How to cite:
Priska Eny Mbunga Wea, Tatok Sudjiarto, Djernih Sitanggang (2024) Penerapan Hukum Pidana
Terhadap Pelaku Tindak Pidana Persetubuhan Terhadap Anak Dibawah Umur (Anak Sebagai
Korban) di Polres Manggarai, (06) 05, https://doi.org/10.36418/syntax-idea.v3i6.1227
E-ISSN:
2684-883X
Published by:
Ridwan Institute
PENERAPAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA
PERSETUBUHAN TERHADAP ANAK DIBAWAH UMUR (ANAK SEBAGAI
KORBAN) DI POLRES MANGGARAI
Priska Eny Mbunga Wea, Tatok Sudjiarto, Djernih Sitanggang
Universitas Kristen Indonesia, Indonesia
Abstrak
Pada tingkat kepolisian, Resor Manggarai memiliki peran penting dalam menjaga keamanan
dan memberikan perlindungan kepada warga masyarakat, khususnya yang rentan, seperti
anak-anak di bawah umur. Penerapan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana
persetubuhan terhadap anak dibawah umur (anak sebagai korban) di Resor Manggarai
menjadi bagian integral dari upaya Resor Manggarai untuk menanggulangi dan mencegah
kejahatan tersebut. Penelitian ini bertujuan 1) untuk menganalisis penerapan hukum pidana
terhadap pelaku persetubuhan anak dibawa umur (anak sebagai korban) di Resor Manggarai.
2) untuk menganalisis kendala penerapan pidana terhadap pelaku tindak pidana persetubuhan
anak dibawah umur di Resor Manggarai. Pendekatan penelitian menggunakan yuridis empiris
berdasarkan. Sumber data yaitu bahan hukum sekunder dan primer. Data dianalisis
menggunakan analis kualitatif deskrptif. Hasil penelitian menunjukkan proses penegakan
hukum terhadap pelaku Tindak Pidana Persetubuhan Terhadap Anak sudah sesuai dengan
Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 , KUHP dan PERKAP No.14 Tahun 2012 di Wilayah
Hukum Resor Manggarai. Upaya paksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf c
meliputi: pemanggilan, penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan
surat tindakan berupa penangkapan, penahanan dan penyitaan serta memanggil orang untuk
didengar dan periksa sebagai tersangka atau saksi sampai dengan pemberkasan perkara yang
kemudian dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri. Adapun kendala dalam Penerapan hukum
pidana terhadap pelaku persetubuhan anak dibawa umur (anak sebagai korban) di kepolisian
Resor Manggarai yaitu takut dan stigma korban, Keterbatasan Bukti, kurangnya Sumber Daya
dan Tenaga Ahli dan hambatan hukum dan normatif.
.
Kata kunci: Hukum Pidana. Penerapan Hukum, Persetubuhan Anak, Resor Manggarai
Abstract
At the police level, the Manggarai Police have an important role in maintaining security and
providing protection to community members, especially those who are vulnerable, such as
minors. The application of criminal law against perpetrators of the crime of sexual
intercourse with minors is an integral part of the Manggarai Police's efforts to tackle and
prevent this crime. This research aims 1) to analyze the application of criminal law towards
perpetrators of sexual relations with underage children (children as victims) at the
Manggarai Police Station. 2) to analyze the obstacles to implementing criminal penalties
JOURNAL SYNTAX IDEA
pISSN: 2723-4339 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 6, No. 05, Mei 2024
Priska Eny Mbunga Wea, Tatok Sudjiarto, Djernih Sitanggang
2120 Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024
against perpetrators of criminal acts of sexual intercourse with minors at the Manggarai
Police Station. The research approach uses empirical juridical based. Data sources are
secondary and primary legal materials. Data were analyzed using descriptive qualitative
analysis. The research results show that the law enforcement process against perpetrators of
the crime of sexual intercourse with children is in accordance with Law Number 23 of 2002,
Criminal Code and PERKAP No. 14 of 2012 in the Manggarai Police Legal Area. Coercive
measures as referred to in Article 15 letter c include: summoning, arresting, detaining,
searching, confiscating and examining action letters in the form of arrest, detention and
confiscation as well as summoning people to be heard and examined as suspects or witnesses
up to the filing of the case which is then handed over to the District Prosecutor's Office. The
obstacles in implementing criminal law against perpetrators of sexual relations with
underage children (children as victims) in the Manggarai Resort Police are fear and stigma
of victims, limited evidence, lack of resources and experts and legal and normative obstacles.
Keywords: Criminal Law. Application of the Law, Sexual Intercourse with Children,
Manggarai Police.
PENDAHULUAN
Manggarai merupakan kabupaten di Pulau Flores, Provinsi Nusa Tenggara
Timur, Indonesia. Ibu kota kabupaten adalah Ruteng. Luas wilayahnya adalah 7.136,4 km²,
dengan jumlah penduduk 382.422 jiwa (Ande et al., 2021). Dari sudut ekonomi, mayoritas
masyarakat Kabuapaten Manggarai menggantungkan hidupnya pada pertanian seperti : padi,
kemiri, cengkeh, kopi, fanili dan coklat. Kabupaten Manggarai terdiri atas etnis Manggarai,
Bima, Jawa, Padang dan lain-lain yang turut mewarnai dinamika pembangunan di Kabupaten
Manggarai (Ande et al., 2021). kehidupan sosial budaya Manggarai dipengaruhi oleh budaya
Bima, Jawa, Ngada dan Ende, semuanya menambah keanekaragaman budaya dan adat istiadat
masyarakat Manggarai (Ande et al., 2021)
Wilayah Manggarai, yang terletak di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia,
memiliki karakteristik khas dengan keberagaman budaya, tradisi, dan keindahan alamnya.
Manggarai dikenal sebagai daerah yang kaya akan warisan budaya dan kearifan lokal,
sekaligus menjadi bagian integral dari keberagaman budaya Indonesia. Hanya saja meskipun
wilayah ini memiliki potensi yang besar, sayangnya, seperti wilayah lainnya, Manggarai juga
dihadapkan pada tantangan sosial yang kompleks. Salah satu permasalahan yang mendesak
dan menuntut penanganan serius adalah tindak pidana persetubuhan anak di bawah umur.
Tindak pidana ini bukan hanya merusak masa depan anak-anak, tetapi juga mengancam
keamanan dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
Anak adalah cita-cita bangsa yang masih di dalam gendongan masa depan dan menjadi
harapan untuk mewujudkan impian besar negara.. Merujuk dari Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) secara etimologis, anak diartikan sebagai manusia yang masih kecil atau
manusia yang belum dewasa (Pramukti, 2015). Selain itu, anak sebagai bagian dari keluarga,
merupakan buah hati, penerus, dan harapan keluarga. Dan anak juga amanah sekaliguas
karunia Tuhan yang Maha Esa yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat
harkat, martabat dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Dalam peraturan
perundang-undangan di Indonesia sangat banyak dikategorikan sebagai seseorang anak
Penerapan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Persetubuhan Terhadap Anak
Dibawah Umur (Anak Sebagai Korban) di Polres Manggarai
Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024 2121
tergantung situasi dan kondisi dalam sudut pandang yang dipersoalkan (Kapitan et al., 2020).
Menurut Pasal 1 butir 5 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
adalah sebagai berikut : "Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan
belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal
tersebut demi kepentingannya.
Berdasarkan regulasi terkait batasan umur anak selebihnya dapat ditarik benang merah
bahwa anak masih perlu dalam perlindungan dimana setiap anak pada saat ia dilahirkan
adalah termasuk subjek hukum yakni sebagai pribadi kodrati dimana ia dilahirkan dalam
keadaan merdeka, tidak boleh disiksa atau bahkan dilenyapkan. Anak-anak bahkan sejak ia
didalam kandungan mempunyai hak untuk hidup, dipelihara, dan dilindungi bagaimanapun
kondisi fisik dan mental anak tersebut. Upaya pemenuhan hak anak dapat dilakukan terutama
oleh orang tua dan keluarga, masyarakat, maupun bangsa dan negara. Hal itu disebabkan anak
merupakan individu yang belum matang baik secara fisik, mental, maupun sosial sehingga
bergantung pada orang dewasa. Kondisi anak yang rentan seperti itulah seringkali beresiko
terhadap kegiatan yang mengandung unsur eksploitasi maupun kekerasan (Burhayan, 2021)
Jumlah kasus persetubuhan terhadap anak di bawah umur yang terjadi di Indonesia
terkhusus di Manggarai dianggap sebagai salah satu ukuran yang menunjukkan rendahnya
kualitas perlindungan anak di negara ini. Kekerasan terhadap anak adalah indikator yang
mencerminkan ketidakmampuan sistem perlindungan anak dalam mencegah dan menanggapi
ancaman terhadap kesejahteraan anak. Anak membutuhkan lingkungan yang aman, dukungan,
dan bimbingan untuk tumbuh dan berkembang dengan sehat. Anak adalah individu yang
rentan dan bergantung pada orang-orang di sekitarnya sebagai sumber perlindungan.
Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan serta
undang-undang yang melindungi hak-hak anak. Hal ini termasuk pembentukan peraturan
yang menyeluruh untuk melindungi anak dari segala bentuk eksploitasi, diskriminasi, dan
kekerasan. Upaya ini juga meliputi penyediaan akses terhadap layanan kesehatan, pendidikan
yang berkualitas, dan perlindungan sosial bagi anak-anak yang membutuhkan. Perlindungan
hukum adalah aspek terpenting dalam menjamin keamanan anak, sebab pengawasan dan
perlindungan tidak hanya semata-mata dari orang tua saja (Mniber, 2021)
Persetubuhan terhadap anak di bawah umur yang dilakukan orang dewasa, sejatinya
telah ditetapkan di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2016 tentang
penetapan peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang
perubahan kedua atas Unang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang perlindungan anak
menjadi undang-undang. Dalam regulasi ini termuat jaminan atas peran negara dalam
menjamin hak anak atas kelangsungan hidup, tumbuh kembang serta perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia (Wicaksono, 2024). Hal tersebut diwujudkan dengan memperberat sanksi
pidana dan memberikan tindakan terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak dengan
mengubah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindunga anak (Rafigali, 2019)
Priska Eny Mbunga Wea, Tatok Sudjiarto, Djernih Sitanggang
2122 Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024
Selain regulasi di atas, hukum tindak pidana persetubuhan juga diatur dalam Undang-
undang (UU) Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, seperti bunyi
pasal 6 bahwa setiap Orang yang menyalahgunakan kedudukan, wewenang, kepercayaan, atau
perbawa yang timbul dari tipu muslihat atau hubungan keadaan atau memanfaatkan
kerentanan, ketidaksetaraan atau ketergantungan seseorang, memaksa atau dengan penyesatan
menggerakkan orang itu untuk melakukan atau membiarkan dilakukan persetubuhan atau
perbuatan cabul dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 12 (dua belas) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus
juta rupiah). Undang-undang (UU) No. 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan
Korban, menegaskan jika korban tindak pidana berhak memperoleh Restitusi berupa ganti
kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan, ganti kerugian yang ditimbulkan akibat
penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana; dan/atau penggantian
biaya perawatan medis dan/atau psikologis.
Pada tingkat kepolisian, Resor Manggarai memiliki peran penting dalam menjaga
keamanan dan memberikan perlindungan kepada warga masyarakat, khususnya yang rentan,
seperti anak-anak di bawah umur. Penerapan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana
persetubuhan terhadap anak dibawah umur (anak sebagai korban) di Resor Manggarai
menjadi bagian integral dari upaya Resor Manggarai untuk menanggulangi dan mencegah
kejahatan tersebut. Berdasarkan hasil observasi di Unit PPA Satreskrim Resor Manggarai
melalui Paur humas Ipda I Made Budiarsa menjelaskan, kasus persetubuhan anak di bawah
umur yang dilaporkan pada tahun 2021 meningkat hingga 15 kasus. Dari total 46 kasus yang
dilaporkan pada tahun 2021, diantaranya terdapat 7 kasus penganiayaan terhadap anak, 18
kasus penganiayaan dewasa dan 15 kasus persetubuhan anak di bawah umur. Dalam satu
minggu terdata Resor Manggarai menangani dua kasus persetubuhan di bawah umur (Dejam,
2023)
Beberapa kasus pelecehan seksual terbaru seperti persetubuhan di Manggarai terjadi di
wilayah Golo Dukal, kec.Langke Rembong, Kab.Manggarai. Kronologi terkuaknya kasus
tersebut saat ibu korban karena melihat vidio tidak dewasa yang ada di Handphone pelaku,
dalam vidio terekam korban sedang dicabuli paksa oleh seseorang (ayah kandung). Selain itu,
kasus serupa dilakukan seorang sopir yang modusnya dengan mengajak kenalan kemudian
pelaku membawa korban dan memaksa melakukan adegan dewasa.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang tidak
mengenal istilah suka sama suka untuk persetubuhan dan pencabulan terhadap anak.
Meskipun dilakukan atas dasar suka sama suka, posisi anak tetap sebagai korban walaupun
anak yang minta berhubungan badan atau dicabuli oleh orang lain (Nomor, 23 C.E.).
Melihat realitas di atas menjelaskan bahwa meskipun telah ada aturan hukum dan
keterlibatan Resor menangani kasus persetubuhan anak, belum efektif membuat pelaku
pelecehan seksual anak jerah dan takut melakukan aksinya, yang ada kasus terus bertambah
dan tidak sedikit pelaku pelecehan seksual hidup bebas berkeliaran. Disamping itu korban
pelecehan seksual identitasnya dipublikasikan yang memberikan tekanan sosial kepada anak.
Penerapan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Persetubuhan Terhadap Anak
Dibawah Umur (Anak Sebagai Korban) di Polres Manggarai
Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024 2123
Padahal dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak menjelaskan bahwa “Setiap orang yang mempublikasikan identitas
anak sebagai pelaku tindak pidana, anak sebagai korban tindak pidana, maka berdasarkan
Pasal 97 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Pelaku yang mempubikasikan identitas anak tersebut dapat dipidana dengan pidan penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta
rupiah)”.
Ketidakadilan dalam menghukum terdakwa pernah dikaji dalam penelitian sebelumnya
yang menemukan bahwa pertimbangan hukum oleh hakim dalam menjatuhkan pidana pada
tindak pidana persetubuhan terhadap anak dalam perkara putusan nomor:
110/Pid.Sus/2015/PN.Skg Tongat, Nugrono, & Wibowo, (2022), lebih mengutamakan
perbaikan diri terhadap terdakwa, terlihat dalam pemberian hukuman yang paling ringan
berdasarkan Pasal 81 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 perubahan atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Jo Pasal 64 Ayat(1)
KUHP seharusnya mendapat hukuman yang sesuai yang diatur dalam pasal tersebut tetapi
karena berbagai pertimbangan hakim untuk memberikan kesempatan terhadap terdakwa untuk
bisa kelak tidak mengulangi lagi perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum (Tongat et al.,
2022).
Fenomena di atas mendorong peneliti untuk mengkaji bagaimana penerapan hukum
oleh Resor Manggarai dalam menangani kasus persetubuhan anak. Maka dari itu, berdasarkan
latar belakang tersebut peneliti tertarik melakukan penelitian dengan judul “Penerapan
hukum pidana terhadap pelaku persetubuhan anak dibawa umur (anak sebagai korban) di
Resor Manggarai”.
METODE PENELITIAN
Dalam penulisan penelitian tesis ini pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
yuridis empiris berdasarkan fakta-fakta di lapangan serta pengalaman penulis di lapangan.
Penelitian yuridis empiris dengan kata lain merupakan jenis penelitian lapangan, yang
mengkaji ketentuan hukum yang berlaku serta yang telah terjadi didalam kehidupan
masyarakat (Marzuki & Sh, 2021).
Pendekatan dalam penelitian ini bersifat deskriptif analisis yang merupakan proses
penggambaran daerah penelitian. Bentuk analisis yang digunakan oleh penulis dilakukan
dengan cara data yang diperoleh dari sumber hukum yang dikumpulkan, diklarifikasi baru
kemudian dianalisis secara kualitatif, artinya menguraikan data secara bermutu dan bentuk
kalimat yang teratur, sistematis logis, tidak tumpang tindih, dan efektif, sehingga
memudahkan interpretasi data dan pemahaman hasil analisis, selanjutnya hasil dari sumber
hukum tersebut dikonstruksikan berupa kesimpulan dengan menggunakan logika berfikir
induktif, yakni penalaran yang berlaku khusus pada masalah tertentu dan konkrit yang
dihadapi, oleh karena itu hal-hal yang dirumuskan secara khusus diterapkan pada keadaan
umum, sehingga hasil analisis tersebut dapat menjawab permasalahan dalam penelitian
(Suharsimi, 2015).
Priska Eny Mbunga Wea, Tatok Sudjiarto, Djernih Sitanggang
2124 Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024
HASIL DAN PEMBAHASAN
Persetubuhan termasuk ke dalam tindak pidana kesusilaan, persetubuhan terjadi karena
adanya bujuk rayu sehingga menyebabkan terjadinya hubungan intim yang berlainan jenis
kelamin. Penerapan hukum pidana adalah langkah yang penting dalam menjaga dan
melindungi hak serta keamanan anak sebagai korban tindak pidana persetubuhan. Dalam
penerapan tersebut, Resor Manggarai menemui kendala sebagai berikut:
1. Takut dan Stigma Korban
Takut akan dituduh atau dikucilkan merupakan hambatan utama yang menghambat
langkah-langkah proses penyelidikan dan penuntutan. Korban merasa khawatir bahwa
pengakuan mereka akan menimbulkan penilaian negatif dari masyarakat, bahkan mungkin
merusak reputasi mereka atau menciptakan keterpisahan sosial yang lebih lanjut. Stigma
sosial ini menciptakan atmosfer yang tidak mendukung bagi korban untuk melangkah maju
dan memberikan kesaksian mengenai kejadian yang mereka alami. Berikut hasil
wawancaranya dengan kepala Resor Manggarai:
“Jadi, dari beberapa kasus persetubuhan yang kita tangani, kebanyak korban itu takut
melapor atau menjelaskan lebih jauh kronologinya, karena adanya stigma yang dirasakan
oleh korban. Kami di Resor Manggarai menyadari bahwa korban sering kali merasa
khawatir akan dituduh atau dikucilkan oleh masyarakat. Hal ini tentu menghambat
langkah-langkah proses penyelidikan dan penuntutan”
Lebih lanjut beliau menjelaskan:
“Ketakutan tersebut juga uat pengaruhnya karena korban pernah mendapatkan
ancaman, ancaman ini menciptakan atmosfer yang sangat tidak mendukung bagi
korban. Mereka takut untuk melangkah maju dan memberikan kesaksian karena
khawatir akan dituduh atau dikucilkan. Ada kasus di mana korban merasa terjebak
dalam situasi yang sulit, terutama ketika pelaku adalah ayah kandung mereka. Ancaman
tersebut membuat korban enggan membuka diri dan menyampaikan informasi yang
diperlukan untuk proses hukum”.
“Atas kendala tersebut, kami terus meningkatkan kerjasama dengan lembaga
perlindungan anak, lembaga kesehatan mental, dan lembaga advokasi hak asasi
manusia. Kami percaya bahwa kolaborasi ini penting untuk memberikan perlindungan
yang lebih baik kepada korban persetubuhan anak. Selain itu, kami terus
mengidentifikasi dan mengatasi hambatan hukum dan sistemik yang mungkin
menghambat proses keadilan”.
Berdasarkan hasil wawancara dapat disimpulkan jika ketakutan yang dirasakan oleh
para korban persetubuhan anak di wilayah Resor Manggarai tidak lepas dari pengalaman
ancaman yang pernah mereka terima dari para pelaku, bahkan dalam beberapa kasus, pelaku
tersebut adalah anggota keluarga korban, termasuk yang merupakan ayah kandung. Ancaman
ini menciptakan lingkungan yang penuh ketidakamanan bagi korban, membuat mereka takut
untuk melangkah maju dan memberikan kesaksian mengenai kejadian yang mereka alami.
Keberanian para korban untuk memberikan pengakuan mereka seringkali dipadamkan oleh
ketakutan akan konsekuensi yang mungkin timbul, seperti dikucilkan oleh keluarga atau
masyarakat, serta merusak reputasi pribadi. Dalam situasi ini, ketakutan tidak hanya
Penerapan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Persetubuhan Terhadap Anak
Dibawah Umur (Anak Sebagai Korban) di Polres Manggarai
Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024 2125
bersumber dari pelaku yang tidak bertanggung jawab, tetapi juga dari lingkungan terdekat
yang seharusnya menjadi tempat perlindungan dan dukungan. Oleh karena itu, Resor
Manggarai dihadapkan pada tugas yang kompleks untuk menciptakan lingkungan yang
mendukung agar korban dapat dengan aman melangkah maju dan memberikan kesaksian
yang diperlukan untuk proses penyelidikan dan penuntutan. Langkah-langkah preventif dan
dukungan psikologis menjadi penting dalam mengatasi kendala ini agar korban dapat merasa
didukung dan aman dalam memberikan informasi yang krusial untuk mengungkap kebenaran
dalam kasus persetubuhan anak.
Ketidaknyamanan dan rasa takut ini menyulitkan para korban untuk membuka diri
kepada penegak hukum dan pihak berwenang. Korban merasa melaporkan persetubuhan anak
akan membawa lebih banyak penderitaan daripada kelegaan, dan ini dapat menghambat upaya
penegakan hukum untuk menyelidiki kasus tersebut secara menyeluruh. Oleh karena itu, perlu
upaya yang lebih besar dalam membentuk lingkungan yang mendukung korban persetubuhan
anak, menghilangkan stigma sosial, dan memberikan kepastian bahwa melaporkan kejadian
tersebut adalah langkah yang benar dan akan mendapatkan perlindungan. Ini membutuhkan
kerja sama lintas sektor, termasuk lembaga hukum, lembaga sosial, dan masyarakat secara
keseluruhan, untuk menciptakan lingkungan di mana korban merasa aman dan didukung
dalam menghadapi konsekuensi hukum pelaku persetubuhan anak.
Ketakutan yang dirasakan anak sebagai korban menunjukkan pentingnya memastikan
anak terlindungi baik fisik dan psikologisnya. Perlindungan anak sebagaimana batasan
pengertian yang tercantum dalam Pasal 1 angka 2 Undang - Undang Nomor 35 Tahun 2014
tentang Perlindungan Anak dapat terwujud apabila mendapatkan dukungan dan tanggung
jawab dari berbagai pihak. Dukungan yang dibutuhkan guna mewujudkan perlindungan atas
hak anak di Indonesia diatur Pasal 20 UndangUndang Perlindungan Anak yang menyebutkan
bahwa negara, pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, keluarga, dan orang tua atau wali
berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.
Kewajiban dan tanggung jawab masyarakat atas perlindungan anak sebagaimana
diatur dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak
yang menyatakan bahwa “Kewajiban dan tanggung jawab masyarakat terhadap perlindungan
anak dilaksanakan melalui kegiatan peran masyarakat dalam penyelenggaraan perlindungan
anak dilaksanakan dengan melibatkan organisasi kemasyarakatan, akademisi, dan pemerhati
Anak”.
Kegiatan perlindungan anak membawa akibat hukum, baik dalam kaitannya dengan
hukum tertulis maupun tidak tertulis. Hukum merupakan jaminan bagi kegiatan perlindungan
anak. Segala usaha yang dilakukan untuk menciptakan kondisi agar setiap anak dapat
melaksanakan hak dan kewajibannya demi perkembangan dan pertumbuhan anak secara
wajar baik fisik, mental dan social.
Korban, yang merasakan penderitaan dari kerugian materiil, kerugian immaterial,
bahkan cedera fisik atau psikis, juga dialami oleh keluarganya. Untuk mengurangi atau
menghilangkan penderitaan bagi korban beserta keluarganya, perlindungan hukum
diperlukan, termasuk keamanan, bantuan hukum, informasi, layanan medis, serta restitusi dan
Priska Eny Mbunga Wea, Tatok Sudjiarto, Djernih Sitanggang
2126 Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024
kompensasi. Stephen Schafer, menyebutkan terdapat empat sistem pemberian restitusi dan
kompensasi kepada korban tindak pidana, sebagai berikut:
a) Ganti rugi (damage) yang bersifat keperdataan, diberikan melalui proses perdata. Sistem
ini memisahkan tuntutan ganti rugi korban dari proses pidana.
b) Kompensasi yang bersifat keperdataan diberikan melalui proses pidana.
c) Retitusi yang bersifat perdata dan bercampur dengan sifat pidana diberikan melalui proses
pidana. Walaupun restitusi disini tetap bersifat keperdataan, tidak diragukan sifat
pidananya. Salah satu bentuk restitusi menurut system ini adalah denda kompensasi. Denda
ini merupakan kewajiban yang bernilai uang yang dikenakan kepada terpidana sebagai
suatu bentuk pemberian ganti rugi yang seharusnya diberikan.
d) Kompensasi yang bersifat perdata, diberikan melalui proses pidana dan didukung oleh
sumber-sumber penghasilan negara. Disini kompensasi tidak mempunyai aspek pidana
apapun, walalupun diberikan dalam proses pidana. Jadi kompensasi tetap merupakan
lembaga keperdataan murni, tetapi negaralah yang memenuhi atau menanggung kewajiban
ganti rugi yang dibebankan pengadilan kepada pelaku. Hal ini merupakan pengakuan
bahwa negara telah gagal menjalankan tugasnya melindungi korban dan gagal mencegah
terjadinya tindak pidana.
Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban memberikan perlindungan dan bantuan terhadap saksi maupun korban.
Perlindungan dimaksud adalah dalam bentuk perbuatan yang memberikan tempat bernaung
atau perlindungan bagi seseorang yang membutuhkan sehingga merasa aman terhadap
ancaman sekitarnya. Pasal 90 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak menjelaskan bahwa Anak Korban dan Anak Saksi berhak
atas upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, baik di dalam Lembaga maupun di
luar Lembaga. Untuk menjatuhkan dan memberikan sanksi pidana kepada pelaku
pencabulan terhadap anak di bawah umur dengan didasari dan memakai Undang-Undang
yang berlaku, yaitu : Pasal 285 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Dalam konteks tindak pidana persetubuhan, saat anak menjadi korban, dia harus
menjadi saksi dalam persidangan. Proses ini dapat memerlukan pengulangan cerita atau
kejadian yang dialaminya di hadapan majelis hakim, jaksa, pengacara terdakwa, dan
terdakwa itu sendiri. Penting untuk memastikan bahwa korban tidak mengalami tekanan
fisik atau psikis selama persidangan. Untuk melindungi korban dari intimidasi, langkah-
langkah tertentu diambil, seperti menempatkan korban dalam ruangan tersendiri saat pergi
ke pengadilan dan memastikan bahwa tidak ada pihak yang dapat menakuti atau
mengintimidasi korban. Dalam situasi di mana ada upaya intimidasi terhadap korban atau
keluarganya, pengawasan dari petugas pengadilan, kejaksaan, dan kepolisian dapat
diperlukan.
2. Keterbatasan Bukti
Alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan perbuatan pidana,
dimana dengan alat-alat bukti tersebut dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna
menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana. Alat bukti yang
sah berdasarkan Pasal 184 Ayat (1) KUHAP yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat,
Penerapan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Persetubuhan Terhadap Anak
Dibawah Umur (Anak Sebagai Korban) di Polres Manggarai
Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024 2127
petunjuk dan keterangan terdakwa. Penyidik Resor Karanganyar pada waktu melakukan
penyidikan tindak pidana pencabulan kesulitan menemukan saksi yang melihat dan atau
mendengar peristiwa tindak pidana pencabulan tersebut, hal ini dikarenakan pelaku tindak
pencabulan biasanya melakukan perbuatan tersebut di tempat yang sepi atau jauh dari
keramaian.
Pada beberapa kasus, keterbatasan bukti fisik atau saksi dapat menjadi kendala
serius. Persetubuhan anak di bawah umur beberapa terjadi tanpa saksi atau bukti yang kuat,
sehingga penyidik sulit untuk membuktikan kasus tersebut di pengadilan. Hal ini
dikarenakan persetubuhan anak seringkali merupakan tindakan yang tersembunyi dan tidak
terjadi di tempat umum, sehingga sulit untuk mengumpulkan bukti fisik yang jelas atau
melibatkan saksi yang dapat memberikan keterangan terperinci. Berikut kutipan
wawancara dengan KaResor Manggarai terkait kasus persetubuan yang alat buktinya
terbatas:
“Persetubuhan anak seringkali terjadi secara rahasia dan tidak di tempat umum. Hal
ini membuat sulit untuk mengumpulkan bukti fisik yang jelas atau melibatkan saksi yang
dapat memberikan keterangan terperinci. Anak-anak yang menjadi korban seringkali tidak
memiliki saksi atau bukti fisik yang dapat mendukung kasus mereka, dan pelaku seringkali
mengambil keuntungan dari situasi ini untuk menghindari tanggung jawab hukum”.
Lebih lanjut beliau menjelaskan:
“Jika menemui permasalahan seperti itu, kami akan berfokus pada teknik
penyelidikan yang lebih canggih, seperti analisis forensik digital dan pemanfaatan ahli-ahli
yang dapat memberikan kesaksian tentang dampak psikologis pada korban. Selain itu,
beberapakbekerja sama dengan pihak-pihak terkait, seperti lembaga kesehatan mental dan
pekerja sosial, untuk memperoleh informasi yang dapat mendukung kasus secara lebih
holistik”.
“Kami juga melakukan upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang
pentingnya melaporkan kasus persetubuhan anak, meskipun tanpa bukti fisik yang jelas.
Pendidikan masyarakat dapat membantu menciptakan lingkungan yang lebih responsif dan
mendukung bagi para korban. Kami juga berupaya membangun kolaborasi yang erat
dengan lembaga-lembaga perlindungan anak dan advokasi hak asasi manusia untuk
memastikan setiap langkah yang diambil mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi
korban”.
Berdasarkan hasil wawancara menjelaskan bahwa kendala ini memberikan
tekanan tambahan pada korban persetubuhan anak, yang mungkin menghadapi kesulitan
dalam memberikan kesaksian yang memadai atau merasa takut untuk melaporkan kejadian
tersebut tanpa dukungan bukti yang substansial. Dalam menghadapi tantangan ini, Resor
Manggarai dapa mengembangkan pendekatan yang sangat sensitif untuk mendukung
korban dan merangsang kesaksian yang akurat. Peningkatan pelatihan bagi penegak hukum
dan peningkatan kesadaran masyarakat tentang pentingnya melaporkan kasus persetubuhan
anak juga dapat membantu mengatasi keterbatasan dalam memproses kasus ini di
pengadilan.
3. Kurangnya Sumber Daya dan Tenaga Ahli
Priska Eny Mbunga Wea, Tatok Sudjiarto, Djernih Sitanggang
2128 Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024
Berdasrakan hasil wawancara disimpulkan jika keterbatasan sumber daya dan
keahlian dalam penanganan kasus persetubuhan anak di bawah umur juga merupakan
kendala. Pihak penegak hukum kekurangan personel yang terlatih untuk menangani kasus-
kasus sensitif ini dengan optimal.Berikut hasil wawancarannya:
“Kekurangan personel mengakibatkan penanganan kasus menjadi lambat. Proses
penyelidikan, pengumpulan bukti, dan penuntutan kasus terkendala karena personel yang
tidak cukup untuk menangani volume kasus dan juga kompleksitasnya. Dalam beberapa
kasus, kami merasa kesulitan untuk memberikan dukungan dan pemahaman yang memadai
kepada korban, terutama yang mengalami dampak emosional dan psikologis yang serius”
“Untuk mengatasi masalah tersebut lami berencana untuk membangun kerja sama
dengan tenaga ahli, seperti psikolog anak dan pekerja sosial, yang dapat memberikan
dukungan khusus kepada korban. Keberadaan tenaga ahli ini akan membantu kami dalam
memberikan pendekatan yang lebih sensitif dan mendalam terhadap aspek-aspek
psikologis dan kejiwaan yang sering terlibat dalam kasus persetubuhan anak. Meskipun
sebenarnya kita sudah sering kerjasama, tetapi belum efektif, kami masih keterbatasan
sumber daya untuk mengevaluasi kinerja mereka, karena kita masih terlalu fokus pada
pemberian hukum pidana pada tersangka”.
Kurangnya sumber daya dan keahlian dalam penanganan kasus persetubuhan
anak di bawah umur menjadi kendala serius dalam upaya penegakan hukum. Salah satu
hambatan utama adalah terkait dengan keterbatasan personel dan keahlian yang diperlukan
untuk menangani kasus-kasus yang sangat sensitif ini. Pihak penegak hukum seringkali
kekurangan personel yang terlatih secara khusus untuk menangani aspek-aspek kompleks
dan emosional dari kasus persetubuhan anak. Keterbatasan sumber daya, termasuk
personel yang terbatas, dapat memperlambat proses penyelidikan, pengumpulan bukti, dan
penuntutan kasus. Dalam kasus persetubuhan anak yang melibatkan aspek-aspek kejiwaan
dan trauma, keberadaan tenaga ahli, seperti psikolog anak atau pekerja sosial, sangat
penting untuk memberikan dukungan dan pemahaman yang mendalam terhadap korban.
Selain itu, penanganan kasus persetubuhan anak memerlukan keahlian khusus dalam
mengumpulkan dan menganalisis bukti, termasuk bukti digital yang mungkin terlibat.
Kurangnya tenaga ahli dalam bidang forensik digital atau investigasi kasus persetubuhan
anak dapat menghambat kemampuan penegak hukum untuk mengungkap kebenaran dan
memastikan keadilan. Upaya perbaikan dalam hal pelatihan personel, alokasi sumber daya
yang memadai, dan kolaborasi dengan pihak terkait, seperti lembaga perlindungan anak
dan ahli hukum, menjadi kunci untuk mengatasi kendala ini. Dengan meningkatkan
kapasitas penegak hukum melalui pelatihan dan perekrutan personel yang kompeten, serta
memastikan ketersediaan tenaga ahli yang memadai, diharapkan dapat membantu
memastikan penanganan yang efektif dan sensitif terhadap kasus persetubuhan anak di
bawah umur.
Perlindungan terhadap anak dan memastikan terpenuhinya hak-hak dasarnya sebagai
manusia berlandasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak yang menguraikan hak
anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi
oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara. Wingjosoebroto
Penerapan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Persetubuhan Terhadap Anak
Dibawah Umur (Anak Sebagai Korban) di Polres Manggarai
Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024 2129
menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah hak yang seharusnya diakui sebagai hak yang
melekat pada manusia karena hakikat dan kodrat manusia, yang tiadanya hak ini
serta merta akan menyebabkan manusia tidak mungkin dapat hidup harkat dan
martabatnya sebagai manusia (Harahap et al., 2023). Hak-hak anak merupakan bagian
integral dari HAM, berkaitan dengan peranan negara, maka tiap negara mengembankan
kewajiban yaitu melindungi (to protect), memenuhi (to fulfill), dan menghormati (to
respect) hak-hak anak. Maka, perlindungan terhadap anak merupakan pondasi anak
untuk menjadi dewasa menjawab tantangan masa mendatang. Anak sebagai makhluk
sosial memiliki kebutuhan berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya, bagaimana ia
menyesuaikan diri dengan orang-orang, baik yang berada di sekolah, rumah atau
tempat-tempat pendidikan lainnya. Untuk dapat berkembang anak melakukan berbagai
cara agar memahami dunia, melalui dunia pendidikan (Sagala, 2018)
4. Hambatan Hukum dan Normatif
Hambatan hukum dan normatif muncul sebagai kendala dalam penanganan kasus
persetubuhan anak. Beberapa permasalahan timbul akibat ketidaksesuaian atau kekurangan
dalam ketentuan hukum yang berkaitan dengan kasus ini. Salah satu hambatan utama
adalah belum memadainya ketentuan hukum yang secara tegas dan komprehensif
mengatasi persetubuhan anak. Interpretasi undang-undang yang kurang jelas atau ambigu
juga dapat menjadi sumber kendala, memberikan celah bagi pelaku untuk menghindari
pertanggungjawaban hukum. Ketidaksesuaian atau kekurangan dalam ketentuan hukum
dapat memberikan peluang bagi pelaku untuk menyusun strategi hukum yang
menguntungkan mereka. Selain itu, ketidakjelasan dalam interpretasi undang-undang dapat
mengakibatkan perbedaan pandangan dalam proses penyelidikan dan penuntutan, sehingga
merugikan upaya penegakan hukum.
Kendala ini memperlambat proses hukum dan mengurangi efektivitas penegakan
hukum dalam kasus persetubuhan anak di Resor Manggarai. Kehadiran celah hukum atau
normatif menciptakan hambatan dalam mengajukan dakwaan yang kuat terhadap pelaku,
terutama jika mereka dapat mengeksploitasi ketidakpastian atau kelemahan dalam
peraturan yang ada.
Upaya untuk mengatasi hambatan hukum dan normatif melibatkan perluasan atau
perbaikan ketentuan hukum yang ada, serta upaya untuk memberikan klarifikasi dan
panduan interpretatif yang jelas. Hal ini melibatkan keterlibatan aktif dari pemangku
kepentingan hukum dan pembuat kebijakan untuk menyusun peraturan yang lebih tegas
dan responsif terhadap dinamika kasus persetubuhan anak. Selain itu, penguatan kerjasama
antara penegak hukum, ahli hukum, dan lembaga perlindungan anak menjadi esensial
untuk merumuskan solusi hukum yang efektif dan memastikan bahwa kepentingan anak
menjadi prioritas utama dalam setiap penanganan kasus.
Kendala yang dihadapi Resor Manggarai juga serupa dengan kendala oleh Resor lain
yang ada di Indonesia, seperi yang dideskripsikan dalam penelitian Zubaidah & Raharjo,
(2022) bahwa kendala dalam upaya penegakan hukum tindak pidana persetubuhan dengan
korban anak di bawah umur di wilayah hukum Resor Magelang mencakup beberapa aspek
yang kompleks. Salah satu hambatan utama adalah ketidaktersediaan satu pemahaman
Priska Eny Mbunga Wea, Tatok Sudjiarto, Djernih Sitanggang
2130 Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024
yang konsisten dalam penanganan anak korban, baik di lingkungan keluarga, masyarakat,
maupun pemerintahan setempat. Belum adanya kesepahaman ini dapat menghambat
koordinasi efektif antara berbagai pihak terkait, seperti penegak hukum, lembaga
perlindungan anak, dan pihak-pihak lain yang terlibat dalam upaya penanggulangan.
Selanjutnya, kekhawatiran dari anak korban untuk jujur tentang pengalaman mereka
sebagai korban persetubuhan juga menjadi kendala serius. Rasa takut dimarahi oleh
orangtua atau dikeluarkan dari sekolah menjadi faktor utama yang mencegah korban untuk
melaporkan kejadian tersebut. Keberanian anak untuk membuka diri mengenai pengalaman
traumatis ini seringkali terhambat oleh ketidakpastian terhadap reaksi lingkungan terdekat
mereka. Selain itu, stigma dan pandangan masyarakat yang masih memandang masalah
persetubuhan anak sebagai aib bagi keluarga menjadi kendala signifikan. Keluarga korban
cenderung merasa malu untuk melaporkan kasus tersebut, sebagian karena khawatir akan
dampak sosial dan stigma yang dapat menimpa nama baik keluarga. Hal ini menciptakan
lingkungan yang tidak mendukung untuk melaporkan kasus, dan keluarga mungkin lebih
cenderung menutup-nutupi peristiwa tersebut demi menjaga reputasi keluarga.
Keterbatasan dan hambatan yang dialami Resor Manggarai juga serupa dengan
kendala di Unit PPA Saterskrim Resor Kerinci. Perkara tindak pidana persetubuhan
yang terjadi di Unit PPA Saterskrim Resor Kerinci korbannya adalah anak yang
masih berumur 17 tahun. Ini merupakan kesulitan bagi penyidik dalam meminta
keterangan, karena keterangan yang diberikan berbelit-belit. Tersangka tidak mengaku
sebagai pelaku tindak pidana persetubuhan yang terjadi di Unit PPA Saterskrim
Resor Kerinci dengan alasan dilakukan secara suka sama suka. Tidak ada nya saksi
yang melihat secara langsung dan saksi tidak mau datang untuk memberikan
keterangan. Kendala lainnya adalah keterbatasan Dokter Forensik. Dokter Forensik
sangatlah berperan penting untuk mengetahui hasil Visum, namun di Kabupaten
Kerinci hanya memiliki satu dokter forensik yang hanya datang hari senin sampai
jumat (tidak teratur datangnya). Jika kejadian hari sabtu maka penyidik harus
menunggu hari senin untuk visum korban persetubuhan, hasilnya juga keluar seminggu
setelah visum (Noviardi et al., 2021).
Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa setiap Kepolisian Resort (Resor)
pada dasarnya menghadapi kendala atau hambatan yang serupa ketika menangani kasus
persetubuhan anak sebagai korban. Kendala-kendala ini mencakup berbagai aspek, dan
pemahaman terhadap kesamaan tersebut dapat memberikan wawasan tentang tantangan
yang dihadapi oleh aparat penegak hukum dalam konteks spesifik ini.
Beberapa kemungkinan kendala yang sering ditemui di berbagai Resor dapat
mencakup keterbatasan sumber daya, baik dari segi personel maupun peralatan teknis.
Resor n menghadapi tantangan dalam menyediakan jumlah personel yang memadai dan
terlatih untuk menangani kasus-kasus yang memerlukan keahlian khusus, seperti kasus
persetubuhan anak. Selain itu, juga ada kendala dalam hal koordinasi dan kolaborasi antara
berbagai lembaga penegak hukum atau unit di dalam Resor itu sendiri. Kolaborasi yang
efektif antara penyidik, jaksa, dan lembaga lainnya dapat menjadi kunci dalam menangani
kasus-kasus sensitif seperti persetubuhan anak.
Penerapan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Persetubuhan Terhadap Anak
Dibawah Umur (Anak Sebagai Korban) di Polres Manggarai
Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024 2131
Faktor kesamaan kendala dan hambatan yang dihadapi oleh setiap Resor dalam
menangani kasus persetubuhan anak bisa disebabkan oleh beberapa faktor sistemik dan
struktural. Beberapa alasan yang menjelaskan kesamaan ini antara lain:
1) Sistem Hukum yang Serupa:
Karena sistem hukum di tingkat nasional atau regional memiliki regulasi yang
serupa, Resor di berbagai wilayah kemungkinan akan menghadapi kendala yang serupa.
Perbedaan dalam hukum atau kebijakan penegakan hukum dapat menciptakan variasi
dalam kendala yang dihadapi.
2) Aspek Sosial dan Budaya yang Merata
Faktor kesamaan kendala yang dihadapi oleh setiap Resor dalam menangani
kasus persetubuhan anak bisa disebabkan oleh adanya kesamaan dalam aspek sosial dan
budaya yang merata di masyarakat. Kendala tersebut tercermin dalam tantangan serupa
yang dihadapi oleh berbagai kepolisian daerah, dan beberapa faktor yang menciptakan
kesamaan ini dapat diidentifikasi.
Aspek sosial dan budaya yang merata mengacu pada norma-norma, nilai-nilai,
dan pandangan masyarakat yang secara luas diakui dan diterapkan di berbagai wilayah.
Stigma sosial terhadap korban, misalnya, mungkin berasal dari pandangan masyarakat
yang cenderung menyalahkan korban daripada mendukungnya. Hal ini bisa disebabkan
oleh norma-norma budaya yang menganggap isu kekerasan seksual sebagai tabu atau
bahkan menyalahkan korban atas kejadian yang menimpanya.
Selain itu, kurangnya kesadaran masyarakat juga dapat menjadi hasil dari norma-
norma budaya yang membatasi pembicaraan terbuka tentang kekerasan seksual.
Ketidakpahaman mengenai dampak kekerasan seksual dan cara melaporkannya bisa menjadi
akibat dari pengetahuan yang terbatas atau ketidakmampuan masyarakat untuk membahas isu
yang dianggap sensitif. Norma-norma budaya tertentu yang menghambat penanganan kasus
persetubuhan anak dapat terakar dalam pandangan patriarki atau struktur sosial yang
mendukung ketidaksetaraan gender. Adanya norma-norma ini dapat menciptakan lingkungan
yang mengekang bagi korban, membuat mereka enggan melaporkan kejadian atau mencari
bantuan.
Karena adanya latar belakang budaya yang sama, Resor di berbagai wilayah
menghadapi kesulitan yang serupa dalam menciptakan kesadaran, memerangi stigma, dan
menangani norma-norma budaya yang dapat menghambat penanganan kasus persetubuhan
anak. Oleh karena itu, upaya bersama untuk mendidik masyarakat, merubah pandangan
budaya yang merugikan, dan memperkuat dukungan bagi korban dapat menjadi langkah-
langkah penting dalam mengatasi tantangan yang serupa di seluruh wilayah.
Tindak pidana persetubuhan merupakan bagian dari kejahatan kesusilaan yang
umumnya melibatkan perbuatan atau tindakan yang melanggar norma-norma moral atau
kesusilaan. Tindak pidana ini dapat terjadi dengan sengaja atau tanpa persetujuan dari pihak
yang terlibat, di mana korban dapat menjadi objek paksaan, kebohongan, atau bujuk rayu.
Undang-undang umumnya mengancam sanksi pidana bagi pelaku yang melanggar ketentuan
tersebut.
Priska Eny Mbunga Wea, Tatok Sudjiarto, Djernih Sitanggang
2132 Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024
Lebih dari sekadar pelanggaran hukum terhadap hak individu, persetubuhan atau
perkosaan juga mencerminkan peristiwa kekerasan seksual yang dilakukan oleh laki-laki
terhadap perempuan. Latar belakang dari tindakan ini seringkali terkait dengan nilai-nilai
sosial dan budaya di masyarakat yang dapat menciptakan ketidaksetaraan gender. Perlu
dicatat bahwa pelecehan seksual tidak selalu termanifestasi dalam bentuk perkosaan atau
kekerasan seksual yang ekstrem.
Bentuk-bentuk kejahatan seksual dapat bervariasi, mulai dari perilaku menyelidiki
tubuh perempuan yang sedang berjalan, memandang dengan mata yang melecehkan, meraba-
raba bagian tubuh yang sensitif, menunjukkan gambar porno, dan lain sebagainya. Pendekatan
ini menggambarkan kompleksitas masalah kekerasan seksual, yang melibatkan rentang
perilaku yang bervariasi. Analisis ini mengacu pada pandangan Suyanto (2016), yang
menyoroti beragam bentuk kejahatan seksual dalam masyarakat
KESIMPULAN
Proses penegakan hukum terhadap pelaku Tindak Pidana Persetubuhan Terhadap anak,
dilakukan melalui kebijakan secara penal (Represif) dan non penal (Preventif) penanganan
secara penal dilakukan dengan cara menerima pengaduan dari masyarakat atau korban
pensetubuhan anak yang terjadi di wilayah Polres Manggarai yang selanjutnya Unit PPA
(Pelayanan Perempuan dan Anak) akan mengadakan proses penyidikan lebih lanjut terhadap
kasus yang telah terjadi serta mengumpulkan bukti-bukti dan saksi-saksi dalam perbuatan
tersebut. Sesuai dengan Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 , KUHP dan PERKAP No.14
Tahun 2012. Sementara proses penanganan secara non penal dilakukan dengan cara
pencegahan tanpa pidana (prevention without punisment). Untuk melakukan Tindakan Unit
PPA Polres Manggarai, bekerja sama dengan pihak lembaga lain, seperti Unit Bimmas Polres
Manggarai, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Dinas Sosial, Dinas Kesehatan.
Perkembangan teknologi informasi, peredaran serta akses video porno dan lingkungan
keluarga atau keseharian yang buruk. Kendala yang dihadapi oleh Unit PPA Polres Manggarai
dalam penegakan hukum kasus tindak pidana persetubuhan terhadap anak di wilayah hukum
Polres Manggarai, secara umum dalam hal saksi tindak pidana persetubuhan terhadap anak
adalah anak sebagai saksi korban sehingga sulit mendapatkan keterangan dari korban yang
memiliki trauma adapun ketentuan pembuktian dari saksi selain saksi korban (orang tua,
keluarga, atau teman korban) harus dikesampingkan, sehingga menjadi hambatan dalam
penyidikan kasus. Adapun kendala dalam Penerapan hukum pidana terhadap pelaku
persetubuhan anak dibawa umur (anak sebagai korban) di kepolisian Resor Manggarai yaitu
takut dan stigma korban, Keterbatasan Bukti, kurangnya Sumber Daya dan Tenaga Ahli dan
hambatan hukum dan normatif.
BIBLIOGRAFI
Ande, A. Nesti, M. S. (2021). Sejarah Kabupaten Manggarai Di Bawah Pemeritahan
Bupati Charolus Hamboer Tahun 1960-1967. Jurnal Sejarah, 18(1), 120.
Burhayan, B. (2021). Perlindungan Hukum Terhadap Anak Di Bawah Umur Korban
Persetubuhan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Atas Perubahan
Penerapan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Persetubuhan Terhadap Anak
Dibawah Umur (Anak Sebagai Korban) di Polres Manggarai
Syntax Idea, Vol. 6, No. 05, Mei 2024 2133
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Jurnal Hukum Tri
Pantang, 7(1), 5269.
Dejam, R. (2023). Perlindungan Hukum Dan Hambatan-Hambatan Yang Dihadapi Dalam
Kasus Anak Sebagai Korban Tindak Pidana Pencabulan Di Wilayah Hukum Kepolisian
Resor Manggarai Barat. Jurnal Hukum Online, 1(2), 133.
Harahap, F. I. S. … Ekaputra, M. (2023). Perlindungan Hukum Anak Sebagai Korban Tindak
Pidana Penculikan Dan Persetubuhan. Locus Journal Of Academic Literature Review,
333342.
Kapitan, A. Y. M. Sujana, I. N. (2020). Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang
Menjadi Korban Tindak Pidana Persetubuhan Di Bawah Umur. Jurnal Preferensi
Hukum, 1(2), 15.
Marzuki, P. M., & Sh, M. S. (2021). Pengantar Ilmu Hukum. Prenada Media.
Mniber, E. K. O. (2021). Analisis Yuridis Tindak Pidana Persetubuhan Anak Dibawah Umur
Wilayah Hukum Biak Numfor. Jurnal Ilmu Hukum Kyadiren, 3(1), 2133.
Nomor, U.-U. (23 C.E.). Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Noviardi, J. Bakir, H. (2021). Penerapan Unsur Tindak Pidana Persetubuhan Terhadap
Anak Yang Disebarkan Melalui Media Sosial Pada Penyidikan. Unes Journal Of Swara
Justisia, 5(3), 259266.
Pramukti, A. S. (2015). Sistem Peradilan Pidana Anak.
Rafigali, R. (2019). Akibat Hukum Penolakkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Menjadi Undang-Undang Yang Telah Mencabut Keberlakuan Undang-Undang.
Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau.
Sagala, E. (2018). Hak Anak Ditinjau Dari Hukum Dan Hak Asasi Manusia. Jurnal Ilmiah
Advokasi, 6(1), 1623.
Suharsimi, A. (2015). Suhardjono, & Supardi.(2015). Penelitian Tindakan Kelas.
Tongat, T. Wibowo, S. S. (2022). Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Persetubuhan
Dengan Kekerasan Pada Anak. Al-Manhaj: Jurnal Hukum Dan Pranata Sosial Islam,
4(2), 297306.
Wicaksono, D. (2024). Rekonstruksi Regulasi Penegakan Hukum Terhadap Anak Yang
Berhadapan Dengan Hukum Yang Sudah Kawin Berdasarkan Nilai Keadilan.
Universitas Islam Sultan Agung Semarang.
Zubaidah, Z., & Raharjo, S. (2022). Penegakan Hukum Tindak Pidana Persetubuhan Dengan
Korban Anak Dibawah Umur Ditinjau Dari Perspektif Viktimologi (Studi Kasus Di
Wilayah Hukum Polres Magelang). Kajian Hasil Penelitian Hukum, 5(2), 1627.
Copyright holder:
Priska Eny Mbunga Wea, Tatok Sudjiarto, Djernih Sitanggang (2024)
First publication right:
Syntax Idea
This article is licensed under: