Analisis Hukum Kasus Salah Transfer Dana Ditinjau dari Undang-Undang No.3 Tahun
2011 Tentang Transfer Dana
Syntax Idea, Vol. 6, No. 04, April 2024
1605
Salah seorang nasabah dari Bank X mendapatkan dana melalui transfer rekening dari
orang lain (salah transfer) dari rekening yang ada pada bank lain (Bank Y). Dalam hal
yang demikian, maka nasabah penerima transfer dana dihadapkan pada dilema uang
yang masuk ke rekeningnya. Ini berarti nasabah tersebut harus memahami apa saja
langkah-langkah yang dilakukan ketika ia menerima dana tersebut. Karena bisa saja
dana tersebut merupakan hasil tindak pidana, sehingga dapat mengaitkan penerima
ketika salah mengambil langkah. Semakin majunya teknologi, kehidupan dunia pun
berubah. Namun, bukan berarti bebas dari masalah, seperti kasus salah transfer. Kasus
ini masih menjadi polemik, terutama karena adanya pasal pidana yang ditujukan kepada
nasabah penerima salah transfer. Pasal tersebut yaitu Pasal 85 UU No.3 Tahun 2011
tentang Transfer Dana yang kemudian diatur dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI)
Nomor 14/23/PBI/2012 tentang Transfer Dana (Silalah & Miharja, 2022).
Terdapat contoh kasus yang angkat oleh penulis yang berkaitan dengan Salah
Transfer. Pada tanggal 19 Februari 2024 Jam 11:45 WIB datang seseorang yang
mengaku dari Bank X datang ke rumah Nasabah W merupakan nasabah dari Bank X
dari unit Jakarta Tanjung Priok. Dalam kedatangannya orang tersebut yang mengaku
dari Bank X dan kemudian memperkenalkan diri dengan nama A lalu menyampaikan
bahwa telah terjadi salah transfer dari Bank Y atas nama V ke rekening Nasabah W
sebesar Rp 15.000.000,- Kemudian A langsung menunjukkan dua buah surat yaitu
Pertama, surat pada tanggal 12 Februari 2024 Perihal Permohonan refund Dana Salah
Transfer Bank Lain pada Rekening (Milik Nasabah W). Surat permohonan refund
tersebut ditujukan kepada Pimpinan Kantor Bank X cabang Jakarta Priok, dan surat
tersebut berisi permohonan agar kepala Bank X Kantor Cabang Jakarta Tanjung Priok
segera melakukan beberapa hal sebagaimana yang disebutkan di dalam surat tersebut
yakni segera menginfokan kepada nasabah penerima (Nasabah W) bahwa telah terjadi
salah transfer yang dilakukan oleh nasabah Bank Y menggunakan jaringan BI Fast pada
tanggal 30 Januari 2024 dan meminta kesediaan nasabah W untuk dilakukan pendebetan
rekening sebesar Rp 15.000.000,- untuk dikembalikan kepada pengirim yakni Nasabah
V. Kedua, Sebuah surat yang berupa isi Laporan Transaksi (statmens of finansial) dari
rekening milik Nasabah W dengan periode transaksi 27 Januari 2024 sampai dengan 31
Januari 2024. Pada surat tersebut A menunjukkan bahwa adanya transaksi tanggal 30
Januari 2024 Jam 06.56 WIB sebesar RP. 15.000.000,- dari pengirim V.
Kemudian, setelah A menyampaikan hal tersebut kepada Nasabah W yang saat itu
bersama dengan suaminya S sepakat untuk mengembalikan uang (salah transfer)
tersebut kepada pengirim. Namun sebelum mengembalikan Nasabah W dan Suaminya S
Perlu melakukan klarifikasi kepada pihak bank X tempat dimana Nasabah W membuka
buku tabungan tersebut dan untuk melakukan print terhadap mutasi rekening milik hal
ini dikarenakan Nasabah W jarang sekali menggunakan rekening tersebut untuk
bertransaksi. Nasabah W dan S merasa perlu melakukan klarifikasi kepada pihak
pengirim terutama kepada pihak Bank karena maraknya kejahatan perbankan saat ini
contohnya seperti Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan transaksi-transaksi ilegal
yang lainnya serta untuk mengantisipasi penyalahgunaan Surat kuasa pendebetan dari
rekening milik W.
Setelah menyampaikan hal tersebut kepada A, lalu A membalas dengan
argumentasi seolah-olah W dan S tidak bersedia untuk mengembalikan uang tersebut,
sedangkan dari awal W dan S sudah sampaikan kesepakatan untuk mengembalikan.
Meskipun W dan S telah menyampaikan berkali-kali, tidak keberatan untuk
mengembalikan asalkan bisa mengkonfirmasi kepada pihak Bank X dan kepada pihak