How to cite:
Iman Mukhroman, Ikhsan Ahmad, Rangga Galura Gumelar (2024) Pembentukan Opini Publik pada
Pemilihan Umum 2024 (Studi Kasus Opini Publik Survey Elektabilitas Capres-Cawapres 2024
Pasca Debat Pertama), (06) 06, https://doi.org/10.36418/syntax-idea.v3i6.1227
E-ISSN:
2684-883X
Published by:
Ridwan Institute
PEMBENTUKAN OPINI PUBLIK PADA PEMILIHAN UMUM 2024 (STUDI KASUS
OPINI PUBLIK SURVEY ELEKTABILITAS CAPRES-CAWAPRES 2024 PASCA
DEBAT PERTAMA)
Iman Mukhroman, Ikhsan Ahmad, Rangga Galura Gumelar
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Indonesia
Email: [email protected], [email protected], rangga.gumelar.untirta.ac.id
Abstrak
Lazimnya pesta demokrasi rakyat lima tahunan, Pemilihan Umum 2024 di Indonesia selalu
memunculkan ketegangan politik seiring kampanye calon legislatif dan Presiden-Wakil
Presiden, terlebih PEMILU 2024 merupakan Pemilu serentak pertama yang memilih calon
legislatif dan Capres-Cawapres bersamaan. Survey -survey yang dilakukan oleh Lembaga
survey yang dideminasikan melalui media massa utamanya media sosial turut menyertai
pembentukan Opini Publik terkait Partai Politik dan elit Partai yang berkontestasi pada
PEMILU 2024, khususnya terkait dengan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden untuk 5
tahun yang akan datang. Pasangan Prabowo-Gibran, memimpin dalam survei elektabilitas
dari mayoritas Lembaga survey, meskipunpada debat pertama pada 12 Desember 2023
memicu kontroversi di media sosial. Dalam debat perdana yang ditayangkan secara langsung,
dapat dikatakan bahwa Anies Baswedan memiliki keunggulan dalam penyampaian gagasan
terkait visi-misinya menjadi Presiden, disusul oleh Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo,
tetapi dalam hal opini yang mengemuka di media sosial kecenderungan Prabowo Subianto
yang sedikit unggul dibanding 2 calon lainya. Terdapat kecenderungan calon yang bisa
menguasai pesan-pesan melalui media sosial, dialah yang akan kemudian bisa membentuk
opini publik yang positif baginya untuk bisa memenangkan kontestasi menjadi Presiden dan
Wakil Presiden pada PEMILU 2024.
.
Kata kunci: Pembentukan, Opini Publik, Media Sosial, Demokrasi Digital, Pemilu 2024
Abstract
Usually a five-year people's democracy party, the 2024 General Election in Indonesia always
raises political tensions along with the campaigns of legislative candidates and President-
Vice President, especially the 2024 ELECTION is the first simultaneous election to choose
legislative candidates and Vice-Presidential Candidates simultaneously. Surveys conducted
by pollsters nominated through mass media, especially social media, also accompany the
formation of Public Opinion related to Political Parties and Party elites contesting in the
2024 ELECTION, especially related to the Presidential and Vice Presidential Elections for
the next 5 years. The Prabowo-Gibran pair, leading in the electability survey from the
majority of pollsters, despite the first debate on December 12, 2023, sparking controversy on
social media. In the inaugural debate which was broadcast live, it could be said that Anies
Baswedan had the advantage in conveying ideas related to his vision and mission to become
JOURNAL SYNTAX IDEA
pISSN: 2723-4339 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 6, No. 06, Juni 2024
Iman Mukhroman, Ikhsan Ahmad, Rangga Galura Gumelar
2472 Syntax Idea, Vol. 6, No. 06, Juni 2024
President, followed by Prabowo Subianto and Ganjar Pranowo, but in terms of opinions that
surfaced on social media, Prabowo Subianto's tendency was slightly superior to the other 2
candidates. There is a tendency for candidates to master messages through social media, he is
the one who will then be able to form positive public opinion for him to be able to win the
contestation to become President and Vice President in the 2024 ELECTION.
Keywords: Formation, Public Opinion, Social Media, Digital Democracy, Elections 2024
PENDAHULUAN
Proses demokratisasi saat ini tidak bisa dilepaskan dari perkembangan dan kemajuan
teknologi komunikasi yang membuka arus informasi tak terbendung dengan konsekuensi
setiap orang dapat pula memberikan respon aspirasi dan pendapatnya secara bebas. Dalam era
digital seluruh situs-situs media sosial dapat diakses dan menggunakannya untuk membentuk
opini public sebagai platform utama. Persoalannya adalah bagaimana kualitas proses
demokratisasi dalam ranah digital dalam pembentukan opini publik karena ada tiga
persyaratan kompetensi kewarganegaraan dalam negara demokratis untuk dapat
mengemukanan pendapatnya, yaitu sebagai berikut : (1) pengetahuan yang cukup (civic
knowledge); (2) keterampilan kewarganegaraan (civic skills); dan (3) sikap kewarganegaraan
(civic disposition) yang baik (Roza, 2020).
Lanskap informasi mengalami perubahan secara signifikan karena interaksi
pembentukan opini publik oleh masing-masing individu ketika berbagi pendapat, berdiskusi,
dan menyuarakan isu-isu public melalui platform digityal seperti Facebook, Twitter,
Instagram dan lain sebagainya dapat menjangkau ribuan bahkan jutaan orang dengan hanya
beberapa kali klik yang menyebabkan terdengarnya suara masyarakat yang sebelumnya tidak
terdengar, menjembatani kesenjangan antara pihak pemerintah dan rakyat. Hal ini
memungkinkan adanya potensi mempengaruhi kebijakan, mengatasi masalah dan
mengevaluasi kebijakan yang diambil pemerintah (Rahmawati, 2016).
Media sosial juga memungkinkan interaksi langsung antara wakil rakyat dan konstituen,
memperkuat hubungan antara pemimpin politik dan rakyat yang mereka layani. Kendati
demikian pembentukan opini publik dalam ranah demokrasi digital memiliki tantangan dan
risiko. Informasi yang tersebar di media sosial tidak selalu diverifikasi dan dapat menjadi
sumber penyebaran berita palsu atau informasi yang tidak valid. Selain itu, adanya filter
bubble, di mana individu hanya terpapar pada opini yang sejalan dengan pandangan mereka,
dapat meningkatkan polarisasi opini dalam masyarakat. Artinya, media sosial dapat menjadi
rimba raya dan tidak ada verifikasi yang secara langsung dapat memfilter kebenaran
informasinya (Anshari, 2013).
Dalam berbagai penelitian yang sudah dilakukan terkait opini publik di ranah digital
dalam kerangka memahami demokrasi, ada latar kondisi dan sejumlah faktor yang
menyebabkan seseorang atau kelompok individu begitu aktif menyuarakan pandangannya di
media sosial, hal ini biasanya dipengaruhi oleh faktor gender, pendidikan dan usia (Adela &
Truna, 2017). Pembentukan opini publik sebagai partisipasi politik bisa bersifat individual
atau kolektif, teroganisasi atau spontan, masif atau sporadis, secara damai atau dengan
kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak efektif (Liando, 2017).
Media sosial telah menjadi ruang publik bagi siapapun untuk membangun opini publik
terutama dalam kerangka memberikan pengaruh politik yang paling efektif, murah, dan
massif tanpa terpengaruh oleh letak geografis (Ratnamulyani & Maksudi, 2018). Media-
media tradisional mulai ditinggalkan oleh banyak individu dalam masyarakat karena media
sosial dapat memberikan pengaruh langsung dan interaksi langsung secara aktif untuk
Pembentukan Opini Publik pada Pemilihan Umum 2024 (Studi Kasus Opini Publik Survey
Elektabilitas Capres-Cawapres 2024 Pasca Debat Pertama)
Syntax Idea, Vol. 6, No. 06, Juni 2024 2473
mengekspresikan pendapat secara lebih terbuka dan bebas. Partisipasi memberikan opini
public dalam media sosial pada umumnya dapat dikaegorikan ke dalam tiga bentuk opini,
yaitu : (1) terkait kebijakan, dimana media sosial digunakan untuk mendukung atau
menentang kebijakan; (2) memengaruhi proses kebijakan; dan (3) berisi solidaritas atau petisi
publik berupa kritik sosial atau penggalangan solidaritas sosial (Andriadi, 2016).
Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2024 di Indonesia menandai perhelatan demokrasi
yang dinanti-nanti oleh seluruh lapisan masyarakat. Dengan tanggal pencoblosan yang
semakin mendekat, dinamika politik semakin memanas, khususnya terkait dengan Pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) yang akan dilaksanakan pada 14 Februari 2024. Di
tengah atmosfer demokrasi yang berkobar, peran media massa dan opini publik menjadi
elemen kunci yang tidak bisa diabaikan, mengingat peran strategisnya dalam membentuk
pandangan masyarakat terhadap calon pemimpin negara.
Selama beberapa bulan terakhir, kampanye calon legislatif dan presiden telah menjadi
sorotan utama dalam media perpolitikan Indonesia, baik melalui platform online maupun
konvensional. Saat ini, topik yang mendominasi percakapan dan perdebatan masyarakat
adalah calon presiden dan wakil presiden yang akan bertarung dalam Pilpres 2024. Pasangan
calon seperti Anies Baswedan Muhaimin Iskandar (1), Prabowo Subianto Gibran
Rakabuming (2), dan Ganjar Pranowo Mahfud MD (3) terus berusaha membangun citra
positif mereka melalui partisipasi aktif dalam berbagai acara, terutama melalui debat jilid 1
yang diselenggarakan pada 12 Desember 2023 oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Pentingnya pemahaman terhadap elektabilitas masing-masing pasangan calon menjadi
kunci dalam menyusun strategi kampanye. Oleh karena itu, lembaga survei opini publik
seperti Lembaga Arus Survei Indonesia (ASI), Litbang Kompas, dan Poltracking Indonesia
melakukan berbagai studi untuk mengukur sejauh mana popularitas dan dukungan masyarakat
terhadap calon presiden dan wakil presiden. Hasil dari survei tersebut menjadi sumber
informasi vital bagi Humas/Tim Media Pasangan Capres-Cawapres untuk merancang strategi
yang tepat guna menjawab dinamika opini publik yang terus berubah.
Dalam hal inilah peran Humas/Tim Media Pasangan Capres-Cawapres menjadi sangat
signifikan. Mereka dituntut untuk mengelola citra, menyampaikan pesan yang efektif, dan
menjawab tantangan-tantangan yang muncul dari hasil survei dan debat, dengan tujuan utama
untuk memenangkan hati dan dukungan masyarakat.
Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2024 di Indonesia menandai perhelatan demokrasi
yang dinanti-nanti oleh seluruh lapisan masyarakat. Dengan tanggal pencoblosan yang
semakin mendekat, dinamika politik semakin memanas, khususnya terkait dengan Pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) yang akan dilaksanakan pada 14 Februari 2024. Di
tengah atmosfer demokrasi yang berkobar, peran media massa dan opini publik menjadi
elemen kunci yang tidak bisa diabaikan, mengingat peran strategisnya dalam membentuk
pandangan masyarakat terhadap calon pemimpin negara.
Selama beberapa bulan terakhir, kampanye calon legislatif dan presiden telah menjadi
sorotan utama dalam media perpolitikan Indonesia, baik melalui platform online maupun
konvensional. Saat ini, topik yang mendominasi percakapan dan perdebatan masyarakat
adalah calon presiden dan wakil presiden yang akan bertarung dalam Pilpres 2024. Pasangan
calon seperti Anies Baswedan Muhaimin Iskandar (1), Prabowo Subianto Gibran
Rakabuming (2), dan Ganjar Pranowo Mahfud MD (3) terus berusaha membangun citra
positif mereka melalui partisipasi aktif dalam berbagai acara, terutama melalui debat jilid 1
yang diselenggarakan pada 12 Desember 2023 oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Pentingnya pemahaman terhadap elektabilitas masing-masing pasangan calon menjadi
kunci dalam menyusun strategi kampanye. Oleh karena itu, lembaga survei opini publik
Iman Mukhroman, Ikhsan Ahmad, Rangga Galura Gumelar
2474 Syntax Idea, Vol. 6, No. 06, Juni 2024
seperti Lembaga Arus Survei Indonesia (ASI), Litbang Kompas, dan Poltracking Indonesia
melakukan berbagai studi untuk mengukur sejauh mana popularitas dan dukungan masyarakat
terhadap calon presiden dan wakil presiden. Hasil dari survei tersebut menjadi sumber
informasi vital bagi Humas/Tim Media Pasangan Capres-Cawapres untuk merancang strategi
yang tepat guna menjawab dinamika opini publik yang terus berubah.
Dalam hal inilah peran Humas/Tim Media Pasangan Capres-Cawapres menjadi sangat
signifikan. Mereka dituntut untuk melek media social dalam mengelola citra, menyampaikan
pesan yang efektif, dan menjawab tantangan-tantangan yang muncul dari hasil survei dan
debat, dengan tujuan utama untuk memenangkan hati dan dukungan masyarakat. Dalam
konteks Pemilihan Umum (PEMILU) 2024 inilah, media sosial telah menjadi media bagi
publik untuk berpartisipasi secara aktif dalam proses memberikan pendapat untuk beragam
kepentingan yang diperlukan dalam menyuarakan kepentingan, mendiskusikan masalah
publik, dan berorganisasi untuk mempengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah. Berangkat
dari pemahaman latar belakang masalah yang diangkat, maka rumusan masalah yang dibuat
dalam kajian ini adalah “Bagaimana Pembentukan Opini Publik pada Pemilu 2024, apa
dampak penggunaan media sosial terhadap akses informasi dan pemberdayaan individu dalam
keterlibatan politik”
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan analisis
deskriptif. Prosedur ilmiah yang digunakan untuk menjawab rumusan masalah yang dibuat
dalam penelitian ini, penulis tidak menggunakan prosedur pengukuran dan statistik, tetapi
menggunakan prosedur wawancara dengan berbagai sumber, studi pustaka dari berbagai
sumber yang relevan dan terpilih. Data riset ini berupa hasil survei Lembaga survey pasca
debat pertama Pilpres 2024 yang dirilis di media sosial dan menjadi berita kontroversial serta
menegaskan kepada audiens pemilih pemula apakah ada signifikansi dukungan mereka
terhadap salah satu calon presiden atau wakil presiden.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Opini Publik terkait Hasil Survei Capres-Cawapres 2024
Tahun 2024 menjadi tahun pesta demokrasi seluruh masyarakat Indonesia dengan
diselenggarakannya Pemilihan Umum pada 14 Februari 2024 mendatang. Dengan kurun
waktu kurang dari beberapa bulan, kampanye para calon legislatif dan Presiden semakin
gencar mewarnai media perpolitikan Indonesia yang disebarluaskan baik secara online
maupun konvensional. Hal tersebut menjadi topik yang hangat didiskusikan hampir seluruh
rakyat karena informasi-informasi yang dibagikan sangat menarik perhatian, salah satunya
adalah topik mengenai calon presiden dan calon wakil presiden 2024.
Adapun calon presiden dan calon wakil presiden Indonesia yang akan maju pada 2024
diantaranya Anies Baswedan Muhaimin Iskandar sebagai pasangan nomor urut 1, Prabowo
Subianto Gibran Rakabuming sebagai pasangan nomor urut 2, serta Ganjar Pranowo
Mahfud MD sebagai nomor urut 3. Seluruh calon telah beberapa kali terlibat dalam berbagai
acara sebagai upaya membangun citra positif, serta meningkatkan popularitas dan elektabilitas
masing-masing, misalnya saja acara yang paling berkesan seperti bicara gagasan atau debat
jilid 1.
Berdasarkan hasil survei khusus yang dilaksanakan oleh Lembaga Arus Survei
Indonesia (ASI) di Pulau Jawa pada 1.200 responden dalam rentang 28 November hingga 5
Pembentukan Opini Publik pada Pemilihan Umum 2024 (Studi Kasus Opini Publik Survey
Elektabilitas Capres-Cawapres 2024 Pasca Debat Pertama)
Syntax Idea, Vol. 6, No. 06, Juni 2024 2475
Desember 2023, diperoleh hasil bahwa pasangan nomor urut 2, Prabowo Subianto Gibran
Rakabuming, meraih suara tertinggi dengan elektabilitas sebesar 34,2%. Bersaing tipis dengan
pasangan nomor urut 3, Ganjar Pranowo Mahfud MD, yang meraih elektabilitas sebesar
30,7%. Selanjutnya suara ketiga ditempati oleh pasangan nomor urut 1, Anies Baswedan
Muhaimin Iskandar, dengan elektabilitas sebesar 26,3%. Sementara terdapat 8,7% pemilih
yang menjawab tidak tahu atau tidak menjawab (CNBC Indonesia, 2023).
Elektabilitas merupakan tingkat keterpilihan yang diselaraskan pada kriteria pilihan
(Suryana, 2013). Dalam hal ini survei tersebut memaparkan bagaimana para responden
memberikan suara pada Pilpres 2024 dikarenakan adanya faktor program kerja dengan
persentase 30,7%, memiliki karakter jujur dan dapat dipercaya dengan persentase 19,5%,
memiliki pengalaman kerja di pemerintah dengan persentase 10,6%, pribadi yang cerdas
dengan persentase 8,0%, serta peduli kepada rakyat dengan persentase 7,9%. Artinya
elektabilitas ketiga pasangan calon capres dan cawapres menurut responden di Pulau Jawa
pada survei tersebut disesuaikan dengan faktor-faktor demikian.
Survei lain pun diselenggarakan oleh Litbang Kompas yang disebarkan pada 1.354
responden dalam rentang pelaksanaan mulai dari 29 November hingga 4 Desember 2023.
Survei tersebut turut mencatat bahwa suara tertinggi elektabilitas ditempati oleh Prabowo
Gibran dengan persentase sebesar 39,3%. Namun terdapat perbedaan pada posisi kedua antara
survei ini dengan survey sebelumnya, yaitu suara kedua diraih oleh Anies Muhaimin
sebesar 16,7%. Kemudian urutan terakhir ditempati oleh Ganjar Mahfud dengan
elektabilitas 15,3% (CNN Indonesia, 2023).
Survei elektabilitas para capres dan cawapres juga dilakukan oleh Poltracking Indonesia
dalam periode November sampai dengan 5 Desember 2023 yang melibatkan responden usia
17 tahun ke atas atau sudah menikah yang memiliki hak pilih sebanyak 1.220 melalui
wawancara langsung. Dalam survei ini pun diperoleh bahwa Prabowo Gibran menjadi
pasangan calon dengan elektabilitas tertinggi yaitu sebesar 45,2%. Ganjar Mahfud di posisi
kedua dengan elektabilitas 27,3%. Serta posisi terakhir diduduki oleh Anies Muhaimin
dengan elektabilitas 23,1%. Adapun sebanyak 4,4% responden menjawab tidak tahu dan tidak
menjawab (Paat, 2023).
Merujuk pada beberapa survei tersebut, maka dapat dikatakan bahwa pasangan calon
yang memiliki elektabilitas tertinggi adalah pasangan nomor urut 2, yaitu Prabowo Subianto-
Gibran Rakabuming. Hal ini dikarenakan Prabowo dan Gibran juga memiliki kepopularitasan
yang tinggi. Karena untuk meningkatkan suatu elektabilitas, objek elektabilitas tidak hanya
harus memenuhi kriteria keterpilihan saja, tetapi juga popular (Supit et al., 2022).
Relevansi Hasil Survei Capres-Cawapres 2024 dengan Hasil Debat Calon Presiden Jilid
1
Sebagai salah satu upaya dalam meningkatkan elektabilitas, ketiga pasangan calon
mengikuti rangkaian acara debat yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Acara debat calon presiden 2024 jilid 1 yang diselenggarakan pada 12 Desember 2023 ini
mengangkat beberapa topik mengenai HAM, pemberantasan korupsi, hukum, pemerintahan,
kerukunan warga, serta penguatan demokrasi.
Pada debat jilid ke-1, ketiga calon presiden yang terdiri atas Anies Baswedan, Prabowo
Subianto, dan Ganjar Pranowo mengikuti enam segmen yang telah ditentukan. Adapun
segmen pertama memberikan kesempatan bagi ketiga capres untuk memaparkan visi misi
serta program kerja yang akan dilakukan. Segmen kedua hingga ketiga mengkaji lebih
spesifik terkait visi misi serta program kerja yang telah dipaparkan pada segmen sebelumnya
dengan memberikan pertanyaan secara acak kepada ketiga capres yang telah ditentukan oleh
Iman Mukhroman, Ikhsan Ahmad, Rangga Galura Gumelar
2476 Syntax Idea, Vol. 6, No. 06, Juni 2024
para panelis, kemudian dijawab oleh ketiga capres dengan waktu tertentu. Segmen keempat
hingga kelima merupakan segmen dimana ketiga capres saling bertanya dan menyanggah satu
sama lain, baik terkait visi misi, rencana program kerja, pengalaman bekerja di pemerintahan,
hingga isu-isu terkini yang menjadi urgensi. Terakhir pada segmen keenam, ketiga capres
menyampaikan kesimpulan dari segmen-segmen yang telah dilalui dan mengulang pernyataan
program-program kerja yang akan dilakukan secara tegas.
Merujuk pada mayoritas hasil survei elektabilitas capres cawapres pada periode
November Desember 2023, Prabowo Subianto Gibran Rakabuming sebagai pasangan
nomor urut 2 menempati posisi elektabilitas tertinggi. Sementara pasangan nomor urut 1 dan
3 memiliki perbedaan elektabilitas yang tipis atau bersaing sengit untuk menduduki posisi
kedua. Dimana mayoritas hasil survei menunjukkan Ganjar Pranowo Mahfud MD
menempati posisi elektabilitas kedua, dan Anies Baswedan Muhaimin menempati posisi
terakhir.
Acara debat jilid ke-1 menjadi trending topic di berbagai media sosial yang
menciptakan pro kontra di kalangan masyarakat. Hal ini dikarenakan hasil elektabilitas
paslon 2024 yang telah diperoleh dari beberapa survei sebelumnya menjadi bahan
perbandingan dengan hasil debat jilid 1 oleh masyarakat.
Menurut laporan analisa dari Drone Emprit (dalam CNBC Indonesia, 2023) terhadap
kata kunci dalam media sosial X, Anies Baswedan berada di posisi tertinggi dengan
menguasai 44% perbincangan, disusul Prabowo Subianto berada di posisi kedua dengan
memperoleh 36% perbincangan, dan terakhir Ganjar Pranowo memperoleh perbincangan
sebanyak 20%. Lebih lanjut Drone Emprit memaparkan bagaimana sentimen publik pada
media sosial X menanggapi debat jilid 1. Dalam hal ini diperoleh data bahwa Anies
memperoleh sentimen positif sebesar 64%, sentimen negatif sebesar 27%, dan netral sebesar
9%. Prabowo memperoleh sentimen positif sebesar 48%, sentimen negatif sebesar 41%, dan
netral 11%. Terakhir Ganjar mendapatkan sentimen positif sebesar 64%, sentimen negatif
sebesar 23%, serta netral sebanyak 13%.
Berdasarkan hasil analisis tersebut, maka dapat diperoleh relevansi antara hasil survei
dengan hasil debat bahwa meskipun elektabilitas Prabowo mayoritas selalu berada di posisi
tertinggi, namun acara debat jilid 1 menghasilkan Anies sebagai capres yang dinilai paling
menguasai seluruh segmen pada debat atau share of voice tertinggi. Pasca debat jilid 1, Anies
Muhaimin pun memperoleh banyak pengakuan dan pujian dari masyarakat, baik mengenai
pemaparan visi misi, program kerja, hingga karakter Anies yang dinilai santai namun tegas,
serta cerdas.
Selain itu Prabowo justru menjadi capres dengan sentimen positif terendah
dibandingkan kedua capres lainnya setelah debat jilid 1 diselenggarakan. Namun hasil debat
tersebut belum sepenuhnya dapat mempengaruhi elektabilitas ketiga paslon pada survei
berikutnya. Hal ini dikarenakan masih terdapat lima acara debat yang belum diselenggarakan.
Dampak Penggunaan Media Sosial terkait Survei Capres-Cawapres 2024
Penulis menggunakan tiga teori utama dalam membahas media sosial dalam
pembentukan opini publik dalam konteks demokrasi digital adalah sebagai berikut :
1. Teori Pemrosesan Informasi (Information Processing Theory) menurut Robert M. Gagne
adalah proses pembelajaran individu untuk beradaptasi dengan keadaan yang selalu
berubah yang menonjolkan pada orientasi proses cara berpikir. Teori ini memandang
informasi adalah elemen kontekstual penting untuk memproses pengetahuan secara
internal kemudian menyimpannya dalam memori jangka pendek (short term memory) dan
jangka panjang (long term memory). Media sosial adalah tempat menginterpretasikan
informasi dengan mempertimbangkan faktor selektivitas, pengaruh sosial, dan bias
Pembentukan Opini Publik pada Pemilihan Umum 2024 (Studi Kasus Opini Publik Survey
Elektabilitas Capres-Cawapres 2024 Pasca Debat Pertama)
Syntax Idea, Vol. 6, No. 06, Juni 2024 2477
kognitif dalam pengambilan keputusan dan pembentukan opini publik. Teori ini
menjadikan pemrosesan informasi sebagai bagian dari teori belajar sibernetik, yakni
pengolahan informasi dengan melibatkan psikologi kognitif dalam sistem informasi
(Gagne, 1984).
2. Teori Efek Media (Media Effects Theory). Menurut Spark GG, ada tiga pendekatan untuk
melihat efek media yaitu : (1) efek pesan itu sendiri; (2) efek pesan terhadap perubahan
sikap; (3) efek terhadap khalayak (individu, kelompok, organisasi, masyarakat atau
bangsa). Teori ini berfokus pada dampak yang dimiliki media sosial terhadap individu dan
masyarakat secara luas. Teori ini mencakup konsep-konsep seperti framing, agenda setting,
dan spiral of silence, yang mempengaruhi cara individu memandang masalah dan bentuk
opini public (Sparks, 2006).
3. Teori Jaringan Sosial (Social Network Theory). Menurut Garanovetter, teori jaringan sosial
berperan sebagai sumber inovasi yang terkait dengan teori difusi inovasi. Teori ini
mengkaji peran jaringan sosial dalam pembentukan opini publik melalui media sosial.
Teori ini menekankan pentingnya interaksi antara individu, pengaruh yang dimiliki oleh
hubungan sosial, dan penyebaran informasi melalui jejaring sosial dalam membentuk pola
pikir dan opini public (Granovetter, 2018).
Dengan memanfaatkan ketiga teori ini, penulis mencoba memahami bagaimana media
sosial berperan dalam membentuk, mempengaruhi, dan memanipulasi opini publik dalam
konteks demokrasi digital. Selain itu, teori-teori ini juga berupaya mengidentifikasi tantangan
dan peluang yang ada dalam penggunaan media sosial sebagai alat komunikasi politik dan
partisipasi publik.
Media sosial telah menjadi platform digital masyarakat untuk mengakses informasi
dengan cepat dan mudah. Kemudahan mendapat informasi ini juga berdampak kepada
terbukanya ruang pembentukan opini publik yang lebih beragam dan luas dalam demokrasi
digital. Disisi lain, kondisi ini juga menyebabkan terjadinya disinformasi dan berita yang
belum tentu kebenarannya yang dapat mempengaruhi kualitas opini publik. Terlepas dari
apakah informasi atau berita yang disampaikan oleh masyarakat kepada publik benar atau
salah, terbentuknya partisipasi aktif masyarakat tidak sepenuhnya didasari oleh pemikiran
kritis, kecerdasan digital, dan keyakinan yang berdasarkan pada fakta. Contoh, polarisasi
opini yang disebabkan oleh algoritma dengan filter bubble (Davis, 2012), dimana informasi
yang tampil adalah pesan-pesan yang disesuaikan dengan kepentingan individu maupun
kelompok tertentu.
Terbentuknya berbagai isu, tanggapan dan terbentuknya sikap atas opini yang
disampaikan terjadi dalam frekuensi yang cepat dalam demokratisasi digital yang disebabkan
karena pertukaran informasi dalam waktu singkat. Namun kontrol atas kesalahan informasi
yang tersebar di media sosial seringkali mempengaruhi kualitas opini publik karena tidak
terverifikasi atau bersifat emosional, tersebar dengan cepat. Sementara itu, literasi digital
seringkali tertinggal di belakang, memendam pemikiran kritis dan keberagaman, oleh karena
itu untuk meningkatkan kualitas opini publik, perlu kesadaran akan pengaruh algoritma dan
upaya untuk memperluas perspektif yang diperoleh melalui media sosial.
Demokrasi digital adalah proses demokratisasi melalui internet atau yang disebut
cyberdemocracy, dimana internet menjadi sarana membangun pengaruh sosial dan politik
secara transformative (Hague & Loader, 1999). Pembentukan opini secara digital dipandang
sebagai jalan optimisme demokrasi karena dianggap dapat meningkatkan pencarian
informasi yang dapat mendukung perdebatan maupun persamaan pandangan yang
berdampak kepada meningkatnya partisipasi dalam pengambilan keputusan politik oleh
warga (Tsagarousianou, 1999). Namun harus diakui bahwa pembentukan opini di media
Iman Mukhroman, Ikhsan Ahmad, Rangga Galura Gumelar
2478 Syntax Idea, Vol. 6, No. 06, Juni 2024
sosial juga dapat dikatakan tidak demokratis karena saking bebasnya sehingga tanpa etika
dimana sumber informasinya berasal dari seluruh kategori dan levelitas.
Salah satu evolusi dari kemajuan demokratisasi adalah dinamika kebebasan berpendapat
dan mengemukakan pemikiran dan interaksinya baik dengan rezim kekuasaan maupun
dengan sesama masyarakat berkembang pesat melalui internet sehingga dinamika demokrasi
saat ini bertransformasi menjadi digital. Media sosial menjadi ruang dan model interaksi
warga negara yang telah membentuk karakter kewarganegaraan digital dengan eskalasi
konflik yang tinggi. Demokrasi digital menjadi gambaran demokrasi masa depan dan akan
semakin menguat karena kapasitas dan kekuatan membangun informasi yang menakjubkan
kendati persoalan-persoalan etika belum berkembang menyertai eksistensi demokrasi digital
secara ketat.
Luasnya akses informasi publik dari yang sebelumnya sulit untuk diakses, kini setiap
individu memiliki kesempatan untuk memperoleh informasi dan menyampaikan
pandangannya, berdiskusi dengan orang lain, berbagi isu untuk mempengaruhi proses
pengambilan kebijakan berdampak signifikan pada keterlibatan politik individu melalui media
sosial. Media sosial adalah sarana teknologi internet untuk merepresentasikan diri, berbagi,
berkomunikasi dan bekerjasama dengan pengguna lain (Mulawarman & Nurfitri, 2017).
Jumlah pengguna media sosial tergolong besar di Indonesia. Pada tahun 2021, persentase
jumlah pengguna aktif media sosial sebesar 61,8 persen dari total populasi penduduk dengan
rentang usia 13-65 tahun. Media sosial yang banyak digunakan antara lain Youtube 93,8
persen, WhatsApp 87,7 persen, Instagram 86,6 persen, Facebook 85,5 persen, dan Twitter
63,6 persen (Data Reportal, 2021) (Ardyati, Yulianti, & Luthviati, 2022). Dengan demikian,
media sosial sebagai sarana komunikasi memiliki pengaruh secara masif dengan memberikan
kontribusi dan feedback secara terbuka, baik untuk membagi informasi maupun memberi
respon dalam waktu yang cepat atas pelayanan administrasi kependudukan.
Dampak masif dari penggunaan media sosial untuk membentuk opini publik secara
jelas disampaikan oleh Howard & Hussain, (2013) dengan mengambil studi kasus yang
terjadi di Mesir 2011, dimana perlawanan kepada rezim korup rezim Hosni Mubarak secara
gencar disampaikan melalui facebook yang akhirnya menjadi pesan yang membentuk
solidaritas diantara kelompok-kelompok masyarakat kritis secara massif turun ke jalan selama
18 hari lamanya tanpa pemberitaan media konvensional (Howard & Hussain, 2013).
Salah satu ciri yang menonjol dalam demokrasi digital adalah proses komunikasi dan
pengambilan keputusan oleh pejabat publik yang dapat berinteraksi secara langsung. Hal ini
menandakan praktek demokrasi langsung seperti ide demokrasi yang dicetuskan oleh Socrates
di Yunani namun secara sistemik yang berjalan adalah demokrasi tidak langsung. Hal ini turut
membuka ruang bagi pengambil kebijkan secara real-time mendengar, melihat dan
mempertimbangkan respon masyarakat. Media sosial telah menjadi sarana yang bersifat
timbal balik dalam penyebaran informasi dan kepentingan antara masyarakat dan para
pengambil kebijakan. Pada konteks ini, sebenarnya demokrasi digital lebih memiliki peluang
untuk membangun transparansi dan pertanggungjawaban serta akuntabilitas interaktif.
Tantangannya adalah bagaimana demokrasi digital dalam proses pembentukann opini
publiknya perlu memiliki filter yang dapat memastikan keberadaan informasi yang akurat
dan mengembangkan strategi komunikasi politik yang efektif dalam memanfaatkan media
sosial sebagai alat partisipasi politik.
Dalam banyak penelitian, hampir keseluruhannya menyimpulkan bahwa elit politik dan
pemangku kebijakan menjadikan media sosial sebagai salah satu saluran komunikasi politik
yang utama untuk menjangkau masyarakat, khususnya dari kalangan muda. Media sosial
sebagai saluran komunikasi politik yang dianggap efektif sebagai sarana mensosialisasikan
Pembentukan Opini Publik pada Pemilihan Umum 2024 (Studi Kasus Opini Publik Survey
Elektabilitas Capres-Cawapres 2024 Pasca Debat Pertama)
Syntax Idea, Vol. 6, No. 06, Juni 2024 2479
kepentingan publik dan mengenalkan berbagai gagasan untuk mempengaruhi pertimbangan
publik dan perilaku masyarakat melalui internet. Namun fungsi komunikasi yang diperankan
oleh media sosial mmesti diakui masih memiliki banyak kekurangan, diantaranya adalah
penciptaan ruang substansi suatu kebijakan belum memiliki bentuk, pola dan model yang
ideal karena seringkali perdebatan dalam media sosial mengarah kepada kemasan pencitraan,
artinya kendati demokrasi digital adalah proses demokratisasi yang didukung oleh kemajuan
teknologi komunikasi namun secara substansial informasi yang disampaikan seringkali
bersifat konvensional dalam gaya dan penyampaian informasinya, bahkan seringkali bersifat
satu arah dalam berbagai kasus bagaimana buzzer dari suatu kelompok melakukan blasting
informasi.
Tantangan mendasar dari pembentukan kualitas opini publik melalui media sosial dalam
demokrasi digital adalah tereduksinya prinsip-prinsip dasar opini publik oleh kelompok-
kelompok kuat yang hanya cenderung berinteraksi dengan kelompok dengan pandangan yang
serupa, sehingga inklusifitas sebagai nilai dasar demokrasi tidak berkembang. Kondisi ini
diperburuk oleh perilaku baik secara individu maupun berkelompok melakukan “serangan”
yang sifatnya pribadi yang tidak punya korelasi kuat dengan topik publik, bahkan seringkali
opini yang dilontarkan sengaja untuk memancing keributan atau menimbulkan provokasi
yang berdampak kepada maraknya pelaporan atas tuduhan pelanggaran ITE dan pencemaran
nama baik sebagai buntut dari diskusi atau penyampaian opini publik. Saling melaporkan
antar pihak kepada aparat kepolisian menjadi beban demokrasi dan sangat tidak perlu karena
pada akhirnya demokrasi digital justru menciptakan eskalasi konflik yang relative tinggi dan
tidak efektif. Hal ini justru membuat kebingungan tersendiri di dalam masyarakat yang dapat
berdampak kepada terhambatnya partisipasi publik atau didominasinya demokrasi digital oleh
orang-orang berseteru karena kekuasaan semata.
Perlu juga diperhatikan bahwa tidak semua kalangan masyarakat memiliki akses yang
sama terhadap media sosial dan internet atau tidak memiliki pemahaman dan kapasitas yang
sama ketika mendapatkan berbagai konflik yang terjadi di internet, ini disebut dengan
ketimpangan digital, yakni suatu ketimpangan yang juga mencerminkan ketimpangan dan
ketidakadilan sosial (Yu, 2006). Kondisi ini dapat menyebabkan pelemahan ruang diskusi
publik dan terciptanya ruang-ruang digital politik identitas yang mengesampingkan solidaritas
publik yang dibutuhkan dalam kualitas opini publik untuk menciptakan ruang digital inklusif
dalam demokrasi digital.
Media sosial telah membentuk karakter tersendiri bagi para individu yang memainkan
peran dalam proses demokrasi digital, hal ini terjadi karena paparan berbagai informasi,
opini, dan pandangan politik memberi kemungkinan yang sangat besar bagi pembentukan
sikap dan pandangan politik. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa media sosial adalah salah
satu penyumbang polarisasi opini dalam masyarakat melalui preferensi politik pengguna
media sosial. Pada tingkat yang paling fatal adalah terbentukknya keyakinan dalam polaritas
opini tanpa kejelasan sumber informasi yang digunakan. Dalam konteks demokrasi digital,
penting untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang pengaruh media sosial terhadap
perilaku politik dan polarisasi opini. Edukasi literasi digital dan pengembangan kebijakan
yang mengatur penggunaan media sosial menjadi kunci dalam mengatasi tantangan ini.
Kolaborasi antara pemerintah, platform media sosial, dan masyarakat sipil juga diperlukan
untuk mempromosikan diskusi yang inklusif, mengatasi polarisasi, dan meningkatkan kualitas
opini publik dalam era demokrasi digital. Literasi digital menjadi dasar bagi penggunaan
platform digital dalam pembentukan opini dalam demokrasi digital (Zahroh & Sholeh, 2022).
Dalam konteks demokrasi digital, media sosial dapat menentukan kualitas opini publik
terkait pemilihan presiden dan wakil presiden. Perkembangan media sosial turut memperkuat
Iman Mukhroman, Ikhsan Ahmad, Rangga Galura Gumelar
2480 Syntax Idea, Vol. 6, No. 06, Juni 2024
dinamika sosial, politik, dan ekonomi di Indonesia. Saat ini Internet telah berubah menjadi
media untuk menjalankan kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan melalui pesan-pesan
yang mengemuka pada mesias social seperti Tiktok, Instagram, Twitter, Facebook dan lain
sejenisnya. Pada Pemilu 2024, Ketiga Pasangan Capres dan Wapres pada PEMILU 2024 aktif
menggunakan Media Sosial untuk berinteraksi dan membangun perhatian publik. Hal ini bisa
dilihat dari tingkat konten yang terbukti mencuat di media sosial seperti dibawah ini :
Gambar 1 tingkat konten yang mencuat di media sosial
KESIMPULAN
Berkenaan dengan Pembentukan Opini Publik pada PEMILU 2024, merujuk pada
survei dari lemabaga-lembaga survey, banyak masyarakat belum mengetahui dan
menyembunyikan jawaban capres-cawapres yang menjadi pilihan masing-masing. Acara
“Debat Perdana Capres 2024” merupakan ruang publik bagi capres-cawapres menyampaikan,
menjelaskan, dan menanggapi urgensi-urgensi Visi-Misinya membangun Indonesia lima
tahun kedepan, sehingga Masyarakat bisa yakin atas pilihannya pada pencoblosan suara 14
Februari 2024. Media Sosial menjadi salah satu media yang paling efektif bagi para tim media
pasangan capres-cawapres dalam membingkai persoalan-persoalan yang mengemuka pada
debat perdana Caprea 2024, seperti pada twitter, instagram, tiktok, facebook dan lain
sebagainya.
Berdasarkan hasil penelitian relevansi survei Elektabilitas Capres Cawapres 2024
dengan Debat Capres sesi pertama terkait rencana tindak lanjut humas/tim media masing
masing calon maka dapat disimpulkan bahwa hasil survei Capres-Cawapres 2024, pasangan
Prabowo-Gibran yang mana mendominasi elektabilitas, dengan survei dari Lembaga Arus
Survei Indonesia, Litbang Kompas, dan Poltracking Indonesia menunjukkan konsistensi
dalam peringkat. Meskipun demikian, debat Calon Presiden Jilid 1 menciptakan dinamika
baru, di mana Anies Baswedan memimpin dalam sentimen positif di media sosial. Meskipun
Prabowo masih menonjol dalam elektabilitas, reaksi negatif pasca-debat menunjukkan
pentingnya penanganan humas untuk menjaga citra positif dan merespons perubahan opini
Pembentukan Opini Publik pada Pemilihan Umum 2024 (Studi Kasus Opini Publik Survey
Elektabilitas Capres-Cawapres 2024 Pasca Debat Pertama)
Syntax Idea, Vol. 6, No. 06, Juni 2024 2481
publik. Untuk itu, tim humas ataupun media centre Prabowo-Gibran perlu menganalisis
penyebab penurunan sentimen positif pasca-debat. Perencanaan dan pemrograman yang
matang diperlukan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Implementasi strategi seperti
memperkuat citra serius Prabowo dan meningkatkan kredibilitas Gibran dalam debat
Cawapres sesi 2 dapat membantu merespons opini publik. Komunikasi yang efektif dan
tindakan yang diambil harus sejalan dengan kepentingan publik, sambil terus memonitor dan
mengevaluasi respons dari masyarakat.
BIBLIOGRAFI
Adela, Fernanda Putra, & Truna, Dio Safrial. (2017). Partisipasi Rakyat Dalam Pengawasan
Pilkada, Antisipasi Tingginya Angka Golput Di Pilkada Sumut 2018. Jurnal Bawaslu,
3(1), 107118.
Andriadi, Fayakhun. (2016). Demokrasi di tangan netizen: tantangan & prospek demokrasi
digital. RMBooks.
Anshari, Faridhian. (2013). Komunikasi politik di era media sosial. Jurnal Komunikasi, 8(1),
91101.
Ardyati, Rizda, Yulianti, Sri Wahyuningsih, & Luthviati, Resti Dian. (2022). Pengaruh Media
Sosial Terhadap Tingkat Kesadaran Masyarakat Tentang Administrasi Kependudukan
Sebagai Upaya Mendukung Program Gisa. EVOKASI: Jurnal Kajian Administrasi Dan
Sosial Terapan, 1(2), 109116.
Davis, Corey. (2012). Relevancy redacted: web-scale discovery and the “filter bubble.”
Gagne, Robert M. (1984). Learning outcomes and their effects: Useful categories of human
performance. American Psychologist, 39(4), 377.
Granovetter, Mark. (2018). The impact of social structure on economic outcomes. In The
sociology of economic life (pp. 4661). Routledge.
Hague, Barry N., & Loader, Brian. (1999). Digital democracy: Discourse and decision
making in the information age. Psychology Press.
Howard, Philip N., & Hussain, Muzammil M. (2013). Democracy’s fourth wave?: digital
media and the Arab Spring. Oxford University Press.
Liando, Daud M. (2017). PEMILU DAN PARTISIPASI POLITIK MASYARAKAT (Studi
Pada Pemilihan Anggota Legislatif Dan Pemilihan Presiden Dan Calon Wakil Presiden
Di Kabupaten Minahasa Tahun 2014). Jurnal LPPM Bidang EkoSosBudKum (Ekonomi,
Sosial, Budaya, Dan Hukum), 3(2), 1428.
Mulawarman, Mulawarman, & Nurfitri, Aldila Dyas. (2017). Perilaku pengguna media sosial
beserta implikasinya ditinjau dari perspektif psikologi sosial terapan. Buletin Psikologi,
25(1), 3644.
Rahmawati, Devie. (2016). Media sosial dan demokrasi di era informasi. Jurnal Vokasi
Indonesia, 2(2), 2.
Ratnamulyani, Ike Atikah, & Maksudi, Beddy Iriawan. (2018). Peran Media Sosial Dalam
Peningkatan Partisipasi Pemilih Pemula Dikalangan Pelajar Di Kabupaten Bogor.
Sosiohumaniora, 20(2), 154161.
Roza, Prima. (2020). Digital citizenship: menyiapkan generasi milenial menjadi warga negara
demokratis di abad digital. Jurnal Sosioteknologi, 19(2), 190202.
Sparks, Glenn G. (2006). Media effects research: A basic overview. Canadian Journal of
Communication, 40, 2.
Tsagarousianou, Roza. (1999). Electronic democracy: Rhetoric and reality.
Yu, Liangzhi. (2006). Understanding information inequality: Making sense of the literature of
Iman Mukhroman, Ikhsan Ahmad, Rangga Galura Gumelar
2482 Syntax Idea, Vol. 6, No. 06, Juni 2024
the information and digital divides. Journal of Librarianship and Information Science,
38(4), 229252.
Zahroh, Fathimatuz, & Sholeh, Muhamad. (2022). Efektivitas literasi digital dalam
meningkatkan pelaksanaan pembelajaran daring di masa pandemi Covid-19. Inspirasi
Manajemen Pendidikan, 9(5), 11471158.
Copyright holder:
Iman Mukhroman, Ikhsan Ahmad, Rangga Galura Gumelar (2024)
First publication right:
Syntax Idea
This article is licensed under: