Spiritualitas Ekologis dalam Agama-Agama di Indonesia dan Kaitannya Dengan
Universitas Atma Jaya Yogyakarta Sebagai Salah Satu “Universitas Laudato SI”
Syntax Idea, Vol. 6, No. 04, April 2024 1827
kehilangan biodiversitas, keruntuhan ekosistem dan perubahan iklim. Saya dulu berpikir
bahwa selama tiga puluh tahun sains yang baik dapat dialamatkan pada ketiga
permasalahan ini. Teryata saya salah. Permasalahan lingkungan yang paling puncak
ialah egoisme, ketamakan, dan sikap apatis, dan untuk berurusan dengan ini semua kita
membutuhkan suatu transformasi kultural dan spiritual. Dan kita para ilmuan tidak tahu
bagaimana untuk melakukannya.” (Crockett, 2014)
Spiritualitas Ekologis dalam Berbagai Agama di Indonesia
Indonesia mengenal setidak-tidaknya enam agama besar yang dianggap resmi
yaitu Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, dan Konghucu berdasarkan Surat
Keputusan (SK) Menteri Agama Republik Indonesia Nomor MA/12/2006 (Watra, 2020,
p. 24). Di samping keenam agama resmi tersebut, terdapat pula agama-agama asli yang
dihayati berbagai daerah seperti Kejawen di Jawa, Permalim di Sumatera, dan
Kaharingan di Kalimantan. Pada 7 November 2017, Mahkamah Konstitusi (MK)
Indonesia mengubah status agama asli yang dulu dianggap bukan agama menjadi setara
dengan agama-agama resmi lainnya (Arroisi, Badi, Perdana, & Mafaza, 2018, p. 138).
Bagi agama-agama asli, bumi merupakan pusat dari spiritualitasnya. Tujuan yang ingin
dicapai pada umumnya ialah keselarasan antara Tuhan atau dewa-dewi Pencipta,
manusia, dan alam semesta. Salah satu contoh konret peran agama asli menjaga
keutuhan alam ciptaan dewasa ini ialah kelompok masyarakat Desa Beji, Kecamatan
Ngawen, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia.
Masyarakat Desa Beji tersebut berhasil melestarikan hutan Wonosadi. Masyarakat
tersebut mempertahankan kelestarian Hutan Wonosadi karena mereka berpegang pada
prinsip, “sing paring urip, sapa sing nguri-urip, lan sapa sambekalaning urip” yang
artinya bahwa mereka menghayati alam semesta sebagai pihak yang memberikan hidup,
yang menjadi sumber penghidupan, tetapi sekaligus dapat mencelakakan hidup mereka
(Suliantoro, 2014, p. 60). Berlandaskan kepercayaan tersebut, masyarakat Desa Beji
menyelaraskan antara aspek ekonomi dan ekologi dalam memanfaatkan hutan, yaitu
dengan mengupayakan pemanfaatan hutan dengan sesedikit mungkin merusak alam
(Suliantoro, 2014). Sikap tersebut diperkuat pula dengan kepercayaan terhadap roh-roh
para leluhur terutama sosok yang bernama Pangeran Onggo Loco yang tinggal di dalam
hutan, sehingga masyarakat terdorong untuk menghormati hutan dan menjaga
kelestariannya terdorong oleh kepercayaan tersebut beserta berbagai acara adat dan
keagamaan yang dilakukan di sana (Suliantoro, 2014).
Dalam agama Islam menurut pandangan Fazlun Khalid dalam tulisan berjudul
“Islam, Ecology and the World Order”, terdapat empat prinsip dalam Al-Quran yang
menjadi dasar relasi hubungan antara manusia dan alam, yaitu tawhid, fitrah, mizan, dan
khalifah (Encep, Anwar, & Febriani, 2021, p. 124). Konsep tawhid didasarkan atas
Alquran yaitu Hûd/11:2, ar-Rûm/30:26, al-Baqarah/2:213, dan an-Nisâ/4:1. Konsep ini
berbicara tentang keesaan Allah dan keyakinan bahwa alam semesta berasal dari Allah
yang sama sehingga saling terhubung satu sama lain. Berdasarkan konsep ini, alam
dihayati merupakan satu bagian dengan manusia karena semuanya berasal dari Pencipta