Syntax Idea : p�ISSN: 2684-6853� e-ISSN : 2684-883X�����
Vol. 1, No. 4 Agustus 2019
�����������������������������������������������������������
PERILAKU
JURNALISTIK PROFETIK MEDIA SIBER DALAM MEWUJUDKAN MASYARAKAT MADANI (STUDI
FENOMENOLOGI DI KALANGAN WARAWAN MUSLIM PADA MEDIA SIBER DI KOTA BANDUNG)
Arief Permadi
Komunikasi
dan Penyiaran Islam Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati (SGD),
Email:
[email protected]
Abstrak
Penelitian ini fokus pada perilaku jurnalistik
profetik wartawan siber di Kota Bandung. Menggunakan metode kualitatif,
perilaku jurnalistik dibedah melalui tiga sisi yang menjadi pilar profetik,
yakni humanisasi, liberasi, dan transendensi. Hasilnya diketahui bahwa pada
perilaku jurnalistik, pilar profetik terwujud dalam nilai-nilai kemanusiaan
yang universal, kedisiplinan tabayyun,�
dan kesalehan. Namun, dari penelitian didapati fakta bahwa hal itu
ternyata masih belum dilakukan para jurnalis secara konsisten karena belum
maksimalnya faktor-faktor pendukung, mulai dari regulasi, pembinaan dan
pengawasan dari pemerintah dan lembaga-lembaga terkait, serta peran perusahaan
pers itu sendiri, baik dari sisi kebijakan redaksional maupun kemampuan dalam
memberikan gaji yang ideal. Inilah yang membuat para jurnalis belum sepenuhnya
dapat menjalankan peran mereka sebagai pilar penegak masyarakat madani.
Kata kunci:
perilaku, jurnalistik, profetik, madani
Pendahuluan
Baik-buruknya kualitas media
massa sangat ditentukan oleh kualitas para wartawannya. Melalui wartawanlah
fakta-fakta yang penting dan menarik bagi masyarakat dikumpulkan dan
direkonstruksi sebelum disebarluaskan melalui media massa. Ini pula yang
kemudian membuat perilaku jurnalistik wartawan, mulai dari peliputan,
pengolahan, dan penyebarluasanan berita menjadi sangat menentukan akan seperti
apa peristiwa ditampilkan di media massa.
Di
era siber, ketika kuantitas konten dan kecepatan tayangnya menjadi senjata
perusahaan media untuk bersaing dalam merebut pengunjung� situs (visitor),
penurunan kualitas berita hampir menjadi sebuah keniscayaan. Penonjolan
kuantitas berita sebagai upaya meraih visitor
membuat penurunan kualitas berita nyaris tak bisa dihindari. Berita-berita
dibuat asal jadi, tanpa terlalu mempedulikan kelengkapan, keakuratan, serta
struktur dan logika kalimat yang baik. Berita tak lagi dibuat dengan kaidah 5 W
plus 1 H, yakni what (apa yang
terjadi), when (kapan kejadiannya), where (di mana terjadinya), why (kenapa bisa terjadi), who (siapa yang terlibat), dan how (bagaimana), melainkan cukup dengan
3 W (what, where,dan why) saja, atau what, where, dan who
saja, atau aneka kombinasi lainnya tanpa harus lengkap 5 W plus 1 H.
Pasar
digital yang terus tumbuh dalam 20 tahun terakhir, termasuk di Indonesia,
memang menjadi seperti gula-gula yang sulit ditolak di era siber ini.� Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet
Indonesia (APJII) mencatat, pengguna internet di Indonesia pada 2017 telah
mencapai 142 juta jiwa dengan penetrasi sebesar 54,69 persen dari total
populasi. Data ini menunjukkan peningkatan yang signifikan dari survei serupa
tahun sebelumnya. Pengakses internet pada 2017 tumbuh 7,9 persen (APJII, 2017).
Namun,
dibanding sepuluh tahun sebelumnya, peningkatan jumlah pengakses internet 2017
ini mencapai lebih dari 700 persen. Padahal, pada tahun 2007, pengakses
internet di Indonesia baru sekitar 20 juta (APJII, 2017).
Pertumbuhan yang lebih
mencengangkan bahkan semakin terlihat saat jangka waktunya ditarik lagi sepuluh
tahun sebelumnya. Dibanding tahun 1998, pertumbuhan jumlah pengakses internet
di Indonesia mencapai 28.400 persen, dari hanya 500 ribu menjadi 142 juta (APJII, 2017).
Dalam
publikasi hasil surveinya, APJII juga menyebut mayoritas pengguna internet di
Indonesia adalah anak-anak muda. Survei ini mencatat, sebanyak 49,52 persen
pengguna internet di Tanah Air adalah mereka yang berusia 19 hingga 34 tahun.
Posisi kedua diduduki� usia 35 hingga 54
tahun, yakni 29,55 persen. Posisi ketiga ditempati mereka yang beusia 13 hingga
18 tahun, yakni 16,68 persen. Terakhir, orang tua yang berusia di atas 54
tahun, yakni 4,24 persen (APJII, 2017).
Angka-angka
ini menunjukkan bahwa pangsa pasar media massa siber juga mayoritas adalah anak
muda. Pasar anak muda ini membuat semua media juga berlomba mengemas
produk-produk beritanya agar kompatibel dengan karakter anak-anak muda yang
khas. Bukan saja pada konten beritanya, tapi juga pada pola pengemasannya.
Grafik 1
Usia Pengguna Internet di Indonesia 2017
����� ���������������������Sumber Data: APJII
UC Browser (Kai,
2016)
dalam hasil survei yang mereka publikasikan tahun 2016 menyebut, 95,4 persen
pengguna internet di Indonesia membaca konten-konten berita dari telepon
pintar. Sebanyak 45,9 persen lainnya juga mengakses berita dari televisi,
namun hanya 20,9 persen yang masih mengakses berita-berita dari majalah atau
koran (Sety, 2016).
Kondisi seperti ini membuat semua
media online mau tidak mau harus
meningkatkan konsentrasinya pada telepon cerdas. Mereka harus mengupayakan
segala cara untuk membuat produknya kompatibel dengan telepon cerdas. Sebab,
semua media online yang tidak membuat produknya kompatibel dengan telepon
cerdas akan dengan segera jauh tertinggal dari media online lainnya.
Namun, ikhtiar perusahaan media
siber untuk meraih sebanyak-banyaknya visitor,
kemudian juga menjadi persoalan karena kecenderungannya untuk bermuara pada
upaya memproduksi berita-berita yang bisa dengan mudah terindeks oleh mesin
pencari.�� Berita yang terindeks mesin
pencari menjadi signifikan karena hal itu dipercaya akan meningkatkan peluang
berita untuk dibaca orang, yang pada gilirannya akan memperbesar kemungkinan
orang mengunjungi alamat website yang
memuat berita tersebut. Ini pula, yang kemudian mendorong media massa siber
saling berlomba untuk bisa tampil pada halaman pertama Google, mesin pencari terbesar yang banyak dipergunakan.
Dampaknya, para jurnalis media
siber akhirnya cenderung tak lagi menulis berita dengan kaidah jurnalistik yang
benar, melainkan dengan kriteria-kriteria yang memungkinkan beritanya bisa
dengan mudah terindeks Google.
Rangkaian kalimat dalam berita� tak lagi
disusun dengan menggunakan konsep 5 W plus 1 H sebagai konsep dasar
jurnalistik, melainkan dengan kata-kata kunci berdasarkan optimasi mesin
pencari atau lebih dikenal dengan sebutan SEO (search engine optimization).
Media
massa perkembang begitu cepat. Seiring dengan majunya perkembangan dunia
digital komuniasi dan informasi, masyarakat kini lebih mudah untuk mengakses
berbagai informasi dari manapun. Hal ini menyebabkan kompleksitas masalah yang
disebabkan oleh faktor eksternal seperti budaya asing, menjadi lebih kuat dan
meningkan dari masa sebelumnya (Nuruzzaman, 2018). Media
sosial membuat masyarakat tak lagi hanya bisa berperan sebagai pengakses, tapi juga
pemberi informasi. Kemudahan
mengakses dan membagi informasi ini membuat informasi-informasi yang shahih, kerap tercampur baur dengan informasi-informasi
bohong bahkan fitnah, dan beragam informasi lainnya yang dikemas dengan beragam
bingkai (frame) dan motifnya.
Sampai
di titik ini, informasi yang benar kemudian menjadi sesuatu yang sulit untuk
dikenali. Di sisi lain, media massa yang seharusnya menjadi rujukan ke-shahih-an sebuah informasi justru juga
mulai terecoki oleh aneka kepentingan, baik semata bisnis, politik, maupun
ideologi.
Di tengah kondisi seperti inilah,
kesadaran profetik para jurnalis muslim diharapkan berperan dalam melahirkan
karya-karya jurnalistik� yang baik, yang
bukan saja informatif dan memiliki manfaat praktis bagi masyarakat, tapi juga
memberi pencerahan dan menjadi sarana untuk semakin mendekatkan diri pada Tuhan.
Kesadaran yang berujung pada produk-produk jurnalistik yang profetik inilah,
yang kemudian juga diharapkan dapat ikut mendorong terciptanya perubahan
perilaku masyarakat ke arah yang lebih baik, membentuk tatanan masyarakat yang
kemudian dikenal sebagai masyarakat madani, yakni masyarakat yang berperadaban
tinggi berlandaskan ajaran Islam (Madjid, 1996).
Metode Penelitian
Penelitian tentang perilaku
jurnalistik profetik wartawan muslim pada media siber di Kota Bandung dilakukan
dengan menggunakan paradigma interpretif.
Dalam paradigma interpretif, perilaku jurnalistik
profetik wartawan muslim pada media siber di Kota Bandung dilihat sebagai
sesuatu yang holistik, tidak terpisah-pisah satu dengan lainnya, kompleks,
dinamis, penuh makna, dan hubungan antargejala bersifat timbal balik (reciprocal), bukan kausalitas (Rahardjo, 2018). Wartawan dipandang sebagai makhluk yang berkesadaran dan bersifat
intensional dalam bertindak. Perilaku jurnalistiknya dipandang sebagai sesuatu
yang dinamis, berproses dan penuh makna subjektif.�
Pendekatan yang dipergunakan pada
penelitian tentang perilaku jurnalistik profetik wartawan media siber di Kota
Bandung ini adalah pendekatan fenomenologi. Berdasar pendekatan ini pula
penelitian mengenai perilaku jurnalistik profetik wartawan muslim pada era
siber lebih ini menekankan pada bagaimana pengalaman wartawan dalam menjalani
aktifitas jurnalistiknya di media siber serta bagaimana mereka memaknai
pengalamannya itu.
Penelitian ini menggunakan metode
kualitati (Lexy, 2002). Metode
ini dianggap tepat untuk dipergunakan untuk meneliti perilaku jurnalisme
profetik wartawan muslim pada media siber di Kota Bandung. Melalui penggunaan
metode ini diharapkan dapat dihasilkan temuan-temuan yang tidak dapat dicapai
dengan menggunakan prosedur statistik. Alasan inilah yang membuat metode ini
diyakini cocok untuk dipergunakan dalam penelitian tentang kehidupan
masyarakat, sejarah, tingkah laku, fungsional organisasi, peristiwa tertentu,
atau pergerakan sosial,� termasuk dalam
hal ini soal perilaku jurnalisme profetik wartawan muslim pada media siber di
Kota Bandung (Sukidin, 2002).
Subjek dalam penelitian yang
dilakukan selama selama enam bulan sejak Februari 2019 ini adalah wartawan
media siber di Kota Bandung, yang dipilih dengan menggunakan teknik bola salju
(snowballing).� Newman mengatakan, snowballing adalah teknik untuk mengidentifikasi, memilih dan
mengambil sampel dalam suatu jaringan atau rantai hubungan yang menerus (Neuman & Kreuger, 2003). Menggunakan
teknik ini, subjek penelitian dipilih melalui proses bergulir dari satu
wartawan siber yang satu ke wartawan siber yang lain.� Wartawan terpilih akan merujuk wartawan
lainnya untuk menjadi subjek penelitian berikutnya, begitu seterusnya hingga
datanya jenuh. Ukuran kejenuhan data ditandai dengan tidak diperolehnya lagi
data atau informasi baru.
Hasil dan
Pembahasan
Penelitian
ini fokus pada perilaku jurnalistik profetik wartawan media siber dalam
mewujudkan masyarakat madani.� Dalam
penelitian ini, perilaku jurnalistik profetik wartawan muslim yang bekerja pada
media siber di Kota Bandung dibedah melalui tiga sisi yang menjadi pilar profetik,
yakni humanisasi, liberasi, dan transendensi.
Dari
hasil penelitian diketahui bahwa� sekalipun
mayoritas informan masih asing dengan istilah jusnalisme profetik, pilar-pilar
profetik, yakni humanisasi (amar ma'ruf),
liberasi (nahi munkar), dan transendensi
(tu'minu billah),� sejatinya telah mewarnai keseharian kerja
jurnalistik mereka. Hal ini tergambar, bukan saja melalui jawaban para informan
atas pertanyaan yang diajukan, tapi juga dari observasi partisipan, yang dalam
beberapa sisi mengonfirmasi kebenaran pengakuan para informan.
Hasil wawancara dan pengamatan
langsung terhadap para informan dalam penelitian ini menghasilkan beberapa
temuan.�
1)
Dimensi humanisasi pada perilaku
jurnalistik para jurnalis siber yang menjadi subjek penelitian dicirikan oleh
tiga perilaku, yakni to educated (mengedukasi),
prosperity (mendukung terciptanya
kesejahteraan manusia), dan human dignity
(menjaga martabat kemanusiaan). Sebagai makhluk Tuhan, setiap manusia
hakikatnya memiliki persamaan derajat, persamaan hak,� dan kewajiban yang sama. Dalam rdaksional ang
lebih ringkas, ketiga perilaku dalam dimensi humanisasi ini tak lain merupakan
penjabaran� dari nilai-nilai kemanusiaan
yang universal. Nilai-nilai yang juga tumbuh, berkembang, dan terlindungi dalam
masyarakat madani.
2)
Dimensi liberasi pada perilaku
jurnalistik para jurnalis siber yang menjadi subjek penelitian dicirikan oleh
enam perilaku, yakni senantiasa menjunjung tinggi kebenaran (truth), berimbang� (balance),
tidak berpihak (impartialiy), adil� (fairness), objektif (objective), dan berperan aktif dalam
menciptakan perdamaian (peace). Dalam
redaksional yang lebih singkat, keenam hal ini tak lain merupakan penerapan
konsep tabayyun.� Dengan demikian, dalam konteks jurnalistik
profetik, tabayyun memiliki makna
yang lebih luas, bukan saja soal disiplin verifikasi, tapi juga meliputi
terpenuhinya unsur-unsur keberimbangan,�
ketidakberpihakan,� keadilan,� objektivitas,�
dan perdamaian. Namun seperti keberimbangan,� ketidakberpihakan,� keadilan,�
objektivitas,� dan perdamaian
dalam perilaku jurnalistik profetik bukanlah keberimbangan,� ketidakberpihakan,� keadilan,�
objektivitas,� dan perdamaian yang
telanjang, melainkan sudah dikemas sedemikian rupa dan hanya disebarluaskan
dengan tujuan untuk memberikan kebaikan yang sebesar-besarnya untuk masyarakat
yang seluas-luasnya.
3)
Dimensi transendensi pada
perilaku jurnalistik para jurnalis siber yang menjadi subjek penelitian
dicirikan dua perilaku yakni�
akuntabilitas (acuntability),
dan spriritualitas (sprirituality).
Ini tak lain adalah bentuk kesalehan, yang tak hanya bersifat sosial, tapi juga
vertikal. Ini sejaklan dengan apa yang diungkap (Kahmad, 2011) agama tidak
hanya berdimensi ritual-vertikal (hablun
minallah), tetapi juga mencakup dimensi sosial-horizontal (hablun minannas). Menurutnya, agama
tidaklah sekadar mengurus persoalan ibadah-ritual (iman) untuk pembentukan kesalehan individual (private morality), namun yang terpenting dari itu adalah perwujudan
iman dalam pembentukan kesalehan sosial. Ia mengatakan, kesalehan individual
tak akan memiliki makna apapun jika tidak dapat menciptakan kesalehan dalam
realitas sosialnya. Inilah, yang menurut Dadang Kahmad, menjadi makna hakiki
dari kehidupan beragama. Oleh karena itu, kata Dadang, sikap keberagamaan yang
tidak melahirkan kesalehan dalam dimensi sosial, dengan sendirinya akan
kehilangan maknanya yang hakiki.
Pada
perilaku jurnalistik profetik, kesalehan sosial para jurnalis ditandai adanya
kesadaran bahwa apapun peristiwanya, produk berita yang mereka hasilkan harus
memberikan banyak manfaat dan kebaikan yang sebesar-besarnya bagi
seluas-luasnya masyarakat. Dalam konsep profetik, produk jurnalistik adalah
sesuatu yang bukan saja harus dipertanggung-jawabkan pada diri sendiri dan
masyarakat, tapi juga kepada Tuhan.
Merujuk pada uraian di atas,
jurnalistik profetik dapat pula diterjemahkan sebagai jurnalistik yang
senantiasa melandaskan perilakunya pada nilai-nilai kemanusiaan yang universal
(humanisasi), mengedepankan tabayyun (liberasi),
dan memiliki kesalehan, baik kesalehan secara vertikal maupun kesalehan sosial
(transendensi).
Nilai-nilai kemanusiaan yang
universal, budaya tabayyun, dan
kesalehaan vertikal maupun kesalehan sosial inilah yang diyakini akan
melahirkan masyarakat yang unggul, yakni masyarakat yang literate, egaliter, tasamuh, taat hukum, dan menghargai
kemajemukan. Oleh karena itu menjadi tepat bahwa melalui jurnalistik yang
profetik, sangat terbuka bagi para jurnalis media siber untuk menjalankan peran
pers sebagai pilar penegak masyarakat madani.
Namun, peran pers sebagai pilar
penegak masyarakat madani ini sulit terwujud tanpa adanya regulasi yang sesuai
seiring perkembangan teknologi siber yang sangat cepat, serta pembinaan dan
pengawasan yang terus menerus dari pemerintah dan lembaga-lembaga terkait,
seperti� Dewan Pers, persatuan-persatuan
wartawan seperti Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen
Indonesia (AJI), dan lain-lain. Peran ini juga tetap sulit terwujud tanpa
adanya iklim dan kebijakan perusahaan media yang mendukung yang disertai
tingkat penggajian yang ideal. Itu sebabnya, sekalipun para jurnalis media
siber di Kota Bandung telah memiliki kesadaran yang tinggi terhadap nilai-nilai
humanisasi, liberasi, dan transendensi dalam perilaku jurnalistiknya,
masyarakat madani yang dicita-citakan masih sulit terwujud karena belum
terpenuhinya faktor-faktor pendukung seperti disebut di atas.�
�����������
Kesimpulan
Para jurnalis di
Kota Bandung belum konsisten menerapkan prinsip-prinsip profetik dalam perilaku
jurnalistiknya karena belum maksimalnya faktor-faktor pendukung, seperti
regulasi, pembinaan dan pengawasan dari pemerintah dan lembaga-lembaga terkait,
serta peran perusahaan pers itu sendiri, baik dari sisi kebijakan redaksional
maupun kemampuan dalam memberikan gaji yang ideal, sehingga masih sulit bagi
mereka untuk menjalankan perannya sebagai pilar penegak masyarakat madani.
Berdasarkan simpulan di atas, ada beberapa hal yang
dapat direkomendasikan dari hasil penelitian ini.
1.
Mendorong pemerintah untuk
membuat regulasi yang sesuai seiring perkembangan teknologi siber yang sangat
cepat.
2.
Mendorong pemerintah dan
lembaga-lembaga terkait, seperti Dewan Pers, persatuan-persatuan wartawan
seperti Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen
Indonesia (AJI), dan lain-lain untuk melakukan pembinaan dan pengawasan yang
terus menerus, baik pada perusahaan media maupun kepada para jurnalis.
3.
Mendorong perusahaan media untuk
terus meningkatkan dukungannya terhadap perilaku profetik wartawannya, baik
dalam kebijakan redaksional maupun kebijakannya dalam memberikan gaji yang
ideal.
4.
Mendorong perguruan tinggi
berbasis Islam sebagai lembaga yang menghasilkan jurnalis-jurnalis muskim untuk
menjadikan prinsip-prinsip jurnalime profetik sebagai panduan dalam menyusun
program pengajaran yang lebih detail dan up to date dalam disiplin ilmu
jurnalistik. Dengan demikian, selain menghasilkan wartawan-wartawan yang unggul
dan cakap dalam bidangnya, juga memiliki jiwa profetik seperti yang diajarkan
para nabi dan rasul.
�
BIBLIOGRAFI
APJII. (2017). Hasil Survei_ Penetrasi dan Perilaku_ Pengguna Internet
Indonesia. Retrieved September 24, 2018, from
https://www.apjii.or.id/content/read/39/342/Hasil-Survei-Penetrasi-dan-Perilaku-Pengguna-Internet-Indonesia-2017.
Kahmad, D. H. (2011). Sosiologi agama: potret agama dalam dinamika
konflik, pluralisme dan modernitas. Pustaka Setia.
Kai, Q. (2016, August 2). Electronic display with animated graphical
user interface. Google Patents.
Lexy, J. M. (2002). Metode penelitian kualitatif. Bandung: Rosda Karya.
Madjid, N. (1996). Menuju Masyarakat Madani. Ulumul Qur�an, 2(7),
51�55.
Neuman, W. L., & Kreuger, L. (2003). Social work research methods:
Qualitative and quantitative approaches. Allyn and Bacon.
Nuruzzaman, M. (2018). TERORISME DAN MEDIA SOSIAL SISI GELAP BERKEMBANGNYA
TEKNOLOGI INFORMASI KOMUNIKASI. Syntax Literate; Jurnal Ilmiah Indonesia,
3(9), 61�76.
Rahardjo, M. (2018). Paradigma
Interpretif. (UIN Malang). Retrieved from
http://repository.uin-malang.ac.id/2437/1/2437.pdf
Sety, A. W. (2016). Pengguna Internet.
Sukidin, D. (2002). Manajemen Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta:
Insan Cendekia.