How to cite:
Sandi Januar Pribadi (2024) Perlindungan Hukum Bagi Orang Dengan Hiv/Aids Dalam Skema
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN): Studi Analisis Implementasi Uu No. 24 Tahun 2011
Tentang BPJS Kesehatan, (06) 06, https://doi.org/10.36418/syntax-idea.v3i6.1227
E-ISSN:
2684-883X
Published by:
Ridwan Institute
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI ORANG DENGAN HIV/AIDS DALAM
SKEMA JAMINAN KESEHATAN NASIONAL (JKN): STUDI ANALISIS
IMPLEMENTASI UU NO. 24 TAHUN 2011
TENTANG BPJS KESEHATAN
Sandi Januar Pribadi
Universitas Katolik Atmajaya, Indonesia
Abstrak
Kesehatan merupakan hak asasi manusia yang fundamental, diakui dalam berbagai
instrumen hukum internasional dan nasional, termasuk Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia dan Konstitusi Republik Indonesia Tahun 1945. Negara memiliki tanggung
jawab untuk memastikan aksesibilitas layanan kesehatan bagi seluruh warganya,
sebagaimana tercermin dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor
36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Penelitian ini fokus pada implementasi Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
Kesehatan, khususnya dalam konteks perlindungan hukum dan akses layanan kesehatan
bagi orang dengan HIV/AIDS. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif, penelitian
ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi tantangan dan hambatan yang
dihadapi oleh kelompok rentan ini dalam mengakses layanan kesehatan yang
berkualitas. Analisis menunjukkan bahwa meskipun BPJS Kesehatan telah membuat
kemajuan dalam menyediakan jaminan kesehatan, masih terdapat kesenjangan dalam
perlindungan hukum dan akses layanan yang memadai bagi orang dengan HIV/AIDS.
Penelitian ini mengusulkan rekomendasi untuk meningkatkan efektivitas BPJS
Kesehatan dalam menyediakan layanan yang inklusif dan adil, sehingga memastikan
bahwa semua individu, khususnya yang berada dalam kelompok rentan, mendapatkan
perlindungan finansial dan akses terhadap layanan kesehatan yang berkualitas.
Kata kunci: Hak Asasi Manusia; BPJS; Orang dengan HIV/AIDS
Abstract
Health is a fundamental human right, recognized in various international and national
legal instruments, including the Universal Declaration of Human Rights and the 1945
Constitution of the Republic of Indonesia. The state has a responsibility to ensure the
accessibility of health services for all its citizens, as reflected in the 1945 Constitution
and Law Number 36 of 2009 on Health. This research focuses on the implementation of
Law Number 24 of 2011 on the Health Social Security Administering Body (BPJS
Health), specifically in the context of legal protection and access to health services for
people with HIV/AIDS. Using a qualitative approach, this study aims to identify and
evaluate the challenges and barriers faced by this vulnerable group in accessing quality
health services. The analysis shows that although BPJS has made progress in providing
JOURNAL SYNTAX IDEA
pISSN: 2723-4339 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 5, No. 11, November 2023
Perlindungan Hukum bagi Orang Dengan HIV/AIDS dalam Skema Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN): Studi Analisis Implementasi UU No 24 Tahun 2011 tentang BPJS Kesehatan
Syntax Idea, Vol. 6, No. 06, Juni 2024 2603
health insurance, there are still gaps in legal protection and adequate service access for
people with HIV/AIDS. This study proposes recommendations to improve the
effectiveness of BPJS in providing inclusive and fair services, thereby ensuring that all
individuals, especially those in vulnerable groups, receive financial protection and
access to quality health services.
Keywords: Human Rights; Social Security Administering Body for Health (BPJS;
People with HIV/AIDS
PENDAHULUAN
Kesehatan memegang peranan vital dalam eksistensi setiap orang dan diakui
sebagai salah satu hak fundamental manusia. Pengakuan ini diamanatkan dalam Pasal
25 ayat (1) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa,
yang menyebutkan bahwa “Semua individu memiliki hak untuk mencapai standar
kehidupan yang layak untuk kesehatan dan kemakmuran diri sendiri serta keluarganya,
termasuk hak atas makanan, sandang, tempat tinggal, asuhan kesehatan, dan layanan
sosial yang esensial, serta memiliki hak mendapatkan proteksi ketika tidak bekerja,
sakit, disabilitas, kehilangan pasangan, tua atau dalam situasi lain yang menyebabkan
hilangnya penghidupan yang tidak dapat dikendalikan.” (Qamaria, 2021)
Prinsip-prinsip yang terkandung dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia oleh PBB
telah diinkorporasikan ke dalam Konstitusi Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya
dalam pasal 28H ayat (1) dan ayat (3) yang berfokus pada masalah Kesehatan. Pasal
28H ayat (1) mengungkapkan bahwa "Semua warga negara memiliki hak untuk
menikmati kesejahteraan fisik dan mental, memiliki tempat tinggal, serta akses ke
lingkungan yang kondusif dan sehat, dan berhak atas akses ke layanan kesehatan,
Kambu, (2021) sedangkan ayat (3) mengulangi pernyataan serupa dengan menekankan
pada hak setiap individu untuk hidup sejahtera secara fisik dan mental, memiliki tempat
tinggal, menikmati lingkungan yang mendukung kesehatan, serta mendapatkan akses
layanan kesehatan” (Kambu, 2021).
Undang-Undang Dasar 1945 pada pasal 34 menyebutkan bahwa “Negara
bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan umum yang layak” (Kambu,
2021). Prinsip dasar di balik konsep ini adalah bahwa negara bertanggung jawab untuk
memastikan bahwa semua warganya dapat memperoleh fasilitas dan layanan publik
yang penting untuk kehidupan yang layak. Ini mencerminkan tanggung jawab negara
untuk memenuhi hak asasi manusia masyarakatnya, termasuk hak atas pendidikan,
kesehatan, dan akses ke layanan dasar lainnya.
Selanjutnya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pada
BAB I Pasal 1 meyebutkan bahwa kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa,
dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis
(Republik Indonesia, 2009). Tujuan dari mencapai kesehatan yang sejahtera adalah agar
setiap individu dapat hidup secara produktif secara sosial dan ekonomis. Ini berarti
individu memiliki kapasitas dan kesempatan untuk berpartisipasi secara aktif dalam
Sandi Januar Pribadi
2604 Syntax Idea, Vol. 6, No. 06, Juni 2024
kehidupan masyarakat, berkontribusi pada kegiatan sosial, dan mencapai kesejahteraan
ekonomi yang memadai.
Kualitas kesehatan masyarakat Indonesia tergantung pada aksesibilitas fasilitas
kesehatan, ketersediaan layanan, pendidikan kesehatan, sosial-ekonomi, dan faktor
lingkungan. Meskipun terdapat kemajuan dalam beberapa indikator kesehatan, seperti
penurunan angka kematian bayi dan ibu, masih ada tantangan terkait angka kematian
anak, tingkat malnutrisi, penyakit menular, dan penyakit tidak menular, namun
pendidikan kesehatan, kesadaran masyarakat, dan upaya pemerintah dalam penyediaan
layanan kesehatan harus terus dilakukan, namun ketimpangan kesehatan dan faktor
lingkungan yang buruk tetap menjadi masalah yang harus diatasi untuk meningkatkan
kualitas kesehatan masyarakat secara keseluruhan.
Dalam rangka peningkatan kualitas kesehatan masyarakat, pemerintah
menerbitkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional (SJSN). Dengan adanya SJSN diharapkan bahwa masyarakat akan memiliki
akses yang lebih mudah dan terjamin terhadap layanan kesehatan yang berkualitas.
Program-program jaminan sosial yang diselenggarakan juga diharapkan dapat
memberikan perlindungan ekonomi bagi masyarakat dalam menghadapi risiko sosial,
seperti sakit, kecelakaan kerja, atau kehilangan anggota keluarga.
Pendirian Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan)
pada 31 Desember 2013 merupakan realisasi dari Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2011 Republik Indonesia tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan.
BPJS Kesehatan, yang menggantikan Asuransi Kesehatan Indonesia (ASKES) yang
sebelumnya dikelola oleh PT. ASKES (Persero), serta BPJS Ketenagakerjaan yang
menggantikan JAMSOSTEK, didirikan dengan misi untuk menyediakan layanan
jaminan kesehatan bagi seluruh penduduk Indonesia (Hidayat, Busro, & Hendrawati,
2016).
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh keinginan untuk mengetahui sejauh mana
implementasi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan telah memberikan perlindungan hukum dan akses
layanan kesehatan yang memadai bagi orang dengan HIV/AIDS. Motivasi utama
penulis adalah untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi tantangan serta hambatan yang
dihadapi oleh kelompok rentan ini dalam mengakses layanan kesehatan yang
berkualitas. Dengan fokus pada orang dengan HIV/AIDS, penelitian ini bertujuan untuk
mengungkap apakah BPJS Kesehatan telah berhasil menjamin hak mereka untuk
mendapatkan layanan kesehatan tanpa diskriminasi dan stigma, yang sering menjadi
penghalang dalam akses terhadap perawatan dan dukungan kesehatan.
Selanjutnya, penelitian ini mengambil pendekatan kualitatif untuk mendalami
bagaimana kebijakan, regulasi, dan praktik yang terkait dengan BPJS Kesehatan
berdampak terhadap akses dan kualitas layanan kesehatan bagi orang dengan
HIV/AIDS. Melalui analisis ini, penulis berharap dapat mengidentifikasi kesenjangan
dalam perlindungan hukum dan layanan kesehatan yang diterima oleh kelompok rentan
tersebut. Tujuannya adalah untuk memberikan rekomendasi yang dapat membantu
Perlindungan Hukum bagi Orang Dengan HIV/AIDS dalam Skema Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN): Studi Analisis Implementasi UU No 24 Tahun 2011 tentang BPJS Kesehatan
Syntax Idea, Vol. 6, No. 06, Juni 2024 2605
meningkatkan efektivitas BPJS Kesehatan dalam memastikan bahwa setiap individu,
terutama yang berada dalam kelompok rentan seperti orang dengan HIV/AIDS,
mendapatkan perlindungan finansial dan akses terhadap layanan kesehatan yang
berkualitas, sehingga memberikan kontribusi bagi pengembangan sistem jaminan sosial
kesehatan yang lebih inklusif dan adil.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis
empiris. Penelitian yuridis mengacu pada pendekatan hukum yang melihat hukum
sebagai norma atau apa yang seharusnya dilakukan. Dalam konteks penelitian ini,
penelitian yuridis digunakan untuk membahas permasalahan dengan mengacu pada
bahan-bahan hukum, baik itu bahan hukum primer (seperti undang-undang, peraturan,
putusan pengadilan) maupun bahan hukum sekunder (seperti buku, jurnal, artikel).
Selain itu, penelitian ini juga menggunakan pendekatan empiris. Pendekatan
empiris menganggap hukum sebagai kenyataan sosial atau apa yang terjadi dalam
praktik. Dalam penelitian ini, data primer yang diperoleh dari lapangan digunakan
sebagai sumber data untuk mendapatkan pemahaman tentang situasi atau fenomena
yang sedang diteliti. Data primer tersebut dapat berupa data hasil wawancara, observasi
langsung, atau kuesioner yang dikumpulkan dari partisipan atau responden yang terlibat
dalam penelitian.
Dengan menggabungkan pendekatan yuridis dan empiris, penelitian ini bertujuan
untuk memberikan pemahaman yang lebih komprehensif dan mendalam tentang
permasalahan yang diteliti, serta mengkaji implementasi hukum dalam realitas sosial.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kesehatan adalah hak fundamental yang diakui dalam Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia dan diinkorporasikan dalam Konstitusi Republik Indonesia. Negara
bertanggung jawab menyediakan fasilitas kesehatan yang layak untuk semua warganya,
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Melalui BPJS Kesehatan, pemerintah berupaya memastikan akses layanan kesehatan
yang adil, termasuk bagi kelompok rentan seperti orang dengan HIV/AIDS. Penelitian
ini mengevaluasi efektivitas BPJS Kesehatan dalam melindungi hak-hak kesehatan
kelompok rentan tersebut. Hasil dan pembahasan yang diperoleh dari penelitian ini
adalah sebagai berikut:
Perlindungan Hukum
Teori perlindungan hukum merupakan landasan penting dalam studi hukum dan
kebijakan publik, khususnya ketika berkaitan dengan penyediaan hak dan layanan
kepada masyarakat, termasuk layanan kesehatan bagi orang dengan HIV/AIDS dalam
skema Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Teori ini berfokus pada mekanisme, prinsip,
dan prosedur yang dirancang untuk memastikan bahwa individu dan kelompok dalam
masyarakat menerima perlindungan dan keadilan dalam sistem hukum. Dalam konteks
JKN dan orang dengan HIV/AIDS, teori perlindungan hukum menyediakan kerangka
Sandi Januar Pribadi
2606 Syntax Idea, Vol. 6, No. 06, Juni 2024
kerja untuk memahami bagaimana hukum dapat dan harus bekerja untuk melindungi
hak kesehatan mereka.
Teori perlindungan hukum menyediakan kerangka kerja yang penting untuk
memahami dan meningkatkan akses ke layanan kesehatan bagi orang dengan
HIV/AIDS dalam skema JKN. Melalui penerapan prinsip-prinsip keadilan, non-
diskriminasi, dan kesetaraan akses, serta mengatasi tantangan dalam implementasinya,
bisa meningkatkan kualitas hidup bagi orang dengan HIV/AIDS. Kebijakan dan regulasi
seperti UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS Kesehatan menunjukkan komitmen
Indonesia terhadap perlindungan hukum dalam sektor kesehatan, sebagai berikut:
Konsep Dasar Perlindungan Hukum
Konsep dasar perlindungan hukum menegaskan hak setiap individu untuk
mendapatkan perlindungan terhadap hak-haknya melalui mekanisme hukum yang adil
dan efektif. Ini merupakan prinsip fundamental dalam hukum dan kebijakan publik,
bertujuan untuk memastikan bahwa semua individu, terutama mereka yang berada
dalam posisi rentan, dapat mengakses keadilan dan layanan yang mereka butuhkan
tanpa diskriminasi. Perlindungan hukum tidak hanya terbatas pada akses terhadap
pengadilan tetapi juga mencakup hak untuk mendapatkan layanan hukum, hak untuk
diperlakukan sama di depan hukum, dan hak untuk mendapatkan perlakuan yang adil
dan tidak diskriminatif dari institusi pemerintah dan swasta.
Dalam konteks kesehatan, konsep perlindungan hukum memperluas
pengertiannya untuk memastikan bahwa setiap individu memiliki akses ke layanan
kesehatan yang berkualitas, termasuk pencegahan, pengobatan, dan perawatan yang
memadai. Hal ini sangat relevan bagi kelompok rentan seperti orang dengan
HIV/AIDS, yang sering menghadapi hambatan dalam mengakses layanan kesehatan
karena stigma dan diskriminasi. Menurut Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
(DUHAM), "Setiap orang berhak atas tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan
dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya, termasuk hak atas pangan, pakaian,
perumahan dan perawatan kesehatan serta pelayanan sosial yang diperlukan, dan
berhak atas jaminan pada saat menganggur, menderita sakit, cacat, menjadi
janda/duda, mencapai usia lanjut atau keadaan lainnya yang mengakibatkannya
kekurangan nafkah, yang berada di luar kekuasaannya (Qamaria, 2021). Prinsip ini
ditegaskan lebih lanjut dalam International Covenant on Economic, Social and
Cultural Rights (ICESCR), yang menyatakan bahwa "pengakuan atas hak setiap orang
untuk menikmati standar kesehatan fisik dan mental yang tertinggi yang dapat dicapai"
adalah fundamental (Ssenyonjo, 2017).
Perlindungan hukum dalam konteks kesehatan juga mencakup aspek non-
diskriminasi sebagai salah satu prinsip utamanya. Ini berarti bahwa layanan kesehatan
harus disediakan kepada semua orang tanpa membedakan ras, agama, kebangsaan,
status sosial-ekonomi, atau status kesehatan, termasuk status HIV/AIDS. Prinsip non-
diskriminasi ini ditegaskan dalam berbagai instrumen hukum internasional dan
Perlindungan Hukum bagi Orang Dengan HIV/AIDS dalam Skema Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN): Studi Analisis Implementasi UU No 24 Tahun 2011 tentang BPJS Kesehatan
Syntax Idea, Vol. 6, No. 06, Juni 2024 2607
regional, termasuk The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination
against Women (CEDAW) (Cedaw, 1979; Women, 1979).
Implementasi efektif dari perlindungan hukum dalam sektor kesehatan
membutuhkan kerjasama dan komitmen dari berbagai pihak, termasuk pemerintah,
lembaga kesehatan, organisasi masyarakat sipil, dan komunitas itu sendiri. Hal ini
mencakup pengembangan kebijakan dan regulasi yang mendukung akses universal ke
layanan kesehatan, peningkatan kesadaran dan pelatihan bagi profesional kesehatan
mengenai hak-hak pasien, serta advokasi dan dukungan bagi individu dan kelompok
yang hak-haknya dilanggar.
Konsep dasar perlindungan hukum, dengan demikian, menjadi fondasi yang
penting dalam upaya membangun sistem kesehatan yang inklusif dan adil, yang dapat
melayani kebutuhan semua individu, terutama mereka yang paling rentan, dengan
menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak mereka.
Perlindungan Hukum dalam Konteks Kesehatan
Dalam konteks kesehatan, perlindungan hukum berperan krusial dalam
menggarisbawahi hak setiap individu untuk mendapatkan akses universal ke layanan
kesehatan yang berkualitas. Ini mencakup segala aspek dari pencegahan, perawatan,
hingga dukungan, khususnya bagi individu atau kelompok yang rentan seperti orang
dengan HIV/AIDS. Konsep perlindungan hukum ini didasarkan pada prinsip bahwa
layanan kesehatan harus dapat diakses oleh semua orang tanpa diskriminasi berdasarkan
status sosial, ekonomi, atau kondisi kesehatan, termasuk status HIV/AIDS. Hal ini
menegaskan bahwa hak atas kesehatan adalah fundamental dan harus dijamin oleh
negara melalui kerangka regulasi dan kebijakan yang efektif (Qamaria, 2021).
Salah satu contoh implementasi dari prinsip perlindungan hukum dalam sektor
kesehatan adalah pemberlakuan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) di Indonesia. UU ini
bertujuan untuk menyediakan jaminan kesehatan universal, memastikan bahwa semua
penduduk Indonesia, termasuk mereka yang hidup dengan HIV/AIDS, memiliki akses
ke layanan kesehatan yang diperlukan tanpa harus menghadapi kesulitan finansial yang
berarti. Melalui jaminan ini, pemerintah Indonesia berupaya untuk menjamin
perlindungan kesehatan yang komprehensif bagi seluruh penduduknya, memenuhi salah
satu aspek terpenting dari hak asasi manusia yaitu hak atas Kesehatan (Republik
Indonesia, 2009)
Menurut hukum hak asasi manusia internasional, diskriminasi mencakup setiap
tindakan atau perilaku yang memiliki niat atau efek mengurangi kenikmatan hak asasi
manusia dasar oleh semua orang secara setara, termasuk hak mereka untuk mengakses
layanan kesehatan. Hak untuk tidak didiskriminasi mengimplikasikan bahwa orang-
orang diperlakukan dengan menghormati martabat manusia, otonomi, privasi, dan
kerahasiaan mereka, dan bahwa kebebasan mereka dari paksaan dan penyalahgunaan
dijamin secara setara, termasuk dalam kaitannya dengan layanan Kesehatan
(Organization, 2018).
Sandi Januar Pribadi
2608 Syntax Idea, Vol. 6, No. 06, Juni 2024
Dalam menerapkan perlindungan hukum di sektor kesehatan, aspek non-
diskriminasi menjadi sangat penting. Hal ini menggarisbawahi pentingnya memberikan
layanan kesehatan yang sama kepada setiap individu, tanpa membedakan latar belakang
atau kondisi individu tersebut. Prinsip non-diskriminasi ini tidak hanya membantu
dalam menghilangkan hambatan akses terhadap layanan kesehatan tetapi juga dalam
mengurangi stigma dan diskriminasi terhadap kelompok rentan, termasuk orang dengan
HIV/AIDS. Dengan demikian, perlindungan hukum dalam konteks kesehatan mencakup
upaya-upaya untuk memastikan bahwa semua individu, terutama mereka yang berada
dalam kondisi rentan, mendapatkan perlakuan yang adil dan sama dalam sistem
kesehatan.
Prinsip non-Diskriminasi dan Kesetaraan Akses
Prinsip non-diskriminasi dan kesetaraan akses dalam konteks layanan kesehatan
menekankan pentingnya menyediakan perawatan kesehatan yang tepat waktu dan
berkualitas tanpa memandang jenis kelamin, identitas atau ekspresi gender, seks,
kebangsaan, usia, disabilitas, asal etnis, orientasi seksual, agama, bahasa, status sosial
ekonomi, status HIV yang nyata atau diduga, atau status kesehatan lainnya, termasuk
apakah seseorang adalah pekerja seks, pengguna narkoba, hidup di penjara, atau pekerja
migran (Organization, 2018)
Selain itu, penyedia layanan kesehatan harus secara aktif menginformasikan orang
tentang hak asasi manusia mereka dan memastikan adanya mekanisme pengaduan yang
efektif serta mekanisme pemulihan dan akuntabilitas untuk diskriminasi dan
pelanggaran hak-hak klien serta pekerja Kesehatan (Organization, 2018).
Penting juga untuk menghubungkan populasi kunci dan rentan dengan penyedia
layanan tambahan, jaringan dukungan sebaya atau organisasi berbasis komunitas, atau
layanan hukum, bila diperlukan, serta mendukung pemberdayaan klien, pekerja, dan
masyarakat sipil untuk menuntut perawatan kesehatan dan tempat kerja yang bebas dari
diskriminasi (Organization, 2018).
Komite PBB tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya telah menekankan bahwa
semua fasilitas kesehatan harus dapat diakses oleh semua orang tanpa diskriminasi,
termasuk memastikan aksesibilitas fisik dan ekonomi bagi populasi yang paling rentan
(Organization, 2018).
Tantangan dalam Implementasi Perlindungan Hukum
Tantangan dalam implementasi perlindungan hukum sering kali muncul dari
berbagai aspek, mulai dari hambatan regulasi, kurangnya kesadaran atau pemahaman
tentang hak-hak hukum di kalangan petugas kesehatan, hingga stigma sosial yang masih
kuat terhadap kelompok-kelompok rentan seperti orang dengan HIV/AIDS. Meskipun
kerangka hukum dan kebijakan telah dirancang untuk melindungi hak asasi manusia dan
menyediakan akses universal ke layanan kesehatan, realitas di lapangan sering kali tidak
sesuai dengan harapan.
Perlindungan Hukum bagi Orang Dengan HIV/AIDS dalam Skema Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN): Studi Analisis Implementasi UU No 24 Tahun 2011 tentang BPJS Kesehatan
Syntax Idea, Vol. 6, No. 06, Juni 2024 2609
Salah satu hambatan utama adalah kesenjangan antara regulasi yang ada dengan
praktik implementasinya. Regulasi mungkin sudah cukup komprehensif, namun tanpa
pemahaman yang cukup dari para pelaksana di lapangan, regulasi tersebut tidak akan
efektif. Kurangnya pelatihan dan edukasi bagi petugas kesehatan tentang hak asasi dan
perlindungan hukum dapat mengakibatkan diskriminasi dan pelanggaran hak pasien
tanpa disadari (Organization, 2018).
Stigma dan diskriminasi terhadap kelompok rentan, khususnya orang dengan
HIV/AIDS, masih menjadi tantangan besar. Stigma ini tidak hanya berasal dari
masyarakat luas tetapi juga dapat ditemukan di dalam sistem kesehatan itu sendiri,
mengakibatkan penolakan layanan, perlakuan yang tidak adil, dan pelanggaran privasi.
Hal ini secara signifikan mengurangi efektivitas program kesehatan publik dan
menghambat upaya pengendalian HIV/AIDS (Organization, 2018).
Selain itu, tantangan dalam memastikan privasi dan kerahasiaan pasien juga
menjadi isu penting. Dalam konteks layanan kesehatan, terutama yang berkaitan dengan
kondisi seperti HIV/AIDS, menjaga kerahasiaan informasi pasien adalah aspek krusial
dari perlindungan hukum. Namun, tantangan muncul dari kurangnya infrastruktur atau
sistem yang memadai untuk melindungi data pasien dari akses yang tidak sah
(Organization, 2018).
Dalam mengatasi tantangan-tantangan ini, diperlukan upaya bersama dari
berbagai pihak, termasuk pemerintah, lembaga kesehatan, organisasi masyarakat sipil,
dan komunitas itu sendiri. Peningkatan edukasi dan pelatihan untuk petugas kesehatan,
penguatan regulasi dan pengawasannya, serta advokasi untuk mengurangi stigma dan
diskriminasi adalah langkah-langkah penting yang harus dilakukan untuk memastikan
implementasi perlindungan hukum yang efektif dalam layanan kesehatan.
Hak atas Kesehatan
Di zaman modern saat ini, kesehatan telah menjadi prioritas utama bagi setiap
orang. Hukum kesehatan berperan krusial dalam menjamin hak kesehatan terpenuhi dan
dalam pengaturan sistem layanan kesehatan. Ini adalah rangkaian aturan yang
mengelola berbagai aspek kesehatan, termasuk hak individu untuk mengakses layanan
kesehatan yang memadai, kewajiban pemerintah dalam menyediakan infrastruktur
kesehatan, serta peraturan yang mengatur praktik medis dan hak-hak pasien sebagai
konsumen di bidang kesehatan.
Menurut Van Der Mijn, hukum kesehatan didefinisikan sebagai sekumpulan
aturan yang secara eksplisit terkait dengan pemeliharaan kesehatan atau
penyelenggaraan perawatan kesehatan. Definisi ini mencakup penggunaan instrumen
hukum dari bidang hukum perdata, pidana, dan administrasi negara (Novekawati, 2019)
Leenen mengartikan Hukum Kesehatan sebagai gabungan dari seluruh kegiatan
yuridis, aturan hukum dalam ranah kesehatan, beserta studi ilmiah dan aplikasinya
dalam hukum sipil, hukum administratif, dan hukum pidana. Dalam konteks ini,
'peraturan' tidak hanya terbatas pada norma internasional, hukum adat, dan
Sandi Januar Pribadi
2610 Syntax Idea, Vol. 6, No. 06, Juni 2024
yurisprudensi, tetapi juga literatur yang diakui sebagai sumber hukum (Novekawati,
2019).
Dalam Anggaran Dasar Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia (PERHUKI),
Hukum Kesehatan didefinisikan sebagai rangkaian ketentuan hukum yang secara
langsung berkaitan dengan upaya pemeliharaan dan penyelenggaraan layanan kesehatan
serta implementasinya. Ini mencakup hak-hak dan kewajiban, tidak hanya bagi individu
dan seluruh lapisan masyarakat yang menerima layanan kesehatan, tetapi juga bagi
penyelenggara layanan kesehatan dalam berbagai dimensi seperti organisasi, fasilitas,
standar layanan medis, pengetahuan kesehatan, hukum, dan berbagai sumber hukum
lainnya. Sebagai sebuah sub-bidang, hukum kedokteran fokus pada aspek perawatan
dan pelayanan medis (Novekawati, 2019)
Tanggung Jawab Negara dalam Penyediaan Kesehatan.
Hak Asasi Manusia secara substansial telah diatur di dalam UUD NRI Tahun
1945. Salah satu hak asasi manusia yang diatur adalah hak atas kesehatan. Pasal 28H,
ayat (1) UUD Tahun 1945, menyatakan dengan tegas bahwa “setiap orang berhak
memperoleh pelayanan kesehatan” (Republik Indonesia, 2002). Melalui inklusi hak
kesehatan ke dalam konstitusi, hak untuk memperoleh kesehatan kini telah menjadi hak
positif yang secara resmi diakui dan harus dijaga oleh negara. Akibatnya, terdapat
tanggung jawab yang melekat pada pemerintah untuk menjamin terpenuhinya hak
kesehatan semua warga negara, yang memerlukan implementasi kebijakan dan langkah-
langkah praktis yang efektif.
Sudah menjadi konsensus dalam konstitusi Indonesia bahwa hak atas kesehatan
merupakan hak mendasar bagi manusia. Falsafah dasar dari jaminan hak atas kesehatan
sebagai HAM merupakan raison d’etre kemartabatan manusia (human dignity) (El-
Muhtaj, Arinanto, & Kasim, 2008). Hak kesehatan merupakan hak dasar setiap
manusia, sehingga setiap orang, keluarga, dan komunitas berhak atas jaminan
perlindungan kesehatan. Tanggung jawab ini berada di pundak pemerintah, yang wajib
menjamin dan melindungi kesejahteraan kesehatan publik, termasuk memastikan akses
layanan kesehatan bagi warga negara yang kurang mampu secara ekonomi.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
(SJSN) menunjukkan komitmen kuat dari pemerintah dan para stakeholder untuk
meningkatkan kesejahteraan sosial bagi semua warga negara. SJSN dirancang sebagai
mekanisme perlindungan sosial yang esensial, dengan tujuan utama untuk memastikan
bahwa setiap individu memiliki akses terhadap kebutuhan pokok untuk hidup yang
layak. Program-program yang termasuk dalam SJSN mencakup berbagai aspek, seperti:
a) perlindungan kesehatan; b) jaminan atas risiko kecelakaan kerja; c) jaminan untuk
hari tua; d) jaminan pensiun; dan e) jaminan untuk keluarga yang ditinggalkan karena
kematian (Ningtyas, 2015)
Regulasi Kesehatan
Perlindungan Hukum bagi Orang Dengan HIV/AIDS dalam Skema Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN): Studi Analisis Implementasi UU No 24 Tahun 2011 tentang BPJS Kesehatan
Syntax Idea, Vol. 6, No. 06, Juni 2024 2611
Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
Undang Undang ini merupakan peraturan hukum di Indonesia yang mengatur
tentang jaminan sosial bagi seluruh penduduk Indonesia. Undang-Undang ini didirikan
dengan tujuan untuk memberikan perlindungan sosial yang lebih luas kepada
masyarakat Indonesia.
SJSN mengatur berbagai program jaminan sosial, termasuk jaminan kesehatan,
jaminan pensiun, jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, dan jaminan hari tua.
Tujuan utama dari SJSN adalah untuk menciptakan keadilan sosial dan meningkatkan
kesejahteraan sosial melalui penyediaan perlindungan sosial yang terjangkau dan
berkelanjutan bagi seluruh lapisan masyarakat.
Undang-Undang ini menetapkan kewajiban bagi pemberi kerja dan peserta
program untuk ikut serta dalam SJSN dan membayar iuran sesuai dengan ketentuan
yang berlaku. Pemerintah juga memiliki peran penting dalam mengelola dan mengawasi
pelaksanaan program-program jaminan sosial serta menyediakan fasilitas dan sumber
daya yang diperlukan.
Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
Undang-Undang ini adalah peraturan hukum di Indonesia yang mengatur tentang
pendirian, pengelolaan, dan penyelenggaraan rumah sakit. Undang-Undang ini
bertujuan untuk menjaga dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan di rumah sakit,
melindungi hak pasien, serta menjamin keamanan dan keselamatan dalam pelayanan
medis.
Undang-Undang ini mengatur berbagai aspek terkait rumah sakit, termasuk izin
pendirian, organisasi dan struktur rumah sakit, sumber daya manusia, perizinan dan
akreditasi, standar pelayanan medis, pengelolaan keuangan, pembiayaan, dan
pemenuhan hak pasien.
Undang-Undang ini penting dalam memastikan bahwa rumah sakit di Indonesia
beroperasi dengan standar yang tinggi dan memberikan pelayanan kesehatan yang
berkualitas kepada masyarakat. Lebih lanjut, Undang-Undang ini juga melindungi hak-
hak pasien dan memberikan kerangka kerja yang jelas dalam pengelolaan dan
penyelenggaraan rumah sakit di Indonesia.
Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggaraan Jaminan
Sosial
Undang-Undang ini mengatur tentang beberapa program jaminan sosial, termasuk
jaminan kesehatan (BPJS Kesehatan), jaminan sosial ketenagakerjaan (BPJS
Ketenagakerjaan), dan jaminan sosial lainnya. BPJS Kesehatan bertanggung jawab
untuk memberikan jaminan kesehatan kepada seluruh penduduk Indonesia, sedangkan
BPJS Ketenagakerjaan memberikan perlindungan sosial kepada pekerja dan buruh.
Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 juga mengatur tentang keanggotaan, pembiayaan,
manajemen keuangan, tata kelola, dan tugas serta wewenang BPJS. Hal ini mencakup
Sandi Januar Pribadi
2612 Syntax Idea, Vol. 6, No. 06, Juni 2024
pengumpulan iuran, pengelolaan dana, pembayaran manfaat, pengawasan, dan tata cara
penyelesaian sengketa.
Tujuan utama dari Undang-Undang ini adalah untuk menyelenggarakan sistem
jaminan sosial yang lebih luas, terjangkau, dan berkelanjutan di Indonesia. Dengan
adanya Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS, diharapkan masyarakat
Indonesia dapat memperoleh perlindungan sosial yang lebih baik, terutama dalam hal
kesehatan dan ketenagakerjaan.
Penyelengaraan Jaminan Kesehatan Nasional.
Negara Indonesia telah mengimplementasikan sistem jaminan sosial universal
untuk seluruh warganya, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Untuk mencapai tujuan dari
sistem ini, dibentuk entitas penyelenggara yang memiliki status badan hukum. Ini
merupakan dasar dari pembentukan entitas hukum yang bertindak sebagai
penyelenggara jaminan sosial. BPJS, yang terdiri dari dua entitas yaitu BPJS Kesehatan
dan BPJS Ketenagakerjaan, memiliki peran spesifik dalam sistem ini. BPJS Kesehatan
ditugaskan untuk mengelola program jaminan kesehatan, sementara BPJS
Ketenagakerjaan mengurus program-program seperti jaminan kecelakaan kerja, jaminan
hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian (Santoso, 2014)
Operasional Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) terintegrasi secara erat
dengan fasilitas kesehatan tingkat awal, yang merupakan elemen penting dalam sistem
ini dan tidak bisa dipisahkan. Fasilitas kesehatan tingkat awal ini mencakup puskesmas
atau fasilitas serupa, praktik dokter umum atau spesialis, termasuk dokter gigi, serta
klinik pratama dan rumah sakit kelas D pratama yang sesuai dengan regulasi yang
berlaku. Klasifikasi ini diterapkan mengingat adanya pembatasan dalam ketersediaan
fasilitas kesehatan tingkat awal, terutama layanan yang disediakan oleh puskesmas di
beberapa wilayah (Santoso, 2014)
Dalam konteks Program Jaminan Kesehatan Nasional, Puskesmas memegang
peranan strategis sebagai mitra BPJS Kesehatan, yang bertanggung jawab atas
pelaksanaan program jaminan sosial. Berdasarkan arahan yang tercantum dalam
Peraturan Presiden Nomor 12 yang berkaitan dengan Jaminan Kesehatan serta Peraturan
Presiden Nomor 111 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan Nasional, BPJS Kesehatan
mengoordinasikan kerja sama dengan berbagai fasilitas kesehatan yang telah memenuhi
kriteria tertentu. Kerja sama ini bertujuan untuk memastikan ketersediaan layanan medis
yang memadai bagi para peserta, termasuk pengalokasian tenaga kesehatan dan
penyediaan infrastruktur kesehatan yang dibutuhkan.
Perawatan Pengobatan Pasien HIV AIDS
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP).
Pemeriksaan HIV di fasilitas layanan kesehatan yang telah terintegrasi menjadi
bagian dari standar pelayanan minimal oleh Kementerian Kesehatan, bertujuan untuk
memudahkan deteksi dini kasus HIV. Ini diharapkan dapat meningkatkan akses
Perlindungan Hukum bagi Orang Dengan HIV/AIDS dalam Skema Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN): Studi Analisis Implementasi UU No 24 Tahun 2011 tentang BPJS Kesehatan
Syntax Idea, Vol. 6, No. 06, Juni 2024 2613
terhadap perawatan dan pengobatan yang adekuat, sehingga dapat mengurangi
kebutuhan perawatan di rumah sakit dan menurunkan tingkat kematian (Juwita, 2019).
Rujukan untuk pemeriksaan HIV di fasilitas kesehatan dilaksanakan melalui dua
pendekatan: Konseling dan Tes HIV (KTS) dan Konseling dan Tes HIV Perorangan
(KTIP). Bagi peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang berisiko, mereka dapat
mendatangi klinik untuk mengikuti sesi konseling (KTS) dan kemudian menjalani tes
HIV. Meskipun saat ini tes HIV tidak ditanggung oleh BPJS Kesehatan, sebagian besar
layanan KTS tetap gratis dengan reagen dan biaya operasionalnya ditanggung oleh
pemerintah atau pihak swasta (Juwita, 2019)
Tes HIV yang diinisiasi oleh dokter atau petugas kesehatan berdasarkan gejala
yang menunjukkan kemungkinan infeksi HIV, dikenal sebagai KTHIV, ditanggung oleh
BPJS Kesehatan. Jika tes tersebut dilaksanakan di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama
(FKTP), maka biaya tes akan termasuk dalam paket kapitasi yang berkaitan dengan
FKTP tersebut (Juwita, 2019)
Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan (FKTL).
Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL) dapat diakses oleh
peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang membutuhkan pelayanan kesehatan
spesialistik atau lanjutan dengan syarat mendapatkan rujukan dari Fasilitas Kesehatan
Tingkat Pertama (FKTP). Sistem rujukan ini diatur sesuai dengan peraturan JKN yang
berlaku, dimana FKTP perlu merujuk pasien ke FKRTL terdekat jika dibutuhkan
pelayanan kesehatan tingkat lanjut (Juwita, 2019).
Untuk pasien yang menjalani terapi Antiretroviral (ARV) atau terdaftar dalam
perawatan HIV di FKRTL dan membutuhkan ARV secara rutin, tidak diwajibkan
membawa surat rujukan dari FKTP. Ini berlaku jika dokter spesialis atau subspesialis
(dokter CST) telah memberikan surat keterangan yang menyatakan bahwa pasien masih
memerlukan perawatan di FKRTL tersebut. Surat keterangan ini hanya berlaku untuk
satu kali kunjungan, dan setiap kunjungan berikutnya memerlukan surat keterangan
baru (surat DPJP) yang dikeluarkan oleh dokter, menentukan tanggal kunjungan
selanjutnya. Dengan surat DPJP, pasien dapat langsung mendatangi FKRTL tanpa harus
ke FKTP terlebih dahulu (Juwita, 2019)
Pembiayaan kasus HIV/AIDS dan Infeksi Menular Seksual (IMS) untuk layanan
rawat jalan di fasilitas kesehatan lanjutan sudah termasuk dalam tarif Indonesia Case
Based Groups (INA CBG), yang merupakan tarif paket termasuk obat. Obat program
(ARV) disediakan untuk mendukung pembiayaan dan pelayanan kesehatan di rumah
sakit dan tidak dihitung dalam penentuan tarif INA CBGs (Juwita, 2019).
Hukum Perlindungan Konsumen
Hak Konsumen dalam Program Jaminan Kesehtan.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
merupakan sebuah instrumen hukum yang dirancang untuk memberi perlindungan
kepada pasien sebagai konsumen. Dalam UU ini, pengertian konsumen diberikan dalam
Sandi Januar Pribadi
2614 Syntax Idea, Vol. 6, No. 06, Juni 2024
Pasal 1 ayat (1), yang mendefinisikan konsumen sebagai individu yang menggunakan
barang dan/atau jasa yang disediakan oleh masyarakat, untuk kegunaan pribadi,
keluarga, atau pihak lain termasuk makhluk hidup lain, tanpa tujuan untuk dijual
kembali. Oleh karena itu, UU Perlindungan Konsumen mengakui hak-hak konsumen
akhir dalam transaksi barang dan jasa (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, 2001).
Berdasarkan Pasal 4 ayat (2) UU Perlindungan Konsumen, salah satu hak
fundamental konsumen adalah kemampuan untuk memilih jasa yang diinginkan. Ini
termasuk hak pasien, sebagai konsumen, untuk memilih layanan kesehatan dan medis
sesuai dengan kebutuhan mereka. Namun, terdapat beberapa situasi dimana hak ini
tidak dapat sepenuhnya dijalankan, seperti dalam keadaan darurat medis yang
membutuhkan tindakan segera untuk menyelamatkan nyawa, sehingga pilihan pasien
terbatas pada intervensi cito dan life saving. Pasien yang terdaftar dalam Program
Jaminan Kesehatan Nasional juga harus mengikuti protokol rujukan yang ditetapkan,
yang membatasi pilihan langsung mereka terhadap penyedia layanan kesehatan.
Demikian pula, pasien yang menggunakan asuransi kesehatan swasta terikat pada
ketentuan polis asuransi mereka, yang mungkin membatasi pilihan penyedia layanan.
Keterbatasan ini juga berlaku bagi pasien di area dengan fasilitas kesehatan yang
terbatas dan bagi mereka yang memiliki keterbatasan keuangan, yang masing-masing
mempengaruhi kemampuan mereka untuk memilih layanan kesehatan dan medis
(Prameswari & Andrianto, 2021).
Tanggung Jawab Penyedia Layanan Kesehatan
BPJS pada dasarnya mempunyai tanggung jawab kepada konsumen selaku peserta
BPJS Kesehatan yaitu memberikan informasi yang dibutuhkan oleh peserta mencakup
pelayanan, dan hak-hak apa saja yang diperoleh peserta BPJS Kesehatan, maka peserta
dapat melaporkan tindakan tesebut kepada BPJS Kesehatan dan menindaklanjutinya.
Hal tersebut seperti yang disebutkan dalam Undang-Undang No 24 Tahun 2011 tentang
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Pasal 10 huruf g dan Pasal 13 huruf e dan f.
Selain itu juga diatur dalam Pasal 45 ayat (1) dan ayat (3), Peraturan Presiden No 19
Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden No 12 Tahun 2013
tentang Jaminan Kesehatan yang berbunyi: “(1) Dalam hal Peserta tidak puas terhadap
pelayan Jaminan Kesehatan yang diberikan oleh Fasilitas Kesehatan yang bekerja sama
dengan BPJS Kesehatan, peserta dapat menyampaikan pengaduan kepada Fasilats
Kesehatan dan/atau BPJS Kesehatan. Penyampaian pengaduan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) harus memperoleh penanganan yang memadai dan dalam
waktu yang singkat serta diberikan umpan balik kepada pihak yang menyampaikan”
(Kereh, 2019)
Pengaduan dan Penyelesaian Sengketa dengan Konsumen
Rumah sakit yang dianggap gagal memenuhi harapan pasien untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan yang prima, penyembuhan dan pemulihan kesehatannya, padahal
pasien telah memenuhi seluruh kewajibannya termasuk membayar biaya penyembuhan
Perlindungan Hukum bagi Orang Dengan HIV/AIDS dalam Skema Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN): Studi Analisis Implementasi UU No 24 Tahun 2011 tentang BPJS Kesehatan
Syntax Idea, Vol. 6, No. 06, Juni 2024 2615
atau iuran dan pemulihan kesehatan mereka selama mereka berobat dan atau dirawat di
rumah sakit tersebut akibatnya terjadilah wanprestasi yang timbul akibat tidak
terpenuhinya hak dari peserta BPJS. Pertanggungjawaban rumah sakit dalam hukum
keperdataan, meliputi pertanggungjawaban dalam hal wanprestasi sebagai tanggung
jawab kontraktual.
Menurut Pasal 46 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit,
menyebutkan tang "Lex Et Societatis," vol. VII, no. 4 (Apr. 2019).gung jawab hukum
rumah sakit adalah rumah sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua
kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di
Rumah Sakit (Kereh, 2019).
KESIMPULAN
BPJS Kesehatan telah memberikan kemajuan signifikan dalam penyediaan
jaminan kesehatan bagi seluruh penduduk Indonesia, termasuk bagi orang dengan
HIV/AIDS, masih terdapat kesenjangan dalam perlindungan hukum dan akses layanan
yang memadai. Program ini telah membantu banyak individu mendapatkan layanan
kesehatan yang sebelumnya sulit diakses, namun tantangan masih ada, terutama dalam
hal implementasi di lapangan dan kesenjangan dalam pengetahuan serta sikap petugas
kesehatan terhadap kelompok rentan.
Stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan HIV/AIDS masih menjadi
hambatan utama dalam implementasi perlindungan hukum yang efektif. Meskipun
regulasi dan kebijakan telah dirancang untuk melindungi hak asasi manusia dan
menyediakan akses universal ke layanan kesehatan, realitas di lapangan sering kali
berbeda. Stigma sosial dan diskriminasi tidak hanya berasal dari masyarakat umum
tetapi juga dari dalam sistem kesehatan itu sendiri. Hal ini mengakibatkan penolakan
layanan, perlakuan yang tidak adil, dan pelanggaran privasi yang secara signifikan
mengurangi efektivitas program kesehatan publik.
Selain itu, kurangnya pemahaman tentang hak-hak hukum di kalangan petugas
kesehatan juga menjadi tantangan signifikan. Tanpa pemahaman yang memadai
mengenai hak-hak asasi dan perlindungan hukum, petugas kesehatan dapat secara tidak
sengaja melanggar hak-hak pasien. Pelatihan dan edukasi yang lebih komprehensif bagi
petugas kesehatan mengenai hak asasi manusia dan prinsip non-diskriminasi sangat
diperlukan untuk mengatasi tantangan ini dan memastikan bahwa layanan kesehatan
yang diberikan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
Penelitian ini juga menyoroti pentingnya penguatan regulasi dan pengawasan
dalam sistem BPJS Kesehatan. Regulasi yang ada perlu diimplementasikan dengan
lebih efektif dan diawasi secara ketat untuk memastikan bahwa hak-hak pasien
dilindungi dengan baik. Hal ini mencakup pengembangan mekanisme pengaduan yang
efektif dan transparan serta pemantauan yang kontinu terhadap pelaksanaan regulasi di
lapangan. Pengawasan yang lebih ketat dan penerapan sanksi terhadap pelanggaran
akan membantu meningkatkan kepercayaan publik terhadap sistem jaminan kesehatan
nasional.
Sandi Januar Pribadi
2616 Syntax Idea, Vol. 6, No. 06, Juni 2024
Terakhir, advokasi untuk mengurangi stigma dan diskriminasi harus terus
dilakukan. Melalui kampanye kesadaran publik dan program-program edukasi,
masyarakat dapat diberdayakan untuk lebih memahami dan menerima orang dengan
HIV/AIDS tanpa prasangka. Langkah-langkah ini tidak hanya akan membantu
mengurangi stigma tetapi juga meningkatkan akses kelompok rentan terhadap layanan
kesehatan yang mereka butuhkan. Dengan demikian, BPJS Kesehatan dapat lebih
efektif dalam menjalankan misinya untuk menyediakan layanan kesehatan yang inklusif
dan adil bagi seluruh masyarakat Indonesia.
BIBLIOGRAFI
cedaw, U. (1979). Convention On The Elimination Of All Forms Of Discrimination
Against Women. Retrieved April, 20, 2006.
El-Muhtaj, Majda, Arinanto, Satya, & Kasim, Ifdhal. (2008). Dimensi-Dimensi Ham:
Mengurai Hak Ekonomi, Sosial, Dan Budaya. (No Title).
Hidayat, Rizki Imam, Busro, Achmad, & Hendrawati, Dewi. (2016). Wanprestasi
Dalam Pelaksanaan Jaminan Sosial Yang Diselenggarakan Oleh Bpjs Di Rumah
Sakit Umum Daerah (Studi Kasus Di Rsud Cibinong). Diponegoro Law Journal,
5(3), 111.
Indonesia, Republik. (2002). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Sekretariat Jenderal Mpr Ri.
Indonesia, Republik. (2009). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun
2009 Tentang Kesehatan. Jakarta Republik Indones.
Indonesia, Yayasan Lembaga Konsumen. (2001). Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Yayasan Tsb.
Juwita, Asma. (2019). Analisis Keputusan Masyarakat Terhadap Kebijakan Imunisasi
Vaksin Measles Rubella (Mr) Di Kota Pekanbaru. Universitas Islam Negeri
Sultan Syarif Kasim Riau.
Kambu, Wari Martha. (2021). Tinjauan Yuridis Tentang Hak Asasi Manusia
Berdasarkan Pasal 28d Ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945. Lex Et Societatis,
9(1).
Kereh, Yosua. (2019). Tinjauan Hukum Tentang Kejahatan Perang Dalam Konflik
Bersenjata Menurut Hukum Internasional. Lex Et Societatis, 7(4).
Ningtyas, Dwi Aprilia. (2015). Pengaruh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004
Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional Terhadap Kebijakan Mutu Pelayanan
Kesehatan Di Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (Fkrtl). Unika
Soegijapranata.
Novekawati, Novekawati. (2019). Hukum Kesehatan. Sai Wawai Publishing.
Organization, World Health. (2018). Report Of The Informal Consultation On Stopping
Discrimination And Promotion Inclusion Of Persons Affected By Leprosy, New
Delhi, 14-16 Nov 2017. World Health Organization. Regional Office For South-
East Asia.
Prameswari, Thalia, & Andrianto, Wahyu. (2021). Pasien: Konsumen Yang Unik.
Jurnal Hukum Kesehatan Indonesia, 1(02), 132139.
Qamaria, Rezki Suci. (2021). Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Beberapa Aspek
Terkait Hak Asasi Manusia, 27.
Santoso, Urip. (2014). Rekonstruksi Sistem Jaminan Sosial Nasional Bidang Kesehatan
Berbasis Nilai Kesejahteraan. Jurnal Pembaharuan Hukum, 1(3), 360369.
Perlindungan Hukum bagi Orang Dengan HIV/AIDS dalam Skema Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN): Studi Analisis Implementasi UU No 24 Tahun 2011 tentang BPJS Kesehatan
Syntax Idea, Vol. 6, No. 06, Juni 2024 2617
Ssenyonjo, Manisuli. (2017). The Influence Of The International Covenant On
Economic, Social And Cultural Rights In Africa. Netherlands International Law
Review, 64, 259289.
Women, U. N. (1979). Convention On The Elimination Of All Forms Of Discrimination
Against Women (Cedaw). Un Women.
Copyright holder:
Sandi Januar Pribadi (2024)
First publication right:
Syntax Idea
This article is licensed under: