How to cite:
Roberto Reno (2024) Spiritualitas Ekologis dalam Agama-Agama di Indonesia dan Kaitannya
Dengan Universitas Atma Jaya Yogyakarta Sebagai Salah Satu “Universitas Laudato SI, (06) 04,
https://doi.org/10.36418/syntax-idea.v3i6.1227
E-ISSN:
2684-883X
Published by:
Ridwan Institute
SPIRITUALITAS EKOLOGIS DALAM AGAMA-AGAMA DI INDONESIA
DAN KAITANNYA DENGAN UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA
SEBAGAI SALAH SATU “UNIVERSITAS LAUDATO SI”
Roberto Reno
Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Indonesia
Abstrak
Tulisan ini dimulai dengan pemahaman umum tentang spiritualitas ekologis. Bagian
selanjutnya menguraikan gambaran spiritualitas ekologis dalam agama-agama di
Indonesia: Islam, Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu, dan Agama Asli. Dokumen
ensiklik "Laudato Si" oleh Paus Fransiskus mewakili pandangan Katolik. Dilanjutkan
dengan penerapan spiritualitas ekologis di Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY)
berdasarkan wawancara dengan Prof. Ir. Ignatius Pramana Yuda, M.Si. Ph.D., dan
angket mahasiswa. Penelitian ini gabungan kuantitatif dan kualitatif, memanfaatkan
kuesioner, wawancara narasumber, dan kepustakaan. Data dikumpulkan melalui
kuesioner daring dan wawancara dengan Prof. Ignatius Pramana Yuda sebagai
narasumber utama. Hasil penelitian melibatkan 147 mahasiswa UAJY dari berbagai
agama. Mayoritas Katolik (44,9%), Kristen Protestan (41,5%), dan Islam (10,2%).
Mayoritas responden menganggap diri mereka religius (76,9%) dan memahami ajaran
agama (87,1%). Sebagian besar merasakan pengaruh ajaran agama terhadap sikap
lingkungan (82,9%), tetapi sedikit yang membaca "Laudato Si" (28,6%). UAJY
bertujuan menjadi "Universitas Laudato Si". Kebijakan dan kegiatan yang dijalankan,
seperti Smart Water System, efisiensi energi, dan materi perkuliahan, menunjukkan
komitmen UAJY terhadap tujuan tersebut. Melalui pertobatan ekologis, agama
memainkan peran penting dalam merawat lingkungan. "Laudato Si" dan komitmen
UAJY adalah contoh nyata penerapan spiritualitas ekologis dalam tindakan nyata,
mencerminkan tanggung jawab manusia terhadap ciptaan Tuhan.
Kata kunci: Spiritualitas ekologis; Ensiklik “Laudato Si’”; pertobatan ekologis.
Abstract
This paper begins with a general understanding of ecological spirituality. The next
section outlines a picture of ecological spirituality in Indonesian religions: Islam,
Christianity, Hinduism, Buddhism, Confucianism, and Indigenous Religions. The
encyclical document "Laudato Si" by Pope Francis represents the Catholic view.
Followed by the application of ecological spirituality at Atma Jaya University
Yogyakarta (UAJY) based on interviews with Prof. Ir. Ignatius Pramana Yuda, M.Si.
Ph.D., and student questionnaires. This research is a combination of quantitative and
qualitative, utilizing questionnaires, interviews, and literature. Data was collected
through an online questionnaire and an interview with Prof. Ignatius Pramana Yuda as
the main speaker. The results of the study involved 147 UAJY students from various
JOURNAL SYNTAX IDEA
pISSN: 2723-4339 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 6, No. 04, April 2024
Spiritualitas Ekologis dalam Agama-Agama di Indonesia dan Kaitannya Dengan
Universitas Atma Jaya Yogyakarta Sebagai Salah Satu “Universitas Laudato SI”
Syntax Idea, Vol. 6, No. 04, April 2024 1823
religions. The majority were Catholic (44.9%), Protestant Christians (41.5%), and
Muslims (10.2%). The majority of respondents consider themselves religious (76.9%)
and understand religious teachings (87.1%). Most felt the influence of religious
teachings on environmental attitudes (82.9%), but few read "Laudato Si" (28.6%).
UAJY aims to be the "University of Laudato Si". Policies and activities carried out,
such as Smart Water System, energy efficiency, and lecture materials, demonstrate
UAJY's commitment to these goals. Through ecological conversion, religion plays an
important role in caring for the environment. "Laudato Si" and UAJY's commitment are
vivid examples of the application of ecological spirituality in concrete actions,
reflecting man's responsibility towards God's creation
Keywords: Ecological spirituality; Encyclical "Laudato Si'"; Ecological conversion.
PENDAHULUAN
Akhir-akhir ini marak terjadi bencana alam di Indonesia. Berdasarkan data dari
Badan Nasional Penanggulangan Banjir (BNPB) sudah terjadi 3.318 bencana alam di
Indonesia sepanjang 2022 (Annur, 2022). Data tersebut menunjukkan bahwa sebagian
besar, yaitu 1.420 atau 42,8%, dari bencana alam tersebut merupakan banjir. Banjir
tersebut rupanya tidak terlepas dari penyebab utamanya, yaitu jumlah debit air yang
terlalu banyak dalam suatu daerah, salah satu penyebabnya ialah curah hujan yang
ekstrim yang mencapai 989 kejadian di Indonesia. Cuaca ekstrim juga berdampak pada
bentuk bencana alam lain, yaitu tanah longsong, yang kasusnya berjumlah 608 kejadian.
Berbeda dari bentuk bencana alam lainnya, banjir sebenarnya juga dapat disebabkan
oleh kelalaian manusia yang kurang berhasil dalam mengatur tata perkotaan sehingga
kurang memperhatikan pembuangan air ketika hujan deras terjadi. Kondisi ini pun
diperparah dengan praktek penebangan pohon serta penggundulan hutan secara
berlebihan sehingga mengurangi kemampuan tanah untuk menyerap air ketika hujan
terjadi.
Fenomena maraknya kejadian banjir ini merupakan salah satu indikator yang
menunjukkan lunturnya kehendak masyarakat di banyak daerah untuk merawat serta
menjaga kelestarian alam serta lingkungan di sekitarnya (Hudha & Rahardjanto, 2018).
Di banyak daerah, kecenderungan ini ditampakkan dalam tiga gejala, yaitu gigantisme,
privatisasi lahan, dan indicator fasilitas kota (Alauddin et al., 2021, p. 10). Fenomena
gigantisme mengacu pada kecenderungan masyarakat untuk membangun gedung-
gedung dalam ukuran yang sangat besar, sepeti pusat perbelanjaan, perkantoran, dan
apartemen. Gedung-gedung ini tidak hanya membutuhkan lahan serta sumber daya alam
dalam ukuran besar, tetapi juga membatasi interaksi penghuninya dengan unsur alam
seperti tanah, rerumputan, pohon, dan hewan. Privatisasi lahan mengacu pada fenomena
semakin berkurangnya ruang terbuka hijau (RTH) di daerah perkotaan. Adapun RTH
merupakan lahan yang disediakan oleh pemerintah untuk ditanami pepohonan serta
tumbuhan lainnya sehingga dapat menyerap air hujan serta menyaring udara yang
tercemar oleh polusi (Rachma, 2019). Kini, pemerintah cenderung menjual lahan
tersebut kepada pihak swasta yang lekas mengubahnya menjadi perkantoran,
perumahan, atau pusat bisnis lainnya sehingga lebih memiliki nilai ekonomis, tetapi
Roberto Reno
1824 Syntax Idea, Vol. 6, No. 04, April 2024
akibat yang ditimbulkan ialah berkurangnya RTH tersebut sehingga menimbulkan
meningkatnya polusi dan bencana alam. Indikator fasilitas kota menunjukkan semakin
berkurangnya kualitas tata kelola perkotaan sehingga kurang memperhatikan sistem
pengelolaan air hujan serta sampah di kota. Akibat yang ditimbulkan ialah sampah yang
semakin menumpuk di berbagai tempat pembuangan sementara (TPS) di berbagai titik
dari kota tersebut serta maraknya perisitwa banjir akibat air hujan tidak dialirkan dengan
baik.
Penanganan teknis memang dibutuhkan untuk mengatasi berbagai persoalan
tersebut, tetapi di samping itu diperlukan pula upaya untuk membentuk sikap
keperdulian masyarakat terhadap lingkungan di sekitarnya. Agama merupakan salah
satu daya yang unggul dalam hal membangun semangat ekologis, sebagaimana
diungkapkan Roger S. Gottlieb dalam buku A Greener Faith, “Religion is now leading
voice telling us to respect the earth, love our nonhuman as well as our human neighbors,
and think deeply about our social policies and economic priorities.” (Ellingson, 2022, p.
9). Agama-agama mengajarkan kepada manusia bahwa alam semesta merupakan
ciptaan dari sosok Ilahi dan manusia diberi tugas untuk menjaga serta merawatnya, di
samping menguasai (dalam arti memahami) dan mempergunakannya bagi
keberlangsungan hidup manusia. Segenap pemahaman tersebut termuat dalam
spiritualitas ekologis, yang keberadaanya melintasi batasan-batasan dogmatis yang
terdapat dalam agama-agama.
Universitas Atma Jaya Yogyakarta merupakan salah satu universitas swasta di
Indonesia yang berdiri sejak 1965. Dalam Upacara Dies Natalis ke-57 pada 27
September 2022, Prof. Ir. Yoyong Arfiadi, M.Eng., Ph.D., menyatakan bahwa
Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY) akan menjadi salah satu dari “Universitas
Laudato Si’” . Dengan demikian Universitas Atma Jaya Yogyakarta berkomitmen untuk
menjadi salah satu institusi pendidikan tinggi yang secara aktif menerapkan dan
mengintegrasikan prinsip-prinsip dari ensiklik Laudato Si’ yang dikeluarkan oleh Paus
Fransiskus. Sebagai Univeristas Laudato Si’”, UAJY berkomitmen untuk
mempromosikan kesadaran lingkungan, keberlanjutan, dan keadilan sosial dalam
pendidikan, penelitian, dan tindakan di seluruh komunitas kampus. Hal ini mencakup
pengembangan kurikulum yang mencerminkan nilai-nilai lingkungan, penyelenggaraan
kegiatan-kegiatan lingkungan, serta penelitian dan inovasi untuk menemukan solusi-
solusi yang berkelanjutan terhadap tantangan lingkungan.
Tulisan ini akan diawali dengan pemahaman mengenai spiritualitas ekologis
secara umum. Bagian selanjutnya memaparkan gambaran umum mengenai spiritualitas
ekologis yang terdapat dalam agama-agama di Indonesia, yaitu Islam, Kristen, Hindu,
Buddha, Konghucu, dan Agama Asli. Secara spesifik pandangan agama Katolik akan
diwakili oleh dokumen ensiklik berjudul “Laudato Si” yang ditulis oleh Paus
Fransiskus. Pada bagian selanjutnya akan dibahas mengenai penerapan spiritualitas
ekologis tersebut di lingkungan Universitas Atma Jaya Yogyakarta berdasarkan
wawancara dengan salah satu dosen di UAJY, yaitu Prof. Ir. Ignatius Pramana Yuda,
Spiritualitas Ekologis dalam Agama-Agama di Indonesia dan Kaitannya Dengan
Universitas Atma Jaya Yogyakarta Sebagai Salah Satu “Universitas Laudato SI”
Syntax Idea, Vol. 6, No. 04, April 2024 1825
M.Si. Ph.D. dan angket terhadap beberapa mahasiswa. Tulisan ini akan diakhiri dengan
rangkuman singkat dan penutup.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dan kualitatif deskriptif yang
dilakukan dengan cara memadukan kuestioner, wawancara narasumber (key informant
interview), dan kepustakaan. Pengumpulan data dilakukan lewat kuesioner dan depth-
interview dengan cara memberi pertanyaan mengenai Universitas Atma Jaya
Yogyakarta sebagai “Universitas Laudato Si’”. Depth-interview dilakukan secara
terbatas dengan satu narasumber, yaitu Prof. Ir. Ignatius Pramana Yuda, M.Si. Ph.D
selaku dosen di UAJY dan ketua Tim Laudato Si UAJY. Hasil depth-interview menjadi
data yang cukup penting karena dari depth-interview dapat digali makna dari
“Universitas Laudato Si’dan bagaimana proses UAJY menjadi “Universitas Laudato
Si’” berdasarkan pendidikan dan kegiatan keagaamaan para mahasiswa di UAJY.
Peneliti ini memilih obyek dan lokasi penelitian di Universitas Atma Jaya
Yogyakarta, karena penelitian ini berorientasi pada peningkatan proses penghayatan
spiritualitas ekologis berdasarkan ensiklik Paus Fransiskus Laudato Si’”. Mahasiswa
pantas dijadikan obyek penelitian, karena mereka adalah generasi muda yang
diharapkan menjadi kendali dan agen perubahan dalam mewujudkan kehidupan yang
selaras dengan spiritualitas ekologis yang terdapat dalam agama-agama. Populasi
responden dalam penelitian ini adalah semua mahasiswa yang mengambil mata kuliah
pendidikan agama semester gasal di Fakultas Teknobiologi , Program Studi Biologi dan
Program Studi Teknologi Pangan, serta dua kelas dari Fakultas Bisnis Ekonomika T.A
2023/2024 yang berjumlah 147. Sedang data yang digunakan adalah data primer yang
diperoleh melalui kuisioner dan depth-interview, dan data sekunder yang diperoleh dari
studi kepustakaan.
Data yang diperoleh akan dianalisa dengan metode kuantitatif, karena tertuju pada
analisa masalah dan refleksi atas pemahaman serta penghayatan spritualitas ekologis
dalam agama-agama. Artinya dalam penelitian ini akan ditunjukkan bahwa spiritualitas
ekologis terdapat dalam berbagai agama dapat menjadi dasar dalam upaya mengatasi
krisis ekologis yang terdapat dalam dunia dewasa ini. Data akan dianalisis dengan
menggunakan pandangan kritis dari Paus Fransiskus yang menekankan “pertobatan
ekologis”. Dari hasil analisa data diharapkan dapat mengungkapkan tujuan penelitian.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengertian Spiritualitas Ekologis
Spiritualitas ekologis pada dasarnya merupakan peralihan dari agama yang
mengabaikan alam semesta menuju kesadaran yang bertumbuh bahwa umat manusia
memiliki perannya di dalam alam semesta, serta menyadari dan merasakan bahwa umat
manusia tidak melawan alam semesta, melainkan merupakan bagian dari alam semesta
tersebut (Sponsel, 2014, p. 1718). Menurut Lynn White, Jr. ekologi’ (ecology) sebagai
suatu istilah muncul pada 1873 di Inggris (White, 1967, p. 1203). Penemuan tersebut
Roberto Reno
1826 Syntax Idea, Vol. 6, No. 04, April 2024
tak bis dilepaskan dari latar belakang sejarah abad ke-18, ketika berbagai macam
penemuan di bidang kimia dan agrikultur semakin mampu untuk meningkatkan
produksi tanaman yang dibudidayakan oleh manusia. Meskipun demikian, ditemukan
pula dampak yang merusak dari penemuan tersebut yaitu kerusakan alam yang
berdampak pada kemusnahan spesies makhluk hidup. Fenomena ini tampak misalnya
pada kepuhanan aurorochs eropa (Bos primigenius) pada akhir 1627 akibat perburuan
secara berlebihan.
Secara sederhana, spiritualitas ekologis menghayati bahwa demi mengatasi isu-isu
lingkungan seperti kemusnahan spesies hewan dan binatang, pemanasan global, serta
konsumsi berlebihan, manusia perlu menyadari dan meninjau kembali kepercayaan dan
sikap terhadap bumi yang yang mendasarinya serta tanggung jawab spiritual manusia
terhadap bumi. Spiritualitas ekologis sejatinya bertentangan dengan dua ekstrim.
Ekstrim yang pertama ialah “business as usual” (BAU) (Ollinaho, 2022). Pandangan ini
menganggap bahwa manusia tidak perlu memusingkan kerusakan alam yang
ditimbulkan oleh tindakan eksploitasi yang dilakukan terhadap alam demi
keberlangsungan hidup manusia. Salah satu figur yang mewakili pandangan ini ialah
mantan presiden USA, Donald J. Trump yang mengatakan dalam Twitter tanggal 6
Desember 2013 bahwa global warming merupakan suatu hoaks, “Ice storm rolls from
Texas to Tennessee I’m in Los Angeles and it’s freezing. Global warming is a total,
and very expensive, hoax!” (President Trump Won’t Say if He still Thinks Climate
Change Is a Hoax. Here’s Why, time.com 27 September 2017) Sejalan dengan
pandangan ini, manusia akan menemukan cara baru untuk beradaptasi dengan dampak
yang ditimbulkan oleh eksploitasi manusia, misalnya dengan teknologi, obat-obatan,
atau pindah ke planet lain ketika bumi sudah dirasa tidak mampu mendukung kehidupan
manusia. Sisi ekstrim lainnya yaitu enviromentalisme eksrim. Golongan ini melakukan
tindakan ekstrim demi mengekspresikan sikap mereka yang menentang perusakan alam
yang dilakukan oleh korporasi atau masyarakat. Salah satu fenomena yang terjadi
sampai sekarang ialah kelompok “tree-sitters”. Salah satu contoh yang terkenal ialah
Julia Butterfly Hill yang menghabiskan 738 hari duduk di atas sebatang pohon di
California Redwood demi memprotes penggundulan hutan di sana yang berakhir pada
2006. Selain itu, ada pula aksi duduk di atas pohon selama 932 hari dari 2018 hingga
2021 untuk memprotes pembangunan Jalur Pipa Mountain Valley (Hammack, n.d.).
Spiritualitas ekologis sejatinya merupakan jalan tengah di samping kedua ekstrim
tersebut. Spiritualitas ekologis bukan berarti tidak menaruh kepedulian sama sekali
terhadap persoalan lingkungan dengan dalih bahwa perubahan sebesar apapun tidak ada
artinya jika dibandingkan dengan kerusakan alam yang terlanjur terjadi. Itu juga bukan
berarti melakukan tindakan yang membahayakan keselamatan diri dan mengganggu
ketertiban umum demi menyuarakan keprihatinan terhadap permasalah lingkungan.
Spiritualitas ekologis lebih merupakan perubahan cara pandang, atau lebih tepatnya
“pertobatan ekologis” yang lebih bersifat spiritual. Salah satu ungkapan yang mewakili
pandangan tersebut diutarakan oleh Gus Speth, Penasihat Amerika Serikat di bidang
perubahan iklim, “Saya pernah berpikir bahwa permasalahan lingkungan terutama ialah
Spiritualitas Ekologis dalam Agama-Agama di Indonesia dan Kaitannya Dengan
Universitas Atma Jaya Yogyakarta Sebagai Salah Satu “Universitas Laudato SI”
Syntax Idea, Vol. 6, No. 04, April 2024 1827
kehilangan biodiversitas, keruntuhan ekosistem dan perubahan iklim. Saya dulu berpikir
bahwa selama tiga puluh tahun sains yang baik dapat dialamatkan pada ketiga
permasalahan ini. Teryata saya salah. Permasalahan lingkungan yang paling puncak
ialah egoisme, ketamakan, dan sikap apatis, dan untuk berurusan dengan ini semua kita
membutuhkan suatu transformasi kultural dan spiritual. Dan kita para ilmuan tidak tahu
bagaimana untuk melakukannya.” (Crockett, 2014)
Spiritualitas Ekologis dalam Berbagai Agama di Indonesia
Indonesia mengenal setidak-tidaknya enam agama besar yang dianggap resmi
yaitu Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, dan Konghucu berdasarkan Surat
Keputusan (SK) Menteri Agama Republik Indonesia Nomor MA/12/2006 (Watra, 2020,
p. 24). Di samping keenam agama resmi tersebut, terdapat pula agama-agama asli yang
dihayati berbagai daerah seperti Kejawen di Jawa, Permalim di Sumatera, dan
Kaharingan di Kalimantan. Pada 7 November 2017, Mahkamah Konstitusi (MK)
Indonesia mengubah status agama asli yang dulu dianggap bukan agama menjadi setara
dengan agama-agama resmi lainnya (Arroisi, Badi, Perdana, & Mafaza, 2018, p. 138).
Bagi agama-agama asli, bumi merupakan pusat dari spiritualitasnya. Tujuan yang ingin
dicapai pada umumnya ialah keselarasan antara Tuhan atau dewa-dewi Pencipta,
manusia, dan alam semesta. Salah satu contoh konret peran agama asli menjaga
keutuhan alam ciptaan dewasa ini ialah kelompok masyarakat Desa Beji, Kecamatan
Ngawen, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia.
Masyarakat Desa Beji tersebut berhasil melestarikan hutan Wonosadi. Masyarakat
tersebut mempertahankan kelestarian Hutan Wonosadi karena mereka berpegang pada
prinsip, “sing paring urip, sapa sing nguri-urip, lan sapa sambekalaning urip” yang
artinya bahwa mereka menghayati alam semesta sebagai pihak yang memberikan hidup,
yang menjadi sumber penghidupan, tetapi sekaligus dapat mencelakakan hidup mereka
(Suliantoro, 2014, p. 60). Berlandaskan kepercayaan tersebut, masyarakat Desa Beji
menyelaraskan antara aspek ekonomi dan ekologi dalam memanfaatkan hutan, yaitu
dengan mengupayakan pemanfaatan hutan dengan sesedikit mungkin merusak alam
(Suliantoro, 2014). Sikap tersebut diperkuat pula dengan kepercayaan terhadap roh-roh
para leluhur terutama sosok yang bernama Pangeran Onggo Loco yang tinggal di dalam
hutan, sehingga masyarakat terdorong untuk menghormati hutan dan menjaga
kelestariannya terdorong oleh kepercayaan tersebut beserta berbagai acara adat dan
keagamaan yang dilakukan di sana (Suliantoro, 2014).
Dalam agama Islam menurut pandangan Fazlun Khalid dalam tulisan berjudul
“Islam, Ecology and the World Order”, terdapat empat prinsip dalam Al-Quran yang
menjadi dasar relasi hubungan antara manusia dan alam, yaitu tawhid, fitrah, mizan, dan
khalifah (Encep, Anwar, & Febriani, 2021, p. 124). Konsep tawhid didasarkan atas
Alquran yaitu Hûd/11:2, ar-Rûm/30:26, al-Baqarah/2:213, dan an-Nisâ/4:1. Konsep ini
berbicara tentang keesaan Allah dan keyakinan bahwa alam semesta berasal dari Allah
yang sama sehingga saling terhubung satu sama lain. Berdasarkan konsep ini, alam
dihayati merupakan satu bagian dengan manusia karena semuanya berasal dari Pencipta
Roberto Reno
1828 Syntax Idea, Vol. 6, No. 04, April 2024
yang sama, yaitu Allah. Fitrah, yang diasari atas ar-Rûm/30:30, berarti bahwa manusia
terikat dengan hukum-hukum Allah karena dia merupakan bagian kecil dari rangkaian
sistem penciptaan Allah yang terdiri dari beragam makhluk. Ikatan tersebut menjadikan
manusia memiliki pemahaman tentang kodratnya sendiri dan kesadaran bahwa tindakan
manusia merusak alam berlawanan dengan kodratnya tersebut. Konsep mizan
didasarkan atas ar-Rahmân/55:1-13, mengajarkan bahwa semua makhluk diciptakan
Allah dengan tujuan dan perannya masing-masing. Keberadaan setiap unsur di alam
membentuk keseimbangan sehingga manusia harus menghargai keberadaan makhluk
hidup lain yang berperan dalam menjaga keseimbangan hidup. Konsep terakhir yaitu
khalifah didasarkan pada al-An’âm/6:165, al-Isrâ/17:70, al-A’râf/7:181. Berdasarkan
konsep ini, manusia memegang peranan penting dalam karya penciptaan Allah sebab
dia menjadi wakil Allah di bumi untuk menjaga keberlangsungan hidup serta
keseimbangan alam semesta di bumi.
Dalam agama Kristen, diyakini bahwa Allah menciptakan bumi beserta segala
isinya berdasarkan kisah penciptaan yang terdapat dalam Kitab Kejadian (Kej. 1-3).
Secara spesifik, Allah memberi mandate kepada manusia untuk ‘menguasai’ ciptaan-
Nya, Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukanlah itu,
berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang
yang merayap di bumi” (Kej. 1:28). Pada mulanya hidup manusia dalam keadaan yang
baik serta serba tercukupi, namun kondisi tersebut berubah ketika manusia yang
pertama jatuh pada dosa asal (Kej. 3:1-24). Salah satu teolog Kristen Protestan yang
menekankan pelestarian lingkungan sebagai bagian integral dari panggilan rohani
Kristen adalah Dr. John Raymer W. Stott, seorang pengkhotbah dari Inggris. Stott
mendorong umat Kristen untuk mengintegrasikan keperdulian lingkungan ke dalam
praktek iman mereka. Dia percaya bahwa perawatan lingkungan adalah bagian dari
panggilan rohani Kristen, karena mencerminkan tanggung jawab sebagai pengelola
ciptaan Tuhan. Dalam menafsirkan Kej. 2:15, Stott menyebutkan bahwa manusia
ditempatkan di taman Eden untuk mengurus dan menjaganya. Dia juga menyoroti
hubungan erat antara pelestarian lingkungan, keadilan sosial, dan kasih terhadap
sesama, yang semuanya merupakan nilai-nilai Kristiani yang mendasar. Stott
menekankan bahw atindakna untuk menjaga lingkungan adalah bentuk pengabdian
kepada Tuhan dan cinta kepada sesama. Dia mengajak umat Kristen untuk berperan
aktif dalam pelestarian alam, baik melalui tindakan individual maupun partisipasi dalam
upaya-upaya kolektif untuk melindungi bumi. Menurutnya, melalui tindakan ini, kita
dapat menghormati ciptaan Tuhan, menjalankan panggilan rohani Kristen, dan
memperlihatkan kasih kepada sesama saat ini dan generasi yang akan datang.
Dalam agama Hindu, konsep pelestarian lingkungan terkait erat dengan ajaran-
ajaran spiritual dan filsfat Hindu. Beberapa gagasan utama yang mendasari pandangan
Hindu tentang pelestarian lingkungan sebagai bagian dari panggilan rohani di antaranya
konsep dharma, saling keterkaitan, ahimsa, dan siklus reinkarnasi. Konsep dharma
merupakan salah satu konsep dasar dalam Hinduisme. Konsep tersebut mengajarkan
kewajiban dan tindakan yang benar untuk dilakukan oleh seluruh umat manusia.
Spiritualitas Ekologis dalam Agama-Agama di Indonesia dan Kaitannya Dengan
Universitas Atma Jaya Yogyakarta Sebagai Salah Satu “Universitas Laudato SI”
Syntax Idea, Vol. 6, No. 04, April 2024 1829
Merawat lingkungan dipandang sebagai bagian dari Dharma, karena itu membawa
harmoni, keseimbangan, dan keadilan bagi seluruh ciptaan. Mengenai konsep saling
keterkaitan, HInduisme mengajarkan bahwa seluruh alam semesta adalah satu kesatuan
yang saling terkait. Manusia dianggap sebagai bagian integral dari alam, bukan pemilik
atau penguasa yang absolut. Oleh karena itu, menjaga lingkungan merupakan wujud
penghargaan dan penghormatan terhadap keberadaan yang lebih besar, yaitu Sang
Pencipta. Konsep “ahimsa” pada dasarnya berarti nonkekerasan. Dengan mempraktikan
ahimsa umat Hindu dipanggil untuk tidak menyebabkan kerusakan atau penderitaan
terhadap sesama, termasuk alam semesta. Hinduisme juga meyakini adanya reinkarnasi,
yaitu kepercayaan yang mengatakan bahwa jiwa manusia akan terus-menerus lahir ke
dunia fisik. Kesadaran akan siklus reinkarnasi tersebut memotivasi umat Hindu untuk
bertindak dengan bijaksana terhadap alam, karena tindakan mereka saat ini akan
mempengaruhi kehidupan mereka sendiri di masa yang akan datang.
Agama Buddha mendasarkan sikap etis terhadap lingkungan hidup melalui
beberapa ajaran keagamaanya, yaitu keterkaitan dan keseimbangan, prinsip kehidupan,
pelepasan, dan keseimbangan dalam kehidupan. Ajaran Buddha menekankan bahwa
semua fenomena di alam semesta saling terkait dan berada dalam keseimbangan.
Manusia dianggap sebagai bagian dari alam dan memiliki tanggung jawab moral untuk
menjaga keseimbangan alam semesta dengan menghormati dan merawat lingkungan.
Buddha juga mengajarkan prinsip kehidupan yang didasarkan pada tidak menyebabkan
penderitaan dan menghormati semua bentuk kehidupan. Dengan memperlakukan alam
dengan penuh rasa hormat dan tidak menyebabkan kerusakan padanya, umat Buddha
menjalankan ajaran ini secara langsung. Ajaran Buddha juga menyoroti pentingnya
melepaskan diri dari egoisme dan keserakahan yang memicu eksploitasi alam. Dengan
mengembangkan sikap ketidaksia-sentris, umat Buddha akan cenderung merawat
lingkungan dan menghindari perilaku yang merusaknya. Mengenai keseimbangan
dalam kehidupan, umat Buddha melihat hubungan antara keberadaan manusia dengan
alam semesta. Dengan memelihara keseimbangan kehidupan mereka, umat Buddha
dapat mempraktikkan pelestarian lingkungan sebagai bagian dari jalan spiritual mereka.
Agama Konghuchu (Confucianisme) mendasarkan pelestarian lingkungannya
dalam beberapa konsep, yaitu harmoni dengan alam, etika dan moralitas, “junzi”, dan
pendidikan dan pemuliaan. Agama Konghuchu menekankan pentingnya menciptakan
harmoni dengan alam dan menghormati siklus alam semesta. Manusia dianggap sebagai
bagian dari alam dan memiliki tanggung jawab untuk hidup selaras dengan alam, bukan
menentangnya. Agama Konghucu menekankan pentingnya etika dan moralitas dalam
kehidupan manusia. Ini mencakup tanggung jawab moral untuk menjaga dan merawat
lingkungan alam sebagai wujud penghormatan terhadap keseluruhan ciptaan. Melalui
konsep “junzi”, seorang Konghuchu ingin memiliki karakter moral yang baik dan
bertindak dengan penuh kebijaksanaan serta integritas. Seorang yang memiliki “junzi”
juga diharapkan memiliki kepedulian terhadap lingkungan dan berperan sebagai
pengelola yang bijaksana atas sumber daya alam. Agama Konghucu juga mengajarkan
pentingnya pendidikan dan pemuliaan sebagai sarana untuk mencapai kebijaksanaan
Roberto Reno
1830 Syntax Idea, Vol. 6, No. 04, April 2024
dan moralitas. Melalui pendidikan yang tepat , umat Konghucu diharapkan memahami
pentingnya pelestarian lingkungan sebagai bagian dari panggilan rohani dan tanggung
jawab moral mereka.
Spiritualitas Ekologis dalam Laudato Si
Ensiklik Laudato Si merupakan surat amanat yang ditulis oleh Paus
Fransiskus pada 24 Mei 2015 dan diterbitkan untuk pertama kalinya pada 18 Juni 2015.
Judul “Laudato Si” berasal dari bahasa italia yang berarti “Terpujilah Engkau”
merupakan penggalan dari madah yang digubah oleh Santo Fransiskus Asisi (1182-
1226). Versi panjang dari bait yang dikutip ialah “Laudato Si, mi Signore” (Terpujilah
Engkau, Tuhanku). Santo Fransiskus Asisi merupakan orang kudus dalam Gereja
Katolik yang memiliki spiritualitas yang begitu mendalam terhadap alam ciptaan. Santo
Fransiskus menghayati bumi, matahari, bulan, air, tumbuhan, hewan, serta segenap
penghuni alam semesta sebagai saudara dan saudarinya yang sama-sama memuliakan
Sang Pencipta, yaitu Tuhan.
Ensiklik “Laudato Si” ditulis menjelang Conference of Parties ke-21 (COP21)
di Paris pada 30 November hingga 11 Desember 2015. Konferensi yang membahas
perubahan iklim ini diikuti oleh 150 pemimpin negara serta 40.000 delegasi dari 195
negara. Konferensi ini bertujuan untuk menyepakati upaya yang memiliki ikatan hukum
yang bertujuan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan menekan kenaikan suhu
global kurang dari 2 derajat Celcius dbandingkan suhu global sebelum era
industrialisasi (Kotan, 2015). Melalalui dokumen ini, Paus hendak menyuarakan
argumen teologisnya untuk menekankan pentingnya gerakan mengatasi perubahan iklim
dan merawat lingkungan hidup beserta manusia yang mendiaminya. Paus
mengungkapkan keprihatinannya terhadap bumi yang “sekarang menjerit karena segala
kerusakan yang telah kita timpakan padanya, karena penggunaan dan penyalahgunaan
kita yang tidak bertanggung jawab atas kekayaan yang telah diletakkan Allah di
dalamnya” (Fransiskus, 2016, no. 2). Oleh sebab itu, Paus menyuarakan perlunya suatu
bentuk dialog yang baru “tentang bagaimana kita membentuk masa depan planet kita.
Kita memerlukan percakapan yang melibatkan semua orang, karena tantangan
lingkungan yang kita alami, dan akar manusiawinya menyangkut dan menjadi
keprihatinan kita semua.” (Fransiskus, 2016). Paus melihat bahwa gerakan ekologis
yang selama ini diupayakan masih kurang berhasil “tidak hanya karena perlawanan dari
mereka yang kuat, tetapi juga karena kurangnya minat dari yang lain” (Fransiskus,
2016). Oleh sebab itu, Paus mengajak setiap orang untuk berperan bersama dalam karya
pemeliharaan Allah sesuai dengan budaya, pengalaman, prakarsa, dan bakatnya masing-
masing.
Paus mengawali pembahasan dalam ensiklik ini dengan berpijak pada penelitian
ilmiah mengenai kondisi bumi yang sebenarnya. Paus merumuskan bahwa akar dari
tindakan manusia yang menyebabkan kerusakan alam ialah rapidacion (bahasa Spanyol
yang berarti ‘percepatan), artinya kecenderungan manusia yang ingin memperoleh hasil
secara instan dan dalam jumlah yang besar. Ini bertentangan dengan ritme alamiah yang
Spiritualitas Ekologis dalam Agama-Agama di Indonesia dan Kaitannya Dengan
Universitas Atma Jaya Yogyakarta Sebagai Salah Satu “Universitas Laudato SI”
Syntax Idea, Vol. 6, No. 04, April 2024 1831
lambat dan membutukan proses yang panjang (LS 18). Di samping itu, sikap
eksploitatif yang dilakukan manusia tidak selalu ditujukan untuk kesejahteraan umum
dan pengembangan kemanusiaan, melainkan untuk memenuhi hasrat diri. Sikap ini
kemudian mengakibatkan lima hal yaitu polusi dan perubahan iklim, pencemaran dan
kelangkaan air, hilangnya keanekaragaman hayati, penurunan kualitas hidup manusia
dan kemerosotan sosial, dan ketimpangan global. Pertama, “budaya membuang” tidak
hanya limbah yang dihasilkan dari proses produksi yang menimbulkan pencemaran,
tetapi juga terhadap sesama manusia “yang dikucilkan” (LS 22). Kedua, permasalahan
air terdiri dari pencemaran air dan privatisasi sumber daya air. Sulitnya akses kepada air
bersih bagi masyarakat miskin mengakibatkan banyaknya kematian akibat penyakit
seperti disentri dan kolera (LS 29). Sementara itu di sisi lain, privatisasi sumber daya air
semakin kuat untuk keperluan industri maupun komersialisasi (LS 30). Ketiga,
kehilangan keanekaragaman hayati tidak hanya dilihat sebagai hilangnya sumber daya
yang berguna bagi kehidupan manusia tetapi juga terganggunya keseimbangan alam
karena hilangnya peran yang seharusnya diambil oleh berbagai spesies makhluk hidup
dalam ekosistem lingkungannya (LS 33). Keempat, perkembangan di berbagai bidang
seperti ekonomi dan IPTEK ternyata tidak serta-merta mendukung perkembangan
kemanusiaan secara integral dan meningkatkan kualitas hidup manusia, karena ternyata
berdampak pada kemerosotan sosial dan putusnya hubungan sosial antarpribadi (LS 46).
Kelima, segenap permasalahan ini akhirnya menimbulkan ketimpangan dan
ketidakadilan antara negara-negara maju yang eksploitatif dengan negara-negara
berkembang yang menanggung dampak ekologis dan sosial dari sikap eksploitatif
tersebut (LS 51). Melihat kelima masalah tersebut, Paus menyoroti bahwa negara-
negara masih memberikan tanggapan yang kurang memadai terhadap persoalan tersebut
karena menilai bahwa politik global masih tunduk terhadap teknologi dan keuangan
sehingga, secara tidak disadari atau tidak, bukannya mendukung gerakan-gerakan
kemasyarakatan yang mengharapkan perubahan dan kehidupan yang lebih baik tetapi
justru menjegalnya (LS 54). Meskipun demikian, Paus tetap membuka diri terhadap
pandangan yang berbeda dan didasari oleh penemuan yang dapat
dipertanggungjawabkan tetapi terus mendorong untuk membuka mata, pikiran, dan hati
terhadap tanda-tanda kerusakan yang ada di bumi (LS 61).
Apabila ditelaah lebih lanjut, pertanyaan yang muncul kemudian ialah apa yang
mendasari manusia melakukan tindakan ‘percepatan’ tersebut. Paus merumuskan bahwa
akar dari permasalahan kemanusiaan yang terjadi ialah paradigma teknokratis dan
antroposentrisme modern. Paradigma teknokratis melihat bahwa segala persoalan dalam
hidup manusia dapat dijawab oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
padahal kenyataannya teknologi justru membuat manusia memiliki kuasa yang terlalu
besar dan cenderung untuk menyalahgunakannya karena terdorong oleh egosentrisme
(LS 105). Permasalahan lanjutan dari paradigma teknokratis ini ialah bahwa pandangan
ini menuntut “cara manusia menerima teknologi dan perkembangannya menurut suatu
paradigma yang seragam dengan hanya satu sudut pandang” (LS 106). Akar
permasalahan yang berkaitan dengan paradigma teknokratis ialah antroposentrisme
Roberto Reno
1832 Syntax Idea, Vol. 6, No. 04, April 2024
modern. Antroposentrisme modern berarti bahwa manusia melihat bahwa segala sesuatu
di dunia ada untuk kepentingan manusia, sehingga nilai intrinsik dari bumi menjadi
melamah dan manusia keluar dari posisinya yang sejati (LS 115). Manusia memahami
konsep ‘tuan’ atas bumi dan segala isinya sebagai penguasa dan bukan “pengelola yang
bertanggung jawab” (LS 116). Kecenderungan ini diperkuat oleh relativisme praktis
yang menghilangkan nilai intrinsik dari seluru ciptaan melainkan “yang memandang
segala hal tidak relevan jika tidak melayani kepentingan langsung orang itu sendiri” (LS
122). Pandangan ini pun berdampak pada kemanusiaan, yaitu tren mekanisasi dalam
industri dewasa ini yang cenderung menggantikan tenaga kerja manusia dengan mesin
(LS 127). Oleh sebab itu, Paus mendorong perkembangan teknologi yang tetap menjaga
martabat manusia dan seluruh makhluk hidup serta keutuhan ciptaan (LS 130). Konsep
ekologi yang dipromosikan oleh Paus bersifat integral, yaitu mencakup aspek
lingkungan, ekonomi, sosial, budaya dan hidup sehari-hari.
Sumbangan khas dari Paus Fransiskus dalam dokumen “Laudato Si” ialah apa
yang ia sebut sebagai “pertobatan ekologis” (LS 216). Paus menjelaskan pertobatan
ekologis berati “membiarkan seluruh buah perjumpaan mereka dengan Yesus Kristus
berkembang dalam hubungan mereka dengan dunia di sekitar mereka” (LS 217).
Dengan demikian, Paus Fransiskus mengatakan bahwa perlindungan lingkungan tidak
hanya masalah teknis atau kebijakan birokratis, melainkan juga masalah moral dan
spiritual yang membutuhkan perubahan sikap dan perilaku dari individu dan masyarakat
secara keseluruhan. Pertobatan ekologis melibatkan kesadaran akan dampak negatif
yang ditimbulkan oleh perilaku manusia terhadap lingkungan, serta komitmen untuk
mengubah pola pikir dan tindakan agar lebih sejalan dengan prinsip-prinsip keadilan,
keberlanjutan, dan kepedulan terhadap alam sebagai ciptaan Tuhan. Ini juga mencakup
pengakuan atas “dosa-dosa ekologis”, yaitu kegagalan manusia dalam merawat dengan
baik bumi yang merupakan rumah bersama. Paus Fransiskus menekankan bahwa
pertobatan ekologis harus menjadi bagian integral dari konversi spiritual seluruh umat
manusia, yang melibatkan perubahan dalam cara memandang dan berinteraksi dengan
alam serta komitmen untuk mengambil tindakan nyata dalam menjaga dan merawat
lingkungan. Dengan demikian, pertobatan ekologis menurut Paus Fransiskus merupakan
panggilan untuk mengubah pola pikir, sikap, dan perilaku kita agar lebih sejalan dengan
nilai-nilai lingkungan dan moralitas yang diperlukan untuk melindungi bumi sebagai
bagian rumah bersama.
Universitas Atma Jaya Yogyakarta sebagai “Universitas Laudato Si’”
Wawancara dengan Prof. Ir. Ignatius Pramana Yuda, M.Si., Ph.D dilaksanakan
pada Senin, 11 Desember 2023 pada pukul 10.29 10.59 bertempat di Lab Teknobio
Spiritualitas Ekologis dalam Agama-Agama di Indonesia dan Kaitannya Dengan
Universitas Atma Jaya Yogyakarta Sebagai Salah Satu “Universitas Laudato SI”
Syntax Idea, Vol. 6, No. 04, April 2024 1833
Lingkungan UAJY. Dalam wawancara tersebut dapat disimpulkan bahwa pokok
bahasan Prof. Pramana Yuda berkisar pada krisis lingkungan hidup yang dihadapi Bumi
saat ini. Ia menekankan keterkaitan isu-isu lingkungan seperti perubahan iklim,
hilangnya keanekaragaman hayati, dan dampaknya terhadap kemanusiaan, khususnya
komunitas yang terpinggirkan. Ia juga menyoroti kurangnya kesadaran dan terbatasnya
kesadaran masyarakat umum mengenai dampak lingkungan dari pilihan sehari-hari
mereka, seperti konsumsi makanan dan pengemasan. Selain itu, ia membahas peran
agama, khususnya pengaruh Laudato Si, dalam meningkatkan kesadaran ekologis dan
mendorong pola pikir spiritual ekologis. Secara keseluruhan, Bapak Pramana
menggarisbawahi pentingnya mengatasi permasalahan lingkungan dan perlunya
perubahan pola pikir dan perilaku menuju keberlanjutan ekologi.
Mengenai Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY) sebagai “Universitas
Laudato Si’” Prof. Pramana Yuda mengatakan ajaran yang terdapat dalam ensiklik
“Laudato Si’” hendak diintegrasikan dengan pelaksanaan tridharma perguruan tinggi
serta kebijakan konkret yang diupayakan oleh Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Dari
segi pengajaran, terdapat matakuliah tertentu yang dikaitkan dengan spiritualitas
ekologis, misalnya matakuliah hukum lingkungan di fakultas hukum, serta matakuliah
pendidikan agama yang memuat pengajaran tentang spiritualitas ekologis. Dari segi
penelitian, berbagai penelitian telah diupayakan dengan mengangkat isu kemiskinan dan
inklusifitas yang selaras dengan tujuan ensiklik “Laudato Si’”. Pengabdian kepada
masyarakat diupayakan dalam bentuk penyuluhan serta penanaman pohon. Terkait
kebijakan di kampus, Prof. Praman Yuda mengatakan bahwa sudah terdapat berbagai
kebijakan terkait pengurangan sampah plastik, pengadaan Smart Water Station untuk
mengisi botol minum mahasiswa sehingga tidak perlu membeli air minum kemasan
sekali pakai, penggunaan lampu hemat energi, serta training of trainer (TOT) ekologis
untuk mahasiswa yang bergerak dalam kegiatan “Kampus Sadar Lingkungan”. Ke
depannya, UAJY akan mengupayakan berbagai kebijakan lainnya seperti pengelolaan
air hujan untuk keperluan sehari-hari di lingkungan kampus serta pemasangan solar
panel untuk mendukung pemakaian listrik di kampus. Akhirnya, Prof. Pramana Yuda
juga menekankan peran pendidikan agama dalam memperkenalkan dan menanamkan
spiritualitas ekologis terhadap mahasiswa, yaitu dengan membentuk pola pikir
mahasiswa dan terwujud menjadi pengetahuan, kebiasaan hidup, budaya pelestaria,
budaya inklusif, serta saling menghargai dengan ciptaan lainnya. Sikap ini tidak ekslusif
menjadi milik agama Katolik, melainkan spiritualitas dalam hidup beragama secara
umum.
Pendapat mawasiswa diperoleh dengan meneliti 147 mahasiswa Universitas
Atma Jaya Yogyakarta yang mengikuti perkuliahan Pendidikan Agama pada Semester
Genap Tahun Ajaran 2023/2024. Penelitian tersebud dilakukan dengan menyebarkan
angket daring melalui Google Form pada 3 - 9 Desember 2023. Mahasiswa yang
menjawab angket tersebut, sebagai para responden, pada umumnya beragama Katolik
(44,9%), selebihnya beragama Kristen Protestan (41,5%), Islam (10,2%), Hindu (1,4%),
Buddha (1,4%), dan Konghuchu (0,7%). Pada umumnya, para responden menilai diri
Roberto Reno
1834 Syntax Idea, Vol. 6, No. 04, April 2024
mereka sendiri merupakan pribadi yang cukup religius (76,9%) dan cukup memahami
ajaran agamanya sendiri (87,1%). Sebagian besar responden (74,1%) mengakui bahwa
dalam agamanya terdapat ajaran atau doktrin yang berkaitan dengan alam ciptaan.
Responden pada umumnya mengakui bahwa ajaran agamanya cukup berpengaruh
(41,5%) atau bahkan sangat berpengaruh (41,5%) dalam sikap mereka terhadap
lingkungan dalam kehidupan sehari-hari. Tetapi sangat disayangkan bahwa pada
umumnya responden mengetahui tetapi belum pernah membaca dokumen ensiklik
“Laudato Si’” (63,9%) sedangkan yang pernah membacanya lebih sedikit (28,6%). Pada
umumnya mahasiswa sudah mengetahui bahwa Universitas Atma Jaya Yogyakarta
mencanangkan untuk menjadi salah satu “Universitas Laudato Si’” (nilai 8 dari 30,6%
responden). Adapun beberapa kebijakan Universitas Atma Jaya Yogyakarta untuk
mewujudkan “Universitas Laudato Si’” di antaranya Smart Water System, efisiensi
penggunaan lampu di gedung kampus, kegiatan-kegiatan yang membahas ensiklik
“Laudato Si’”, serta materi perkuliahan yang berkaitan dengan ensiklik Laudato Si’”.
Responden pada umumnya (95,2%) juga telah mengupayakan “pertobatan ekologis”
dalam kehidupannya sehari-hari.
KESIMPULAN
Fenomena benacana alam yang terjadi di Indonesia dan berbagai negara di dunia
merupakan salah satu bukti bahwa ketidakperdulian manusia terhadap kelestarian
lingkungan berdampak pada keberlangsungan hidupnya sendiri. Penanganan teknis
terhadap isu tersebut tidaklah cukup apabila tidak disertai pula dengan penanaman
spiritualitas ekologis melalui ajaran agama. Agama yang ada di Indonesia yaitu Islam,
Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Buddha, Konghuchu, serta Agama Asli mengajarkan
kepada umatnya akan identitasnya sebagai ciptaan Tuhan serta peran yang mesti
diembannya untuk merawat serta menjaga kelestarian alam ciptaan. Salah satu dokumen
spiritual yang menjadi dasar dari sikap merawat lingkungan hidup ialah ensiklik
“Laudato Si’” yang ditulis oleh Paus Fransiskus, pemimpin agama Katolik sedunia saat
ini. Dalam ensiklik tersebut, Paus Fransiskus mengajarkan kepada umatnya serta umat
manusia pada umumnya untuk menghayati pertobatan ekologis, yaitu menjadikan
perjumpaan dengan Yang Ilahi berdampak terhadap sikap umat manusia terhadap
sesama ciptaan, termasuk di dalamnya alam semesta. Berlandaskan semangat “Laudato
Si’” tersebut, Universitas Atma Jaya Yogyakarta menjadi salah satu universitas yang
ingin menjadi “Universitas Laudato Si’”. Melalui kebijakan UAJY serta aktivitas
mahasiswa, semakin mengarahkan dan mewujudkan Universitas Atma Jaya Yogyakarta
menjadi “Universitas Laudato Si
BIBLIOGRAFI
Alauddin, Muhammad A., Putri, Addin K., Abdurrahim, Ali Y., Pribandono, Alif A.,
Andriano, Luciano D., Kurniawati, Dwi, & Masruroh, Binti. (2021). Ecological
damage and individualistic behavior: A study on the urban crisis in Surakarta City.
IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 716(1).
https://doi.org/10.1088/1755-1315/716/1/012129
Annur, Cindy Mutia. (2022). Sebanyak 3 . 318 Bencana Alam Terjadi di Indonesia
sampai Awal Desember 2022.
Spiritualitas Ekologis dalam Agama-Agama di Indonesia dan Kaitannya Dengan
Universitas Atma Jaya Yogyakarta Sebagai Salah Satu “Universitas Laudato SI”
Syntax Idea, Vol. 6, No. 04, April 2024 1835
Arroisi, Jarman, Badi, Syamsul, Perdana, Martin Putra, & Mafaza, Ahmad Tauhid.
(2018). Problematika Aliran Kepercayaan dan Kebatinan sebagai Agama Asli
Indonesia. Fikri: Jurnal Kajian Agama, Sosial Dan Budaya, 3(December), 138
155. https://doi.org/10.25217/jf.v6i2.1739
Crockett, Daniel. (2014). Nature Connection Will Be the Next Big Human Trend.
Encep, Anwar, Hamdani, & Febriani, Nur Afiyah. (2021). Ekospiritual: Relasi Alam
dan Manusia dalam Pandangan Berbagai Agama. Jurnal Sosial Dan Budaya Syar-I,
8(1), 120. https://doi.org/10.15408/sjsbs.v9i3.26465
Fransiskus, Paus. (2016). Ensiklik Paus Fransiskus Laudato Si’. In Seri-Dokumen-
Gerejawi-No-98-LAUDATO-SI-1.
Hammack, Laurence. (n.d.). Judge orders tree-sitters down after more than 2 years.
Hudha, Atok Miftachul, & Rahardjanto, Abdulkadir. (2018). Etika Lingkungan (Teori
dan praktik pembelajarannya) (Vol. 1). UMMPress.
Kotan, Daniel Boli. (2015). Ajaran Paus Fransiskus, “Laudato Si”; Memelihara Bumi
Sebagai Rumah Kita Bersama.
Ollinaho, Ossi I. (2022). What is ‘business as usual’? Towards a theory of cumulative
sociomaterial change. Globalizations, 117.
https://doi.org/10.1080/14747731.2022.2142013
Rachma, Lupita. (2019). Evaluasi Kenyamanan Termal dan Kecukupan Ruang Terbuka
Hijau di Kawasan Industri PT Krakatau Steel, Kota Cilegon.
Sponsel, Leslie E. (2014). Spiritual Ecology BT - Encyclopedia of Psychology and
Religion (David A. Leeming, Ed.). https://doi.org/10.1007/978-1-4614-6086-
2_9295
Suliantoro, Bernadus Wibowo. (2014). Kearifan Lokal Masyarakat Beji dalam
Pemanfaatan Hutan Wonosadi. RESPONS, 19(01), 5777.
Watra, I. Wayan. (2020). Agama-agama Dalam Pancasila di Indonesia (Perspektif
Filsafat Agama).
White, Lynn. (1967). The historical roots of our ecologic crisis. Science, 155(3767),
12031207. https://doi.org/10.1126/science.155.3767.1203
Copyright holder:
Roberto Reno (2024)
First publication right:
Syntax Idea
This article is licensed under: