How to cite:
Gerald Wuhanbino, Aartje Tehupeiory, Diana Napitupulu (2024) Akibat Hukum Penunjukan
Penerima Manfaat Berdasarkan Klausul dalam Asuransi Perspektif Kitab Undang-Undang Hukum
Perdatal, (06) 05, https://doi.org/10.36418/syntax-idea.v3i6.1227
E-ISSN:
2684-883X
Published by:
Ridwan Institute
AKIBAT HUKUM PENUNJUKAN PENERIMA MANFAAT BERDASARKAN
KLAUSUL DALAM ASURANSI PERSPEKTIF KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM
PERDATA
Gerald Wuhanbino, Aartje Tehupeiory, Binoto Nadapdap
Universitas Kristen Indonesia, Indonesia
Abstrak
Asuransi merupakan sarana finansial dalam tata kehidupan rumah tangga, baik dalam
menghadapi risiko mendasar seperti risiko kematian, atau dalam menghadapi risiko atas harta
benda yang dimiliki. Tipe penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian normatif, penelitian normative sering disebut dengan jenis penelitian Pustaka,
khusus menggunakan sumber hukum berupa peraturan perundang-undangan, yurisprudensi,
kontrak/perjanjian, teori hukum dan pendapat akademis. Setelah melihat uraian dari
pembahasan, dapat disimpulkan bahwa diperlukan klausul penunjukan dalam menentukan hak
dan kedudukan ahli waris dalam polis asuransi jiwa dibandingkan dengan ahli waris ab
intestato maupun ahli waris testamentair.
Kata kunci: hukum, berdasarkan klausal, asuransi,
Abstract
Insurance is a financial means in household life, both in the face of basic risks such as the
risk of death, or in the face of risks for property owned. The type of research that will be used
in this study is normative research, normative research is often referred to as the type of
literature research, specifically using legal sources in the form of laws and regulations,
jurisprudence, contracts / agreements, legal theories and academic opinions. After looking at
the description of the discussion, it can be concluded that an appointment clause is needed in
determining the rights and position of heirs in a life insurance policy compared to ab
intestato heirs and testamentair heirs
Keywords: legal, under clauses, insurance
PENDAHULUAN
Keadaan yang tidak kekal yang merupakan sifat alamiah tersebut mengakibatkan
adanya suatu keadaan yang tidak dapat diramalkan, sehingga dengan demikian keadaan
tersebut tidak akan pernah memberikan rasa pasti. Tidak adanya suatu kepastian tersebut
akhirnya akan sampai pada suatu keadaan yang tidak pasti pula. Keadaan yang tidak pasti
tersebut dapat berwujud dalam berbagai bentuk dan peristiwa. Keadaan tidak pasti terhadap
JOURNAL SYNTAX IDEA
pISSN: 2723-4339 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 6, No. 05, Mei 2024
Akibat Hukum Penunjukan Penerima Manfaat Berdasarkan Klausul dalam Asuransi
Perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024 2253
setiap kemungkinan yang dapat terjadi, baik dalam bentuk atau peristiwa yang belum tertentu
menimbulkan rasa tidak aman yang lazim disebut sebagai risiko. Pada sisi yang lain, manusia
sebagai makhluk Tuhan dianugerahi berbagai kelebihan.
Manusia sebagai makhluk yang mempunyai sifat-sifat yang lebih dari makhluk lain
mencari daya upaya guna mengatasi rasa tidak aman tersebut di atas. Manusia dengan akal
budinya berdaya upaya untuk menanggulangi rasa tidak aman tersebut sehingga merasa
menjadi aman. Dengan daya upayanya tersebut manusia berusaha bergerak dari
ketidakpastian menjadi suatu kepastian sehingga ia selalu dapat menghindarkan atau
mengatasi risiko-risikonya, baik secara individual ataupun bersama-sama.
Upaya untuk mengatasi sifat alamiah yang berwujud sebagai suatu keadaan yang tidak
pasti tersebut antara lain dilakukan oleh manusia dengan cara menghindarkan atau
melimpahkannya kepada pihak-pihak lain di luar dirinya sendiri. Upaya atau usaha manusia
untuk mengurangi atau menghindarkan risiko tersebut sudah lama dilakukan. Usaha tersebut
dimulai, sejak permulaan kegiatan ekonomi manusia, yaitu sejak manusia melakukan kegiatan
perdagangan yang sederhana. Usaha dan upaya manusia untuk menghindarkan dan
melimpahkan risiko kepada pihak lain beserta proses pelimpahannya sebagai suatu kegiatan
merupakan embrio atau cikal bakal perasuransian yang dilakukan melalui suatu perjanjian
pertanggungan.
Secara umum, asuransi adalah ide tentang sekelompok orang yang bekerja sama untuk
mempersiapkan suatu kerugian yang terjadi secara mendadak atau tidak terduga. Pada awal
abad ke-19 bentuk asuransi kemudian berkembang dengan dibentuknya asuransi jiwa. Pada
masa Kaisar Napoleon, pasal-pasal mengenai asuransi Laut dimasukkan dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Dagang (selanjutnya disebut dengan KUHD). Begitu juga dalam KUHD.
Kemudian pada perkembangan selanjutnya dalam rancangan terakhir yang kemudian menjadi
undang-undang, yaitu KUHD (Wetboek van Koophandel) tahun 1838, dimuat peraturan yang
berkaitan dengan asuransi Kebakaran, asuransi Hasil Bumi, dan asuransi Jiwa. Sistem ini juga
dipakai dalam KUHD untuk Hindia Belanda ketika itu, yang sekarang masih berlaku di
Indonesia (Sari, 2018).
Selanjutnya dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 dijelaskan
tentang objek asuransi yaitu benda atau jasa, jiwa dan raga, kesehatan manusia, tanggung-
jawab hukum, serta kepentingan lainnya yang dapat hilang, rusak, rugi dan atau berkurang
nilainya. Asuransi jiwa merupakan salah satu bentuk asuransi yang ada di dunia dan termasuk
dalam jenis asuransi sejumlah uang. Pasal 302 KUHD memberikan batasan mengenai
asuransi jiwa, yaitu bahwa jiwa seseorang dapat diasuransikan untuk keperluan orang yang
berkepentingan, baik untuk selama hidupnya, maupun untuk waktu yang ditentukan dalam
perjanjian. Dengan demikian jiwa seseorang dapat dipertanggungkan, baik oleh dirinya
sendiri maupun oleh orang lain, baik untuk waktu tertentu maupun untuk selama hidupnya.
Asuransi Jiwa memiliki peran tertentu dalam masyarakat yang berperan untuk
memberikan suatu perlindungan terhadap Jiwa. lain. Asuransi Jiwa adalah istilah yang
digunakan untuk merujuk pada tindakan, sistem, atau bisnis di mana perlindungan finansial
(atau ganti rugi secara finansial) untuk jiwa seseorang yang ditanggungkan untuk
mendapatkan penggantian dari kejadian-kejadian yang tidak dapat diduga yang dapat terjadi
Gerald Wuhanbino, Aartje Tehupeiory, Diana Napitupulu
2254 Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024
seperti kematian, kehilangan, kerusakan atau sakit, di mana melibatkan pembayaran premi
secara teratur dalam jangka waktu tertentu sebagai ganti polis yang menjamin perlindungan
tersebut. Istilah diasuransikan biasanya merujuk pada segala sesuatu yang mendapatkan
perlindungan (Ganie & SE, 2023).
Karena dipandang begitu pentingnya asuransi bagi sebagian masyarakat maka
kebutuhan akan jasa perasuransian makin dirasakan, baik oleh perorangan maupun dunia
usaha di Indonesia. Asuransi merupakan sarana finansial dalam tata kehidupan rumah tangga,
baik dalam menghadapi risiko mendasar seperti risiko kematian, atau dalam menghadapi
risiko atas harta benda yang dimiliki. Demikian pula dunia usaha dalam menjalankan
kegiatannya menghadapi berbagai risiko yang mungkin dapat menganggu kesinambungan
usahanya.
Dasar hukum asuransi diatur pada Undang undang No 40 Tahun 2014 tentang Asuransi
dalam Undang-Undang Perasuransian didefinisikan: Memberikan penggantian kepada
tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan
keuntungan atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita
tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tdak pasti,
Memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya tertanggung atau pembayaran
yang didasarkan pada hidupnya tertanggung dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan
dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana. Badan yang menyalurkan risiko disebut
tertanggung, dan badan yang menerima risiko disebut penanggung. Perjanjian antara kedua
badan ini disebut Perusahaan Asuransi. Perusahaan asuransi Memiliki Kebijakan yang berupa
kontrak legal yang menjelaskan setiap istilah dan kondisi yang dilindungi. Biaya yang dibayar
oleh tertanggung kepada penanggung untuk risiko yang ditanggung disebut premi. Ini
biasanya ditentukan oleh penanggung untuk dana yang bisa diklaim pada masa depan, biaya
administratif, dan keuntungan (Idayanti, 2020).
Berdasarkan peraturan Otoritas Jasa Keungan (OJK) No.69/POJK.05/2016 tentang
penyelenggaraan usaha perusahaan asuransi, perusahaan asuransi Syariah, perushaaan
reasuransi dan perusahaan reasuransi Syariah, ruang lingkup usaha perusahaan asuransi jiwa
berupa lini usaha anuitas yang berupalini usaha asuransi Kesehatan dan lini usaha asuransi
kecelakaan diri (Nomor, n.d.). Dalam asuransi terjadi hubungan hukum antara penanggung
dan tertanggung, hal tersebut tercantum dalam Pasal 246 KUHD yang menyatakan: “Asuransi
atau pertanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana seorang penangung mengikatkan
diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu Premi, untuk memberikan
penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang
diharapakan, yang mungkin akan diderita karena suatu peristiwa yang tak tertentu.” (Dagang,
2013)
Menurut KUHD, Asuransi adalah suatu persetujuan dimana pihak yang menjamin
berjanji kepada pihak yang dijamin, untuk menerima sejumlah uang premi sebagai pengganti
kerugian, yang mungkin akan diderita oleh yang dijamin, karena akibat dari suatu peristiwa
yang belum jelas.” Berdasarkan pengertian pasal 246 KUHD dan Pasal 1 Undang-undang No
40 tahun 2014 tentang Perasuransian, dapat disimpulkan ada tiga unsur dalam Asuransi, yaitu:
Pihak tertanggung, Pihak penanggung, Suatu kejadian.
Akibat Hukum Penunjukan Penerima Manfaat Berdasarkan Klausul dalam Asuransi
Perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024 2255
Dalam lingkup asuransi, hubungan hukum dalam perasuransian dapat timbul karena
adanya perjanjian antara penanggung dan tertanggung sebagaimana diuraikan dalam kontrak
asuransi, atau karena adanya peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar terjadinya.
hubungan antara perusahaan asuransi penanggung dan tertanggung. Dalam asuransi jiwa,
yang menjadi subyek adalah jiwa atau raga seseorang. Adapun jiwa atau raga, yang
bersangkutan adalah diri sendiri atau orang ketiga. Pihak ketiga yang mempunyai kepentingan
terhadap Tertanggung adalah ahli waris atau orang yang disebutkan dalam polis, dan akan
menerima ganti rugi apabila tertanggung meninggal dunia. Dalam asuransi jiwa kepentingan
Tertanggung terhadap hidup atau matinya seseorang yang dipertanggungkan dijadikan syarat
bagi Tertanggung untuk menerima jaminan asuransi dari Penanggung akibat adanya kerugian
finansial dan hilangnya hak subjektif yang diberikan Tertanggung kepada keluarganya.
(Hudha & Rahardjanto, 2018)
Setiap perusahaan asuransi diwajibkan taat kepada enam prinsip dasar dalam mendesain
produknya. Keenam prinsip dasar tersebut adalah Prinsip kepentingan dalam berasuransi
(Insurable interest Principle), Prinsip itikad baik (Utmost goodfaith), prinsip keseimbangan
(indemnity principle), Prinsip subrogasi (Subrogation principle) Prinsip penyebab utama
(proximate cause principle) dan prinsip kontribusi (Contribution principle) (Kasmir, 2018).
Dalam perspektif hukum, insurable interest berarti bahwa seseorang terhadap kontrak
asuransi, di mana peserta maupun pemegang polis harus memiliki hubungan khusus terhadap
subject-matter asuransi, apakah itu berkaitan dengan kehidupan, kekayaan, atau kemampuan
di mana hal itu akan ditunjuk. Ketiadaan persyaratan hubungan ini akan menyebabkan tidak
sahnya kontrak (illegal contract) Perjanjian yang telah dibuat menjadikan kontrak yang batal
(Kasmir, 2018).
Dilihat dari dasar hukumnya dalam Pasal 250 KUHDagang yang menyebutkan bahwa:
“Apabila seseorang yang telah mengadakan pertanggungan untuk diri sendiri, atau apabila
seorang, yang untuknya telah diadakan suatu pertanggungan, pada saat
diadakannyapertanggungan itu tidak mempunyai kepentingan terhadap barang yang
dipertanggungkan itu, maka Penanggung tidaklah diwajibkan memberikan ganti kerugian.”
Pasal 250 tersebut menyatakan bahwa harus atau mewajibkan adanya prinsip insurable
interest (kepentingan yang dapat diasuransikan) untuk mencegah sebuah kontrak polis
diperjual-belikan atau sebagai bahan taruhan. Kalau tidak terdapat insurable interest pada
sebuah kontrak asuransi, maka asuransi tersebut akan dianggap tidak sah (void). Oleh karena
itu, pihak asuransi secara berkala akan meninjau penunjukan ahli waris apakah sesuai atau
tidak (Fitmy, Purwiyantiningsih, & Afwa, 2020).
Dalam asuransi juga terdapat hak penerima manfaat, Penentuan penerima manfaat
asuransi jiwa tidak terlepas dari peraturan perundang-undangan. Dalam pasal 38 KUH
Perdata, disebutkan bahwa ahli waris adalah mereka yang memiliki hubungan darah atau
terikat perkawinan. Hubungan darah tersebut bisa keturunan langsung, saudara, atau
keturunan dari saudara (Djaja S Meliala, 2018).
Dalam sistem hukum waris menurut versi KUH Perdata, dikenal dua macam ahli waris,
yaitu:
a. Ahli waris karena kedudukannya sendiri (dalam bahasa Belanda uit eigen hoofde)
Gerald Wuhanbino, Aartje Tehupeiory, Diana Napitupulu
2256 Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024
b. Ahli waris karena pergantian tempat (dalam bahasa Belanda bij plaatsvervulling).
Asuransi merupakan sesuatu yang bisa diwariskan oleh kepada orang lain. Seperti
asuransi pendidikan, asuransi kesehatan, dan lain sebagainya. Pada setiap asuransi setiap klien
bisa menuliskan nama orang lain sebagai pewaris dari asuransinya tersebut, apabila terjadi
sesuatu yang tidak diinginkan. Dalam asuransi jiwa terdapat surat permohonan asuransi jiwa
(SPAJ). Dalam Menentukan Hak Waris Ini kita harus mengetahui siapa saja golongan yang
berhak dalam mendapatkan warisan. Dalam Peraturan perundang-undangan dan Kompilasi
Hukum Islam, telah dijelaskan siapa saja yang berhak menerima warisan. Akan tetapi setiap
warisan yang akan diberikan, tidak hanya terkait dengan hubungan keluarga. tetapi juga dapat
diberikan kepada orang lain yang tidak ada hubungan keluaraga. Tentunya hal ini adalah hak
dari Pewaris yang ingin mewariskan harta atau apapun kepada siapa saja, yang dianggap
layak dan pantas menerima warisan dari Pewaris (Fuadi, 2016).
Dalam Perjanjian Asuransi diwajibkan untuk adanya klausul penunjukan penerima
manfaat untuk Penerima klaim polis asuransi, baik dari golongan yang sudah ditentukan
dalam undang-undang ataupun diluar golongan yang disebutkan di dalam undang undang.
Lalu dalam sebuah perjanjian asuransi kita dapat melakukan penunjukan seseorang yang
berhak sebagai penerima harta waris untuk satu orang spesifik yang berada dalam kedudukan
tertinggi, hal ini di sebabkan apabila tiba tiba terjadi hal atau sesuatu yang terjadi kepada kita
(Penerima manfaat dan Pemegang Polis). Lalu dalam Klausul Perjanjian Asuransi kita yang
ditempatkan sebagai nasabah dapat melakukan Penunjukan penerima manfaat dalam
Perjanjian Asuransi (Effendi Perangin, 2014).
Uang hasil dari klaim polis asuransi tersebut termasuk dalam harta waris yang
ditinggalkan oleh pewaris. Harta waris ini harus diserahkan kepada para ahli waris yang sudah
ditentukan oleh undang-undang. Maka dalam hal ini klaim asuransi termasuk dalam harta
peninggalan yang wajib diberikan kepada semua ahli waris dan telah ditentukan bagiannya.
Seseorang yang menerima harta warisan terdapat dua golongan, yang pertama adalah
ahli waris ab intestato, merupakan bentuk pewarisan dimana hubungan darah merupakan
faktor penentu dalam hubungan pewarisan antara pewaris dan ahli waris, golongan kedua
disebut testamentair (ahli waris karena ditunjuk dalam surat wasiat). Dari sisi harta kekayaan
yang diwariskan kepada seseorang yang ditunjuk dalam polis asuransi merupakan suatu
permasalahan hukum yang dikaji dalam tesis ini, oleh karena polis asuransi (perjanjian
asuransi) memiliki banyak persamaan dengan suatu wasiat sehingga nampak adanya
persilangan antara suatu penetapan/penunjukan ahli waris (dapat digolongkan sebagai wasiat
dari seseorang kepada orang lain) terhadap suatu jumlah tertentu bagian dari harta warisan
yang ditentukan oleh calon pewaris dengan suatu perjanjian dua pihak yang berisi penyerahan
suatu kewajiban pembayaran dari pihak ketiga (perusahaan asuransi) kepada orang yang
ditunjuk oleh calon pewaris (Safitri, 2020).
Dalam tesis ini dikaji isu hukum (legal issue) mengenai apakah kehendak terakhir yang
dituangkan dalam perjanjian antara calon pewaris dan perusahaan asuransi dapat
dikategorikan sebagai suatu wasiat, mengenai hak dan kedudukan ahli waris dalam polis
asuransi jiwa dibandingkan dengan ahli waris abintestate mau pun ahli waris testamentair
Akibat Hukum Penunjukan Penerima Manfaat Berdasarkan Klausul dalam Asuransi
Perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024 2257
serta kedudukan ahli waris legitimaris yang tidak disebut dalam polis asuransi terhadap uang
pertanggungan yang melanggar hak mutlak (legitimeportie).
METODE PENELITIAN
Tipe penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian normatif,
penelitian normative sering disebut dengan jenis penelitian Pustaka, khusus menggunakan
sumber hukum berupa peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, kontrak/perjanjian, teori
hukum dan pendapat akademis. penelitian hukum normatif dalam hal ini sering disebut
dengan penelitian hukum yang bersifat doktrinal, disebut juga penelitian kepustakaan atau
penelitian dokumen (Marzuki & Sh, 2020).
Dalam penelitian ini metode pendekatan yang dipakai adalah Pendekatan perundang-
undangan (statute approach), Pendekatan ini dilakukan dengan menelaah semua peraturan
perundang-undangan dan regulasi yang terkait dengan isu hukum yang sedang bahas (diteliti).
Serta menggunakan pendekatan Pendekatan konseptual (conceptual approach) Pendekatan ini
beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu
hukum. Pendekatan penelitian dipilih dalam rangka mencari jawaban atas isu-isu hukum
dalam suatu penelitian hukum. Oleh karena itu, kesesuaian antara pendekatan dengan isu
hukum merupakan pertimbangan utama dalam melakukan pemilihannya.
Dalam menggali hukum, penulis menggunakan 3 jenis sumber bahan hukum, yaitu:
a. Bahan hukum primer merupakan bahan buku yang bersifat yang berkaitan juga beberapa
aturan hukum yang berlaku dan memiliki korelasi dengan penelitian ini juga mengenai
aturan perundang-undangan yang meliputi
1. Undang-undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.
2. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2831 K/Pdt/ 1988
3. Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Tahun 2000
4. Peraturan Otoritas Jasa Keungan (OJK) No.69/POJK.05/2016 tentang penyelenggaraan
usaha perusahaan asuransi, perusahaan asuransi Syariah, perushaaan reasuransi dan
perusahaan reasuransi Syariah
5. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
6. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
b. Bahan hukum sekunder merupakan suatu bahan hukum yang memiliki sifat sebagai
penunjang bahan hukum primer, bahan hukum sekunder terdiri atas berupa artikel, jurnal
dan bahan bacaan lainnya.
c. Bahan teori tersier merupakan bahan hukum yang sifatnya melengkapi kedua bahan hukum
diatas. Dalam proposal ini untuk bahan hukum tersier, penulis menggunakan artikel berita
untuk memperoleh informasi data yang diperlukan.
Tehnik pengumpulan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, menggunakan
tehnik studi dokumen (documenter) dan dilakukan dengan menggunakan sistem kartu (card
sistem), kemudian diinventarisir dan dikelompokkan (klasifikasi) sesuai dengan masing-
masing rumusan masalah (Purwati, 2020). Analisis penelitian ini dilakukan dengan cara
mengkritis, mendukung, atau memberi komentar, kemudian membuat suatu kesimpulan
terhadap hasil penelitian dengan pikiran sendiri dan dengan bantuan kajian pustaka. Metode
Gerald Wuhanbino, Aartje Tehupeiory, Diana Napitupulu
2258 Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024
untuk jenis penelitian hukum normatif berupa metode dreskriptif yaitu metode analisis yang
memberikan penilaian (Justifikasi) tentang objek yang diteliti apakah benar atau salah atau
apa yang seharusnya menurut hukum (Purwati, 2020).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Implementasi Prinsip Insurable Interest dalam asuransi
Sistem hukum asuransi di Indonesia prinsip kepentingan yang dapat diasuransikan
diatur dalam Pasal 250 dan 268 KUHD. Pada hakikatnya setiap kepentingan dapat
diasuransikan baik yang bersifat kebendaan atau kepentingan. Pasal 268 memberikan batasan
tentang kepentingan yaitu dapat dinilai dengan uang, dapat diancam biaya dan tidak
dikecualikan dalam Undang-Undang.
Sebagai bahan perbandingan, dalam sistem hukum di Inggris pengaturan unsur
kepentingan yang dapat diasuransikan terdapat dalam Pasal 6 Marine Insurance Act. Pada
Pasal tersebut dijelaskan bahwa unsur kepentingan yang dapat diasuransikan harus ada pada
kerugian terjadi. Dengan demikian seorang tertanggung dapat mengasuransikan sesuatu
walaupun pada saat ditutupnya perjanjian asuransi belum mempunyai kepentingan terhadap
yang diasuransikan tersebut (Sastrawidjaja, 1997).
Dalam perjanjian asuransi, unsur kepentingan merupakan syarat mutlak yang harus ada
pada tertanggung. Apabila syarat ini tidak ada, maka ancamannya adalah asuransi itu batal
(void). Dalam perjanjian untung-untungan, unsur kepentingan itu tidak ada. Dalam Pasal 250
KUHD ditentukan: “apabila seseorang mengadakan asuransi untuk diri sendiri atau untuk
kepentingan pihak ketiga, pada saat diadakan asuransi itu tertanggung atau pihak ketiga yang
bersangkutan tidak mempunyai kepentingan atas benda asuransi, maka penanggung tidak
berkewajiban mengganti kerugian”. Berdasarkan ketentuan di atas jelaslah, bahwa
kepentingan merupakan syarat mutlak (essentieel vereiste) untuk dapat diadakan peranjian
asuransi. Bila hal itu tidak dipenuhi, penanggung tidak diwajibkan memberikan ganti kerugian
(Sastrawidjaja, 1997).
Dengan demikian jelaslah bahwa kepentingan tertanggung dalam perjanjian asuransi
merupakan syarat mutlak, jika kepentingan itu tidak ada, maka mengakibatkan asuransi itu
batal.
Asuransi secara hukum tunduk pada sejumlah prinsip antara lain:
a. Prinsip kepentingan yang dapat diasuransikan (insurable interest)
b. Prinsip kejujuran sempurna (utmost good faith)
c. Prinsip sebab akibat (proximate cause)
d. Prinsip ganti rugi (indemnity)
e. Prinsip pergantian pihak ketiga (subrogation principle)
f. Prinsip kontribusi (Budiono, 2007).
Berdasarkan beberapa prinsip diatas, tulisan ini difokuskan pada kajian prinsip. Hal ini
tidak bermaksud menyangkal makna penting prinsip-prinsip yang lain, dengan alasan pertama
keterbatasan tempat. Kedua, ketiadaan prinsip ini dalam asuransi dipandang paling berpotensi
terhadap praktik judi, ketidakpastian (garar), dan bahkan penipuan. Secara umum obyek
dalam suatu perjanjian dapat diartikan sebagai hal yang diperlukan oleh subyek, suatu hal
Akibat Hukum Penunjukan Penerima Manfaat Berdasarkan Klausul dalam Asuransi
Perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024 2259
yang penting dalam tujuan membentuk suatu perjanjian. Sehingga hal yang dlwajibkan
kepada pihak yang berkewajiban (debitur). terhadap mana pihak yang berhak (kreditur),
mempunyai hak adalah merupakan obyek dalam hubungan hukum mengenai perjanjian.
Prinsip kepentingan yang dapat diasuransikan dijabarkan dalam pasal 250 KUHD yang
menyatakan: “Bilamana seseorang yang mempertanggungkan untuk dirinya sendiri, atau
seseorang, untuk tanggungan siapa untuk diadakan pertanggungan oleh orang lain, pada
waktu diadakannya pertanggungan tidak mempunyai kepentingan terhadap benda yang
dipertanggungkan, maka penanggung tidak berkewajiban mengganti kerugian.”
Berdasarkan pasal tersebut di atas, kepentingan yang diasuransikan itu harus ada pada
saat ditutupnya suatu perjanjian asuransi. Apabila syarat ni tidak terpenuhi, maka penanggung
akan bebas dari kewajibannya untuk membayar ganti kerugian. Pada dasarnya sesuai dengan
ketentuan Pasal 268 KUHD bahwa suatu kepentingan yang dapat diasuransikan adalah semua
kepentingan yang dapat dinilai dengan sejumlah uang, dapat diancam suatu bahaya dan tidak
dikecualikan oleh Undang-Undang. Unsur kepentingan merupakan hal pokok yang harus ada
terlebih dahulu sebelum perjanjian asuransi dibuat. Jika suatu kerugian dapat menimbulkan
kerugian atas seseorang maka berarti ia mempunyai suatu kepentingan yang dapat
diasuransikan. Tanpa adanya unsur kepentingan yang dapat diasuransikan, asuransi menjadi
perjudian atau pertaruhan. Bersama asuransi, perjudian dan pertaruhan tersebut masuk dalam
perjanjian untung-untungan (Ganie & SE, 2023).
Perpindahan kepemilikan terhadap harta benda yang diasuransikan, telah diatur dalam
Pasal 263 KUHD. Pasal tersebut menjelaskan bahwa jika terjadi pergantian kepemilikan yang
menyebabkan perubahan pada pihak tertanggung, maka unsur kepentingan beralih kepada
tertanggung yang baru. Segala hak dan kewajiban tertanggung terdahulu beralih kepada
tertanggung yang baru, kecuali apabila diperjanjikan sebaliknya oleh penanggung dan
tertanggung yang lama (Ganie & SE, 2023).
Perihal kapan waktu yang tepat unsur kepentingan harus hadir, dalam praktek asuransi
diatur sebagai berikut:
a. Dalam asuransi pengangkutan, kepentingan harus ada ketika terjadi kerugian tidak perlu
pada saat perjanjian asuransi dimulai, Pada saat mengajukan klaim, tertanggung harus
menunjukan bukti bahwa dirinya mempunyai kepentingan terhadap harta benda yang
diasuransikan tersebut.
b. Dalam asuransi kebakaran dan asuransi kecelakaan, kepentingan harus ada pada saat
perjanjian asuransi dimulai. Pada saat dimulainya perjanjian asuransi, tertanggung harus
membuktikan surat-surat yang resmi bahwa ia mempunyai kepentingan atas harta benda
yang diasuransikan. Pada saat mengajukan klaim ia juga harus membuktikan kembali
bahwa dirinya mempunyai kepentingan terhadap harta benda tersebut. Dalam hal ini
diperlukan dua kali pembuktian mengenai kepentingan tertanggung, dikarenakan
kemungkinan terjadi perpindahan kepemilikan karena dijual dan lain sebagainya (Ganie &
SE, 2023).
Secara garis besar Abdulkadir Muhammad menjelaskan bahwa dalam praktek tidak
akan terjadi kesulitan dalam menentukan kapan diharuskan adanya kepentingan. Penentuan
mengenai waktu bagi kepemilikan kepentingan sudah diatur oleh para pihak dalam perjanjian
Gerald Wuhanbino, Aartje Tehupeiory, Diana Napitupulu
2260 Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024
asuransi dan dtentukan dalam polis. Dengan kata lain, menjadi tergantung kepada tertanggung
untuk menyetujui atau tidak dengan adanya syarat yang ditentukan oleh penanggung
(Idayanti, 2020)
Unsur kepentingan yang disyaratkan harus ada dalam perjanjian asuransi sejatinya
merupakan suatu keterkaitan antara pihak tertanggung dengan objek ataupun peristiwa yang
diasuransikan, KUHD menjelaskan dalam Pasal 268 KUHD bahwa suatu kepentingan yang
dapat diasuransikan adalah semua kepentingan yang dapat dinilai dengan sejumlah uang,
dapat diancam suatu bahaya dan tidak dikecualikan oleh Undang-Undang (Wulansari, 2017).
Penentuan mengenai nilai ini erat keitannya dengan penentuan premi asuransi yang harus
dibayar oleh tertanggung dan berapa nilai ganti rugi yang harus dibayar oleh pihak
penanggung jika terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian. Kepentingan yang tidak dapat
dinilai dengan uang maka penentuan besaran premi dan nilai ganti rugi disesuaikan dengan
kepatutan/kepantasan/kewajaran.
Penentuan mengenai besaran nilai ganti rugi yang disepakati oleh penanggung dan
tertanggung juga disesuaikan dengan tabel yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang.
Beberapa ahli memberikan batasan adanya unsur kepentingan dalam perjanjian asuransi.
Batasan ini dapat ditarik dari pernyataan bahwa seseorang dianggap mempunyai kepentingan
di dalam perjanjian asuransi adalah manakala orang tersebut dapat atau mungkin menderita
kerugian yang bersifat kerugian ekonomi, sehingga penanggung harus member ganti
kerugian. Pengertian tersebut dapat diartikan terdapat keterlibatan kerugian keuangan
dikarenakan suatu peristiwa yang belum pasti akan terjadi. Selanjutnya menurut Sri Rejeki
setiap kepentingan baik yang bersifat kebendaan maupun hak dapat dipertanggungkan sejauh
sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang (Marzuki & Sh, 2021)
Asuransi atau pertangungan pada dasarnya merupakan kegiatan yang bertujuan untuk
menghindari dan melimpahkan risiko dari satu pihak ke pihak lain atas suatu kerugian yang
diakibatkan oleh suatu peristiwa yang tidak pasti. Asuransi sangat erat kaitannya dengan
persoalan risiko. Kegiatan asuransi merupakan salah satu cara untuk mengelola risiko dengan
jalan memindahkan kepada orang lain. Pemaknaan prinsip kepentingan (Insurable Interst)
dalam sistem asuransi di Indonesia adalah bahwa unsure kepentingan harus ada atau dapat
dibuktikan oleh tertanggung saat terjadinya peristiwa yang mengakibatkan kerugian.
Tertanggung harus mampu membuktikan adanya keterikatan secara ekonomi terhadap objek
ataupun peristiwa yang diperjanjikan dalam perjanjian asuransi. Adapun batasan unsur
kepentingan adalah sesuatu yang dapat dinilai dengan uang dan yang tidak dapat dinilai
dengan.
Implikasi dari Penerapan Prinsip Insurable Interest dalam asuransi
Sebagai produk keuangan yang memberikan jaminan penggantian finansial atas
kerugian yang dialami oleh tertanggung, asuransi memiliki karakteristik dan persyaratan yang
berfungsi untuk memberikan batasan risiko dan kerugian apa saja yang dapat
dipertanggungkan atau diasuransikan. Bila tidak memenuhi karakteristik dan persyaratan yang
ada, otomatis kontrak pertanggungan tidak bisa dijalankan. Salah satu karakteristik dari risiko
yang bisa diasuransikan atau dipertanggungkan adalah pihak yang mengasuransikan suatu
Akibat Hukum Penunjukan Penerima Manfaat Berdasarkan Klausul dalam Asuransi
Perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024 2261
risiko harus memiliki persyaratan sebagai insurable interest atau adanya kepentingan yang
diasuransikan. Artinya, setiap risiko yang apabila terjadi harus mengakibatkan kerugian
finansial bagi pihak tertanggung (Marzuki & Sh, 2021)
Contohnya adalah asuransi kebakaran hanya berlaku untuk rumah atau tempat usaha
yang dimiliki secara sah oleh tertanggung. Dengan demikian, konsep atau prinsip insurable
interest menjadi suatu unsur yang esensial dan fundamental dari setiap kontrak atau perjanjian
asuransi dan menjadi suatu prinsip. Tanpa memenuhi prinsip insurable interest, perjanjian
asuransi tidak bisa dilakukan.
Pentingnya unsur insurable interest ini juga termaktub dalam Pasal 250 KUHD yang
berbunyi: "Apabila seorang yang telah mengadakan suatu pertanggungan untuk diri sendiri,
atau seorang yang untuknya telah diadakan suatu pertanggungan, pada saat diadakan
pertanggungan itu tidak mempunyai kepentingan itu terhadap barang yang dipertanggungkan
itu, maka si penanggung tidaklah diwajibkan memberikan ganti rugi(Taswin et al., 2022)
Dari definisi di atas, bila diurai secara detail maka akan diperoleh empat unsur penting
dari insurable interest yaitu:
a. Harus ada harta benda, hak, kepentingan, jiwa, anggota badan atau tanggung jawab
potensial, yang dapat diasuransikan/dipertanggungkan
b. Harta benda dan lain lain-lain seperti tersebut di atas harus menjadi objek pertanggungan
(the subject-matter of insurance).
c. Tertanggung harus mempunyai suatu hubungan dengan obyek pertanggungan itu. Melalui
hubungan tersebut, tertanggung akan mendapatkan manfaat apabila tidak terjadi apa-apa
atas objek pertanggungan itu yang menjadi tanggung jawabnya. Sebaliknya, tertanggung
akan menderita kerugian keuangan apabila objek pertanggungan itu mengalami kerusakan
atau apabila timbul tanggung jawab pada pihaknya.
d. Hubungan antara si tertanggung dan objek pertanggungan itu haruslah suatu hubungan
yang dilindungi atau diakui hukum (Taswin et al., 2022).
Hubungan kepentingan dalam konsep insurable interest juga bisa bersifat kepentingan
keuangan (pecuniary interest). Lebih lanjut, insurable interest atas tertanggung ini dapat
muncul berdasarkan berlakunya hal-hal sebagai berikut:
a. Berdasarkan Hukum (Common law)
Insurable interest bisa muncul akibat ketentuan hukum yang berlaku yang membuat
seseorang memiliki kepentingan atas kerugian yang dialami sendiri maupun pihak lain.
Sebagai contoh adalah ketentuan hukum dalam The Law of Tort di Inggris. Dalam hukum
tersebut dinyatakan bahwa setiap orang mempunyai duty of care (kewajiban untuk
menjaga) agar orang atau orang lain tidak mengalami kerugian. Jika duty of care-nya
dilanggar, misalnya ia melakukan suatu kelalaian (negligence) yang menyebabkan orang
lain menderita kerugian, maka ia wajib bertanggung jawab untuk membayar ganti rugi
kepada orang lain itu
(Badruzaman, 2019). Di Indonesia, ketentuan tentang duty of care ini
juga termaktub dalam Pasal 1365 dan Pasal 1366 KUH Perdata dimana setiap orang yang
melakukan perbuatan melanggar hukum diwajibkan untuk mengganti kerugian yang timbul
dari kesalahannya tersebut. Dengan demikian common law menciptakan insurable interest
bagi orang-orang yang mempunyai potensial liability
Gerald Wuhanbino, Aartje Tehupeiory, Diana Napitupulu
2262 Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024
b. Kontrak atau Perjanjian (Contract)
Kontrak atau perjanjian antara dua belah pihak yang diakui secara hukum juga bisa
menciptakan terjadinya insurable interest. Misalnya, berdasarkan kontrak atau perjanjian
salah satu pihak yang mengadakan kontrak dan perjanjian itu harus bertanggung jawab atas
sesuatu bila tidak memenuhi apa yang diperjanjikan dalam kontrak tersebut (Ganie & SE,
2023).
Hak untuk mengasuransikan yang timbul dari adanya hubungan keuangan antara
Tertanggung dengan obyek pertanggungan, yang dilindungi hukum atau sah menurut
hukum yang berlaku. Asuransi jiwa selain harus memenuhi syarat sahnya perjanjian juga
harus memenuhi beberapa prinsip penting antara lain prinsip insurable interest. Pihak
tertanggung harus mempunyai keterlibatan sedemikian rupa dengan akibat dari suatu
peristiwa yang belum pasti terjadi dan yang bersangkutan menderita kerugian akibat
peristiwa itu, Prinsip kepentingan menegaskan bahwa orang yang menutup asuransi harus
mempunyai kepentingan (interest) atas objek yang dapat diasuransikan (insurable). Jadi,
pada hakekatnya yang diasuransikan bukanlah objek tersebut, tetapi kepentingan
Tertanggung atas objek itu. Agar kepentingan itu dapat diasuransikan (insurable interest),
kepentingan itu harus legal dan patut (legal and equitable). Untuk membuktikan legal atau
tidak, dibuktikan dengan surat-surat resmi (otentik) dari harta benda yang bersangkutan.
Untuk asuransi kerugian, prinsip ini tercermin dalam Pasal 250 KUHD. Pasal 250
KUHD menyebutkan bahwa: “Apabila seorang yang telah mengadakan suatu
pertanggungan untuk diri sendiri, atau apabila seorang, yang untuknya telah diadakan suatu
pertanggungan, pada saat diadakannya pertanggunan itu tidak mempunyai suatu
kepentingan terhadap barang yang dipertanggungkan itu, maka si Penanggung tidaklah
diwajibkan memberikan ganti rugi. Secara moril, kepentingan di dalam perjanjian asuransi
jiwa tidak pantas untuk dinilai dengan uang. Tetapi bukan berarti hal tersebut tidak dapat
ditentukan dengan uang. Dalam Asuransi jiwa, kepentingan yang dapat diasuransikan
adalah sesuatu dugaan akan hilangnya atau berkurangnya nilai ekonomis yang timbul
karena meninggalnya orang yang jiwanya diasuransikan (Tertanggung). Artinya jika
Tertanggung meninggal dunia maka dari segi ekonomi, hal tersebut dapat mengganggu
perjalanan hidup penerima manfaat. Sehingga besarnya uang pertanggungan yang nantinya
akan diberikan oleh Penanggung, dapat dinilai sebagai bentuk dari penggantian nafkah
yang biasanya diterima oleh penerima manfaat saat Tertanggung masih hidup. Hal inilah
yang dapat dikatakan sebagai kepentingan yang dapat dinilai dengan uang dalam perjanjian
asuransi jiwa (Ismanto, 2014).
Pasal 250 KUHDagang yang menyebutkan bahwa : “Apabila seseorang yang telah
mengadakan pertanggungan untuk diri sendiri, atau apabila seorang, yang untuknya telah
diadakan suatu pertanggungan, pada saat diadakannyapertanggungan itu tidak mempunyai
kepentingan terhadap barang yang dipertanggungkan itu, maka Penanggung tidaklah
diwajibkan memberikan ganti kerugian.”
Pasal 250 tersebut menyatakan bahwa harus atau mewajibkan adanya prinsip
insurable interest (kepentingan yang dapat diasuransikan) untuk mencegah sebuah kontrak
polis diperjual-belikan atau sebagai bahan taruhan. Kalau tidak terdapat insurable interest
Akibat Hukum Penunjukan Penerima Manfaat Berdasarkan Klausul dalam Asuransi
Perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024 2263
pada sebuah kontrak asuransi, maka asuransi tersebut akan dianggap tidak sah (void).
Dengan demikian jelaslah bahwa kepentingan tertanggung dalam perjanjian asuransi
merupakan syarat mutlak, jika kepentingan itu tidak ada, maka mengakibatkan asuransi itu
batal (Navisa, 2020).
Oleh karena itu, pihak asuransi secara berkala akan meninjau penunjukan ahli waris
apakah sesuai atau tidak Sebagai perbandingan ditinjau dalam undang-undang asuransi
Malaysia tahun 1984 menguraikan tentang principle of insurable interest. Dalam undang-
undang tersebut tidak menyaratkan adanya prinsip ini dalam asuransi jiwa. Menurut para
pakar, konsep asuransi jiwa tidak memuat prinsip ini. Ketiadaannya tidak akan membawa
pada adanya perjudian maupun taruhan, sebab hanya membuat ketidak relevanan saja dan
tidak akan merusak kehidupan peserta. Begitu juga dalam asuransi kerugian, dimana juga
tidak mencantumkan adanya prinsip ini.
Dengan demikian, prinsip insurable interest adalah fondasi penting dalam industri
asuransi yang membantu menjaga integritas kontrak, mendorong manajemen risiko yang
baik, dan melindungi kepentingan para pihak yang terlibat, Prinsip insurable interest ini
bertujuan untuk menghindari seseorang yang tidak memiliki hak ekonomi terhadap
seseorang, mengambil keuntungan dari manfaat produk asuransi tersebut (Navisa, 2020).
Tidak tercantumnya insurable interest atau kepentingan yang dapat diasuransikan
berakibat pada lemahnya legalitas perjanjian asuransi, dan batal demi pertimbangan
hukum. Individu dinyatakan mempunyai kepentingan atas objek yang diasuransikan jika ia
mengalami kerugian finansial akibat kerugian, kehilangan, atau kerusakan atas objek yang
dijamin oleh asuransi. Prinsip insurable interest menentukan syarat adanya kepentingan
dalam membuat kontrak asuransi sebagai akibat batalnya kontrak asuransi jika tidak
dipenuhi. Hal ini bertujuan untuk mengantisipasi supaya asuransi tidak dijadikan sebagai
sarana perjudian. Pihak penanggung tidak memiliki kewajiban untuk melakukan ganti rugi
jika asuransi dilakukan tanpa ada kepentingan pihak tertanggung atas objek yang
diasuransikan sebagaimana diatu r dalam Pasal 250 KUHD
Hak Mutlak Dalam Peraturan Ahli Waris Ab Instanto
Hukum waris perdata, sangat erat hubungannya dengan hukum keluarga, maka dalam
mempelajari hukum waris perlu dipelajari pula sistem hukum waris yang bersangkutan seperti
sistem kekeluargaan, sistem kewarisan yang ada kaitannya, wujud dari barang warisan dan
bagaimana cara mendapatkan warisan. Sistem kekeluargaan dalam hukum waris perdata
adalah sistem kekeluargaan yang bilateral atau parental, dalam sistem ini keturunan dilacak
baik dari pihak suami maupun pihak isteri. Sistem kewarisan yang diatur dalam hukum waris
perdata adalah sistem secara individual, dimana ahli waris dapat mewaris secara individu atau
sendiri-sendiri, dan ahli waris tidak dibedakan baik laki-laki maupun perempuan serta hak
mewarisnya sama (Afandi, 1983).
Dalam hukum waris perdata, berlaku suatu asas, yaitu apabila seseorang meninggal
dunia (pewaris), maka demi hukum dan seketika itu juga hak dan kewajibannya beralih
kepada para ahli warisnya, sepanjang hak dan kewajiban tersebut termasuk dalam lapangan
hukum harta kekayaan atau dengan kata lain hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan
Gerald Wuhanbino, Aartje Tehupeiory, Diana Napitupulu
2264 Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024
uang. Sistem hukum waris perdata memiliki ciri khas yang berbeda dengan sistem hukum
waris lainnya, yaitu menghendaki agar harta peninggalan pewaris sesegera mungkin dapat
dibagi-bagi kepada mereka yang berhak atas harta tersebut. Kalaupun harta peninggalan
pewaris hendak dibiarkan dalam keadaan tidak terbagi, maka harus melalui persetujuan oleh
seluruh ahli waris. Adapun perbedaan antara harta warisan dan harta peninggalan adalah harta
warisan belum dikurangi hutang dan biaya-biaya lainnya, sedangkan harta peninggalan sudah
dikurangi hutang dan telah siap untuk dibagi (Afandi, 1983)
Dalam hukum waris perdata, dikenal ada dua cara untuk memperoleh warisan, yaitu
a. Ketentuan Undang-undang (Abintestato), yaitu ahli waris yang telah diatur dalam undang-
undang untuk mendapatkan bagian dari warisan, karena hubungan kekeluargaan atau
hubungan darah dengan si meninggal.
b. Testamen (wasiat), yaitu ahli waris yang mendapatkan bagian dari warisan, karena ditunjuk
atau ditetapkan dalam suatu surat waris yang ditinggalkan oleh si meninggal
(Aswatiningsih, 2020).
Ahli waris yang dapat menjalankan haknya atas bagian yang dilindungi undang-undang
itu dinamakan Legitimaris sedang bagiannya yang dilindungi oleh Undang-Undang itu
dinamakan Legitime portie”. Jadi harta peninggalan dalam mana ada legitimaris terbagi dua,
yaitu legitime portie” (bagian mutlak) dan beschikbaar (bagian yang tersedia). Bagian
yang tersedia ialah bagian yang dapat dikuasai oleh pewaris, ia boleh menghibahkannya
sewaktu ia masih hidup atau mewariskannya. Hampir dalam perundang-undangan semua
negara dikenal lembaga legitime portie. Peraturan di negara satu tidak sama dengan peraturan
di negara lain, terutama mengenai siapa- siapa sajalah yang berhak atasnya dan legitimaris
berhak atas apa (Andhasasmitha, 1987).
Bagian yang kedua itu (bagian mutlak), diperuntukkan bagian para legitimaris
bersamasama, bilamana seorang legitimaris menolak (vierwerp) atau tidak patut mewaris
(onwaardig) untuk memperoleh sesuatu dari warisan itu, sehingga bagiannya menjadi tidak
dapat dikuasai (werd niet beschikbaar), maka bagian itu akan diterima oleh legitimaris
lainnya. Jadi bila masih terdapat legitimaris lainnya maka bagian mutlak itu tetap
diperuntukkan bagi mereka ini, hanya jika para legitimaris menuntutnya, ini berarti bahwa
apabila legitimaris itu sepanjang tidak menuntutnya, maka pewaris masih mempunyai
beschikking-srech atas seluruh hartanya. Di dalam KUHPerdata asas legitime dilakukan
secara hampir konsekwen, di berbagai tempat dapat diketemukan ungkapan, ungkapan seperti
mengingat (behoudens) peraturan-peraturan yang ditulis untuk legitime. Pewaris hanya dapat
merampas hak ahli waris dengan mengadakan perbuatan-perbuatan pemilikan harta kekayaan
sedemikian rupa sehingga tidak meninggalkan apa-apa (Andhasasmitha, 1987).
Jika seorang yang berhak atas legitime portie (bagian mutlak) menolak warisan, apakah
orang lain dapat menjadi legitimaris, apabila seorang meninggal dunia dengan meninggalkan
kakak dan kakek, maka warisannya jatuh pada kakeknya, Kakek memang keluarga dalam
garis lurus akan tetapi bukan ahli waris (golongan ketiga) sedangkan kakak (golongan kedua),
Kakek sebagai ahli waris golongan ketiga tidak akan mewaris jika golongan kedua masih ada,
karena itu kakek ini tidak berhak atas legitime. Apabila kakaknya menolak warisan (Pasal
1058 KUHPerdata) maka baru kakek menjadi ahli waris. Apakah bagian mutlak dari salah
Akibat Hukum Penunjukan Penerima Manfaat Berdasarkan Klausul dalam Asuransi
Perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024 2265
seorang ahli waris dapat menjadi besar karena ada orang lain yang menolak warisan, bagian
mutlak selalu merupakan suatu bagian seimbang dari apa yang akan diterima ahli waris ab
intestato, hal ini diatur dalam Pasal 1914 KUHPerdata. Kesulitan yang sama dapat timbul
pada onterving (pemecatan sebagai ahli waris) dan onwaadig (ketidak pantasan/tidak
patut mewaris) (Andhasasmitha, 1987).
Undang-Undang hanya menyatakan, bahwa agar seseorang berhak untuk menuntut atas
bagian mutlak (legitime portie), ia harus merupakan ahli waris ab intestato dalam garis lurus
ke atas, dengan tidak memperhatikan apakah ahli waris tersebut secara langsung atau
merupakan ahli waris sebagai akibat dari penolakan terhadap harta peninggalan. Syarat untuk
dapat menuntut suatu bagian mutlak (legitme portie) adalah:
a. Orang harus merupakan keluarga sedarah dalam garis lurus dalam hal ini kedudukan garwa
(suami / isteri) adalah berbeda dengan anak-anak. Meskipun sesudah tahun 1923 Pasal
852a KUHPerdata menyamakan garwa (suami/isteri) dengan anak, akan tetapi suami/isteri
tidak berada dalam garis lurus ke bawah, mereka termasuk garis ke samping. Oleh karena
itu isteri/suami tidak memiliki legitime portie atau disebut non legitimaris
b. Orang harus ahli waris ab intestato. Melihat syarat tersebut tidak semua keluarga sedarah
dalam garis lurus memiliki hak atas bagian mutlak. Yang memiliki hanyalah mereka yang
juga waris ab instestato
c. Mereka tersebut, walaupun tanpa memperhatikan wasiat pewaris, merupakan ahli waris
secara ab intestate (Djaja Sembiring Meliala, 2014).
Ahli waris dalam garis ke bawah, jika pewaris hanya meninggalkan satu orang anak sah
menurut Pasal 914 KUHPerdata adalah 1/2 dari bagiannya menurut undang-undang, jika
meninggalkan dua orang anak sah, maka besarnya bagian mutlak adalah 2/3 dari bagian
menurut undang-undang dari kedua anak sah tersebut, sedangkan jika meninggalkan tiga
orang anak sah atau lebih, maka besarnya bagian mutlak adalah 3/4 dari bagian para ahli
waris tersebut menurut ketentuan undang-undang. Bagian menurut Undang-Undang adalah
bagian ahli waris atas harta warisan seandainya tidak ada hibah atau testament yang bisa
dilaksanakan. Sedangkan ahli waris dalam garis ke atas, besarnya bagian mutlak menurut
ketentuan Pasal 915 KUHPerdata, selamanya 1/2 dari bagian menurut undang-undang (Djaja
Sembiring Meliala, 2014).
Sedangkan bagian mutlak dari anak luar kawin yang telah diakui (Pasal 916
KUHPerdata) selamanya 1/2 dari bagian anak luar kawin menurut ketentuan UndangUndang.
Ahli waris yang tidak mempunyai bagian mutlak atau legitime portie, yaitu pertama
suami/isteri yang hidup terlama. Kedua para saudara-saudara dari pewaris. Mereka tidak
berhak (non legitimaris) karena berada dalam garis ke samping. Digunakan tidaknya
perhitungan berdasarkan ligitime portie sangat tergantung pada ada atau tidaknya hibah atas
testament yang bisa dilaksanakan (Djaja Sembiring Meliala, 2014). Legitimaris hanya
merupakan ahli waris apabila ia mengemukakan haknya atas bagian mutlaknya. Apa yang
dinikmatinya karena inkorting (pengurangan) diperolehnya hak ahli waris, tujuan dari
tuntutan pengurangan atau pemotongan adalah agar pemberianpemberian yang dilakukan
dengan hibah atau wasiat itu dikurangi, jadi batal sepanjang hal itu diperlukan untuk
memberikan kepada legitimaris apa yang menjadi haknya sebagai ahli waris.
Gerald Wuhanbino, Aartje Tehupeiory, Diana Napitupulu
2266 Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024
Apabila legitimaris mengurangi suatu hibah barang tak bergerak, maka barang ini
bukannya berpindah dari si penerima hibah ke legitimaris, melainkan hibah itu batal dan
dianggap tidak pernah terjadi, orang yang meninggal itu tidak pernah kehilangan barang dan
dianggap masih selalu berada di dalam budelnya, ternyata setelah pengurangan itu berpindah
karena pewarisan dari si pewaris kepada si legitimaris, maka ia tidak memperoleh kedudukan
sebagai ahli waris karena hukum, akan tetapi ia menjadi ahli waris oleh karena ia
mengemukakan pembatalan dari ketetapan-ketetapan yang melanggar legitimenya
Analisis prinsip Insurance Interest mengenai hak Mutlak dalam penentuan ahli waris ab
intestato pada asuransi jiwa
Perjanjian asuransi jiwa yang dibuat dan disepakati oleh tertanggung dengan
penanggung adalah sah dan mempunyai kekuatan hukum karena perjanjian dibuat
berdasarkan pada asas kebebasan berkontrak, konsensualisme, pacta sunt servanda maupun
asas itikad baik yang menjadi dasar dalam pelaksanaan perjanjian asuransi. Dalam asuransi
jiwa, selain harus memenuhi syarat sahnya perjanjian juga harus memenuhi prinsip penting
antara lain prinsip insurable interest. Sebagaimana sifat pewarisan dalam pasal 830 KUH
Perdata menyebutkan bahwa,“Pewarisan hanya terjadi karena kematian”.
Demikian pula pada asuransi jiwa dimana uang pertanggungan hanya akan dapat
diterima oleh penerima manfaat bila tertanggung meninggal dunia. Namun, meskipun terlihat
memiliki kesamaan, uang pertanggungan asuransi jiwa tidak dapat dikategorikan sebagai
warisan. Pada asuransi jiwa, pihak penerima manfaat harus disebutkan dengan jelas
identitasnya termasuk memuat hubungannya dengan tertanggung (suami, istri, anak atau
pihak lainnya, misalnya keponakan). Walaupun pada kenyataannya, tertanggung mempunyai
hak penuh dalam menentukan siapa yang menjadi penerima manfaat (Beneficiary)
sebagaimana yang tercantum dalam polis (Samosir, Marniati, & Kumala, 2024).
Perjanjian asuransi jiwa berlandaskan pada ketentuan dalam Pasal 1340 Hukum Perdata,
disebutkan bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi pihak-pihak
yang membuatnya. Namun demikian, ketentuan itu terdapat pengecualian sebagaimana dalam
Pasal 1317 KUH Perdata yang menyatakan, “Dapat pula perjanjian diadakan untuk
kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu
pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.” (Muhtarom, 2014)
Pasal ini mengkonstruksikan bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian/ kontrak untuk
kepentingan pihak ketiga, dengan adanya suatu syarat yang ditentukan. Artinya, dalam
membuat keputusan siapa yang menjadi penerima manfaat merupakan hak mutlak
tertanggung dan pihak penerima manfaat (Beneficiary) maupun perusahaan asuransi sebagai
penanggung, tidak dapat dituntut apabila di kemudian hari ada pihak lain/keluarga
tertanggung yang mempermasalahkan ketentuan tentang penerima manfaat asuransi jiwa
tersebut (Muhtarom, 2014).
Fenomena yang terjadi di masyarakat bahwa terdapat ahli waris ab intestato yang
menggugat perusahaan asuransi maupun pihak penerima manfaat yang tidak memberikan
dana klaim asuransi jiwa atau uang pertanggungan yang didapat akibat kematiaan
tertanggung. Hal ini terjadi karena ahli waris tersebut tidak tercantum namanya sebagai
Akibat Hukum Penunjukan Penerima Manfaat Berdasarkan Klausul dalam Asuransi
Perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024 2267
penerima manfaat asuransi jiwa tertanggung, padahal dia merupakan ahli waris ab intestato
yang seharusnya mendapatkan apa saja yang menjadi harta peninggalan pewaris, termasuk
uang pertanggungan atau dana klaim asuransi jiwa tersebut kompleksitas hubungan antara
peraturan hukum terkait hak penerima manfaat asuransi jiwa dan tuntutan yang mungkin
diajukan oleh ahli waris ab intestato, yaitu ahli waris yang menerima harta peninggalan tanpa
adanya wasiat tertulis dari pewaris (Fahimah, 2021).
Analisis ini memerlukan pemahaman mendalam terhadap prinsip-prinsip hukum perdata
yang mengatur asuransi jiwa dan hak-hak ahli waris. Pertama-tama, dalam konteks hukum
perdata, ketentuan hukum yang mengatur hak penerima manfaat asuransi jiwa memiliki dasar
pada perjanjian asuransi. Perjanjian ini menetapkan siapa yang memiliki hak untuk menerima
manfaat asuransi jiwa setelah tertanggung meninggal dunia. Hak ini biasanya diberikan
kepada pihak yang namanya secara spesifik tercantum dalam polis asuransi, yakni penerima
manfaat. Penerima manfaat adalah individu atau entitas yang ditunjuk oleh tertanggung untuk
menerima pembayaran klaim asuransi. Oleh karena itu, analisis argumentatif harus
memperhatikan klarifikasi ketentuan ini untuk membentuk dasar argument (Muhtarom, 2014).
Kedua, perspektif ahli waris ab intestato, yang mungkin mengajukan gugatan terhadap
hak penerima manfaat, menambahkan lapisan kompleksitas pada analisis. Ahli waris ab
intestato tidak memiliki keberlanjutan kepentingan yang jelas seperti yang dimiliki oleh
penerima manfaat yang secara eksplisit ditentukan dalam polis. Gugatan yang diajukan oleh
ahli waris bisa mencakup argumen terkait hak pewaris yang dianggap tidak terwakili secara
adil dalam penunjukan penerima manfaat (Muhtarom, 2014).. Namun, argumen hukum yang
kuat dapat bersandar pada prinsip-prinsip perjanjian asuransi dan kejelasan ketentuan-
ketentuan yang diatur di dalamnya. Hal ini mencakup pertimbangan apakah pewaris telah
menjalankan haknya dengan adil ketika menentukan penerima manfaat dan apakah perubahan
hak tersebut dapat diakui tanpa melanggar prinsip-prinsip hukum perdata (Salim & Sh, 2021)
Urgensi hukum yang melibatkan aspek-aspek penting dalam penentuan hak penerima manfaat
dalam konteks asuransi jiwa. Berikut adalah:
a. Perlindungan Hak Penerima Manfaat: Keseluruhan sistem asuransi jiwa didasarkan pada
perjanjian antara tertanggung dan perusahaan asuransi. Urgensi hukum ini muncul karena
pentingnya melindungi hak-hak penerima manfaat yang telah ditetapkan dalam perjanjian
tersebut dan Hukum perdata berperan dalam memastikan bahwa hak-hak penerima manfaat
dihormati dan dijalankan sesuai dengan ketentuan perjanjian asuransi.
b. Kepastian Hukum dalam Perjanjian Asuransi: Kepastian hukum diperlukan untuk
memahami dan menjelaskan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam perjanjian asuransi
jiwa. Hal ini mencakup klarifikasi mengenai hak penerima manfaat dan cara
penunjukannya dan Urgensi hukum terletak pada kebutuhan untuk menciptakan kerangka
hukum yang jelas agar para pihak terlibat dapat memahami hak dan kewajiban mereka
dalam konteks asuransi jiwa
c. Penyelesaian Konflik antara Hak Penerima Manfaat dan Ahli Waris Ab Intestato: Urgensi
hukum juga timbul ketika terdapat konflik antara hak penerima manfaat yang telah
ditetapkan dalam perjanjian asuransi dan klaim yang diajukan oleh ahli waris ab intestato
dan Pengadilan perdata harus dapat menyediakan mekanisme yang adil dan berkeadilan
Gerald Wuhanbino, Aartje Tehupeiory, Diana Napitupulu
2268 Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024
untuk menyelesaikan konflik semacam ini dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip
hukum perdata.
d. Pertanggungjawaban Hukum Perusahaan Asuransi: Kejelasan dalam ketentuan hukum
perdata menjadi penting untuk menentukan apakah perusahaan asuransi telah bertanggung
jawab secara hukum dalam menjalankan perjanjian asuransi jiwa, khususnya terkait
pembayaran klaim kepada penerima manfaat yang sah.
e. Mendorong Kepatuhan terhadap Peraturan: Urgensi hukum dari judul ini juga mendorong
perlunya kepatuhan terhadap peraturan yang mengatur aspek-aspek hak penerima manfaat.
Hal ini mencakup kewajiban perusahaan asuransi untuk memastikan kejelasan dan
keadilan dalam penunjukan penerima manfaat.
Melalui urgensi hukum ini, diharapkan bahwa sistem hukum perdata dapat memberikan
arahan yang jelas, melindungi hak-hak penerima manfaat, dan menyediakan mekanisme
penyelesaian konflik yang efektif dalam konteks klaim asuransi jiwa. Landasan hukum
asuransi jiwa sebagai perjanjian adalah sebagimana di dalam Pasal 1338 dan 1320 KUH
Perdata. Bahwa atas hal tersebut, ketentuan yang berlaku dalam asuransi jiwa berdasarkan
pada isi perjanjian yang telah disepakati para pihak di dalam polis asuransi tersebut.
Termasuk dalam hal pencairan dana klaim asuransi, Penanggung yakni perusahaan asuransi,
memberikan dana klaim asuransi kepada penerima manfaat (Beneficiary) yang namanya
tercantum di dalam polis asuransi jiwa sesuai dengan kesepakatan antara tertanggung dengan
penanggung.
KESIMPULAN
Setelah melihat uraian dari pembahasan, dapat disimpulkan bahwa diperlukan klausul
penunjukan dalam menentukan hak dan kedudukan ahli waris dalam polis asuransi jiwa
dibandingkan dengan ahli waris ab intestato maupun ahli waris testamentair, KUHPer tidak
membedakan anak laki-laki dan anak perempuan, antara suami dan istri. Mereka berhak
mewaris dengan mendapat bagian yang sama. Apabila dihubungkan dengan sistem keturunan,
KUHPer menganut sistem keturunan bilateral. Setiap orang itu menghubungkan dirinya
kedalam keturunan ayah ataupun ibunya. Undang-undang mengatur kewarisan dengan dua
cara yakni ab intestate dan testamentair. Ahli waris Ab intestato diatur dalam pasal 832
KUHPdt yang menentukan bahwa yang berhak menjadi ahli waris adalah para keluarga
sedarah dan suami/istri yang masih hidup, sedangkan testamentair ahli waris karena ditunjuk
dalam surat wasiat.
Dalam Undang-undang Nomor 14 tahun 2014 tentang Perasuransian tidak menjelaskan
mengenai penentuan ahli waris dalam polis asuransi, penentuan ahli waris dalam polis
asuransi salah satunya adalah memiliki hubungan darah dengan pewaris atau tertanggung atau
dalam hal ini disebut ahli waris ab instanto, Yang mana ahli warisnya adalah orang yang
memiliki hubungan darah dengan tertanggung, dan tertanggung belum mengubah atau
mengganti ahli waris yang terdapat dalam polis asuransi jiwa. Hukum Waris Testamentair
(bagian dari Hukum Benda) dan Hukum Perjanjian (bagian dari Hukum Perikatan)
menghasilkan suatu perjanjian yang mempunyai unsur-unsur suatu wasiat, Perjanjian asuransi
jiwa individual (polis asuransi jiwa individual) merupakan hasil persilangan antara hukum
Akibat Hukum Penunjukan Penerima Manfaat Berdasarkan Klausul dalam Asuransi
Perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024 2269
benda khususnya hukum waris testamentair dengan hukum perjanjian, dengan demikian
perjanjian asuransi jiwa individual dapat disebut sebagai wasiat hibrida, Disebut sebagai
wasiat oleh karena pewarisan adalah salah satu cara memperoleh hak milik atas suatu
kebendaan dalam hal ini adalah uang pertanggungan, dan unsur-unsur mutlak suatu wasiat
telah terpenuhi dalam perjanjian asuransi jiwa individual yaitu dibuat dalam bentuk formal
(tertulis).
Pemegang polis harus menentukan siapa yang akan menjadi ahli waris ketika pemegang
polis meninggal dunia. Penunjukan ahli waris diberikan kebebasan secara penuh kepada
pemegang polis. Pemegang polis berhak menunjuk siapa saja menjadi ahli waris. Namun pada
prakteknya yang paling sering ditunjuk sebagai ahli waris adalah anak atau pasangan.
Penunjukan ahli waris berdasarkan klausul tersebut cenderung mengesampingkan golongan
ahli waris yang telah ditentukan dalamKitab Undang- Undang Hukum Perdata (BW) dimana
golongan ahli waris tidak diperhatikan. Implementasi dari prinsip Insurable Interest mengenai
hak Mutlak dalam penentuan ahli waris ab intestato pada asuransi jiwa. Dalam perjanjian
asuransi, unsur kepentingan merupakan syarat mutlak yang harus ada pada tertanggung.
Apabila syarat ini tidak ada, maka ancamannya adalah asuransi itu batal (void). Asuransi
secara hukum tunduk pada sejumlah prinsip, salah satunya adalah Principle of insurable
interest, adalah kepentingan yang dapat diasuransikan mengandung pengertian bahwa pihak
Tertanggung mempunyai keterlibatan dengan akibat yang ditimbulkan dari suatu peristiwa
yang tidak pasti, sehingga yang bersangkutan menjadi dirugikan/menderita Pencantuman
prinsip ini dalam asuransi dalam rangka Mencegah perjudian (to prevent gambling),
mengurangi moral hazard (to reduce moral hazard), mengukur total kerugian (to measure the
loss). Unsur kepentingan yang disyaratkan harus ada dalam perjanjian asuransi sejatinya
merupakan suatu keterkaitan antara pihak tertanggung dengan objek ataupun peristiwa yang
diasuransikan.
Dalam hal kewarisan, Pewaris sebagai pemilik harta, adalah mempunyai hak mutlak
untuk mengatur apa saja yang dikehendaki atas hartanya. Ini merupakan konsekuensi dari
hukum waris sebagai hukum yang bersifat mengatur. Ahli waris yang mempunyai hak mutlak
atas bagian yang tersedia dari harta warisan, disebut ahli waris legitimaris, sedangkan bagian
mutlak yang tersedia dari harta warisan yang merupakan hak ahli waris legitimaris disebut
Legitime Portie, Hak mutlak tersebut (legitime portie) Hanya sanak saudara dalam garis lurus
(bloedverwanten in de rechte lijn) merupakan ahli waris ab intestato saja yang berhak atas
bagian yang dimaksud. Jadi, pewaris boleh saja membuat suatu wasiat atau memberikan hibah
kepada seseorang, namun demikian pemberian tersebut tidak boleh melanggar hak mutlak
(yang harus dimiliki) dari ahi waris berdasarkan undang- undang tersebut.
Dalam konteks hukum perdata, ketentuan hukum yang mengatur hak penerima manfaat
asuransi jiwa memiliki dasar pada perjanjian asuransi. Perjanjian ini menetapkan siapa yang
memiliki hak untuk menerima manfaat asuransi jiwa setelah tertanggung meninggal dunia.
Hak ini biasanya diberikan kepada pihak yang namanya secara spesifik tercantum dalam polis
asuransi, yakni penerima manfaat. Sedangkan dalam perspektif ahli waris ab intestato, oleh
Undang-Undang diadakan bagian tertentu yang harus diterima oleh mereka, bagian yang
dilindungi oleh hukum, karena mereka demikian dekatnya hubungan kekeluargaan dengan si
Gerald Wuhanbino, Aartje Tehupeiory, Diana Napitupulu
2270 Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024
pewaris sehingga pembuat Undang-Undang menganggap tidak pantas apabila mereka tidak
menerima apa-apa sama sekali. Agar orang secara tidak mudah mengesampingkan mereka,
maka Undang-Undang melarang seseorang semasa hidupnya menghibahkan atau
mewasiatkan harta kekayaannya kepada orang lain dengan melanggar hak dari para ahli waris
ab intestato itu.
Landasan hukum asuransi jiwa sebagai perjanjian adalah sebagimana di dalam Pasal
1338 dan 1320 KUH Perdata. Bahwa atas hal tersebut, ketentuan yang berlaku dalam asuransi
jiwa berdasarkan pada isi perjanjian yang telah disepakati para pihak di dalam polis asuransi
tersebut. Termasuk dalam hal pencairan dana klaim asuransi, Penanggung yakni perusahaan
asuransi, memberikan dana klaim asuransi kepada penerima manfaat (Beneficiary) yang
namanya tercantum di dalam polis asuransi jiwa sesuai dengan kesepakatan antara
tertanggung dengan penanggung. Di dalam hukum waris, apabila pewaris meninggal dunia
maka suami/istri serta keturunannya (anak-anaknya) otomatis merupakan ahli waris dan
berhak atas pembagian warisan pewaris yang telah meninggal dunia. Sedangkan pada asuransi
jiwa, tertanggung ataupun pemegang polis dapat menentukan siapa yang menjadi penerima
manfaat.
BIBLIOGRAFI
afandi, Ali. (1983). Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian. Bina Aksara.
Andhasasmitha, Komar. (1987). Hukum Harta Perkawinan Dan Waris Menurut Kuhperdata.
Ikatan Notaris Indonesia, Jawa Barat.
Aswatiningsih, Hajar. (2020). Legitime Portie Terhadap Ahli Waris Yang Telah Menikah
Dengan Warga Negara Asing. Universitas Muhammadiyah Surabaya.
Badruzaman, Dudi. (2019). Perlindungan Hukum Tertanggung Dalam Pembayaran Klaim
Asuransi Jiwa. Amwaluna: Jurnal Ekonomi Dan Keuangan Syariah, 3(1), 96118.
Budiono, Herlien. (2007). Kumpulan Tulisan Hukum Perdata Di Bidang Kenotariatan. Citra
Aditya Bakti.
Dagang, Kitab Undang Undang Hukum. (2013). Pasal 246 Kuhd. Tentang Asuransi Marlina,
Reni, Dan Dwi Puryati.
Effendi Perangin, Hukum Waris. (2014). Rajawali Pers. Jakarta.
Fahimah, Iim. (2021). Praktik Kewarisan Beda Agama Dalam Perspektif Hukum. Aswaja
Press.
Fitmy, Hasrat, Purwiyantiningsih, Eti, & Afwa, Ulil. (2020). Penerapan Pasal 263 Ayat (1)
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang Dalam Asuransi Kebakaran. Soedirman Law
Review, 2(3).
Fuadi, S. H. (2016). Zakat Dalam Sistem Hukum Pemerintahan Aceh. Deepublish.
Ganie, A. Junaidi, & Se, S. H. (2023). Hukum Asuransi Indonesia. Sinar Grafika.
Hudha, Atok Miftachul, & Rahardjanto, Abdulkadir. (2018). Etika Lingkungan (Teori Dan
Praktik Pembelajarannya) (Vol. 1). Ummpress.
Idayanti, Soesi. (2020). Hukum Asuransi. Tanah Air Beta.
Ismanto, Kuat. (2014). Principle Of Insurable Interest Pada Asuransi Dalam Kajian Bisnis
Syariah. Naskah Publikasi Peran Baitul Maal Bmt Dalam Penguatan Umat, Pekalongan,
Febuary.
Kasmir, S. E. (2018). Bank Dan Lembaga Keuangan Lainnya Edisi Revisi.
Marzuki, Peter Mahmud, & Sh, M. S. (2020). Teori Hukum. Prenada Media.
Marzuki, Peter Mahmud, & Sh, M. S. (2021). Pengantar Ilmu Hukum. Prenada Media.
Meliala, Djaja S. (2018). Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Akibat Hukum Penunjukan Penerima Manfaat Berdasarkan Klausul dalam Asuransi
Perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024 2271
Nuansa Aulia.
Meliala, Djaja Sembiring. (2014). Hukum Perdata Dalam Perspektif Bw. Nuansa Aulia.
Muhtarom, Muhammad. (2014). Asas-Asas Hukum Perjanjian: Suatu Landasan Dalam
Pembuatan Kontrak.
Navisa, Fitria Dewi. (2020). Karakteristik Asas Kepentingan (Insurable Interest) Dalam
Perjanjian Asuransi. Negara Dan Keadilan, 9(2), 188204.
Nomor, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. (N.D.). 70/Pojk. 05/2016 Tentang
Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pialang Asuransi. Perusahaan Pialang Reasuransi,
Dan Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi.
Purwati, Ani. (2020). Metode Penelitian Hukum Teori & Praktek. Jakad Media Publishing.
Safitri, Risca Mardiana Dwi. (2020). Polis Asuransi Sebagai Harta Warisan. Universitas 17
Agustus 1945 Surabaya.
Salim, H. S., & Sh, M. S. (2021). Pengantar Hukum Perdata Tertulis (Bw). Bumi Aksara.
Samosir, Ade Agnesia, Marniati, Felicitas Sri, & Kumala, Yudha Cahya. (2024). Tanggung
Jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara (Ppats) Akibat Kelalaian Dalam
Pembuatan Akta Jual Beli Tanah Atas Peralihan Hak Atas Tanah. Sentri: Jurnal Riset
Ilmiah, 3(4), 18221831.
Sari, Indah. (2018). Pembagian Hak Waris Kepada Ahli Waris Ab Intestato Dan Testamentair
Menurut Hukum Perdata Barat (Bw). Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara, 5(1).
Sastrawidjaja, Man Suparman. (1997). Aspek-Aspek Hukum Asuransi, Dan Surat Berharga.
Penerbit Pt Alumni.
Taswin, S. K. M., Yusuff, Andinna Ananda, Se, M. M., Amiruddin, Eky Endriana,
Makhrajani Majid, S. K. M., Tuti Herawati, S. K. M., Dahmar, S. K. M., Hamdan, S. K.
M., Fardhoni, S. T., & Farida, Fajar Nur. (2022). Buku Ajar Asuransi Kesehatan. Feniks
Muda Sejahtera.
Wulansari, Retno. (2017). Pemaknaan Prinsip Kepentingan Dalam Hukum Asuransi Di
Indonesia. Jurnal Panorama Hukum, 2(1), 103116.
Copyright holder:
Gerald Wuhanbino, Aartje Tehupeiory, Diana Napitupulu (2024)
First publication right:
Syntax Idea
This article is licensed under: