JOURNAL SYNTAX IDEA p�ISSN: 2723-4339 e-ISSN:
2548-1398 |
Vol. 6, No. 03, March 2024 |
Efektivitas Mediasi Dan Arbitrase Dalam
Penyelesaian Sengketa Konsumen Kesehatan
Yuyut
Prayuti1, Arman Lany2, Davin Takaryanto3,
�Angkasa Ramatuan Hamdan4,
Beni Ciptawan5, Enggar Adi Nugroho6
1,2,3,4,5,6Universitas Islam
Nusantara, Jawa Barat, Indonesia
Email: [email protected]1,[email protected]2,
[email protected]3, [email protected]4,
[email protected]5, [email protected]6
Abstrak
Penyelesaian
sengketa konsumen kesehatan merupakan isu penting dalam sistem kesehatan karena
berkaitan langsung dengan hak-hak konsumen dan kualitas pelayanan kesehatan.
Mediasi dan arbitrase adalah dua metode alternatif penyelesaian sengketa yang
dapat digunakan dalam kasus-kasus seperti ini. Tujuan penelitian ini adalah
untuk menganalisis efektivitas mediasi dan arbitrase dalam penyelesaian
sengketa konsumen kesehatan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian
kualitatif. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini yakni dengan studi
literatur. Data yang telah terkumpul kemudian dianalisis dalam tiga tahapan
yakni reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian
menunjukan bahwa mediasi dinilai efektif dalam menyelesaikan sengketa konsumen
kesehatan, sedangkan efektivitas arbitrase bergantung pada keahlian para
arbiter, terutama dalam kasus-kasus yang membutuhkan pengetahuan teknis khusus.
Mediasi cenderung lebih efektif dan efisien dalam menyelesaikan sengketa karena
dapat membantu pihak-pihak yang bersengketa untuk mencapai kesepakatan secara
sukarela dengan bantuan mediator. Namun, hasil mediasi tidak bersifat final dan
biasanya memerlukan persetujuan dari kedua belah pihak untuk mengikat. Di sisi
lain, arbitrase menawarkan kepastian hukum yang lebih tinggi karena putusannya
bersifat final dan mengikat. Meskipun demikian, proses arbitrase cenderung
lebih formal, memakan waktu, dan biayanya lebih tinggi dibandingkan dengan
mediasi. Oleh karena itu, pemilihan antara mediasi dan arbitrase harus
mempertimbangkan kebutuhan dan preferensi masing-masing pihak yang bersengketa.
Kata
kunci: Mediasi, Arbitrase, Sengketa, Konsumen
Kesehatan
Abstract
Settlement
of health consumer disputes is an important issue in the health system because
it is directly related to consumer rights and the quality of health services.
Mediation and arbitration are two alternative dispute resolution methods that can
be used in cases like this. The aim of this research is to analyze the
effectiveness of mediation and arbitration in resolving health consumer
disputes. This study used qualitative research methods. The data collection
technique in this research is literature study. The data that has been
collected is then analyzed in three stages, namely data reduction, data
presentation and drawing conclusions. The research results show that mediation
is considered effective in resolving health consumer disputes, while the
effectiveness of arbitration depends on the expertise of the arbitrators,
especially in cases that require special technical knowledge. Mediation tends
to be more effective and efficient in resolving disputes because it can help
disputing parties to reach an agreement voluntarily with the help of a
mediator. However, mediation results are not final and usually require
agreement from both parties to be binding. On the other hand, arbitration
offers higher legal certainty because the decision is final and binding.
However, the arbitration process tends to be more formal, time consuming, and
more expensive than mediation. Therefore, the choice between mediation and
arbitration must consider the needs and preferences of each party to the
dispute.
Keywords: Mediation, Arbitration, Dispute, Consumer Health
PENDAHULUAN
Kesehatan
merupakan kebutuhan esensial bagi setiap individu, namun ironisnya, pengetahuan
tentang dunia medis seringkali terbatas di kalangan masyarakat umum.
Profesionalisme dan keahlian di bidang medis seringkali dianggap sebagai
pengetahuan yang terbatas hanya bagi kalangan tertentu. Hal ini menjadi masalah
serius, terutama ketika pasien menghadapi situasi yang berkaitan dengan
kesehatan dan keselamatannya sendiri. Padahal, setiap pasien berhak untuk
mengetahui segala hal yang terkait dengan perawatan medis yang diterimanya,
termasuk informasi mengenai biaya, efek samping, dan dampak jangka panjang dari
pengobatan atau intervensi medis yang dijalani (Heriani, 2018).
Menurut
penelitian yang dilakukan oleh BMJ Quality & Safety, sebuah jurnal
kesehatan terkemuka, terdapat setidaknya 43 juta kasus kelalaian medis yang
terjadi di seluruh dunia setiap tahunnya. Angka yang tinggi ini juga sejalan
dengan jumlah kematian yang disebabkan oleh kelalaian medis. Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) mencatat bahwa sebanyak 2,6 juta orang meninggal setiap
tahunnya akibat kelalaian medis, terutama di negara-negara berkembang. Meskipun
profesi tenaga kesehatan telah memiliki kode etik sebagai pedoman dalam
praktiknya, namun malpraktik masih tetap terjadi hingga saat ini (Firm, 2023).
Banyaknya
insiden malapraktik yang terjadi juga menimbulkan sengketa konsumen yang
berkaitan erat dengan hak-hak individu dalam masyarakat, terutama para pasien
yang berperan sebagai konsumen layanan kesehatan. Berdasarkan Permendag no 6
tahun 2017 memaparkan bahwa sengketa konsumen merujuk pada perselisihan antara
pelaku usaha dengan konsumen yang berkaitan dengan tuntutan ganti rugi atas
kerusakan, pencemaran, atau kerugian lain yang diderita sebagai akibat dari
penggunaan barang atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan oleh pelaku
usaha (Darmawan, 2021). Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) berperan
sebagai lembaga yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen.
Pengaturan mengenai BPSK dalam peraturan ini meliputi berbagai aspek, seperti
pembentukan, tugas, dan wewenang BPSK; keanggotaan BPSK; peran sekretaris BPSK;
pendanaan; pembinaan dan pengawasan; evaluasi; serta pelaporan aktivitas BPSK (Perdana, Fuad, & Munawar, 2021).
Penyelesaian
sengketa konsumen kesehatan menjadi isu yang sangat penting dalam sistem
kesehatan karena berhubungan langsung dengan hak-hak konsumen dan kualitas
pelayanan kesehatan. Secara prinsip, penyelesaian perkara dapat dilakukan
melalui dua jalur, yaitu litigasi dan non-litigasi. Penyelesaian perkara
melalui litigasi mengacu pada proses penyelesaian masalah hukum yang dilakukan
melalui sistem pengadilan. Di sisi lain, penyelesaian perkara melalui jalur
non-litigasi mengacu pada penyelesaian masalah hukum di luar pengadilan, yang
juga dikenal sebagai Penyelesaian Sengketa Alternatif (Dewi, A, 2022). Mediasi dan arbitrase adalah dua metode alternatif
penyelesaian sengketa yang dapat digunakan dalam kasus-kasus seperti ini.
Penelitian
terdahulu oleh (Hadiati & Tampi, 2020) menyimpulkan bahwa mediasi memiliki efektivitas yang tinggi
dalam menyelesaikan sengketa di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) DKI
Jakarta. Mediasi merupakan pilihan yang umum dipilih di BPSK DKI Jakarta,
dengan sekitar 53,2% dari total kasus yang diselesaikan menggunakan pranata
arbitrase, mediasi, dan konsiliasi. Dari 4692 kasus yang diproses, sebanyak
86,51% berhasil diselesaikan melalui mediasi. Hal ini menunjukkan bahwa mediasi
di BPSK DKI Jakarta dianggap efektif dalam menyelesaikan sengketa.
Sedangkan
penelitian oleh (Rifqianda, Ismi, & Dasrol, n.d.) menyoroti masalah efektivitas mediasi dalam penyelesaian
sengketa antara konsumen dan pelaku usaha, khususnya PLN, di Provinsi Riau.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen di
Provinsi Riau belum efektif dalam menangani sengketa tersebut. Peran badan
penyelesaian sengketa di sini diharapkan dapat memberikan perlindungan hukum
kepada kedua belah pihak, yaitu konsumen dan PLN. Proses mediasi yang
dijalankan masih mengalami kendala, baik dari segi finansial, operasional, maupun
keberadaan lembaga itu sendiri. Oleh karena itu, Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen harus menjadi wadah yang dapat memberikan kepastian hukum bagi kedua
belah pihak.
Penelitian
serupa oleh (Umbas, 2016) menunjukkan bahwa arbitrase merupakan salah satu metode
alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Efektivitas arbitrase
dalam menyelesaikan sengketa terutama bergantung pada keahlian para arbiter,
terutama dalam kasus-kasus yang membutuhkan pengetahuan teknis khusus. Arbitrase
juga dianggap lebih cepat dibandingkan proses pengadilan konvensional, yang
sering kali memakan waktu yang lama dari tingkat pertama hingga tingkat
banding.
Kebaharuan
dalam penelitian ini adalah dari obyek penelitiannya yakni sengketa konsumen
kesehatan yang belum pernah diteliti sebelumnya. Implikasi praktis dari
penelitian mengenai efektivitas mediasi dan arbitrase dalam penyelesaian
sengketa konsumen kesehatan adalah memberikan pandangan yang lebih jelas kepada
para praktisi hukum, mediator, arbiter, dan pihak terkait lainnya tentang
efektivitas kedua metode tersebut dalam konteks spesifik ini. Tujuan penelitian
ini adalah untuk menganalisis efektivitas mediasi dan arbitrase dalam
penyelesaian sengketa konsumen kesehatan.
METODE PENELITIAN
Kekurangan
dari metode penelitian kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah
waktu yang diperlukan untuk menyelesaikannya yang cenderung lebih lama
dibandingkan dengan metode penelitian kuantitatif. Hal ini disebabkan oleh
proses yang lebih mendalam dalam pengumpulan dan analisis data, serta
kompleksitas yang terkait dengan interpretasi data kualitatif. Metode
kualitatif juga dapat cenderung lebih terbuka terhadap subjektivitas peneliti
dalam interpretasi data, yang dapat menghasilkan analisis yang kurang objektif.
Selain itu, meskipun studi literatur merupakan teknik yang berguna untuk
mengumpulkan informasi dari berbagai sumber, namun dapat menghadapi batasan
dalam hal keterbatasan aksesibilitas terhadap sumber-sumber literatur tertentu
dan potensi keberagaman kualitas dan keandalan informasi yang diperoleh dari
sumber-sumber tersebut. Oleh karena itu, penting bagi peneliti untuk
mempertimbangkan keterbatasan-keterbatasan ini dan memperhatikan keakuratan dan
kredibilitas sumber-sumber yang digunakan dalam studi literatur. Dengan
menyadari dan memperhitungkan kekurangan-kekurangan tersebut, peneliti dapat
meningkatkan validitas dan reliabilitas hasil penelitian serta membuat
interpretasi yang lebih terpercaya dan dapat diandalkan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Manusia,
sebagai mahluk sosial, tidak dapat hidup secara terisolasi tanpa berinteraksi
dengan masyarakat lainnya sepanjang sejarah. Secara alami, manusia hidup dalam
kelompok sebagai bagian dari struktur sosial, dan mereka selalu memerlukan
dukungan dari individu lainnya. Untuk membentuk hubungan yang saling
berinteraksi, manusia terlibat dalam berbagai bentuk interaksi sosial (Dewi, A, 2022). Interaksi sosial yang terjadi dengan beragam karakter,
ras, dan suku manusia yang berbeda-beda, dan perbedaan ini seringkali menjadi
penyebab konflik. Konflik dapat terjadi antara manusia satu dengan yang lain,
dengan alam lingkungannya, bahkan dengan diri sendiri. Konflik seringkali
menjadi awal dari terjadinya sengketa, dan dalam masyarakat, sengketa bisa timbul
dari berbagai sebab.
Menurut
definisi dalam kamus umum Bahasa Indonesia, sengketa merujuk pada pertengkaran,
perbantahan, pertikaian, perselisihan, percederaan, dan perkara (Kaban, 2016). Penelitian lain juga menyimpulkan bahwa sengketa merupakan
perselisihan yang melibatkan dua belah pihak atau lebih, dan seringkali dapat
menyebar hingga memengaruhi pihak yang tidak terlibat secara langsung (Sohibi, 2023). Pandangan lain tentang sengketa, seperti yang disampaikan
oleh (Sohibi, 2023), menyatakan bahwa sengketa adalah konflik antara dua orang
atau lebih yang memiliki implikasi hukum, sehingga dapat dikenakan sanksi hukum
kepada salah satu pihak. Dengan demikian, sengketa dapat dijelaskan sebagai
berbagai bentuk konflik atau perselisihan antara individu atau kelompok yang
berpotensi menghasilkan dampak hukum dan mempengaruhi baik mereka yang terlibat
langsung maupun pihak lain yang terlibat secara tidak langsung.
Sengketa
dapat timbul di berbagai kalangan dan tempat. Hal ini dapat melibatkan individu
dengan individu, individu dengan kelompok, kelompok dengan kelompok, perusahaan
dengan perusahaan, perusahaan dengan negara, negara dengan negara lain, dan
sebagainya. Ini menunjukkan bahwa sengketa dapat memiliki karakteristik publik
atau privat, serta dapat muncul dalam skala lokal, nasional, atau bahkan
internasional (Fadillah & Putri, 2021). Dalam bidang kesehatan, tidak terkecuali dengan adanya
sengketa. salah satu contohnya adalah sengketa yang melibatkan konsumen
kesehatan. Sengketa semacam ini bisa muncul ketika ada ketidakpuasan atau
ketidaksepakatan antara konsumen dan penyedia layanan kesehatan, misalnya
terkait dengan pelayanan yang diberikan, biaya pengobatan, tindakan medis, atau
hak konsumen lainnya.
Konsumen
dapat dijelaskan sebagai individu yang menggunakan produk atau layanan yang
tersedia dalam masyarakat untuk kepentingan pribadi, keluarga, orang lain, atau
makhluk hidup lainnya, dan bukan untuk tujuan perdagangan (Maharani & Dzikra, 2021). Bergitupun dalam bidang kesehatan, konsumen kesehatan
merujuk kepada individu atau pihak yang menggunakan dan memanfaatkan layanan
atau produk kesehatan untuk memenuhi kebutuhan kesehatannya. Konsumen kesehatan
dapat berarti pemakai jasa dan barang yang tersedia dalam pelayanan kesehatan.
Mereka adalah pasien, anggota keluarga pasien, atau pihak lain yang
memanfaatkan layanan kesehatan.
Hubungan
antara penyedia kesehatan, seperti dokter atau tenaga medis lainnya dengan
pasien sebagai konsumen didasarkan pada kepercayaan yang diberikan oleh pasien
kepada penyedia kesehatan yang membutuhkan pertolongan dalam bentuk pengobatan
atau tindakan medis. (Nasution, Satria, & Tarigan, 2021). Pasien menyerahkan kepercayaan dan harapannya untuk
mendapatkan penanganan yang tepat dan berkualitas kepada penyedia kesehatan. Namun,
ketika pasien mengalami masalah medis, ini bisa mengakibatkan kerugian dan
memicu perselisihan antara penyedia layanan kesehatan dan pasien. Perselisihan
tersebut sering kali timbul karena hasil pengobatan yang tidak memenuhi harapan
pasien atau karena pasien merasa bahwa upaya pelayanan medis yang diberikan
oleh dokter tidak memadai (Nasution, Satria, & Tarigan, 2021). Biasanya,
yang dipersengketakan dalam sengketa medik meliputi beberapa hal, antara lain (Sinaga, 2021):
1.
Pelanggaran etika
kedokteran
Pelanggaran ini mencakup situasi di mana dokter atau tenaga
medis melakukan tindakan atau keputusan yang dianggap melanggar kode etik atau
standar profesional dalam praktek kedokteran.
2.
Pelanggaran disiplin
kedokteran
Pelanggaran ini terkait dengan ketidakpatuhan terhadap
peraturan atau standar profesi kedokteran yang ditetapkan oleh otoritas
kesehatan atau lembaga profesi.
3.
Pelanggaran hak orang
lain
Ini terjadi ketika hak-hak pasien dilanggar, baik itu hak
informasi, hak untuk mendapat perlakuan yang adil dan bermartabat, atau hak atas
privasi dan kerahasiaan medis. Pelanggaran hak pasien bisa meliputi kesalahan
diagnosa, prosedur medis yang tidak sesuai, atau kegagalan dalam memberikan
informasi yang cukup kepada pasien.
4.
Pelanggaran
kepentingan masyarakat
Terkadang, keputusan atau tindakan medis dapat memiliki
dampak yang signifikan bagi masyarakat atau populasi tertentu. Jika keputusan
tersebut dianggap merugikan kepentingan masyarakat secara luas, maka hal ini
juga dapat menjadi subjek sengketa.
Pelanggaran-pelanggaran
yang terjadi dalam sengketa medis jelas merugikan pasien sebagai konsumen dalam
kesehatan sehingga membutuhkan perlindungan. Masalah perlindungan konsumen. Isu
perlindungan konsumen bukanlah hanya persoalan individu, melainkan juga
merupakan isu bersama dan masalah yang berskala nasional. Hal ini disebabkan
karena pada dasarnya setiap orang adalah konsumen, dan hak-hak konsumen harus
dilindungi. Oleh karena itu, melindungi hak-hak konsumen berarti melindungi
kepentingan semua orang (Riza & Abduh, 2018). Untuk melindungi hak-hak konsumen, terutama dalam hal
terjadi sengketa, diperlukan upaya yang terfokus pada penyelesaian sengketa
dengan cara yang adil dan efektif.
Melalui
proses pemikiran yang rasional, manusia selalu berupaya mencari cara untuk
menyelesaikan konflik dengan tujuan mencapai harmoni dan keselarasan dalam
kehidupan bersama. Secara umum, penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui
dua pendekatan. Pendekatan pertama adalah melalui proses litigasi atau
pengadilan, di mana sengketa antara pihak-pihak yang bertikai diselesaikan
melalui jalur formal hukum di pengadilan dengan bantuan hakim. Pendekatan kedua
adalah penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau non-litigasi, yang
berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakat manusia (Fadillah & Putri, 2021).
Penyelesaian
sengketa dalam konteks kesehatan melalui metode non-litigasi atau di luar
pengadilan menjadi preferensi utama karena beberapa alasan. Pertama,
berdasarkan UU No. 36 Tahun 2009 Pasal 29, dalam kasus dugaan kelalaian oleh
tenaga kesehatan, langkah pertama penyelesaiannya harus dimulai dengan mediasi.
Hal ini menunjukkan bahwa mediasi dianggap sebagai langkah awal yang krusial
dalam menangani sengketa medis. Alasan kedua adalah efisiensi dan keadilan dari
proses peradilan dianggap kurang memuaskan oleh sebagian pihak karena
melibatkan biaya tinggi dan memakan waktu yang lama. Terdapat kritik terhadap
hasil pengadilan, di mana sering kali ada pihak yang dianggap sebagai pemenang
dan pihak lainnya sebagai pihak yang kalah. Sistem peradilan dianggap terlalu
formal dan teknis, serta kurang responsif terhadap kepentingan masyarakat umum.
Sebagian orang berpendapat bahwa jalur pengadilan cenderung lambat dan padat
dalam menjalankan fungsinya. Kritik tersebut menyoroti bahwa proses peradilan
terlalu mahal dan tidak sesuai dengan kebutuhan efisiensi dan keadilan yang
diharapkan oleh masyarakat (Jauhani & MH, 2020).
Munculnya
kritik dan ketidakpercayaan dari masyarakat terhadap proses penyelesaian
sengketa melalui sistem peradilan menyebabkan anggapan bahwa pendekatan
litigasi menjadi kurang efektif dan efisien. Sebagai tanggapan terhadap kritik
tersebut, para akademisi mulai mencari alternatif penyelesaian sengketa di luar
ranah pengadilan. Alternatif ini dikenal sebagai Penyelesaian Sengketa
Alternatif (Alternative Dispute Resolution atau ADR) (Dewi, A, 2022). ADR merupakan pendekatan yang mengusulkan metode-metode
lain untuk menangani sengketa di luar wilayah peradilan. Salah satu metode yang
termasuk dalam ADR adalah mediasi dan arbitrase.
Pentingnya
mediator dalam proses mediasi adalah untuk membantu memfasilitasi komunikasi
antara pihak-pihak yang bersengketa, mengidentifikasi kepentingan dan kebutuhan
masing-masing pihak, serta mengarahkan diskusi menuju penyelesaian yang dapat
diterima oleh semua pihak. Namun, dalam tugasnya pihak mediator tidak memiliki
kewenangan untuk memberikan putusan terhadap sengketa tersebut. Peran mereka
adalah sebagai pembantu yang netral dalam mencari solusi terbaik untuk kedua
belah pihak, tanpa memihak kepada salah satu pihak (Sohibi, 2023).
Dari
berbagai aspek, penyelesaian melalui proses mediasi memberikan sejumlah
keuntungan bagi para pihak yang mencari keadilan. Pertama, proses mediasi
umumnya lebih cepat, sehingga waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan
sengketa akan lebih singkat. Hal ini berarti akan ada penghematan biaya bagi
para pihak yang terlibat, karena proses hukum yang panjang biasanya memerlukan
biaya yang besar. Dari segi emosional, pendekatan mediasi yang bertujuan
mencapai solusi win-win solution akan memberikan kenyamanan bagi para pihak
yang bersengketa. Kesepakatan yang dicapai dalam mediasi dibuat secara
bersama-sama oleh para pihak, sesuai dengan kehendak dan kepentingan mereka.
Ini sesuai dengan prinsip kebebasan dan prinsip konsensualitas dalam mediasi,
di mana para pihak memiliki kendali penuh terhadap hasil akhir penyelesaian
sengketa (Puspitaningrum, 2018).
Hasil
mediasi, berupa kesepakatan atau perjanjian, memiliki kekuatan hukum serupa
dengan perjanjian hukum biasa, asalkan perjanjian tersebut menimbulkan hubungan
hukum yang mengikat kedua belah pihak yang terlibat. Namun, jika salah satu
pihak bertindak dengan kurang iktikad baik dan melanggar kesepakatan yang telah
diatur dalam perjanjian, pihak yang merasa dirugikan berhak untuk mengajukan
gugatan wanprestasi ke pengadilan. Meskipun perdamaian atau kesepakatan telah
terjadi antara pihak-pihak yang berselisih, hasil mediasi belum memiliki
kekuatan hukum yang mengikat secara mutlak. Oleh karena itu, kedua belah pihak
diwajibkan untuk mendaftarkan kesepakatan atau perjanjian tersebut ke
pengadilan negeri dalam waktu 30 hari setelah tercapainya kesepakatan. Langkah
ini dilakukan untuk memberikan kekuatan hukum yang lebih kuat pada perjanjian
dan agar diakui secara resmi oleh pengadilan (Ummah, Wiryani, & Najih, 2019).
Peraturan
Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan
(PERMA No. 1/2016) telah menggantikan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun
2008. Menurut PERMA No. 1/2016, mediasi diharuskan dilakukan sebagai langkah
pertama dalam penyelesaian sengketa di pengadilan. Jika pihak-pihak yang
bersengketa tidak mengikuti proses mediasi sebelum mengajukan penyelesaian sengketa
ke pengadilan, hal ini dianggap sebagai pelanggaran terhadap ketentuan yang
diatur dalam pasal 130 HIR (Herzien Inlandsch Reglement) dan/atau pasal
154 Rbg (Rechtsreglement voor de Buitengewesten) yang mengatur prosedur
pengadilan di Indonesia. Akibatnya, putusan yang dikeluarkan oleh pengadilan
atas sengketa tersebut dapat dinyatakan batal demi hukum.
Arbitrase
merupakan salah satu metode penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang
berbeda dengan mediasi. Menurut Subekti dalam (Entriani, 2017), arbitrase adalah proses penyelesaian atau putusan sengketa
yang dilakukan oleh seorang arbiter atau panel arbiter yang telah ditunjuk oleh
pihak-pihak yang berselisih. Proses arbitrase dilakukan berdasarkan kesepakatan
pihak-pihak bahwa mereka akan tunduk dan mengikuti keputusan yang diberikan
oleh arbiter atau panel arbiter yang telah mereka pilih sebelumnya.
Tujuan
dari proses arbitrase adalah untuk mencapai suatu keputusan akhir yang mengikat
bagi kedua belah pihak. Keputusan arbitrase memiliki kekuatan hukum yang setara
dengan putusan pengadilan, dan pihak-pihak yang terlibat diwajibkan untuk
mematuhinya sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat (Syarief & Rusdiana, 2016). Dengan demikian, arbitrase menawarkan tingkat kepastian
hukum yang tinggi karena keputusannya bersifat final dan mengikat. Namun,
proses arbitrase cenderung lebih formal, memakan waktu, dan memerlukan biaya
yang lebih tinggi dibandingkan dengan mediasi karena prosesnya serupa dengan
peradilan.
Pada
dasarnya, arbitrase merupakan varian khusus dari pengadilan alternatif. Salah
satu perbedaan utama antara pengadilan dan arbitrase adalah struktur
institusional yang digunakan dalam proses penyelesaiannya. Dalam pengadilan
konvensional, sengketa diselesaikan melalui badan peradilan permanen yang sudah
ada, seperti pengadilan negeri atau pengadilan tinggi. Di sisi lain, dalam
arbitrase, forum tribunal atau lembaga arbitrase dibentuk secara khusus untuk
menangani kasus-kasus yang diajukan. Dalam arbitrase, arbiter atau arbitrator
bertindak sebagai pengadil dalam mahkamah arbitrase, yang mirip dengan hakim
permanen dalam pengadilan. Namun, perbedaannya terletak pada kenyataan bahwa
arbiter ditugaskan untuk menangani kasus-kasus tertentu yang diajukan ke
mahkamah arbitrase, dan mereka tidak memiliki kelanjutan dalam menjalankan
fungsi pengadilan seperti hakim permanen (Entriani, 2017).
Di
Indonesia, ada beberapa lembaga arbitrase yang didirikan untuk menyelesaikan
berbagai sengketa bisnis yang terjadi dalam kegiatan perdagangan. Contohnya
adalah BAMUI (Badan Arbitrase Muamalat Indonesia), yang fokus pada penyelesaian
masalah perselisihan bisnis dalam konteks keuangan Islam. Selain itu, terdapat
juga BASYARNAS (Badan Arbitrase Syariah Nasional), yang mengkhususkan diri
dalam menyelesaikan sengketa yang timbul dalam praktik perbankan syariah. Sedangkan
BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) memberikan layanan penyelesaian
sengketa bisnis yang tidak terkait dengan prinsip-prinsip keuangan Islam (Sohibi, 2023). Salah satu tantangan yang dapat timbul dalam arbitrase
adalah ketergantungannya pada kualitas dan keahlian arbiter, terutama dalam
kasus-kasus yang melibatkan pengetahuan teknis tertentu. Para pihak yang
terlibat dalam sengketa memiliki hak untuk memilih arbiter yang dianggap
memiliki pengalaman, pengetahuan, integritas, dan keadilan yang memadai, serta
pemahaman yang cukup tentang isu-isu yang dipertentangkan. Keputusan dalam
arbitrase sangat bergantung pada kemampuan teknis arbiter untuk menyimpulkan
keputusan yang dapat memenuhi keadilan bagi semua pihak yang terlibat (Tampongangoy, 2015).
Menurut
(Umbas, 2016), mekanisme arbitrase dalam penyelesaian sengketa diatur
oleh Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Undang-undang
tersebut mengatur masalah arbitrase dalam Pasal 32, yang terdiri dari empat
ayat. Ayat pertama menegaskan prinsip bahwa ketika perselisihan timbul,
pihak-pihak yang terlibat harus berupaya menyelesaikannya melalui negosiasi.
Ayat kedua menyatakan bahwa jika negosiasi tidak berhasil (tanpa penentuan
waktu tertentu untuk konsultasi atau negosiasi), maka pihak-pihak memiliki hak
untuk membawa perselisihan ke Arbitrase, APS (Alternatif Penyelesaian
Sengketa), atau Pengadilan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU tersebut.
Ayat ketiga dengan jelas menyatakan bahwa perselisihan antara pemerintah dan
investor domestik akan diselesaikan melalui arbitrase dengan persetujuan
keduanya. Jika tidak ada kesepakatan, maka sengketa akan diberikan kepada
Pengadilan. Ayat keempat mengatur bahwa jika perselisihan terjadi antara
pemerintah dan investor asing, maka sengketa tersebut akan diselesaikan melalui
arbitrase internasional yang harus disetujui oleh kedua belah pihak.
Selain
itu, mekanisme arbitrase juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999,
yang menetapkan bahwa proses pemeriksaan perkara oleh arbitrase tidak boleh
melebihi periode 6 bulan. Dalam praktiknya, penyelesaian perkara oleh Badan
Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) biasanya diselesaikan dalam waktu kurang
dari 6 bulan. Ini menunjukkan bahwa dalam sistem hukum Indonesia, terdapat
peraturan yang menetapkan batas waktu bagi penyelesaian sengketa melalui
arbitrase, dengan maksud untuk memberikan kepastian hukum dan memastikan proses
penyelesaian sengketa yang efisien.
Berdasarkan
temuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa mediasi dan arbitrase adalah opsi yang
efektif untuk menyelesaikan sengketa non-litigasi, terutama dalam konteks
penyelesaian sengketa medis untuk melindungi konsumen. Meskipun keduanya merupakan
pendekatan yang berbeda dalam proses, hasil, dan regulasi, pemilihan antara
mediasi dan arbitrase harus mempertimbangkan kebutuhan dan preferensi spesifik
dari setiap pihak yang terlibat dalam sengketa tersebut.
KESIMPULAN
Mediasi
terbukti efektif dalam menangani sengketa konsumen di bidang kesehatan,
sementara keefektifan arbitrase sangat tergantung pada kemampuan dan keahlian
para arbiter, terutama dalam konteks kasus-kasus yang melibatkan pengetahuan
teknis khusus. Mediasi dianggap lebih efektif dan efisien karena dapat
memfasilitasi tercapainya kesepakatan antara pihak-pihak yang bersengketa
secara sukarela dengan bantuan seorang mediator. Namun, perlu dicatat bahwa
hasil mediasi tidak memiliki kekuatan hukum final dan biasanya memerlukan persetujuan
dari kedua belah pihak untuk mengikat. Di sisi lain, arbitrase menjanjikan
tingkat kepastian hukum yang lebih tinggi karena putusannya bersifat final dan
mengikat. Meskipun demikian, proses arbitrase cenderung lebih formal, memakan
waktu, dan menghasilkan biaya yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan
mediasi. Oleh karena itu, dalam memilih antara mediasi dan arbitrase, perlu
dipertimbangkan kebutuhan dan preferensi khusus dari setiap pihak yang terlibat
dalam sengketa tersebut.
BIBLIOGRAPHY
Darmawan,
R. (2021). Efektivitas Pengawasan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pada
Pencantuman Klausula Baku Di Provinsi Dki Jakarta. Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dewi, A, R. (2022). Penyelesaian Perkara Hukum Jalur
Non-Litigasi dengan Mediasi. Retrieved March 27, 2024, from kementrian keuangan
republik Indonesia website: https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kanwil-kaltim/baca-artikel/15648/Penyelesaian-Perkara-Hukum-Jalur-Non-Litigasi-dengan-Mediasi.html#:~:text=Penyelesaian
perkara dengan jalur litigasi,dikenal dengan Penyelesaian Sengketa Alternatif
Entriani, A. (2017). Arbitrase Dalam Sistem Hukum Di
Indonesia. IAIN Tulungagung Research Collections, 3(2), 277�293.
Fadillah, F. A., & Putri, S. A. (2021). Alternatif
Penyelesaian Sengketa Dan Arbitrase (Literature Review Etika). Jurnal Ilmu
Manajemen Terapan, 2(6), 744�756.
Firm, S. L. (2023). Adakah Konsekuensi Hukum Bagi Rumah Sakit
atas Kasus Malpraktik. Retrieved March 27, 2024, from Linkedin website:
https://www.linkedin.com/pulse/adakah-konsekuensi-hukum-bagi-rumah-sakit-atas-kasus-malpraktik/?originalSubdomain=id
Hadiati, M., & Tampi, M. M. (2020). Efektivitas Mediasi
dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
(BPSK) di DKI Jakarta. Jurnal Hukum Prioris, 8(2), 178�200.
Heriani, I. (2018). Perlindungan Hukum Bagi Konsumen
Kesehatan dalam Hal Terjadi Malapraktik. Al-Adl: Jurnal Hukum, 10(2),
191�204.
Jauhani, M. A., & MH, S. F. M. (2020). Dilema
Kapabilitas Dan Imparsialitas Dokter Sebagai Mediator Sengketa Medis.
Scopindo Media Pustaka.
Kaban, M. (2016). Penyelesaian Sengketa Waris Tanah Adat Pada
Masyarakat Adat Karo. Mimbar Hukum-Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada,
28(3), 453�465.
Maharani, A., & Dzikra, A. D. (2021). Fungsi Perlindungan
Konsumen Dan Peran Lembaga Perlindungan Konsumen Di Indonesia: Perlindungan,
Konsumen Dan Pelaku Usaha (Literature Review). Jurnal Ekonomi Manajemen
Sistem Informasi, 2(6), 659�666.
Nasution, M. A. S., Satria, B., & Tarigan, I. J. (2021).
Mediasi Sebagai Komunikasi Hukum Dalam Penyelesaian Sengketa Medik Antara
Dokter Dan Pasien. Jurnal Hukum Kesehatan Indonesia, 1(02),
86�96.
Perdana, R. P., Fuad, F., & Munawar, S. (2021).
Implementasi Penyelesaian Sengketa Konsumen Oleh Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen di Yogyakarta. Widya Pranata Hukum: Jurnal Kajian Dan Penelitian
Hukum, 3(2), 1�27.
Puspitaningrum, S. (2018). Mediasi Sebagai Upaya Penyelesaian
Sengketa Perdata Di Pengadilan. Spektrum Hukum, 15(2), 275�299.
Rifqianda, R., Ismi, H., & Dasrol, D. (n.d.). Efektivitas
Mediasi Dalam Penyelesaian Sengketa Antara Konsumen Listrik Dengan Pelaku Usaha
(Pln) Pada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Provinsi Riau. Jurnal Online
Mahasiswa (JOM) Bidang Ilmu Hukum, 6(2), 1�14.
Riza, F., & Abduh, R. (2018). Penyelesaian Sengketa
Secara Arbitrase Untuk Melindungi Konsumen Melalui Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen. EduTech: Jurnal Ilmu Pendidikan Dan Ilmu Sosial, 4(1).
Sinaga, N. A. (2021). Penyelesaian sengketa medis di indonesia.
Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara, 11(2).
Sohibi, M. (2023). Penyelesaian Sengketa Gadai Syariah Atas
Jaminan Barang Gadai Syariah. Indonesia Berdaya, 4(4), 1453�1478.
Syarief, E., & Rusdiana, S. (2016). Penerapan Prinsip
Arbitrase dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Journal of Law and
Policy Transformation, 1(2), 79�109.
Tampongangoy, G. H. (2015). Arbitrase Merupakan Upaya Hukum
Dalam Penyelesaian Sengketa Dagang Internasioanal. Lex Et Societatis, 3(1).
Umbas, R. (2016). Efektivitas Arbitrase Dalam Penyelesaian
Sengketa Penanaman Modal Di Indonesia. Lex Et Societatis, 4(7).
Ummah, N., Wiryani, F., & Najih, M. (2019). Mediasi Dalam
Penyelesaian Sengketa Medik Dokter Dengan Pasien (Analisis Putusan Pn No.
38/Pdt. G/2016/Pn. Bna Dan Putusan Mahkah Agung No. 1550 K/Pdt/2016). Legality:
Jurnal Ilmiah Hukum, 27(2), 205�221.
Yuyut Prayuti1,
Arman Lany2, Davin Takaryanto3, �Angkasa Ramatuan Hamdan4, Beni
Ciptawan5, Enggar Adi Nugroho6 (2024) |
First publication right: |
This article is licensed
under: |