How to cite:
Farrencia Nallanie, Fhelincia Nathanto (2024) Childfree di Indonesia, Fenomena atau Viral Sesaat?,
(06) 06, https://doi.org/10.36418/syntax-idea.v3i6.1227
E-ISSN:
2684-883X
Published by:
Ridwan Institute
CHILDFREE DI INDONESIA, FENOMENA ATAU VIRAL SESAAT?
Farrencia Nallanie, Fhelincia Nathanto
Universitas Pelita Harapan, Indonesia
Abstrak
Fenomena childfree merupakan pilihan hidup pasangan dewasa untuk tidak memiliki anak,
baik secara biologis dan adopsi. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap faktor-faktor
yang mempengaruhi seseorang untuk mengambil keputusan childfree. Selain itu juga
penelitian ditujukan untuk mengetahui masa depan childfree di Indonesia akan semakin
berkembang atau hanya viral sesaat. Angka pernikahan dan kelahiran di Indonesia semakin
menurun sehingga terdapat kemungkinan disebabkan masyarakat Indonesia mulai
menerapkan pilihan hidup ini. Tingginya biaya hidup, pengaruh budaya barat, dan trauma
masa lalu menjadi faktor-faktor berkembangnya childfree di Indonesia. Selain itu, istilah
childfree bisa menjadi viral dikarenakan terdapat beberapa influencer yang mengungkapkan
pendapat dan pilihan mereka untuk tidak memiliki anak. Penelitian didukung dengan
perspektif lembaga feminisme mengenai konteks childfree. Pendapat feminis mengenai
pilihan untuk tidak memiliki anak adalah hak seorang wanita untuk menentukan. Hal ini
disebabkan wanita yang akan mengandung dan melahirkan. Selain itu, seorang wanita juga
berhak untuk mementingkan karir dibandingkan menjadi ibu rumah tangga. Jika tren ini terus
berkembang, maka Indonesia akan merasakan dampaknya secara signifikan. Penurunan
sumber daya manusia, dan usia produktif yang juga semakin lama. Sehingga dapat
disimpulkan childfree adalah pilihan masing-masing individu dan perlu dihargai oleh orang-
orang di sekitarnya.
Kata kunci: Childfree, Fenomena, Viral
Abstract
The phenomenon of childfree represents the decision of adult couples to abstain from having
children, both biologically and through adoption. This research aims to uncover the factors
influencing individuals to opt for a childfree lifestyle. Additionally, it seeks to ascertain
whether the future of childfree living in Indonesia will continue to grow or remain a passing
trend. The declining rates of marriage and childbirth in Indonesia suggest a potential
adoption of this lifestyle choice among its populace. Factors contributing to the rise of
childfree living in Indonesia include high living costs, Western cultural influences, and past
traumas. Moreover, the term "childfree" may gain traction due to the endorsement of this
choice by influential figures or influencers. The research is supported by the feminist
perspective, which views childfree decision-making as a woman's right. This is grounded in
the notion that women bear the physical burden of pregnancy and childbirth and have the
autonomy to prioritize their careers over traditional domestic roles. If this trend persists,
JOURNAL SYNTAX IDEA
pISSN: 2723-4339 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 6, No. 06, Juni 2024
Farrencia Nallanie, Fhelincia Nathanto
2664 Syntax Idea, Vol. 6, No. 06, Juni 2024
Indonesia may experience significant consequences such as a decrease in its human resources
and an extension of the productive working age. Consequently, it can be concluded that
childfree living is an individual choice deserving of respect from others.
Keywords: Childfree, Fenomena, Viral
PENDAHULUAN
Fenomena childfree, di mana individu atau pasangan memilih untuk tidak memiliki
anak, semakin mendapat perhatian di Indonesia. Pilihan ini muncul dalam konteks sosial dan
demografis yang kompleks, mencerminkan perubahan signifikan dalam pola pikir dan
dinamika keluarga di Indonesia (Audinovic & Nugroho, 2023). Seiring dengan meningkatnya
kesadaran akan berbagai faktor sosial, ekonomi, dan kesehatan, semakin banyak orang yang
mempertimbangkan keputusan untuk tidak memiliki anak sebagai pilihan hidup yang sah
(Lubis & Izzah, 2022).
Data menunjukkan bahwa angka kelahiran di Indonesia mengalami penurunan sejak
tahun 2020 (Lengkong, Langi, & Posangi, 2020). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik
(BPS), angka kelahiran di Indonesia pada tahun 2020 adalah 4,69 juta dan terus menurun
setiap tahunnya hingga pada tahun 2023 angka kelahiran di Indonesia menjadi 4,62 juta.
Penurunan ini mencerminkan perubahan preferensi keluarga Indonesia yang mulai lebih
memilih keluarga kecil atau bahkan tidak memiliki anak sama sekali, yang menunjukkan
adanya pergeseran dalam pandangan terhadap struktur keluarga tradisional (Dewi, Listyowati,
& Napitupulu, 2018).
Jumlah individu yang memilih untuk hidup lajang juga meningkat secara signifikan.
Berdasarkan data BPS, pada tahun 2018 angka perkawinan di Indonesia sebesar 2.016.171
dan menurun setiap tahunnya hingga pada tahun 2023 angka perkawinan di Indonesia sebesar
1.577.255. Peningkatan ini menggambarkan perubahan sosial yang mendukung pilihan hidup
yang lebih individualistis dan mandiri, yang juga berkontribusi pada tren childfree (Zahwa,
2023).
Berbagai alasan mendasari keputusan masyarakat Indonesia untuk memilih childfree
(Itsnan, 2023). Faktor finansial menjadi salah satu pertimbangan utama, mengingat biaya
membesarkan anak yang semakin tinggi. Menurut sebuah studi, biaya membesarkan anak dari
lahir hingga usia 18 tahun dapat mencapai ratusan juta rupiah, yang membuat banyak
pasangan berpikir ulang sebelum memutuskan untuk memiliki anak. Selain itu, pergaulan
yang lebih luas dan terbuka membuat banyak orang terpapar pada berbagai pandangan hidup
yang berbeda, termasuk pilihan untuk tidak memiliki anak. Trauma masa lalu, baik dari
pengalaman pribadi maupun keluarga, juga berperan dalam keputusan ini. Pengalaman buruk
selama masa kecil atau trauma keluarga dapat mempengaruhi pandangan seseorang terhadap
pentingnya memiliki anak. Perkembangan sosial budaya yang dianggap semakin buruk oleh
sebagian masyarakat, dengan meningkatnya kekhawatiran tentang lingkungan dan kualitas
hidup, turut mempengaruhi pilihan untuk hidup tanpa anak. Meningkatnya kesadaran akan
isu-isu lingkungan dan sosial membuat beberapa orang merasa lebih bertanggung jawab untuk
tidak menambah beban populasi dunia.
Penelitian “Childfree di Indonesia, Fenomena atau Viral Sesaat?” bertujuan untuk
menganalisis perkembangan memilih childfree bersama dengan faktor yang
mempengaruhinya, perubahan pola pikir dan preferensi keluarga di Indonesia terkait dengan
childfree, alasan utama pasangan dalam memilih childfree, persepsi feminis di Indonesia
terhadap childfree, dampak jangka panjang childfree terhadap struktur demografis dan sosial
Childfree di Indonesia, Fenomena atau Viral Sesaat?
Syntax Idea, Vol. 6, No. 06, Juni 2024 2665
di Indonesia, dan analisis tren childfree di Indonesia. Tujuan utama penelitian ini adalah untuk
menjawab apakah childfree akan terus berkembang di Indonesia, atau hanya fenomena sesaat.
METODE PENELITIAN
Paradigma penelitian merupakan landasan pokok yang menjawab tentang arti hakikat
realitas, hubungan antara peneliti dan realitas, dan bagaimana peneliti mendalami tentang
realitas. Paradigma juga berarti keyakinan dasar peneliti yang merepresentasikan sudut
pandang peneliti (Fiantika et al., 2022).
Metodologi penelitian diartikan ujung tombak dalam sebuah penelitian sebagai
sekumpulan kegiatan, peraturan, dan prosedur yang digunakan pada suatu disiplin ilmu.
Metodologi penelitian dilihat dari sistem data dan cara analisisnya, mayoritas penelitian
menggunakan metode kualitatif dan atau kuantitatif. Metode kualitatif, menurut Creswell &
Creswell, (2017) dibagi menjadi lima tradisi, yaitu riset naratif, fenomenologi, Grounded
Theory, etnografi, dan studi kasus.
Studi kasus adalah jenis penelitian dengan mengungkap kasus tertentu. Menurut
Thomas A. Schwandt dan Emily F. Gates dalam Creswell & Creswell, (2017) metodologi
studi kasus berisikan pengujian filosofi tentang dugaan dan pokok bahasan atau topik, dan
dasar kebenaran yang dihasilkan seperti metode dan teknik yang didampingi dengan
pendekatan spesifik dalam menginvestigasi dunia sosial. Perbedaan yang menonjol pada studi
kasus dibandingkan dengan penelitian kuantitatif adalah pada jumlah dan atau kualitas sampel
dari populasi.. Studi kasus mengedepankan pendekatan dengan cara yang intensif, terperinci,
dan mendalam. Sehingga, studi kasus menekankan pada kedalaman subjek dibandingkan
jumlah subjek. Beberapa karakteristik utama dalam studi kasus adalah (1) fokus pada satu
atau beberapa kasus yang dipelajari dalam konteks kehidupan nyata; (2) adanya hubungan
antara sebab dan akibat; (3) pengembangan teori dalam fase desain penelitian; (4) bergantung
pada sumber-sumber bukti; dan (5) bersifat generalisasi teori.
Unit analisis berkorelasi kuat dengan apa yang dimaksud dengan kasus yaitu suatu
masalah yang menarik dimana terdapat penggalian yang lebih dalam tentang permasalahan
atau kasus yang terjadi di masyarakat Creswell & Creswell, (2017) Unit analisis dalam
penelitian ini adalah tentang bagaimana fenomena childfree dipandang dari kacamata feminis.
Childfree merupakan keputusan bagi pasangan suami istri untuk tidak memiliki anak setelah
menikah. Sedangkan, feminis adalah gerakan sosial dan ideologi yang memperjuangkan
kesetaraan dan keadilan bagi perempuan.
Penelitian kualitatif dapat diartikan sebagai proses penyelidikan yang dilakukan peneliti
melalui sampel yang ada (Creswell & Creswell, 2017). Penelitian ini menggunakan sampel
yaitu aktivis yang terlibat aktif dalam organisasi atau lembaga feminisme di Indonesia.
Sampel penelitian setidaknya memiliki jabatan dalam kepengurusan organisasi atau lembaga
feminisme. Pertimbangan dari ketentuan ini adalah aktivis yang memiliki jabatan dalam
organisasi atau Lembaga memiliki pemahaman yang holistik tentang isu feminisme yang ada.
Penelitian dilakukan dengan pertama-tama mengumpulkan data kualitatif yang
didapatkan dari wawancara (Creswell & Creswell, 2017). Dalam hal ini, pendekatan kualitatif
merupakan metode yang paling efisien dalam peneliti dalam menginterpretasikan kasus yang
diangkat. Metode kualitatif memungkinkan peneliti untuk menggali lebih dalam di luar
pertanyaan pokok wawancara, demi mendapatkan hasil yang lebih menyeluruh (Creswell &
Creswell, 2017).
Wawancara adalah kaedah pengumpulan data yang dilakukan dalam menanggapi
permasalahan sosial (Creswell & Creswell, 2017). Wawancara digunakan ketika responden
bertatapan langsung untuk mengisi keperluan data primer, disertai dengan pendalaman dari
Farrencia Nallanie, Fhelincia Nathanto
2666 Syntax Idea, Vol. 6, No. 06, Juni 2024
interaksi antara peneliti dan responden. Wawancara dapat dilakukan dalam mencari informasi
yang berhubungan dengan fakta, kepercayaan, perasaan, dan keinginan (Creswell & Creswell,
2017). Pemenuhan data sekunder didapatkan dari studi dokumentasi dari penelitian-penelitian
sebelumnya.
Data yang diperoleh kemudian dilakukan coding untuk mencari titik-titik kesalahan atau
misinterpretasi dalam data kualitatif. Coding dilakukan untuk menyempurnakan data sehingga
pemahaman yang didapatkan peneliti bersifat holistik. Data yang telah melewati fase coding
kemudian akan digunakan sebagai bahan analisis. Analisis yang dilakukan dilakukan oleh
peneliti sendiri, tanpa pihak ketiga, hal ini karena peneliti sebagai instrumen kunci yang
mengerti mendalam tentang kasus yang akan dibahas. Kemampuan analisis data ditentukan
oleh keluasan wawasan teoritik peneliti pada bidang yang diteliti, pengalaman peneliti, dan
minat yang kuat (Creswell & Creswell, 2017).
Validitas merupakan salah penting dalam penelitian kualitatif dan menjadi dasar apakah
penemuan yang didapatkan peneliti akurat berdasarkan sudut pandang peneliti, responden,
dan pembaca (Creswell & Creswell, 2017). Strategi utama yang digunakan dalam validasi
data adalah:
Triangular
Triangulasi sumber data yang berbeda dengan melihat bukti dari sumber yang
digunakan untuk membuat dasar tema yang koheren. Apabila dalam proses menyatukan data
dan perspektif dari responden menambah nilai dalam pembuatan tema, maka proses ini
dianggap sebagai penambahan validitas (Creswell & Creswell, 2017).
Deskripsi yang kaya dan berbobot
Penggunaan deskripsi yang kaya dan berbobot memungkinkan pembaca dalam
berdiskusi tentang elemen dalam berbagi pengalaman (John W. Creswell, n.d.). Penelitian
kualitatif menggunakan menyediakan deskripsi yang detail seperti memberikan banyak
perspektif tentang tema dimana hasil yang didapatkan bersifat lebih realistis dan kaya.
Prosedur ini dapat menambah validitas dalam penemuan penelitian.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tren Childfree di Indonesia
Pada masa modern, masyarakat Indonesia semakin mengenal tren Childfree”.
Childfree merupakan pilihan hidup orang dewasa untuk memilih tidak memiliki anak, baik
secara biologis ataupun adopsi. Fenomena ini semakin berkembang dari waktu ke waktu.
Berdasarkan Datain yang meneliti jejak childfree di Indonesia, terdapat hanya 8,17% orang
yang memberikan tanggapan positif mengenai tren childfree ini. Tetapi terdapat 44,67%
responden yang bersifat netral. Mereka tidak mendukung, tetapi juga tidak menolak. Maka
dapat dikatakan dalam populasi 44,67% ini, mereka dapat berpindah menjadi orang - orang
yang memilih untuk childfree.
Awal mula tren ini masuk ke Indonesia karena terdapat salah satu influencer bernama
Gita Savitri Devi yang memutuskan untuk tidak memiliki anak. Ia dan suaminya merasa
sudah nyaman dan bahagia dengan kehidupannya sekarang dan tidak ingin memiliki anak.
Gita Savitri memberikan pendapatnya pada media bahwa memiliki anak sangat sulit dan
menjadi tanggung jawab seumur hidup (Leliana, Suryani, Haikal, & Septian, 2023). Sehingga
menurutnya anak merupakan beban dan pendapat ini menjadi kontroversial bagi masyarakat
Indonesia, dimana Indonesia menganut kepercayaan, “banyak anak adalah rejeki”.
Childfree di Indonesia, Fenomena atau Viral Sesaat?
Syntax Idea, Vol. 6, No. 06, Juni 2024 2667
Selain Gita Savitri Devi, terdapat beberapa influencer atau artis yang memiliki pilihan
hidup yang sama. Kei Savourie dan istri juga memiliki pandangan yang sama. Kei adalah
dating & Relationship Coach di Indonesia. Kontennya membahas mengenai tips and trick
dalam membangun hubungan romansa, sehingga masyarakat akrab mengenalnya dengan
“Coach Kei”. Ia bersama istri membuat instagram @childfree.id sebagai bentuk persetujuan
mereka terhadap isu ini. Melalui akun Instagram ini mereka mewakili perasaan orang-orang
yang memilih untuk childfree tetapi keputusannya tidak dihargai oleh orang sekitar.
Selain pandangan childfree dari para influencer, para feminis juga memberikan
pendapatnya pada isu terkait. Berdasarkan pendapat narasumber yang diwawancara oleh
peneliti, seorang feminis Indonesia yang terlibat dalam lembaga feminis Indonesia
@Indonesia.butuhfeminis. Adya Paramitha mengatakan bahwa feminisme merupakan
lembaga yang memperjuangkan hak-hak perempuan supaya setara dengan laki-laki. Maka,
jika dipandang dari sisi feminis, memiliki anak atau tidak adalah hak seorang perempuan,
karena mereka yang akan hamil selama 9 bulan dan melahirkan. Selain itu, feminisme juga
mendukung para wanita yang ingin fokus berkarir daripada menjadi seorang ibu rumah tangga
mengurus anak. Sehingga, feminisme cenderung bersifat netral mengenai hal ini, bergantung
pada pilihan wanita tersebut.
Farrencia Nallanie, Fhelincia Nathanto
2668 Syntax Idea, Vol. 6, No. 06, Juni 2024
Faktor-faktor orang memilih Childfree
Finansial
Salah satu faktor terbesar orang memilih untuk childfree adalah karena biaya. Dari masa
ke masa tingkat inflasi semakin meninggi. Berdasarkan data BPS, untuk hidup layak di
Jakarta untuk 1 rumah tangga saja dibutuhkan uang sekitar Rp14.000.000,00 sampai
Rp15.000.000,00 selama sebulan pada tahun 2022. Sedangkan UMR (Upah Minimum
Regional) di Jakarta pada tahun 2022 adalah sebesar Rp4.650.000,00. Sehingga walaupun
suami dan istri bekerja, pemasukan tetap kurang dari pengeluarannya. Maka dari itu, sebagian
dari pasangan di Indonesia lebih memilih untuk tidak memiliki anak karena takut tidak bisa
bertanggung jawab pada anak tersebut, khususnya secara finansial.
Salah satu pengeluaran terbesar seorang anak adalah biaya pendidikan. Walaupun
pemerintah sudah memberikan fasilitas sekolah gratis, tetapi tidak semua orang yang
memanfaatkan hal tersebut. Berdasarkan data survei Ekonomi Nasional, 76% keluarga yang
tidak memberikan pendidikan yang cukup kepada anak-anaknya karena biaya sekolah yang
tidak dapat mereka cukupkan. Sedangkan di sisi lain, perusahaan atau lowongan pekerjaan di
Indonesia hanya menerima karyawan yang sudah sarjana atau sederajat.
Pengaruh Budaya Barat
Pada era sekarang, semakin banyak masyarakat yang menggemari budaya barat,
terutama generasi milenial dan generasi Z. Sosial budaya dari Negeri Barat semakin beredar
di Indonesia, baik dari media film, produk, restoran, dan lainnya. Selain itu, pandangan dan
gaya hidup Barat juga seringkali diterapkan di Indonesia, salah satu contohnya adalah budaya
childfree ini. Di sisi lain, tidak bisa dikatakan bahwa orang - orang yang memilih untuk
childfree karena terpengaruh budaya Barat, tetapi gagasan tentang childfree dimulai dari
budaya Barat. Hal ini karena mereka menerapkan ideologi liberal. Liberalisme adalah ideologi
yang menjunjung tinggi kebebasan manusia, tidak dibatasi tentang agama, politik, dan
lainnya, tetapi tetap dapat dipertanggungjawabkan (Batubara, Siregar, & Siregar, 2021). Maka
dari itu, masyarakat di sana tidak dikritik jika memilih tidak memiliki anak. Mereka bebas
memilih pilihan hidup masing-masing, tanpa harus tertekan budaya atau pandangan orang.
Hal ini terbukti dengan di beberapa negara maju memiliki angka kelahiran yang rendah,
sampai negaranya memberikan bantuan dana yang besar untuk orang yang mau melahirkan
keturunan.
Pada dasarnya budaya childfree di Indonesia belum dapat dinormalisasi. Hal ini karena
banyak dari masyarakat Indonesia yang tetap meyakini bahwa “banyak anak banyak rezeki”,
terutama untuk orang tua. Pertanyaan mengenai ‘kapan punya anak?’ akan menjadi
pertanyaan wajib untuk para pasutri (pasangan suami istri) pada saat pertemuan keluarga.
Pasangan menikah yang tidak memiliki anak seringkali dikritik dan direndahkan. Hal ini
didukung karena Indonesia menganut budaya Timur sangat kental.
Selain itu, di Indonesia juga mengedepankan agama, yang terbukti di dalam ideologi
Indonesia, Pancasila, pada sila pertamanya adalah ‘KeTuhanan yang Maha Esa’. Setiap
agama menganjurkan umatnya untuk memiliki keturunan, seperti di Alkitab pada Kejadian 1
ayat 28, “Allah memberkati mereka dan Allah berfirman kepada mereka, “Beranakcuculah
Childfree di Indonesia, Fenomena atau Viral Sesaat?
Syntax Idea, Vol. 6, No. 06, Juni 2024 2669
dan berlipat gandalah, dan penuhilah bumi, dan kuasailah itu. Berkuasalah atas ikan-ikan di
laut, atas burung-burung di udara, dan atas segala yang hidup yang bergerak di bumi”. Pada
agama Islam juga tertulis dalam QS. An-Nahl:72, “Allah telah menciptakan pasangan bagi
manusia dan dianugerahi anak atas hubungan tersebut”.
Salah satu faktor masyarakat Indonesia mulai memiliki pikiran untuk childfree tidak
hanya dikarenakan budaya Barat yang masuk Indonesia, tetapi juga karena semakin banyak
anak muda Indonesia yang menekuni studi di luar negeri. Berdasarkan data Hotcource,
Indonesia termasuk negara ASEAN paling banyak mengirimkan pelajar ke luar negeri. Pada
tahun 2021, terdapat 350.000 mahasiswa Asia Tenggara yang belajar di negeri orang, dan
Indonesia menempati posisi kedua. Terdapat 56.000 anak memilih untuk melanjutkan
studinya di luar negeri. Dengan mereka tinggal di negeri orang, mereka juga semakin terbuka
mengenai perspektif warga lokal dan tidak sedikit yang mengikuti pandangan tersebut.
Trauma masa lalu
Pilihan untuk tidak memiliki anak menjadi fenomena yang mulai berkembang di
Indonesia, trauma masa lalu menjadi salah satu alasan di baliknya. Berdasarkan hasil
wawancara peneliti dengan narasumber bahwa pengalaman traumatis seperti kekerasan dalam
rumah tangga, pola asuh yang otoriter, atau keluarga yang broken home dapat mempengaruhi
keputusan seseorang untuk memilih hidup tanpa anak. Trauma masa lalu yang dialami oleh
seseorang dapat menciptakan rasa tidak percaya diri di dalam menjadi orang tua yang baik,
karena mereka khawatir akan mengulangi siklus negatif tersebut pada generasi berikutnya.
Orang-orang yang memiliki trauma masa lalu cenderung merasa ‘takut’ ketika mereka
menjadi orang tua, mereka akan menjadi sama dengan orang tua mereka dan melakukan hal
yang buruk terhadap anak mereka. Menurut mereka pilihan untuk tidak memiliki anak
merupakan pilihan pencegahan agar tidak ada anak yang mengalami penderitaan yang sama.
Keputusan ini kerap kali dianggap sebagai bentuk perlindungan diri dan upaya untuk
memutus rantai trauma dari generasi sebelumnya (Hoglund & Hildingsson, 2023)
Bagi orang yang mempunyai trauma masa lalu, tekanan sosial dan budaya di Indonesia
yang ‘sangat timur’ merupakan beban emosional. Tekanan ini dapat menambahkan rasa takut
dan rasa tidak percaya diri mereka untuk mendidik anak secara sehat dan positif. Kesehatan
mental dan kesejahteraan emosional pada akhirnya menjadi faktor yang menjadikan seseorang
memilih childfree atau tidak.
Memilih childfree menjadi cara agar dapat membangun kehidupan yang lebih baik dan
bebas dari bayang - bayang trauma masa lalu. Menurut narasumber yang peneliti wawancarai,
memilih tidak mempunyai anak merupakan pilihan yang berdasarkan pada kesadaran akan
pentingnya kesehatan mental dan kesejahteraan emosional. Orang yang memiliki trauma masa
lalu cenderung lebih fokus pada pemulihan diri dan membangun kehidupan yang stabil
sebelum memikirkan tanggung jawab besar seperti mengasuh anak.
Meskipun masih ada tekanan sosial yang kuat untuk memiliki anak serta pro kontra di
Indonesia, semakin banyak orang yang berani memilih jalan hidup yang berbeda demi
kesejahteraan pribadi mereka. Pilihan untuk tidak memiliki anak bukan hanya keputusan yang
berakar pada trauma masa lalu, tetapi juga bisa menjadi refleksi dari prioritas dan tujuan
Farrencia Nallanie, Fhelincia Nathanto
2670 Syntax Idea, Vol. 6, No. 06, Juni 2024
hidup yang berbeda. Diharapkan masyarakat Indonesia dapat semakin terbuka terhadap
keputusan untuk childfree dan menganggap hal tersebut sebagai hak seseorang menjalani
hidupnya.
Dampak Childfree
Pada akhir-akhir ini angka kelahiran di Indonesia sudah menurun. Hal ini diiringi
dengan angka pernikahan juga menurun. Childfree kemungkinan menjadi salah satu
alasannya, karena semakin tren ini berkembang, semakin banyak juga orang yang mulai
berpikir dan mempertimbangkan kehidupan tanpa anak. Walaupun sebenarnya, sebelum
istilah ini belum dikenal, sudah ada orang yang memilih untuk tidak memiliki anak. Tetapi
setelah childfree menjadi konsumsi masyarakat Indonesia, maka orang-orang yang pada
awalnya berpikir bahwa anak sudah menjadi bagian dari hidup, bisa saja mereka akan
mempertimbangkan untuk tidak memiliki anak karena terlihat lebih menyenangkan (Fadilah,
2022).
Di sisi lain, jika childfree benar-benar akan terealisasi di Indonesia, maka negara
tersebut akan mengalami dampak yang sangat signifikan. Dampak yang pasti terjadi adalah
sumber daya manusia menurun. Sehingga, kemungkinan, Indonesia akan terguncang sesaat
untuk mencari pengganti lain dari sumber daya manusia yang hilang. Usia produksi di
Indonesia adalah 15-64 tahun pada tahun 2020 (Goma, Sandy, & Zakaria, 2021). Jika sumber
daya manusia menurun, maka di Indonesia akan seperti negara maju, seperti Singapura yang
usia produktifnya semakin panjang. Usia pensiun juga akan mengikuti usia produktif yang
kemungkinan akan berubah ini.
Secara logis, jika angka kelahiran semakin menurun, Indonesia harus dengan cepat
memperbaiki tingkat kualitas sumber daya manusianya (Riniwati, 2016). Hal ini bertujuan
supaya walau usia sudah lanjut, tetapi mereka tetap memiliki kualitas yang baik. Prakteknya
tentu dari peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia dan memperketat regulasi tentang
anak wajib untuk sekolah dan lulus, mengingat di Indonesia tidak setiap masyarakatnya
menganggap pendidikan itu penting. Maka Indonesia harus memperbanyak sosialisasi bahwa
pendidikan itu penting, dan memberikan pelatihan-pelatihan gratis.
Childfree Di Masa Depan
Pergerakan memilih untuk tidak memiliki anak atau childfree di Indonesia masih berada
pada pertumbuhan tahap awal. Kurangnya dukungan dan kampanye dari lembaga atau
komunitas tentang pilihan hidup tanpa anak di Indonesia menjadi salah satu faktor yang
menghambat perkembangan childfree (Nugroho, Alfarisy, Kurniawan, & Sarita, 2022).
Pemikiran ini masih belum terorganisir dengan baik dan belum adanya jaringan kuat yang
mendukung penyebaran informasi tentang childfree. Berbeda dengan beberapa negara seperti
Jepang dan Korea, di Indonesia dukungan bagi seseorang yang memilih untuk tidak memiliki
anak masih sangat terbatas.
Pertumbuhan gerakan childfree juga terhambat dikarenakan pandangan sosial dan
budaya di Indonesia masih sangat tradisional. Budaya Indonesia masih sangat terikat dengan
nilai - nilai ‘negara timur’ yang memandang bahwa seharusnya tujuan utama dari berkeluarga
Childfree di Indonesia, Fenomena atau Viral Sesaat?
Syntax Idea, Vol. 6, No. 06, Juni 2024 2671
adalah memiliki anak. Sehingga mayoritas orang Indonesia memiliki pandangan bahwa
memiliki anak adalah kewajiban dan ketika memilih untuk tidak memiliki anak akan
mendapatkan stigma negatif dari lingkungan sekitar. Stigma negatif pada akhirnya
menimbulkan tekanan sosial yang kuat, membuat banyak orang Indonesia yang enggan
mengungkapkan pilihan hidup mereka secara terbuka.
Kalangan feminis di Indonesia sendiri masih belum secara terbuka mempromosikan
pilihan hidup tanpa anak, namun ada beberapa kaum feminis yang mendukung hak dan
pilihan wanita untuk memilih sendiri apakah ingin memiliki anak atau tidak secara pesan
pribadi. Melalui salah satu narasumber yang diwawancarai peneliti berkata bahwa wanita
Indonesia masih malu dan takut terhadap opini publik sehingga mereka memilih bercerita
kepada seseorang secara pribadi. Keterbukaan dari komunitas feminis ini menjadi dukungan
yang penting karena dapat menjadi langkah awal menuju pengakuan yang lebih luas terhadap
pilihan hidup childfree.
Keberlangsungan fenomena childfree di Indonesia sangat tergantung pada efektivitas
kampanye dan advokasi yang dilakukan oleh lembaga, komunitas dan influencer, serta
perubahan pandangan sosial yang lebih terbuka terhadap berbagai pilihan hidup seseorang.
Dukungan dari kaum feminis Indonesia yang mulai terbuka dapat menjadi langkah penting
dalam perluasan gerakkan childfree. Sehingga perlu adanya kolaboratif dari berbagai pihak
untuk mengedukasi masyarakat Indonesia dan mengurangi stigma negatif terhadap orang
yang memilih untuk tidak memiliki anak.
KESIMPULAN
Fenomena childfree di Indonesia mencerminkan perubahan signifikan dalam pandangan
dan dinamika keluarga. Dengan meningkatnya kesadaran akan berbagai faktor sosial,
ekonomi, dan kesehatan, semakin banyak individu dan pasangan yang mempertimbangkan
untuk tidak memiliki anak sebagai pilihan hidup yang sah. Penurunan angka kelahiran dan
angka perkawinan di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir menjadi indikator utama
pergeseran ini. Penurunan ini mencerminkan preferensi keluarga yang lebih kecil atau tanpa
anak, yang menunjukkan adanya perubahan dalam pandangan terhadap struktur keluarga
tradisional.
Alasan di balik keputusan untuk childfree meliputi faktor finansial, trauma masa lalu,
pengaruh budaya Barat, dan peningkatan kesadaran akan isu-isu lingkungan dan sosial. Biaya
membesarkan anak yang semakin tinggi menjadi pertimbangan utama bagi banyak pasangan.
Hal ini membuat banyak pasangan merasa tidak mampu secara finansial untuk membesarkan
anak. Kemudian trauma masa lalu, seperti pengalaman buruk selama masa kecil atau trauma
keluarga, juga mempengaruhi keputusan ini. Bagi beberapa individu, memilih untuk tidak
memiliki anak merupakan cara untuk memutus siklus negatif yang mereka alami di masa lalu.
Pengaruh budaya Barat juga memainkan peran penting dalam penyebaran fenomena childfree
di Indonesia. Melalui media sosial dan interaksi dengan budaya luar, pandangan tentang
childfree menjadi lebih dikenal dan diterima oleh sebagian masyarakat Indonesia, terutama
generasi milenial dan generasi Z. Mereka semakin terbuka terhadap pilihan hidup yang lebih
individualistis dan mandiri.
Farrencia Nallanie, Fhelincia Nathanto
2672 Syntax Idea, Vol. 6, No. 06, Juni 2024
Peran feminisme dalam mendukung hak dan kebebasan wanita untuk menentukan jalan
hidupnya juga tidak bisa diabaikan. Perspektif feminis di Indonesia mendukung pilihan
seorang wanita untuk tidak memiliki anak sebagai bagian dari hak asasi wanita. Hal ini
memberikan dukungan moral dan sosial bagi wanita yang memilih childfree, membantu
mengurangi stigma negatif yang sering melekat pada keputusan ini.
Dampak jangka panjang dari fenomena childfree terhadap struktur demografis dan
sosial di Indonesia dapat menjadi signifikan. Penurunan angka kelahiran dapat menyebabkan
berkurangnya jumlah generasi muda di masa depan, yang pada gilirannya dapat
mempengaruhi dinamika ekonomi dan sosial negara. Untuk mengatasi tantangan ini,
Indonesia perlu meningkatkan kualitas pendidikan dan pelatihan untuk memastikan bahwa
sumber daya manusia yang ada memiliki keterampilan dan kompetensi yang memadai untuk
mendukung pertumbuhan ekonomi.
Kesimpulannya, fenomena childfree di Indonesia bukan sekadar tren viral sesaat, tetapi
mencerminkan perubahan mendasar dalam pola pikir dan preferensi keluarga. Faktor-faktor
ekonomi, sosial, budaya, dan pengaruh global semuanya berkontribusi pada keputusan
individu dan pasangan untuk memilih hidup tanpa anak. Meskipun masih ada tantangan dan
stigma yang harus dihadapi, tren ini kemungkinan akan terus berkembang seiring dengan
semakin terbukanya masyarakat terhadap pilihan hidup yang lebih beragam.
.
BIBLIOGRAFI
Audinovic, Vizcardine, & Nugroho, Rio Satria. (2023). Persepsi Childfree di Kalangan
Generasi Zilenial Jawa Timur. Jurnal Keluarga Berencana, 8(1), 111.
Batubara, Ulfah Nury, Siregar, Royhanun, & Siregar, Nabilah. (2021). Liberalisme John
Locke dan pengaruhnya dalam tatanan kehidupan. Jurnal Education and Development,
9(4), 485491.
Creswell, John W., & Creswell, J. David. (2017). Research design: Qualitative, quantitative,
and mixed methods approaches. Sage publications.
Dewi, Sita, Listyowati, Dwi, & Napitupulu, Bertha Elvy. (2018). Bonus Demografi Di
Indonesia: Suatu Anugerah Atau Petaka. JISAMAR (Journal of Information System,
Applied, Management, Accounting and Research), 2(3), 1723.
Fadilah, Ikhdatul. (2022). Childfree Perspektif Masyarakat Kota Kediri. IAIN Kediri.
Fiantika, Feny, Wasil, Mohammad, Jumiyati, S. R. I., Honesti, Leli, Wahyuni, S. R. I., Mouw,
Erland, Mashudi, Imam, Hasanah, N. U. R., Maharani, Anita, & Ambarwati, Kusmayra.
(2022). Metodologi penelitian kualitatif. Metodologi Penelitian Kualitatif. In Rake
Sarasin (Issue March). Surabaya: PT. Pustaka Pelajar. Https://Scholar. Google.
Com/Citations.
Goma, Edwardus Iwantri, Sandy, Aisyah Trees, & Zakaria, Muhammad. (2021). Analisis
distribusi dan interpretasi data penduduk usia produktif indonesia tahun 2020. Jurnal
Georafflesia: Artikel Ilmiah Pendidikan Geografi, 6(1), 2027.
Hoglund, Berit, & Hildingsson, Ingegerd. (2023). Why and when choosing child-free life in
Sweden? Reasons, influencing factors and personal and societal factors: Individual
interviews during 2020-2021. SEXUAL & REPRODUCTIVE HEALTHCARE, 35.
Itsnan, Abdurrohman. (2023). Tinjauan maṣlaḥah mursalah najmuddin al-thufi terhadap
keputusan childfree di kalangan artis Indonesia. UIN KH Abdurrahman Wahid
Pekalongan.
Childfree di Indonesia, Fenomena atau Viral Sesaat?
Syntax Idea, Vol. 6, No. 06, Juni 2024 2673
Leliana, Intan, Suryani, Ita, Haikal, Achmad, & Septian, Rio. (2023). Respon Masyarakat
terhadap Fenomena" Childfree"(Studi Kasus influencer Gita Savitri). Cakrawala-Jurnal
Humaniora, 23(1), 3543.
Lengkong, Gledys Tirsa, Langi, Fima L. F. G., & Posangi, Jimmy. (2020). Faktorfaktor yang
berhubungan dengan kematian bayi di Indonesia. Kesmas, 9(4).
Lubis, Rini Hayati, & Izzah, Nurul. (2022). Faktor Penentu Gaya Hidup Halal Generasi Z di
Sumatera Utara. Bypass.
Nugroho, Dhimas Adi, Alfarisy, Fitri, Kurniawan, Afizal Nuradhim, & Sarita, Elin Rahma.
(2022). Tren Childfree dan Unmarried di kalangan Masyarakat Jepang. COMSERVA:
Jurnal Penelitian Dan Pengabdian Masyarakat, 1(11), 10231030.
Riniwati, Harsuko. (2016). Manajemen sumberdaya manusia: Aktivitas utama dan
pengembangan SDM. Universitas Brawijaya Press.
Zahwa, Rehan Putri Az. (2023). Stigmatisasi Masyarakat Terhadap Keharmonisan Keluarga
Childless. Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas
….
Copyright holder:
Farrencia Nallanie, Fhelincia Nathanto (2024)
First publication right:
Syntax Idea
This article is licensed under: