How to cite:
Mohammad Rifki Haekal, Mulawarman Hannase (2024) Izin Poligami Perspektif Mashlahah
Mursalah Wahbah Al-Zuhaili, (06) 05, https://doi.org/10.36418/syntax-idea.v3i6.1227
E-ISSN:
2684-883X
Published by:
Ridwan Institute
IZIN POLIGAMI PERSPEKTIF MASHLAHAH MURSALAH WAHBAH
AL-ZUHAILI
Mohammad Rifki Haekal, Mulawarman Hannase
Universitas Indonesia, Indonesia
Abstrak
Dari sudut pandang agama Islam, poligami merupakan hal yang berat untuk dapat dilakukan.
Disyaratkan harus mampu berlaku adil dalam memenuhi segala hak istri-istrinya. Sementara
itu, Poligami yang dibolehkan Islam pun terbatas dengan maksimal empat orang istri dalam
satu waktu. Oleh karena itu, banyak negara yang kemudian memberikan sebuah aturan berupa
izin poligami guna menciptakan kemaslahatan dalam masyarakat, khususnya dalam rumah
tangga. Dalam peraturan itu disebutkan bahwa seorang suami yang hendak berpoligami harus
mendapatkan izin dari Pengadilan. Dalam khazanah keilmuan fiqh, menciptakan
kemaslahatan merupakan tujuan dari adanya hukum. Dan salah satu bentuk metode istinbath
hukum dalam menciptakan kemaslahatan tersebut adalah mashlahah mursalah. Metode ini
pertama kali dikenalkan oleh Imam Malik. Namun demikian, banyak pula ulama kontemporer
pada masa ini yang juga turut memberikan kontribusinya keilmuannya dalam membahas
metode tersebut, dan salah satunya adalah Wahbah Al-Zuhaili. Jenis penelitian yang penulis
gunakan adalah penelitian normatif yang menekankan kepada sumber data kepustakaan
(library research) yang dilalui dengan tahapan pengumpulan data dan informasi berisikan
bermacam-macam materi yang terdapat dalam bahan pustaka seperti buku, jurnal, artikel,
ensiklopedia, dan lain sebagainya. Adapun pendekatan penelitian dalam pengelolaan data
yang digunakan penulis adalah pendekatan deskriptif-analisis. Yaitu, dengan menerangkan
secara detail tentang bentuk permasalahannya dan setelah itu dianalisa secara deduktif.
.
Kata kunci: Izin Poligami, Poligami, Mashlahah Mursalah, Wahbah al-Zuhaili.
Abstract
Poligamy in Islamic tenet is a difficult thing to do. It is required to be able to act fairly in
fulfilling all the rights of his wives. Meanwhile, polygamy which is allowed by Islam is also
limited to a maximum of four wives at a time. Therefore, many countries then provide a
regulation in the form of a polygamy permit to create benefits in society, especially in the
household. The regulation states that a husband who wants to have polygamy must obtain
permission from the Court. In the scientific treasures of fiqh, creating benefit is the goal of the
existence of law. And one form of legal istinbath method in creating the benefit is mashlahah
mursalah. This method was first introduced by Imam Malik. However, many contemporary
scholars at this time also contributed to their scientific contributions in discussing this
method, and one of them was Wahbah Al-Zuhaili. The type of research that the author uses is
normative research that emphasizes the source of library data (library research) which is
passed through the stages of collecting data and information containing various materials
JOURNAL SYNTAX IDEA
pISSN: 2723-4339 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 6, No. 05, Mei 2024
Mohammad Rifki Haekal, Mulawarman Hannase
2220 Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024
contained in library materials such as books, journals, articles, encyclopedias, and so on. The
research approach in data management used by the author is a descriptive-analytical
approach. That is, by explaining in detail about the form of the problem and after that it is
analyzed deductively.
Keywords: Polygamy Permit, Polygamy, Mashlahah Mursalah, Wahbah al-Zuhaili.
PENDAHULUAN
Perbincangan mengenai poligami selalu menjadi topik yang hangat diperbincangkan
(Azzahra & Ramadhani, 2020). Terutama perbincangan ini sangat diwarnai dan diprakarsai
oleh kaum feminis yang terus mengkampanyekan emansipasi. Apabila dirunut dalam sejarah,
poligami itu sendiri telah lama ada dan dilakukan oleh umat-umat terdahulu. Namun
demikian, pro dan kontra mengenai praktik poligami terus saja berlanjut. Di satu sisi,
poligami dinilai sebagai perilaku yang melanggar HAM (Hak Asasi Manusia) karena
dianggap sebagai bentuk eksploitasi kaum laki-laki terhadap kaum perempuan. Poligami
hanya dilakukan untuk memenuhi hawa nafsu belaka. Sementara di sisi lainnya, menilai
bahwa poligami adalah sebuah bentuk solusi terhadap permasalahan sosial seperti
perselingkuhan dan prostitusi. Poligami juga memiliki sandaran normatif yang jelas dan justru
dapat mengangkat martabat kaum perempuan (Rohmah, 2022).
Sementara dari sudut pandang lain, kaum feminis muslim memperjuangkan
emansipasi tersebut melalui kerangka hukum agama. Hal ini terlihat dari kritik mereka
mengenai sistem patriarki yang berakar kuat pada hukum keluarga Islam dan pembangunan
yang mengatasnamakan Islam. Di era 1990-an para ahli tafsir dan fiqh mulai
menginterpretasikan ayat-ayat Alquran dan Hadits yang mengandung penjelasan mengenai
jender, terutama yang berkaitan dengan hukum keluarga dan isu-isu lain tentang kekerasan
terhadap wanita. Yang demikian itu mereka lakukan guna menuntut persamaan hak wanita
untuk dapat ikut andil dalam ijtihad mengenai sumber-sumber agama sekaligus menentang
dominasi laki-laki dalam bidang hukum Islam. (Kütük-Kuriş, 2021)
Dalam pandangan Islam, poligami sejatinya merupakan hal yang amat berat untuk
dapat dilakukan oleh seseorang. Seorang suami yang hendak beristri lebih dari seorang harus
mampu berlaku adil dalam memenuhi segala hak istri-istrinya. Sementara itu, Poligami yang
dibolehkan Islam pun tidak tak terbatas, melainkan dengan batas maksimal empat orang istri
dalam satu waktu (Sunandar, 2022). Namun sayangnya, ada beberapa kalangan yang salah
paham mengeai hakikat kebolehan berpoligami ini yang pada akhirnya justru malah
mengampanyekan poligami tanpa memandang hakikat kebolehannya. Oleh karena itu, di
beberapa negara pemerintah pun turut andil dalam menyikapi persoalan poligami tersebut.
Beberapa negara terebut antara lain adalah; Mesir, Syiria, Bangladesh, Pakistan, Iran, Brunei
Darussalam, Indonesia, Filipina, dan Malaysia (Nasution, 2002). Beberapa negara tersebut
khususnya Indonesia menerapkan peraturan khusus bagi laki-laki yang hendak berpoligami,
berupa izin poligami. Seorang laki-laki berkewajiban untuk mendapatkan izin terlebih dahulu
dari Pengadilan apabila dia hendak berpoligami. Apabila tidak dilakukannya, maka akan
menyebabkan perkawinan poligami itu tidak memiliki kekuatan hukum.
Izin Poligami Perspektif Mashlahah Mursalah Wahbah Al-Zuhaili
Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024 2221
Peraturan tersebut diterapkan bukan hanya untuk sekedar gertakan atau malah
menyusahkan. Tetapi, bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan bagi setiap elemen
masyarakat. Khususnya bagi kaum perempuan. Dalam khazanah keilmuan fiqh pun tercatat
bahwa menciptakan mashlahah adalah tujuan dari adanya syariat. Baik itu yang ditetapkan
langsung oleh Allah ataupun dengan perarntara Nabi saw. (sebagai penjelasan atas hukum
yang ditetapkan Allah) adalah memberikan maslahat kepada umat manusia dalam
kehidupannya di dunia maupun dalam persiapannya menghadapi kehidupan akhirat
(Syarifudin, 2014). Walaupun tidak seluruhnya tujuan syariat yang Allah tetapkan itu dapat
diketahui dan sesuai dengan kehendak manusia.
Menurut para ulama ahli ushul, kualitas kehidupan spiritual dan material yang
diperintahkan untuk dipelihara kemaslahatannya dan dijauhkan dari keburukan mengarah itu
kepada kebutuhan dasar manusia yang bertingkat-tingkat. Secara garis besar tingkatan
tersebut dibagi menjadi kebutuhan primer/dharuriyat, kebutuhan sekunder/hajiyat, dan
kebutuhan tertier/tahsiniyat. Adapun sasaran tujuan yang menyinggung tingkatan yang
tersebut diatas mencakup lima hal atau yang dikenal dengan al-ushul al-khamsah. Secara
berurutan peringkatnya adalah: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta (Cahyono, Azizah, &
An, 2024).
Kelima prinsip ini merupakan terobosan yang diberikan oleh al-Ghazali. Menurutnya
jalan untuk mengetahui tujuan hukum ini berfungsi sebagai sarana untuk menyelesaikan
kasus-kasus yang tidak secara tegas diputuskan dalam sumber hukum Islam dan qiyas. Selaras
dengan maksud Tuhan dalam mengungkapkan hukum-Nya kepada umat manusia, keputusan
yang membawa maslahah untuk lima prinsip yang dilindungi mempunyai bagian dalam
memahami tujuan ilahi dan karenanya manusia menikmati legitimasi agama.
Berbeda dengan kasus analogi dengan perintah dalam kitab suci, keputusan yang
dihasilkan tidak memperoleh validitasnya dari teks tertentu dari sumber-sumber hukum yang
otoritatif, melainkan dihasilkan secara induktif karena banyaknya bukti yang secara
keseluruhan mendukung temuan para faqih/ahli hukum. Al-Ghazali mengintegrasikan
mashlahah ke dalam penemuan hukum dengan menerapkannya seperti rasio legis (ʿillat)
dalam analogi sebuah mashlahah yang belum dibuktikan secara tekstual (mashlahah
mursalah) berfungsi sebagai rasio legis untuk menentukan keputusan 'baru'. Namun, dia
membatasi penggunaan maslahah-maslahah yang belum dibuktikan kebenarannya,
memberikan validitas hukum hanya pada mereka yang mempengaruhi salah satu dari lima
elemen yang disebutkan di atas pada tingkat kebutuhan (dharurah), universalitas (kulliyyah)
dan kepastian (qathʿi) (Bopp, Müller, Aeschbach, Opwis, & Mekler, 2019).
Sementara itu, Wahbah Al-Zuhaili yang merupakan faqih di era kontemporer ini
mempunyai bahasan tersendiri dalam kitabnya ushul al-fiqh al-islami dalam membahas
metode tersebut yang kemudian teori tersebut juga banyak digunakannya dalam menggali
hukum yang berlandaskan mashlahah. Salah satunya mengenai izin poligami yang di
beberapa negara muslim menjadi aturan yang wajib dilaksanakan. Oleh karena itu, dalam
penelitian ini penulis akan membahas izin poligami dalam perspektif mashlahah mursalah
Wahbah Al-Zuhaili..
Mohammad Rifki Haekal, Mulawarman Hannase
2222 Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penulisan artikel ini adalah deskriptif-analisis (Noor,
2020). Penelitian ini bersifat kualitatif sebab tidak mengandung unsur angka dan statistik.
Pengumpulan data berasal dari kajian kepustakaan yang berasal dari buku, jurnal, dan
internet. Data yang digunakan dalam artikel ini terdiri dari data primer yaitu buku Ushul al-
Fiqh al-Islamy dan al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh karangan Wahbah Al-Zuhaili.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengertian Poligami
Kata poligami berasal dari bahasa Yunani, yaitu poly yang berarti banyak dan gamien
atau gamos yang berarti kawin atau perkawinan. Apabila keduanya digabungkan maka akan
memunculkan arti pernikahan yang banyak, baik itu yang dilakukan oleh laki-laki maupun
perempuan. Dalam hal ini istilah poligami berarti sistem perkawinan yang salah satu pihak
mengawini beberapa lawan jenisnya di waktu yang bersamaan (Departemen Pendidikan
Nasional, 2008: 1089).
Poligami dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
a. Poliandri, yaitu perkawinan antara seorang perempuan dengan beberapa orang laki-laki.
b. Poligini, yaitu perkawinan antara seorang laki-laki dengan beberapa orang perempuan (dan
Mustofa, 2009)
Namun demikian, istilah yang berkembang dalam masyarakat mengenai bentuk
perkawinan antara seorang laki-laki dengan beberapa orang perempuan adalah poligami.
Kendati istilah yang lebih tepat dalam menggambarkan bentuk perkawinan tersebut adalah
poligini. Untuk mempermudah pemahaman pembaca, maka selanjutnya penulis akan
menggunakan istilah poligami untuk menyebut seorang laki-laki yang mengawini beberapa
istri dalam waktu bersamaan.
Izin Poligami
Dalam hal memberikan payung hukum pada masyarakatnya dalam hal pernikahan,
beberapa negara muslim menerapkan aturan perundang-undangan guna menertibkan hal
tersebut yang termasuk di dalamnya pembahasan tentang poligami. Tak terkecuali Indonesia.
Dalam hal ini, peraturan tentang perkawinan laki-laki dengan lebih dari seorang perempuan
tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (pasal 3, 4, dan 5)
serta dalam bab IX Kompilasi Hukum Islam.
Peraturan tersebut antara lain mengatur beberapa ketentuan tentang dasar
diperbolehkannya poligami, yaitu dengan diberikannya izin poligami oleh pengadilan agama
kepada pihak yang bersangkutan. Pada pasal 4 ayat 2 Undang-Undang Perkawinan serta pasal
57 KHI disebutkan alasan diberikannya izin poligami: “a) Isteri tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai isteri. b) Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan. c) Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.” Selain itu, tak hanya memenuhi
alasan yang tepat dalam berpoligami, tetapi suami juga harus memenuhi syarat-syarat dalam
Izin Poligami Perspektif Mashlahah Mursalah Wahbah Al-Zuhaili
Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024 2223
pasal 5 Undang-Undang Perkawinan, meliputi adanya persetujuan istri dan adanya kepastian
bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
Sebagaimana disebutkan pula dalam KHI pasal 56, “seorang laki-laki yang hendak
berpoligami harus mendapat izin dari pengadilan agama. Apabila tidak dilaksanakan maka
perkawinan itu tidak mempunyai kekuatan hukum.” Walaupun secara agama perkawinan itu
tetap dinyatakan sah hukumnya.
Kemudian dalam pasal 58 mengenai persetujuan istri disebutkan: “(2) Dengan tidak
mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan
Pemerintah No.9 Tahun 1975. Secara tertulis atau lisan, tetapi
sekaipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas
dengan persetujuan lisan istri pasa sidang Pengandilan Agama. (3) Persetujuan dimaksud pada
ayat 1 huruf a tidak diperlukan bagi
seorang suami apabila isteri atau isteri-isterinya tidak mungkin dimintai
persetujuan dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila
tidak ada kabar dari isteri-isterinya sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun
atau karena sebab lain yang perlu mendapatkan penilaian Hakim.”
Namun demikian, dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan dan izin untuk
berpoligami, dalam pasal 59 disebutkan; Dalam hal ini isteri tidak mau memberikan
persetujuan, dan
permohonan izin untuk beristeri lebih dari satu orang berdasarkan atas
salah satu alasan yang di atur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57.
Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah
memeriksa dan mendengar isteri yang bersangkutan di persidangan
pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini isteri atau suami dapat
mengajukan banding atau kasasi”.
Biografi Wahbah Al-Zuhaili
Nama lengkapnya adalah Wahbah bin Mushtafa bin Wahbah Al-Zuhaili dengan nama
kunyah Abu Ubadah. Dia adalah seorang ahli fiqh yang juga merupakan pakar dalam ilmu
ushul. Beliau juga merupakan mufassir dan sekaligus guru besar akademisi. Dia adalah ulama
abad ke-20 yang sejajar dengan tokoh-tokoh lainnya, seperti; Thahir Ibn ‘Asyur, Said Hawwa,
Sayyid Qutb, Muhammad Abu Zahrah, Mahmud Syaltut, Ali Muhammad Al-Khafif, Abdul
Ghani, Musthofa Abdul Khaliq, dan Muhammad Salam Madkur.
Wahbah Al-Zuhaili lahir di desa Dir ‘Athiyyah, yaitu salah satu daerah di provinsi
Damaskus-Syiria pada tanggal 6 Maret 1932 (1351 H) dari kedua orang tua yang terkenal
dengan kesalihan dan ketakwaannya. Ayahnya Musthafa Al-Zuhaili adalah seorang petani
yang hafal Alquran, banyak mengkaji kandungannya, dan sangat menjaga ketekunan dalam
beribadah. Ia juga terkenal dengan sosoknya yang rajin dan mempunyai visi yang maju. Hal
ini terlihat dari cara mendidik anak-anaknya. Dia mengarahkan anak-anaknya untuk menjadi
seseorang yang terpelajar, terlebih dalam ilmu agama, dan khususnya di bidang fiqh (Yunus,
2018). Sementara ibunya Fathimah binti Sa’adah juga merupakan orang yang wara’. Di
Mohammad Rifki Haekal, Mulawarman Hannase
2224 Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024
bawah bimbingan orang tuanya ini Wahbah Al-Zuhaili tumbuh dan dibesarkan di kampung
halamannya.
Wahbah Al-Zuhaili mengenyam pendidikan perguruan tinggi pada tahun 1946 di
Universitas Damaskus. Di bangku perkuliahan dia mengambil perkuliahan pada Fakultas
Syariah yang diselesaikan pada tahun 1952 dengan predikat mumtaz. Tidak puas dengan hasil
yang diperoleh dalam negeri, dia pun meneruskan studi ke Mesir, Di Universitas Al-Azhar dia
mengambil perkuliahan di Fakultas Syariah dan lulus tahun 1956. Bersamaan dengan itu ia
menimba ilmu Hukum di Universitas ‘Ain Syams yang berhasi diselesaikan tahun 1957.
Kemudian Wahbah menlanjutkan pendidikannya di Universitas Kairo dan lulus tahun 1959.
Di Universitas yang sama ia pun berhasil mendapatkan gelar Doktornya dengan disertasi
berjudul Atsar Al-Harb fi Al-Fiqh Al-Islami (al-Laham, 2001: 11-13).
Perhatian yang dimiliki Wahbah dalam ilmu pengetahuan juga diiringi dengan
produktifitas yang tinggi dalam dunia tulis-menulis. Di antara karya-karyanya adalah al-Fiqh
al-Islami wa Adillatuhu, Ushul al-Fiqh al-Islamy, dan al-Tafsir al-Munir fi al-’Aqidah wa al-
Syarî’ah wa al-Manhaj.
Pandangan Wahbah Al-Zuhaili Tentang Mashlahah Mursalah
Pandangan (Al-Zuḥailī, 2017) tentang mashlahah tidak jauh berbeda dengan para ulama
pendahulunya. Dalam memberikan definisi mashlahah, Wahbah menilai definisi yang tepat
dalam menggambarkannya adalah yang diberikan oleh (Al-Ghazali & bin Ahmad, 1993).
Yaitu, mashlahah adalah menarik manfaat dan menghindarkan madharat yang hakikatnya
bertujuan untuk memelihara tujuan-tujuan syariat (al-muhafazhah ‘ala al-maqshud al-syar’i)
yang mencakup lima hal, yaitu; memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Menurutnya, pandangan ini dinilai benar karena setiap orang memiliki penilaian yang
berbeda dalam menilai ukuran mashlahah, karena sifat naluriah manusia memiliki
kecenderungan lebih mementingkan kemashlahatan untuk kepentingan pribadi daripada
kepentingan umum. Oleh karena itu, ketentuan syariat yang ditetapkan Allah itu harus
dijadikan acuan utama dalam menimbang mashlahah guna menghasilkan sebuah hukum yang
adil bagi seluruh manusia. Dengan demikian tolak ukur mashlahah harus didasari oleh syara’,
dan bukan didasari oleh akal atau hawa nafsu belaka. Dari pengertian ini Wahbah menuturkan
bahwa dasar pemahaman inilah yang dijadikan hakikat metode mashlahah mursalah oleh para
ulama.
Wahbah sendiri pun memberikan sebuah pengertian sendiri tentang mashlahah
mursalah, yang tentu hakikatnya tidak berbeda dengan ulama sebelumnya, yaitu adalah sifat-
sifat yang selaras dengan tindakan-tindakan Syari’ dan tujuan-tujuannya, namun tidak ada
dalil yang mendukung maupun menolaknya. Dan dari hubungan antara sifat dengan hukum
itu diahsilkan sesuatu yang mendatangkan kemashlahatan bagi manusia dan menjauhkannya
dari kemudaratan.
Oleh karena itu, diketahui apabila ditemukan suatu kasus yang memiliki adanya
kesamaan fakta dengan yang ditemukan dalam syariat, yaitu dari Alquran, sunnah, dan ijma’,
maka para mujtahid berijtihad menggunakan metode qiyas. Namun, apabila tidak ditemukan
adanya kesamaan dalam syariat, maka mereka berijtihad dengan mashlahah mursalah.
Izin Poligami Perspektif Mashlahah Mursalah Wahbah Al-Zuhaili
Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024 2225
Wahbah pun menambahkan bahwa mashlahah mursalah hanya dapat digunakan pada wilayah
mu’amalah bukan pada wilayah ‘ubudiyah.
Selain itu, Wahbah Al-Zuhaili juga memberikan komentar terhadap pendapat para
ulama mengenai mashlahah al-mursalah, baik dari segi kehujjahan maupun dalam
penggunaannya. Adapun komentar Wahbah Al-Zuhaili adalah sebagai berikut (Al-Zuḥailī,
2017) :
a. Dalam pembahasan ilmu ushul diketahui bahwa di dalam hukum-hukum syara’ terdapat
perhatian untuk menimbulkan kemaslahatan bagi manusia (QS. 21:107). Dalam ayat ini
dijelaskan bahwa Rasulullah saw. diutus dengan membawa syariah dan hidayah yang
terdapat dalam Alquran sebagai rahmah bagi sekalian alam yang meliputi jin dan manusia,
baik di dunia maupun di akhirat. Dengan kata lain Rasulullah diutus sebagai rahmat untuk
memenuhi kemaslahatan alam, salah satunya manusia (Al-Zuḥailī, 2017). Oleh karena itu,
segala hal yang diajarkan Rasul baik itu ayat-ayat Alquran maupun hadits-hadits,
keseluruhannya itu dimaksudkan untuk mencapai kemaslahatan manusia di dunia dan di
akhirat. Oleh karena itu menerapkan mashlahah mursalah dalam istinbath terhadap suatu
perkara untuk menimbulkan mashlahah itu sah untuk dilakukan.
b. kemashlahatan manusia yang berhubungan dengan persoalan duniawi selalu berubah
sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi manusia tersebut. Apabila kemashlahatan
ini tidak diperhatikan dan diwujudkan, maka manusia akan banyak mengalami kesulitan
dalam kehidupannya. Kemudian akan timbul pula kejumudan dalam syariat yang memiliki
kesan bahwa syariat Islam tidak relevan dengan perkembangan zaman. Apabila demikian
maka kerusakan yang terjadi justru semakin besar dan tidak sesuai dengan maksud dan
tujuan syariat, yaitu meraih kemaslahatan dan menolak kemudaratan. Untuk itu,
bagaimanapun juga perlu diperhatikan, penetapan hukum-hukum tersebut harus
bersesuaian dengan mashlahah al-‘ammah dan harus berlaku secara umum. Sehingga
dapat diperoleh ketetapan hukum dan kemashlahatan yang kekal.
c. Para sahabat dan generasi setelah mereka juga didapati telah berijtihad dan berfatwa
dengan menggunakan maslahah untuk menetapkan hukum sutu peristiwa. Meskipun
mashlahah yang dijadikan dasar itu tidak didukung oleh dalil yang secara khusus
memerintahkan untuk mewujudkannya. Dan hal ini pun tidak dibantah sama sekali oleh
para sahabat. Sehingga hal ini dapat dikatakan sebagai ijma’ sahabat untuk menggunakan
mashlahah mursalah sebagai dalil untuk menetapkan hukum.
Sementara dari segi penggunaan mashlahah mursalah, Wahbah mensyaratkan tiga hal,
antara lain:
a. Mashlahah tersebut harus sejalan dengan tujuan syariat yang terbukti dapat menimbulkan
kemaslahatan dan menghindarkan mudarat secara pasti (qath’i), bukan sekedar prasangka
(zhan) atau berandai-andai (wahm).
b. Mashlahah tersebut harus dapat diterima oleh akal sehat sekiranya ia dapat berakibat pada
kepastian hukum yang bersifat qath’i bukan zahnni atau wahm. Artinya, bahwa hukum
yang dihasilkan itu benar-benar diketahui oleh akal dapat mendatangkan manfaat dan
menghindarkan mudarat bagi manusia.
Mohammad Rifki Haekal, Mulawarman Hannase
2226 Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024
c. Mashlahah harus mencakup keseluruhan manusia, tidak hanya sebatas individu atau
golongan tertentu. Karena hukum-hukum syariat berlaku kepada manusia secara
keseluruhan.
Pandangan Wahbah Al-Zuhaili tentang Poligami
Syariah memperbolehkan seorang laki-laki untuk berpoligami. Hal ini mengacu pada
ayat al-Quran surah An-Nisa: 4.





























Jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yatim (bilamana kamu menikahinya), nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua,
tiga, atau empat. Akan tetapi, jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, (nikahilah)
seorang saja atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat
untuk tidak berbuat zalim.
Al-Zuhaili menjelaskan sebab ayat tersebut turun berdasarkan hadits yang diriwayatkan
Bukhari, Muslim, Nasa’i, dan Baihaqi dari Urwah bin Zubair. Bahwa ia bertanya kepada
Aisyah r.a. tentang ayat ini, kemudian Aisyah r.a. menjelaskan "Wahai putra saudara
perempuanku, ada seorang anak yatim perempuan yang berada di bawah asuhan walinya, si
wali tersebut ikut menikmati harta si anak yatim perempuan tersebut. Lalu si wali ternyata
tertarik kepada harta dan kecantikannya, lalu ia ingin menikahinya tanpa mau bersikap adil di
dalam memberikan mahar kepadanya dengan cara tidak memberinya maskawin atau mahar
seperti yang biasa diberikan kepada para wanita sepertinya. Lalu sikap seperti ini dilarang
bagi mereka dan mereka diperintahkan untuk menikahi wanita-wanita lainnya yang mereka
senangi, dua, tiga atau empat.".
Dengan turunnya ayat ini seolah-olah Allah menyampaikan kepada para wali anak
yatim sebagaimana kalian takut tidak bisa berlaku adil terhadap hak-hak anak yatim, maka
begitu pula kalian harus takut tidak bisa berlaku adil terhadap hak-hak wanita. Oleh karena
itu, janganlah kalian menikahi wanita lebih dari jumlah yang kalian bisa memenuhi hak-
haknya. Karena wanita memiliki kesamaan dengan anak yatim, yaitu sama-sama sebagai
makhluk yang lemah (1997: 234).
Dengan sikap mereka itu, maka dilaranglah menikahi anak-anak yatim itu karena
perbuatan zalim mereka. Sebagai gantinya mereka diperbolehkan menikahi perempuan lain
yang halal dinikahi baik itu berjumlah dua, tiga, atau empat dalam satu waktu. Namun
demikian, menikahi perempuan, baik itu yatim atau bukan tetap tidak
menghilangkan larangan untuk berbuat zalim terhadap perempuan. Karena baik yatim
maupun bukan, perempuan termasuk makhluk yang harus diperlakukan dengan kasih sayang
dan lemah lembut.
Berkaitan pula dengan ini, hadits Aisyah di atas memberikan gambaran yang terjadi
pada masa jahiliyah yang masih tersisa di kehidupan umat Islam. Hingga akhirnya Islam
datang dan melarangnya, juga melindungi martabat perempuan dengan cara yang agung, serta
mengembalikan permasalahan poligami kepada hati nurani. Ayat Alquran mengenai Dan jika
kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim adalah
Izin Poligami Perspektif Mashlahah Mursalah Wahbah Al-Zuhaili
Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024 2227
permasalahan ketakwaan dan ketakutan seseorang kepada Allah. Oleh karena itu, keadilan
dalam poligami ini kembali kepada hati nurani dan ketakwaan seseorang, karena dua hal
itulah yang berfungsi sebagai pengawas diri dari berbuat aniaya.
Ayat di atas juga membicarakan tentang keharusan dalam berbuat adil kepada istri-istri.
Baik itu anak yatim maupun bukan. Seorang laki-laki yang memiliki istri lebih dari satu orang
harus memenuhi berbagai syarat tertentu yang merupakan etika dalam kehidupan berumah
tangga dengan istri-istri yang dimilikinya. Persyaratan tersebut adalah perlakuan yang adil
antara istri yang satu dengan yang lainnya dalam hal materi, seperti; persamaan hak dan
kewajiban atas istri-istrinya dalam urusan nafkah, tempat tinggal, pakaian, giliran, dan hal-hal
yang bersifat lahiriyyah.
Adapun adil dalam hal perasaan, suami diberi keringanan dalam menjalaninya. Karena
keadilan dalam hal cinta pada hakikatnya tidak dapat dilakukan oleh seorang laki-laki. Seperti
pada Q.S. An-Nisa: 129:
















Kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(-mu) walaupun
kamu sangat ingin berbuat demikian. Oleh karena itu, janganlah kamu terlalu cenderung
(kepada yang kamu cintai) sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Jika kamu
mengadakan islah (perbaikan) dan memelihara diri (dari kecurangan), sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Ayat ini memberikan peringatan kepada para laki-laki untuk tidak memberikan cintanya
secara berlebihan kepada salah seorang istrinya yang mengakibatkan istri yang lain merasa
seperti tidak diperlakukan sebagai istri dan tidak pula diceraikan. Oleh karena itu, suami
diwajibkan untuk dapat selalu mengusahakan keberimbangan dalam memberi perhatian
kepada istri-istrinya. Namun, apabila dia memang merasa tidak sanggup demikian, maka
diwajibkan untuknya beristri dengan satu orang perempuan saja.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Aisyah r.a.,




























Dari Aisyah r.a, dia berkata: Rasulullah saw. Selalu membagi giliran sesama istrinya
dengan adil dan beliau pernah berdo‟a: Ya Allah! Ini bagianku yang dapat aku kerjakan.
Karena itu janganlah Engkau menuntutku terhadap sesuatu yang Engkau kuasai, sedangkan
aku tidak menguasainya”. Abu Dawud berkata bahwa maksud (Engkau kuasai sedangkan aku
tidak menguasainya) adalah hati (HR. Abu Dawud).
Hal ini berarti keadilan yang dituntut adalah keadilan materi yang dapat terukur, bukan
keadilan dalam kecenderungan hati. Ayat ini juga memberikan peringatan kepada para suami
tentang bahaya perasaan dan dorongan hati yang dapat berakibat buruk bagi kehidupan rumah
tangga. Sehingga tidak dapat dibenarkan pula, ungkapan bahwa poligami adalah sesuatu yang
mutlak dilarang karena berisi ketentuan yang tidak dapat dilakukan manusia. Karena pada
hakikatnya syariat hanya membebankan perkara kepada yang mampu dikerjakan oleh
manusia.