How to cite:
Abdul Hamid (2024) Fenomena Dispensasi Kawin Anak di Kabupaten Banjar (Studi Kasus Perkara
Dispensasi Kawin Di Pengadilan Agama Martapura Nomor 58/Pdt.P/2023/PA. Mtp), (06) 05,
https://doi.org/10.36418/syntax-idea.v3i6.1227
E-ISSN:
2684-883X
Published by:
Ridwan Institute
FENOMENA DISPENSASI KAWIN ANAK DI KABUPATEN BANJAR (STUDI
KASUS PERKARA DISPENSASI KAWIN DI PENGADILAN AGAMA
MARTAPURA NOMOR 58/PDT.P/2023/PA. MTP)
Abdul Hamid
Institut Agama Islam Negeri Palangka Raya, Indonesia
Abstrak
Artikel ini bertujuan untuk mendeskripsikan alasan-alasan dari pemohon dispensasi kawin
dari pertanyaan-pertanyaan di persidangan, yang didapatkan dari penetapan yang sudah
berkekuatan hukum tetap. Maraknya dispensasi kawin di Kabupaten Banjar merupakan hal
yang memprihatinkan disaat pemerintah daerah sedang gencar-gencarnya mengatasi
perkawinan anak. Secara metodologis, penelitian ini merupakan penelitian yuridis-normatif
yang meneliti hanya data hukum primer saja. Data dikumpulkan dengan menginvestigasi
penetapan dispensasi kawin di Pengadilan Agama Martapura Nomor 58/Pdt.P/2023/PA.Mtp,
yang telah berkekuatan hukum tetap dan wawancara kepada hakim. Penetapan tersebut
didapatkan dari direktori putusan Mahkamah Agung RI. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa perkara-perkara dispensasi kawin diajukan ke Pengadilan Agama Martapura Nomor
58/Pdt.P/2023/PA.Mtp, beralasan takut melakukan zina sebagai dasar permohonan. Sehingga
prase “mendesak” dalam PERMA Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili
Perkara Dispensasi Kawin, menjadi sumir dan kehilangan maknanya. Hakim Pengadilan
Agama Martapura juga mengindikasikan bahwa kepentingan anak menjadi poin penting
pertimbangan. Sehingga terjadi dua hal yang saling bertetangan, kepentingan anak agar tidak
terjerumus zina, atau kepentingan anak dari sisi wajib belajar, psikologi, kesehatan
reproduksi.
Kata kunci: Dispensasi Kawin, Alasan, Pengadilan Agama
Abstract
This article aims to describe the reasons for the petitioner's marriage dispensation from the
questions at trial, obtained from a determination that has the force of law. The rise of
marriage dispensation in Banjar Regency is a matter of concern at a time when the local
government is intensively addressing child marriage. Methodologically, this research is a
juridical-normative research accompanied by interviews with judges. The data was collected
by investigating the determination of marriage dispensation at the Martapura Religious Court
Number 58/Pdt.P/2023/PA. Mtp, which has the force of law remains. The determination was
obtained from the directory of decisions of the Supreme Court of the Republic of Indonesia.
The results of this study show that marriage dispensation cases are submitted to the
Martapura Religious Court Number 58/Pdt.P/2023/PA. Mtp, reasoned fear of committing
adultery as the basis of the petition. So that the "urgent" prase in PERMA Number 15 of 2019
JOURNAL SYNTAX IDEA
pISSN: 2723-4339 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 6, No. 05, Mei 2024
Abdul Hamid
2310 Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024
concerning Guidelines for Adjudicating Marriage Dispensation Cases, becomes sumir and
loses its meaning. The judges of the Martapura Religious Court also indicated that the
interests of children are an important point of consideration. So that two things occur that are
interdicted, the interests of children so as not to fall into adultery, or the interests of children
in terms of compulsory education, psychology, reproductive health.
Keywords: Marriage Dispensation, Reasons, Religious Courts
PENDAHULUAN
Pernikahan merupakan salah satu institusi sosial yang melibatkan perjanjian antara dua
individu untuk membentuk ikatan yang sah dan sah secara hukum. Namun, dalam beberapa
situasi tertentu, ada kasus-kasus di mana seseorang dapat memohon dispensasi kawin.
Dispensasi kawin adalah izin khusus yang diberikan kepada individu yang ingin menikah di
bawah kondisi atau persyaratan yang tidak biasa atau tidak umum.
Dalam siaran Persnya, Nomor: B-031/SETMEN/HM.02.04/01/2023, Kementrian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, menyatakan bahwa
perkawinan anak di Indonesia sudah mengkhawatirkan. PUSKAPA-UI melakukan kajian
cepat untuk menguraikan masalah masih adanya dispensasi perkawinan dan dikabulkannya
dispensasi kawin karena faktor anaknya sudah hamil terlebih dahulu. Dari 225 putusan,
sebanyak 34% dikarenakan faktor kehamilan. Ada 4 masalah yang melatarbelakangi
kehamilan anak yang akhirya mendorong perkawinan anak adalah (1) kesulitan hidup di
keluarga rentan dan tidak memiliki kapasitas pengasuhan yang baik; (2) anak tidak mendapat
dukungan positif dari keluarga, komunitas dan kelompok sebaya; (3) anak tidak memilki
kemampuan untuk menimbang risiko kehamilan; dan (4) anak memandang perkawinan
sebagai cara untuk menikmati masa remaja.
Baik dalam UU Perkawinan maupun UU Perlindungan Anak, tidak tertera sanksi jika
terjadi pernikahan di bawah umur ini. Anak dan sekaligus orang tua yang jelas-jelas dalam
UU Perlindungan Anak wajib mencegah terjadinya perkawinan, tidak dibebankan apa-apa.
Ditambah lagi dengan sering dijumpainya pejabat pencatat akta nikah yang menuakan atau
mengatrol umur.
Dispensasi kawin dapat diminta atas berbagai alasan yang meliputi, tetapi tidak terbatas
pada, perbedaan usia, ketidaksetaraan keagamaan, atau pengecualian terhadap persyaratan
hukum tertentu. Izin semacam ini biasanya dikeluarkan oleh otoritas keagamaan atau
pengadilan dan bergantung pada kasus-kasus individual yang diajukan oleh para pemohon.
Pada tahun 2018, Wijayadi melakukan penelitian yang berkesimpulan bahwa
pengadilan agama dapat memberikan izin untuk melakukan pernikahan di bawah usia
minimal tersebut dengan alasan-alasan tertentu, yaitu dengan mempertimbangkan
kemaslahatan. Pertimbangan ini muncul karena jika pernikahan tidak segera dilangsungkan,
dikhawatirkan akan terjadi pelanggaran terhadap norma agama dan peraturan yang berlaku.
Dispensasi perkawinan di bawah umur ini diharapkan dapat memiliki dampak positif yaitu
membantu kedua calon mempelai untuk menghindari perbuatan yang dilarang oleh agama dan
hukum. Namun, ada juga aspek negatifnya, seperti kurangnya kematangan mental dan usia
yang tidak memadai bagi kedua calon mempelai (Wijayadi, 2008).
Fenomena Dispensasi Kawin Anak di Kabupaten Banjar (Studi Kasus Perkara Dispensasi
Kawin Di Pengadilan Agama Martapura Nomor 58/Pdt.P/2023/PA. Mtp)
Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024 2311
Hampir sama dengan penelitian Wijayadi, Sari (2011), menemukan bahwa tidak ada
aturan hukum yang jelas yang mengatur tentang batas umur pernikahan, sehingga hakim
memiliki kewenangan untuk menetapkannya dalam putusannya. Tentu temuan ini menjadi
sangat janggal, manakala UU Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam sudah
memberikan batasan tentang hal tersebut. Simpulan kedua dari Wijayadi adalah banyaknya
pelaku nikah di bawah umur yang menikah diluar Pengadilan Agama dan disahkan oleh KUA
setempat. Simpulan ini tentu tidak tepat, karena fungsi pengadilan agama bukan untuk
menikahkan. Alasan bahwa pelaku tersebut membuat kartu penduduk dengan memanipulasi
umur yang bersangkutan. Masih menurut Wijayadi bahwa hakim memutuskan mengabulkan
nikah di bawah umur karena calon mempelai wanita hamil duluan (Sari, 2011).
Pada akhir tahun 2019, terbitlah UU Nomor 16 Tahun 2019 yang merupakan perubahan
pertama atas UU Nomor 1 Tahun 1974, yang mengatur tentang batasan umur minimal
menikah yaitu 19 tahun untuk kedua calon mempelai. Ilma (2020) menyebutkan bahwa
setelah revisi Undang-Undang Perkawinan, terjadi peningkatan signifikan dalam jumlah
permohonan dispensasi kawin. Hal ini terjadi karena peningkatan batas usia pernikahan bagi
wanita menjadi 19 tahun (Ilma, 2020). Perubahan regulasi tersebut bertujuan untuk mengatasi
masalah perkawinan anak yang mendesak di Indonesia. Namun, sayangnya, peningkatan
permohonan dispensasi tidak diikuti dengan aturan yang ketat, sehingga sebagian besar
permohonan tersebut dikabulkan oleh hakim. Baik Undang-Undang No. 16 Tahun 2019
maupun PERMA No. 5 Tahun 2019 memiliki celah hukum yang memungkinkan dispensasi
kawin diberikan dengan alasan apa pun. Dengan kata lain, praktik perkawinan di bawah umur
setelah revisi Undang-Undang Perkawinan kemungkinan akan terus terjadi jika aturan yang
ada tidak membatasi alasan di balik permohonan dispensasi kawin. Oleh karena itu,
diperlukan aturan yang jelas mengenai dispensasi yang mencantumkan alasan pokok yang
dapat diajukan oleh pihak-pihak terkait dan yang dapat disetujui oleh hakim. Tujuannya
adalah untuk menciptakan kepastian hukum dan meminimalkan praktik perkawinan di bawah
umur yang terjadi akibat adanya dispensasi kawin.
(Suryanti & Rudy, 2021), menunjukkan UU 16/2019 belum dapat mencegah
perkawinan anak (Suryanti & Rudy, 2021). Pengadilan yang diharapkan sebagai upaya
terakhir dalam pencegahan perkawinan anak, namun pada akhirnya gagal menjalankan
fungsinya. Minimnya keberanian hakim dalam upaya penemuan hukum menyebabkan
penetapan hakim lebih mengutamakan kemanfaatan hukum, namun hakim lalai untuk
mempertimbangkan dampak negatif dari perkawinan anak sehingga mayoritas permohonan
dispensasi kawin dikabulkan. Urgensi standarisasi regulasi dispensasi kawin dan perlunya
pengesahan RUU Hukum Terapan Peradilan Agama yang mengatur sanksi pidana dan sanksi
denda bagi pelaku perkawinan anak dan pihak yang melangsungkan perkawinan anak
tersebut. Tuntutan peran pemerintah sebagai pembuat kebijakan upaya pencegahan
perkawinan anak perlu dimaksimalkaan, sehingga masyarakat dapat patuh dan taat pada
hukum guna menghindari dampak perkawinan anak yang akan banyak merugikan anak.
Terlepas dari peran berbagai pihak, maka peran orang tua adalah peran yang utama untuk
mencegah terjadinya perkawinan anak dalam upaya perlindungan anak sebagaimana
diamanatkan oleh UU 23/2002 jo UU 35/2014 tentang Perlindungan Anak.
Abdul Hamid
2312 Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024
Fadhli and Warman (2021), mengambil lokus penelitian di Pengadilan Agama
Batusangkar, yang berkesimpulan bahwa perkara-perkara permohonan dispensasi kawin tahun
2017-2018 di PA Batusangkar berisi alasan ‘khawatiran orang tua’ sebagai dasar permohonan
(Fadhli & Warman, 2016). Perkara-perkara yang dikabulkan dengan dalih tersebut sering
tidak merepresentasikan kejadian atau peristiwa yang mendesak untuk menikah. Hakim PA
Batusangkar meyakini bahwa setiap penetapan hukum yang dihasilkan pada saat itu relevan
dengan keterangan yang diberikan oleh para pemohon, meskipun hakim tidak dengan jelas
mendengar fakta-fakta yang mendorong para litigant tersebut. Selain itu, penelitian ini juga
mengindikasikan bahwa setelah keberadaan aturan yang baru, para hakim PA Batusangkar
tampaknya terdorong lebih memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak sebagai poin
pertimbangan. Ini berkonsekuensi pada permohonan-permohonan yang dikabulkan jadi lebih
mengetat pada kasus-kasus yang dianggap mendesak kemudian dihakimi sesuai dengan
kepentingan terbaik bagi anak.
Berkaitan dengan maraknya dispensasi kawin, Wahyudi and Prastiwi (2022),
memandang bahwa negara semestinya melindungi kepentingan hukum anak. Sebagai
hasilnya, praktik kuasa negara terhadap seksualitas (episteme kekuasaan politik), tampak kuat
dipengaruhi episteme lapis pertama (agama) (Wahyudi & Prastiwi, 2022). Pada level
masyarakat, berbagai sebab pengajuan dispensasi kawin seperti kemiskinan, rendahnya
pendidikan, serta tradisi, dilegitimasi pengaruh tafsir agama yang membolehkan perkawinan
anak. Gayut dengan kondisi masyarakat, pemerintah yang idealnya menjadi perintang
perkawinan anak justru mengabulkan mayoritas pengajuan dispensasi kawin. Kuatnya
episteme lapis pertama juga tergambar pada pertimbangan hakim yang mengabulkan
dispensasi kawin. Harus diakui bahwa pemerintah telah turut berkontribusi dalam peningkatan
jumlah perkawinan anak. Sebagai solusi, DPR RI melalui fungsi pengawasan dapat
mendorong pemerintah mengimplementasikan perspektif gender dalam strategi nasional yang
telah dicanangkan, serta mendorong pemerintah memperbanyak jumlah hakim perempuan di
pengadilan agama.
Melanjutkan penelitian dari peneliti sebelumnya, Chintyauti, Setianto and Dantes
(2022), mengambil setting tempat di Pengadilan Agama Singaraja, berkesimpulan bahwa
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan dimana bertujuan untuk mengurangi terjadinya perkawinan
dibawah umur, namun pada kenyataan masih terdapat perkara permohonan dispensasi
perkawinan dibawah umur masuk di Pengadilan Agama Singaraja (Chintyauti, Setianto, &
Dantes, 2022).
Menurut Ikawati and Anisa (2023), pandemi COVID-19 juga membuat meningkatnya
permohonan dispensasi kawin di Pengadilan Agama. Ikawati dan Anisa menyebutkan bahwa
alasan calon mempelai mengajukan dispensasi nikah antara lain kenakalan remaja (seks
bebas), hamil di luar nikah, perjodohan, ekonomi rendah, dan dorongan tradisi adat
(marlojong) (Fitriah, Quthny, & Syafi’i, 2023). Upaya yang dilakukan untuk mengatasi
peningkatan permintaan dispensasi perkawinan dengan memperkuat peran dan kerjasama
antara Pengadilan Agama, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A),
dan masyarakat (keluarga).
Fenomena Dispensasi Kawin Anak di Kabupaten Banjar (Studi Kasus Perkara Dispensasi
Kawin Di Pengadilan Agama Martapura Nomor 58/Pdt.P/2023/PA. Mtp)
Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024 2313
Fitriah, Quthny and Syafi’i (2023), fakta di lapangan masih terjadi kontradiksi antara
diyani dan qadhai dalam masalah umur pernikahan ini. Kematangan usia merupakan salah
satu aspek terpenting yang harus dipertimbangkan sebelum melangsungkan pernikahan
(Fitriah et al., 2023). Dalam UU No. 16/ 2019 yang merupakan revisi dari UUP No. 1/ 1974
telah dijelaskan bahwa yang boleh melangsungkan pernikahan adalah mereka yang telah
berusia 19 tahun baik laki-laki ataupun perempuan. Sehingga bisa disimpulkan laki-laki dan
perempuan di bawah usia tersebut tidak bisa melangsungkan pernikahan kecuali dengan
mengajukan izin ke pengadilan berupa dispensasi nikah. Dispensasi nikah tersebut adalah izin
menikah yang diberikan oleh pengadilan kepada calon pengantin yang belum memenuhi
standar minimum usia menikah yang diatur dalam UU No. 16/ 2019 yaitu 19 tahun. Menurut
hukum islam, pertimbangan hakim adalah berlandaskan metode ijtihad maslahah mursalah
yaitu dengan menimbang mana yang lebih besar antara manfaat dan mudhorot setelah
penetapan dispensasi nikah.
Putra and Yunanto (2023), menyebutkan bahwa perlindungan hukum bagi anak di
bawah umur sebagai pemohon dispensasi perkawinan setelah revisi UU Perkawinan belum
maksimal karena masih ada kekosongan hukum, maka perlu dibuat aturan tertulis dari
pemerintah yang dapat menjamin kepastian hukum. Upaya yang dapat dilakukan hakim untuk
menentukan perkara semacam ini adalah hakim melakukan penemuan hukum dengan tetap
mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak.
Lingkungan dan wilayah tentu memiliki pengaruh atas permohonan dispensasi kawin.
Haryanto (2012) di daerah Cempaka Banjarbaru Kalimantan Selatan, yang memiliki
fenomena menikah di bawah umur di masyarakatnya. Beberapa faktor yang mendorong
mereka untuk menikah adalah determinis pada pemahaman agama, melimpahnya kekayaan
alam, kurangnya kesadaran akan pendidikan, toleransi terhadap aturan penyimpangan,
perkembangan teknologi media sosial, dan keakraban pola Cempaka (Haryanto, 2012). Motif
yang mendorong orang tua untuk menikahkan anak-anak mereka di bawah umur, antara lain,
adalah untuk mempertahankan bahwa anak-anak menyimpang dari pergaulan mereka dari
ajaran agama, untuk menyembunyikan rasa malu mereka jika putri mereka sudah hamil
sebelum menikah, dan motif ekonomi untuk membantu meringankan beban keluarga.
Masih berkaitan dengan pembahasan tentang wilayah Kalimantan Selatan Kumari and
Kurdi (2020), menyimpulkan bahwa pernikahan ada nilai-nilai Banjar yang menjadi dasar
perkawinan anak diberikan 3 nilai utama, yaitu nilai kerukunan, nilai ekonomi dan nilai
agama, yang semuanya saling berkaitan dalam menentukan cara perkawinan anak. Upaya
pencapaian nilai belum dilakukan secara optimal. Ketiga, umumnya pendamping perkawinan
anak tidak mendapatkan bantuan yang tidak penting untuk mengubah budaya perkawinan
anak (Kumari & Kurdi, 2020).
Menggunakan penelitian observasional dengan rancangan cross sectional study.
Populasi adalah seluruh wanita usia subur yang sudah menikah di Kecamatan Kertak Hanyar
Tahun 2013 berjumlah 229 orang. Sampel dalam penelitian berjumlah 102 orang. Teknik
Sampling Sampling menggunakan Sistematic Sampling. Analisis menggunakan analisis
univariat, analisis bivariat dilakukan dengan Uji Chi Square Rafidah, Barkinah and Yuliastuti
(2015), meneliti bahwa didapatkan umur menikah responden sebagian besar kurang dari 20
Abdul Hamid
2314 Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024
tahun 55 orang (53,9%). Pendidikan responden sebagian besar berpendidikan dasar 57 orang
(55,9%) dan ada hubungan yang bermakna antara pendidikan responden dengan pernikahan
usia dini (Rafidah, Barkinah, & Yuliastuti, 2015). Persepsi responden sebagian besar baik 68
orang (66,7%) dan ada hubungan yang bermakna antara persepsi responden dengan
pernikahan usia dini p=0,014 Ekonomi keluarga responden sebagian termasuk kategori
kurang 57 orang (55,9%) dan ada hubungan yang bermakna antara ekonomi keluarga dengan
pernikahan usia dini p=0,000. Pendidikan orangtua sebagian besar berpendidikan dasar 57
orang (55,9%) dan ada hubungan yang bermakna antara pendidikan orangtua dengan
pernikahan usia dini p=0,000. Persepsi orangtua sebagian besar kurang 72 orang (70,6%) dan
ada hubungan yang bermakna antara persepsi orangtua dengan pernikahan usia dini p=0,024.
Pekerjaan orangtua sebagian besar termasuk kategori tidak bekerja 66 orang (64,7%) dan ada
hubungan yang bermakna antara pekerjaan orangtua dengan pernikahan usia dini p=0,000.
Dari penelitian-penelitian sebelumnya yang bertemakan dispensasi kawin, belum ada
yang mengulas tentang satu perkara dispensasi kawin yang dipadukan dari penganalisisan
pertimbangan hakim dan juga wawancara dengan hakimnya. Sebagaimana dalam laporan
tahunan Pengadilan Agama Martapura dalam tahun 2020-2022 telah menerima perkara
dispensasi kawin sebanyak 506 perkara. Dari 506 perkara tersebut ada 486 perkara yang
dikabulkan, ada 3 perkara yang ditolak, 15 perkara dicabut.
Dari jumlah tersebut penulis akan meneliti satu perkara Dispensasi Kawin dengan
Nomor Perkara 58/Pdt.P/2023/PA. Mtp, untuk mengkaji bagaimana alasan permohonan
dispensasi kawin, perdebatan dalam persidangan, dan bagaimana pertanyaan-pertanyaan
hakim kepada pihak dan saksi apakah sudah mencerminkan tentang situasi darurat/mendesak,
atau hanya sekedar alasan agar dapat diterima oleh hakim.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini adalah penelitis yurudis normative dengan menggunakan pendekatan
perundang-undangan. Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis kasus perkara Nomor 58/Pdt.P/2023/PA.Mtp yang berkaitan dengan dispensasi
kawin. Penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus yang mendalam untuk memahami
secara komprehensif faktor-faktor yang terlibat dalam kasus dispensasi kawin tersebut.
Data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari dokumen-dokumen terkait
perkara, seperti putusan pengadilan, berita-berita terkait, dan dokumen-dokumen hukum yang
relevan. Analisis dilakukan dengan mengidentifikasi dan mengkategorikan informasi yang
terdapat dalam dokumen-dokumen tersebut.
Metode analisis yang digunakan meliputi analisis isi (content analysis) untuk
memahami argumen yang diajukan oleh pihak-pihak terkait dalam kasus dispensasi kawin.
Selain itu, analisis kualitatif juga dilakukan untuk mengidentifikasi pola-pola dan temuan-
temuan yang muncul dari dokumen-dokumen tersebut.
Selama proses penelitian, perhatian khusus diberikan pada aspek etis. Identitas pihak-
pihak terkait dan informasi yang bersifat pribadi dijaga keMartapurasiaannya dan hanya
digunakan untuk tujuan penelitian. Peneliti juga mengikuti panduan etika penelitian dan
memperoleh izin yang diperlukan untuk mengakses dokumen-dokumen yang relevan.
Fenomena Dispensasi Kawin Anak di Kabupaten Banjar (Studi Kasus Perkara Dispensasi
Kawin Di Pengadilan Agama Martapura Nomor 58/Pdt.P/2023/PA. Mtp)
Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024 2315
Metodologi ini dirancang untuk memperoleh pemahaman yang mendalam tentang kasus
dispensasi kawin yang menjadi fokus penelitian. Dengan menggunakan analisis dokumen
yang teliti dan pendekatan kualitatif, diharapkan penelitian ini dapat memberikan wawasan
yang berharga tentang isu-isu yang terkait dengan dispensasi kawin dalam konteks kasus
perkara Nomor 58/Pdt.P/2023/PA.Mtp.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Deskripsi Kabupaten Banjar dan Perkara Dispensasi Kawin
Kabupaten Banjar adalah salah satu kabupaten di provinsi Kalimantan Selatan,
Indonesia. Ibu kota Kabupaten Banjar terletak di Martapura, Kabupaten Banjar memiliki luas
wilayah ±4.668,50 Km2 dan berpenduduk sebanyak 506.839 jiwa. Kabupaten Banjar
termasuk dalam calon Wilayah Metropolitan Banjar Bakula.
Perkara Pengadilan Agama Martapura, selama tahun 2020-2022 menerima perkara
dispensasi kawin sebanyak 506 perkara, dan hampir 100% beralsanan untuk menghindari
zina, data perkara dispensasi kawin tersebut sebagaimana berikut :
Tabel 1 Perkara Dispensasi Kawin di Pengadilan Agama Martapura
No
Tahun
Jumlah
Dikabulkan
Dicabut
Proses
Gugur
1
2020
229
223
4
0
0
2
2021
174
166
6
0
2
3
2022
103
97
5
0
0
Jumlah
506
486
15
0
2
Sumber: Data diolah penulis
Dalam masyarakat Banjar, ulama atau tuan guru merupakan panutan utama dalam
melaksanakan hukum Islam. Dalam persoalan nikah sirri, talak, umur dalam pernikahan sudah
menjadi maklum bahwa masyarakat Kabupaten Banjar lebih cenderung mengikuti pendapat
ulama dan tuan guru dalam persoalan pernikahan dini. Sedangkan sebagai kepanjangan
tangan negara, Pengadilan Agama Martapura harus menjalankan regulasi yang dibuat oleh
negara untuk mencapai kemaslahatan yang lain.
Pada Pasal 1 angka (5) Perma Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili
Permohonan Dispensasi Kawin disebutkan bahwa dispensasi kawin adalah pemberian izin
kawin oleh pengadilan kepada calon suami/istri yang belum berusia 19 tahun untuk
melangsungkan perkawinan. Pemberian dispensasi kawin ini ditujukan untuk kepentingan
terbaik anak, yang mempertimbangkan kepastian perlindungan, pengasuhan, kesejahteraan,
kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak. Pada Pasal 2 Perma 15 Tahun 2019 tersebut
disebutkan tentang asas, kepentingan terbaik bagi anak, hak hidup dan tumbuh kembang anak,
penghargaan atas pendapat anak, pernghargaan atas harkat dan martabat manusia, non-
diskriminasi, keseteraan gender, persamaan di depan hukum, keadilan, kemanfaatan, dan
kepastian hukum.
Hakim harus memberikan penasihatan tentang kemungkinan berhentinya Pendidikan
bagi anak, keberlanjutan anak dalam menempuh wajib belajar 12 tahun, belumsiapnya organ
reproduksi anak, dampak ekonomi, social, psikologi bagi anak, dan potensi perselisihan dan
Abdul Hamid
2316 Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024
kekerasan dalam rumah tangga. Ketika hakim tidak memberikan nasihat sebagaimana
tersebut, maka penetapan batal demi hukum.
Di banyak masyarakat lebih mengikuti pendapat ulama fikih dibandingkan dengan
aturan negara. Karena konflik diyani dan qadhai, selalu terjadi ketika menegakkan hukum
tentang perkawinan di bawah umur ini. Perkawinan di bawah umur bisa terjadi secara legal
dan juga illegal. Legal dalam artian, perkawinan tersebut melalui proses dispensasi kawin dari
pengadilan yang berwenang. Ilegal dalam artian perkawinan tersebut dilangsungkan secara
sirri dan tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama.
Pendapat-pendapat ulama dalam permasalahan umur minimal menikah ini, juga
didasarkan dari pendapat ulama-ulama pengarang kitab fikih klasik. Seperti yang
diungkapkan oleh Wahbah al-Zuhaili, yaitu:

            




Imam Assyafi'i berpendapat bahwa perkawinan anak yang masih kecil itu
diperbolehkan seperti pendapat abu hanifah, tetapi yang berhak menikahkan hanya ayah dan
kakeknya, bila ayah dan kakek tidak ada tidak bisa pindah pada wali lainnya (Al-Zuhaily,
1984).



Batasan anak kecil adalah 3 bulan. Namun ada juga ulama yang membatasi pernikahan
hanya boleh dilakukan setelah anak baligh, sebagaimana pendapat dari Ibnu Syubramah (Al-
Zuhaily, 1984).





Para ulama' dari empat madzhab sepakat mengenai kebolehannya perkawinan anak laki-
laki yang masih kecil dengan perempuan yang masih kecil pula, apabila akadnya di lakukan
oleh walinya.tetapi ulama berbeda pendapat mengenai keadaan walinya. Boleh bapak
menikahkan anaknya yang masih kecil dengan orang yang tidak kufu' / sepadan dengan
beberapa hal; seperti nasab, dan pekerjaan, dan baginya boleh memilih apa meneruskan atau
tidak jika dia sudah balig, ini pendapat ashoh (al-Khuthi, 2016).
Abu Hanifah berpendapat bahwa perkawinan anak-anak boleh setiap wali, baik yang
dekat maupun yang jauh dapat jadi wali anak perempuan yang msh kecil dengan anak lelaki
yang juga masih kecil, wali ayah atau kakek lebih diutamakan, karena akadnya berlaku
dengan pilihan kedua anak tersebut setelah keduanya dewasa, dan apabila akadnya dilakukan
bukan ayah dan kakeknya misalnya saudaranya atau pamannya maka kedua anak tersebut
harus memilih untuk terus atau membatalkan perkawinan setelah dewasa.
Fenomena Dispensasi Kawin Anak di Kabupaten Banjar (Studi Kasus Perkara Dispensasi
Kawin Di Pengadilan Agama Martapura Nomor 58/Pdt.P/2023/PA. Mtp)
Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024 2317
Ketika seseorang mengajukan permohonan dispensasi kawin, beberapa pertimbangan
serius harus dipertimbangkan. Pertama-tama, aspek hukum dan sosial dari dispensasi harus
diperhatikan. Pihak yang memberikan dispensasi harus memastikan bahwa keputusan tersebut
tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku atau melanggar prinsip-prinsip moral dan
etika yang diakui secara luas dalam masyarakat.
Selanjutnya, implikasi sosial dan psikologis bagi individu yang mengajukan dispensasi
kawin juga perlu diperhitungkan. Misalnya, jika seorang remaja ingin menikah di bawah usia
yang dianggap terlalu muda menurut hukum, pertanyaan muncul tentang kesiapan mereka
secara emosional dan mental untuk menjalani pernikahan. Implikasi ini juga dapat berdampak
pada kesejahteraan dan perkembangan sosial mereka.
Di sisi lain, ada juga kasus di mana dispensasi kawin dapat menjadi jalan keluar yang
wajar dalam konteks tertentu. Misalnya, dalam beberapa agama, ada perbedaan dalam
keyakinan dan praktik keagamaan antara pasangan yang ingin menikah. Dispensasi kawin
dalam kasus seperti itu dapat memberikan peluang bagi pasangan untuk menjalani pernikahan
sesuai dengan keyakinan mereka tanpa merusak prinsip-prinsip yang dipegang teguh oleh
agama masing-masing.
Namun, penting untuk memastikan bahwa pemberian dispensasi kawin tidak
disalahgunakan atau dieksploitasi. Otoritas yang bertanggung jawab harus melibatkan
pertimbangan yang cermat dalam mengeluarkan dispensasi tersebut dan memastikan bahwa
keputusan tersebut diambil dengan kepentingan terbaik individu yang terlibat.
Anotasi Putusan Nomor 58/Pdt.P/2023/PA.Mtp
Permohonan ini diajukan oleh kedua orang tua calon mempelai perempuan yang masih
di bawah usia minimal perkawinan. Umur anak yang bersangkutan yang hendak dinikahkan
adalah 18 tahun 3 bulan, memiliki pekerjaan sebagai karyawan toko, berpendidikan terakhir
sekolah dasar. Alasan dari Para Pemohon adalah syarat-syarat untuk melaksanakan
pernikahan tersebut baik menurut ketentuan hukum Islam maupun peraturan perundang-
undangan yang berlaku telah terpenuhi kecuali syarat usia bagi anak para Pemohon belum
mencapai umur 19 tahun dan karenanya maka maksud tersebut telah ditolak oleh Kantor
Urusan Agama Kecamatan Astambul, Kabupaten Banjar, dengan surat Nomor
062/Kua.17.03.02/kp.02.03/02/2023 tanggal 01 Februari 2023, juga antara anak para
Pemohon dengan calon suami anak para Pemohon telah menjalin hubungan asmara selama
kurang lebih 4 bulan dan hubungan keduanya sudah semakin erat karena calon suami anak
para Pemohon, karena jarang rumah berdekatan sehingga calon suami anak para Pemohon
sering datang ke rumah para Pemohon untuk mengajak jalan bersama anak para Pemohon,
oleh karenanya para Pemohon ingin agar hubungan keduanya segera diresmikan dalam ikatan
pernikahan, untuk menghindari terjadinya fitnah dan perbuatan yang tidak diinginkan serta
dilarang oleh ketentuan Hukum Islam. Alasan berikutnya adalah antara anak para Pemohon
dan calon suaminya tersebut tidak ada larangan untuk melakukan pernikahan. Calon suami
dari anak Pemohon bekerja sebagai karyawan toko yang memiliki gaji perbulan sejumlah
Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah).
Abdul Hamid
2318 Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024
Pada saat persidangan tersebut, Para Pemohon mempertahankan dalil permohonannya
tersebut. Anak dari Para Pemohon, manakala ditanya oleh hakim, bahwa alasan dispensasi
kawin ini diajukan adalah karena hubungannya dengan calon suaminya sudah sedemikian
eratnya dan kami ingin mengindari penilaian buruk dari lingkungan sekitar atas kebersamaan
kami tersebut. Anak Para Pemohon menyetujui untuk menikah calon suaminya karena
memang sudah saling mencintai keduanya telah berta’arruf selama kurang lebih 4 (empat)
bulan. Keinginan menikah inipun menurut dari anak Pemohon, bahwa tidak ada hubungan
darah serta tidak ada hubungan lain yang menghalangi perkawinan. Sedangkan dari
keterangan calon suami anak tersebut, bahwa yang bersangkutan berkeinginan menikah
dengan anak Para Pemohon, karena dasar suka sama suka dan tidak ada paksaan dari pihak
manapun dan juga tidak ada unsur transaksional atau jual beli. Calon suami anak Para
Pemohon tersebut sanggup membimbing, mengarahkan serta membantu calon istrinya agar
dapat mewujudkan rumah tangga yang sesuai dengan tujuan perkawinan.
Setelah kedua calon pasangan diperiksa secara terpisah, selanjutnya orang tua dari calon
suami dimintai keterangan oleh hakim. Kedua orang tua calon suami menyatakan bahwa
calon suami dari anak Para Pemohon, telah mapan dan cukup umur mampu menjadi imam
bagi calon isterinya, dan telah memberikan nasehat kepada anak saya, namun hubungan
keduanya sudah terlalu dekat, sehingga orang tua sangat khawatir jika dibiarkan tidak
menikah mereka akan melanggar aturan agama. Juga memberikan pernyataan bahwa kedua
calon mempelai tidak ada halangan pernikahan dan tidak dipaksa oleh siapapun. Mereka
sanggup memberikan bantuan dan bimbingan untuk anak saya apabila telah menikah dengan
calon isterinya, baik support secara materiil ataupun immaterial.
Selanjutnya Hakim memeriksa, bukti surat yang ajukan oleh Para Pemohon, yaitu Kartu
Tanda Penduduk Para Pemohon, Kutipan Akta Nikah Para Pemohon, Kartu Keluarga Para
Pemohon, Kartu Keluarga Calon Besan, Akta Kelahiran Anak Para Pemohon, Kutipan Akta
Kelahiran Calon Suami Pemohon, Ijazah terakhir Anak Para Pemohon, Surat Penolakan
Pernikahan dari KUA setempat, Surat Keterangan Sehat Anak Para Pemohon, Surat
Keterangan Sehat Calon Suami Anak Pemohon, dan Hasil Konseling Permohonan Dispensasi
Kawin.
Dalam hal ini, ada Hakim yang memeriksa saksi dari Para Pemohon namun ada juga
yang tidak menggunakan saksi dalam memeriksa perkara dispensasi kawin ini. Pada perkara
Nomor 58/Pdt.P/2023/PA.Mtp, Hakim tidak memeriksa saksi untuk pertimbangannya.
Dalam mempertimbangkan penetapannya, Hakim dalam perkara ini:
Menimbang, bahwa sesuai dengan Qaidah Ushul Fiqh yang diambil alih sebagai
pendapat Hakim yang berbunyi sebagai berikut:
 (al-FÂDÂNÎ, 1981)
Artinya: “Pemerintah mengurus rakyatnya sesuai dengan kemaslahatan”
Menimbang, bahwa oleh karena anak kandung Para Pemohon dengan calon suaminya
sudah lama saling mencintai dan sudah bergaul akrab serta keduanya telah sepakat akan
melanjutkan ke jenjang perkawinan (membina rumah tangga), keduanya tidak bisa
dipisahkan, maka untuk menghindari persangkaan dalam masyarakat yang negatif dan
kemungkinan terjadinya pelanggaran hukum syar’i yang lebih jauh serta mafsadat dan
Fenomena Dispensasi Kawin Anak di Kabupaten Banjar (Studi Kasus Perkara Dispensasi
Kawin Di Pengadilan Agama Martapura Nomor 58/Pdt.P/2023/PA. Mtp)
Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024 2319
mudharat yang lebih besar dari pada keduanya, maka keduanya perlu segera untuk
dinikahkan;
Menimbang, bahwa sejalan dengan hal tersebut di atas, maka Hakim berpendapat
sesuai dengan Kaidah Fiqhiyah yang berbunyi:

Artinya: “Menolak kerusakan didahulukan dari pada menarik kemaslahatan";
Dan dalil dalam Kitab Al-Muhazzab Juz II halaman 210 sebagai berikut:

Artinya: Mengawini wanita yang hamil karena zina itu diperbolehkan, baik bagi
pezinanya sendiri atau bukan, tetapi menggaulinya seketika itu hukumnya makruh; (Buku,
2015)
Menimbang, bahwa Hakim mengambil alih pendapat Pakar Hukum Islam dalam kitab
Al Bajuri juz II halaman 354 sebagai pendapat Majelis Hakim yang berbunyi sebagai berikut:
 Amin, 2019
Artinya: “Apabila Para Pemohon mempunyai bukti/saksi, maka hakim menerima
permohonannya”;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukum tersebut di atas,
maka Hakim pemeriksa perkara a quo berpendapat bahwa tidak akan melakukan pemeriksaan
terhadap saksi-saksi yang dihadirkan Para Pemohon di dalam persidangan, sehingga Hakim
pemeriksa perkara a quo berpendapat terhadap permohonan Para Pemohon harus dikabulkan
dengan memberikan dispensasi kepada anak perempuan kandung Para Pemohon tersebut yang
bernama untuk menikah dengan calon.
Dari anotasi perkara tersebut, terlihat bahwa hakim tidak memberikan penasihatan
tentang pendidikan, sebagaimana bunyi Pasal 12 Perma Nomor 15 Tahun 2019 tentang
Pedoman Pemeriksaan Perkara Dispensasi Kawin, dimana Hakim harus memberikan
penasihatan tentang kemungkinan berhentinya Pendidikan bagi anak, keberlanjutan anak
dalam menempuh wajib belajar 12 tahun, belumsiapnya organ reproduksi anak, dampak
ekonomi, social, psikologi bagi anak, dan potensi perselisihan dan kekerasan dalam rumah
tangga. Ketika hakim tidak memberikan nasihat sebagaimana tersebut, maka penetapan batal
demi hukum. Namun apakah ketika hanya salah satu penasihatan tidak dilakukan
menjadikannya batal demi hukum atau penasihatan dalam arti global saja. Ini menjadi
perhatian bersama, bahwa
Dalam perkara dispensasi kawin, para Pemohon adalah orang tua yang hendak akan
menikahkan anaknya namun mendapat penolakan dari Kantor Urusan Agama (KUA) karena
masih belum cukup umur, hal ini berdasarkan pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 16 tahun
2019 perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, dikatakan
bahwa “Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19
(Sembilan belas) tahun”. Terhadap penolakan tersebut dalam pasal 2 selanjutnya memberikan
solusi atau jalan keluar bagi orang tua yang hendak akan menikahkan anaknya dan belum
mencapai umur 19 tahun, sebagaimana bunyi pasal “Dalam hal terjadi penyimpangan
terhadap ketentuan umur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), orang tua pihak pria dan/atau
orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada pengadilan dengan alasan mendesak
Abdul Hamid
2320 Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024
disertai bukti-bukti pendukung”. Perkara permohonan dispensasi kawin disebabkan calon
mempelai belum cukup umur menurut Undang-Undang, tentunya akan berakibat adanya
penetapan pengadilan atas permohonan para pemohon, baik orang tua calon mempelai wanita
maupun orang tua calon mempelai pria. Penetapan hakim pengadilan tentunya berdasarkan
terhadap apa yang dituntut, namun penetapan tersebut tidak seluruhnya dapat dikabulkan
tetapi bisa jadi perkara tersebut dicabut oleh pihak setelah mendapatkan penasihatan dari
hakim, atau bisa jadi hakim menolaknya dan bisa jadi pula dikabulkan, tergantung pada
pemeriksaan dan pertimbangan hakim. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 tahun 2019
tentang pedoman mengadili perkara permohonan dispensasi kawin sangat besar kegunaannya
oleh hakim dalam memberikan pertimbangan sebelum menjatuhkan penetapannya, sebab
dalam Perma tersebut memuat (a) asas dan tujuan, (b) Ruang lingkup dan persyaratan
administrasi, (c) Pengajuan permohonan dan pemeriksaan perkara, (d) Upaya hukum, dan (e)
Klasifikasi hakim.
Dalam menerapkan pasal 14 Perma Nomor 5 Tahun 2019 tersebut, hakim sudah tanya
jawab kepada calon mempelai untuk mengetahui apakah dipaksa atau tidak dalam keinginan
untuk menikah tersebut, apakah telah siap untuk menjadi istri atau suami yang bertanggung
jawab, siap menjadi orang tua, siap menghadapi persoalan rumah tangga yang akan muncul
dan pasti akan terjadi di kehidupan rumah tangga mereka.
Dalam wawancara penulis terhadap hakim yang memeriksa dan mengabulkan perkara
tersebut menyampaikan bahwa “hal yang harus digaris bawahi dalam bunyi pasal 15 tersebut
adalah kata dapat, yang bisa jadi bermakna harus tetapi bisa jadi bermakna tidak harus untuk
diikuti, atau tidak ada kewajiban untuk diikuti dan bisa ditinggalkan. Selain itu pula oleh
hakim tersebut menyampaikan bahwa dari seluruh isi Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5
tahun 2019 tersebut,yang tidak dimasukan dalam pertimbangannyahanya pasal 15 huruf (c)
yakni “Menyarankan agar anak didampingi pendamping” dan (d)“Meminta rekomendasi dari
psikolog atau dokter/bidan, pekerja social professional, tenaga kesejahteraan sosial, pusat
pelayanan terpadu perlindungan perempuan dan anak (P2TP2A), komisi perlindungan anak
Indonesia/Daerah (KPAI/KPAD)”.
Dalam prinsipnya, peraturan yang mengatur perkawinan di bawah batas usia sebenarnya
tidak diinginkan. Namun, lembaga peradilan yang memiliki kewenangan untuk mengadili
permohonan dispensasi nikah dihadapkan pada dua pertimbangan yang saling bertentangan.
Pertimbangan pertama adalah dampak negatif dari menikah pada usia muda, sedangkan
pertimbangan kedua adalah dampak negatif jika permohonan dispensasi ditolak. Dalam
kebanyakan kasus, hakim cenderung mengabulkan permohonan dispensasi dengan
mempertimbangkan bahwa dampak negatif akibat penolakan dispensasi lebih besar daripada
dampak negatif dari perkawinan di bawah usia. Penolakan permohonan tersebut berpotensi
merusak keturunan dan juga mengancam kehormatan kedua calon pengantin.
Hakim mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan mendesak, seperti jika seorang
pria dan wanita telah terlibat dalam hubungan yang berlanjut dan ada kekhawatiran akan
tindakan zina. Selain itu, jika anak pemohon telah hamil, bahkan menurut hukum adat, jika
mereka telah mencapai tempat imam, maka segera menikah menjadi penting. Selain itu, kedua
belah pihak telah menyatakan kesiapan mereka untuk menjalani kehidupan pernikahan, yang
Fenomena Dispensasi Kawin Anak di Kabupaten Banjar (Studi Kasus Perkara Dispensasi
Kawin Di Pengadilan Agama Martapura Nomor 58/Pdt.P/2023/PA. Mtp)
Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024 2321
dikuatkan oleh bukti yang cukup. Pertimbangan ini didasarkan pada Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 5 Tahun 2019. Meskipun menurut penulis, keputusan hakim Pengadilan
Agama Martapura yang mengabulkan permohonan dispensasi pada kasus tahun 2021 sudah
sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019, namun ada berbagai
interpretasi yang berbeda dalam memahami konsep mendesak yang terkait dengan pasal 15
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019. Oleh karena itu, penulis menemukan
bahwa pada tahun 2022, ada surat edaran yang dikeluarkan oleh Badan Peradilan Agama
Nomor 2449/DjA/HM.00/4/2022 tanggal 22 April 2022 tentang Koordinasi dan Perjanjian
Kerjasama Dinas Kesehatan. Hal ini bertujuan untuk mencapai keseragaman pendapat oleh
hakim dalam mengabulkan atau menolak permohonan dispensasi kawin sesuai dengan pasal
15 huruf d Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019.
Ketika permohonan dispensasi ditolak, pertimbangannya adalah jika pihak pemohon
dianggap tidak dapat membuktikan alasan mendesak yang mereka kemukakan. Selain itu,
hakim juga harus mempertimbangkan keadaan anak secara fisik dan mental, kesiapan anak
untuk menikah, adanya unsur paksaan dalam rencana pernikahan mereka, serta perlindungan
dan kepentingan terbaik anak sesuai dengan pasal 14 hingga pasal 16 Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 5 Tahun 2019.
Permohonan tersebut ditolak ketika pihak pemohon dianggap tidak mampu
membuktikan alasan mendesak yang mereka kemukakan. Selain itu, hakim juga harus
memperhatikan dengan seksama kondisi fisik dan mental anak, mempertimbangkan kesiapan
anak untuk menikah, memeriksa adanya unsur paksaan dalam rencana pernikahan mereka,
serta memprioritaskan perlindungan dan kepentingan terbaik anak sesuai dengan pasal 14
hingga pasal 16 Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 5 tahun 2019.
Sementara itu, permohonan yang dikabulkan, hakim memberikan pertimbangan bahwa
jika antara pemohon dan calon suami sudah memiliki hubungan yang dekat, bahkan jika anak
pemohon telah hamil duluan, maka jika mereka tidak segera menikah, ada kemungkinan
terjadi perbuatan perzinaan yang berkelanjutan. Keduanya juga telah menyatakan kemampuan
untuk menjalani kehidupan rumah tangga.
Selain itu, hakim juga mempertimbangkan dalil-dalil dari Al-Qur'an, Hadis, pendapat
ulama, dan Qaidah Fiqh yang kemudian dijadikan pendapat hakim. Pertimbangan hakim
Pengadilan Agama Martapura berdasarkan alasan mendesak, baik dalam kasus yang
dikabulkan maupun ditolak, tidak melanggar PERMA No. 5 Tahun 2019 dan sesuai dengan
peraturan tersebut. Meskipun terdapat pasal yang tidak dipertimbangkan dalam pertimbangan
hakim, namun pasal tersebut bersifat opsional karena menggunakan kata "dapat" dalam pasal
15 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 tahun 2019. Namun, dengan beragamnya
interpretasi terkait konsep mendesak yang terkait dengan pasal 15 Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 5 Tahun 2019, pada tahun 2022, terdapat surat edaran yang dikeluarkan oleh
Badan Peradilan Agama Nomor 2449/DjA/HM.00/4/2022 tanggal 22 April 2022 tentang
Koordinasi dan Perjanjian Kerjasama Dinas Kesehatan. Hal ini bertujuan untuk menyatukan
pendapat hakim dalam mengabulkan atau menolak permohonan dispensasi kawin sesuai
dengan pasal 15 huruf d Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 5 tahun 2019.
Abdul Hamid
2322 Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024
KESIMPULAN
Dispensasi kawin menjadi masalah tidak hanya di Kabupaten Banjar Kalimantan
Selatan saja, namun sudah menjadi masalah nasional. Perdebatan antara qadhai dan diyani
tentang batas usia minimal serta pernikahan di bawah tangan yang dianut oleh masyarakat.
Dari dalil-dalil yang digunakan untuk menetapkan hukum sebagaimana terlihat dalam
mempertimbangan penetapan perkara permohonan dispensasi kawin, hakim Pengadilan
Agama Martapura berkeyakinan bahwa maslahah akan tercapai apabila anak dikawinkan akan
tercipta kerusakan yang lain. Tentu alasan mafsadat yang akan tercipta akibat penolakan
tersebut mesti diuraikan dalam pertimbangan hukumnya, karena akan menjadi pertanyaan
mafsadat wahmiah yang telah banyak di buktikan dalam penelitian sudah terbukti juga, seperti
cacat lahir, kematian ibu dan anak, perceraian, KDRT, dan lain-lain yang diakibatkan dari
pernikahan dini. Sehingga benar-benar dapat memberikan keyakinan kepada masyarakat
bahwa maslahah yang dicapai dengan memberikan izin dispensasi kawin lebih besar daripada
mafsadat yang dapat dihindari.
BIBLIOGRAFI
al-FÂDÂNÎ, M. (1981). Yâsîn b. M.’Îsâ, Al-’iqd Al-Farîd. Surabaya: Dâr Al-Saqqâf, 1401.
al-Khuthi, Syamsuddin Muhammad Bin Muhammad. (2016). Mughni al-Muhtaj Ila Ma’rifat
Ma’ani al-Fazd al-Munhaj Jilid 1.
Al-Zuhaily, W. (1984). Al-Fiqhu al-Islamy wa Adillatuhu Damaskus: Dar al-Fikr.
Amin, Muhammad Nur. (2019). IMPLIKASI QIRÂ’ÂT DALAM PENAFSIRAN SURAT
AR-RAHMÂN (Studi Tafsir Rûh al-Ma’âni). UIN Raden Intan Lampung.
Buku, B. (2015). A. Peraturan Perundang-Undangan. Jurnal Al-Amin, 3(1).
Chintyauti, Livia Annisa, Setianto, Muhamad Jodi, & Dantes, Komang Febrinayanti. (2022).
Peran Pengadilan Agama Singaraja Terhadap Pemberian Dispensasi Perkawinan Anak
Dibawah Umur Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Jurnal
Komunitas Yustisia, 5(3), 3146.
Fadhli, Ashabul, & Warman, Arifki Budia. (2016). ‘Alasan Khawatir’pada Penetapan Hukum
Dispensasi Kawin di Pengadilan Agama Batusangkar. Islamic Studies, 54(1), 95121.
Fitriah, Nur Izah, Quthny, Abu Yazid Adnan, & Syafi’i, Imam. (2023). DISPENSASI
NIKAH PASCA TERBIT UU NO. 16 TAHUN 2019 DI PENGADILAN AGAMA
PROBOLINGGO. Jurnal Asy-Syukriyyah, 24(1), 1530.
Haryanto, Joko Tri. (2012). Fenomena Perkawinan Di Bawah Umur. Jurnal Analisa, 19(1), 1
14.
Ilma, Mughniatul. (2020). Regulasi dispensasi dalam penguatan aturan batas usia kawin bagi
anak pasca lahirnya UU No. 16 Tahun 2019. AL-MANHAJ: Jurnal Hukum Dan Pranata
Sosial Islam, 2(2), 133166.
Kumari, Fatrawati, & Kurdi, Muqarramah Sulaiman. (2020). Pernikahan anak di kalimantan
selatan: perspektif nilai banjar. Gender Equality: International Journal of Child and
Gender Studies, 6(1), 6178.
Rafidah, Rafidah, Barkinah, Tut, & Yuliastuti, Erni. (2015). Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Pernikahan Usia Dini Di Kabupaten Banjar Tahun 2014. Jurnal Skala
Kesehatan, 6(1).
Sari, Nurmilah. (2011). Dispensasi nikah dibawah umur (study kasus di Pengadilan Agama
Tangerang Tahun 2009-2010.
Fenomena Dispensasi Kawin Anak di Kabupaten Banjar (Studi Kasus Perkara Dispensasi
Kawin Di Pengadilan Agama Martapura Nomor 58/Pdt.P/2023/PA. Mtp)
Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024 2323
Suryanti, Irma, & Rudy, Dewa Gde. (2021). Disfungsi Dispensasi Kawin dalam Upaya
Pencegahan Perkawinan Anak. Jurnal Magister Hukum Udayana, 10(2), 782794.
Wahyudi, Tri Hendra, & Prastiwi, Juwita Hayyuning. (2022). Seksualitas dan Negara:
Permasalahan Dispensasi Perkawinan Anak di Indonesia. Aspirasi: Jurnal Masalah-
Masalah Sosial, 13, 205255.
Wijayadi, Tri. (2008). Dispensasi pengadilan agama dalam perkawinan di bawah umur (studi
kasus di pengadilan agama Surakarta).
Copyright holder:
Abdul Hamid (2024)
First publication right:
Syntax Idea
This article is licensed under: