How to cite:
Mohammad Rifki Haekal, Mulawarman Hannase (2024) Izin Poligami Perspektif Mashlahah
Mursalah Wahbah Al-Zuhaili, (06) 05, https://doi.org/10.36418/syntax-idea.v3i6.1227
E-ISSN:
2684-883X
Published by:
Ridwan Institute
IZIN POLIGAMI PERSPEKTIF MASHLAHAH MURSALAH WAHBAH
AL-ZUHAILI
Mohammad Rifki Haekal, Mulawarman Hannase
Universitas Indonesia, Indonesia
Abstrak
Dari sudut pandang agama Islam, poligami merupakan hal yang berat untuk dapat dilakukan.
Disyaratkan harus mampu berlaku adil dalam memenuhi segala hak istri-istrinya. Sementara
itu, Poligami yang dibolehkan Islam pun terbatas dengan maksimal empat orang istri dalam
satu waktu. Oleh karena itu, banyak negara yang kemudian memberikan sebuah aturan berupa
izin poligami guna menciptakan kemaslahatan dalam masyarakat, khususnya dalam rumah
tangga. Dalam peraturan itu disebutkan bahwa seorang suami yang hendak berpoligami harus
mendapatkan izin dari Pengadilan. Dalam khazanah keilmuan fiqh, menciptakan
kemaslahatan merupakan tujuan dari adanya hukum. Dan salah satu bentuk metode istinbath
hukum dalam menciptakan kemaslahatan tersebut adalah mashlahah mursalah. Metode ini
pertama kali dikenalkan oleh Imam Malik. Namun demikian, banyak pula ulama kontemporer
pada masa ini yang juga turut memberikan kontribusinya keilmuannya dalam membahas
metode tersebut, dan salah satunya adalah Wahbah Al-Zuhaili. Jenis penelitian yang penulis
gunakan adalah penelitian normatif yang menekankan kepada sumber data kepustakaan
(library research) yang dilalui dengan tahapan pengumpulan data dan informasi berisikan
bermacam-macam materi yang terdapat dalam bahan pustaka seperti buku, jurnal, artikel,
ensiklopedia, dan lain sebagainya. Adapun pendekatan penelitian dalam pengelolaan data
yang digunakan penulis adalah pendekatan deskriptif-analisis. Yaitu, dengan menerangkan
secara detail tentang bentuk permasalahannya dan setelah itu dianalisa secara deduktif.
.
Kata kunci: Izin Poligami, Poligami, Mashlahah Mursalah, Wahbah al-Zuhaili.
Abstract
Poligamy in Islamic tenet is a difficult thing to do. It is required to be able to act fairly in
fulfilling all the rights of his wives. Meanwhile, polygamy which is allowed by Islam is also
limited to a maximum of four wives at a time. Therefore, many countries then provide a
regulation in the form of a polygamy permit to create benefits in society, especially in the
household. The regulation states that a husband who wants to have polygamy must obtain
permission from the Court. In the scientific treasures of fiqh, creating benefit is the goal of the
existence of law. And one form of legal istinbath method in creating the benefit is mashlahah
mursalah. This method was first introduced by Imam Malik. However, many contemporary
scholars at this time also contributed to their scientific contributions in discussing this
method, and one of them was Wahbah Al-Zuhaili. The type of research that the author uses is
normative research that emphasizes the source of library data (library research) which is
passed through the stages of collecting data and information containing various materials
JOURNAL SYNTAX IDEA
pISSN: 2723-4339 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 6, No. 05, Mei 2024
Mohammad Rifki Haekal, Mulawarman Hannase
2220 Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024
contained in library materials such as books, journals, articles, encyclopedias, and so on. The
research approach in data management used by the author is a descriptive-analytical
approach. That is, by explaining in detail about the form of the problem and after that it is
analyzed deductively.
Keywords: Polygamy Permit, Polygamy, Mashlahah Mursalah, Wahbah al-Zuhaili.
PENDAHULUAN
Perbincangan mengenai poligami selalu menjadi topik yang hangat diperbincangkan
(Azzahra & Ramadhani, 2020). Terutama perbincangan ini sangat diwarnai dan diprakarsai
oleh kaum feminis yang terus mengkampanyekan emansipasi. Apabila dirunut dalam sejarah,
poligami itu sendiri telah lama ada dan dilakukan oleh umat-umat terdahulu. Namun
demikian, pro dan kontra mengenai praktik poligami terus saja berlanjut. Di satu sisi,
poligami dinilai sebagai perilaku yang melanggar HAM (Hak Asasi Manusia) karena
dianggap sebagai bentuk eksploitasi kaum laki-laki terhadap kaum perempuan. Poligami
hanya dilakukan untuk memenuhi hawa nafsu belaka. Sementara di sisi lainnya, menilai
bahwa poligami adalah sebuah bentuk solusi terhadap permasalahan sosial seperti
perselingkuhan dan prostitusi. Poligami juga memiliki sandaran normatif yang jelas dan justru
dapat mengangkat martabat kaum perempuan (Rohmah, 2022).
Sementara dari sudut pandang lain, kaum feminis muslim memperjuangkan
emansipasi tersebut melalui kerangka hukum agama. Hal ini terlihat dari kritik mereka
mengenai sistem patriarki yang berakar kuat pada hukum keluarga Islam dan pembangunan
yang mengatasnamakan Islam. Di era 1990-an para ahli tafsir dan fiqh mulai
menginterpretasikan ayat-ayat Alquran dan Hadits yang mengandung penjelasan mengenai
jender, terutama yang berkaitan dengan hukum keluarga dan isu-isu lain tentang kekerasan
terhadap wanita. Yang demikian itu mereka lakukan guna menuntut persamaan hak wanita
untuk dapat ikut andil dalam ijtihad mengenai sumber-sumber agama sekaligus menentang
dominasi laki-laki dalam bidang hukum Islam. (Kütük-Kuriş, 2021)
Dalam pandangan Islam, poligami sejatinya merupakan hal yang amat berat untuk
dapat dilakukan oleh seseorang. Seorang suami yang hendak beristri lebih dari seorang harus
mampu berlaku adil dalam memenuhi segala hak istri-istrinya. Sementara itu, Poligami yang
dibolehkan Islam pun tidak tak terbatas, melainkan dengan batas maksimal empat orang istri
dalam satu waktu (Sunandar, 2022). Namun sayangnya, ada beberapa kalangan yang salah
paham mengeai hakikat kebolehan berpoligami ini yang pada akhirnya justru malah
mengampanyekan poligami tanpa memandang hakikat kebolehannya. Oleh karena itu, di
beberapa negara pemerintah pun turut andil dalam menyikapi persoalan poligami tersebut.
Beberapa negara terebut antara lain adalah; Mesir, Syiria, Bangladesh, Pakistan, Iran, Brunei
Darussalam, Indonesia, Filipina, dan Malaysia (Nasution, 2002). Beberapa negara tersebut
khususnya Indonesia menerapkan peraturan khusus bagi laki-laki yang hendak berpoligami,
berupa izin poligami. Seorang laki-laki berkewajiban untuk mendapatkan izin terlebih dahulu
dari Pengadilan apabila dia hendak berpoligami. Apabila tidak dilakukannya, maka akan
menyebabkan perkawinan poligami itu tidak memiliki kekuatan hukum.
Izin Poligami Perspektif Mashlahah Mursalah Wahbah Al-Zuhaili
Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024 2221
Peraturan tersebut diterapkan bukan hanya untuk sekedar gertakan atau malah
menyusahkan. Tetapi, bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan bagi setiap elemen
masyarakat. Khususnya bagi kaum perempuan. Dalam khazanah keilmuan fiqh pun tercatat
bahwa menciptakan mashlahah adalah tujuan dari adanya syariat. Baik itu yang ditetapkan
langsung oleh Allah ataupun dengan perarntara Nabi saw. (sebagai penjelasan atas hukum
yang ditetapkan Allah) adalah memberikan maslahat kepada umat manusia dalam
kehidupannya di dunia maupun dalam persiapannya menghadapi kehidupan akhirat
(Syarifudin, 2014). Walaupun tidak seluruhnya tujuan syariat yang Allah tetapkan itu dapat
diketahui dan sesuai dengan kehendak manusia.
Menurut para ulama ahli ushul, kualitas kehidupan spiritual dan material yang
diperintahkan untuk dipelihara kemaslahatannya dan dijauhkan dari keburukan mengarah itu
kepada kebutuhan dasar manusia yang bertingkat-tingkat. Secara garis besar tingkatan
tersebut dibagi menjadi kebutuhan primer/dharuriyat, kebutuhan sekunder/hajiyat, dan
kebutuhan tertier/tahsiniyat. Adapun sasaran tujuan yang menyinggung tingkatan yang
tersebut diatas mencakup lima hal atau yang dikenal dengan al-ushul al-khamsah. Secara
berurutan peringkatnya adalah: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta (Cahyono, Azizah, &
An, 2024).
Kelima prinsip ini merupakan terobosan yang diberikan oleh al-Ghazali. Menurutnya
jalan untuk mengetahui tujuan hukum ini berfungsi sebagai sarana untuk menyelesaikan
kasus-kasus yang tidak secara tegas diputuskan dalam sumber hukum Islam dan qiyas. Selaras
dengan maksud Tuhan dalam mengungkapkan hukum-Nya kepada umat manusia, keputusan
yang membawa maslahah untuk lima prinsip yang dilindungi mempunyai bagian dalam
memahami tujuan ilahi dan karenanya manusia menikmati legitimasi agama.
Berbeda dengan kasus analogi dengan perintah dalam kitab suci, keputusan yang
dihasilkan tidak memperoleh validitasnya dari teks tertentu dari sumber-sumber hukum yang
otoritatif, melainkan dihasilkan secara induktif karena banyaknya bukti yang secara
keseluruhan mendukung temuan para faqih/ahli hukum. Al-Ghazali mengintegrasikan
mashlahah ke dalam penemuan hukum dengan menerapkannya seperti rasio legis (ʿillat)
dalam analogi sebuah mashlahah yang belum dibuktikan secara tekstual (mashlahah
mursalah) berfungsi sebagai rasio legis untuk menentukan keputusan 'baru'. Namun, dia
membatasi penggunaan maslahah-maslahah yang belum dibuktikan kebenarannya,
memberikan validitas hukum hanya pada mereka yang mempengaruhi salah satu dari lima
elemen yang disebutkan di atas pada tingkat kebutuhan (dharurah), universalitas (kulliyyah)
dan kepastian (qathʿi) (Bopp, Müller, Aeschbach, Opwis, & Mekler, 2019).
Sementara itu, Wahbah Al-Zuhaili yang merupakan faqih di era kontemporer ini
mempunyai bahasan tersendiri dalam kitabnya ushul al-fiqh al-islami dalam membahas
metode tersebut yang kemudian teori tersebut juga banyak digunakannya dalam menggali
hukum yang berlandaskan mashlahah. Salah satunya mengenai izin poligami yang di
beberapa negara muslim menjadi aturan yang wajib dilaksanakan. Oleh karena itu, dalam
penelitian ini penulis akan membahas izin poligami dalam perspektif mashlahah mursalah
Wahbah Al-Zuhaili..
Mohammad Rifki Haekal, Mulawarman Hannase
2222 Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penulisan artikel ini adalah deskriptif-analisis (Noor,
2020). Penelitian ini bersifat kualitatif sebab tidak mengandung unsur angka dan statistik.
Pengumpulan data berasal dari kajian kepustakaan yang berasal dari buku, jurnal, dan
internet. Data yang digunakan dalam artikel ini terdiri dari data primer yaitu buku Ushul al-
Fiqh al-Islamy dan al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh karangan Wahbah Al-Zuhaili.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengertian Poligami
Kata poligami berasal dari bahasa Yunani, yaitu poly yang berarti banyak dan gamien
atau gamos yang berarti kawin atau perkawinan. Apabila keduanya digabungkan maka akan
memunculkan arti pernikahan yang banyak, baik itu yang dilakukan oleh laki-laki maupun
perempuan. Dalam hal ini istilah poligami berarti sistem perkawinan yang salah satu pihak
mengawini beberapa lawan jenisnya di waktu yang bersamaan (Departemen Pendidikan
Nasional, 2008: 1089).
Poligami dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
a. Poliandri, yaitu perkawinan antara seorang perempuan dengan beberapa orang laki-laki.
b. Poligini, yaitu perkawinan antara seorang laki-laki dengan beberapa orang perempuan (dan
Mustofa, 2009)
Namun demikian, istilah yang berkembang dalam masyarakat mengenai bentuk
perkawinan antara seorang laki-laki dengan beberapa orang perempuan adalah poligami.
Kendati istilah yang lebih tepat dalam menggambarkan bentuk perkawinan tersebut adalah
poligini. Untuk mempermudah pemahaman pembaca, maka selanjutnya penulis akan
menggunakan istilah poligami untuk menyebut seorang laki-laki yang mengawini beberapa
istri dalam waktu bersamaan.
Izin Poligami
Dalam hal memberikan payung hukum pada masyarakatnya dalam hal pernikahan,
beberapa negara muslim menerapkan aturan perundang-undangan guna menertibkan hal
tersebut yang termasuk di dalamnya pembahasan tentang poligami. Tak terkecuali Indonesia.
Dalam hal ini, peraturan tentang perkawinan laki-laki dengan lebih dari seorang perempuan
tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (pasal 3, 4, dan 5)
serta dalam bab IX Kompilasi Hukum Islam.
Peraturan tersebut antara lain mengatur beberapa ketentuan tentang dasar
diperbolehkannya poligami, yaitu dengan diberikannya izin poligami oleh pengadilan agama
kepada pihak yang bersangkutan. Pada pasal 4 ayat 2 Undang-Undang Perkawinan serta pasal
57 KHI disebutkan alasan diberikannya izin poligami: “a) Isteri tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai isteri. b) Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan. c) Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.” Selain itu, tak hanya memenuhi
alasan yang tepat dalam berpoligami, tetapi suami juga harus memenuhi syarat-syarat dalam
Izin Poligami Perspektif Mashlahah Mursalah Wahbah Al-Zuhaili
Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024 2223
pasal 5 Undang-Undang Perkawinan, meliputi adanya persetujuan istri dan adanya kepastian
bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
Sebagaimana disebutkan pula dalam KHI pasal 56, “seorang laki-laki yang hendak
berpoligami harus mendapat izin dari pengadilan agama. Apabila tidak dilaksanakan maka
perkawinan itu tidak mempunyai kekuatan hukum.” Walaupun secara agama perkawinan itu
tetap dinyatakan sah hukumnya.
Kemudian dalam pasal 58 mengenai persetujuan istri disebutkan: “(2) Dengan tidak
mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan
Pemerintah No.9 Tahun 1975. Secara tertulis atau lisan, tetapi
sekaipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas
dengan persetujuan lisan istri pasa sidang Pengandilan Agama. (3) Persetujuan dimaksud pada
ayat 1 huruf a tidak diperlukan bagi
seorang suami apabila isteri atau isteri-isterinya tidak mungkin dimintai
persetujuan dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila
tidak ada kabar dari isteri-isterinya sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun
atau karena sebab lain yang perlu mendapatkan penilaian Hakim.”
Namun demikian, dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan dan izin untuk
berpoligami, dalam pasal 59 disebutkan; Dalam hal ini isteri tidak mau memberikan
persetujuan, dan
permohonan izin untuk beristeri lebih dari satu orang berdasarkan atas
salah satu alasan yang di atur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57.
Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah
memeriksa dan mendengar isteri yang bersangkutan di persidangan
pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini isteri atau suami dapat
mengajukan banding atau kasasi”.
Biografi Wahbah Al-Zuhaili
Nama lengkapnya adalah Wahbah bin Mushtafa bin Wahbah Al-Zuhaili dengan nama
kunyah Abu Ubadah. Dia adalah seorang ahli fiqh yang juga merupakan pakar dalam ilmu
ushul. Beliau juga merupakan mufassir dan sekaligus guru besar akademisi. Dia adalah ulama
abad ke-20 yang sejajar dengan tokoh-tokoh lainnya, seperti; Thahir Ibn ‘Asyur, Said Hawwa,
Sayyid Qutb, Muhammad Abu Zahrah, Mahmud Syaltut, Ali Muhammad Al-Khafif, Abdul
Ghani, Musthofa Abdul Khaliq, dan Muhammad Salam Madkur.
Wahbah Al-Zuhaili lahir di desa Dir ‘Athiyyah, yaitu salah satu daerah di provinsi
Damaskus-Syiria pada tanggal 6 Maret 1932 (1351 H) dari kedua orang tua yang terkenal
dengan kesalihan dan ketakwaannya. Ayahnya Musthafa Al-Zuhaili adalah seorang petani
yang hafal Alquran, banyak mengkaji kandungannya, dan sangat menjaga ketekunan dalam
beribadah. Ia juga terkenal dengan sosoknya yang rajin dan mempunyai visi yang maju. Hal
ini terlihat dari cara mendidik anak-anaknya. Dia mengarahkan anak-anaknya untuk menjadi
seseorang yang terpelajar, terlebih dalam ilmu agama, dan khususnya di bidang fiqh (Yunus,
2018). Sementara ibunya Fathimah binti Sa’adah juga merupakan orang yang wara’. Di
Mohammad Rifki Haekal, Mulawarman Hannase
2224 Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024
bawah bimbingan orang tuanya ini Wahbah Al-Zuhaili tumbuh dan dibesarkan di kampung
halamannya.
Wahbah Al-Zuhaili mengenyam pendidikan perguruan tinggi pada tahun 1946 di
Universitas Damaskus. Di bangku perkuliahan dia mengambil perkuliahan pada Fakultas
Syariah yang diselesaikan pada tahun 1952 dengan predikat mumtaz. Tidak puas dengan hasil
yang diperoleh dalam negeri, dia pun meneruskan studi ke Mesir, Di Universitas Al-Azhar dia
mengambil perkuliahan di Fakultas Syariah dan lulus tahun 1956. Bersamaan dengan itu ia
menimba ilmu Hukum di Universitas ‘Ain Syams yang berhasi diselesaikan tahun 1957.
Kemudian Wahbah menlanjutkan pendidikannya di Universitas Kairo dan lulus tahun 1959.
Di Universitas yang sama ia pun berhasil mendapatkan gelar Doktornya dengan disertasi
berjudul Atsar Al-Harb fi Al-Fiqh Al-Islami (al-Laham, 2001: 11-13).
Perhatian yang dimiliki Wahbah dalam ilmu pengetahuan juga diiringi dengan
produktifitas yang tinggi dalam dunia tulis-menulis. Di antara karya-karyanya adalah al-Fiqh
al-Islami wa Adillatuhu, Ushul al-Fiqh al-Islamy, dan al-Tafsir al-Munir fi al-’Aqidah wa al-
Syarî’ah wa al-Manhaj.
Pandangan Wahbah Al-Zuhaili Tentang Mashlahah Mursalah
Pandangan (Al-Zuḥailī, 2017) tentang mashlahah tidak jauh berbeda dengan para ulama
pendahulunya. Dalam memberikan definisi mashlahah, Wahbah menilai definisi yang tepat
dalam menggambarkannya adalah yang diberikan oleh (Al-Ghazali & bin Ahmad, 1993).
Yaitu, mashlahah adalah menarik manfaat dan menghindarkan madharat yang hakikatnya
bertujuan untuk memelihara tujuan-tujuan syariat (al-muhafazhah ‘ala al-maqshud al-syar’i)
yang mencakup lima hal, yaitu; memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Menurutnya, pandangan ini dinilai benar karena setiap orang memiliki penilaian yang
berbeda dalam menilai ukuran mashlahah, karena sifat naluriah manusia memiliki
kecenderungan lebih mementingkan kemashlahatan untuk kepentingan pribadi daripada
kepentingan umum. Oleh karena itu, ketentuan syariat yang ditetapkan Allah itu harus
dijadikan acuan utama dalam menimbang mashlahah guna menghasilkan sebuah hukum yang
adil bagi seluruh manusia. Dengan demikian tolak ukur mashlahah harus didasari oleh syara’,
dan bukan didasari oleh akal atau hawa nafsu belaka. Dari pengertian ini Wahbah menuturkan
bahwa dasar pemahaman inilah yang dijadikan hakikat metode mashlahah mursalah oleh para
ulama.
Wahbah sendiri pun memberikan sebuah pengertian sendiri tentang mashlahah
mursalah, yang tentu hakikatnya tidak berbeda dengan ulama sebelumnya, yaitu adalah sifat-
sifat yang selaras dengan tindakan-tindakan Syari’ dan tujuan-tujuannya, namun tidak ada
dalil yang mendukung maupun menolaknya. Dan dari hubungan antara sifat dengan hukum
itu diahsilkan sesuatu yang mendatangkan kemashlahatan bagi manusia dan menjauhkannya
dari kemudaratan.
Oleh karena itu, diketahui apabila ditemukan suatu kasus yang memiliki adanya
kesamaan fakta dengan yang ditemukan dalam syariat, yaitu dari Alquran, sunnah, dan ijma’,
maka para mujtahid berijtihad menggunakan metode qiyas. Namun, apabila tidak ditemukan
adanya kesamaan dalam syariat, maka mereka berijtihad dengan mashlahah mursalah.
Izin Poligami Perspektif Mashlahah Mursalah Wahbah Al-Zuhaili
Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024 2225
Wahbah pun menambahkan bahwa mashlahah mursalah hanya dapat digunakan pada wilayah
mu’amalah bukan pada wilayah ‘ubudiyah.
Selain itu, Wahbah Al-Zuhaili juga memberikan komentar terhadap pendapat para
ulama mengenai mashlahah al-mursalah, baik dari segi kehujjahan maupun dalam
penggunaannya. Adapun komentar Wahbah Al-Zuhaili adalah sebagai berikut (Al-Zuḥailī,
2017) :
a. Dalam pembahasan ilmu ushul diketahui bahwa di dalam hukum-hukum syara’ terdapat
perhatian untuk menimbulkan kemaslahatan bagi manusia (QS. 21:107). Dalam ayat ini
dijelaskan bahwa Rasulullah saw. diutus dengan membawa syariah dan hidayah yang
terdapat dalam Alquran sebagai rahmah bagi sekalian alam yang meliputi jin dan manusia,
baik di dunia maupun di akhirat. Dengan kata lain Rasulullah diutus sebagai rahmat untuk
memenuhi kemaslahatan alam, salah satunya manusia (Al-Zuḥailī, 2017). Oleh karena itu,
segala hal yang diajarkan Rasul baik itu ayat-ayat Alquran maupun hadits-hadits,
keseluruhannya itu dimaksudkan untuk mencapai kemaslahatan manusia di dunia dan di
akhirat. Oleh karena itu menerapkan mashlahah mursalah dalam istinbath terhadap suatu
perkara untuk menimbulkan mashlahah itu sah untuk dilakukan.
b. kemashlahatan manusia yang berhubungan dengan persoalan duniawi selalu berubah
sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi manusia tersebut. Apabila kemashlahatan
ini tidak diperhatikan dan diwujudkan, maka manusia akan banyak mengalami kesulitan
dalam kehidupannya. Kemudian akan timbul pula kejumudan dalam syariat yang memiliki
kesan bahwa syariat Islam tidak relevan dengan perkembangan zaman. Apabila demikian
maka kerusakan yang terjadi justru semakin besar dan tidak sesuai dengan maksud dan
tujuan syariat, yaitu meraih kemaslahatan dan menolak kemudaratan. Untuk itu,
bagaimanapun juga perlu diperhatikan, penetapan hukum-hukum tersebut harus
bersesuaian dengan mashlahah al-‘ammah dan harus berlaku secara umum. Sehingga
dapat diperoleh ketetapan hukum dan kemashlahatan yang kekal.
c. Para sahabat dan generasi setelah mereka juga didapati telah berijtihad dan berfatwa
dengan menggunakan maslahah untuk menetapkan hukum sutu peristiwa. Meskipun
mashlahah yang dijadikan dasar itu tidak didukung oleh dalil yang secara khusus
memerintahkan untuk mewujudkannya. Dan hal ini pun tidak dibantah sama sekali oleh
para sahabat. Sehingga hal ini dapat dikatakan sebagai ijma’ sahabat untuk menggunakan
mashlahah mursalah sebagai dalil untuk menetapkan hukum.
Sementara dari segi penggunaan mashlahah mursalah, Wahbah mensyaratkan tiga hal,
antara lain:
a. Mashlahah tersebut harus sejalan dengan tujuan syariat yang terbukti dapat menimbulkan
kemaslahatan dan menghindarkan mudarat secara pasti (qath’i), bukan sekedar prasangka
(zhan) atau berandai-andai (wahm).
b. Mashlahah tersebut harus dapat diterima oleh akal sehat sekiranya ia dapat berakibat pada
kepastian hukum yang bersifat qath’i bukan zahnni atau wahm. Artinya, bahwa hukum
yang dihasilkan itu benar-benar diketahui oleh akal dapat mendatangkan manfaat dan
menghindarkan mudarat bagi manusia.
Mohammad Rifki Haekal, Mulawarman Hannase
2226 Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024
c. Mashlahah harus mencakup keseluruhan manusia, tidak hanya sebatas individu atau
golongan tertentu. Karena hukum-hukum syariat berlaku kepada manusia secara
keseluruhan.
Pandangan Wahbah Al-Zuhaili tentang Poligami
Syariah memperbolehkan seorang laki-laki untuk berpoligami. Hal ini mengacu pada
ayat al-Quran surah An-Nisa: 4.





























Jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yatim (bilamana kamu menikahinya), nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua,
tiga, atau empat. Akan tetapi, jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, (nikahilah)
seorang saja atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat
untuk tidak berbuat zalim.
Al-Zuhaili menjelaskan sebab ayat tersebut turun berdasarkan hadits yang diriwayatkan
Bukhari, Muslim, Nasa’i, dan Baihaqi dari Urwah bin Zubair. Bahwa ia bertanya kepada
Aisyah r.a. tentang ayat ini, kemudian Aisyah r.a. menjelaskan "Wahai putra saudara
perempuanku, ada seorang anak yatim perempuan yang berada di bawah asuhan walinya, si
wali tersebut ikut menikmati harta si anak yatim perempuan tersebut. Lalu si wali ternyata
tertarik kepada harta dan kecantikannya, lalu ia ingin menikahinya tanpa mau bersikap adil di
dalam memberikan mahar kepadanya dengan cara tidak memberinya maskawin atau mahar
seperti yang biasa diberikan kepada para wanita sepertinya. Lalu sikap seperti ini dilarang
bagi mereka dan mereka diperintahkan untuk menikahi wanita-wanita lainnya yang mereka
senangi, dua, tiga atau empat.".
Dengan turunnya ayat ini seolah-olah Allah menyampaikan kepada para wali anak
yatim sebagaimana kalian takut tidak bisa berlaku adil terhadap hak-hak anak yatim, maka
begitu pula kalian harus takut tidak bisa berlaku adil terhadap hak-hak wanita. Oleh karena
itu, janganlah kalian menikahi wanita lebih dari jumlah yang kalian bisa memenuhi hak-
haknya. Karena wanita memiliki kesamaan dengan anak yatim, yaitu sama-sama sebagai
makhluk yang lemah (1997: 234).
Dengan sikap mereka itu, maka dilaranglah menikahi anak-anak yatim itu karena
perbuatan zalim mereka. Sebagai gantinya mereka diperbolehkan menikahi perempuan lain
yang halal dinikahi baik itu berjumlah dua, tiga, atau empat dalam satu waktu. Namun
demikian, menikahi perempuan, baik itu yatim atau bukan tetap tidak
menghilangkan larangan untuk berbuat zalim terhadap perempuan. Karena baik yatim
maupun bukan, perempuan termasuk makhluk yang harus diperlakukan dengan kasih sayang
dan lemah lembut.
Berkaitan pula dengan ini, hadits Aisyah di atas memberikan gambaran yang terjadi
pada masa jahiliyah yang masih tersisa di kehidupan umat Islam. Hingga akhirnya Islam
datang dan melarangnya, juga melindungi martabat perempuan dengan cara yang agung, serta
mengembalikan permasalahan poligami kepada hati nurani. Ayat Alquran mengenai Dan jika
kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim adalah
Izin Poligami Perspektif Mashlahah Mursalah Wahbah Al-Zuhaili
Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024 2227
permasalahan ketakwaan dan ketakutan seseorang kepada Allah. Oleh karena itu, keadilan
dalam poligami ini kembali kepada hati nurani dan ketakwaan seseorang, karena dua hal
itulah yang berfungsi sebagai pengawas diri dari berbuat aniaya.
Ayat di atas juga membicarakan tentang keharusan dalam berbuat adil kepada istri-istri.
Baik itu anak yatim maupun bukan. Seorang laki-laki yang memiliki istri lebih dari satu orang
harus memenuhi berbagai syarat tertentu yang merupakan etika dalam kehidupan berumah
tangga dengan istri-istri yang dimilikinya. Persyaratan tersebut adalah perlakuan yang adil
antara istri yang satu dengan yang lainnya dalam hal materi, seperti; persamaan hak dan
kewajiban atas istri-istrinya dalam urusan nafkah, tempat tinggal, pakaian, giliran, dan hal-hal
yang bersifat lahiriyyah.
Adapun adil dalam hal perasaan, suami diberi keringanan dalam menjalaninya. Karena
keadilan dalam hal cinta pada hakikatnya tidak dapat dilakukan oleh seorang laki-laki. Seperti
pada Q.S. An-Nisa: 129:
















Kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(-mu) walaupun
kamu sangat ingin berbuat demikian. Oleh karena itu, janganlah kamu terlalu cenderung
(kepada yang kamu cintai) sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Jika kamu
mengadakan islah (perbaikan) dan memelihara diri (dari kecurangan), sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Ayat ini memberikan peringatan kepada para laki-laki untuk tidak memberikan cintanya
secara berlebihan kepada salah seorang istrinya yang mengakibatkan istri yang lain merasa
seperti tidak diperlakukan sebagai istri dan tidak pula diceraikan. Oleh karena itu, suami
diwajibkan untuk dapat selalu mengusahakan keberimbangan dalam memberi perhatian
kepada istri-istrinya. Namun, apabila dia memang merasa tidak sanggup demikian, maka
diwajibkan untuknya beristri dengan satu orang perempuan saja.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Aisyah r.a.,




























Dari Aisyah r.a, dia berkata: Rasulullah saw. Selalu membagi giliran sesama istrinya
dengan adil dan beliau pernah berdo‟a: Ya Allah! Ini bagianku yang dapat aku kerjakan.
Karena itu janganlah Engkau menuntutku terhadap sesuatu yang Engkau kuasai, sedangkan
aku tidak menguasainya”. Abu Dawud berkata bahwa maksud (Engkau kuasai sedangkan aku
tidak menguasainya) adalah hati (HR. Abu Dawud).
Hal ini berarti keadilan yang dituntut adalah keadilan materi yang dapat terukur, bukan
keadilan dalam kecenderungan hati. Ayat ini juga memberikan peringatan kepada para suami
tentang bahaya perasaan dan dorongan hati yang dapat berakibat buruk bagi kehidupan rumah
tangga. Sehingga tidak dapat dibenarkan pula, ungkapan bahwa poligami adalah sesuatu yang
mutlak dilarang karena berisi ketentuan yang tidak dapat dilakukan manusia. Karena pada
hakikatnya syariat hanya membebankan perkara kepada yang mampu dikerjakan oleh
manusia.
Mohammad Rifki Haekal, Mulawarman Hannase
2228 Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024
Ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi mengenai ketentuan ayat 3 surah Al-Nisa
tentang poligami menurut (Al-Zuḥailī, 2017), antara lain:
a. Ayat di atas ditujukan kepada para pemelihara anak-anak yatim yang hendak mengawini
mereka tanpa berlaku adil. Namun, tidak pula dibenarkan apabila poligami hanya ditujukan
bagi para pemelihara anak yatim, kendati konteks ayat berkata demikian. Karena redaksi
pada ayat ini bersifat umum, dan karena kenyataan pada zaman Nabi saw. banyak didapati
para sahabat yang tidak memelihara anak yatim pun melakukan poligami. Dan hal itu
diketahui oleh Rasul saw., sehingga tidak tepat apabila menjadikan ayat di atas hanya bagi
para pemelihara anak yatim
b. Kata khiftum yang biasa diartikan “takut” dalam ayat ini dapat pula diartikan sebagai
“mengetahui”. Jenis pengetahuan yang dijelaskan dalam ayat ini cukup dengan adanya
dugaan keras. Sehingga dapat dikatakan bahwa barangsiapa menduga keras (zhan) dirinya
dapat berlaku adil kepada istri-istrinya baik yang yatim maupun bukan, maka
diperbolehkan baginya berpoligami.
c. Ayat di atas menggunakan kata tuqsithu dan ta'dilu yang keduanya dapat diartikan “berlaku
adil”. Para ulama berbeda pendapat mengenai makna keduanya, ada yang mempersamakan
dan ada pula yang membedakan maknanya. Adapun yang membedakan maknanya
berpendapat bahwa tuqsithu adalah berlaku adil antara dua orang atau lebih yang
menjadikannya senang. Sementara ta‟dilu adalah berlaku adil terhadap orang lain dan diri
sendiri, walaupun keadilan itu bisa saja tidak membuat salah satu pihak senang. Dengan
demikian izin poligami hanya diberikan kepada mereka yang mengetahui bahwa
langkahnya tersebut dia harapkan dapat menyenangkan semua istri. Namun, apabila hal itu
tidak tercapai, maka setidaknya dia berlaku adil, meskipun hal itu bisa tidak
menyenangkan salah satu di antara mereka.
d. Perintah menikah pada kata (

) dalam ayat tersebut menunjukkan kebolehan (ibahah)
seperti pada firman Allah 



 dan makan serta minumlah”. Selain itu,
kemubahan ini disebabkan perintah tersebut merupakan bentuk jawab syarat dari ayat
dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim”.
Sehingga kata perintah tersebut ditujukan bagi wali yang takut tidak bisa berbuat adil
terhadap anak yatim, untuk menikahi perempuan lain. Redaksi ini sama seperti ucapan
seseorang untuk melarang seseorang untuk makan makanan tertentu, untuk menguatkan
larangan ini dia berkata: “Jika kamu khawatir akan sakit bila makan ini, maka habiskanlah
makanan selainnya yang ada di hadapanmu”. Tentu perintah menghabiskan makanan yang
lain itu hanya sekedar mengindahkan larangan untuk tidak makan makanan tertentu.
Kemudian ada pula pendapat lemah yang mengatakan, kata ini dapat pula dipahami
sebagai kewajiban dalam artian wajib membatasi jumlah istri dengan batas maksimal
empat orang perempuan yang statusnya boleh dinikahi. Bukan berupa kewajiban asal
dalam hukum.
e. Huruf wawu ( ) dalam ayat di atas bukan berarti “dan”, tetapi “atau”. Menurut jumhur
ulama makna dua, tiga, dan empat dalam ayat tersebut adalah (matsna) dua-dua, (tsulatsa)
tiga-tiga, dan (ruba’) empat-empat, dan tidak melebihi dari itu. Huruf wawu konjungsi
(wawu ‘atf) berfungsi untuk menunjukkan perbuatan yang diulang-ulang. Tujuan dari
Izin Poligami Perspektif Mashlahah Mursalah Wahbah Al-Zuhaili
Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024 2229
huruf wawu ini adalah menggabungkan perbuatannya, bukan jumlahnya. Maka, maksud
dari ayat tersebut adalah mengawini dua-dua, tiga-tiga, atau empat-empat.
Izin Poligami Perspektif Wahbah Al-Zuhaili
Ajaran Islam membolehkan adanya poligami dengan syarat-syarat tertentu. Poligami
yang dibenarkan di sini adalah poligini, yaitu seorang laki-laki yang mempunyai lebih dari
seorang istri dengan maksimal 4 orang dalam satu waktu.
Dalam segi legalitas hukum formal, beberapa negara ada yang memberlakukan aturan
tertentu bagi seseorang yang hendak melakukan poligami. Aturan tersebut berupa keharusan
adanya izin dari Pengadilan bagi seorang suami untuk melakukan poligami. Di antara negara-
negara yang mengatur hal tersebut seperti; Syria, Mesir (Luthfiyah & Al-Farisyi, 2022).
Bangladesh, Pakistan Iran, Brunei Darussalam, Indonesia, Filipina dan Malaysia (Nasution,
2002). Peraturan yang diberlakukan negara-negara tersebut digunakan untuk mendapatkan
suatu keabsahan hukum yang diakui oleh negara. Sehingga pernikahan poligami itu mendapat
kekuatan hukum.
Aturan ini muncul di beberapa negara tersebut guna menciptakan sebuah ketertiban
dalam masyarakat yang sudah merupakan tugas dari negara untuk mewujudkannya.
Ketertiban yang dimaksudkan di sini bertujuan untuk mengaktualisasikan syarat-syarat dan
ketentuan poligami sebagaimana diatur oleh syara’ mengenai kebolehannya. Dengan
demikian peraturan ini dibentuk untuk memberikan penilaian terhadap suami yang hendak
berpoligami mengenai kemampuan dalam berlaku adil terhadap para istri dan kemampuan
dalam memberi nafkah.
Adanya ketentuan hukum yang berlaku dan mengikat ini juga bertujuan untuk
meminimalisir adanya praktik poligami yang serampangan dan menylahgunakan kebolehan
melakukan poligami sehingga dapat menyebabkan terlantarnya istri dikarenakan tidak
terpenuhinya hak-hak mereka. Lebih dari itu, poligami dengan semata-mata bertujuan
memenuhi hawa nafsu dapat berdampak pada keretakan rumah tangga yang seharussnya
dibina dan dijaga ketentraman dan keharmonisannya. Bahkan hal ini dapat pula memiliki
dampak pada pertumbuhan dan pendidikan anak (Nasution, 2002)
Sementara itu keharusan adanya izin dari Pengadilan untuk dibolehkannya seorang
laki-laki berpoligami tidak termaktub dalam pembahasan fiqh klasik. Dalam ranah fiqh,
poligami merupakan perbuatan yang boleh dilakukan selama memenuhi syarat dan
ketentuannya. Yaitu, dengan ketentuan batas maksimal empat orang istri. Dan dengan syarat
harus mampu berlaku adil kepada para istri dan mampu dalam menafkahi mereka dan anak-
anak mereka.
Tidak adanya pembahasan mengenai izin tersebut karena tidak adanya dalil secara
khusus baik dari Alquran, sunnah, maupun ijma’ yang menunjukkan hukumnya. Namun, dari
nash yang memuat kebolehan poligami tersebut dapat ditemukan adanya hikmah
disyariatkannya poligami yang mana hal tersebut sesuai dengan tujuan-tujuan syariat.
Sehingga mengenai hukumnya dapat dicari dengan metode mashlahah mursalah.
Mohammad Rifki Haekal, Mulawarman Hannase
2230 Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024
Izin poligami muncul sebagai sebuah tawaran sekaligus terobosan untuk tetap
menyelaraskan syariat poligami tersebut dengan tujuannya semula. Yaitu menciptakan suatu
keadilan (QS. Al-Nisa/4: 3). Ayat tersebut melarang seorang untuk poligami apabila dalam
praktiknya ditemui unsur kesemena-menaan.
Seperti halnya para wali anak yatim yang menjadi sebab turunnya ayat tersebut
menikahi anak yatim itu karena tergiur dengan harta dan kecantikan mereka, namun tidak
memperlakukannya dengan adil dalam urusan nafkah. Oleh karena itu poligami dengan niat
seperti ini dilarang oleh agama. Adapun laki-laki yang hendak berpoligami dengan maksud
demikian diperintahkan hanya beristri satu orang perempuan (al-Zuhaili, 1997: 233). Tidak
dapat dibenarkan apabila praktik poligami dilakukan dengan landasan hawa nafsu tanpa
memperhatikan keadilan di antara para istri, apalagi sampai mengabaikan hak-haknya. Oleh
karena itu, seorang suami yang hendak berpoligami harus yakin dan sadar mengenai
kemampuannya dalam berlaku adil terhadap istri-istrinya. Baik dalam urusan hak-hak berupa
perlakuan, giliran, tempat tinggal, dan dalam hal pemberian nafkah. Apabila tidak mampu
demikian, maka dianjurkan untuk menikahi satu orang perempuan saja.
Namun demikian, izin poligami menurut Wahbah al-Zuhaili tidak dapat dibenarkan
menurut teori mashlahah mursalah. Sebab, adanya izin tersebut tidak menunjukkan adanya
bukti yang qath’i (pasti) bahwa izin poligami ini adalah mashlahah yang dapat membuahkan
kemaslahatan dan menghindarkan mudarat. Sementara syarat mashlahah mursalah yang
diberikan oleh Wahbah Al-Zuhaili mengharuskan mashlahah itu terbukti secara qath’i (pasti)
(Yakin, 2015).
Wahbah al-Zuhaili (1985: 6674) pun mempunyai beberapa alasan mengenai tidak dapat
diterimanya hal ini karena beberapa alasan berikut:
a. Pada dasarnya Allah swt. menempatkan keinginan kepada orang yang hendak berpoligami
itu untuk mewujudkan kedua syarat poligami (berlaku adil dan mampu menafkahi para
istri). Dan hanya Allah yang mampu menilai kemampuan seseorang untuk dapat berlaku
adil kepada istri-istrinya. Sebagaimana ini ditunjukkan oleh Firman-nya dalam surah Al-
Nisa ayat 3. Khithab pada ayat ini tertuju kepada orang yang hendak berpoligami dan
bukan kepada selainnya. Oleh karena itu penilaian kadar kemampuan untuk berpoligami
ini hanya dapat diketahui oleh Allah dan orang yang hendak berpoligami itu sendiri, bukan
orang lain.
b. Penilaian yang dilakukan oleh Pengadilan terhadap perkara pribadi adalah sesuatu yang
semu. Ada kemungkinan seorang Hakim tidak mengetahui alasan yang pasti. Karena
biasanya manusia cenderung menyembunyikan alasan ini kepada orang lain.
c. Praktik poligami bukan penyebab bagi terlantarnya anak-anak. Keterlantaran hidup anak-
anak disebabkan oleh kelalaian orang tua dalam mendidik anak-anaknya. Dan hal ini
terjadi karena berbagai sebab, tak hanya poligami.
Walaupun menolak gagasan izin poligami, Wahbah (1985: 6675) juga memberikan
solusi dalam menanggulangi terhadap praktik dan pemahaman yang keliru tentang poligami.
Antara lain dengan cara:
Izin Poligami Perspektif Mashlahah Mursalah Wahbah Al-Zuhaili
Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024 2231
a. Mendidik masyarakat dengan pendidikan agama dan akhlak yang kuat dan baik. Hal ini
menyebabkan pasangan suami-istri menyadari kepentingan ikatan pernikahan yang suci
dan fokus kepada pembinaan rumah tangga yang tentram dan penuh kasing sayang.
b. Memberi hukuman kepada orang yang menzalimi istrinya, atau lalai dalam hal memenuhi
haknya, atau menelantarkan pendidikan anak-anaknya.
Dari penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa izin poligami tidak memenuhi
syarat mashlahah mursalah yang diberikan Wahbah Al-Zuhaili. Hal ini disebabkan izin
poligami tersebut tidak dapat dibuktikan sebagai suatu mashlahah yang berbentuk qath’i
(pasti). Sementara keharusan beramal dengan mashlahah mursalah adalah memenuhi ketiga
syarat tersebut. Oleh karena itu, izin poligami tidak dapat dibenarkan menurut Wahbah Al-
Zuhaili.
KESIMPULAN
Para ulama dari madzhab Hanifiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah sepakat
bahwa hukum poligami adalah mubah. Pendapat ini didasari oleh Alquran dan Hadits Nabi
dengan jumlah maksimal empat orang istri dalam satu waktu dan dengan syarat dapat berlaku
adil dan mampu menafkahi para istri beserta anak-anaknya dalam bentuk harta.
Demi kemaslahatan penduduknya, banyak negara yang memberlakukan izin bagi laki-
laki yang hendak melakukan poligami dalam proses administrasi pernikahan. Tujuannya
adalah untuk mencegah terjadinya kerusakan tatanan sosial yang disebabkan oleh praktik
poligami yang tidak bertanggung jawab. Izin poligami juga membuat pernikahan yang
berlangsung memiliki kekuatan hukum pada suatu negara. Dengan izin tersebut hak dan
kewajiban dalam rumah tangga aman dari tindakan kriminal dan kecurangan yang dapat
merugikan salah satu pihak. Oleh karenanya unsur ini menjadi penting dalam tertib
administrasi kenegaraan sebagai bentuk pencegahan masalah di kemudian hari
Namun demikian, izin poigami menurut Wahbah al-Zuhaili tidak dapat diterima
sebagai suatu bentuk mashlahah yang dapat dijadikan sebuah hukum. Sebab, adanya izin
untuk berpoligami tersebut tidak memenuhi salah satu syarat dalam menggunakan mashlahah
mursalah menurut Wahbah al-Zuhaili, yaitu bentuk mashlahah harus berupa mashlahah yang
qath’i. Adaya izin poligami belum pasti dapat menimbulkan kemaslahatan dan menghidarkan
mudarat bagi manusia. Sementara mashlahah mursalah baru dapat diamalkan apabila
memenuhi ketiga syaratnya.
BIBLIOGRAFI
Al-Ghazali, Abu Hamid, & bin Ahmad, Muhammad. (1993). Ayyuha al-walad. Dalam
Majmuah Rasa’il Al-Imam Al-Ghazali, J, 2.
Al-Zuḥailī, Wahbah. (2017). al-Fiqh al-Syāfi’ī al-Muyassar. Terj: Muhammad Afifi Dan
Abdul Hafiz, Jilid, 3.
Azzahra, Qonita, & Ramadhani, Aulia Fitria. (2020). Konsep Poligami Perpektif Amina
Wadud dan M. Quraish Shihab. At-Tahfidz: Jurnal Ilmu Al-Qur’an Dan Tafsir, 2(01),
4965.
Bopp, Julia Ayumi, Müller, Livia J., Aeschbach, Lena Fanya, Opwis, Klaus, & Mekler, Elisa
D. (2019). Exploring emotional attachment to game characters. Proceedings of the
Mohammad Rifki Haekal, Mulawarman Hannase
2232 Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024
Annual Symposium on Computer-Human Interaction in Play, 313324.
Cahyono, Imam Aji, Azizah, Alfiyatul, & An, Andri Nirwana. (2024). Resilience to Calamity
in Qur’anic Perspective. Al-Afkar, Journal For Islamic Studies, 7(2), 975993.
dan Mustofa, Dedi Supriyadi. (2009). Perbadingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam.
Pustaka Al-Fikriis, Bandung.
Kütük-Kuriş, Merve. (2021). Muslim Feminism: Contemporary Debates 42. Handbook of
Contemporary Islam and Muslim Lives, 865.
Luthfiyah, Luthfiyah, & Al-Farisyi, Ali Imron. (2022). Legalitas Poligami; Studi Atas Aturan
Praktik Poligami diberbagai Negara Islam:(Turki, Syiria, Somalia, Mesir, Tunisia dan
Indonesia). ASASI: Journal of Islamic Family Law, 2(2), 196213.
Nasution, Khoiruddin. (2002). Status Wanita di Asia Tenggara: Studi Terhadap Perundang-
undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia (Vol. 39). Inis.
Noor, H. R. Zulki Zulkifli. (2020). Metodologi penelitian kualitatif dan kuantitatif: petunjuk
praktis untuk penyusunan skripsi, tesis, dan disertasi: tahun 2015. Deepublish.
Rohmah, Elva Imeldatur. (2022). Problematika Poligami Dalam Lintas Sejarah Dan Agama.
Al-Qanun: Jurnal Pemikiran Dan Pembaharuan Hukum Islam, 25(1), 8397.
Sunandar, Dadan. (2022). Hadits Khitan Dan Poligami Tinjauan Medis, Psikologi, Historis
Dan Fenomenologi. Public Sphare: Jurnal Sosial Politik, Pemerintahan Dan Hukum,
1(1).
Syarifudin, H. Amir. (2014). Ushul Fiqih Jilid I (Vol. 1). Prenada Media.
Yakin, Ainul. (2015). Urgensi Teori Maqashid Al-Syari’ah Dalam Penetapan Hukum Islam
Dengan Pendekatan Mashlahah Mursalah. AT-TURAS: Jurnal Studi Keislaman, 2(1).
Yunus, Moch. (2018). Kajian Tafsîr Munîr Karya Wahbah Az-Zuhayli. HUMANISTIKA:
Jurnal Keislaman, 4(2), 162172.
Copyright holder:
Mohammad Rifki Haekal, Mulawarman Hannase (2024)
First publication right:
Syntax Idea
This article is licensed under: