How to cite:
Nuria Junita (2024) Multigravida Hamil 19 Minggu Dengan Chronic Kidney Disease Stage V Dan
Bad Obstetric History Janin Tunggal Mati Intrauterin, (06) 05, https://doi.org/10.36418/syntax-
idea.v3i6.1227
E-ISSN:
2684-883X
Published by:
Ridwan Institute
MULTIGRAVIDA HAMIL 19 MINGGU DENGAN CHRONIC KIDNEY
DISEASE STAGE V DAN BAD OBSTETRIC HISTORY JANIN TUNGGAL
MATI INTRAUTERIN
Nuria Junita
Universitas Sriwijaya, Indonesia
Abstrak
Pada kasus ini, kami mendokumentasikan seorang wanita multigravida berusia 32 tahun
yang datang ke unit gawat darurat dengan riwayat penyakit ginjal kronis stadium V dan
riwayat obstetrik yang buruk. Saat presentasi, usia kehamilan wanita tersebut adalah 19
minggu dengan janin tunggal yang telah mati dalam kandungan. Kehamilan ini
dianggap berisiko tinggi dan memerlukan perhatian medis yang hati-hati untuk
mengelola kondisi ibu dan memastikan kelahiran yang aman. Penanganan medis yang
teliti dilakukan sejak awal. Wanita tersebut telah memiliki riwayat penyakit ginjal
kronis yang memerlukan manajemen yang cermat selama kehamilan. Pertimbangan
utama dalam manajemen kasus ini adalah menjaga stabilitas kondisi ginjal ibu, sambil
mempertimbangkan komplikasi yang mungkin timbul akibat penyakit ginjal kronis pada
kehamilan. Proses manajemen dimulai dengan evaluasi menyeluruh terhadap kondisi
ibu, termasuk pemantauan fungsi ginjal, pengelolaan tekanan darah, dan kontrol kadar
protein dalam urin. Terapi farmakologis disesuaikan dengan hati-hati untuk
menghindari obat yang berpotensi merusak ginjal dan janin. Selain itu, karena janin
telah mati dalam kandungan, pertimbangan terhadap persalinan juga menjadi bagian
penting dalam manajemen kasus ini. Karena kehamilan masih dalam tahap awal, pilihan
untuk induksi persalinan atau pembedahan pengeluaran janin perlu dipertimbangkan
dengan hati-hati, dengan memperhitungkan kondisi ibu dan faktor risiko lainnya. Tim
medis yang terdiri dari obstetri, nefrologi, dan anestesiologis bekerja sama untuk
menyusun rencana manajemen yang komprehensif dan terkoordinasi. Komunikasi yang
efektif antara tim medis dan pasien sangat penting dalam memberikan dukungan
emosional dan informasi yang diperlukan untuk membuat keputusan yang tepat dalam
menghadapi situasi yang kompleks ini.
.
Kata kunci: Multigravida, Penyakit Ginjal Kronis, Janin Mati Intrauterin
Abstract
In this case, we documented a 32-year-old multigravida woman who came to the
emergency department with a history of stage V chronic kidney disease and a history of
poor obstetrics. During the presentation, the woman's gestational age was 19 weeks
with a single fetus that had died in the womb. These pregnancies are considered high-
risk and require careful medical attention to manage the mother's condition and ensure
JOURNAL SYNTAX IDEA
p–ISSN: 2723-4339 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 6, No. 05, Mei 2024
Multigravida Hamil 19 Minggu dengan Chronic Kidney Disease Stage V dan Bad
Obstetric Hystory Janin Tunggal Mati Intrauterin
Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024 2135
a safe birth. Meticulous medical treatment is carried out from the beginning. The
woman has had a history of chronic kidney disease that requires careful management
during pregnancy. The main consideration in the management of this case is to
maintain the stability of the mother's kidney condition, while considering the
complications that may arise due to chronic kidney disease in pregnancy. The
management process begins with a thorough evaluation of the mother's condition,
including monitoring of kidney function, management of blood pressure, and control of
protein levels in the urine. Pharmacological therapy is carefully adjusted to avoid
drugs that have the potential to damage the kidneys and fetus. In addition, because the
fetus has died in the womb, consideration of childbirth is also an important part of case
management. Since the pregnancy is still in its early stages, options for labor induction
or surgical removal of the fetus need to be carefully considered, taking into account the
mother's condition and other risk factors. A medical team consisting of obstetrics,
nephrologists, and anesthesiologists work together to develop a comprehensive and
coordinated management plan. Effective communication between the medical team and
the patient is essential in providing the emotional support and information necessary to
make the right decisions in the face of this complex situation.
Keywords: Multigravida, chronic kidney disease, intrauterine dead fetus.
PENDAHULUAN
Chronic Kidney Disease (CKD), adalah suatu kondisi terjadi kegagalan atau
kerusakan fungsi kedua ginjal untuk mempertahankan metabolisme, keseimbangan
cairan dan elektrolit serta lingkungan yang cocok untuk bertahan hidup sebagai akibat
terminal dari dekstruksi atau kerusakan struktur ginjal yang berangsur-angsurterjadi,
progresif, ireversibel dan ditandai dengan penumpukan sisa metabolisme, yang beredar
dalam darah. Dengan fungsi filtrasi glomerulus yang tersisa kurang dari 25% serta
komplikasi yang berakibat fatal jika tidak dilakukan dialisis atau transplantasi ginjal
(Redman & Sargent, 2005). Penyakit ginjal kronis sering kali tampak tenang baik secara
klinis maupun biokimiawi hingga muncul gangguan ginjal yang sudah lanjut. Gejala
yang muncul tidak terlalu terlihat sampai muncul gangguan filtrasi glomerulus yang
menurun < 25% dari normal, dan gangguan fungsi renal yang menurun hingga 50 %
serum kreatinin sampai di atas 120 µmol/l hingga dapat menyebabkan penurunan fungsi
ginjal yang cepat dan luaran kehamilan yang buruk.
Abortus adalah penghentian kehamilan secara spontan atau diinduksi sebelum
viabilitas janin (Brown et al., 2018). Abortus spontan didefinisikan sebagai hilangnya
kehamilan kurang dari 20 minggu. American College of Obstetricians and
Gynecologists (ACOG) memperkirakan ini adalah bentuk abortus yang paling umum.
Diperkirakan sebanyak 26% dari semua kehamilan berakhir dengan abortus dan hingga
10% dari kehamilan yang diakui secara klinis (Redman & Sargent, 2005). Gejala
abortus spontan tergantung pada jenisnya. Missed abortion bisa terjadi baik tanpa gejala
atau disertai dengan regresi gejala dan tanda-tanda alami kehamilan normal. Abortus
imminens, insipien, inkomplit, dan komplit semuanya terkait dengan kram dan nyeri
perut yang menjalar hingga ke punggung disertai pendarahan pervaginam. Selain gejala-
Nuria Junita
2136 Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024
gejala ini, abortus septik sering disertai dengan demam, keputihan yang bersifat purulen
atau secret vagina, takikardia, dan hipotensi. Upaya harus dilakukan untuk mengukur
jumlah perdarahan, karena perdarahan yang lebih besar dari menstruasi biasa sering
menunjukkan abortus dini. Ketika ada perdarahan yang signifikan, pasien dapat
menunjukkan gejala dan tanda-tanda hipovolemia, bahkan tanpa adanya sepsis
(Pediatrics, 2006). Permasalahan Apakah penegakan diagnosis pada kasus ini sudah
tepat. Kemudian apakah tatalaksana pada kasus ini sudah tepat. Apa hubungan CKD
dengan kematian janin.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam kasus ini adalah pendekatan kualitatif
melalui studi kasus. Data dikumpulkan melalui observasi langsung, wawancara dengan
pasien dan tim medis yang terlibat, serta analisis catatan medis dan dokumen terkait.
Pendekatan ini memungkinkan untuk pemahaman mendalam tentang pengalaman dan
perasaan subjektif pasien, serta kompleksitas manajemen medis yang terlibat dalam
kasus ini. Analisis data dilakukan secara tematis, dengan fokus pada pola-pola yang
muncul dalam pengalaman pasien, tantangan dalam manajemen kehamilan dengan
kondisi medis yang kompleks, dan faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan
keputusan dalam merencanakan perawatan yang sesuai.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Apakah penegakan diagnosis pada kasus ini sudah tepat?
Penegakan diagnosis pada gagal ginjal kronis utamanya berdasarkan perhitungan
laju filtrasi glomerulus dengan penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum
dan kreatinin serum, dan penurunan LFG yang dihitung menggunakan rumus Kockcroft
– Gault. Kadar kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan
fungsi ginjal. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin,
peningkatan kadar asam urat, hiperkalemia atau hipokalemia, hiponatremia,
hiperkloremia atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, dan asisodsis
metabolik (Brown et al., 2018).
Chronic Kidney Disease (CKD), adalah suatu kondisi terjadi kegagalan atau
kerusakan fungsi kedua ginjal untuk mempertahankan metabolisme, keseimbangan
cairan dan elektrolit serta lingkungan yang cocok untuk bertahan hidup sebagai akibat
terminal dari dekstruksi atau kerusakan struktur ginjal yang berangsur-angsurterjadi,
progresif, ireversibel dan ditandai dengan penumpukan sisa metabolisme, yang beredar
dalam darah. Dengan fungsi filtrasi glomerulus yang tersisa kurang dari 25% serta
komplikasi yang berakibat fatal jika tidak dilakukan dialisis atau transplantasi ginjal
(Redman & Sargent, 2005). Penyakit ginjal kronis sering kali tampak tenang baik secara
klinis maupun biokimiawi hingga muncul gangguan ginjal yang sudah lanjut. Gejala
yang muncul tidak terlalu terlihat sampai muncul gangguan filtrasi glomerulus yang
menurun < 25% dari normal, dan gangguan fungsi renal yang menurun hingga 50 %
Multigravida Hamil 19 Minggu dengan Chronic Kidney Disease Stage V dan Bad
Obstetric Hystory Janin Tunggal Mati Intrauterin
Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024 2137
serum kreatinin sampai di atas 120 µmol/l hingga dapat menyebabkan penurunan fungsi
ginjal yangcepat dan luaran kehamilan yang buruk.
Klasifikasi CKD berdasarkan derajat penyakit berdasarkan dasar laju filtrasi
glomerulus menggunakan rumus Kockroft-Gault (Tabel 6) (Bohnen et al., 2018)
Tabel 1. Klasifikasi CKD berdasarkan derajat penyakit
Deraj
Penjelasan
LFG ( ml/menit/ 1,73 m
2
)
1
Kerusakan ginjal dengan LFG
normal atau naik
>90
2
Kerusakan ginjal dengan LFG turun
ringan
60-89
3
Kerusakan ginjal dengan LFG turun
sedang
30-59
4
Keruskaan ginjal dengan LFG turun
berat
15-29
5
Penyakit ginjal kronik
< 15 atau dialysis
Dikutip dari KDIGO (Lockwood, 2013)
Gejala yang timbul pada Chronic Kidney Disease adalah hipertensi, anemia,
osteodistrofi renal, gangguan fungsi jantung, asidosis metabolik, gangguan
keseimbangan elektrolit (sodium, kalium, klorida). Sesuai dengan penyakit yang
mendasari seperti diabetes melitus, hipertensi kronis, infeksi traktus urinarius, batu,
hiperurisemia, dan penyakit sistemik seperti systemic lupus eritematosus (Brown et al.,
2018). Sindrom uremia dapat terjadi dan terdiri dari kondisi lemah, letargi, anoreksia,
mual dan muntah, nokturia, kelebihan volume cairan (volume overload), neuropati
perifer, pruritus, uremic frost, kejang, hingga koma (Sevin, Hale, Brown, & McAuley,
2016). Etiologi gangguan ginjal secara klasik dibagi menjadi 3 kelompok utama
berdasarkan lokasi terjadinya gangguan yaitu pre-renal, renal/intrinsik, atau post-renal.
Berdasarkan penyebab rata-rata gagal ginjal kronis pada kehamilan disebabkan oleh
komplikasi organik dari preeklamsia atau jenis hipertensi dalam kehamilan lainnya.
Berdasarkanpatofisiologi yang terjadi pada preeklamsia- eklamsia, yaitu adanya
vasokonstriksi pembuluh darah intra renal yang dapat terjadi secara primer,
preeklamsia-eklamsia termasuk ke dalam kelompok etiologi renal.
Hipertensi dalam kehamilan dan preeklamsia merupakan salah satu penyebab
kematian pada maternal dan perinatal yang dialami sekitar 5-7% wanita hamil. Secara
klinis, preeklamsia ditandai dengan pasien mengalami tekanan darah tinggi (hipertensi)
yaitu tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 110 mmHg
serta proteinuria (≥300 mg/24 jam) pada umur kehamilan lebih dari 20 minggu pada
pemeriksaan sewaktu (Rimaitis et al., 2019).
Kriteria preeklamsia berat adalah bila terdapat satu atau lebih gejala-gejala
tekanan darah sistolik lebih dari 160 mmHg dan diastolik sama atau lebih dari
110mmHg, proteinuria lebih dari 2g/24 jam atau secara kualitatif +2, seperti yang
dijelaskan pada tabel 2 yang di publikasikan oleh American College of Obstetricians
and Gynecologists (ACOG) (Fairhall & Stoodley, 2009).
Nuria Junita
2138 Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024
Preeklamsia dan hipertensi dalam kehamilan dapat disertai dengan tanda
prodormal dari terjadinya eklamsia dan disebut sebagai impending eclampsia. Tanda
prodormal yang sering ditemukan adalah sakit kepala, pandangan kabur, nyeri ulu hati,
mual dan muntah. Apabila terjadi kejang atau koma yang tidak disebabkan gangguan
neurologis, maka kejang pada pasien tersebut dapat didiagnosis sebagai eklamsia
(Warrington, George, Palei, Spradley, & Granger, 2013). Eklamsia sendiri adalah
kelainan akut dalam persalinan atau nifas yang ditandai dengan timbulnya kejang yang
disusul dengan koma pada penderita yang sebelumnya memperlihatkan gejala-gejala
preeklamsia, baik ringan ataupun berat.
Pengaruh hipertensi dan eklampsia pada ginjal terjadi pada tingkat mikrovaskular
(berupa vaskular trombosis, oklusi lumen arteriola dan hipoperfusi) yang
mengakibatkan nekrosis pada tubular (reversible) dan nekrosis pada kortikal yang
menyebabkan disfungsi renal. Pada kondisi tatalaksana yang terlambat karenatidak
terdeteksi, maka fungsi tubular ginjal rusak yang tadinya reversibel dan menjadi
ireversibel.
Tabel 2. Faktor resiko untuk Preeklamsia
Faktor Risiko
95%CI
SLE
2,5(1,01,63)
Nuliparitas
2,1 (1,9-2,4)
Usia > 35 tahun
1,2(1,1-1,3)
Prior stillbirth
2,4(1,7-3,4)
Gagal ginjal kronis
1,8( 1,5-2.1)
ART
1,8 ( 1,6-2,1)
IMB > 30
2,8( 2,6-3,1)
Multipel gestasi
2,9( 2,6-3,1)
Abrupsi
2,0( 1,4-2,7)
sebelumnya
3,7( 3,1-4,3)
Diabetes
8,4 ( 7,1-99)
Preeklamsia
sebelumnya
5,1 ( 4,0-
6,5)
Hipertensi kronis
2,8 ( 1,8-
4,3)
APA = antiphospholipid antibody SLE = systematic lupus erythematous ART :
assisted reproductive technology
Dikutip dari Cunningham (Triana & Syahredi, 2019)
Abortus adalah penghentian kehamilan secara spontan atau diinduksi sebelum
viabilitas janin.1 Abortus spontan didefinisikan sebagai hilangnya kehamilan kurang
dari 20 minggu. American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG)
memperkirakan ini adalah bentuk abortus yang paling umum. Diperkirakan sebanyak
26% dari semua kehamilan berakhir dengan abortus dan hingga 10% dari kehamilan
yang diakui secara klinis (Redman & Sargent, 2005). Gejala abortus spontan tergantung
Multigravida Hamil 19 Minggu dengan Chronic Kidney Disease Stage V dan Bad
Obstetric Hystory Janin Tunggal Mati Intrauterin
Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024 2139
pada jenisnya. Missed abortion bisa terjadi baik tanpa gejala atau disertai dengan regresi
gejala dan tanda-tanda alami kehamilan normal. Abortus imminens, insipien, inkomplit,
dan komplit semuanya terkait dengan kram dan nyeri perut yang menjalar hingga ke
punggung disertai pendarahan pervaginam. Selain gejala-gejala ini, abortus septik
sering disertai dengan demam, keputihan yang bersifat purulen atau secret vagina,
takikardia, dan hipotensi. Upaya harus dilakukan untuk mengukur jumlah perdarahan,
karena perdarahan yang lebih besar dari menstruasi biasa sering menunjukkan abortus
dini. Ketika ada perdarahan yang signifikan, pasien dapat menunjukkan gejala dan
tanda-tanda hipovolemia, bahkan tanpa adanya sepsis. Gejala abortus spontan
tergantung pada jenisnya. Missed abortion bisa terjadi (Yakasai & Dikko, 2011)
baik tanpa gejala atau disertai dengan regresi gejala dan tanda-tanda alami
kehamilan normal. Abortus imminens, insipien, inkomplit, dan komplit semuanya
terkait dengan kram dan nyeri perut yang menjalar hingga ke punggung disertai
pendarahan pervaginam. Selain gejala-gejala ini, abortus septik sering disertai dengan
demam, keputihan yang bersifat purulen atau secret vagina, takikardia, dan hipotensi
(Yakasai & Dikko, 2011). Istilah missed abortion membutuhkan klarifikasi. Secara
historis, istilah ini digunakan untuk menggambarkan produk konsepsi yang mati yang
dipertahankan selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan dalam rahim dengan os
serviks tertutup (Brown et al., 2018). Upaya harus dilakukan untuk mengukur jumlah
perdarahan, karena perdarahan yang lebih besar dari menstruasi biasa sering
menunjukkan abortus dini. Ketika ada perdarahan yang signifikan, pasien dapat
menunjukkan gejala dan tanda-tanda hipovolemia, bahkan tanpa adanya sepsis.(Yakasai
& Dikko, 2011)
Hari pertama periode menstruasi terakhir dan temuan pada USG sebelumnya
harus ditentukan untuk menentukan usia kehamilan dan lokasi kehamilan. Pemeriksaan
perut harus dilakukan untuk menilai tanda-tanda peritoneum yang mungkin
mengindikasikan kehamilan ektopik yang pecah atau perpanjangan ekstra- uterin dari
abortus septik. Terakhir, pemeriksaan panggul sangat penting untuk evaluasi dugaan
keguguran. Ini harus mencakup visualisasi serviks yang difasilitasi spekulum dan
pemeriksaan bimanual untuk menilai nyeri tekan gerakan serviks yang mungkin
mengindikasikan abortus septik atau massa adneksa yang dapat menandakan kehamilan
ektopik (NUR, 2021)
Tabel 3. Society of tadiologist in Utrasound Guidelines untuk Diagnosis Early
Pregnancy Loss
(Brown et al., 2018)
Temuan USG Diagnostik
CRL ≥ 7 mm dan tidak ada detak jantung MSD ≥ 25 mm dan
tidak ada embrio. Tidak adanya embrio dengan detak jantung ≥
2 minggu setelah scan menunjukkan kantung kehamilan tanpa
yolk sac Tidak adanya embrio dengan detak jantung ≥ 11 hari
setelah scan menunjukkan kantung kehamilan tanpa yolk sac