Gerald Wuhanbino, Aartje Tehupeiory, Diana Napitupulu
2264 Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024
uang. Sistem hukum waris perdata memiliki ciri khas yang berbeda dengan sistem hukum
waris lainnya, yaitu menghendaki agar harta peninggalan pewaris sesegera mungkin dapat
dibagi-bagi kepada mereka yang berhak atas harta tersebut. Kalaupun harta peninggalan
pewaris hendak dibiarkan dalam keadaan tidak terbagi, maka harus melalui persetujuan oleh
seluruh ahli waris. Adapun perbedaan antara harta warisan dan harta peninggalan adalah harta
warisan belum dikurangi hutang dan biaya-biaya lainnya, sedangkan harta peninggalan sudah
dikurangi hutang dan telah siap untuk dibagi (Afandi, 1983)
Dalam hukum waris perdata, dikenal ada dua cara untuk memperoleh warisan, yaitu
a. Ketentuan Undang-undang (Abintestato), yaitu ahli waris yang telah diatur dalam undang-
undang untuk mendapatkan bagian dari warisan, karena hubungan kekeluargaan atau
hubungan darah dengan si meninggal.
b. Testamen (wasiat), yaitu ahli waris yang mendapatkan bagian dari warisan, karena ditunjuk
atau ditetapkan dalam suatu surat waris yang ditinggalkan oleh si meninggal
(Aswatiningsih, 2020).
Ahli waris yang dapat menjalankan haknya atas bagian yang dilindungi undang-undang
itu dinamakan “Legitimaris” sedang bagiannya yang dilindungi oleh Undang-Undang itu
dinamakan “Legitime portie”. Jadi harta peninggalan dalam mana ada legitimaris terbagi dua,
yaitu “legitime portie” (bagian mutlak) dan “beschikbaar” (bagian yang tersedia). Bagian
yang tersedia ialah bagian yang dapat dikuasai oleh pewaris, ia boleh menghibahkannya
sewaktu ia masih hidup atau mewariskannya. Hampir dalam perundang-undangan semua
negara dikenal lembaga legitime portie. Peraturan di negara satu tidak sama dengan peraturan
di negara lain, terutama mengenai siapa- siapa sajalah yang berhak atasnya dan legitimaris
berhak atas apa (Andhasasmitha, 1987).
Bagian yang kedua itu (bagian mutlak), diperuntukkan bagian para legitimaris
bersamasama, bilamana seorang legitimaris menolak (vierwerp) atau tidak patut mewaris
(onwaardig) untuk memperoleh sesuatu dari warisan itu, sehingga bagiannya menjadi tidak
dapat dikuasai (werd niet beschikbaar), maka bagian itu akan diterima oleh legitimaris
lainnya. Jadi bila masih terdapat legitimaris lainnya maka bagian mutlak itu tetap
diperuntukkan bagi mereka ini, hanya jika para legitimaris menuntutnya, ini berarti bahwa
apabila legitimaris itu sepanjang tidak menuntutnya, maka pewaris masih mempunyai
“beschikking-srech” atas seluruh hartanya. Di dalam KUHPerdata asas legitime dilakukan
secara hampir konsekwen, di berbagai tempat dapat diketemukan ungkapan, ungkapan seperti
mengingat (behoudens) peraturan-peraturan yang ditulis untuk legitime. Pewaris hanya dapat
merampas hak ahli waris dengan mengadakan perbuatan-perbuatan pemilikan harta kekayaan
sedemikian rupa sehingga tidak meninggalkan apa-apa (Andhasasmitha, 1987).
Jika seorang yang berhak atas legitime portie (bagian mutlak) menolak warisan, apakah
orang lain dapat menjadi legitimaris, apabila seorang meninggal dunia dengan meninggalkan
kakak dan kakek, maka warisannya jatuh pada kakeknya, Kakek memang keluarga dalam
garis lurus akan tetapi bukan ahli waris (golongan ketiga) sedangkan kakak (golongan kedua),
Kakek sebagai ahli waris golongan ketiga tidak akan mewaris jika golongan kedua masih ada,
karena itu kakek ini tidak berhak atas legitime. Apabila kakaknya menolak warisan (Pasal
1058 KUHPerdata) maka baru kakek menjadi ahli waris. Apakah bagian mutlak dari salah