How to cite:
Nabilla N. Afifah (2024) Perbandingan Antara Pendekatan Keadilan Restoratif dan Pendekatan
Hukuman Adat dalam Kasus Tindak Pidana Ringan, (06) 06, https://doi.org/10.36418/syntax-
idea.v3i6.1227
E-ISSN:
2684-883X
Published by:
Ridwan Institute
PERBANDINGAN ANTARA PENDEKATAN KEADILAN RESTORATIF DAN
PENDEKATAN HUKUMAN ADAT DALAM KASUS TINDAK PIDANA RINGAN
Nabilla N. Afifah
Universitas Pelita Harapan, Indonesia
Abstrak
Studi penelitian ini, "Perbandingan Pendekatan Keadilan Restoratif dan Pendekatan Hukuman
Adat dalam Kasus Tindak Pidana Ringan", memberikan kajian mendalam mengenai dua
pendekatan yang berbeda, yaitu keadilan restoratif dan hukuman adat, serta penerapannya
dalam kasus-kasus tindak pidana ringan. Dengan menggunakan teknik penelitian hukum
normatif, penelitian ini mengkaji dasar-dasar teori dan hukum dari kedua metode tersebut
dalam konteks tindak pidana ringan. Penelitian ini mengkaji paradigma peradilan pidana saat
ini dan mengkritik model peradilan retributif, yang menekankan pada tindakan penghukuman.
Keadilan restoratif, di sisi lain, dipandang sebagai pergeseran paradigma yang
memprioritaskan penyembuhan, reparasi, dan reintegrasi pelaku ke dalam masyarakat, serta
memenuhi kebutuhan korban. Studi ini juga melihat akar dari ide-ide keadilan restoratif dan
kesesuaiannya dengan praktik-praktik adat di berbagai negara. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa hukum adat adalah sebenarnya merupakan akar dari konsep keadilan
restoratif. Keduanya sama-sama bertujuan untuk pemulihan kembali kondisi di masyarakat
akibat terjadinya tindak pidana dan perilaku menyimpang. Di Indonesia, kerangka kerja
legislatif mengakui nilai-nilai masyarakat dan keberadaan doktrin yang melanggar hukum
dalam hukum pidana, yang menjadi dasar penerapan prinsip-prinsip keadilan restoratif dalam
menangani perilaku menyimpang dan konsekuensinya, terutama dalam konteks tindak pidana
ringan. Pengakuan ini menggarisbawahi komitmen negara untuk mendorong pendekatan yang
lebih holistik dan berorientasi pada masyarakat terhadap keadilan, sejalan dengan pemahaman
yang berkembang bahwa tindakan retributif saja tidak dapat sepenuhnya mengatasi dampak
beragam dari tindak pidana ringan terhadap korban, pelaku, dan masyarakat yang lebih luas.
.
Kata kunci: pendekatan keadilan restoratif, pendekatan hukuman adat, tindak pidana ringan, ,
hukum adat
Abstract
This study, "Comparison of Restorative Justice Approaches and Customary Punishment
Approaches in Minor Crime Cases", provides an in-depth study of two different approaches,
namely restorative justice and customary punishment, and their application in cases of minor
crimes. Using normative legal research techniques, this study examines the theoretical and
legal foundations of both methods in the context of minor crimes. This study examines the
current criminal justice paradigm and critiques the retributive justice model, which
emphasizes punitive action. Restorative justice, on the other hand, is seen as a paradigm shift
JOURNAL SYNTAX IDEA
pISSN: 2723-4339 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 6, No. 06, Juni 2024
Perbandingan Antara Pendekatan Keadilan Restoratif dan Pendekatan Hukuman Adat dalam
Kasus Tindak Pidana Ringan
Syntax Idea, Vol. 6, No. 06, Juni 2024 2805
that prioritizes healing, reparation, and reintegration of perpetrators into society, as well as
meeting the needs of victims. The study also looks at the roots of restorative justice ideas and
their conformity to indigenous practices in different countries. The results of this study show
that customary law is actually at the root of the concept of restorative justice. Both aim to
restore conditions in society due to criminal acts and deviant behavior. In Indonesia, the
legislative framework recognizes community values and the existence of unlawful doctrines in
criminal law, which forms the basis for the application of restorative justice principles in
dealing with deviant behavior and its consequences, especially in the context of minor crimes.
This recognition underscores the country's commitment to fostering a more holistic and
community-oriented approach to justice, in line with the growing understanding that
retributive action alone cannot fully address the diverse impact of minor crimes on victims,
perpetrators, and wider society
Keywords: restorative justice approach, customary punishment approach, minor crimes,
criminal justice paradigm, customary law
PENDAHULUAN
Hukum adalah sebuah entitas yang terjalin erat ke dalam tatanan masyarakat, evolusinya
mengikuti evolusi masyarakat yang dilayaninya. Hukum pidana adalah salah satu bidang
hukum yang paling mendasar di Indonesia, yang mengekspresikan interaksi yang rumit antara
standar hukum dan faktor-faktor masyarakat (Istiqamah, 2018). Istilah "pidana" memiliki arti
yang unik dalam lingkup hukum pidana, yang mencerminkan aspek penting dari tindakan
penghukuman dalam domain hukum. Namun, untuk mendapatkan pengetahuan yang
menyeluruh tentang makna istilah tersebut merupakan proses yang berkelanjutan. Menurut
Roeslan Saleh, sebagaimana dikutip dalam buku Effendy (2014), "pidana" mengacu pada
respons yang dipaksakan oleh negara terhadap suatu pelanggaran, yang mencakup penderitaan
yang disengaja terhadap pelakunya (Effendy, 2018). Penerapan hukum pidana ini menemukan
pijakannya dalam menangani kejahatan, salah satu dari sekian banyak sisi kehidupan manusia
(Sahabuddin, 2014).
Kejahatan, seperti yang dikatakan Emil Durkheim, adalah bagian yang tak terhindarkan
dari eksistensi manusia, yang terkait dengan aktivitas politik, sosial, dan ekonomi, sehingga
kehadirannya menjadi tugas yang harus diatasi, bukan disesali. Strategi penanggulangan
kejahatan berkisar dari penegakan hukum hingga upaya pencegahan dan pembentukan opini
publik. Hukum pidana, yang didasarkan pada tindakan penghukuman, mencapai
keseimbangan yang sulit antara melindungi hak-hak individu dan kesejahteraan Masyarakat
(Hakim, 2020).
Hukum pidana, yang biasanya dikaitkan dengan pengertian hukuman, berusaha untuk
mempromosikan keamanan, ketertiban, dan keadilan dengan bertindak sebagai alat hukum
yang memiliki konsekuensi. Menurut Pasal 10 KUHP, lanskap hukum Indonesia mencakup
berbagai macam hukuman yang dibagi menjadi sanksi pokok dan sanksi tambahan. Dalam
konteks ini, penjara muncul sebagai mekanisme hukuman utama. Namun, Barda Nawawi
Arief menarik perhatian pada dilema yang dihadapi oleh pemenjaraan-penurunan prioritas
karena dianggap tidak efektif (B. N. Arief, 2005). Skeptisisme terhadap hukuman penjara
bukannya tidak beralasan, karena hukuman penjara memiliki konsekuensi yang menjangkau
Nabilla N. Afifah
2806 Syntax Idea, Vol. 6, No. 06, Juni 2024
lebih dari sekedar terpidana itu sendiri. Hukuman penjara memiliki dampak negatif terhadap
keluarga, tanggungan, dan masyarakat secara keseluruhan, sebagaimana dibuktikan oleh
residivisme dan konsekuensi ekonomi yang terkait (Muladi & dalam Kriminalisasi, 1990).
Hal ini menunjukkan keterbatasan pidana penjara dalam menjaga ketertiban masyarakat,
sehingga perlu adanya perubahan paradigma.
Keadilan restoratif muncul sebagai solusi persuasif untuk mengatasi kelemahan ini.
Keadilan restoratif, yang didasarkan pada keyakinan progresif, melampaui pendekatan
hukuman adat dengan mendorong rekonsiliasi, restitusi, dan keterlibatan masyarakat. Ketika
teknik hukuman adat gagal, penelitian ini menyelidiki kemungkinan keadilan restoratif dalam
mengatasi kelemahan hukuman kurungan sekaligus mendorong kohesivitas masyarakat dan
keadilan yang komprehensif (Istiqamah, 2018).
Bidang peradilan pidana telah menyaksikan perkembangan paradigma yang berusaha
menyeimbangkan pengejaran keadilan dengan rehabilitasi pelaku kejahatan dan pemulihan
keharmonisan masyarakat. Dalam konteks ini, dikotomi antara keadilan retributif dan
keadilan restoratif telah muncul sebagai wacana penting dalam membentuk sistem hukum
modern. Artikel penelitian ini berjudul "Perbandingan antara Pendekatan Keadilan Restoratif
dan Pendekatan Pemidanaan Adat dalam Kasus Tindak Pidana Ringan" bertujuan untuk
mengkaji secara kritis dan membandingkan keampuhan pendekatan keadilan restoratif dan
pendekatan pemidanaan adat dalam menangani tindak pidana ringan dalam kerangka hukum
yang berlaku.
Keadilan retributif, yang secara historis dominan dalam arena hukum, berpusat pada
tindakan hukuman yang bertujuan untuk menimbulkan penderitaan bagi pelanggar sebagai
sarana pembalasan Masyarakat (Meidianto & STK, 2021). Paradigma penghukuman ini telah
menjadi sasaran kritik karena keterbatasannya dalam memberikan ganti rugi yang
komprehensif kepada para korban dan mengatasi penyebab utama perilaku kriminal.
Menanggapi kekurangan ini, keadilan restoratif telah muncul sebagai pendekatan alternatif
yang menekankan penyembuhan, rekonsiliasi, dan reparasi (Meidianto & STK, 2021).
Dengan berfokus pada perbaikan kerugian yang dialami oleh korban, mengintegrasikan
kembali pelaku kejahatan, dan melibatkan masyarakat, keadilan restoratif berusaha
menciptakan bentuk keadilan yang lebih inklusif dan partisipatif.
Signifikansi dari penelitian ini terletak pada eksplorasi bagaimana keadilan restoratif,
dengan penekanannya pada dialog, empati, dan keterlibatan masyarakat, dibandingkan dengan
metode penghukuman adat dalam konteks tindak pidana ringan. Istilah "tindak pidana ringan"
dalam penelitian ini mengacu pada pelanggaran dengan tingkat yang lebih rendah yang sering
kali melibatkan pelanggaran ringan atau pelanggaran yang tidak terlalu berat. Kasus-kasus
seperti ini sangat penting untuk diteliti karena merupakan bagian penting dari beban perkara
dalam sistem peradilan pidana dan menawarkan kesempatan untuk mengeksplorasi
pendekatan inovatif yang dapat meringankan beban proses hukum konvensional.
Dalam konteks Indonesia, sistem hukum berada di persimpangan jalan, berada di antara
ketaatan historisnya pada tindakan penghukuman dan pengakuan yang semakin besar
terhadap prinsip-prinsip keadilan restoratif. Lanskap hukum Indonesia ditandai dengan
adanya keselarasan antara kerangka hukum modern dan relevansi praktik-praktik adat yang
Perbandingan Antara Pendekatan Keadilan Restoratif dan Pendekatan Hukuman Adat dalam
Kasus Tindak Pidana Ringan
Syntax Idea, Vol. 6, No. 06, Juni 2024 2807
masih terus berlangsung (MASIUN, 2016). Pengakuan terhadap hukum adat dalam kerangka
hukum yang lebih luas semakin menggarisbawahi pentingnya memeriksa interaksi antara
keadilan restoratif dan pendekatan penghukuman adat, terutama dalam ranah kejahatan
ringan. Dengan membedah pendekatan-pendekatan ini dalam konteks hukum, sosial, dan
budaya, penelitian ini berkontribusi pada wacana reformasi peradilan pidana yang sedang
berlangsung, menawarkan wawasan yang dapat menjadi dasar pengambilan kebijakan dan
membentuk arah perkembangan hukum dalam menangani tindak pidana ringan.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian hukum normatif. Penelitian ini
berfokus pada evaluasi norma-norma hukum, asas-asas hukum, undang-undang yang berlaku,
peraturan-peraturan, teori-teori hukum, doktrin-doktrin hukum, yurisprudensi, dan literatur-
literatur yang relevan yang berkaitan dengan pokok permasalahan (Soekanto & Mamudji,
1979). Dari segi metode, penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif analitis. Melalui
analisis data yang ketat, teknik ini memungkinkan penyajian yang sistematis dari keseluruhan
subjek penelitian.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pelanggaran ringan adalah kasus-kasus yang memiliki potensi hukuman hingga 3 (tiga)
bulan penjara dan/atau denda tidak lebih dari Rp 7.500,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah),
termasuk pelanggaran ringan dan penghinaan, tetapi tidak termasuk yang diuraikan dalam
pemeriksaan prosedural Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) untuk pelanggaran
lalu lintas (Mulyani, 2017). Kisah Deli Suhandi, 14 tahun, yang harus mendekam di balik
tembok dingin Rutan Pondok Bambu, adalah contoh menarik dari situasi seperti ini. Deli
dituduh mengambil kartu perdana telepon genggam di dekat rumahnya di kawasan Johar
Baru, Jakarta Pusat. Padahal kartu tersebut hanya berisi uang tunai sebesar Rp 10.000,-
(sepuluh ribu rupiah), yang diambil Deli di jalan saat pulang sekolah bersama dua temannya
(Ibid.). Contoh lainnya adalah kasus AAL, seorang anak berusia 15 tahun yang menghadapi
intervensi polisi atas tuduhan mencuri sandal jepit seharga Rp 30.000 (tiga puluh ribu rupee)
dari Brigadir Ahmad Rusdi Harahap dan Brigadir Simon. Kejadian ini terjadi di Palu,
Sulawesi Tengah, dan berujung pada pemenjaraan setelah interaksi masyarakat dengan Mabes
Polri (Mulyani, 2017). Banyak kejadian serupa yang melibatkan desa-desa kecil yang dapat
diakses oleh publik, menimbulkan empati dan menciptakan dukungan masyarakat luas. Hal
ini menekankan pentingnya penerapan keadilan restoratif.
Keadilan restoratif melibatkan penyelesaian masalah melalui dialog antara korban dan
keluarganya, pelaku dan keluarganya, dan masyarakat. Konsep penyelesaian sengketa melalui
kesepakatan konsensual ini telah tertanam kuat dalam masyarakat Indonesia, dan menemukan
resonansi dalam sila ke-4 Pancasila, yang berpusat pada "kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. "Filosofi ini mengutamakan
musyawarah untuk kebaikan bersama, menghargai keputusan yang dibuat secara kolektif dan
dengan tanggung jawab moral kepada Tuhan Yang Maha Esa. Esensi filosofi ini terdiri dari
lima konsep terperinci (Sarbini & Ma’arij, 2020):
Nabilla N. Afifah
2808 Syntax Idea, Vol. 6, No. 06, Juni 2024
1) Mendengarkan dan berbagi keinginan;
2) Menemukan solusi atau titik temu untuk mengatasi kesulitan;
3) Menerima kewajiban bersama;
4) Memperbaiki konsekuensi yang tidak diinginkan; dan
5) Saling membantu bantuan timbal balik.
Konsep ini, yang sangat penting untuk keadilan restoratif, membentuk landasan
konstitusional dalam sila ke-4 Pancasila. Keadilan restoratif memperkenalkan pendekatan
penyelesaian konflik di mana pihak-pihak yang bersengketa memulihkan situasi saat ini,
melampaui prosedur hukum di pengadilan. Perspektif ini diabadikan dalam beberapa pasal
dalam Rancangan KUHP, termasuk pasal 2, 12, 54, 55, dan 145 huruf d (Sarbini & Ma’arij,
2020).
Di sisi lain, pengakuan hukum adat dalam rancangan KUHP bertujuan untuk
memulihkan keadilan dengan memperbaiki keretakan masyarakat. Hal ini terjadi bahkan
ketika rekonsiliasi dan pemaafan telah terjadi antara korban dan pelaku; kewenangan untuk
menuntut tetap tidak terpengaruh (Amdani, 2017). Sebaliknya, keadilan restoratif
mensyaratkan proses pemulihan yang secara langsung melibatkan pelaku dan korban dalam
penyelesaian masalah. Proses pidana adat sebagian besar mereduksi korban menjadi saksi di
tingkat pengadilan dengan dampak yang terbatas pada putusan. Jaksa mendasarkan dakwaan
pada berkas investigasi, seringkali tanpa memahami inti permasalahan, sementara terdakwa
mengantisipasi hukuman. Prinsip-prinsip ini harus bersinergi, menghasilkan penyelesaian
sengketa secara damai di luar ruang sidang sebelum keadilan retributif diterapkan (H. Arief &
Ambarsari, 2018).
Ketika masyarakat menyelesaikan perselisihan secara damai, prosedur peradilan pidana
resmi seharusnya tidak diperlukan, kecuali jika para pihak tidak dapat mencapai kesepakatan,
sehingga memerlukan proses pengadilan (H. Arief & Ambarsari, 2018). Kasus-kasus muncul
di mana keluarga korban mencabut laporan karena penyelesaian damai yang difasilitasi oleh
otoritas lokal, tokoh masyarakat, dan kepedulian bersama. Namun, penegak hukum sering
mengabaikan hal ini dan melanjutkan proses pengadilan, lebih menekankan pada frekuensi
daripada substansi (H. Arief & Ambarsari, 2018). Ada ruang hukum bagi keluarga korban,
masyarakat, dan keluarga pelaku untuk berdamai, karena klasifikasi kejahatan bergantung
pada sentimen komunal. Sehingga, dalam mempertimbangkan tujuan hukuman untuk
ketertiban dan perdamaian masyarakat, proses hukum harus mempertimbangkan penyelesaian
secara komunal.
Memberikan alternatif melalui pendekatan sosiokultural yang melibatkan korban,
pelaku, dan masyarakat untuk kepentingan perdamaian adalah puncak dari gagasan keadilan
restoratif. Pendekatan ini didasarkan pada kesadaran bahwa salah satu tujuan pemidanaan
adalah ketertiban dan perdamaian sosial, yang membenarkan penghentian kasus ketika tujuan
ini dapat dicapai secara damai. Sangat penting untuk menggunakan pendekatan sosiokultural
daripada pendekatan normatif. Perkembangan teoritis dari wacana dan reformasi hukum
pidana Indonesia menunjukkan preferensi yang signifikan untuk menggunakan mediasi
sebagai instrumen penyelesaian masalah hukum pidana alternatif.
Perbandingan Antara Pendekatan Keadilan Restoratif dan Pendekatan Hukuman Adat dalam
Kasus Tindak Pidana Ringan
Syntax Idea, Vol. 6, No. 06, Juni 2024 2809
Pada kenyataannya, masyarakat secara teratur menggunakan prosedur perdamaian dan
institusi adat untuk menyelesaikan kasus-kasus pidana. Namun, upaya-upaya ini terhambat
oleh sudut pandang resmi. Penegak hukum memandang masalah kriminal sebagai masalah
negara, yang mengamanatkan bahwa semua konflik kriminal harus diselesaikan melalui
peradilan formal. Namun, peradilan formal seringkali gagal memberikan penyelesaian yang
memuaskan, sehingga kasus-kasus yang meningkat ditangani di pengadilan, yang merupakan
tren yang menguntungkan dalam konteks praktik hukum komunitas. Menyadari keinginan
masyarakat akan alternatif untuk menjaga ketertiban dan perdamaian, gagasan keadilan
restoratif harus menemukan tempat di dalam tahapan penyelesaian pidana formal,
menyelesaikan sengketa dan mengembalikannya kepada para pemangku kepentingan: korban,
pelaku, dan masyarakat. Inti dari keadilan restoratif adalah penekanannya pada perbaikan
ketidaksetaraan masyarakat untuk mencapai keadilan.
Gagasan ini diformalkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak. Undang-undang ini memberikan ketentuan diversi yang konsisten
dengan cita-cita keadilan restoratif. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak yang
diduga melanggar hukum dari proses peradilan pidana, dengan atau tanpa batasan.
Dimasukkannya diversi ke dalam UU No. 11 Tahun 2012 bertujuan untuk menghindarkan
anak dari proses peradilan pidana. Konsep ini mendorong aparat penegak hukum di semua
tingkatan untuk menekankan kesepakatan di luar proses peradilan. Selain itu, masyarakat juga
dapat terlibat dalam diversi dengan mendorong rekonsiliasi antara kedua belah pihak, korban
dan pelaku, dengan persetujuan dari semua pihak yang terkait (H. Arief & Ambarsari, 2018).
Penyelesaian konflik di luar pengadilan harus diprioritaskan, dengan mediasi diizinkan
setelah prosedur pengadilan. Jika pihak-pihak yang bersengketa memintanya, panel hakim
yang mengadili harus mendorongnya, dan jika konsiliasi disetujui bersama, sidang harus
diselesaikan sesegera mungkin. Dalam batasan tertentu, pembentukan ruang untuk
penyelesaian di luar pengadilan diperluas di luar peradilan anak untuk mencakup kasus-kasus
pidana lainnya. Berikut ini adalah rekomendasi kebijakan hukum nasional yang mendukung
keadilan restorative (Prayitno, 2012):
1. Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 menyatakan
bahwa tanggung jawab utama Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah perlindungan,
pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat (Pasal 13 huruf c). kewenangan tambahan
dalam bidang fungsionalnya (Pasal 15 ayat 2 huruf k) dan tindakan lain menurut hukum
yang bertanggung jawab (Pasal 16 ayat 1 huruf l) diberikan kepada polisi.
2. Pelayanan Publik diwajibkan oleh Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004, Pasal 8 angka
4, untuk selalu beroperasi sesuai dengan hukum, dipandu oleh standar agama, moralitas,
dan praktik-praktik yang baik, dengan tetap menjaga nilai-nilai kemanusiaan di seluruh
masyarakat. Kehormatan dan martabat profesi harus dijaga setiap saat.
3. Dalam Pasal 1 ayat 1, UU No. 48 Tahun 2009 menetapkan lembaga peradilan sebagai
badan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia, berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum
Republik Indonesia.
Nabilla N. Afifah
2810 Syntax Idea, Vol. 6, No. 06, Juni 2024
4. Menurut Pasal 50 ayat 1 UU No. 48 Tahun 2009, putusan pengadilan tidak hanya harus
memberikan penjelasan dan alasan, tetapi juga harus mengutip hal-hal tertentu dari
peraturan perundang-undangan yang berlaku, peraturan perundang-undangan, atau sumber
hukum tidak tertulis yang digunakan dalam proses peradilan.
5. Pasal 5 ayat 1 UU No. 48 Tahun 2009 mewajibkan hakim untuk menggali, mengikuti, dan
menghargai konsep-konsep hukum dan nilai-nilai keadilan yang hidup dalam Masyarakat
(Prayitno, 2012).
Berdasarkan prinsip-prinsip ini, aparat penegak hukum (polisi, jaksa, dan hakim)
memiliki kemampuan untuk menggunakan kekuasaan mereka dengan cara-cara baru dalam
mengejar hukum dan keadilan. Undang-undang legislatif nasional menawarkan kerangka
kerja di mana penegak hukum dapat berinovasi, menemukan cara-cara alternatif untuk
penegakan hukum pidana. Prinsip-prinsip hukum nasional ini meramalkan kemajuan
masyarakat global, ilmu pengetahuan, dan peradaban, memberikan persyaratan yang relevan
untuk penegakan hukum pidana. Namun, penggunaan yang efektif tergantung pada keahlian
dan keberanian para penegak hukum.
Meskipun tidak ada hukum formal yang memandu keadilan restoratif, penggunaannya
adalah sah. Selain itu, sesuai dengan gagasan penemuan hukum, tugas penegak hukum
termasuk mencari hukum dari putusan pengadilan sebelumnya dan mengenali hukum yang
beresonansi dalam Masyarakat (B. N. Arief, 2011). Sebagai contoh, ketika kerangka kerja
keadilan retributif yang ada saat ini tidak cukup untuk menyelesaikan masalah korban,
analisis sosio-legal berpendapat bahwa penegak hukum tidak boleh menerima begitu saja,
tetapi harus berusaha untuk mengubah, berinovasi, dan mengadaptasi hukum untuk
membangun pendekatan yang lebih adil (Samekto & MHum, 2006).
Sementara itu, terkait dengan hukum adat atau hukum adat, ada banyak penelitian yang
telah dilakukan terkait dengan hukum adat, yang melahirkan banyak definisi. Di antara
berbagai penafsiran yang ada, hukum adat sering kali memasukkan unsur-unsur berikut
(Alting, 2011):
1) Dari segi bentuk, ia adalah hukum tidak tertulis pada umumnya;
2) Asalnya dari adat dan kebiasaan;
3) Bersifat dinamis, terus berkembang, dan mudah beradaptasi;
4) Dari proses yang tidak disengaja;
5) Mengandung unsur religius;
6) Mengenai fungsinya mengatur hubungan antar manusia dan;
7) Ditaati oleh para pemangku adat dan;
8) Mempunyai sanksi
Eva Achyani Zulfa , mengutip Supomo, menunjukkan akar-akar keadilan restoratif yang
terdapat dalam hukum adat, seperti (Istiqamah, 2018) :
1) Corak religius yang menempatkan hukum adat sebagai bentuk kesatuan internal komunal
dalam satu kesatuan (komunal);
2) Corak komunal dari hukum adat yang mendudukkan individu sebagai pribadi-pribadi yang
terkait dengan masyarakat. Individu tidak bebas dalam segala aspek perilakunya karena
dibatasi oleh standar-standar yang telah dibebankan kepadanya.
Perbandingan Antara Pendekatan Keadilan Restoratif dan Pendekatan Hukuman Adat dalam
Kasus Tindak Pidana Ringan
Syntax Idea, Vol. 6, No. 06, Juni 2024 2811
3) Tujuan organisasi masyarakat adalah untuk menjaga individu, masyarakat, dan
lingkungannya dalam keseimbangan jasmani dan rohani. Setiap anggota memiliki tujuan
ini untuk mencapai tujuan bersama.
4) Tujuan untuk menjaga keseimbangan internal dan eksternal berasal dari gambaran tatanan
alam semesta (kosmos). Kepentingan masyarakat adalah interaksi yang harmonis antara
segala sesuatu yang sesuai dengan garis dan keseimbangan kosmos;
5) Pelanggaran terhadap hukum adat adalah pelanggaran terhadap tatanan kosmos.
6) Jika garis kosmik tidak diikuti, bahkan oleh seorang individu, baik masyarakat maupun
individu tersebut akan menderita karena berada di luar garis kosmik yang ada.
Menurut Sudikno, sebagaimana dikutip oleh J. van Kan, lembaga peradilan adalah
badan yang secara khusus dipercayakan dengan kompetensi untuk menyelidiki pengaduan
tentang pelanggaran hak (hukum) atau untuk menyelidiki proses pengadilan, dan badan
tersebut mengeluarkan putusan pengadilan (Mertokusumo, 1971). Administrasi peradilan
pidana adat adalah prosedur yang berfungsi untuk administrator organisasi hukum adat yang
mencakup pengumpulan laporan, pemanggilan pihak-pihak dan saksi, mengadakan
musyawarah, dan pengambilan keputusan oleh para pemimpin (Ubbe, 2013). Lembaga-
lembaga adat. Prosedur ini diikuti untuk mencapai tujuan dari upaya penyelesaian hukum
adat. Lembaga adat bekerja sebagai sebuah sistem, yang berarti bahwa berbagai komponen
penyelesaian konflik memainkan peran dalam proses peradilan adat (Syarifuddin, 2019).
Berdasarkan uraian sebelumnya, penyelesaian konflik melalui peradilan adat merupakan
sebuah struktur masyarakat. Sebelum sampai pada sistem peradilan pidana adat, perlu untuk
mengevaluasi sistem penyelesaian perkara pidana common law. Sistem memiliki dua
pengertian. Yang pertama adalah sebuah unit dengan urutan tertentu. Dalam konteks ini,
urutan mengacu pada sebuah struktur yang terdiri dari bagian-bagian. Kedua, melihat sistem
sebagai strategi, teknik, atau prosedur untuk melakukan sesuatu.
Perdebatan mengenai peradilan adat, sebuah aspek penting dalam membangun teori
peradilan pidana restoratif, muncul dari gagasan bahwa keadilan restoratif pada dasarnya
sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat adat. Proses pidana dipandang sebagai
"pelanggaran terhadap orang dan hubungan," yang membutuhkan komitmen untuk
memperbaiki kerusakan.Sudut pandang ini melibatkan korban, pelaku, dan masyarakat dalam
penyelesaian masalah secara kolaboratif dengan tujuan penyembuhan, rekonsiliasi, dan
ketenangan (Zehr, 1990). Rumusan Howard Zehr mencerminkan ide-ide kunci dari keadilan
restoratif, yang serupa dengan perspektif yang lebih besar dalam hukum pidana, yang melihat
kejahatan sebagai serangan terhadap individu, masyarakat, dan perdamaian sosial (Zulfa,
2010).
Lebih lanjut, perbandingan penerapan keadilan restoratif dan hukum adat dapat
dirangkum dalam penjelasan berikut (Zulfa, 2010):
Nabilla N. Afifah
2812 Syntax Idea, Vol. 6, No. 06, Juni 2024
Tabel 1 Perbandingan Keadilan Restoratif dan Hukum Adat
Aspek
Perbandingan
Keadilan Restoratif
Hukum Adat
Fokus Nilai
Keadilan restoratif berfokus pada
pemulihan dan rekonsiliasi antara
pelaku, korban, dan masyarakat.
Tujuannya adalah untuk
mengembalikan kerusakan yang
disebabkan oleh tindakan pidana,
mengatasi konflik, dan mendorong
pertumbuhan individu serta
komunitas.
Hukum adat berasal dari tradisi
dan nilai-nilai masyarakat adat.
Hal ini berfokus pada norma dan
aturan yang telah ada dalam
budaya dan kehidupan masyarakat
adat selama berabad-abad.
Penerapan
Sanksi
Keadilan restoratif mengutamakan
sanksi yang mengarah pada
pemulihan, seperti permintaan maaf,
pelayanan masyarakat, dan
kompensasi kepada korban. Tujuannya
adalah mengubah perilaku pelaku dan
memulihkan hubungan antara pelaku,
korban, dan masyarakat.
Hukum adat memiliki sanksi yang
beragam, termasuk sanksi
nonmateriil seperti pengucilan
sosial atau permintaan maaf.
Sanksi tersebut sering kali
mencerminkan norma dan nilai-
nilai masyarakat adat.
Partisipasi
Aktif
Prosedur keadilan restoratif
melibatkan pelaku, korban, dan
masyarakat secara aktif dalam proses
penyelesaian. Mereka berkolaborasi
untuk menemukan solusi yang
menguntungkan semua pihak.
Di Indonesia, hukum adat
mendapatkan pengakuan dari
pemerintah, sepanjang masih
hidup dan dibutuhkan oleh
masyarakat. Hal ini memberikan
landasan yuridis bagi penerapan
hukum adat dalam penyelesaian
sengketa.
Dimensi Sosial
dan Moral
Keadilan restoratif mendasarkan pada
pertimbangan moral, sosial, dan
empati terhadap semua pihak yang
terlibat. Pertimbangan ini tidak hanya
pada aspek hukum formal, tetapi juga
pada dampak sosial dan moral dari
tindakan.
Hukum adat memiliki sistem
penyelesaian konflik yang
disesuaikan dengan budaya dan
tradisi lokal. Tujuan utamanya
adalah untuk memulihkan
harmoni dalam komunitas dan
mempertahankan keseimbangan
sosial.
Penerapan
1) Keadilan restoratif lebih bersifat
universal dalam pendekatannya,
tidak hanya bergantung pada
budaya atau tradisi tertentu.
2) Keadilan restoratif lebih
menekankan pada pemulihan
korban dan hubungan sosial.
3) Keadilan restoratif lebih dikenal
dalam konteks sistem peradilan
modern yang berbasis pada
prinsip-prinsip pemulihan.
1) Hukum adat khusus untuk
masyarakat yang
menerapkannya.
2) Hukum adat cenderung lebih
terkait dengan penghormatan
terhadap nilai-nilai dan tradisi
masyarakat.
3) Hukum adat biasanya
berkembang dalam
masyarakat yang masih
memegang kuat tradisi dan
Perbandingan Antara Pendekatan Keadilan Restoratif dan Pendekatan Hukuman Adat dalam
Kasus Tindak Pidana Ringan
Syntax Idea, Vol. 6, No. 06, Juni 2024 2813
Aspek
Perbandingan
Keadilan Restoratif
Hukum Adat
4) Kedua pendekatan tersebut
memiliki fokus pada rekonsiliasi
dan pemulihan, namun keadilan
restoratif juga dapat melibatkan
pihak ketiga yang netral dalam
proses mediasi.
nilai-nilai lokal.
Korban utama dari kejahatan dalam paradigma keadilan restoratif bukanlah negara,
seperti dalam peradilan pidana adat (Siswosoebroto, 2009). Akibatnya, kejahatan
mengimplikasikan adanya kewajiban untuk memperbaiki hubungan yang rusak yang
disebabkan oleh pelanggaran. Meskipun keadilan dicirikan sebagai mekanisme penyelesaian
masalah dalam kasus-kasus pidana, tanggung jawab korban, masyarakat, dan pelaku
semuanya memainkan peran penting dalam kemajuan, rekonsiliasi, dan perbaikan jangka
panjang. Jika dilihat dari sudut pandang keadilan restoratif, sikap ini berbeda dengan
pandangan adat tentang kejahatan dan pelaku, sesuai dengan tujuan filosofi restoratif yaitu
penyelesaian kasus yang berhasil (Siswosoebroto, 2009).
Sudut pandang ini didasarkan pada nilai-nilai dasar keadilan restoratif, yang terutama
didasarkan pada prinsip-prinsip hukum adat. Pelanggaran terhadap hukum adat dipandang
sebagai pelanggaran terhadap tatanan kosmik, yang mengharuskan semua orang untuk
menyesuaikan diri dengan struktur fundamentalnya (Mustafa & SH, 2021). Pelanggaran
terhadap garis-garis kosmik ini, baik yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok,
mengakibatkan rusaknya keseimbangan, dan keduanya akan menderita sebagai akibatnya.
Demikian pula, hukuman adat dan proses likuidasi mewakili pendekatan rehabilitatif daripada
pendekatan menghukum. Hukuman adat berusaha untuk mengembalikan keseimbangan dan
keselarasan dengan mengoreksi kegiatan yang menyimpang dari tatanan kosmik. Di masa
lalu, prosedur peradilan, terutama sistem peradilan pidana, mengaitkan komponen agama,
budaya, pemerintahan, dan ekonomi (Mustafa & SH, 2021). Sebagai hasilnya, konsep-konsep
kunci dari keadilan restoratif, yang meliputi korban, pelaku, dan kesediaan dan keterlibatan
masyarakat dalam menangani tindak pidana, secara inheren terwakili dalam hukum adat
(Mustafa & SH, 2021).
Dari penjelasan ini, jelas bahwa hukum adat memainkan peran penting dalam
memberikan dasar untuk menerapkan konsep keadilan restorative (Zulfa, 2010). Gagasan
keadilan restoratif, yang menekankan pemulihan, rekonsiliasi, dan tanggung jawab pribadi,
konsisten dengan norma-norma hukum adat yang berlaku saat ini. Hukum adat berakar pada
kearifan lokal dan tradisi masyarakat, dan telah menjadi metode penyelesaian konflik yang
melibatkan partisipasi aktif Masyarakat (Zulfa, 2010). Metode adat sering kali melibatkan
proses diskursus, mediasi, dan kompensasi yang bertujuan untuk membangun kembali ikatan
sosial dan menyelesaikan masalah masyarakat. Oleh karena itu, penggunaan keadilan
restoratif tidak bertentangan dengan tradisi atau budaya, melainkan memperdalam dan
meningkatkan metode penyelesaian konflik yang ada saat ini.
Dalam konteks Indonesia, hukum adat memiliki keterkaitan erat dengan keadilan
restoratif karena nilai-nilai dan prinsip-prinsipnya sejalan dengan pendekatan tersebut.
Nabilla N. Afifah
2814 Syntax Idea, Vol. 6, No. 06, Juni 2024
Namun, penerapan keduanya juga harus mempertimbangkan aspek-aspek hukum formal dan
perlindungan hak asasi manusia (Waluyo, 2022). Implementasi keadilan restoratif dalam
kasus-kasus tindak pidana ringan memiliki dampak yang signifikan terhadap kepuasan
korban, akuntabilitas pelaku, dan keterlibatan Masyarakat (Waluyo, 2022). Berikut adalah
elaborasi tentang sejauh mana implementasi keadilan restoratif dalam kasus-kasus tindak
pidana ringan berkontribusi terhadap tiga aspek tersebut dibandingkan dengan hasil dari
metode penghukuman adat:
Kepuasan Korban:
Keadilan restoratif menempatkan korban sebagai bagian integral dari proses
penyelesaian (Aryadi, 2021). Dalam pendekatan ini, korban memiliki kesempatan untuk
berbicara, berbagi keinginan, dan mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang
mungkin belum terjawab. Hal ini memberikan ruang bagi korban untuk merasa didengar dan
dihargai, yang dapat meningkatkan kepuasan korban secara psikologis. Korban juga dapat
berkontribusi dalam merumuskan sanksi yang dapat membantu pemulihan mereka (Ghozali &
Delmiati, 2023).
Akuntabilitas Pelaku:
Keadilan restoratif mendorong akuntabilitas pribadi dan bertanggung jawab atas
tindakan yang telah dilakukan (Aryadi, 2021). Pelaku diajak untuk menghadapi dampak sosial
dan emosional dari perbuatannya melalui dialog dengan korban dan masyarakat. Ini
membantu pelaku merasa lebih terhubung dengan konsekuensi dari tindakannya serta
memahami dampak yang ditimbulkannya. Dengan melibatkan pelaku dalam proses
merestorasi kerusakan yang telah dilakukan, pelaku juga memiliki kesempatan untuk
mengubah perilakunya.
Keterlibatan Masyarakat:
Keadilan restoratif melibatkan masyarakat sebagai pendukung dalam proses
penyelesaian. Melalui dialog dan mediasi, masyarakat dapat memberikan pandangan mereka
tentang konflik dan mengambil bagian dalam menemukan solusi yang sesuai dengan norma
dan nilai-nilai lokal. Keterlibatan masyarakat dalam merestorasi harmoni dan keseimbangan
juga menghasilkan dukungan sosial yang dapat membantu korban dan pelaku dalam
pemulihan mereka. Dibandingkan dengan metode penghukuman adat, keadilan restoratif
memberikan pendekatan yang lebih holistik dan berpusat pada perbaikan hubungan dan
pemulihan. Pendekatan hukuman adat cenderung lebih fokus pada hukuman dan penalti,
sering kali mengabaikan aspek pemulihan dan rekonsiliasi. Implementasi keadilan restoratif
juga lebih mengakui nilai-nilai budaya dan sosial dalam penyelesaian masalah, sejalan dengan
filosofi hukum adat yang telah tertanam kuat dalam masyarakat Indonesia
KESIMPULAN
Dari penjelasan tersebut, terlihat dengan jelas bahwa hukum adat atau hukum adat
memiliki peran fundamental dalam landasan penerapan konsep keadilan restoratif. Prinsip-
Perbandingan Antara Pendekatan Keadilan Restoratif dan Pendekatan Hukuman Adat dalam
Kasus Tindak Pidana Ringan
Syntax Idea, Vol. 6, No. 06, Juni 2024 2815
prinsip keadilan restoratif, yang menekankan pemulihan, rekonsiliasi, dan tanggung jawab
pribadi, sejalan dengan nilai-nilai yang telah ada dalam hukum adat. Hukum adat memiliki
akar dalam kearifan lokal dan budaya masyarakat tertentu, dan telah berfungsi sebagai
mekanisme penyelesaian konflik yang melibatkan pelibatan aktif masyarakat. Praktik-praktik
hukum adat sering melibatkan proses musyawarah, mediasi, dan kompensasi yang
memberikan perhatian pada pemulihan hubungan sosial dan pemecahan masalah secara
kolektif. Oleh karena itu, penerapan keadilan restoratif tidaklah bertentangan dengan tradisi
atau budaya, melainkan memperkaya dan memperkuat praktik-praktik penyelesaian konflik
yang telah ada.
Dalam konteks lebih luas, penggabungan nilai-nilai hukum adat ke dalam pendekatan
keadilan restoratif memberikan cara yang lebih inklusif dan terkait secara lokal untuk
menangani konflik. Hal ini juga berkontribusi pada penghormatan terhadap keragaman
budaya dan masyarakat. Dengan memahami dan memadukan prinsip-prinsip hukum adat
dalam kerangka kerja keadilan restoratif, masyarakat dapat merasakan hubungan yang lebih
erat antara penerapan hukum dan nilai-nilai yang mereka anut. Secara substansial, pendekatan
ini dapat membantu memperbaiki hubungan antara negara dan masyarakat, serta menciptakan
cara yang lebih berkelanjutan dan bermakna dalam menyelesaikan konflik..
BIBLIOGRAFI
Alting, H. (2011). Penguasaan Tanah Masyarakat Hukum Adat (Suatu Kajian terhadap
Masyarakat Hukum Adat Ternate). Jurnal Dinamika Hukum, 11(1), 8798.
Amdani, Y. (2017). Konsep Restorative Justice dalam penyelesaian perkara tindak pidana
pencurian oleh anak berbasis hukum islam dan adat Aceh. Al-’Adalah, 13(1), 7681.
Arief, B. N. (2005). Pembaharuan hukum pidana dalam perspektif kajian perbandingan.
Citra Aditya Bakti.
Arief, B. N. (2011). Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana:(Perkembangan Penyusunan
Konsep KUHP Baru).
Arief, H., & Ambarsari, N. (2018). Penerapan Prinsip Restorative Justice Dalam Sistem
Peradilan Pidana Di Indonesia. Al-Adl: Jurnal Hukum, 10(2), 173190.
Aryadi, D. (2021). Implementasi keadilan restoratif dalam sistem peradilan pidana sebagai
perwujudan nilai-nilai yang berwawasan pancasila. Al Daulah: Jurnal Hukum Pidana
Dan Ketatanegaraan, 9(2), 138154.
Effendy, M. (2018). Teori Hukum dari perspektif kebijakan, perbandingan dan harmonisasi
hukum pidana.
Ghozali, E., & Delmiati, S. (2023). Perlindungan Hak Korban Berbasis Restorative Justice
Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia. Ensiklopedia of Journal, 5(2).
Hakim, L. (2020). Asas-asas hukum pidana buku ajar bagi mahasiswa. Deepublish.
Istiqamah, D. T. (2018). Analisis Nilai Keadilan Restoratif Pada Penerapan Hukum Adat Di
Indonesia. Veritas et Justitia, 4(1), 201226.
Masiun, S. (2016). Kajian Yuridis Terhadap Deklarasi Pbb Tentang Hak-Hak Masyarakat
Adat Tahun 2007 (United Nations Declarartion On The Rights Of Indigenous Peoples
2007) Dalam Sistim Hukum Internasional Dan Nasional Serta Pengakuannya Terhadap
Hak-Hak Masyarakat Adat. Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan
(Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura, 4(2).
Meidianto, A. D., & STK, S. I. K. (2021). Alternatif penyelesaian perkara kekerasan dalam
Nabilla N. Afifah
2816 Syntax Idea, Vol. 6, No. 06, Juni 2024
rumah tangga: dalam perspektif mediasi penal. Nas Media Pustaka.
Mertokusumo, S. (1971). Sejarah peradilan dan perundang-undangannya di Indonesia sejak
1942 dan apakah kemanfaatannya bagi kita bangsa Indonesia. Universitas Gadjah
Mada.
Muladi, H. T., & dalam Kriminalisasi, B. P. P. (1990). Proyeksi Hukum Pidana Materiel
Indonesia di Masa Datang. Pidato Pengukuhan Guru Besar, Semarang, Tanggal, 24.
Mulyani, S. (2017). Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Ringan Menurut Undang-Undang
Dalam Perspektif Restoratif Justice (Adjudication Of Misdemeanor Based On
Legislation In Current Perspectives). Jurnal Penelitian Hukum De Jure, 16(3), 337.
Mustafa, M. E., & SH, M. H. (2021). Bunga rampai hukum dan Peradilan. Penerbit Alumni.
Prayitno, K. (2012). restorative justice untuk peradilan di Indonesia (perspektif yuridis
filosofis dalam penegakan hukum In concreto). Jurnal Dinamika Hukum, 12(3), 407
420.
Sahabuddin, S. (2014). Reorientasi Kebijakan Kriminal dalam Menyelesaikan Kasus Ringan
(dari Due Process Model ke Reintegrative Model). Jurnal Dinamika Hukum, 14(1),
162175.
Samekto, A., & MHum, S. H. (2006). Kajian Hukum: Antara Studi Normatif dan Keilmuan.
Jurnal Hukum Progresif, 2(2).
Sarbini, I., & Ma’arij, A. (2020). Restorative Justice Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara
Pidana. Fundamental: Jurnal Ilmiah Hukum, 9(1), 3142.
Siswosoebroto, K. (2009). Pendekatan baru dalam kriminologi.
Soekanto, S., & Mamudji, S. (1979). Peranan dan Penggunaan Kepustakaan di Dalam
Penelitian Hukum. Jakarta: Pusat Dokumen Universitas Indonesia.
Syarifuddin, L. (2019). Sistem Hukum Adat Terhadap Upaya Penyelesaian Perkara Pidana.
Risalah Hukum, 110.
Ubbe, A. (2013). Peradilan Adat dan Keadilan Restoratif. Jurnal Rechts Vinding: Media
Pembinaan Hukum Nasional, 2(2), 161175.
Waluyo, B. (2022). Penegakan hukum di Indonesia. Sinar Grafika.
Zehr, H. (1990). Changing lenses: A new focus for crime and justice. Herald press.
Zulfa, E. A. (2010). Keadilan Restoratif dan Revitalisasi Lembaga Adat di Indonesia.
Indonesian Journal of Criminology, 4199.
Copyright holder:
Nabilla N. Afifah (2024)
First publication right:
Syntax Idea
This article is licensed under: