How to cite:
Andy Rachmat Soeharjono, Aartje Tehupeiory, Wiwik Sri Widiarty (2024) Analisis Yuridis
Kepastian Hukum Bagi Investor Terhadap Pemetaan Lahan Sawah Dilindungi, (06) 05,
https://doi.org/10.36418/syntax-idea.v3i6.1227
E-ISSN:
2684-883X
Published by:
Ridwan Institute
ANALISIS YURIDIS KEPASTIAN HUKUM BAGI INVESTOR TERHADAP
PEMETAAN LAHAN SAWAH DILINDUNGI
Andy Rachmat Soeharjono, Aartje Tehupeiory, Wiwik Sri Widiarty
Universitas Kristen Indonesia, Indonesia
Abstrak
. Kebijakan Dasar Pertanahan yang menetapkan tanah sebagai Karunia Tuhan Yang Maha Esa
diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria adalah mengenai bumi, air dan ruang angkasa
dalam wilayah Negara Republik Indonesia harus selalu dilandasi persatuan kesatuan bangsa
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, Dalam penelitian ini, penulis menggunakan tipe
penelitian hukum Yuridis Normatif, yaitu suatu jenis penelitian hukum dengan menguraikan
suatu permasalahan hukum dengan menganalisis suatu hukum serta melalui peraturan
Perundang-Undangan, literatur yang dapat diperoleh melalui studi kepustakaan. Pelaksanaan
Tahapan sinkronisasi Penetapan Peta Lahan Sawah yang Dilindungi (LSD) dengan Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten/Kota, Sering terjadinya alih fungsi lahan sawah di
Indonesia mendorong pemerintah untuk melakukan upaya perlindungan eksistensi lahan
sawah untuk menjamin ketersediaan lahan sawah sebagai bentuk hak menguasai dari negara.
Oleh karena itu, melalui Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2019, pemerintah
mengamanatkan untuk percepatan penetapan peta lahan sawah yang dilindungi sebagai
bentuk perlindungan eksistensi lahan sawah. Dalam praktiknya, terjadi ketidaksesuaian antara
peta lahan sawah yang dilindungi dengan rencana tata ruang wilayah suatu daerah, penetapan
peta lahan sawah yang dilindungi melalui tiga tahapan yaitu verifikasi lahan sawah,
sinkronisasi hasil verifikasi lahan sawah, dan pelaksanaan penetapan peta lahan sawah yang
dilindungi, kedua, sinkronisasi peta lahan sawah yang dilindungi dengan rencana tata ruang
wilayah dapat dilakukan melalui permohonan dikeluarkannya lahan dari peta lahan sawah
yang dilindungi selama memenuhi kriteria dalam Petunjuk Teknis Kementerian Agraria dan
Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Nomor 5/Juknis-HK.02/VI/2022 dan selanjutnya
dilakukan perubahan peta lahan sawah yang dilindungi oleh perangkat daerah, ketua tim
pelaksana, dan tim terpadu untuk terwujudnya sinkronisasi antar peraturan.
Kata kunci: Analisis Yuridis, Kepastian Hukum, Investor, Lahan Sawah
Abstract
The Basic Land Policy that stipulates land as a Gift of God Almighty regulated in the Basic
Agrarian Law is about earth, water and space in the territory of the Republic of Indonesia
must always be based on the unity of the nation for the greatest prosperity of the people, In
this study, the author uses the type of Normative Juridical legal research, which is a type of
legal research by describing a legal problem by analyzing a law and through laws and
regulations, literature that can be obtained through literature studies. Implementation of the
JOURNAL SYNTAX IDEA
pISSN: 2723-4339 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 6, No. 05, Mei 2024
Andy Rachmat Soeharjono, Aartje Tehupeiory, Wiwik Sri Widiarty
2282 Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024
synchronization stages of the Determination of Protected Rice Field Maps (LSD) with
District/City Regional Spatial Plans (RTRW), The frequent conversion of paddy fields in
Indonesia encourages the government to make efforts to protect the existence of paddy fields
to ensure the availability of paddy fields as a form of control rights from the state. Therefore,
through Presidential Regulation Number 59 of 2019, the government mandates to accelerate
the determination of protected rice field maps as a form of protection for the existence of rice
fields. In practice, there is a discrepancy between the map of protected paddy fields and the
spatial plan of an area, the determination of the map of protected rice fields through three
stages, namely verification of rice fields, synchronization of rice field verification results, and
implementation of the determination of protected rice field maps, second, synchronization of
protected rice field maps with regional spatial plans can be done through requests for the
release of land from the map of rice fields protected as long as it meets the criteria in the
Technical Guidelines of the Ministry of Agrarian Affairs and Spatial Planning/National Land
Agency Number 5/Juknis-HK.02/VI/2022 and further changes to the map of rice fields
protected by regional officials, the head of the implementation team, and the integrated team
are carried out to realize synchronization between regulations.
Keywords: Juridical Analysis, Legal Certainty, Investors, Rice Fields
PENDAHULUAN
Kebijakan Dasar Pertanahan yang menetapkan tanah sebagai Karunia Tuhan Yang
Maha Esa diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria adalah mengenai bumi, air dan ruang
angkasa dalam wilayah Negara Republik Indonesia harus selalu dilandasi persatuan kesatuan
bangsa untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
Tanah merupakan penunjang kesejahteraan dan kemakmuran diseluruh masyarakat
Indonesia, karena tanah mempunyai peran penting dalam seluruh aspek kehidupan
masyarakat. Hampir tidak ada aktivitas manusia yang tidak memerlukan tanah atau ruang.
Oleh karena itu wajar jika diperlukan pengolahan tanah atau ruang dengan sebaik-baiknya
agar pemanfaatannya dapat memberikan kemakmuran bagi rakyat Indonesia. Menurut Pasal
33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
menyebutkan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam lainnya yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat (Sumarja,
2008).
Selanjutnya dalam Pasal 9 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok
Agraria menentukan, bahwa tiap-tiap warga negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita
mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk
mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya. Tanah
mempunyai arti penting bagi kehidupan bangsa Indonesia, karena setiap kegiatan yang
dilakukan oleh sebagian besar rakyat Indonesia senantiasa membutuhkan dan melibatkan soal
tanah. Bertambah lama dirasakan seolah-olah tanah menjadi sempit, menjadi sedikit,
sedangkan permintaan selalu bertambah maka tidak heran nilai tanah menjadi meningkat
(Sumarja, 2008).
Tidak seimbangnya antara persediaan tanah dengan kebutuhan akan tanah tersebut
menimbulkan berbagai persoalan yang banyak segiseginya. Meningkatnya kebutuhan tanah
Analisis Yuridis Kepastian Hukum Bagi Investor Terhadap Pemetaan Lahan Sawah
Dilindungi
Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024 2283
atau ruang yang akan digunakan dan dimanfaatkan oleh masyarakat dan pemerintah, serta
terbatasnya tanah karena tidak adanya penambahan luas tanah mengharuskan pemerintah
melakukan penataan. Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang, dinyatakan bahwa penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan
tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Penataan ruang sebagai
suatu sistem tersebut mengandung makna bahwa perencanaan, pemanfaatan ruang dan
pengendalian pemanfaatan ruang sesuai dengan peruntukan yang ditetapkan di dalam rencana
tata ruang wilayah nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota harus dipahami sebagai satu
kesatuan yang tidak terpisahkan.
Hak menguasai negara adalah kekuasaan atau kewenangan negara berdasarkan hukum
untuk: mengatur; mengurus; dan mengawasi. Jika dikhususkan pada hak menguasai tanah
oleh negara, maka berarti negara membangun, mengusahakan, memelihara, dan mengatur
segala sesuatu mengenai tanah. Pasal 2 ayat (2) UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) secara mutlak
memberikan batasan-batasan wewenang kepada negara dalam hal pelaksanaan hak menguasai
dari negara sebagaimana disebutkan Pasal 33 UUD 1945. Oleh karena negara memiliki
kewenangan tersebut, tentu salah satu pelaksanaan dari kewenangan mengatur dan
menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan
ruang angkasa sebagaimana disebutkan dalam Pasal 33 UUD 1945 adalah dengan melindungi
eksistensi lahan sawah (Wantjik, 1982).
Lahan sawah merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat penting bagi
keberlangsungan hidup masyarakat di berbagai negara, khususnya di Indonesia yang
mayoritas penduduknya bergantung pada sektor pertanian, pengolahan lahan dan pemanfaatan
sumber daya alam. Peraturan pemerintah tentang kebijakan percepatan pembangunan
memiliki dampak besar terhadap pemanfaatan lahan sawah. Keinginan untuk mempercepat
pembangunan membuat beberapa lahan sawah yang dilindungi atau LSD menjadi target dari
beberapa kegiatan eksploitasi yang dapat merugikan lingkungan dan masyarakat. Karena
memiliki nilai ekologis dan budaya yang tinggi, hal ini menimbulkan berbagaimacam
problematika hukum yang sangat kompleks dan memerlukan berbagai solusi yang tepat.
Lahan Sawah yang Dilindungi yang selanjutnya disingkat LSD adalah lahan baku
sawah yang ditetapkan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
Agraria/Badan Pertanahan Nasional melalui sinkronisasi Tim Terpadu Pengendalian Alih
Fungsi Lahan Sawah. Pemerintah melalui Menteri Agraria/Badan Pertanahan Nasional
melakukan tindakan konkret guna mengendalikan alih fungsi lahan sawah ke non sawah
dengaan mengeluarkan kebijakan Kepmen ATR/BPN Nomor 1589/SK- HK.02.01/XII/2021
tentang Penetapan Peta Lahan Sawah Yang Dilindungi di delapan Provinsi, namun luasan
lahan sawah yang dilindungi berbeda dengan luasan lahan sawah yang termuat dalam Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan yang termuat dalam Perda Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) Kabupaten/Kota yang menyebabkan para Invetor yang ingin masuk ke wilayah
Kabupaten/Kota tersebut memiliki kekhawatiran apakah perizinan yang akan dilakukan dapat
memberikan kepastian hukum, karena luasan lahan sawah yang dikelurkan oleh Kementerian
ATR/BPN dengan Luasan lahan dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah memiliki perbedaan.
Andy Rachmat Soeharjono, Aartje Tehupeiory, Wiwik Sri Widiarty
2284 Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024
Karena ketidak sesuaian Luasan lahan sawah tersebut akan berpengaruh terhadap iklim
investasi yaang akan masuk di daerah Kabupaten/Kota yang secara tidak langsung akan
mempengaruhi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten/Kota tersebut (Sitorus & Limbong,
2004).
Namun pemetaan Lahan Sawah Dilindungi ini juga tidak luput dari problematika yang
terjadi dibelakangnya. problematika hukum dari lahan sawah yang dilindungi (LSD) terkait
dengan pemanfaatan lahan, perluasan perkebunan, dan perombakan ekosistem. Salah satunya
karena peraturan pemerintah yang tidak memadai dan pengawasan yang lemah membuat
pelaku bisnis dan pengembang tidak memperhatikan prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan, dan lebih memprioritaskan keuntungan ekonomi. Hal ini tentu saja
menimbulkan problematika hukum yang sangat kompleks dan memerlukan solusi yang tepat.
Investasi merupakan suatu kegiatan yang amat penting, bukan hanya bagi individu atau
badan hukum yang memiliki kepentingan, tetapi juga bagi Negara terutama Negara dalam
Pembangunan dan juga salah satu dari Berbagai upaya oleh negara untuk memperoleh dana
bagi kegiatan pembangunan. Modal atau investasi merupakan salah satu cara suatu Negara
untuk memperoleh dana segar bagi pembangunan, baik yang berasal dari investor luar negeri
maupun investor dalam negeri (Marthen Arie, 2022).
Upaya untuk mempercepat pembangunan ekonomi dan mewujudkan kedaulatan politik
dan ekonomi Indonesia diperlukan peningkatan investasi untuk mengelola potensi ekonomi
menjadi kekuatan ekonomi riil dengan menggunakan modal yang berasal baik dalam negeri
maupun luar negeri. Selain itu dalam menghadapi perubahan perekonomian global dan
keikutsertaan Indonesia dalam berbagai kerjasama perlu diciptakannya bentuk sarana
investasi yang kondusif, promotif, memberikan kepastian hukum, keadilan, dan efisien
dengan tetap memperhatikan kepentingan ekonomi nasional.
Permasalahan tanah termasuk permasalahan yang sering dihadapi oleh investor dalam
menanamkan modal di Indonesia. Lahan atau tanah merupakan media yang sangat penting
bagi suatu proses pembangunan untuk kepentingan umum utamanya yang membutuhkan
tanah dalam jumlah yang sangat luas. Permasalahan yang paling sering terjadi adalah ketika
pemerintah hendak memulai suatu pembangunan, lahan yang dikehendaki tidak atau belum
tersedia. Akibat praktis yang ditimbulkan adalah pemerintah mengalami kesulitan dalam
melakukan proses pengadaan tanah terutama terkait eksekusi pengadaan penguasaan tanah
dan pembiayaannya yang menjadi sangat mahal. Kondisi tersebut mengakibatkan terjadinya
proses pengadaan yang berlarut-larut Pemberian kemudahan pelayanan Hak atas tanah ini
diperlukan oleh investor guna menjamin kegiatan investasinya selama di Indonesia berjalan
lancar dan mendatangkan keuntungan bagi kedua belah pihak. Tanah masih dinilai memiliki
permasalahan yang juga mempengaruhi kinerja investasi (Wibowo & Djaja, 2013).
Dalam Pasal 18 sampai dengan Pasal 24 Undang-Undang No. 25 Tahun 2007,
ditentukan bahwa investor, baik domestik maupun asing yang menanamkan investasinya di
Indonesia diberikan fasilitas atau kemudahan-kemudahan. Fasilitas dalam melakukan
investasi itu diberikan kepada investor yang Melakukan perluasan usaha atau melakukan
penanaman modal baru (Marthen Arie, 2022).
Analisis Yuridis Kepastian Hukum Bagi Investor Terhadap Pemetaan Lahan Sawah
Dilindungi
Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024 2285
Problematika hukum lahan sawah yang dilindungi (LSD) ditinjau dari peraturan
pemerintah tentang kebijakan percepatan pembangunan menjadi sangat penting, karena
memiliki dampak yang begitu besar terhadap pemanfaatan lahan sawah. Hukum harus mampu
memastikan bahwa pemanfaatan lahan sawah yang dilindungi sesuai dengan prinsip-prinsip
pembangunan berkelanjutan, dan menjaga keseimbangan antara pemanfaatan lahan sawah dan
perlindungan lingkungan dan masyarakat. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk
memahami problematika hukum lahan sawah yang dilindungi (LSD) dan mencari solusi yang
tepat untuk mengatasi berbagai macam permasalahan yang timbul.
Masalah yang sering timbul adalah Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) telah
menetapkan Lahan Sawah yang Dilindungi (LSD) di delapan provinsi. Salah satunya di Jawa
Tengah yang tertuang dalam Keputusan Menteri ATR/Kepala BPN Nomor 1589/Sk-Hk
02.10/XII/202 tentang penetapan lahan sawah yang dilindungi. Adanya aturan LSD itu
dikeluhkan para pelaku usaha properti di daerah. Karena tidak singkron dengan peraturan
daerah (perda) rencana tata ruang dan wilayah (RTRW) yang dikeluarkan pemkab pada
Desember 2021. Bahkan aturan itu disebut menghambat investasi properti di Kota Bersinar
karena proses perizinannya dihentikan akibat terbitnya aturan LSD tersebut. Mengingat aturan
LSD yang tidak singkron dengan RTRW, menjadikan proses perizinan di dinas terkait
menjadi terhenti. Hal itu membuat investasi yang dikucurkan untuk di bidang properti juga
ikut terhenti. Pelaku usaha properti sangat terbebani dengan aturan LSD tersebut (Hasni,
2008).
Indonesia sebagai negara agraris perlu menjamin penyediaan lahan pertanian secara
berkelanjutan sebagai sumber pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan
dengan mengedepankan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, dan kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan, kemajuan
dan kesatuan ekonomi nasional. Hal ini sesuai dengan rumusan Pasal 1 Ayat (1) UUPA
menyatakan bahwa seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dan seluruh rakyat
Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia.Hal ini berarti bahwa tanah di seluruh
wilayah Indonesia adalah hak bersama dari bangsa Indonesia dan bersifat abadi, yaitu seperti
hak ulayat pada masyarakat hukum adat. Negara juga mengatur tanah di seluruh wilayah
Republik Indonesia, hal tersebut bersifat publik. Tugas kewenangan ini dilaksanakan oleh
negara berdasarkan hak menguasai negara yang dirumuskan dalam Pasal 2 UUPA yang
merupakan tafsiran autentik dari pengertian dikuasai oleh negara dalam Pasal 33 Ayat (3)
Undang-Undang Dasar 1945. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi
adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat sehingga harus dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Hasni, 2008).
Namun setelah penetapan peta lahan sawah yang dilindungi (selanjutnya disebut LSD)
dilakukan, tidak jarang terjadi ketidaksesuaian antara rencana tata ruang wilayah dengan peta
LSD salah satunya diakibatkan oleh peta citra yang digunakan sebagai bahan dari penetapan
peta LSD. Dengan jarak dua hingga tiga tahun dari pengambilan peta citra sampai penetapan
peta LSD pada tahun 2021 melalui Kepmen ATR/BPN Nomor 1589 Tahun 2021, tidak
menutup kemungkinan terjadinya perubahan penggunaan lahan. Penetapan peta lahan sawah
dilindungi sering kali mengcakup tanah swasta yang seharusnya tidak turut dimasukan dalam
Andy Rachmat Soeharjono, Aartje Tehupeiory, Wiwik Sri Widiarty
2286 Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024
peta lahan sawah dilindungi, Problematika tersebut tentunya menimbulkan beberapa kerugian
bagi setiap kalangan baik Masyarakat ataupun investor dari pihak swasta yang memanfaatkan
lahan utnuk berinvestasi atau modal.
METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan tipe penelitian hukum Yuridis Normatif,
yaitu suatu jenis penelitian hukum dengan menguraikan suatu permasalahan hukum dengan
menganalisis suatu hukum serta melalui peraturan Perundang-Undangan, literatur yang dapat
diperoleh melalui studi kepustakaan.
Penelitian Hukum Yuridis Normatif merupakan penelitian hukum yang dilakukan
dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder”. “Penelitian hukum normatif disebut
juga penelitian hukum doktrinal.
Pendekatan penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah
Pendekatan Perundang-Undang, Pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approach)
Pendekatan ini dilakukan dengan menelaah semua peraturan perundang-undangan yang
bersangkut paut dengan permasalahan (isu hukum) yang sedang dihadapi. Pendekatan
perundang-undangan ini misalnya dilakukan dengan mempelajari konsistensi/kesesuaian
antara Undang-Undang Dasar dengan Undang-Undang, atau antara Undang-Undang yang
satu dengan Undang-Undang yang lain. Padal level dogmatik hukum (biasanya untuk
penelitian sarjana ilmu hukum), untuk keperluan praktik hukum tidak dapat dilepaskan dari
pendekatan perundang-undangan (statute approach). Dalam level teori dan filsafat, tidak
harus digunanakan dikarenakan belum ada referensi yakni ketentuan Perundang-Undangan
yang digunakan untuk menjawab persoalan isu hukum tersebut pendekatan perundang-
undangan (statute approach) tidak dapat digunakan dalam penelitian hukum adat (Jonaedi
Efendi, Johnny Ibrahim, & Se, 2018).
Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data untuk penelitian ini adalah dengan
cara mengumpulkan data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder yang ada kaitannya dengan pokok masalah penelitian, yaitu Kepastian Hukum
Investor Terhadap Ketidaksesuaian Pemetaan Lahan Sawah Dilindungi. Adapun model
pengumpulan bahan hukum yang digunakan adalah model library research atau studi
kepustakaan. Studi ini bertempat di perpustakaan atau tempat-tempat lain yang kiranya di
sana bisa didapatkan berbagai sumber data bahan hukum yang diperlukan. Dalam penelitian
ini yang menjadi masalah pokoknya adalah konsep Kepastian Hukum Investor Terhadap
Ketidaksesuaian Pemetaan Lahan Sawah Dilindungi sebagaimana telah terumus dalam
rumusan penelitian. Selanjutnya informasi-informasi dari berbagai bahan hukum yang telah
dikumpulkan tersebut penulis uraikan dengan sedemikian rupa sehingga dapat disajikan
sebuah hasil penelitian yang lebih sistematis guna menjawab permasalahan yang telah diri.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dasar Hukum Bagi Investor Terhadap Penetapan Lahan Sawah Dilindungi.
Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia mempunyai misi utama yang penting
yaitu melalui Upaya pembangunan demi tercapainya kemakmuran dan kesejahteraan bangsa
Analisis Yuridis Kepastian Hukum Bagi Investor Terhadap Pemetaan Lahan Sawah
Dilindungi
Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024 2287
serta kebutuhan seluruh rakyat Indonesia mengacu pada ketentuan Pasal 33 ayat (3)
UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang pada dasarnya
menyatakan bahwa “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Hal ini selaras
dengan ketentuan Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) yang mengatur bahwa “Seluruh bumi, air, dan ruang
angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik
Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air, dan ruang angkasa bangsa
Indonesia dan merupakan kekayaan nasional (Santoso & SH, 2017).
Guna melindungi lahan pertanian pangan dari derasnya arus degradasi, alih fungsi dan
fragmentasi lahan sebagai akibat peningkatan jumlah penduduk, perkembangan ekonomi dan
industri baik tingkat kabupaten dan/atau kota maka diterbitkan Undang-Undang Nomor 41
Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (UU PLPPB),
namun undang-undang ini dinilai kurang efektif mengingat definisi dari Lahan Pertanian yang
diatur tersebut bersifat terlalu luas dan sebagian besar Pemerintah Daerah belum menetapkan
Peraturan Daerah Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) (Supriyadi, 2013).
Untuk mengatasi hal demikian, dibentuklah Perpres No. 59/2019 tersebut sebagai upaya
dan terobosan bagi Pemerintah untuk melakukan pengendalian alih fungsi lahan sawah
sebagai lahan yang dilindungi. Pemerintah Pusat melakukan terobosan baru dengan
menetapkan 8 (delapan) provinsi sebagai penetapan peta lahan sawah dilindungi. Hal ini
dituangkan melalui Keputusan Menteri ATR/BPN Nomor 1589/SK-HK.0201/XII/2021
tentang Penetapan Lahan Sawah yang Dilindungi (LSD) pada 8 (delapan) provinsi antara lain
Sumatera Barat, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Daerah Istimewa
Yogyakarta, Bali, dan Nusa Tenggara Barat (NTB) (NikenSari & Budhianti, 2023).
Penetapan lahan sawah dilindungi tidak dapat semudah itu dilakukan. Berdasarkan
ketentuan yang berlaku dalam Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2019 tentang
Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah, penulis setuju bahwa sering kali perencanaan tata
ruang tidak sejalan dengan penetapan Lahan Sawah Dilindungi. Peninjauan Lahan Sawah
Dilindungi yang telah dianalisis dan ditetapkan oleh Kementerian ATR/BPN tidak semudah
itu mekanisme penetapannya. Dimana lahan yang sudah ditinjau dan sesuai ketentuan Pasal 7
Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2019 tentang Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah
perlu dikoordinasikan dengan banyak pihak baik swasta, Pemerintah Daerah hingga
Pemerintah Pusat (NikenSari & Budhianti, 2023).
Lebih lanjut jika di korelasikan dengan kehadiran dan kewenangan khusus yang di
miliki oleh LSD, maka kegiatan penanaman modal sehubungan dengan kerjasama dengan
pihak lain dalam konteks pemanfaatan tanah dapat dilakukan harmonisasi dergan ketentuan
Undang-Undang Penanaman Modal dimaksud, berikut beberapa ketentuan yang berkaitan
dengan kerjasama dengan pihak lain, termasuk pihak swasta.
Adapun ketentuan-ketentuannya sebagai berikut:
Sehubungan dengan Penyelenggaran lahan sawah dilindungi di atur dalm Perpres 59
tahun 2019 merupakan dasar hukum pengendalian alih fungsi lahan sawah yang bertujuan
untuk mempercepat penetapan peta lahan sawah yang dilindungi dalam rangka memenuhi dan
Andy Rachmat Soeharjono, Aartje Tehupeiory, Wiwik Sri Widiarty
2288 Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024
menjaga ketersediaan lahan sawah untuk mendukung kebutuhan pangan nasional,
mengendalihkan alih fungsi lahan sawah yang semakin pesat, memberdayakan petani agar
tidak mengalihfungsikan lahan sawah dan menyediakan data dan informasi lahan sawah untuk
bahan penetapan lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B). Perpres ini kemudian
mengamanatkan pembentukan Tim Terpadu yang memiliki tugas sinkronisasi hasil verifikasi
dan mengusulkan Lahan Sawah yang Dilindungi. Untuk mempercepat implementasi Perpres
tersebut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian menerbitkan Peraturan Menteri
Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 18 Tahun 2020 dan Keputusan Menko
Perekonomian Nomor 224 Tahun 2020 tentang tugas, tata kerja, dan keanggotaan Tim
Terpadu (Apriyanto, Fikri, & Azhar, 2021).
Implementasi Perpres 59 Tahun 2019 dimulai pada 2019 melalui pelaksanaan kegiatan
verifikasi lahan sawah di 8 propinsi lumbung pangan Indonesia (Banten, Jabar, Jatim, Jateng,
DI Yogyakarta, Bali, NTB, dan Sumbar), kemudian dilanjutkan dengan kegiatan verifikasi di
12 provinsi (Aceh, Sumut, Jambi, Kepulauan Riau, Riau, Bengkulu, Babel, Lampung,
Sumsel, Kalsel, Kalbar dan Sulsel) tahun 2020 dan 13 provinsi (Kalteng, Kaltim, Kaltara,
Sulbar, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulut, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, NTT,
Papua, dan Papua Barat) pada 2021. Hasil verifikasi dan klarifikasi 20 provinsi (Aceh, Sumut,
Jambi, Kepulauan Riau, Riau, Bengkulu, Babel, Lampung, Sumsel, Kalsel, Kalbar, Sulsel,
Aceh, Sumut, Jambi, Kepulauan Riau, Riau, Bengkulu ,Babel, Lampung, Sumsel, Kalsel,
Kalbar, dan Sulsel) tersebut kemudian akan ditetapkan menjadi Lahan Sawah yang Dilindungi
pada 2021 (Apriyanto et al., 2021)
Tahapan Penetapan Lahan Sawah Dilindungi
Pelaksanaan Verifikasi meliputi beberapa tahapan, yaitu: persiapan, identifikasi, analisis hasil
identifikasi, dan klarifikasi. Verifikasi dikoordinasikan oleh Direktorat Jenderal serta dapat
melibatkan direktorat jenderal lain di lingkungan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan
Pertanahan Nasional, Kantor Wilayah, dan Kantor Pertanahan (Prabowo, Kamil, & Mauludin,
2023).
a. Tahap Persiapan
1. Tahap persiapan dalam hal ini terdiri atas:
a) pembentukan tim
b) penyusunan rencana kerja
c) pengumpulan data awal.
2. Pembentukan tim ditetapkan melalui keputusan Direktur Jenderal. Format keputusan
pembentukan tim tercantum dalam lampiran.
3. Penyusunan rencana kerja paling sedikit meliputi:
a) rencana pelaksanaan identifikasi
b) rencana pelaksanaan analisis hasil identifikasi
c) rencana pelaksanaan klarifikasi.
4. Pengumpulan data awal paling sedikit meliputi:
a) data LBS termutakhir
b) data RTR
Analisis Yuridis Kepastian Hukum Bagi Investor Terhadap Pemetaan Lahan Sawah
Dilindungi
Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024 2289
c) data bidang tanah berdasarkan jenis Hak Atas Tanah dan PTP
5. Data LBS termutakhir didasarkan pada data LBS terkoreksi dari kementerian yang
membidangi koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan pemerintahan di bidang
perekonomian.
6. Data RTR dapat diperoleh dari Sistem Informasi Geospasial Tata Ruang (GISTARU)
atau pemerintah daerah. Data RTR tersebut berupa data RTR yang telah ditetapkan
dan/atau data RTR yang masih dalam proses penyusunan/revisi.
7. Data bidang tanah berdasarkan jenis Hak Atas Tanah dan PTP dapat diperoleh dari
Pusat Data dan Informasi Pertanahan, Tata Ruang dan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan (Pusdatin) Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan
Nasional. Data tersebut dalam format shapefile.
8. Dalam hal diperlukan, tahap persiapan dapat mencakup pula pembagian klaster, yang
paling sedikit mempertimbangkan:
a) jarak antarwilayah
b) ada atau tidaknya peraturan daerah/peraturan kepala daerah tentang rencana detail
tata ruang
c) lokasi pelaksanaan klarifikasi
b. Tahap identifikasi
1. Identifikasi merupakan kegiatan untuk menentukan faktor-faktor yang
dipertimbangkan sebagai pengurang dan/atau penambah terhadap luasan LBS
(Prabowo et al., 2023)
2. Identifikasi dilakukan terhadap:
a. KKPR, Izin, Konsesi, PTP, Penetapan Lokasi, dan/atau Hak Atas Tanah di atas
LBS
b. alih fungsi LBS
c. kawasan/zona tanaman pangan dalam RTR.
3. Faktor pengurang luasan LBS, antara lain
a. PTP yang telah diterbitkan
b. Hak Atas Tanah nonpertanian yang telah diterbitkan;
c. dasar penguasaan atas tanah yang telah diterbitkan
d. KKPR yang telah diterbitkan
e. Izin atau Konsesi yang telah diterbitkan
f. bangunan dan/atau urukan yang telah ada;
g. luasan LBS 5.000 m2 dan keberadaannya terkurung bangunan pada 3 (tiga)
sisi
h. Penetapan Lokasi/izin lokasi yang masih berlaku/KKPR PSN;
i. pembangunan Jaringan Infrastruktur
j. Kawasan Industri yang diprakarsai dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah
yang Izinnya telah diterbitkan
k. penetapan wilayah relokasi akibat bencana alam
Andy Rachmat Soeharjono, Aartje Tehupeiory, Wiwik Sri Widiarty
2290 Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024
l. LBS secara fungsional tidak dapat lagi dipertahankan sebagai LBS
berdasarkan hasil kajian dari tim yang terdiri dari unsur pemerintah dan
akademisi;
m. rencana pengembangan wilayah yang diprioritaskan pembangunan atau
perwujudannya dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun yang
dilengkapi dengan surat pernyataan dari kepala daerah; dan n. kesalahan basis
data peta LBS.
4. Faktor penambah luasan LBS, antara lain:
a) Lahan Sawah dengan produktivitas 3 (tiga) ton per hektar per panen yang
belum terdelineasi
b) cetak sawah baru
c) pembangunan jaringan/saluran irigasi baru.
5. Identifikasi dilakukan dengan menginventarisasi data berupa
a) data Citra Tegak Satelit Resolusi Tinggi (CTSRT), Citra Satelit Resolusi
Tinggi (CSRT), dan/atau foto udara provinsi/kabupaten/kota
b) data spasial dan/atau tekstual LBS terkoreksi provinsi/kabupaten/kota
c) data spasial dan tekstual RTR
d) data spasial dan/atau tekstual kawasan hutan
e) data spasial dan/atau tekstual KKPR, Izin, dan/atau Konsesi yang telah
diterbitkan di atas LBS
f) data spasial dan/atau tekstual PTP yang telah diterbitkan di atas LBS
g) data spasial dan/atau tekstual Hak Atas Tanah yang telah diterbitkan di atas
LBS
h) data spasial dan/atau tekstual Penetapan Lokasi PSN
i) data spasial dan/atau tekstual Jaringan Infrastruktur
j) data spasial dan/atau tekstual daerah irigasi
k) data spasial dan/atau tekstual saluran irigasi premium
l) data spasial dan/atau tekstual saluran irigasi teknis
m) data spasial dan/atau tekstual produktivitas Lahan Sawah
n) data kondisi eksisting Lahan Sawah (dapat menggunakan aplikasi Google
Streetview dengan tahun data yang relevan)
o) data foto Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) yang berkoordinat
(jika ada)
p) data pendukung lainnya yang diperlukan.
6. Data pertanahan (PTP dan Hak Atas Tanah) dapat diperoleh melalui aplikasi
Komputerisasi Kantor Pertanahan (KKP) atau melalui buku register, yang
memuat informasi berupa
a) nama pemegang Hak Atas Tanah/Izin/KKPR
b) jenis Hak Atas Tanah/Izin/KKPR
c) tahun penerbitan Hak Atas Tanah/Izin/KKPR
d) peruntukan tanah
e) penggunaan saat ini (alih fungsi)
Analisis Yuridis Kepastian Hukum Bagi Investor Terhadap Pemetaan Lahan Sawah
Dilindungi
Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024 2291
f) informasi lain yang terkait.
7. Data pendukung berupa gambar/foto dilengkapi dengan Geo Tagging dan Time
Stamp
8. Dalam hal diperlukan, identifikasi dapat disertai dengan survei lapangan.
9. Survei lapangan dilakukan untuk mengetahui kebenaran data yang telah
dikumpulkan, kondisi fisik LBS aktual, dan pemanfaatan LBS aktual yang dapat
dipertimbangkan sebagai faktor pengurang dan/atau faktor penambah luasan LBS.
10. Sebelum dilaksanakan survei lapangan, perlu disiapkan perlengkapan paling
sedikit berupa:
a) komputer/laptop yang memiliki software GIS;
b) alat ukur GPS Handheld
c) Unmanned Aerial Vehicle (UAV)/Drone (apabila diperlukan) dengan resolusi
gambar yang jelas
d) kamera dengan resolusi tinggi
e) peta kerja dengan skala 1:5.000 (apabila skala 1:5.000 tidak tersedia, dapat
menggunakan skala 1:10.000).
11. Survei lapangan dilaksanakan dengan melakukan pemantauan atau pemeriksaan
lapangan (ground check survey). Dalam survei lapangan, dapat dilakukan
beberapa kegiatan, antara lain:
a) pengecekan lokasi dan luas LBS (terutama LBS yang tidak sesuai dengan
kawasan/zona tanaman pangan dalam RTR dan/atau LBS yang terdapat
perbedaan data dengan pemerintah daerah)
b) pengecekan lokasi dan kondisi jaringan/saluran irigasi LBS
c) pengecekan kondisi fisik LBS
d) pengecekan lokasi PSN
e) pengecekan lokasi Jaringan Infrastruktur
f) pengecekan lokasi Lahan Sawah dengan produktivitas 3 (tiga) ton per hektar
per panen yang belum terdelineasi (jika ada); dan/atau
g) pengecekan lokasi cetak sawah baru (jika ada).
12. Dalam pelaksanaan identifikasi, dapat berkoordinasi dengan Kantor Pertanahan,
Kantor Wilayah, dan instansi terkait.
13. Identifikasi menghasilkan keluaran berupa rekapitulasi data faktor pengurang
dan/atau faktor penambah luasan LBS.
c. Tahap Analisis Hasil Identifikasi
1. Analisis hasil identifikasi merupakan kegiatan pengolahan data spasial dan data
tekstual berdasarkan hasil identifikasi (Prabowo et al., 2023)
2. Analisis hasil identifikasi dilakukan dengan:
a) mengolah data spasial dan data tekstual yang telah diinventarisasi untuk
menentukan faktor pengurang dan/atau faktor penambah luasan LBS;
b) melakukan penapisan melalui proses tumpang susun (overlay) peta LBS
terkoreksi dengan peta RTR (baik yang dalam proses pembahasan lintas
Andy Rachmat Soeharjono, Aartje Tehupeiory, Wiwik Sri Widiarty
2292 Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024
sektor, persetujuan substansi, maupun yang telah ditetapkan dengan peraturan
daerah/peraturan kepala daerah) untuk menghasilkan:
1) LSD indikatif yang sesuai dengan kawasan/zona tanaman pangan dalam
RTR
2) LSD indikatif yang tidak sesuai dengan kawasan/zona tanaman pangan
dalam RTR;
c) terhadap LSD indikatif yang tidak sesuai dengan kawasan/zona tanaman
pangan dalam RTR, dilakukan analisis dan penapisan lebih lanjut terhadap:
1) produktivitas Lahan Sawah
2) faktor pengurang
3) daerah/jaringan/saluran irigasi
4) faktor penambah (jika ada)
5) dokumen pendukung.
3. Dokumen pendukung berupa gambar/foto dilengkapi dengan Geo Tagging dan
Time Stamp.
4. Analisis hasil identifikasi menghasilkan keluaran berupa:
a) Peta LSD indikatif dengan skala 1:5.000 (apabila penggunaan skala 1:5.000
tidak dapat dilakukan, maka dapat menggunakan skala 1:10.000)
b) laporan analisis hasil identifikasi. Sistematika laporan analisis hasil identifikasi
tercantum dalam lampiran.
d. Tahap Klarifikasi
1. Klarifikasi dilakukan terhadap analisis hasil identifikasi (Prabowo et al., 2023).
2. Klarifikasi bertujuan untuk menggali informasi dan masukan terkait LSD indikatif
kepada pemangku kepentingan baik di pusat maupun di daerah.
3. Klarifikasi dilaksanakan melalui Focus Group Discussion (FGD).
4. Klarifikasi dilakukan terhadap:
a) PTP yang telah diterbitkan di atas LSD indikatif;
b) Hak Atas Tanah nonpertanian yang telah diterbitkan di atas LSD indikatif;
c) dasar penguasaan atas tanah yang telah diterbitkan di atas LSD indikatif;
d) KKPR yang telah diterbitkan di atas LSD indikatif;
e) Izin dan/atau Konsesi yang telah diterbitkan di atas LSD indikatif;
f) peruntukan RTR pada LSD indikatif;
g) Penetapan Lokasi/izin lokasi yang masih berlaku/KKPR PSN di atas LSD
indikatif
h) rencana pembangunan Jaringan Infrastruktur di atas LSD indikatif
i) Kawasan Industri yang diprakarsai dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah
yang Izinnya telah diterbitkan di atas LSD indikatif;
j) penetapan wilayah relokasi akibat bencana alam di atas LSD indikatif;
k) penetapan kawasan pertanian pangan berkelanjutan/lahan pertanian pangan
berkelanjutan/lahan cadangan pertanian pangan berkelanjutan;
l) daerah irigasi kewenangan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota;
Analisis Yuridis Kepastian Hukum Bagi Investor Terhadap Pemetaan Lahan Sawah
Dilindungi
Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024 2293
m) produktivitas LSD indikatif
n) cetak sawah baru
o) rencana pembangunan jaringan/saluran irigasi baru;
p) informasi kelompok petani dan subsidi pertanian
q) kondisi pemanfaatan LSD indikatif saat ini
r) data dan informasi lain sesuai dengan kebutuhan
5. Hasil klarifikasi dituangkan dalam berita acara.
6. Setelah pelaksanaan klarifikasi, perubahan luas dan sebaran LSD indikatif masih
dapat dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a) dilakukan sebelum dilaksanakannya sinkronisasi hasil Verifikasi oleh Tim
Terpadu
b) disepakati oleh tim Verifikasi dan Pemerintah Daerah berdasarkan data
pendukung yang dapat dipertanggung jawabkan. Kesepakatan perubahan luas
dan sebaran LSD indikatif sebagaimana dimaksud di atas dituangkan dalam
berita acara.
7. Hasil klarifikasi selanjutnya ditindaklanjuti dengan penyusunan laporan hasil
Verifikasi.
8. Laporan hasil Verifikasi dilengkapi dengan lampiran berupa:
a) berita acara hasil Verifikasi dan klarifikasi
b) Peta LSD indikatif hasil Verifikasi dengan skala 1:5.000 (apabila penggunaan
skala 1:5.000 tidak dapat dilakukan, maka dapat menggunakan skala
1:10.000)
c) berita acara kesepakatan perubahan luas dan sebaran LSD indikatif (jika ada)
d) dokumen pendukung, dapat berupa:
1) surat pernyataan kesanggupan dari kepala daerah untuk mewujudkan
rencana pengembangan wilayah yang diprioritaskan perwujudan atau
pembangunannya dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun
2) bukti komitmen investasi
3) nama investor
4) dokumen pendukung lainnya.
Sistematika laporan hasil Verifikasi, format berita acara hasil Verifikasi dan
klarifikasi, format Peta LSD indikatif hasil Verifikasi, format berita acara
kesepakatan perubahan luas dan sebaran LSD indikatif, format surat pernyataan
kesanggupan dari kepala daerah untuk mewujudkan rencana pengembangan wilayah
yang diprioritaskan perwujudan atau pembangunannya dalam jangka waktu paling
lama 3 (tiga) tahun, dan contoh bukti komitmen investasi tercantum dalam lampiran.
9. Dokumen pendukung berupa gambar/foto dilengkapi dengan Geo Tagging dan Time
Stamp.
Laporan hasil Verifikasi beserta lampirannya disampaikan kepada Tim Terpadu
untuk dilakukan sinkronisasi hasil verifikasi Lahan Sawah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan
Andy Rachmat Soeharjono, Aartje Tehupeiory, Wiwik Sri Widiarty
2294 Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024
Perlindungan Hukum dan Kepastian Hukum Bagi Investor
Merujuk pada Pasal 1 Angka (1) Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal, investasi merupakan suatu kegiatan yang dapat dikatakan memiliki kemiripan dengan
penanaman modal, penanaman modal adalah sebagai bentuk kegiatan menanamkan modal,
baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan
usaha di wilayah negara Republik Indonesia (Syah, 2010). Berdasarkan definisi tersebut,
modal dari penanaman modal meliputi:
a. Kegiatan menanam modal, modal yang dimaksud adalah asset dalam bentuk uang atau
bentuk lain yang bukan uang yang dimiliki oleh penanam modal yang mempunyai nilai
ekonomis (Pasal 1 Angka (9) Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007).
b. Investor atau penanam modal, penanaman modal adalah perseorangan atau badan usaha
yang melakukan penanaman modal yang dapat berupa penanam modal dalam negeri dan
penanam modal asing (Pasal 1 Angka (4) Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007).
c. Melakukan kegiatan usaha, kegiatan usaha dimaksud dapat berupa kegiatan menjalankan
usaha; mendirikan Perusahaan; melakukan kegiatan proyek seperti pembuatan jembatan,
tol, infrastruktur, dan lain sebagainya
d. Di wilayah tertentu, penanaman modal harus menjalankan kegiatan usaha yg
berkedudukan di wilayah Indonesia. Khusus untuk penanaman modal asing, wajib
berkedudukan di di Wilayah Indonesia. Kecuali, ditentukan lain oleh undang-undang
(Pasal 5 Ayat (2) Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007)
Investasi adalah tindakan atau proses menanamkan dana, sumber daya, atau aset lainnya ke
dalam suatu aset atau proyek dengan tujuan untuk memperoleh pengembalian atau
keuntungan di masa yang akan datang. Berikut adalah beberapa definisi investasi menurut
beberapa ahli:
a. Benjamin Graham, menyatakan bahwa investasi adalah kegiatan menanamkan uang dalam
aset-aset dengan harapan mendapatkan keuntungan di masa depan.
b. John Maynard Keynes, menurutnya Investasi adalah proses membuang konsumsi sekarang
demi konsumsi di masa mendatang.
c. Philip Fisher, investasi adalah membeli saham bukan karena fluktuasi harga jangka
pendek, tetapi karena keyakinan bahwa perusahaan tersebut memiliki prospek jangka
panjang yang baik (Dimyati, 2014).
Tujuan utama dari investasi adalah untuk mengalokasikan dana saat ini dengan harapan
mendapatkan manfaat finansial yang lebih besar di kemudian hari. Investasi melibatkan
penilaian terhadap risiko dan potensi pengembalian, serta keputusan tentang bagaimana
mengalokasikan sumber daya dengan bijak untuk mencapai tujuan finansial jangka Panjang.
Sebagaimana diketahui bahwa pemerintah Indonesia secara prinsip terbuka pada
penanaman modal. Untuk meningkatkan minat investor, melalui Pasal 4 Undang-undang
Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, pemerintah menetapkan kebijakan dasar
penanaman modal untuk mendorong terciptanya iklim usaha nasional yang kondosif bagi
penanaman modal untuk pengutan daya saing. Penguatan daya saing perekoknomian nasional
dan mempercepat peningkatan penanaman modal. Istilah Penanaman modal lebih mempunyai
makna investasi langsung. Hal ini sebagaimana penjelasan Pasal Undang-undang Nomor 25
Analisis Yuridis Kepastian Hukum Bagi Investor Terhadap Pemetaan Lahan Sawah
Dilindungi
Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024 2295
Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
penanaman modal disemua sektor di wilayah Republik Indonesia adalah penanaman modal
langsung dan tidak termasuk penanaman modal tidak langsung atau portofolio. Dalam
penjelasan umum Undang-undang Penanaman Modal juga ditegaskan bahwa ini mencakup
semua kegiatan penanaman modal langsung di semua sektor (Fahmi, 2017).
Hubungan antara investasi dan kepastian hukum tanah sangat erat karena kepastian
hukum tanah merupakan faktor penting yang memengaruhi minat dan keberhasilan investasi.
Investor membutuhkan ladasan hukum yang pasti dalam menjalankan bisnisnya, Dalam
berinvesatsi investor akan melakukan studi kelayakan (feasibility) tentang prospek bisnis yang
akan dijalankan, termasuk yang diteliti adalah ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan investasi tersebut, akan menjadi masalah bagi investor adalah jika kerugian
yang dialami bukan karena salah mengelola perusahaan, akan tetapi tidak ada perlindungan
hukum, baik terhadap modal yangditanamkan maupun barang yang akan diproduksi. Investor
membutuhkan adanya kepastian hukum dalam menjalankan usaha, artinya investor butuh satu
ukuran yang menjadi pegangan dalam melakukan kegiatan investasinya. Ukuran ini disebut
aturanyang dibuat oleh pihak yang mempunyai otoritas untuk itu, karena kepastian hukum
adalah salah satu keharusan untuk datangnya modal asing ke suatu negara.
Dalam menjalankan setiap usahanya, investor berlandaskan pada beberapa peraturan
perundang-undangan yang mendasari setiap usaha yang akan dilakukan, beberapa landasan
hukum tersebut antara lain dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), yang merupakan penjabaran dari amanah Pasal 33 Ayat
(3) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 digunakan sebagai
regulasinya. Pasal 21 UUPM yang menyatakan bahwa: Selain fasilitas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18, Pemerintah memberikan kemudahan pelayanan dan/atau perizinan kepada
perusahaan penanaman modal untuk memperoleh: (a) hak atas tanah; (b) fasilitas pelayanan
keimigrasian; dan (c) fasilitas perizinan impor. Pasal 22 ayat (1) yang menyatakan:
Kemudahan pelayanan dan/atau perizinan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
21 huruf a dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus dan dapat diperbarui Kembali
(Arba, SH, Mulada, & SH, 2021).
Analisis Kepastian Hukum Bagi Investor Terhadap Penetapan Peta Lahan Sawah
Dilindungi
Pengertian tentang investasi dengan istilah penanaman modal juga, investasi
berhubungan dengan keuangan dan ekonomi yang berkaitan dengan akumulasi suatu bentuk
aktiva dengan suatu harapan mendapatkan keuntungan dimasa depan. Pembentukan lahan
sawah dilindungi untuk menyelesaikan permasalahan pertanahan dan menyediakan tanah
untuk berbagai kepentingan, namun pengadaan lahan ini sering kali menimbulkan beberapa
problematika hukum yang merugikan pemilik tanah sebelumnya.
Pada kenyataannya, lahan yang berstatus hak milik juga terkena dampak dari
Keputusan Menteri ATR/BPN NOMOR 1589/SK-HK.02.01/XII/2021. Jika dikaitkan dengan
Pasal 21 UUPA juncto Pasal 570 KUHPer, maka akan terjadi benturan norma. Jumlah tanah
yang menjadi objek sawah lindung sangat besar, Penetapan lahan sawah yang dilindungi
Andy Rachmat Soeharjono, Aartje Tehupeiory, Wiwik Sri Widiarty
2296 Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024
merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk menjaga pangan di masa depan, namun harus
dilakukan dengan proses yang tepat. Proses yang tepat adalah dengan tetap mengakomodir
tanggapan yang mendalam dan diskusi oleh para pemangku kepentingan di lapangan yang
mengetahui kondisi penggunaan tata ruang wilayah tersebut. Pemerintah tidak boleh
sembarangan menetapkan suatu kawasan yang seharusnya menjadi kawasan pengembangan
kota, atau kawasan komersial, di suatu kota atau kabupaten untuk mencapai target luasan
lahan sawah lindung yang telah ditetapkan di setiap daerah.
KESIMPULAN
Pelaksanaan Tahapan sinkronisasi Penetapan Peta Lahan Sawah yang Dilindungi (LSD)
dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten/Kota, Sering terjadinya alih fungsi
lahan sawah di Indonesia mendorong pemerintah untuk melakukan upaya perlindungan
eksistensi lahan sawah untuk menjamin ketersediaan lahan sawah sebagai bentuk hak
menguasai dari negara. Oleh karena itu, melalui Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2019,
pemerintah mengamanatkan untuk percepatan penetapan peta lahan sawah yang dilindungi
sebagai bentuk perlindungan eksistensi lahan sawah. Dalam praktiknya, terjadi
ketidaksesuaian antara peta lahan sawah yang dilindungi dengan rencana tata ruang wilayah
suatu daerah, penetapan peta lahan sawah yang dilindungi melalui tiga tahapan yaitu
verifikasi lahan sawah, sinkronisasi hasil verifikasi lahan sawah, dan pelaksanaan penetapan
peta lahan sawah yang dilindungi, kedua, sinkronisasi peta lahan sawah yang dilindungi
dengan rencana tata ruang wilayah dapat dilakukan melalui permohonan dikeluarkannya
lahan dari peta lahan sawah yang dilindungi selama memenuhi kriteria dalam Petunjuk Teknis
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Nomor 5/Juknis-
HK.02/VI/2022 dan selanjutnya dilakukan perubahan peta lahan sawah yang dilindungi oleh
perangkat daerah, ketua tim pelaksana, dan tim terpadu untuk terwujudnya sinkronisasi antar
peraturan.
Pengelolaan penggunaan lahan dilakukan berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) Kota. RTRW suatu kabupaten/kota ditetapkan berdasarkan peraturan daerah
kabupaten/kota. RTRW Kabupaten/Kota merupakan pedoman bagi pemerintah daerah untuk
menentukan lokasi kegiatan pembangunan pemanfaatan ruang serta menyusun program
pembangunan terkait pemanfaatan ruang pada kawasan, sekaligus menjadi dasar pemberian
rekomendasi. untuk memandu penggunaan ruang. agar pemanfaatan ruang dalam pelaksanaan
pembangunan senantiasa selaras dengan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota.
Perbedaan antara luas LSD yang telah ditetapkan dalam Kepmen ATR/BPN No. 1589
Tahun 2021 dengan luas lahan hasil verifikasi aktual yang dilakukan oleh Tim Terpadu dan
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dikembalikan kepada Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota terkait apakah lahan-lahan yang tidak sesuai tersebut akan dikeluarkan dari
peta LSD atau tidak.
Marak terjadinya ketidaksesuaian seperti yang telah dipaparkan di atas, Menteri
ATR/BPN mengeluarkan Petunjuk Teknis Nomor 5/Juknis-HK.02/VI/2022 pada tanggal 14
Juni 2022 tentang Penyelesaian Ketidaksesuaian Lahan Sawah yang Dilindungi dengan
Rencana Tata Ruang, Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang, Izin, Konsesi, dan/atau Hak
Analisis Yuridis Kepastian Hukum Bagi Investor Terhadap Pemetaan Lahan Sawah
Dilindungi
Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024 2297
Atas Tanah (selanjutnya disebut Juknis) sebagai solusi untuk dapat mengeluarkan lahan-lahan
yang memenuhi kriteria sebagaimana diatur dalam Juknis tersebut dari peta LSD. Perpres No.
59 Tahun 2019 memberikan solusi jika suatu lahan yang masuk dalam peta LSD hendak
dialih fungsikan sebagaimana telah dipaparkan pada poin sebelumnya, yakni diajukannya
permohonan rekomendasi kepada Kepala Kantor Pertanahan di Kabupaten/Kota yang
selanjutnya dilaporkan kepada Menteri ATR/BPN melalui Kepala Kantor Wilayah dan
direktur jenderal terkait
Dalam kaitannya dengan perencanaan tata guna lahan, perlu dikoordinasikan dua hal,
yaitu keselarasan antara rancangan dan isi perencanaan tata guna lahan dengan perencanaan
tata guna lahan di kawasan. Karena keterbatasan ruang dan semakin meningkatnya
pemahaman masyarakat akan pentingnya perencanaan penggunaan lahan, maka perlu
diselenggarakan perencanaan penggunaan lahan yang nyaman, aman, efektif dan
berkelanjutan. Ruang angkasa meliputi ruang datar, ruang laut, dan ruang luar, termasuk
ruang di dalam bumi, tempat manusia dan makhluk lain hidup, beraktivitas, dan menjamin
kelangsungan hidupnya, yang ketersediaannya pada hakikatnya tidak terbatas.
Kepastian Hukum Bagi Investor Terhadap Penetapan Peta Lahan Sawah yang
Dilindungi (LSD), Penetapan lahan sawah dilindungi tidak dapat semudah itu dilakukan.
Berdasarkan ketentuan yang berlaku dalam Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2019 tentang
Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah, penulis setuju bahwa sering kali perencanaan tata
ruang tidak sejalan dengan penetapan Lahan Sawah Dilindungi. Peninjauan Lahan Sawah
Dilindungi yang telah dianalisis dan ditetapkan oleh Kementerian ATR/BPN tidak semudah
itu mekanisme penetapannya. Dimana lahan yang sudah ditinjau dan sesuai ketentuan Pasal 7
Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2019 tentang Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah
perlu dikoordinasikan dengan banyak pihak baik swasta, Pemerintah Daerah hingga
Pemerintah Pusat.
Hubungan antara investasi dan kepastian hukum tanah sangat erat karena kepastian
hukum tanah merupakan faktor penting yang memengaruhi minat dan keberhasilan investasi.
Investor membutuhkan ladasan hukum yang pasti dalam menjalankan bisnisnya, Dalam
berinvesatsi investor akan melakukan studi kelayakan (feasibility) tentang prospek bisnis
yang akan dijalankan, termasuk yang diteliti adalah ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan investasi tersebut, akan menjadi masalahbagi investor adalah jika
kerugian yang dialami bukan karena salah mengelola perusahaan, akan tetapi tidak ada
perlindungan hukum, baik terhadap modal yang ditanamkan maupun barang yang akan
diproduksi. Investor membutuhkan adanya kepastian hukum dalam menjalankan usaha,
artinya investor butuh satu ukuran yang menjadi pegangan dalam melakukan kegiatan
investasinya. Ukuran ini disebut aturan yang dibuat oleh pihak yang mempunyai otoritas
untuk itu, karena kepastian hukum adalah salah satu keharusan untuk datangnya para investor.
Asas dalam melakukan investasi diatur dalam pasal 3 UU pasar modal. Berdasarkan ketentuan
pada pasal diatas, kapastian hukum di Ietakan pada urutan pertama karena kepastian hokum
yang akan menentukan minat investor untuk menjalankan usahanya di Indonesia.
Andy Rachmat Soeharjono, Aartje Tehupeiory, Wiwik Sri Widiarty
2298 Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024
BIBLIOGRAFI
Apriyanto, Mulono, Fikri, K. M. S. Novyar Satriawan, & Azhar, Ali. (2021). Sosialisasi
Konsep Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Di Kecamatan Batang Tuaka,
Kabupaten Indragiri Hilir. PaKMas: Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat, 1(1), 814.
Arba, H. M., SH, M., Mulada, Diman Ade, & SH, M. H. (2021). Hukum Hak Tanggungan:
Hak Tanggungan Atas Tanah dan Benda-Benda Diatasnya. Sinar Grafika (Bumi
Aksara).
Dimyati, Hilda Hilmiah. (2014). Perlindungan Hukum Bagi Investor Dalam Pasar Modal.
Jurnal Cita Hukum, 2(2).
Fahmi, Irham. (2017). Pengantar pasar modal: panduan bagi para akademisi dan praktisi
bisnis dalam memahami pasar modal Indonesia.
Hasni, Muhammad. (2008). Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah. Radja
Grafindo, Jakarta.
Jonaedi Efendi, S. H. I., Johnny Ibrahim, S. H., & Se, M. M. (2018). Metode Penelitian
Hukum: Normatif dan Empiris. Prenada Media.
Marthen Arie, S. H. (2022). Hukum Penanaman Modal Asing. Nas Media Pustaka.
NikenSari, Diah, & Budhianti, Meta Indah. (2023). -Lahan Sawah Dilindungi Dikaitkan
Dengan Rencana Tata Ruang Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2019.
Reformasi Hukum Trisakti, 5(4), 840851.
Prabowo, Sekti Andy, Kamil, Muhammad Ikhsan, & Mauludin, Novie Afif. (2023).
Pelaksanaan Pelayanaan Pemecahan Dan Pemisahan Sertipikat Pada Kawasan “Lahan
Sawah Dilindungi” Berdasarkan Peraturan Menteri Atr/Bpn Nomor 12 Tahun 2020
(Studi Di Kantor Pertanahan Kota Mataram). Unizar Recht Journal (URJ), 2(1).
Santoso, Urip, & SH, M. H. (2017). Hukum Agraria: Kajian Komprehenshif. Prenada Media.
Sitorus, Oloan, & Limbong, Dayat. (2004). Pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Mitra
Kebijakan Tanah Indonesia.
Sumarja, F. X. (2008). Hukum Tata Guna Tanah di Indonesia. Penerbit Universitas Lampung.
Supriyadi, Bambang Eko. (2013). Hukum agraria kehutanan: Aspek hukum pertanahan dalam
pengelolaan hutan negara.
Syah, Mudakir Iskandar. (2010). Pembebasan tanah untuk pembangunan kepentingan umum:
upaya hukum masyarakat yang terkena pembebasan dan pencabutan. (No Title).
Wantjik, Saleh K. (1982). Hak Anda Atas Tanah. Ghalia Indonesia, Jakarta.
Wibowo, Andika Wahyu, & Djaja, Ida Bagus Rai. (2013). Kendala Perizinan Penanaman
Modal Asing Di Indonesia. Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universiti Udayana.
Copyright holder:
Andy Rachmat Soeharjono, Aartje Tehupeiory, Wiwik Sri Widiarty (2024)
First publication right:
Syntax Idea
This article is licensed under: