How to cite:
Nuria Junita (2024) Multigravida Hamil 19 Minggu Dengan Chronic Kidney Disease Stage V Dan
Bad Obstetric History Janin Tunggal Mati Intrauterin, (06) 05, https://doi.org/10.36418/syntax-
idea.v3i6.1227
E-ISSN:
2684-883X
Published by:
Ridwan Institute
MULTIGRAVIDA HAMIL 19 MINGGU DENGAN CHRONIC KIDNEY
DISEASE STAGE V DAN BAD OBSTETRIC HISTORY JANIN TUNGGAL
MATI INTRAUTERIN
Nuria Junita
Universitas Sriwijaya, Indonesia
Abstrak
Pada kasus ini, kami mendokumentasikan seorang wanita multigravida berusia 32 tahun
yang datang ke unit gawat darurat dengan riwayat penyakit ginjal kronis stadium V dan
riwayat obstetrik yang buruk. Saat presentasi, usia kehamilan wanita tersebut adalah 19
minggu dengan janin tunggal yang telah mati dalam kandungan. Kehamilan ini
dianggap berisiko tinggi dan memerlukan perhatian medis yang hati-hati untuk
mengelola kondisi ibu dan memastikan kelahiran yang aman. Penanganan medis yang
teliti dilakukan sejak awal. Wanita tersebut telah memiliki riwayat penyakit ginjal
kronis yang memerlukan manajemen yang cermat selama kehamilan. Pertimbangan
utama dalam manajemen kasus ini adalah menjaga stabilitas kondisi ginjal ibu, sambil
mempertimbangkan komplikasi yang mungkin timbul akibat penyakit ginjal kronis pada
kehamilan. Proses manajemen dimulai dengan evaluasi menyeluruh terhadap kondisi
ibu, termasuk pemantauan fungsi ginjal, pengelolaan tekanan darah, dan kontrol kadar
protein dalam urin. Terapi farmakologis disesuaikan dengan hati-hati untuk
menghindari obat yang berpotensi merusak ginjal dan janin. Selain itu, karena janin
telah mati dalam kandungan, pertimbangan terhadap persalinan juga menjadi bagian
penting dalam manajemen kasus ini. Karena kehamilan masih dalam tahap awal, pilihan
untuk induksi persalinan atau pembedahan pengeluaran janin perlu dipertimbangkan
dengan hati-hati, dengan memperhitungkan kondisi ibu dan faktor risiko lainnya. Tim
medis yang terdiri dari obstetri, nefrologi, dan anestesiologis bekerja sama untuk
menyusun rencana manajemen yang komprehensif dan terkoordinasi. Komunikasi yang
efektif antara tim medis dan pasien sangat penting dalam memberikan dukungan
emosional dan informasi yang diperlukan untuk membuat keputusan yang tepat dalam
menghadapi situasi yang kompleks ini.
.
Kata kunci: Multigravida, Penyakit Ginjal Kronis, Janin Mati Intrauterin
Abstract
In this case, we documented a 32-year-old multigravida woman who came to the
emergency department with a history of stage V chronic kidney disease and a history of
poor obstetrics. During the presentation, the woman's gestational age was 19 weeks
with a single fetus that had died in the womb. These pregnancies are considered high-
risk and require careful medical attention to manage the mother's condition and ensure
JOURNAL SYNTAX IDEA
pISSN: 2723-4339 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 6, No. 05, Mei 2024
Multigravida Hamil 19 Minggu dengan Chronic Kidney Disease Stage V dan Bad
Obstetric Hystory Janin Tunggal Mati Intrauterin
Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024 2135
a safe birth. Meticulous medical treatment is carried out from the beginning. The
woman has had a history of chronic kidney disease that requires careful management
during pregnancy. The main consideration in the management of this case is to
maintain the stability of the mother's kidney condition, while considering the
complications that may arise due to chronic kidney disease in pregnancy. The
management process begins with a thorough evaluation of the mother's condition,
including monitoring of kidney function, management of blood pressure, and control of
protein levels in the urine. Pharmacological therapy is carefully adjusted to avoid
drugs that have the potential to damage the kidneys and fetus. In addition, because the
fetus has died in the womb, consideration of childbirth is also an important part of case
management. Since the pregnancy is still in its early stages, options for labor induction
or surgical removal of the fetus need to be carefully considered, taking into account the
mother's condition and other risk factors. A medical team consisting of obstetrics,
nephrologists, and anesthesiologists work together to develop a comprehensive and
coordinated management plan. Effective communication between the medical team and
the patient is essential in providing the emotional support and information necessary to
make the right decisions in the face of this complex situation.
Keywords: Multigravida, chronic kidney disease, intrauterine dead fetus.
PENDAHULUAN
Chronic Kidney Disease (CKD), adalah suatu kondisi terjadi kegagalan atau
kerusakan fungsi kedua ginjal untuk mempertahankan metabolisme, keseimbangan
cairan dan elektrolit serta lingkungan yang cocok untuk bertahan hidup sebagai akibat
terminal dari dekstruksi atau kerusakan struktur ginjal yang berangsur-angsurterjadi,
progresif, ireversibel dan ditandai dengan penumpukan sisa metabolisme, yang beredar
dalam darah. Dengan fungsi filtrasi glomerulus yang tersisa kurang dari 25% serta
komplikasi yang berakibat fatal jika tidak dilakukan dialisis atau transplantasi ginjal
(Redman & Sargent, 2005). Penyakit ginjal kronis sering kali tampak tenang baik secara
klinis maupun biokimiawi hingga muncul gangguan ginjal yang sudah lanjut. Gejala
yang muncul tidak terlalu terlihat sampai muncul gangguan filtrasi glomerulus yang
menurun < 25% dari normal, dan gangguan fungsi renal yang menurun hingga 50 %
serum kreatinin sampai di atas 120 µmol/l hingga dapat menyebabkan penurunan fungsi
ginjal yang cepat dan luaran kehamilan yang buruk.
Abortus adalah penghentian kehamilan secara spontan atau diinduksi sebelum
viabilitas janin (Brown et al., 2018). Abortus spontan didefinisikan sebagai hilangnya
kehamilan kurang dari 20 minggu. American College of Obstetricians and
Gynecologists (ACOG) memperkirakan ini adalah bentuk abortus yang paling umum.
Diperkirakan sebanyak 26% dari semua kehamilan berakhir dengan abortus dan hingga
10% dari kehamilan yang diakui secara klinis (Redman & Sargent, 2005). Gejala
abortus spontan tergantung pada jenisnya. Missed abortion bisa terjadi baik tanpa gejala
atau disertai dengan regresi gejala dan tanda-tanda alami kehamilan normal. Abortus
imminens, insipien, inkomplit, dan komplit semuanya terkait dengan kram dan nyeri
perut yang menjalar hingga ke punggung disertai pendarahan pervaginam. Selain gejala-
Nuria Junita
2136 Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024
gejala ini, abortus septik sering disertai dengan demam, keputihan yang bersifat purulen
atau secret vagina, takikardia, dan hipotensi. Upaya harus dilakukan untuk mengukur
jumlah perdarahan, karena perdarahan yang lebih besar dari menstruasi biasa sering
menunjukkan abortus dini. Ketika ada perdarahan yang signifikan, pasien dapat
menunjukkan gejala dan tanda-tanda hipovolemia, bahkan tanpa adanya sepsis
(Pediatrics, 2006). Permasalahan Apakah penegakan diagnosis pada kasus ini sudah
tepat. Kemudian apakah tatalaksana pada kasus ini sudah tepat. Apa hubungan CKD
dengan kematian janin.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam kasus ini adalah pendekatan kualitatif
melalui studi kasus. Data dikumpulkan melalui observasi langsung, wawancara dengan
pasien dan tim medis yang terlibat, serta analisis catatan medis dan dokumen terkait.
Pendekatan ini memungkinkan untuk pemahaman mendalam tentang pengalaman dan
perasaan subjektif pasien, serta kompleksitas manajemen medis yang terlibat dalam
kasus ini. Analisis data dilakukan secara tematis, dengan fokus pada pola-pola yang
muncul dalam pengalaman pasien, tantangan dalam manajemen kehamilan dengan
kondisi medis yang kompleks, dan faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan
keputusan dalam merencanakan perawatan yang sesuai.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Apakah penegakan diagnosis pada kasus ini sudah tepat?
Penegakan diagnosis pada gagal ginjal kronis utamanya berdasarkan perhitungan
laju filtrasi glomerulus dengan penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum
dan kreatinin serum, dan penurunan LFG yang dihitung menggunakan rumus Kockcroft
Gault. Kadar kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan
fungsi ginjal. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin,
peningkatan kadar asam urat, hiperkalemia atau hipokalemia, hiponatremia,
hiperkloremia atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, dan asisodsis
metabolik (Brown et al., 2018).
Chronic Kidney Disease (CKD), adalah suatu kondisi terjadi kegagalan atau
kerusakan fungsi kedua ginjal untuk mempertahankan metabolisme, keseimbangan
cairan dan elektrolit serta lingkungan yang cocok untuk bertahan hidup sebagai akibat
terminal dari dekstruksi atau kerusakan struktur ginjal yang berangsur-angsurterjadi,
progresif, ireversibel dan ditandai dengan penumpukan sisa metabolisme, yang beredar
dalam darah. Dengan fungsi filtrasi glomerulus yang tersisa kurang dari 25% serta
komplikasi yang berakibat fatal jika tidak dilakukan dialisis atau transplantasi ginjal
(Redman & Sargent, 2005). Penyakit ginjal kronis sering kali tampak tenang baik secara
klinis maupun biokimiawi hingga muncul gangguan ginjal yang sudah lanjut. Gejala
yang muncul tidak terlalu terlihat sampai muncul gangguan filtrasi glomerulus yang
menurun < 25% dari normal, dan gangguan fungsi renal yang menurun hingga 50 %
Multigravida Hamil 19 Minggu dengan Chronic Kidney Disease Stage V dan Bad
Obstetric Hystory Janin Tunggal Mati Intrauterin
Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024 2137
serum kreatinin sampai di atas 120 µmol/l hingga dapat menyebabkan penurunan fungsi
ginjal yangcepat dan luaran kehamilan yang buruk.
Klasifikasi CKD berdasarkan derajat penyakit berdasarkan dasar laju filtrasi
glomerulus menggunakan rumus Kockroft-Gault (Tabel 6) (Bohnen et al., 2018)
Tabel 1. Klasifikasi CKD berdasarkan derajat penyakit
Deraj
Penjelasan
LFG ( ml/menit/ 1,73 m
2
)
1
Kerusakan ginjal dengan LFG
normal atau naik
>90
2
Kerusakan ginjal dengan LFG turun
ringan
60-89
3
Kerusakan ginjal dengan LFG turun
sedang
30-59
4
Keruskaan ginjal dengan LFG turun
berat
15-29
5
Penyakit ginjal kronik
< 15 atau dialysis
Dikutip dari KDIGO (Lockwood, 2013)
Gejala yang timbul pada Chronic Kidney Disease adalah hipertensi, anemia,
osteodistrofi renal, gangguan fungsi jantung, asidosis metabolik, gangguan
keseimbangan elektrolit (sodium, kalium, klorida). Sesuai dengan penyakit yang
mendasari seperti diabetes melitus, hipertensi kronis, infeksi traktus urinarius, batu,
hiperurisemia, dan penyakit sistemik seperti systemic lupus eritematosus (Brown et al.,
2018). Sindrom uremia dapat terjadi dan terdiri dari kondisi lemah, letargi, anoreksia,
mual dan muntah, nokturia, kelebihan volume cairan (volume overload), neuropati
perifer, pruritus, uremic frost, kejang, hingga koma (Sevin, Hale, Brown, & McAuley,
2016). Etiologi gangguan ginjal secara klasik dibagi menjadi 3 kelompok utama
berdasarkan lokasi terjadinya gangguan yaitu pre-renal, renal/intrinsik, atau post-renal.
Berdasarkan penyebab rata-rata gagal ginjal kronis pada kehamilan disebabkan oleh
komplikasi organik dari preeklamsia atau jenis hipertensi dalam kehamilan lainnya.
Berdasarkanpatofisiologi yang terjadi pada preeklamsia- eklamsia, yaitu adanya
vasokonstriksi pembuluh darah intra renal yang dapat terjadi secara primer,
preeklamsia-eklamsia termasuk ke dalam kelompok etiologi renal.
Hipertensi dalam kehamilan dan preeklamsia merupakan salah satu penyebab
kematian pada maternal dan perinatal yang dialami sekitar 5-7% wanita hamil. Secara
klinis, preeklamsia ditandai dengan pasien mengalami tekanan darah tinggi (hipertensi)
yaitu tekanan darah sistolik 160 mmHg dan tekanan darah diastolik 110 mmHg
serta proteinuria (≥300 mg/24 jam) pada umur kehamilan lebih dari 20 minggu pada
pemeriksaan sewaktu (Rimaitis et al., 2019).
Kriteria preeklamsia berat adalah bila terdapat satu atau lebih gejala-gejala
tekanan darah sistolik lebih dari 160 mmHg dan diastolik sama atau lebih dari
110mmHg, proteinuria lebih dari 2g/24 jam atau secara kualitatif +2, seperti yang
dijelaskan pada tabel 2 yang di publikasikan oleh American College of Obstetricians
and Gynecologists (ACOG) (Fairhall & Stoodley, 2009).
Nuria Junita
2138 Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024
Preeklamsia dan hipertensi dalam kehamilan dapat disertai dengan tanda
prodormal dari terjadinya eklamsia dan disebut sebagai impending eclampsia. Tanda
prodormal yang sering ditemukan adalah sakit kepala, pandangan kabur, nyeri ulu hati,
mual dan muntah. Apabila terjadi kejang atau koma yang tidak disebabkan gangguan
neurologis, maka kejang pada pasien tersebut dapat didiagnosis sebagai eklamsia
(Warrington, George, Palei, Spradley, & Granger, 2013). Eklamsia sendiri adalah
kelainan akut dalam persalinan atau nifas yang ditandai dengan timbulnya kejang yang
disusul dengan koma pada penderita yang sebelumnya memperlihatkan gejala-gejala
preeklamsia, baik ringan ataupun berat.
Pengaruh hipertensi dan eklampsia pada ginjal terjadi pada tingkat mikrovaskular
(berupa vaskular trombosis, oklusi lumen arteriola dan hipoperfusi) yang
mengakibatkan nekrosis pada tubular (reversible) dan nekrosis pada kortikal yang
menyebabkan disfungsi renal. Pada kondisi tatalaksana yang terlambat karenatidak
terdeteksi, maka fungsi tubular ginjal rusak yang tadinya reversibel dan menjadi
ireversibel.
Tabel 2. Faktor resiko untuk Preeklamsia
Faktor Risiko
95%CI
SLE
2,5(1,01,63)
Nuliparitas
2,1 (1,9-2,4)
Usia > 35 tahun
1,2(1,1-1,3)
Prior stillbirth
2,4(1,7-3,4)
Gagal ginjal kronis
1,8( 1,5-2.1)
ART
1,8 ( 1,6-2,1)
IMB > 30
2,8( 2,6-3,1)
Multipel gestasi
2,9( 2,6-3,1)
Abrupsi
2,0( 1,4-2,7)
sebelumnya
3,7( 3,1-4,3)
Diabetes
8,4 ( 7,1-99)
Preeklamsia
sebelumnya
5,1 ( 4,0-
6,5)
Hipertensi kronis
2,8 ( 1,8-
4,3)
APA = antiphospholipid antibody SLE = systematic lupus erythematous ART :
assisted reproductive technology
Dikutip dari Cunningham (Triana & Syahredi, 2019)
Abortus adalah penghentian kehamilan secara spontan atau diinduksi sebelum
viabilitas janin.1 Abortus spontan didefinisikan sebagai hilangnya kehamilan kurang
dari 20 minggu. American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG)
memperkirakan ini adalah bentuk abortus yang paling umum. Diperkirakan sebanyak
26% dari semua kehamilan berakhir dengan abortus dan hingga 10% dari kehamilan
yang diakui secara klinis (Redman & Sargent, 2005). Gejala abortus spontan tergantung
Multigravida Hamil 19 Minggu dengan Chronic Kidney Disease Stage V dan Bad
Obstetric Hystory Janin Tunggal Mati Intrauterin
Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024 2139
pada jenisnya. Missed abortion bisa terjadi baik tanpa gejala atau disertai dengan regresi
gejala dan tanda-tanda alami kehamilan normal. Abortus imminens, insipien, inkomplit,
dan komplit semuanya terkait dengan kram dan nyeri perut yang menjalar hingga ke
punggung disertai pendarahan pervaginam. Selain gejala-gejala ini, abortus septik
sering disertai dengan demam, keputihan yang bersifat purulen atau secret vagina,
takikardia, dan hipotensi. Upaya harus dilakukan untuk mengukur jumlah perdarahan,
karena perdarahan yang lebih besar dari menstruasi biasa sering menunjukkan abortus
dini. Ketika ada perdarahan yang signifikan, pasien dapat menunjukkan gejala dan
tanda-tanda hipovolemia, bahkan tanpa adanya sepsis. Gejala abortus spontan
tergantung pada jenisnya. Missed abortion bisa terjadi (Yakasai & Dikko, 2011)
baik tanpa gejala atau disertai dengan regresi gejala dan tanda-tanda alami
kehamilan normal. Abortus imminens, insipien, inkomplit, dan komplit semuanya
terkait dengan kram dan nyeri perut yang menjalar hingga ke punggung disertai
pendarahan pervaginam. Selain gejala-gejala ini, abortus septik sering disertai dengan
demam, keputihan yang bersifat purulen atau secret vagina, takikardia, dan hipotensi
(Yakasai & Dikko, 2011). Istilah missed abortion membutuhkan klarifikasi. Secara
historis, istilah ini digunakan untuk menggambarkan produk konsepsi yang mati yang
dipertahankan selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan dalam rahim dengan os
serviks tertutup (Brown et al., 2018). Upaya harus dilakukan untuk mengukur jumlah
perdarahan, karena perdarahan yang lebih besar dari menstruasi biasa sering
menunjukkan abortus dini. Ketika ada perdarahan yang signifikan, pasien dapat
menunjukkan gejala dan tanda-tanda hipovolemia, bahkan tanpa adanya sepsis.(Yakasai
& Dikko, 2011)
Hari pertama periode menstruasi terakhir dan temuan pada USG sebelumnya
harus ditentukan untuk menentukan usia kehamilan dan lokasi kehamilan. Pemeriksaan
perut harus dilakukan untuk menilai tanda-tanda peritoneum yang mungkin
mengindikasikan kehamilan ektopik yang pecah atau perpanjangan ekstra- uterin dari
abortus septik. Terakhir, pemeriksaan panggul sangat penting untuk evaluasi dugaan
keguguran. Ini harus mencakup visualisasi serviks yang difasilitasi spekulum dan
pemeriksaan bimanual untuk menilai nyeri tekan gerakan serviks yang mungkin
mengindikasikan abortus septik atau massa adneksa yang dapat menandakan kehamilan
ektopik (NUR, 2021)
Tabel 3. Society of tadiologist in Utrasound Guidelines untuk Diagnosis Early
Pregnancy Loss
(Brown et al., 2018)
Temuan USG Diagnostik
CRL 7 mm dan tidak ada detak jantung MSD 25 mm dan
tidak ada embrio. Tidak adanya embrio dengan detak jantung
2 minggu setelah scan menunjukkan kantung kehamilan tanpa
yolk sac Tidak adanya embrio dengan detak jantung 11 hari
setelah scan menunjukkan kantung kehamilan tanpa yolk sac
Nuria Junita
2140 Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024
Salah satu tanda awal TVS dari IUP adalah kantung kehamilan. Kumpulan cairan
anechoic ini mewakili rongga exoceolomic. Ini mungkin dikelilingi oleh dua lapisan
luar ekogenik, tanda desidua ganda, yang mewakili desidua parietalis dan desidua
parietalis dan desidua kapsularis.
Pada kasus ini, karena ditemukan adanya gejala dan klinis mengarah CKD serta
hasil USG Hamil 20 minggu, Janin Tunggal Mati Intrauterin menunjukan diagnosis
G4P3A0 hamil 20 minggu dengan abortus insipiens dan CKD stage V on Hemodialisis,
sehingga, diagnosis dan dianggap sesuai antara teori dan kasus.
Gambar 1. Kehamilan intrauterin dini. A. Sonogram menunjukkan kantung
kehamilan anekoik dikelilingi oleh dua lapisan echogenic konsentris, yaitu desidua
capsularis bagian dalam (panah) dan desidua parietalis perifer (panah). B. Gambar
tersebut menunjukkan anatomi awal kehamilan. C. Yolk sac (panah) berbentuk
lingkaran dan anekoik, dan dalam gambar ini, terletak di sebelah kanan yang berdekatan
embrio (Brown et al., 2018)
Gambar 2. USG pada Missed Abortion.
15
Gambar 3. USG pada Abortus Insipien (Lubis, Tarigan, Nasution, Ramadani, & Vegas,
2016)
Apakah tatalaksana pada kasus ini sudah tepat?
Wanita dengan GGK harus memahami dampak jangka panjang yang ditimbulkan
terhadap fungsi ginjal bila terjadi kehamilan, namun apabila seseorang merencanakan
kehamilan, yang harus diperhatikan adalah untuk menghindari obat-obatan yang bersifat
fetotoksik, seperti ACE (angiotensin converting enzyme) inhibitor dan ARB (angiotensin II
receptor blocker). Asam folat 400 μg/hari juga sebaiknya diberikan dari sebelum kehamilan
hingga kehamilan 12 minggu. Aspirindosis rendah (50-150 mg/hari) dianjurkan untuk
diberikan dari awal kehamilan untuk mengurangi risiko preeklampsia dan memperbaiki
kondisi perinatal (Piccoli et al., 2010). Berdasarkan Hladunewich dan Schatell, maka
manajemen end stage renal disease
a. Konsultasi kehamilan (Steddon, Chesser, & Ashman, 2014)
Nuria Junita
2142 Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024
- Pengehentian obat-obatan teratogenic ( stop ACE inhibitor, statins)
- Pengantian obat antihipertensi yang aman bagi kehamilan (metildoopa,labelatol,
nifedipine dan hidrazalin)
- Asam folat 5 mg/ hari
- Multivitamin ginjal
- Optimalisasi kondisi komorbid
b. Perawatan ginjal
- Resep hemodialisis
HD minimal 36 jam/minggu, dengan target kadar urea 10-15 mmol/L, targetTD <
140/90 mmHg dan hindari hipotensi intradialitik ( < 120/70 mmHg).Menggunakan
heparin unfractionated sebagai antikoagulan. (Steddon et al., 2014) KDOQI
menganjurkan pasien hamil dengan CKD untuk menjalani hemodialisis lebih lama dan
sering ( 6-8 jam tiap kali HD) dengan frekuesi3-6x seminggu .(Hall, 2016)
- Elektrolit dan kalsium-fosfat
Monitor mingguan, perhatikan kadar kalsium, konsumsi supplemen magnesium,
fosfat, konsentasi dialisat kalsium lebih tinggi, dan vitamin D analog diberikan bila
hormon paratiroid bulanan tinggi (Steddon et al., 2014)
- Anemia
Target Hb 10-11 g/dL, dengan pemeriksaan kadar besi yang rutin (Steddon et al., 2014)
- Follow up diet
c. Perawatan obstetrik
- Monitoring janin
Pada minggu ke 9-13 dilakukan screening untuk nuchal translucency, PAPP-A
dan ß-HCG bila perlu dilakukan amniosentesis atau tes DNA. Dilanjutkan dengan
pemeriksaan minggu ke 15-18 untuk screening ibu ( AFP, total ß-HCG, inhibin A, dan
unconjugated estriol) (Steddon et al., 2014).
Apabila ditemukan keanehan, maka dilakukan pemeriksaan USG level
II untuk mengukur panjang serviks pada minggu ke 18-20. Pada minggu ke -22
dilakukan pemeriksaan plasenta dengan USG Doppler. Pada minggu ke26- persalinan
dilakukan pemeriksaan USG mingguan untuk follow up plasenta dan janin (Steddon et
al., 2014).
- Persalinan
Rencanakan induksi persalinan setelah 37 minggu, berikan dialisis free heparin
sebelum persalinan dan persalinan prevaginal lebih diutamakan (Steddon et al., 2014).
Menurut Steddon dkk, beberapa hal yang perlu diperthatikan saat persalinanantara lain
adalah wsebagain besar janin lahir premature (peningkatantekanan darah, IUGR) dan
kehamilan jarang terjadi sampai 38 miggu,pemantauan aktivitas uterus harus dimulai
sejak mingu ke-26, karena dialysis dapat menyababkan kontrkasi. Operasi cesar hanya
dilakukan apabila ada indikasi obstetrik (Fitzpatrick, Mohammadi, & Jesudason, 2016;
Steddon et al., 2014)
- Perawatan neonatal
Multigravida Hamil 19 Minggu dengan Chronic Kidney Disease Stage V dan Bad Obstetric
Hystory Janin Tunggal Mati Intrauterin
Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024 2143
Perawatan neonatal di PICU, dan perhatikan obat-obatan yang digunakan untuk
ibu menyusui.
Ada beberapa faktor yang mendukung keberhasilan kehamilan pada dialisis,yaitu
usia <35 tahun, masih memiliki produksi urin residual, dialisis <5 tahun, tidakdisertai
hipertensi, dan diagnosis dini kehamilan agar intensitas dialisis bisa ditingkatkan hingga
> 20 jam per minggu. Selama kehamilan, pasien rentanterhadap overload cairan,
eksaserbasi hipertensi dan/ atau superimposed pre- eklampsia serta polihidramnion.
Risiko abortus tinggi pada semua tahap
Hemodialisa mengakibatkan komplikasi maternal antara lain aborsi spontan,
anemia, infeksi, polihidramnion, prematuritas, hipertensi tidak terkontrol, pre-
eklamsia/eklampsia, pendarahan (Klein, Weigelt, & Cipra, 2019). Meta-analisis dan
data kohort kontemporer menunjukkan bahwa wanita dengan GGK memiliki risiko
sepuluh kali lipat mengalami preeklamsia dibandingkan dengan wanita tanpa GGK.
Preeklamsia terjadi pada hingga 40% kehamilan pada wanita dengan GGK, dengan
peningkatanrisiko dengan peningkatan stadium GGK sebelum hamil (Aprillia, 2019).
Penatalaksnaaan GGK dapat meliputi terapi spesifik terhadap penyakti dasar,
pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid, memperlambat perburukan fungsi
ginjal, pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular, pecegahan dan terapi
terhadap komplikasi, terapi pengganti ginjal (hemodialisis atau transplatansi ginjal).
Rencana tatalaksana GGK berdasarkan derajatnya dapat dilihat di Tabel 4 (Piccoli et al.,
2016)
Tabel 4. Rencana tatalaksana penyakit ginjal kronik seusai dengan derajatnya
Derajat
LFG ( ml?menit/ 1,73 m
2
)
Rencana tatalaksana
1
>90
Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid
evaluasi perburukan fungsi ginjal, memperkecil
resiko kardiovaskular
2
60-89
Menghambat perburukan fungsi ginjal
3
30-59
Evaluasi dan terapi komplikasi
4
15-29
Persiapan terapi pengganti ginjal
5
< 15 atau dialysis
Terapi pengganti ginjal
Dikutip dari Sudoyo (Piccoli et al., 2016)
Rerata BUN (blood urea nitrogen) selama kehamilan adalah 9 mg/dl (N-10- 20)
danrerata kreatinin serum sebesar 0,7 mg/dl (N<1,5 mg/dl). Dari penelitian lain
menyatakan bahwa nilai rata- rata dari serum kreatinin dan urea pada wanita hamil
adalah 0,5 dan 20 mg/dl, lebih rendah dari nilai rata-rata pada wanita yang tidak hamil,
yaitu 0,82 dan 25 mg/dl Peningkatan LFG menyebabkan peningkatan klirens asam urat
dan penurunan kadar asam urat serum. Fungsi tubulus juga berubah seiring dengan
perubahan fungsi glomerulus. Peningkatan LFG sebesar 50% selama kehamilan
mengakibatkan peningkatan reabsorpsi natrium oleh tubulus ginjal. Ambang batas
reabsorpsi glukosa meningkat dan glukosuria mungkin terjadi tanpa adanya
hiperglikemia (Piccoli et al., 2010)
Manajemen CKD selama kehamilan dimulai dengan :
a.
Pendekatan multi-displin termasuk obsteri, KGH, kerjasama dokter obstetri dan ginjal.
Nuria Junita
2144 Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024
b.
Konsultasi sebelum kehamilan penyakit genetic
c.
Asam folat 400 µg/hari selama 3 bulan
d.
Aspirin 75 mg, dari minggu ke-12 sampai dipastikan tidak ada preeklasmia
e.
Pasien lebih sering melakukan pemeriksaan antenatal
f.
Pemeriksaan anatenatal 2-3 minggu sampai 28 minggu
g.
Tekanan darah harus sering diperika, bila perlu periksa sendiri di rumah
h.
Pemeriksaan urine harus lebih sering
i.
Pemeriksaan serum kreatinin, kalsium, dan LFT setiap 2-4 minggu
j.
Pemeriksaan zat besi tiap 4 minggu
k.
Apabila proteinuria > 3 g/24 jam diberikan antikoahulan low molecular weightheparin
( LMWH)
l.
Monitor aktivitas, waspada pada sistemik lupus eritematouss (SLE)
m.
USG
Sebuah analisis meta-regresi baru-baru ini mencatat peningkatan besar dalam jumlah
kasus kehamilan yang dilaporkan pada wanita dengan HD (n=616 kehamilan dari tahun 2000-
2014) dibandingkan dengan tinjauan sistematis serupa yang diselesaikan kurang dari satu
dekade sebelumnya (n=90 dari tahun 2000- 2008). Publikasi tahun 2015 menelaah koleksi
besar seri kasus dan laporan kasus, dan melaporkan bahwa jumlah jam HD yang diberikan
setiap minggu secara signifikan berbanding terbalik dengan persalinan prematur (<37 minggu
kehamilan) dan BBLR (berat badan lahir rendah), sementara jumlah sesi hemodialisis per
minggu juga dikaitkan dengan bayi BBLR. Dengan demikian, menjadi standar perawatan
untuk meningkatkan intensitas dialisis secara signifikan selama kehamilan (Daugirdas et al.,
2015; Fitzpatrick et al., 2016; Steddon et al., 2014).
Berdasarkan studi survei terhadap 196 ahli ginjal di Amerika Serikat, bahwa
memberikanHD intensif sebagai pendekatan pengobatan yang umum saat melakukan dialisis
wanita hamil untuk meningkatkan luaran ibu dan janin. Ada kecenderungan ke arah kelahiran
hidup yang lebih baik dengan HD yang lebih intens (Hall, 2016).
Sebuah penelitian membandingkan antara pasien CKD hamil yang menjalani
hemodialisis intensif (5-7 kali/minggu selama 6-8 jam) dengan pasien yang menjalani
hemodialisis secara konvensional. Pada pasien yang mendapatkan hemodialisis intensif
terdapat proporsi kelahiran hidup, rata-rata umur kehamilan serta komplikasi maternal dan
janin hasilnya lebih baik. Dinyatakan bahwa dialisis intensif berperan penting pada
perkembangan plasenta yang baik, pertumbuhan janin yang normal danpenurunan komplikasi
kehamilan. Hemodialisis intensif berperan mengoptimalkan kehamilan yaitu mencegah
prematuritas, kelahiran hidup dan berat badan bayi yang lebih besar. Tampaknya keberhasilan
hemodialisis intensif ini berhubungan langsungdengan perbaikan bersihan urea dan solut lain.
Penelitian ini juga menunjukkan pentingnya fungsi ginjal residu. Intensitas dialisis harus
disesuaikan dengan fungsi ginjal residu . (Steddon et al., 2014)
Kadar beta-HCG (human chorionic gonadotropin) meningkat pada pasien dialisis. Pada
kehamilan trimester 1 perkembangan janinnya cenderung tidak bagus, apabila
penatalaksanaan ibu dan janinnya bagus dan sampai menjalani dialisis maka diperlukan
Multigravida Hamil 19 Minggu dengan Chronic Kidney Disease Stage V dan Bad Obstetric
Hystory Janin Tunggal Mati Intrauterin
Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024 2145
frekuensi dialisis yang dinaikkan. Apabila memungkinkan menjalani transplantasi ginjal
(Klein et al., 2019).
Dengan kematian embriofetal yang sekarang mudah diverifikasi dengan teknologi
sonografi saat ini, manajemen dapat lebih individual. Kecuali jika ada perdarahan serius atau
infeksi dengan aborsi inkomplit, salah satu dari tiga pilihan yang dapat dipertimbangkan, baik
secara medis, atau manajemen bedah. Masing-masing memiliki risiko dan manfaat
misalnya, dua yang pertama dikaitkan dengan pendarahan yang tidak terduga, dan beberapa
wanita akan menjalani operasi kuretase yang tidak dijadwalkan. Juga, keberhasilan metode
apapun tergantung pada apakah wanita mengalami abortus inkomplit atau missed abortion.
Beberapa risiko dan manfaatnya diringkas sebagai berikut:
1) Penatalaksanaan ekspektatif abortus inkomplit spontan memiliki tingkat kegagalan setinggi
50 persen.
2) Terapi medis dengan prostaglandin E1 (PGE1) bervariasi tingkat kegagalan 5 sampai 40
persen. Pada 1100 wanita dengan dugaan aborsi trimester pertama, 81 persen memiliki
resolusi spontan.
3) Kuretase biasanya menghasilkan resolusi cepat yang 95 hingga 100 persen berhasil. Ini
invasif dan tidak perlu untuk semua wanita.
Pendekatan transserviks untuk aborsi bedah membutuhkan terlebih dahulu melebarkan
serviks dan kemudian mengevakuasi kehamilan dengan mengikis isinya secara mekanis
kuretase tajam, dengan menyedot isinyakuretase hisap, atau keduanya. Aspirasi vakum,
bentuk paling umum dari kuretase hisap, membutuhkan kanula kaku yang dipasang pada alat
bertenaga listrik sumber vakum atau ke jarum suntik genggam untuk sumber vakumnya.
17
Kuretase baik tajam atau hisap—disarankan untuk kehamilan 15 minggu. Tingkat
komplikasi meningkat setelah trimester pertama. Perforasi, laserasi serviks, perdarahan,
pengangkatan janin atau plasenta yang tidak lengkap, dan pasca operasi infeksi adalah di
antaranya.
Gambar 4. Dilatasi serviks dengan dilator Hegar.
Perhatikan bahwa jari keempat dan kelima bersandar pada perineum dan bokong, di
samping vagina. Manuver ini adalah daya ukur keselamatan yang penting karena jika serviks
Nuria Junita
2146 Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024
berelaksasi secara tiba- tiba, jari-jari ini mencegah dorongan dilator yang tiba- tiba dan tidak
terkendali, penyebab perforasi uterus.
17
Gambar 5. Sebuah kuret hisap telah ditempatkan melalui serviks ke dalam rahim.
Gambar tersebut menunjukkan gerak putar yang digunakan untuk menyedot isinya.
17
Gambar 6. Sebuah kuret tajam dimasukkan ke dalam rongga rahim sementara
instrumen dipegang dengan ibu jari dan jari telunjuk. Dalam gerakan kuret, hanya kekuatan
kedua jari ini harus digunakan.
Selain itu, penting bahwa kecuali kehamilan lain diinginkan segera, kontrasepsi yang
efektif harus dimulai segera setelah aborsi. Tidak ada alasan untuk menunda ini, dan alat
kontrasepsi dalam rahim dapat dimasukkan setelah prosedur selesai
Tatalaksana pada kasus ini sudah tepat karena dilakukan menurut guideline yang sesuai.
Pada pasien ini, konseling sangat diperlukan untuk perencanaan kehamilan terutama terkait
penggunaan again imunosupressif.
Apa hubungan CKD dengan kematian janin?
Multigravida Hamil 19 Minggu dengan Chronic Kidney Disease Stage V dan Bad Obstetric
Hystory Janin Tunggal Mati Intrauterin
Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024 2147
Salah satu dampak utama dari CKD adalah keberadaan inflamasi kronis. Keberadaan
stres oksidatif dapat menginduksi inflamasi melalui aktivasi NF-kB yang menyebabkan
pelepasan sitokin, seperti IL-1, TNF- , maupun IL-6.
9
Dalam CKD, dapat ditemukan juga
peningkatan CRP yang dilepaskan oleh sel endotel akibuat disfungsi endotel. Lebih lanjut,
CKD juga meningkatkan penuaan 40ntibiot secara dini akibat inflamasi kronis.
10
Inflamasi
kronis sendiri diketahui menjadi salah satu faktor risiko dari persalinan preterm dan ketuban
kecah dini. Dalam sebuah penelitian, ditemukan bahwa kadar CRP yang abnormal
meningkatkan risiko ketuban pecah dini secara bermakna (aOR: 3,37).
11
Selain itu, ditemukan
juga peningkatan ekspresi NF-kB dan RAGE pada ketuban pecah dini yang lebih tinggi secara
bermakna (32,47 ± 1,22 berbanding 5,59 ± 1,09; p < 0,001 dan 53,58 ± 3,46 berbanding 11,64
± 2,49; p = 0,013 secara berurutan) Hal ini menunjukkan dugaan adanya kaitan antara
inflamasi sebagai salah satu faktor risiko ketuban pecah dini dan inflamasi kronis yang
ditemukan pada CKD. Meskipun secara fisiologis ketuban pecah akibat inflamasi, tetapi
inflamasi berlebihan diketahui berhubungan dengan ketuban pecah dini. Protein RAGE yang
meningkat diketahui memiliki hubungan yang bermakna dengan inflamasi. Lebih lanjut,
RAGE diketahui berinteraksi dengan DAMPs dan HMGB1 yang ada pada cairan amnion,
semetnara DAMPs dan HMGB1 diketahui meningkat pada kejadian ketuban pecah dini.
Dalam sebuah penelitian, faktor risiko ketuban pecah dini adalah adanya riwayat
abortus (aOR: 3,06; 95%CI; 1,39-6,71; p < 0,05), riwayat ketuban pecah dini sebelumnya
(aOR: 4,45; 95%CI: 1,87-10,6; p < 0,05), riwayat seksio sesarea sebelumnya (aOR: 3,15;
95%CI: 1,05-9,46; p < 0,05), dan keputihan yang tidak wajar (aOR: 3,31; 95%CI: 1,67-6,56;
p < 0,05).
14
Prevalensi ketuban pecah dini sendiri sekitar 9,2% (95%CI: 5,0-16,4%). Faktor
risiko lain yang dapat diidentifikasi adalah kurangnya antenatal care (OR: 2,88; 95%CI: 1,34-
6,17; p < 0,05), riwayat ketuban pecah dini sebelumnya (OR: 6,00; 95%CI: 3,55-
10,42; p < 0,05), riwayat abortus (OR: 3,13; 95%CI: 1,63-6,01; p < 0,05), infeksi
saluran kemih (OR: 2,96; 95%CI: 1,08-8,09), dan keputihan yang tidak wajar (OR: 6,78;
95%CI: 4,11-11,16; p < 0,05).
15
Inflamasi dan stres oksidatif sendiri salah satu faktor risiko
utama untuk ketuban pecah dini. Sebuah penelitian menemukan adanya perbedaan bermakna
(p = 0,002) pada tingkat CRP pasien dengan ketuban pecah dini, baik karena infeksi maupun
inflamasi steril (12,1 [0,6-106,0] mg/L berbanding 7,6 [1,0-16,6] mg/L berbanding 5,6 [0,5-
44,4] mg/L).
16
Sebuah penelitian menemukan bahwa 3,6% kasus ketuban pecah dini
melibatkan pasien CKD, meskipun sampel penelitian ini kurang memadai untuk mengambil
kesimpulan mengenai prevalensi CKD pada kasus ketuban pecah dini. Stres oksidatif
memicu aktivasi jaras p38/MAPK yang memicu penuaan (senescence) membran amnion.
Penuaan sel yang terjadi melepaskan DAMPs yang memicu inflamasi, yang pada gilirannya
membentuk umpan balik positif yang memacu aktivasi jaras p38/MAPK yang melemahkan
membran amnion hingga menyebabkan ruptur membran.
18
Jaras lain dari inflamasi yang
diperantarai oleh TNF- bekerja pada jaras p53/Bax yang menyebabkan apoptosis sel-sel
membran. Pelemahan sel-sel membran dan degradasi protein matriks ekstraseluler memicu
terciptanya ketuban pecah dini, sementara peningkatan inflamasi secara sistemik telah
diketahui terjadi pada kasus CKD.
Ketuban pecah dini juga diketahui dapat meningkatkan
Nuria Junita
2148 Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024
risiko prolaps tali pusat secara bermakna dalam sebuah penelitian (aOR: 1,84; 95%CI: 1,72-
1,98; p < 0,001).
Dalam kasus ini, diketahui bahwa pasien menderita CKD. Sebagaimana telah diuraikan
di atas, CKD meningkatkan risiko ketuban pecah dini akibat peningkatan inflamasi kronis
sistemik. Inflamasi kronis sistemik yang terjadi kemudian mengaktifkan jaras p38/MAPK dan
p53/Bax yang menyebabkan apoptosis sel membran amnion sekaligus degradasi matriks
ekstraseluler. Apoptosis dan degradasi matriks ekstraseluler yang terjadi kemudian
menyebabkan perlemahan membran amnion sebelum waktunya, sehingga pada titik tertentu
terjadi ketuban pecah dini. Ketuban pecah dini kemudian menyebabkan peningkatan risiko
prolaps tali pusat, di mana prolaps tali pusat terjadi dalam kasus ini dan akan diuraikan dalam
bagian selanjutnya.
Sebuah penelitian menemukan bahwa angka kejadian prolaps tali pusat adalah sekitar
5,8% pada kehamilan dengan ketuban pecah dini dengan usia kehamilan 22-33 minggu.
Faktor risiko yang bermakna (OR: 19,44; 95%CI: 6,23-68,52; p < 0,001) untuk kematian
janin atau neonatus adalah usia kehamilan di bawah 25 minggu. Faktor risiko lain yang
bermakna adalah fetal growth restriction, dengan peluang sebesar 4,32 kali lipat (95%CI:
1,10-14,45; p = 0,038) untuk kematian janin atau neonatus. Penelitian lain menemukan
peningkatan risiko bagi janin yang mengalami prolaps tali pusat untuk bidang skor Apgar 5
menit < 3 (aOR: 3,76; 95%CI: 3,31-4,26; p < 0,001), neonatus memerlukan ventilasi buatan
(aOR: 2,99; 95%CI: 2,83-3,16; p < 0,01), kejang pada neonatus (aOR: 5,55; 95%CI: 4,16-
7,42; p < 0,001), cedera saat persalinan (aOR: 2,22; 95%CI: 1,84-2,68; p < 0,001), aspirasi
meconium (aOR: 3,46; 95%CI: 2,72-4,38; p < 0,001), serta penyakit membran hialin (aOR:
1,72; 95%CI: 1,54-1,92; p < 0,001).
21
Salah satu risiko lain yang dihadapi neonatus adalah
respiratory distress syndrome, dengan peluang sebesar 3,4 (95%CI: 1,5- 7,7; p < 0,05) pada
usia 34-35 6/7 minggu. Risiko lain yang dihadapi neonatus adalah peningkatan risiko
kebutuhan perawatan di NICU pada neonatus yang lahir dari kehamilan berusia 34-35 6/7
minggu (RR: 3,2; 95%CI: 1,8-5,2; p < 0,05).
23
Mortalitas perinatal lebih tinggi secara tidak
bermakna (p = 0,47) pada ketuban pecah dini antara 49-72 jam (6,15%) dibandingkan dengan
di bawah 24 jam (1,6%) maupun 24-48 jam (2,4%).
24
Penelitian lain juga menemukan adanya
beberapa risiko pada kehamilan antara 17-23 minggu dibandingkan 24-27 minggu. Penelitian
tersebut menemukan bahwa 79,2% neonatus mampu selamat pada persalinan antara 17-23
minggu dan meningkat menjadi 88,9% pada persalinan antara 24-27 (p = 0,012). Dalam hal
ini, luaran neonatus menjadi lebih baik jika ketuban pecah dini terjadi pada usia kehamilan
yang lebih tua. Sebuah penelitian menemukan bahwa terdapat pengurangan risiko bagi
neonatus yang tidak bermakna jika periode laten pasca ketuban pecah dini di usia kehamilan
antara 24-33 6/7 minggu diperpanjang hingga lewat dari 7 hari (aOR: 0,5; 95%CI: 0,3-1,5),
tetapi terdapat peningkatan risiko yang bermakna terhadap korioamnionitis (aOR: 2,4;
95%CI: 1,0-6,1) maupun funisitis (aOR: 6,3; 95%CI: 3,3-12,4). Oleh karena itu, penundaan
persalinan pada ketuban pecah dini dapat mengurangi morbiditas janin, tetapi meningkatkan
risiko korioamnionitis atau funisitis. Dalam penelitian lain, tidak ditemukan adanya
perbedaan bermakna antara persentase korioamnionitis secara klinis (49% berbanding 49%; p
= 0,996) maupun histologis (28% berbanding 18%; p = 0,375), respiratory distress syndrome
Multigravida Hamil 19 Minggu dengan Chronic Kidney Disease Stage V dan Bad Obstetric
Hystory Janin Tunggal Mati Intrauterin
Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024 2149
(62% berbanding 72%; p = 0,156), displasia bronkopulmonal (12,5% berbanding 11%; p =
1,000), serta kebutuhan CPAP (5% berbanding 5%; p = 1,000). Dengan demikian, periode
laten pada ketuban pecah dini dapat diperpanjang hingga 7 hari jika ibu dan janin berada
dalam kondisi baik
Ketuban pecah dini sendiri dapat ditangani melalui expectant management, dengan
pemberian kortikosteroid untuk pematangan paru, tokolitik, serta antibiotik profilaksis untuk
streptokokus grup B. magnesium sulfat juga sebaiknya diberikan untuk neuroproteksi jika
usia kehamilan di bawah 32 minggu. Antibiotik yang dapat diberikan adalah eritromisin
maupun amoksisilin-klavulanat. Selain itu dapat diberikan ampisilin atau amoksisilin saja.
Rekomendasi RCOG menganjurkan agar tali pusat yang menumbung untuk tidak
dimanipulasi secara berlebihan agar tidak terjadi vasospasme. Ibu sebaiknya diposisikan left
lateral recumbency atau posisi knee-chest, dan tokolitik dapat diberikan untuk mencegah
kompresi tali pusat. Seksio sesarea menjadi pilihan untuk prolaps tali pusat dan sebaiknya
dilakukan dalam 30 menit jika gawat janin. Jika dilatasi serviks maksimal telah tercapai, dapat
diupayakan persalinan pervaginam jika kemungkinan partus memanjang minimal. Lebih
lanjut, sampel darah tali pusat sebaiknya diambil untuk pemeriksaan pH dan basa. Pada
ambang batas viabilitas, expectant management sebaiknya didiskusikan sementara tali pusat
sebaiknya tidak dikembalikan ke dalam uterus
Dalam kasus ini, kejadian prolaps tali pusat berhubungan dengan ketuban pecah dini.
Sebagaimana telah diuraikan dalam bagian sebelumnya, ketuban pecah dini terkait dengan
CKD. Salah satu dampak dari ketuban pecah dini adalah peningkan risiko prolaps tali pusat,
dan prolaps tali pusat sendiri terkait dengan peningkatan mortalitas janin akibat kurangnya
suplai darah yang dapat mencapai janin, sebagaimana terlihat dalam kasus ini. Jika kehamilan
masih dapat dipertahankan, maka dapat dilakukan pematangan paru yang diikuti seksio
sesarea. Oleh karena itu, monitoring ketat perlu dilakukan pada ibu dan janin untuk
meningkatkan peluang kesintasan keduanya
KESIMPULAN
Diperlukan kerjasama yang erat antara dokter kandungan dan dokter penyakit dalam
konsultan ginjal-hipertensi untuk evaluasi ketat serta tatalaksana yang tepat sehinggadapat
mengkondisikan kondisi ibu dan janin tetap dalam kondisi yang baik sampai bayi dapat
dilahirkan. Wanita dengan kerusakan ginjal sedang sampai berat (stadium 3-5) mempunyai
risiko paling tinggi terhadap komplikasi kehamilan dan perburukan ginjal yang progresif.
CKD dalam kehamilan berhubungan dengan kematian janin, kelahiran prematur,
keterlambatan pertumbuhan janin intrauterin, dan hipertensi yang sulit terkontrol, hingga
kemungkinan kematian pada ibu. Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik stadium awal pada
kehamilan harus lebih intensif agar tidak jatuh ke stadium terminal. Diperlukan pengawasan
dan evaluasi rutin dalam mengawasi penampakan klinis maupun laboratorium pasien untuk
menghasilkan dan mengoptimalkan luaran kehamilan dan mempertahankan fungsi ginjal ibu.
Sesuai dengan rekomendasi KDOQI, kehamilan dengan gagal ginjal kronis diperlukan
peningkatan intensitas hemodialisis baik frekuensi maupun durasi dari hemodiliasis itu sendiri
guna meningkatkan luaran bagi ibu dan bayi yang lebih baik Diperlukan konseling dan
Nuria Junita
2150 Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024
edukasi untuk perencanaan baik itu untuk mengenaipilihan kontrasepsi pasien maupun
perencanaan kehamilan selanjutnya..
BIBLIOGRAFI
Aprillia, Dinda. (2019). Penyakit Ginjal Kronis pada Kehamilan. Jurnal Kesehatan Andalas,
8(3), 708716.
Bohnen, Michael S., Ma, Lijiang, Zhu, Na, Qi, Hongjian, McClenaghan, Conor, Gonzaga-
Jauregui, Claudia, Dewey, Frederick E., Overton, John D., Reid, Jeffrey G., & Shuldiner,
Alan R. (2018). Loss-of-function ABCC8 mutations in pulmonary arterial hypertension.
Circulation: Genomic and Precision Medicine, 11(10), e002087.
Brown, Mark A., Magee, Laura A., Kenny, Louise C., Karumanchi, S. Ananth, McCarthy,
Fergus P., Saito, Shigeru, Hall, David R., Warren, Charlotte E., Adoyi, Gloria, & Ishaku,
Salisu. (2018). Hypertensive disorders of pregnancy: ISSHP classification, diagnosis,
and management recommendations for international practice. Hypertension, 72(1), 24
43.
Daugirdas, John T., Depner, Thomas A., Inrig, Jula, Mehrotra, Rajnish, Rocco, Michael V,
Suri, Rita S., Weiner, Daniel E., Greer, Nancy, Ishani, Areef, & MacDonald, Roderick.
(2015). KDOQI clinical practice guideline for hemodialysis adequacy: 2015 update.
American Journal of Kidney Diseases, 66(5), 884930.
Fairhall, Jacob M., & Stoodley, Marcus A. (2009). Intracranial haemorrhage in pregnancy.
Obstetric Medicine, 2(4), 142148.
Fitzpatrick, Alyssa, Mohammadi, Fadak, & Jesudason, Shilpanjali. (2016). Managing
pregnancy in chronic kidney disease: improving outcomes for mother and baby.
International Journal of Women’s Health, 273285.
Hall, Matthew. (2016). Pregnancy in women with CKD: a success story. American Journal of
Kidney Diseases, 68(4), 633639.
Klein, Jorie D., Weigelt, John A., & Cipra, Elizabeth. (2019). Mechanism of Injury. Trauma
Nursing E-Book: From Resuscitation Through Rehabilitation, 144.
Lockwood, Charles J. (2013). ACOG task force on hypertension in pregnancy. Contemporary
Ob/Gyn, 58(12), 10.
Lubis, Abdurrahim R., Tarigan, Radar R., Nasution, Bayu R., Ramadani, Sumi, & Vegas,
Arina. (2016). Pedoman penatalaksanaan gagal ginjal kronik.
NUR, YOHANI SETIYA RAFIKA. (2021). Mengidentifikasi Mekanisme Kausal dari
Faktor-faktor Kualitas Hidup pada Pasien Kanker.
Pediatrics, American Academy of. (2006). the American College of Obstetrics and
Gynecologists. Breastfeeding Handbook for Physicians. Schanler RJ, Ed. Elk Grove
Village, IL: American Academy of Pediatrics.
Piccoli, Giorgina Barbara, Conijn, Anne, Consiglio, Valentina, Vasario, Elena, Attini,
Rossella, Deagostini, Maria Chiara, Bontempo, Salvatore, & Todros, Tullia. (2010).
Pregnancy in dialysis patients: is the evidence strong enough to lead us to change our
counseling policy? Clinical Journal of the American Society of Nephrology, 5(1), 6271.
Piccoli, Giorgina Barbara, Minelli, Fosca, Versino, Elisabetta, Cabiddu, Gianfranca, Attini,
Rossella, Vigotti, Federica Neve, Rolfo, Alessandro, Giuffrida, Domenica, Colombi,
Nicoletta, & Pani, Antonello. (2016). Pregnancy in dialysis patients in the new
millennium: a systematic review and meta-regression analysis correlating dialysis
schedules and pregnancy outcomes. Nephrology Dialysis Transplantation, 31(11), 1915
1934.
Redman, Christopher W., & Sargent, Ian L. (2005). Latest advances in understanding
Multigravida Hamil 19 Minggu dengan Chronic Kidney Disease Stage V dan Bad Obstetric
Hystory Janin Tunggal Mati Intrauterin
Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024 2151
preeclampsia. Science, 308(5728), 15921594.
Rimaitis, Kestutis, Grauslyte, Lina, Zavackiene, Asta, Baliuliene, Vilda, Nadisauskiene, Ruta,
& Macas, Andrius. (2019). Diagnosis of HELLP syndrome: a 10-year survey in a
perinatology centre. International Journal of Environmental Research and Public
Health, 16(1), 109.
Sevin, Alexa M., Hale, Kenneth M., Brown, Nicole V, & McAuley, James W. (2016).
Assessing interprofessional education collaborative competencies in service-learning
course. American Journal of Pharmaceutical Education, 80(2), 32.
Steddon, Simon, Chesser, Alistair, & Ashman, Neil. (2014). Oxford handbook of nephrology
and hypertension. Oxford University Press, USA.
Triana, Esfi, & Syahredi, Syahredi. (2019). Eklampsia Antepartum pada G5P4A0H3 Gravid
Preterm 33-34 Minggu+ Sindrom HELLP+ AKI+ IUFD. Jurnal Kesehatan Andalas,
8(1S), 7983.
Warrington, Junie P., George, Eric M., Palei, Ana C., Spradley, Frank T., & Granger, Joey P.
(2013). Recent advances in the understanding of the pathophysiology of preeclampsia.
Hypertension, 62(4), 666673.
Yakasai, I. A., & Dikko, B. U. (2011). Caesarean Section Rate in Kano Northern Nigeria. The
Tropical Journal of Health Sciences, 38.
Copyright holder:
Nuria Junita (2024)
First publication right:
Syntax Idea
This article is licensed under: