi dalam bidang olahraga merupakan impian dari
para atlet, salah satunya pada atlet basket. Cedera adalah hal yang paling
mereka takutkan, karena dengan cedera mereka tidak dapat mencapai tujuan
prestasi mereka. Banyak beberapa cedera yang bisa mengenai pemain basket yaitu
ankle sprain, jumper�s knee, anterior cruciatum ligamen (ACL), posterior
cruciatum ligamen (PCL), cedera meniskus, dan lain-lain. Cedera tersebut
mengakibatkan para pemain basket tidak dapat kembali latihan seperti semula
terlebih dengan penanganan yang kurang baik saat terjadi cedera. Setelah
mendapatkan cedera tidak sedikit beberapa atlet di daerah tidak ditangani
dengan baik sehingga menjadi kronis salah satunya pada cedera pergelangan kaki
atau ankle sprain (Hari, 2017) Kesehatan
merupakan kebutuhan manusia yang utama dan menjadi prioritas yang mendasar bagi
kehidupan (Rahmat, 2020).
Ankle sprain adalah
suatu keadaan dimana terjadi overstretch pada ligamen yang terjadi secara
tiba-tiba dengan posisi inversi dan plantar fleksi. Ankle sprain umumnya
terjadi pada aktivitas yang membutuhkan lompatan, berlari dan atau memotong
lateral eksplosif (Loudon, Reiman, & Sylvain, 2014). Cedera ankle sprain
memiliki empat fase: fase initial akut berlangsung tiga hari setelah cedera,
respons inflamasi (fase akut) berlangsung satu smpai enam hari, fibroblastic
repair (fase sub akut) berlangsung lebih dari hari keempat sampai ke sepuluh
setelah cedera, fase kronis (maturation remodelling) berlangsung lebih dari
tujuh hari setelah cedera (Mills et al., 2011).
Data dari Poliklinik
KONI Jakarta antara tahun 2009-2012 menunjukkan bahwa ankle sprain merupakan
keluhan yang paling umum ditemui yang mencapai 41.1% dari seluruh kasus cedera (Kris-Etherton et al., 2004) Dilaporkan bahwa Dengan presentase hingga 75% dari ankle sprain
awal akan mengarah ke repetitive ankle sprain dengan sisa gejala memiliki
gangguan fungsional di ankle sprain (Hubbard, 2010). Menurut (Eddleston et al., 2002), angka ini telah� dilaporkan setinggi 80%. Menurut Pasanen K et
al 78% cedera mempengaruhi anggota tubuh bagian bawah. Ankle sprain 48% dan
lutut 15% adalah hal yang paling sering terkena pada usia remaja. 23% dari
cedera parah menyebabkan lebih dari 28 hari absen dari olahraga. Jumlah cedera
berulang tinggi sekitar (28% dari semua cedera) dan kebanyakan dari mereka
adalah ankle sprain (35 dari 44,79%).
Faktor-faktor yang
menyebabkan orang terkena ankle sprain adalah kelemahan otot, cedera ankle yang
berulang, fleksibilitas yang buruk, kurang melakukan pemanasan dan peregangan
saat sebelum olahraga, keseimbangan yang buruk, permukaan lapangan olahraga
yang tidak rata, dan biasa terjadi karena pemakaian sepatu atau alas kaki tidak
tepat (Kurniawan, 2013). Menurut (McKay & Smith, 2005) �terdapat tiga faktor risiko cedera ankle
sprain yaitu, pertama pemain dengan riwayat cedera ankle sprain hampir lima
kali lebih mungkin untuk mempertahankan cedera ankle sprain, kedua pemain yang
memakai sepatu sel udara pada tumit 4,3 kali lebih mungkin cedera daripada
mereka yang memakai sepatu tanpa sel udara, dan yang ketiga pemain yang tidak
melakukan peregangan sebelum pertandingan 2,6 kali lebih mungkin terkena ankle
sprain daripada pemain yang melakukannya.
Cedera ankle sprain ini
sangat umum dan sering dianggap sebagai hal sepele oleh atlet dan juga pelatih.
Penderita khususnya atlet yang mengalami ankle sprain rata-rata tidak begitu
memperhatikan kondisi yang dialaminya karena hanya merasa nyeri ringan atau
bengkak sehingga tidak dibawa ke medis, menurut (McKay & Smith, 2005) lebih dari setengah (56,8%)
dari para pemain basket yang terkena ankle sprain tidak mencari perawatan
profesional. Karena kondisinya tidak diperhatikan, pemain basket tersebut tetap
melakukan aktivitas olahraga sehingga dapat terjadi repetitive injury dan
menjadi ankle sprain kronis. Ankle sprain kronis adalah cedera pada ligamen
kompleks lateral yang berlangsung lebih dari tujuh hari. Cedera dengan keluhan
nyeri, inflamasi kronis, dan ketidakstabilan dalam melakukan aktivitas yang
disebabkan terjadinya kelemahan ligamen dan penurunan fungsi termasuk defisit
sensorimotor yang dapat menimbulkan terjadinya kelemahan otot sehingga terjadi
penurunan tonus postural, kekuatan otot, proprioseptif, fleksibilitas,
stabilitas dan keseimbangan (Feng, Sun, Wan, Hu, & Calatayud, 2014).
Salah satu masalah dari
ankle sprain yaitu penurunan stabilitas, stabilitas adalah suatu keadaan dimana
ankle dalam keadaan stabil. Komponen dari sebuah kestabilan sendi ankle
merupakan hasil dari saraf (propioseptif, refleks, waktu reaksi otot), otot
(strenght, power, dan endurance) dan mechanical mechanism (ligamen laxity)
(Mattacola & Dwyer, 2002). Apabila dalam salah satu faktor tersebut tidak
terpenuhi maka ankle akan menjadi tidak stabil atau ankle instability. Ankle
instability adalah suatu keadaan dimana ankle tidak dalam keadaan stabil yang
disebabkan oleh beberapa faktor seperti penanganan awal yang buruk pada saat
terkena ankle sprain. Ankle instabilty disebabkan oleh menurunnya fleksibilitas
jaringan, peningkatan intensitas nyeri, ketidakstabilan fungsional, penurunan
kekuatan otot, dan penurunan input proprioseptif akibat ankle sprain (Akre & Kumaresan, 2014). Keadaan seperti ini
menyebabkan terjadi gangguan menumpu, berjalan, dan melompat akibatnya performa
atlet di lapangan tidak maksimal atau bahkan tidak dapat bermain di lapangan
lagi. Nilai stabilitas ankle tersebut dapat diukur menggunakan Balance Error
Scoring System (BESS).
BESS adalah alat ukur
yang objektif untuk menilai stabilitas postural statis, disebutkan bahwa orang
dengan ankle yang tidak stabil akan mengalami kontrol postural yang kurang (CL, 2006). BESS memiliki construct validity yang baik karena
bersifat konsisten dan digunakan sebagai standar dari perbandingan hasil
pengukuran lainnya untuk menilai tingkat kestabilan pada ankle sprain. BESS memiliki
hasil internal consistency yang tinggi dengan nilai cronbach alpha antara 0,76
sampai 0,92 dan test-retest reliability dengan koefisien interclass correlation
0,86 (Kleffelgaard, Soberg, Langhammer, & Pripp, 2017). Dengan hasil penelitian
ini memberikan bukti bahwa BESS merupakan alat ukur yang valid dan reliabel
untuk mengukur stabilitas pada ankle sprain.
Penanganan pada kasus
ankle sprain dapat berupa medikamentosa dan fisioterapi. Latihan gerak yang
paling direkomendasikan secara klinis adalah proprioseptif dan theraband
exercise. Tapi terdapat beberapa penelitian yang menunjukkan peningkatan
stabilitas pada atlet yang terkena ankle sprain dapat diberikan proprioseptif
dan� mobilisasi sendi teknik antero
posterior glide.
Antero posterior glide merupakan salah satu teknik mobilisasi
sendi. Mobilisasi sendi adalah teknik manual terapi yang terdiri dari rangkaian
kemampuan gerak pasif dari suatu sendi atau jaringan lunak (atau keduanya) yang
digerakan dengan kecepatan dan amplitudo yang bervariasi (Edmond, 2006). Mobilisasi sendi bertujuan untuk meningkatkan
gerakan fisiologis dan aksesori melalui peningkatan kemampuan ekstensibilitas
jaringan kapsuler dan ligamen nonkontraktil dan meningkatkan transmisi
informasi aferen dengan merangsang sendi mechanoreceptors. Mobilisasi sendi
yang diberikan berupa terapi manipulasi memiliki efek pada struktur sendi dan
jaringan, yaitu efek fisik, merangsang aktivitas biologis di dalam sendi
melalui gerakan cairan sinovial. Gerakan cairan sinovial dapat meningkatkan
proses pertukaran nutrisi ke permukaan kartilago sendi dan fibrokartilago. Efek
stretching akan mengulur kapsul ligamen melalui pelepasan abnormal cross link
antara serabut-serabut kolagen atau jaringan fibrous akan berkurang dan
meningkatkan elastisitas, fleksibilitas pada otot dan jaringan lainnya sehingga
akan terjadi perbaikan lingkup gerak sendi yang maksimal� (Edmond, 2006). Penelitian sebelumnya oleh Weerasekara et al pada
tahun 2018 berupa systemayic review dan meta analysis tentang mobilisasi sendi
pada ankle sprain didapatkan hasil bahwa mobilisasi sendi dapat meningkatkan keseimbangan
dinamik dan juga penambahan ROM dalam jangka pendek, pada jangka panjang belum
diinvestigasi secara memadai.
Proprioseptif adalah kemampuan tubuh untuk mentransmisikan
rasa posisi, menganalisis informasi itu dan bereaksi (sadar atau tidak sadar)
terhadap rangsangan dengan gerakan yang tepat (Houglum, 2005). Latihan proprioseptif adalah suatu latihan yang
dibentuk untuk meningkatkan proprioseptif pada ankle sprain. Mekanisme
proprioseptif dalam meningkatkan stabilitas yaitu dengan proprioseptif
menggambarkan sinyal aferen yang bergerak ke otak dari reseptor dalam tubuh
yang memungkinkan otak untuk mengetahui di mana tubuh berada. Masukan
proprioseptif diberikan ke otak melalui mechanoreceptors, reseptor vestibular
dan reseptor visual. Semuanya diintegrasikan ke dalam sistem saraf pusat.
Bersama-sama reseptor-reseptor ini menstimulasi respon motor eferen yang
menghasilkan gerakan tubuh yang tepat (Akre & Kumaresan, 2014). Pada penelitian sebelumnya oleh Shashwat Prakash dan� Varun Singh�
pada tahun 2014 tentang efek perbandingan wobble board dan single leg
stance exercise didapatkan hasil bahwa wobble board lebih efektif� dari single leg stance exercise dalam
meningkatkan proprioseptif keseimbangan selama 4 minggu.
Theraband adalah alat atau media pembebanan untuk
meningkatkan kekuatan, mobilitas, dan range of motion (ROM). Theraband exercise
bertujuan untuk meningkatkan kekuatan dinamik, endurance, dan kekuatan otot
dengan menggunakan tahanan yang berasal dari external force. Theraband exercise
dalam bentuk latihan isotonik dapat membantu serta memperbaiki kelemahan otot
yang di sebabkan kerusakan ligament lateral kompleks. Peningkatan kekuatan otot
didapatkan dengan pelatihan secara continue sehingga kekuatan otot tonik dapat
meningkatkan sirkulasi pembuluh darah kapiler yang dapat meningkatkan kekuatan
otot phasik yang akan mengakibatkan terjadinya penambahan recuitment motor unit
pada otot yang akan mengaktivasi badan golgi sehingga otot akan bekerja secara
optimal, sehingga terbentuk stabilitas yang baik pada ankle (O�Driscoll & Delahunt, 2011). Pada penelitian sebelumnya oleh (G Hari Babu, Bijju Ravindran, V Kiran et al., 2017) membandingkan antara
mobilisasi dan theraband exercise dalam ankle sprain selama 4 minggu di
dapatkan hasil bahwa theraband exercise lebih efektif daripada mobilisasi.
Berdasarkan manfaat-manfaat yang telah dituliskan maka
penulis berasumsi bahwa latihan proprioseptif dan theraband exercise lebih
meningkatkan stabilitas dibanding latihan proprioseptif dan antero posterior
glide pada pemain basket yang mengalami kasus ankle sprain kronis.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan menggunakan metode quasi eksperiment
dengan rancangan two group pre and post test design. Pada penelitian ini
pengukuran pertama dilakukan satu hari sebelum diberikan perlakuan pertama, dan
pengukuran kedua dilakukan hari terakhir latihan pada minggu ke-6. Dalam
penelitian ini digunakan dua kelompok yaitu kelompok perlakuan pertama
adalah� latihan proprioseptif dengan
theraband exercise� dan kelompok
perlakuan kedua adalah latihan proprioseptif dengan antero posterior glide.
Bentuk rancangan penelitian dapat digambarkan sebagai berikut:
�������������������������������������������������������������������������� X1
�����������������������
��������������������������������������������������������������������������������������
X2
Gambar 1
�Kerangka Penelitian
Keterangan Gambar:
P ��� = Populasi
S ��� = Sampel
X1� = Perlakuan pada
kelompok I latihan proprioseptif dan theraband
exercise
X2� = Perlakuan pada
kelompok II latihan proprioseptif dan antero
posterior glide
O1� = Kelompok I sebelum
diberi latihan proprioseptif dan theraband
exercise
O2 = Kelompok I
sesudah diberi latihan proprioseptif dan theraband
exercise
O3 = Kelompok II
sebelum diberi latihan proprioseptif dan antero
posterior glide
O4 = Kelompok II
sebelum diberi latihan proprioseptif dan antero
posterior glide
Hasil
dan Pembahasan
Karakteristik subjek
pada jenis kelamin berdasarkan penelitian sebelumnya pada sebuah studi
menyatakan bahwa ligamen pada wanita lebih terulur daripada laki-laki setelah
cedera ankle, dan ini akan mempengaruhi proses peningkatan stabilitas pada saat
penyembuhan cedera (Mason, 2014). Sejalan dengan penelitian lain yang menyebutkan remaja wanita menunjukkan keseimbangan postural yang
lebih baik daripada individu laki-laki karena perbedaan karakteristik
antropometrik (Dorneles, Pranke, & Mota, 2013). Hasil penelitian lain menyebutkan bahwa anak perempuan
memiliki stabilitas postur tubuh yang lebih baik daripada anak laki-laki tetapi
lebih dipengaruhi oleh informasi input sensorik yang berubah. Anak perempuan
lebih banyak mampu mengintegrasikan input sensorik mereka, sedangkan anak
laki-laki memperlakukan masing-masing input sensorik secara terpisah dan lebih
mengandalkan pada umpan balik somatosensori pada latihan stabilitas (Andrew W. Smith, Ulmer, & Wong, 2012).
Hasil penelitian lain juga menunjukkan bahwa anak laki-laki memiliki parameter segmental yang
lebih baik dan dengan demikian status postural yang lebih baik pada umumnya otot
yang lebih kuat dan postur anak laki-laki yang lebih baik dalam periode ini
mungkin alasan untuk hasil ini. Wanita memiliki tingkat kelainan bentuk kaki
yang lebih tinggi seperti varus dan valgus bentuk kaki (Milan Kojić, 2014). Karakterisitik subjek berdasarkan kedua pengelompokan jenis
kelamin menunjukkan bahwa pada kelompok perlakuan memiliki jumlah sampel
laki-laki dan perempuan yang sama, sedangkan pada kelompok II jumlah sampel
laki-laki lebih banyak daripada wanita. Berdasarkan hasil analisis
pada jenis kelamin didapatkan hasil p=0,614 yang berarti bahwa terdapat
kesamaan jenis kelamin antara kelompok I dan kelompok II sebelum diberikan
intervensi.�
Karakteristik subjek
pada usia berdasarkan penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa remaja yang lebih
tua memiliki stabilitas postural yang lebih baik daripada remaja yang lebih
muda, hal ini terjadi karena mekanisme neuromuskuler untuk mengintegrasikan
sensorik dan proses motorik untuk kontrol postural masih berkembang. Mekanisme
untuk pengembangan stabilitas postural yang berkelanjutan ini termasuk kontribusi
vestibular, yang telah dispekulasikan untuk menjadi sistem sensorik paling
lambat yang terkait dengan stabilitas postural, menghasilkan waktu adaptasi
yang lebih lama dan respon postural yang lebih besar (Paniccia et al., 2017). Sejalan dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan
bahwa Atlet termuda (10-12 tahun) memiliki jumlah kesalahan rata-rata yang
lebih besar dalam posisi satu kaki dari BESS daripada atlet berusia 13 hingga
15 tahun dan 16 hingga 18 tahun (Breen, 2016). Dari deskripsi diatas
menunjukkan bahwa usia remaja muda memiliki kaitan dengan stabilitas. Karakterisitik
subjek berdasarkan data yang didapatkan menunjukkan bahwa subjek dengan rentang
usia antara 12-13 dan 14-15 tahun lebih tinggi. Berdasarkan hasil analisis pada usia didapatkan hasil p=0,475 yang berarti
bahwa terdapat kesamaan usia antara kelompok I dan kelompok II sebelum
diberikan intervensi.
Karakteristik subjek
pada IMT berdasarkan penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa laki-laki pubertas
yang kelebihan berat badan menunjukkan kapasitas yang lebih rendah pada
beberapa keseimbangan statis dan dinamis serta keterampilan postural (Hills & Worringham, 2009). Penelitian lain menyebutkan
�bahwa sensoris plantar terganggu pada
orang gemuk karena tekanan terus-menerus mendukung massa yang besar, pada
akhirnya berkontribusi terhadap penurunan nilai stabilitas (Ganesan, Koos, Kruse, & Dell, 2018). Karakterisitik subjek
berdasarkan data yang didapatkan dapat dilihat bahwa IMT dengan kategori berat
badan kurang mendominasi pada setiap kelompok, baik pada kelompok I maupun II. Berdasarkan hasil analisis pada indeks masa tubuh
didapatkan hasil p=0,313 yang berarti bahwa terdapat kesamaan indeks masa tubuh
antara kelompok I dan kelompok II sebelum diberikan intervensi.
������� Hasil penelitian
pada 8 orang subjek penelitian yang dilakukan selama 6 minggu dengan durasi
pelatihan 3 hari per minggu, diperoleh hasil pada kelompok perlakuan yang
diberikan latihan proprioseptif dan theraband
exercise menunjukkan rerata stabilitas ankle
sebelum diberikan perlakuan yaitu 31,25�5,20 kemudian setelah diberikan
perlakuan, didapatkan rerata 3,25�1,66. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan rerata peningkatan stabilitas pada pemain basket dengan kondisi ankle sprain kronis sebelum dan setelah
diberikan perlakuan.
Peningkatan
stabilitas ankle berdasarkan hasil
analisis statistik didapatkan hasil pada kelompok perlakuan yang diberi latihan
proprioseptif dan theraband exercise
menunjukkan nilai p = 0,001 (p<0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa
latihan proprioseptif dan theraband
exercise dapat meningkatkan stabilitas pada kondisi ankle sprain pemain basket di SMP 2 Garut.
Berdasarkan
penelitian sebelumnya ini dapat terjadi karena latihan proprioseptif berpengaruh
pada beberapa hal karena pada ankle
sprain kronik terjadinya penurunan dari pada fungsi proprioseptif (Sherwood, 2009). Pelatihan dengan wobble
board dapat mengembalikan fungsi dari proprioseptif melalui serabut saraf
afferen akan membawa respon ke sistem saraf pusat (SSP) yang berperan untuk
mempertahankan keseimbangan tubuh tetap dengan posisi stabil. Prinsip dari latihan ini untuk meningkatkan fungsi dari pengontrol
keseimbangan tubuh. Saat latihan berlangsung rangsangan yang diterima serabut
intrafusal dan ekstrafusal memperkaya input sensoris yang akan dikirim dan
diolah di otak untuk diproses sehingga dapat menentukan seberapa besar
kontraksi otot yang dapat diberikan. Sebagian respon yang dikirim kembali ke
ekstrafusal akan mengaktivasi golgi tendon kemudian akan terjadi perbaikan
koordinasi serabut intrafusal (myofibril) dan serabut ekstrafusal (golgi
tendon organ) dengan saraf afferent yang ada di muscle spindle sehingga
terbentuklah proprioceptive yang baik (Miller Jude, 2011).
Ketidakstabilan ankle disebabkan oleh disfungsi neuromuskuler
yang terkait dengan trauma pada ankle
(Gutierrez et al., 2013). Juga telah ditemukan itu baik umpan balik maupun
mekanisme kontrol gerak umpan maju diubah dengan ketidakstabilan ankle, meskipun asal spesifik dari
defisit ini tidak diketahui (McKeon & Hertel, 2008). Karena itu, penting bagian
dari rehabilitasi ankle sprain adalah
untuk memperbaiki defisit neuromuskuler yang terjadi untuk cedera. Salah satu
cara terbaik untuk melakukan ini adalah melalui pelatihan dan latihan
proprioseptif (Kaminski et al., 2013).
Sedangkan theraband exercise dapat berpengaruh
pada beberapa hal� berikut yaitu latihan ini dapat mengaktifkan otot-otot stabilisator pada ankle yang dapat meningkatkan kekuatan.
Pengaruh dari latihan ini juga dapat meningkatkan recruitment motorik, meningkatkan peredaran darah pada persendian
dan nutrisi tulang di samping karena meningkatkan perderan darah pada
persendian dan nutrisi tulang di samping karena meningkatkan kekuatan dan
fungsi jaringan di sekitar persendian yang akan mengurangi risiko cedera pada
sendi ankle (Mark
& Suraj, 2011).
Intervensi theraband exercise yang diberikan untuk
meningkatkan stabilitas pada kondisi ankle
sprain kronik akibat dari adanya overstretch
dari ligamen akibat menumpu maka posisi ligamen akan cenderung terulur dan
menyebabkan instabilitas pada ligamen sehingga otot-otot lain akan bekerja
secara berlebihan untuk menstabilkan sendi ankle,
dengan latihan proprioseptif dan theraband
exercise maka otot ankle yang
termasuk tipe otot tonik (antagonis) dapat meningkatkan sirkulasi pembuluh
darah kapiler sehingga akan meningkatkan kekuatan otot, sedangkan kekuatan otot
agonis akan mengakibatkan terjadinya peningkatan recruitment motor unit pada otot yang akan mengaktivasi badan
golgi, sehingga otot akan bekerja secara optimal yang terdepolarisasi selama
latihan, dengan banyaknya motor unit yang terdepolarisasi akan menghasilkan
kekuatan yang besar. Latihan yang benar dan teratur akan meningkatkan kekuatan
otot-otot stabilisator pada ankle� (Bracker D Mark, Achar A. Suraj, 2011).
Hal ini juga sejalan
dengan penelitian yang telah dilakukan oleh (O�Driscoll & Delahunt, 2011) yang menyatakan bahwa theraband exercise dalam bentuk latihan isotonik
dapat membantu serta memperbaiki kelemahan otot yang disebabkan kerusakan
ligament lateral kompleks. Peningkatan kekuatan otot didapatkan dengan
pelatihan secara kontinyu sehingga
kekuatan otot tonik dapat meningkatkan sirkulasi pembuluh darah kapiler yang
dapat meningkatkan kekuatan otot phasik yang akan mengakibatkan terjadinya
penambahan recruitment motor unit pada otot yang akan mengaktivasi badan
golgi sehingga otot akan bekerja secara optimal, dan akan terbentuk stabilitas
yang baik pada ankle.
Hasil penelitian
pada 8 orang subjek penelitian yang dilakukan selama 6 minggu dengan durasi
pelatihan 3 hari per minggu, diperoleh hasil pada kelompok perlakuan yang
diberikan latihan proprioseptif dan antero
posterior glide menunjukkan rerata stabilitas ankle sebelum diberikan perlakuan yaitu 29,75�4,26 kemudian setelah
diberikan perlakuan, didapatkan rerata 11,87�2,10. Hal ini menunjukkan bahwa
terdapat perbedaan rerata peningkatan stabilitas pada pemain basket dengan
kondisi ankle sprain kronis sebelum
dan setelah diberikan perlakuan.
Peningkatan
stabilitas ankle berdasarkan hasil
analisis statistik didapatkan hasil pada kelompok perlakuan yang diberi latihan
proprioseptif dan antero posterior glide
menunjukkan nilai p = 0,001 (p<0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa
latihan proprioseptif dan antero
posterior glide dapat meningkatkan stabilitas pada kondisi ankle sprain pemain basket di SMP 2
Garut.
Menurut (Hupperets, Verhagen, & Van Mechelen, 2009) bahwa pelatihan proprioceptive
dengan wobble board merupakan latihan stabilisasi dinamik pada
posisi tubuh statik yaitu kemampuan tubuh untuk menjaga stabilisasi pada posisi
tetap dengan cara berdiri satu atau dua kaki di atas wobble board.
Prinsip dari latihan ini ialah meningkatkan fungsi dari pengontrol keseimbangan
tubuh yaitu sistem informasi sensorik, central processing, dan effector
untuk bisa beradaptasi dengan perubahan lingkungan. Saat latihan
berlangsung rangsangan yang diterima serabut intrafusal dan ekstrafusal
memperkaya input sensoris yang akan dikirim dan diolah di otak untuk diproses
sehingga dapat menentukan seberapa besar kontraksi otot yang dapat diberikan.
Sebagian respon yang dikirim kembali ke ekstrafusal akan mengaktivasi golgi
tendon kemudian akan terjadi perbaikan koordinasi serabut intrafusal (myofibril)
dan serabut ekstrafusal (golgi tendon organ) dengan saraf afferent
yang ada di muscle spindle sehingga terbentuklah proprioceptive yang
baik. Stimulasi yang tidak konsisten akibat ketidakstabilan permukaan yang diterima
oleh otot dan sendi berpengaruh sangat cepat terhadap penangkapan informasi
sensoris dan lebih efisien diproses di sistem saraf pusat sehingga menstimulasi
mekanoreseptor pada sendi.
Antero posterior glide yang diberikan untuk ankle sprain menurut Hoch & Mckeon (2010), dapat meningkatkan gerakan
aksesori dan fisiologis pada sendi talocrural. Mobilisasi sendi dapat menjadi
intervensi yang efektif untuk mengatasi dorsal fleksi dan defisit talar glide
posterior selama rehabilitasi. Teknik ini dapat meningkatkan gerakan ini karena
peningkatan ekstensibilitas dari jaringan kapsul dan ligamen yang tidak
kontraktual.
Mobilisasi sendi antero posterior glide juga meningkatkan
transmisi informasi aferen dengan stimulasi sensoreceptor sendi. Metode ini
secara konsisten mampu untuk meningkatkan ROM dorsal fleksi dan posterior talar
glide pada individu dengan ankle sprain
akut atau kronis. Menggabungkan peningkatan aktivitas aferen dan peningkatan
fungsi neuromuskuler otot penstabil sendi memungkinkan peningkatan kontrol
postural dengan menggunakan mobilisasi sendi. Pemeriksaan dari efek mobilisasi
sendi pada kontrol postural dinamis memungkinkan untuk memahami kemampuannya
untuk meningkatkan fungsi sistem sensorimotor�
ankle sprain kronik yang tidak
stabil (Hoch & Mckeon, 2011).
Setelah melakukan
penelitian, pembahasan ilmiah pada kedua kelompok dan melihat hasil serangkaian
uji hipotesis, kedua kelompok perlakuan dinyatakan bahwa kedua perlakuan dapat
meningkatkan stabilitas pada ankle sprain
kronis pemain basket SMP 2 Garut. Apabila dilihat dari nilai rata-rata setiap
kelompok, keduanya memiliki peningkatan stabilitas ankle yang signifikan. Adapun nilai rata-rata serta standar deviasi
selisih perlakuan dari kelompok I 28,00�4,34 sedangkan pada kelompok II rerata
selisih perlakuan yaitu 17,87�2,90. Berdasarkan uji analisis statistik
menggunakan independent sampel t-test
didapatkan hasil p=0,001 (<0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa latihan
proprioseptif dan theraband exercise lebih
meningkatkan stabilitas daripada latihan proprioseptif dan antero posterior glide pada kondisi ankle sprain kronis pemain basket.
Kedua kelompok
perlakuan sama baiknya, dapat meningkatkan stabilitas pada ankle sprain kronis pemain basket. Namun, pada kelompok I memiliki
keunggulan secara langsung mengaktifkan otot-otot stabilisator pada ankle yang dapat memperbaiki kelemahan
otot yang disebabkan kerusakan ligament lateral kompleks sehingga dapat
meningkatkan kekuatan otot. Peningkatan kekuatan otot didapatkan dengan pelatihan
secara continue sehingga kekuatan otot tonik dapat meningkatkan
sirkulasi pembuluh darah kapiler yang dapat meningkatkan kekuatan otot phasik
yang akan mengakibatkan terjadinya penambahan recuitment motor unit pada
otot yang akan mengaktivasi badan golgi sehingga otot akan bekerja secara
optimal, sehingga terbentuk stabilitas yang baik pada ankle.
Hal ini juga sejalan
dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa latihan kekuatan otot dengan
menggunakan proprioseptif dan theraband
dapat meningkatkan perkembangan otot dan meningkatkan kontrol neuromuskuler
juga telah dilaporkan mempengaruhi perekrutan unit motorik, aktivasi selektif
dari otot agonis dan unit motoriknya, dan koaktivasi antagonis. Pelatihan
kekuatan enam minggu secara progresif menggunakan theraband menghasilkan peningkatan baik dalam arti kekuatan dan
posisi sendi di ankle. Peningkatan
yang terjadi dikaitkan dengan sensitivitas spindle otot dan aktivasi aferen hal
ini menunjukkan bahwa dengan kekuatan menggunakan theraband efektif meningkatkan langkah-langkah proprioseptif dari
keseimbangan (Smith et al., 2012).
Latihan theraband dapat meningkatkan kekuatan
yang menghasilkan peningkatan aktivasi gamma-eferen. Spindel menjadi lebih
sensitif terhadap peregangan seketika, menghasilkan ketajaman yang lebih besar
dalam merasakan posisi sendi, juga eferensia gamma yang dinamis meningkatkan
kepekaan terhadap laju perubahan panjang. Theraband
elastis telah terbukti dapat meningkatkan kekuatan, mobilitas, dan fungsi serta
mengurangi nyeri sendi. Sejumlah literatur menunjukkan keuntungan dari awal,
dengan menggunakan theraband exercise dapat membantu dalam
meningkatkan ROM, menurunkan nyeri, penghambatan saraf, otot lebih cepat
berfungsi �(Babu, Ravindran, V Kiran et al.,
2017).
Menurut Hyeyoung
(2013) bahwa pencegahan cedera ankle sprain kronis diperlukan pelatihan
khusus untuk menghindari terjadinya cedera ulang karena secara umum cedera yang
terjadi pada ankle adalah sprain. Melalui pelatihan proprioceptive
dan pelatihan penguatan otot ankle dengan karet elastic
resistance maka keseimbangan dan kontrol neuromuskuler akan membaik
sehingga terjadi penurunan foot and ankle disability dengan kembalinya
efesiensi gerakan dan aktivitas normal.
Mobilisasi
sendi antero posterior gliding yang
diberikan berupa terapi manipulasi memiliki efek pada struktur sendi dan
jaringan, yaitu efek fisik, merangsang aktivitas biologis di dalam sendi
melalui gerakan cairan sinovial. Gerakan cairan sinovial dapat meningkatkan
proses pertukaran nutrisi ke permukaan kartilago sendi dan fibrokartilago. Efek
stretching akan mengulur kapsul
ligamen melalui pelepasan abnormal cross link antara serabut-serabut kolagen
atau jaringan fibrous akan berkurang dan meningkatkan elastisitas, fleksibilitas
pada otot dan jaringan lainnya sehingga akan terjadi perbaikan lingkup gerak
sendi yang maksimal (Edmond, 2006).
Terapi manual telah
dikaitkan dengan perubahan aktivitas otot (muclerefleksogenik)
dan motoneuron pool activity. Secara
definisi, musclereflexogenic merupakan
perubahan penurunan hipertonisitas otot-otot. Dorongan yang terjadi selama
manipulasi atau gaya osilasi berulang digunakan selama mobilisasi untuk
mengurangi rasa sakit melalui induksi penghambatan refleks otot tegang.
Penghambatan otot refleksogenik
adalah konsekuensi dari rangsangan pada kulit, otot, dan reseptor sendi
artikular. Peran utama kulit, otot, dan sendi artikular mechanoreceptors adalah untuk mendeteksi kehadiran gerakan atau
masukan energi dan memberikan saraf pusat sistem dengan informasi proprioseptif
atau nociceptif. Lokasi dan desain mechanoreceptor
menguraikan peran yang dimainkannya dalam proprioseptif (Chad E. Cook, 2012)
Sebuah studi oleh
Pellow dan Bratingham mempelajari efek dari terapi manipulasi talocrural
anterior posterior glide pada keterbatasan ROM dorsofleksi, nyeri dan skor
fungsional dihasilkan pada follow-up
satu bulan peneliti menemukan perubahan signifikan pada area kaki dalam
perawatan kelompok menunjukkan stabilitas yang baik (Loudon et al., 2014). Penelitian
sebelumnya oleh Weerasekara et al
pada tahun 2018 berupa systematic review
dan meta analysis tentang mobilisasi
sendi pada ankle sprain didapatkan
hasil bahwa mobilisasi sendi dapat meningkatkan keseimbangan dinamik dan juga
penambahan ROM dalam jangka pendek, pada jangka panjang belum diinvestigasi
secara memadai.
Kesimpulan
Berdasarkan analisis penelitian
yang telah dilakukan dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa:
1.� Latihan proprioseptif
dan theraband exercise dapat
meningkatkan stabilitas
pada pemain basket yang mengalami
ankle sprain kronis.
2.� Latihan proprioseptif
dan antero posterior glide dapat
meningkatkan stabilitas
pada pemain basket yang mengalami
ankle sprain kronis.
3.� Latihan proprioseptif
dan theraband exercise lebih
meningkatkan stabilitas daripada latihan proprioseptif dan antero
posterior glide pada pemain basket yang mengalami ankle sprain kronis.
BIBLIOGRAFI
Akre, Ambarish,
& Kumaresan, Krutika. (2014). Comparison of a strengthening programme to a
proprioceptive training in improving dynamic balance in athletes with chronic
ankle instability (CAI). IOSR J Sports Phys Educ, 1, 18�20.
Bracker
D Mark, Achar A. Suraj, Pana L. Andrea. (2011). The 5-minute Sports Medicine
Consult. Philadelphia, Unites States: Lippincott Williams and Wilkins.
Chad E.
Cook. (2012). Orthopedic Manual Therapy (2nd editio). Walsh University.
CL,
Docherty. (2006). Valovich McLeod TC, Shultz SJ. Postural control deficits in
participants with functional ankle instability as measured by the Balance Error
Scoring System. Clin J Sport Med, 16(3), 203�208.
Dorneles,
Paludette, Pranke, Gabriel Ivan, & Mota, Carlos Bolli. (2013). Comparison
of postural balance between female and male adolescents.
Eddleston,
Michael, Karalliedde, Lakshman, Buckley, Nick, Fernando, Ravindra, Hutchinson,
Gerard, Isbister, Geoff, Konradsen, Flemming, Murray, Douglas, Piola, Juan
Carlos, & Senanayake, Nimal. (2002). Pesticide poisoning in the developing
world�a minimum pesticides list. The Lancet, 360(9340),
1163�1167.
Edmond,
S. .. (2006). Techniques.Joint Mobilization/manipulation, Extremity and
Spinal (Second). New Jersey.
Feng,
Zhaozhong, Sun, Jingsong, Wan, Wuxing, Hu, Enzhu, & Calatayud, Vicent.
(2014). Evidence of widespread ozone-induced visible injury on plants in
Beijing, China. Environmental Pollution, 193, 296�301.
G Hari
Babu, Bijju Ravindran, V Kiran, Kiran, A. Kiran Kumar, R. Sreekar Kumar Reddy,
& Subbiah. (2017). The Effectiveness of Mobilization and Thera band
Exercises for Ankle Sprain. Jurnal Of Medical Science And Clinical Resarch,
05(06), 23213�23218.
Ganesan,
Mohan, Koos, Theresa, Kruse, Bradley, & Dell, Bill O. (2018). Dynamic
Postural Instability in Individuals with High Body Mass Index Journal of Novel
Physiotherapies. J Nov Physiother, 8(2), 387.
https://doi.org/10.4172/2165-7025.1000387
Hills,
Andrew P., & Worringham, Charles J. (2009). Balance and postural skills in
normal-weight and overweight prepubertal boys Balance and postural skills in
normal-weight and overweight prepubertal boys. Int J Pediatr Obes, 4(3),
175�182. https://doi.org/10.1080/17477160802468470
Hoch,
Matthew C., & Mckeon, Patrick O. (2010). The Effectiveness of Mobilization
With Movement at Improving Dorsiflexion After Ankle Sprain. J Sport Rehabil,
19(2), 226�232.
Hoch,
Matthew C., & Mckeon, Patrick O. (2011). Joint Mobilization Improves
Spatiotemporal Postural Control and Range of Motion in Those with Chronic Ankle
Instability. J Orthop Res, 29(3), 326�332.
https://doi.org/10.1002/jor.21256
Houglum,
Peggy. (2005). Free Communications, Oral Presentations: Professional Issues. Journal
of Athletic Training, 40(2), S61.
Hupperets,
Maarten D. W., Verhagen, Evert A. L. M., & Van Mechelen, Willem. (2009).
Effect of unsupervised home based proprioceptive training on recurrences of
ankle sprain: randomised controlled trial. Bmj, 339, b2684.
Kaminski,
Thomas W., Hertel, Jay, Amendola, Ned, Docherty, Carrie L., Dolan, Michael G.,
Hopkins, J. Ty, Nussbaum, Eric, Poppy, Wendy, & Richie, Doug. (2013).
National Athletic Trainers� Association position statement: conservative
management and prevention of ankle sprains in athletes. Journal of Athletic
Training, 48(4), 528�545.
Kleffelgaard,
Ingerid, Soberg, Helene L., Langhammer, Birgitta, & Pripp, Are Hugo.
(2017). Dizziness and balance problems after traumatic brain injury (TBI):
Evaluation of an 8-week vestibular rehabilitation (VR) programme. BRAIN
INJURY, 31(6�7), 882. Taylor & Francis Inc 530 Walnut Street,
Ste 850, Philadelphia, PA 19106 USA.
Kris-Etherton,
Penny Margaret, Lefevre, M., Beecher, G. R., Gross, M. D., Keen, Carl L., &
Etherton, Terry D. (2004). Bioactive compounds in nutrition and health-research
methodologies for establishing biological function: the antioxidant and
anti-inflammatory effects of flavonoids on atherosclerosis. Annu. Rev. Nutr.,
24, 511�538.
Kurniawan,
A. (2013). Penyakit Arteri Perifer Pada Diabetes Mellitus Medicinus. 4(3).
Loudon,
Janice K., Reiman, Michael P., & Sylvain, Jonathan. (2014). The efficacy of
manual joint mobilisation / manipulation in treatment of lateral ankle
sprains : a systematic review. Br J Sports Med, 365�370. https://doi.org/10.1136/bjsports-2013-092763
McKay,
C. P., & Smith, H. D. (2005). Possibilities for methanogenic life in liquid
methane on the surface of Titan. Icarus, 178(1), 274�276.
McKeon,
P. O., & Hertel, J. (2008). Systematic review of postural control and
lateral ankle instability, part II: Is balance training clinically effective. Journal
of Athletic Training, 43(3), 305�315.
Milan
Kojić. (2014). Differences in Indicator of Postural Status Betweem Boy and
Girls form Srem. Exercise and Quality of Life Journal, 6(1),
17�22.
Miller
Jude. (2011). Proprioceptive Training and Its Implications on Ankle
Rehabilitation. Journal of Athletic Training, 5(2), 163�170.
Mills,
Edward J., Bakanda, Celestin, Birungi, Josephine, Chan, Keith, Ford, Nathan,
Cooper, Curtis L., Nachega, Jean B., Dybul, Mark, & Hogg, Robert S. (2011).
Life expectancy of persons receiving combination antiretroviral therapy in low-income
countries: a cohort analysis from Uganda. Annals of Internal Medicine, 155(4),
209�216.
O�Driscoll,
Jeremiah, & Delahunt, Eamonn. (2011). Neuromuscular training to enhance
sensorimotor and functional deficits in subjects with chronic ankle instability:
A systematic review and best evidence synthesis. Sports Medicine,
Arthroscopy, Rehabilitation, Therapy and Technology, 3(1), 19.
https://doi.org/10.1186/1758-2555-3-19
Paniccia,
Melissa, Ont, O. T. Reg, Wilson, Katherine E., Hunt, Anne, Ont, O. T. Reg,
Keightley, Michelle, Zabjek, Karl, Taha, Tim, Gagnon, Isabelle, Reed, Nick,
& Ont, O. T. Reg. (2017). Postural Stability in Healthy Child and Youth
Athletes : The Effect of Age , on Performance. 10(2), 175�182.
https://doi.org/10.1177/1941738117741651
Rahmat,
Basuki. (2020). Pengaruh Implementasi Kebijakan Jaminan Kesehatan Daerah
Terhadap Kualitas Pelayanan Kesehatan Masyarakat Miskin Pada Dinas Kesehatan Kota
Tasikmalaya. Syntax Idea, 2(3), 1�11.
Sherwood,
L. (2009). Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem (Edisi VI). Jakarta:
EGC.
Smith,
Andrew W., Ulmer, Franciska F., & Wong, Del P. (2012). Gender Differences
in Postural Stability Among Children. J Hum Kinet., 33(1), 25�32.
https://doi.org/10.2478/v10078-012-0041-5
Smith,
Brent I., Docherty, Carrie, Simon, Janet, & Klossner, Joanne. (2012). Ankle
Strength and Force Sense After a Progressive, 6-Week Strength- Training Program
in People With Functional Ankle Instability. J Athl Train, 47(3),
283�288. https://doi.org/10.4085/1062-6050-47.3.06
Wilkerson,
Ricky D., & Mason, Melanie A. (2000). Differences in men�s and women�s mean
ankle ligamentous laxity. Iowa Orthop J, 20, 46�48.