JOURNAL SYNTAX IDEA p�ISSN: 2723-4339 e-ISSN:
2548-1398 |
Vol. 6, No. 03, March 2024 |
Kemendesakan
Pengaturan Pengawasan Eksternal Perilaku Hakim Konstitusi
Sukrisno1, Marsudi Dedi Putra2*
1,2Universitas
Wisnuwardhana Malang, Jawa Timur, Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Kekuasaan kehakiman bersifat merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Namun, dalam pelaksanaan kekuasaannya tidak boleh
dibiarkan tanpa kontrol. Bahkan pengawasan modern dibutuhkan agar tidak
memunculkan penyalahgunaan kekuasaan seperti yang pernah terjadi. penelitian
ini mencari terobosan baru sebagai langkah yang diperlukan dalam melakukan
pengawasan eksternal bagi perilaku Hakim Konstitusi. Tipe penelitian ini termasuk
yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan konseptual. Sedangkan
analisis yang digunakan yuridis analitis serta diuraikan secara deskriptif kualitatif.
Hasil penelitian: (1) langkah yang dapat ditempuh untuk mengawasi perilaku Hakim
Konstitusi dengan melakukan perubahan UUD 1945 dan/atau membentuk undang-undang;
(2) konstruksi pengaturan lembaga negara yang paling tepat untuk mengawasi perilaku
Hakim Konstitusi ialah Komisi Yudisial selain Badan Pemeriksa Keuangan dan
Komisi Ombudsman. Oleh karena itu penulisan ini bertujuan untuk mengeksplorasi
dan merumuskan solusi terhadap permasalahan tersebut, dengan tujuan akhir
menjaga integritas dan kewibawaan Mahkamah Konstitusi serta memastikan
kepatuhan terhadap hukum dan keadilan dalam sistem peradilan.
Kata kunci: pengawasan
eksternal, hakim konstitusi, komisi yudisial
Abstract
Judicial power is independent in
administering justice to uphold law and justice. However, the exercise of his
powers must not be left uncontrolled. In fact, modern supervision is needed to
prevent abuse of power as has occurred. This article seeks new breakthroughs as
necessary steps in carrying out external supervision of the behavior of
Constitutional Justices. This type of research includes normative juridical
with a statutory and conceptual approach. Meanwhile, the analysis used is
analytical juridical and described qualitatively descriptively. Research
results: (1) steps that can be taken to monitor the behavior of Constitutional
Judges by making changes to the 1945 Constitution and/or forming laws; (2) the
most appropriate construction of state institutions to supervise the behavior
of Constitutional Judges is the Judicial Commission apart from the Financial
Audit Agency and the Ombudsman Commission. Therefore, this writing aims to
explore and formulate solutions to these problems, with the ultimate aim of
maintaining the integrity and authority of the Constitutional Court and
ensuring compliance with law and justice in the judicial system.
Keywords: external supervision,
constitutional judge, judicial commission
PENDAHULUAN
Pemikiran dari aspek filosofis, kekuasaan
kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan tidak dapat dibiarkan begitu saja tanpa kontrol atau pengawasan. Ketidakmampuan
pengawasan atau adanya pengawasan yang hanya bersifat internal belum berjalan
secara optimal dan masih memiliki potensi untuk terjadi penyalahgunaan
kekuasaan. Kondisi demikian dibutuhkan karena kemerdekaan dan
kemartabatan perilaku hakim merupakan syarat mutlak tegaknya hukum dan
keadilan. Diharapkan bahwa hal tersebut akan memperkuat proses pembangunan
hukum dan pada akhirnya dapat menciptakan masyarakat yang patuh terhadap hukum.
Untuk menjaga tegaknya hukum dan keadilan di lembaga peradilan, diperlukan
hakim yang secara konsisten mengasah kepekaan moral, menjaga integritas,
meningkatkan kecerdasan moral, dan memperbaiki profesionalisme mereka. Hakim
dituntut untuk senantiasa menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, dan perilakunya dalam menegakkan hukum, kebenaran, dan keadilan
berdasarkan keyakinan pada Tuhan Yang Maha Esa (Antikowati &
Handono, 2018), tidak terkecuali Hakim Konstitusi.
Mempersiapkan hakim yang luhur nan
bermartabat ternyata bukanlah persoalan yang gampang. Berbagai kebijakan telah
dilakukan oleh negara dalam mewujudkan perilaku hakim yang bersih dalam
menegakkan hukum, kebenaran dan keadilan. Satu diantara kebijakan Pemerintah
ialah dengan adanya keberadaan Komisi Yudisial yang diatur secara tegas dalam
Pasal 24B UUD NRI Tahun 1945, dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang
Komisi Yudisial. Kendati demikian, Komisi Yudisial dalam menjalankan
wewenangnya menemui banyak hambatan, salah satu hambatan pelaksanaan
wewenangnya adalah munculnya resistensi dari kalangan hakim yang menjadi objek
pengawasan. Perdebatan hukum yang muncul adalah batasan wewenang Komisi
Yudisial dalam melakukan pengawasan terhadap hakim agung dan hakim konstitusi (Suharto, 2011). Resistensi tersebut berpuncak pada diajukannya uji materi
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, oleh 31 hakim agung
kepada Mahkamah Konstitusi yang terjadi pada tanggal 23 Agustus 2006. Pada saat
itulah menjadi awal hari yang buram pengawasan eksternal yang dimiliki Komisi
Yudisial.
Berdasar putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 (Putra, 2021), setidaknya sampai pada saat ini masih menimbulkan isu
hukum yang belum terjawab dengan tuntas yakni terjadi kekaburan norma (vague norm) dengan tafsir yang
berbeda-beda sehingga menimbulkan perdebatan (despute) (Mahfud, 2007), dalam menerjemahkan makna kata hakim dalam wewenang Komisi
Yudisial dalam menjaga dan menegakkan perilaku hakim. Tidak adanya persamaan
konsep hakim dalam Pasal 24B ayat (1) UUD NRI Tahun dengan konsep hakim dalam
Pasal 1 angka 5 dan Pasal 13 huruf b Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial,
menjadi persoalan dalam pelaksanaan wewenang Komisi Yudisial sebagai pengawas
eksternal bagi perilaku hakim. Kekaburan norma demikian menyebabkan Mahkamah
Konstitusi sebagai pengawal dan penafsir UUD NRI Tahun 1945 sampai saat ini
tidak memiliki lembaga pengawas eksternal.
Tiadanya lembaga pengawas
eksternal menjadi persoalan cukup serius, khususnya terkait dengan penerapan
teori pemisahan kekuasaan dan checks and
balances yang berkaitan dengan tidak adanya pengawasan kode etik Hakim
Konstitusi yang dilakukan lembaga pengawas eksternal. Dalam hal ini, telah
terjadi kekosongan lembaga pengawas eksternal yang mengawasi perilaku Hakim
Konstitusi. Sistem checks and balances
atau pengawasan dan keseimbangan dapat diartikan dimana setiap cabang kekuasaan
dapat mengawasi dan mengimbangi setiap cabang kekuasaan lainnya. Inti dari dari
sistem checks and balances adalah
tidak adanya lembaga pemerintahan yang supreme (Kusuma, 2011). Checks and balances dalam
penyelenggaraan kekuasaan memungkinkan adanya saling kontrol antara cabang
kekuasaan yang ada, dan menghindari tindakan hegemonik, tirani, dan menghindari
kekuasaan (Anshori, 2014).
Kebutuhan pengawas eksternal perilaku
Hakim Konstitusi menjadi sangat mendesak dalam memenuhi kebutuhan jangka
panjang agar kewibawaan Mahkamah Konstitusi sebagai garda terdepan para pencari
keadilan harus tetap terjaga. Menyikapi desakan adanya wacana kehadiran
pengawas eksternal perilaku Hakim Konstitusi harus disikapi dengan arif dan bijaksana
bahwa tujuannya adalah agar marwah Mahkamah Konstitusi tetap terjaga. Kehadiran
lembaga pengawas eksternal juga bertujuan untuk menghindari kekuasaan yang
absolut. Ketentuan demikian tentu sangat tepat dengan dalil yang termashur dari
Lord Acton, seorang ahli sejarah Inggris menyatakan �Manusia yang mempunyai
kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaan itu, tetapi manusia yang
mempunyai kekuasaan tak terbatas pasti akan menyalahgunakannya secara tak
terbatas pula� (power tends corrupt, but
absolute power corrupt absolutely).
Berdasarkan pemaparan latar
belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:
(1) Apa
kemendesakan perlunya pengawasan eksternal terhadap perilaku Hakim Konstitusi
(2) Bagaimana konstruksi pengaturan ideal pengawasan eksternal perilaku Hakim
Konstitusi di masa datang.
Dalam
konteks pengawasan kekuasaan kehakiman, terutama terkait dengan perilaku Hakim
Konstitusi, diperlukan pemahaman filosofis yang mendalam. Kehadiran lembaga
pengawas eksternal menjadi krusial dalam menjaga kemerdekaan dan kemartabatan
perilaku hakim, yang merupakan syarat mutlak bagi tegaknya hukum dan keadilan.
Namun, kendala dan perdebatan terkait batasan wewenang lembaga pengawas
eksternal, seperti Komisi Yudisial, menunjukkan kompleksitas dalam menjaga
checks and balances. Permasalahan ini menimbulkan pertanyaan tentang urgensi
dan konstruksi ideal pengawasan eksternal terhadap perilaku Hakim Konstitusi di
masa mendatang. Oleh karena itu, penulisan ini bertujuan untuk mengeksplorasi
dan merumuskan solusi terhadap permasalahan tersebut, dengan tujuan akhir
menjaga integritas dan kewibawaan Mahkamah Konstitusi serta memastikan
kepatuhan terhadap hukum dan keadilan dalam sistem peradilan.
METODE PENELITIAN
Penelitian hukum normatif (normative legal research) (Soekanto, 2007) menjadi pilihan dalam
penelitian ini, dengan pendekatan perundang-undangan dan konseptual. Bahan
hukum yang digunakan meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan
bahan hukum tersier. Bahan hukum tersebut dikumpulkan melalui studi
kepustakaan. Bahan hukum primer yaitu norma dasar atau kaidah atau peraturan
dasar serta berupa peraturan perundang-undangan. Bahan hukum sekunder
diperlukan dalam memberikan penjelasan bahan hukum primer berupa buku hukum,
jurnal hukum, dan penelitian hukum sebelumnya yang masih relevan dengan
penelitian ini. Analisis dilakukan secara deskriptif kualitatif dalam melakukan
pembahasan sesuai dengan rumusan permasalahan. �
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kemendesakan
Pengaturan Pengawasan Eksternal Terhadap Perilaku Hakim Konstitusi
Perubahan ketiga Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun
1945) memiliki substansi penting berkenaan dengan kelembagaan negara, dengan
lahirnya lembaga baru dalam rumpun kekuasaan kehakiman yakni Komisi Yudisial. BAB
IX Kekuasaan Kehakiman, pada Pasal 24B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, menentukan
bahwa: �Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan
pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim�.
Makna yang terkandung pasal tersebut
dapat dipahami bahwa Komisi Yudisial adalah lembaga negara yang bersifat mandiri
artinya mengatur dan mengurus diri sendiri tanpa ada campur tangan pihak lain.
Komisi Yudisial mengemban 2 (dua) wewenang penting yang berhubungan dengan
kekuasaan kehakiman, yakni: pertama,
Komisi Yudisial berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung. Kedua, menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim merupakan wewenang. Wewenang
dari kalimat �menjaga� berarti mencegah terjadinya pelanggaran etika perilaku
hakim. Sedangkan kalimat �menegakkan� mengandung maksud menindak dan memberi
sanksi bagi hakim yang melanggar etika perilaku.
Mendasarkan pada wewenang Komisi
Yudisial di atas, maka menjadi kemendesakan agar kiranya kewenangan Komisi
Yudisial dapat ditinjau kembali sebagai pengawas eksternal perilaku Hakim
Konstitusi. Kemendesakan kehadiran Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas
eksternal didasari �pemikiran bahwa hakim
harus memiliki integritas, kepribadian yang tidak tercela, amanah, jujur, adil,
dan memegang teguh nilai-nilai moralitas dalam rangka menegakkan kode etik dan
menjaga kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Secara
konstitusional Komisi Yudisial berada pada posisi yang sangat dipercaya dan
penting, bukan hanya mencetak hakim yang bermartabat dan beretika, tetapi juga
sebagai lembaga yang memerangi bahaya laten korupsi dan pelanggaran etika yang
dilakukan oleh oknum badan peradilan.
Hakim Konstitusi sebagai salah
satu pelaku kekuasaan kehakiman mempunyai posisi istimewa, karena pada
hakikatnya hakim konstitusi merupakan wakil Tuhan di bumi untuk mengkonkritisasi
hukum yang abstrak (Sirajuddin, 2007). Namun demikian, Hakim Konstitusi yang seharusnya memiliki
nurani yang mulia sebagai jelmaan Tuhan di bumi dalam beberapa kasus justru
melakukan pelanggaran etika perilaku, yang mengakibatkan runtuhnya martabat
penegak hukum dan terciderainya rasa keadilan hukum masyarakat. Salah satu
sebab terjadinya pelanggaran etik oleh hakim konstitusi dikarenakan belum
adanya pengaturan pengawasan eksternal yang mampu menjangkau dan menyentuh
hakim konstitusi.
Argumentasi terjadinya pelanggaran
hukum oleh Hakim Konstitusi didukung dengan sejumlah fakta hukum. Sejak
berdirinya Mahkamah Konstitusi, setidaknya sudah ada 3 (tiga) ketua Mahkamah
Konstitusi, dan 1 (satu) Hakim Konstitusi (Justicia, n.d.), telah melakukan pelanggaran hukum dan kode etik hakim, menunjukkan
pengawasan internal terhadap hakim konstitusi tidak berjalan secara efektif. Mahkamah
Konstitusi yang dipandang publik sebagai peradilan yang independen,
berintegritas sebagai puncak pencari keadilan, ternyata dalam realitasnya tidak
steril dari perilaku menyimpang, tidak mampu menjaga mahkota keadilan dan tidak
dapat lepas dari mafia peradilan. Perilaku Hakim Konstitusi yang korup dalam
praktik sangat menciderai nilai keadilan dengan memperdagangkan perkara
sehingga muncul istilah mafia peradilan (Zakiyah, 2016). Mafia peradilan adalah salah satu yang merusak sistem
tujuan negara Indonesia untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia untuk memperoleh keadilan (Pasca, 2018). Dalam rangka menjaga marwah lembaga peradilan perlu ada
pengawasan Hakim Konstitusi secara eksternal yang diharapkan mampu mengawasi Hakim
Konstitusi secara lebih objektif dan independen.
Maraknya praktik korupsi peradilan
disebabkan pengawasan secara internal yang masih ada tidak efektif dan tidak
berjalan secara optimal. Salah satu alasannya adalah dikarenakan adanya
semangat kesatuan (esprit de corps)
yang demikian kuat dan proses koordinasi antar lembaga dalam mekanisme
pengawasan tidak berjalan dengan baik (Syaukani, 2011). Jika pengawasan hanya dilakukan oleh internal lembaga
peradilan, maka akan menimbulkan kurangnya transparansi dan akuntabilitas.
Sementara keberadaan Komisi
Yudisial sebagai pengawas eksternal yang ada selama ini ternyata tidak dapat
menyentuh Hakim Konstitusi, sehingga merasa bahwa apa yang dilakukan oleh Hakim
Konstitusi tidak akan ada yang berani menyentuh dan mengganggu. Merasa
pengawasan tumpul, menyebabkan perilaku yang�
melanggar etika dan hukum itu semakin berani yang akhirnya dalam sejarah
terdapat oknum ketua Mahkamah Konstitusi tertangkap Komisi Pemberantasan
Korupsi. Kejadian yang harusnya tidak boleh terjadi dua kali, ternyata terulang
dengan adanya Hakim Konstitusi yang melanggar hukum, dan ada juga ketua
Mahkamah Konstitusi yang melanggar etika perilaku hakim. Praktis sudah ada 3
(tiga) ketua Mahkamah Konstitusi dan satu Hakim Konstitusi yang menciderai
keadilan. Menyikapi hal tersebut sudah saatnya Mahkamah Konstitusi membuka diri
dengan sungguh-sungguh untuk membersihkan perilaku hakim yang melanggar etika
dan melanggar hukum. Komitmen itu tidak hanya retorika, tetapi dengan kesediaan
menerima Komisi Yudisial sebagai lembaga negara pengawas eksternal yang berwenang
mengawasi semua hakim termasuk Hakim Konstitusi.
�Komisi Yudisial dibentuk sebagai konsekuensi
politik hukum (legal policy) untuk
membangun sistem saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances) di dalam struktur kekuasaan kehakiman. Sesuai
fungsinya, Komisi Yudisial dimaksudkan untuk meningkatkan akuntabilitas
kekuasaan kehakiman yang independen dan diharapkan berperan penting dalam
mewujudkan demokrasi dan negara hukum dengan modal dasar sebagai lembaga
konstitusi (constitutional body) (Falaakh, 2006). Negara hukum menghendaki kekuasaan kehakiman merupakan
badan yang sangat menentukan isi dan kekuatan kaidah-kaidah hukum positif dalam
konkretisasi oleh hakim pada putusan-putusannya (Ariyanti, 2019).
Putusan hakim dimaknai sebagai
putusan yang adil manakala dinilai telah sesuai dengan kepentingannya,
sebaliknya dimaknai tidak adil manakala tidak sesuai dengan kepentingannya.
Terdapat adagium summum ius summa iniuria
bahwa keadilan tertinggi hakikatnya adalah sebagai ketidakadilan yang tertinggi
pula. Padahal seharusnya dalam setiap putusan pengadilan yang terpenting adalah
bagaimana hakim memberikan keadilan kepada mereka yang memang berhak untuk
mendapatkannya, sebagaimana adagium suum
cuique triburere (Moechthar, 2020). Hakim tidak hanya dituntut memiliki kemampuan intelektual
dalam membuat putusan, tetapi diharapkan juga memiliki moral dan integritas
tinggi. Bukan hanya itu, pada titik tertentu hakim bahkan harus mempunyai kadar
iman dan taqwa yang tinggi, mampu berkomunikasi dengan baik, di samping sanggup
menjaga peran, wibawa, dan statusnya di hadapan masyarakat.
Hakim yang baik dihasilkan melalui
proses rekrutmen dan seleksi yang ketat, transparan, objektif, terukur,
berdasarkan standar tinggi, yang dilakukan oleh lembaga yang kredibel.
Selanjutnya untuk memastikan agar tidak terjadi praktik penyimpangan dalam
pelaksanaan tugas dan jabatan hakim sesuai dengan ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan serta kode etik dan pedoman perilaku hakim, maka diperlukan
adanya pengawasan secara berkelanjutan terhadap hakim baik melalui pengawasan
internal maupun pengawasan eksternal. Hakim adalah aktor utama dalam proses
peradilan senantiasa dituntut untuk mengasah kepekaan nurani, kecerdasan moral,
dan profesional dalam menegakkan hukum dan keadilan dalam wujud putusannya (Mappiasse, 2017).
Keputusan hakim harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta kepada masyarakat,
khususnya mereka yang mencari keadilan. Putusan hakim yang tidak independen,
menunjukkan tanda-tanda Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN), kurang
profesional, tidak memberikan kepastian hukum dan rasa keadilan, serta tidak
dapat dieksekusi, dapat mengurangi kepercayaan masyarakat dan merusak reputasi
pengadilan. Pengadilan yang memiliki wibawa adalah pengadilan yang independen,
netral, kompeten, transparan, dan akuntabel, yang mampu menegakkan kewibawaan
hukum, memberikan perlindungan hukum, menjamin kepastian hukum dan keadilan,
yang merupakan prasyarat bagi negara berdasarkan hukum.
Pejabat yang memimpin persidangan,
seorang hakim harus memiliki integritas tinggi, moral etika yang lebih baik. Di
dalam Pasal 24A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, ditegaskan �Hakim agung harus
memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional, dan
berpengalaman di bidang hukum�. Pentingnya etika perilaku hakim, juga menjadi
ketentuan bagi hakim konstitusi. Pasal 24C ayat (5) menyatakan �Hakim� konstitusi harus memiliki integritas dan
kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan
ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara�.
Perilaku hakim dalam
menyelenggarakan tugas dan fungsinya dituntut untuk memiliki integritas dan
profesionalitas dalam memeriksa dan memutus perkara-perkara yang menjadi
kewenangannya. Bahkan khusus Hakim Konstitusi agar lebih konsentrasi dalam
menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pengawal konstitusi, Hakim Konstitusi harus
seorang negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaran dan dilarang
merangkap jabatan apapun. Hakim harus memiliki integritas dan kepribadian yang
tidak tercela, jujur, adil, profesional dan berpengalaman dibidang hukum
merupakan konsekuensi logis untuk mendukung independensi seorang hakim.
Perlunya undang-undang yang berkaitan pengawasan seorang hakim dengan tujuan
untuk memperkuat kewenangan yang sudah dimiliki, termasuk juga usulan diterimanya
Komisi Yudisial sebagai pengawas eksternal bagi Hakim Konstitusi berfungsi
sebagai penyeimbang. Namun demikian baik UUD NRI Tahun 1945, maupun peraturan
perundangan di bawahnya tidak mengatur secara jelas mengenai sistem pengawasan
eksternal terhadap Hakim Konstitusi. Padahal naluri hakim sebagai manusia pada
umumnya pasti punya perilaku yang tidak jauh beda dengan manusia pada umumnya
(salah dan khilaf). Lord Acton (Pimpinan, 2015), menyatakan bahwa pada diri manusia itu tanpa terkecuali
melekat banyak kesalahan.
Terdapat kebenaran pengawasan
hakim yang terlalu ketat dianggap bisa mengganggu hakim menjalankan tugas dan
tanggungjawabnya. Paradigma tersebut seharusnya disikapi dengan berusaha tidak
melakukan kegiatan-kegiatan yang melanggar etika dan juga hukum. Memang tidak
mudah, apalagi oknum hakim yang memang sejak awal terbiasa dengan perilaku yang
cenderung melanggar aturan yang ada, pasti berusaha menghalang-halangi dengan
berbagai argumen yang ujung-ujungnya enggan diawasi dengan alasan bahwa hakim
memiliki independensi dalam melakukan tugasnya, tidak boleh ada orang yang
mengawasinya.
Langkah untuk menjaga integritas
profesi hakim, maka perilaku hakim dibingkai dengan kode etik hakim, yang
menjadi acuan dan pedoman perilaku hakim dalam memeriksa, mengadili, dan
memutus perkara-perkara yang diajukan kepadanya. Oleh karena itu keberadaan
kode etik hakim sebagai pedoman perilaku hakim sangat penting dan mutlak keberadaannya.
Berkaitan dengan etika hakim, secara umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
telah menetapkan etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang berlaku
bagi seluruh bangsa Indonesia. Hal ini tertuang di dalam Ketetapan MPR Nomor
VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, yang sampai saat ini ketetapan
MPR tersebut masih berlaku
(Kaelan & Proses
Reformasi, 2010).
Etika kehidupan berbangsa
bertujuan untuk membantu memberikan penyadaran tentang arti penting tegaknya
etika dan moral dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dalam
etika terkandung prinsip-prinsip dasar pembenaran dalam hubungan dengan tingkah
laku manusia, dan dapat digunakan untuk memberikan predikat seorang hakim
disebut susila atau bijak dan juga sebaliknya menjadi tidak susila atau tidak
bijak (Kaelan & Proses Reformasi, 2010).
Hakim sebagai pelaksana badan
peradilan sebenarnya telah memiliki mekanisme pengawasan internal dengan tugas
mengawasi hakim agar tidak melanggar kode etik yang telah ada. Namun sebagai
norma etik tentunya berfungsi sama dengan norma-norma yang lain, kecenderungan
dilanggar sangat mungkin terjadi. Sehubungan dengan itu, seharusnya Mahkamah
Konstitusi sebagai lembaga pengawal konstitusi dan penafsir konstitusi diawasi
oleh pengawas eksternal yang memiliki kesetaraan kewenangan, dan memiliki
kesetaraan wibawa, serta kesetaraan kedudukan agar pengawasan dapat dilakukan
secara efektif. Urgensi kehadiran lembaga pengawas eksternal yang dilakukan
oleh lembaga pengawas yang bersifat mandiri atau independen terhadap hakim
menjadi kebutuhan yang cukup mendesak dalam menegakkan hukum dan keadilan.
Komisi Yudisial dari sudut pandang
yuridis, mempunyai wewenang untuk mengawasi semua hakim mempunyai dasar yang
kuat dan tidak salah
(Nasution, 2022). Pasal 24B UUD NRI Tahun 1945 memberikan landasan hukum
yang kuat bagi reformasi bidang hukum yakni memberikan kewenangan kepada Komisi
Yudisial yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Selanjutnya
sebagai pelaksanaan dari Pasal 24B ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 kemudian disusunlah
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (Indriati, 2007).
Dasar pertimbangan tersebut merupakan
konsekuensi dianutnya negara hukum, sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 ayat (3)
UUD NRI Tahun 1945, yang menegaskan �Negara Indonesia adalah negara hukum�.
Konsideran tersebut juga merupakan upaya memperkuat kekuasaan kehakiman dengan
independensinya dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, yang dituangkan dalam Pasal
24 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, menyatakan: �Kekuasaan kehakiman merupakan
kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan�. Makna yang terdapat dalam pasal tersebut adalah adanya korelasi
antara negara hukum dengan kekuasaan kehakiman yang merdeka, karena hanya di
dalam negara hukum kekuasaan kehakiman yang merdeka mendapatkan jaminan.
Peranan Komisi Yudisial dalam
mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka, dilakukan dengan pengawasan
terhadap perilaku hakim. Bab III wewenang dan tugas, Pasal 13 huruf a dan huruf
b Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, mengatur wewenang
Komisi Yudisial
(Indriati, 2007). Apabila dicermati terdapat reduksi rumusan Pasal 24B ayat
(1) UUD NRI Tahun 1945 dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi
Yudisial. Dalam Pasal 24B ayat (1) ditegaskan: �...wewenang lain dalam rangka
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim�.
Namun dalam Pasal 13 huruf b Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi
Yudisial dinyatakan: �menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta
menjaga perilaku hakim�. Dengan demikian ada kalimat �menjaga� yang tidak
diakomodasi, padahal kalimat tersebut memiliki makna yang cukup berbeda, yakni
kalimat �menjaga� berarti bersifat preventif, sedangkan kalimat �menegakkan�
berarti bersifat represif atau berada pada ranah penindakan (Rahmi, 2023).
Ketentuan Pasal 13 huruf b
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, menyebut dengan
tegas �perilaku hakim�, berarti hal ini sama dengan yang terdapat dalam Paal
24B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Pengertian hakim kemudian diterjemahkan dalam
Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang
menyatakan: �Hakim adalah Hakim Agung dan hakim pada peradilan di semua
lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung serta Hakim Konstitusi
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945�. Dengan mencermati pasal tersebut, dapat diartikan bahwa hakim yang
menjadi objek pengawasan eksternal Komisi Yudisial adalah Hakim Agung dan hakim
pada peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah
Agung serta Hakim Konstitusi (Wajdi & Hasanuddin, 2022).
��Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, berturut-turut menyebut Hakim
Konstitusi menjadi objek pengawasan eksternal Komisi Yudisial. Pasal tersebut
meliputi Pasal 20, dan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang
Komisi Yudisial. Pasal 23 mengatur tentang usulan penjatuhan sanksi terhadap
hakim yang melibatkan Mahkamah Konstitusi. Pasal 24 mengatur tentang pemberian
penghargaan kepada hakim, dan Pasal 25 mengatur mengenai pengambilan keputusan
oleh Komisi Yudisial.
�Pengaturan wewenang Komisi Yudisial yang
diletakkan dalam UUD NRI Tahun 1945, dan dioperasionalisasikan melalui
instrumen Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial sudah cukup
benar dan tepat untuk menjalankan pengawasan eksternal terhadap semua hakim
termasuk hakim konstitusi dalam menjawab dan menyelesaikan amanah rakyat sesuai
tuntutan reformasi dibidang penegakan hukum, dan pemberantasan korupsi, kolusi,
dan nepotisme.
Namun pada tanggal 23 Agustus 2006
menjadi awal hari yang buram pengawasan eksternal yang dimiliki Komisi
Yudisial, dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 (Putra, 2021). Kesimpulan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006,
menyatakan bahwa
(Huroiroh &
Roychan, 2023):
1.
Hakim Konstitusi tidak
termasuk dalam pengertian �hakim� yang perilaku etiknya diawasi oleh Komisi
Yudisial. Pengawasan terhadap pelaksanaan kode etik hakim konstitusi dilakukan
oleh Majelis Kehormatan yang tersendiri sesuai dengan Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagai pelaksanaan Pasal 24C ayat (6)
UUD NRI Tahun 1945. Dengan demikian, kedudukan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga
pemutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
UUD 1945, termasuk sengketa yang melibatkan Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung,
tidak lagi terganggu sebagai akibat diperluasnya pengertian �hakim� yang
meliputi hakim konstitusi.
2.
Dalam hal
undang-undang menentukan bahwa hakim agung termasuk ke dalam pengertian �hakim�
yang perilaku etiknya diawasi Komisi Yudisial secara eksternal, Mahkamah
Konstitusi berpendapat hal itu tidak bertentangan dengan UUD 1945. Dengan
demikian, hal itu berpulang kepada pembentuk undang-undang, yaitu DPR bersama
Presiden, untuk menentukan kebijakan hukum yang akan dipilih dalam rangka
menjalankan perintah Paal 24B ayat (1) UUD 1945.
3.
Mengenai prosedur
pengawasan, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa:
a.
Perumusan Pasal 13
huruf b juncto Pasal 20 Undang-undang
Komisi Yudisial mengenai wewenang lain Komisi Yudisial sebagai penjabaran dari
Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 menggunakan perumusan kalimat yang berbeda sehingga
menimbulkan masalah dalam penormaannya dalam Undang-Undang Komisi Yudisial yang
menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid);
b.
Undang-Undang Komisi
Yudisial terbukti tidak rinci mengatur mengenai prosedur pengawasan, tidak
jelas dan tegas menentukan siapa subjek yang mengawasi, apa objek yang diawasi,
instrumen apa yang digunakan, serta bagaimana proses pengawasan itu
dilaksanakan. Hal tidak jelas dan tidak rincinya pengaturan mengenai pengawasan
dalam Undang-Undang Komisi Yudisial serta perbedaan dalam rumusan kalimat
seperti dimaksud pada butir (1) menyebabkan semua ketentuan Undang-Undang
Komisi Yudisial tentang pengawasan menjadi kabur (abscuur) dan menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) dalam pelaksanaannya;
c.
Konsepsi pengawasan yang
terkandung dalam Undang-Undang Komisi Yudisial didasarkan atas paradigma
konseptual yang tidak tepat, yaitu seolah-olah hubungan antara Mahkamah Agung
dan Komisi Yudisial berada dalam pola hubungan �checks and balances� antarcabang kekuasaan dalam konteks ajaran
pemisahan kekuasaan (separation of power)
sehingga menimbulkan penafsiran yang juga tidak tepat, terutama dalam
pelaksanaannya. Oleh karena itu, segala hal ketentuan Undang-Undang Komisi
Yudisial yang menyangkut pengawasan harus dinyatakan bertentangan dengan UUD
1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena terbukti menimbulkan
ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid).
Berdasarkan putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, yang menyatakan bahwa sepanjang menyangkut
perluasan pengertian hakim menurut Pasal 24B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang
meliputi hakim konstitusi terbukti bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945, dan
tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Putusan tersebut mengakibatkan
penyempitan objek pengawasan hakim yang dilakukan oleh Komisi Yudisial.
Komisi Yudisial sebagai pengawas
eksternal, sempat muncul kembali dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi, yang salah satunya mengamanatkan agar Mahkamah Konstitusi
bersama-sama dengan Komisi Yudisial menyusun dan menetapkan Kode Etik dan
Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi yang berisi norma yang harus dipatuhi oleh
setiap Hakim Konstitusi. Namun Komisi Yudisial yang didesain ikut serta sebagai
pengawas eksternal terhadap Hakim Konstitusi tidak dapat lagi berfungsi, dengan
dikabulkannya permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 terhadap
Undang-Undang Dasar, oleh Mahkamah Konstitusi. Dengan dibatalkannya
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014, yang sempat mengadopsi Komisi Yudisial
sebagai pengawasan eksternal, maka sistem etik Hakim Konstitusi kembali hanya
pengawasan yang bersifat internal (Wiryanto, 2016), dan selanjutnya berlakunya kembali Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi.
�Kembali berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi, berarti kembali pula tidak diakomodirnya Komisi Yudisial sebagai
pengawas eksternal. Penegakan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim
Konstitusi dalam undang-undang ini dilakukan oleh sebuah organ yang bernama
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (Sorik, Nasution, &
Nazaruddin, 2018).
Berdasarkan Peraturan Mahkamah
Konstitusi Nomor 2 Tahun 2014 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi,
diatur mengenai kontruksi Dewan Etik yang otomatis berada dalam Majelis
Kehormatan Mahkamah Konstitusi. Dewan Etik mempunyai anggota berjumlah 3 (tiga)
orang yang bersifat tetap selama 3 (tiga) tahun yang terdiri atas: (1) satu
orang mantan hakim konstitusi, (2) satu orang Guru Besar dalam bidang hukum,
dan (3) satu orang tokoh masyarakat. Apabila melihat komposisi seluruh keanggotaan
Dewan Etik, maka kualifikasi Dewan Etik adalah lembaga pengawas eksternal (di
luar Mahkamah Konstitusi) (Sorik, 2017).
Pembentukan Dewan Etik bersifat
tetap dan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi bersifat ad hoc, dapat diketahui bahwa sejatinya Mahkamah Konstitusi masih
membutuhkan lembaga pengawas dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku Hakim Konstitusi yakni lembaga pengawas
eksternal Komisi Yudisial (Wiryanto, 2016). Masuknya Komisi Yudisial dalam Majelis Kehormatan Mahkamah
Konstitusi yang dinyatakan secara tegas dalam Pasal 5 Peraturan Mahkamah
Konstitusi Nomor 2 Tahun 2014 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, semakin
membuktikan bahwa diakuinya Komisi Yudisial sebagai pengawas eksternal bagi Hakim
Konstitusi, walaupun tidak dinyatakan secara tegas dalam sistem pengawasan etik
Hakim Konstitusi.
Konstruksi Pengaturan Pengawasan Eksternal
Perilaku Hakim Konstitusi
Pengawasan terhadap perilaku Hakim
Konstitusi yang selama ini sudah dilakukan oleh Dewan Etik dan Majelis
Kehormatan Mahkamah Konstitusi dirasa tidak efektif, dengan kenyataan bahwa
pengawasan internal Mahkamah Konstitusi mengalami kesulitan. Berbagai kesulitan
itu antara lain kewenangan yang diberikan tidak memadai untuk mencegah
pelanggaran yang dilakukan Hakim Konstitusi. Keadaan terburuk ketika Mahkamah
Konstitusi sebagai lembaga negara yang memiliki kewenangan menjaga dan
menafsirkan Undang-Undang Dasar ternyata tidak memiliki pengawas eksternal.
Untuk itu sangat penting kehadiran pengawas eksternal di lembaga Mahkamah
Konstitusi. Kehadiran lembaga pengawas eksternal akan membantu dalam menegakkan
marwah Mahkamah Konstitusi, membantu menegur Hakim Konstitusi agar tidak
melakukan pelanggaran etika dan/atau pelanggaran hukum. Keterbatasan hakim
sebagai manusia yang tidak sempurna menjadi alasan kehadiran lembaga pengawas
eksternal. Untuk itu perlu adanya perubahan UUD NRI Tahun 1945 dengan
memasukkan atau menormakan pengawasan eksteral Hakim Konstitusi (Zulmi, 2020).
Adapun konstruksi sebagai gagasan
pengaturan pengawas eksternal yang dianggap relevan untuk mengawasi Hakim
Konstitusi sebagai berikut:
1.
Komisi Yudisial
Komisi Yudisial adalah lembaga tinggi
negara yang dibentuk berdasarkan amanat Pasal 24B ayat (1), (2), (3), dan (4)
UUD NRI Tahun 1945. Walaupun secara fungsional kedudukan Komisi Yudisial tidak
sama dengan Mahkamah Konstitusi, namun dengan melihat kedudukan yang begitu
kuat tercantum dalam Undang-Undang Dasar dan secara kelembagaan sejajar dengan
lembaga tinggi negara lain maka sangat layak apabila Komisi Yudisial juga dapat
menjadi pengawas eksternal Hakim Konstitusi.
2.
Badan Pemeriksa
Keuangan
Badan Pemeriksa Keuangan adalah lembaga
tinggi negara yang memiliki tugas dan kewenangan diatur dalam UUD NRI Tahun
1945 Pasal 23E ayat (1) dan (2), Pasal 23F ayat (1) dan (2), Pasal 23G ayat (1)
dan (2). Kehadiran BPK diharapkan menjadi alat kontrol yang efektif dalam
rangka checks and balances untuk
menciptakan pemerintahan yang bersih dari tindakan korupsi.
3.
Komisi Ombudsman
Nasional
Melalui Keputusan Presiden Nomor 44
Tahun 2000 dibentuklah lembaga independen yang diberi nama Komisi Ombudsman
Nasional. Komisi ini mempunyai tujuan untuk membantu menciptakan dan atau
mengembangkan kondisi yang kondusif dalam melaksanakan pemberantasan KKN serta
melindungi hak-hak masyarakat agar memperoleh pelayanan umum, keadilan, dan
kesejahteraan secara lebih baik. Lembaga negara ini dapat mengawasi jalannya
pelayanan publik untuk dapat mewujudkan pemerintahan yang bersih dan
penyelenggaraan negara yang baik (clean
and good governance). Selain itu pembentukan Komisi ini dalam rangka
meningkatkan pemberian perlindungan terhadap hak-hak anggota masyarakat dari
pelaku penyelenggara negara.
Mengenai prosedur pengaturan pembentukan
pengawas eksternal bagi Hakim Konstitusi dapat dilakukan dengan cara berikut:
1. Perubahan UUD NRI Tahun 1945
Pentingnya perubahan terhadap UUD NRI Tahun 1945 dikarenakan manusia yang
terus berubah dengan berbagai tuntutan dan tantangannya. Sebagai hukum dasar
yang dijadikan patokan dalam mengatur kehidupan bermasyarakat dan mengatur
negara tentu harus bisa mengikuti perkembangan zaman. Setiap zaman tentu muncul
tantangan yang berbeda. Perubahan konstitusi bukanlah hal yang tabu. Namun
dalam melakukan proses perubahan tentu ada prosedur yang telah diatur dalam
peraturan perundang-undangan, tidak boleh sekehendak hati.
Hal-hal yang patut diperhatikan
mengenai ukuran pengembangan bidang hukum sebagai berikut:
(a)
ukuran keperluan yang
mendesak (urgent need) kadang
dihadapkan pada pilihan terdesak untuk segera melakukannya tanpa kesempatan
memilih dalam arti yang sebenarnya;
(b)
feasibility, hukum yang
mengandung banyak halangan ditangguhkan dan dipilih bidang-bidang yang tak ada
komplikasi kultural, keagamaan, dan sosiologis;
(c)
perubahan pokok (fundamental change), disinilah perubahan
(melalui perundang-undangan) diperlukan karena pertimbangan politis, ekonomi,
dan atau sosial
(Hakiki, 2018).
Dalam hal pembentukan lembaga
pengawas eksternal terhadap Hakim Konstitusi, peran Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) sangat penting, mengingat satu-satunya lembaga negara yang dapat
melakukan perubahan terhadap UUD 1945 yakni MPR. Ketentuan ini secara limitatif
terdapat dalam BAB II tentang MPR dalam Pasal 3 ayat (1) yang menegaskan
�Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang
Dasar�. Makna dari pasal tersebut MPR memang tidak memiliki kewenangan
mengawasi Hakim Mahkamah Konstitusi, namun MPR memiliki kewenangan mengadakan
perubahan UUD NRI Tahun 1945 dengan memasukkan pasal yang berkaitan dengan
lembaga pengawas eksternal perilaku Hakim Mahkamah Konstitusi dalam UUD NRI
Tahun 1945.
2. Pembentukan Undang-Undang
Peranan DPR dan Presiden dalam
proses pembentukan undang-undang yang terkait dengan pengawasan eksternal perilaku
Hakim Mahkamah Konstitusi sangat diperlukan. Prosedur pembentukan undang-undang
dapat berasal dari Presiden, sebagaimana terdapat dalam Pasal 5 ayat (1) yang
menegaskan �Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan
Perwakilan Rakyat�. Selanjutnya Pasal 20 ayat (1) menegaskan �Dewan Perwakilan
Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang�.
Kewenangan yang dimiliki DPR dalam
fungsi pengawasan terhadap Hakim Konstitusi berkaitan dengan penggunaan
anggaran dan fasilitas negara, bukan mengawasi etika Hakim Konstitusi.
Pelanggaran etika Hakim Konstitusi ditangani Dewan Etik dan Majelis Kehormatan
Mahkamah Konstitusi. Namun demikian tidak menutup kemungkinan bagi DPR dengan
persetujuan bersama Presiden atas dasar politik hukum tertentu membentuk
undang-undang yang materi muatannya tentang pengawasan eksternal terhadap
perilaku Hakim Konstitusi.
KESIMPULAN
Pengawasan eksternal
terhadap perilaku Hakim Konstitusi mendesak dilakukan untuk tujuan menghindari
penyalahgunaan kekuasaan. Kehadiran lembaga pengawas eksternal dimaksudkan memurnikan,
menjaga marwah dan keluhuran martabat hakim khususnya Hakim Konstitusi. Dalam
upaya mewujudkan lembaga pengawas eksternal perilaku Hakim Konstitusi
diperlukan perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945 oleh MPR dengan
menormakan secara eksplisit dalam pasal tertentu yang memberikan kewenangan
Komisi Yudisial mengawasi hakim, hakim Agung dan Hakim Konstitusi.�
BIBLIOGRAFI
Anshori, Imam. (2014). Konsep Pengawasan Kehakiman: Upaya
Memperkuat Kewenangan Konstitusional Komisi Yudisial dalam Pengawasan Peradilan.
Malang: Setara Press.
Antikowati, A., &
Handono, Mardi. (2018). Reinforcement of Judicial Supervision Function by
Judicial Commission and Supreme Court as a Form of Shared Responsibility
System. Sociological Jurisprudence Journal, 1(2), 137�141.
Ariyanti, Vivi.
(2019). Kebebasan hakim dan kepastian hukum dalam menangani perkara pidana di
Indonesia. Mahkamah: Jurnal Kajian Hukum Islam, 4(2), 162�174.
Falaakh, Muhammad
Fajrul. (2006). Beberapa Pemikiran Untuk Revisi Undang-undang Komisi Yudisial
Republik Indonesia. Dalam BungaRampai Refleksi Satu Tahun Komisi Yudisial.
Hakiki, Yuniar Riza.
(2018). Desain Gagasan Pengusulan Pasangan Calon Presiden Dan Wakil Presiden
Republik Indonesia Melalui Jalur Perseorangan.
Huroiroh, Ernawati,
& Roychan, Wahidur. (2023). Quo Vadis Eksistensi Komisi Yudisial Sebagai
Majelis Kehormatan Mahkamah Kostitusi Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.
56/PUU-XX/2022. Sosio Yustisia: Jurnal Hukum Dan Perubahan Sosial, 3(2),
137�158.
Indriati, Maria
Farida. (2007). Perubahan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi
Yudisial. Jurnal Hukum PRIORIS, 1(2), 65�72.
Justicia, Dewan
Mahasiswa. (n.d.). Mahkamah Konstitusi, Berbenahlah!
Kaelan, M. S., &
Proses Reformasi, U. U. D. (2010). Negara Amandemen 2002 Pancasila sebagai
sistem filsafat pancasila sebagai etika politik paradigma bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Edisi Kesembilan, Paradigma, Yogyakarta.
Kusuma, Ananda B.
(2011). Sistem pemerintahan" pendiri negara" versus sistem
presidensiel" orde reformasi". Badan Penerbit Fakultas Hukum,
Universitas Indonesia.
Mahfud, Moh. (2007). Perdebatan
hukum tata negara pasca amandemen konstitusi. Lp3es.
Mappiasse, Syarif.
(2017). Logika hukum pertimbangan putusan hakim. Prenada Media.
Moechthar, Oemar.
(2020). Eksistensi, Fungsi, Dan Tujuan Hukum: Dalam Perspektif Teori Dan
Filsafat Hukum. Prenada Media.
Nasution, Muhammad
Alfariji. (2022). Analisis Yuridis Tentang Pengawasan Hakim Oleh Komisi
Yudisial Dalam Prespektif Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (Studi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006). Fakultas
Hukum, Universitas Islam Sumatera Utara.
PASCA, HAKIM. (2018).
Kewenangan Komisi Yudisial Dalam Pengawasan Terhadap Prilaku. Jurnal Surya
Kencana Satu: Dinamika Masalah Hukum Dan Keadilan, 10(2), 117.
Pimpinan, M. P. R.
(2015). Tim kerja sosialisasi MPR RI periode 2009-2014. Materi Sosialisasi
Empat Pilar, Sekretariat Jenderal MPR RI, Jakarta.
Putra, Ida Bagus Gede
Ekapratama. (2021). Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006
Terhadap Kewenangan Komisi Yudisial Mengawasi Hakim Konstitusi. Lex
administratum, 9(6).
Rahmi, Siti. (2023). Analisis
Hukum Ambang Batas Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden Dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum. UIN Ar-Raniry.
Sirajuddin,
Zulkarnain. (2007). Sugianto, Komisi Pengawas Penegak Hukum: Mampukah
Membawa Perubahan. Malang Coruption Watch (MCW)-YAPPIKA, Malang.
Soekanto, Soerjono.
(2007). Penelitian hukum normatif: Suatu tinjauan singkat.
Sorik, Sutan. (2017). Implementasi
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Majelis Kehormatan
Mahkamah Konstitusi (Studi Keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi
Nomor 01/MKMK/X/2013). Universitas Sumatera Utara.
Sorik, Sutan,
Nasution, Mirza, & Nazaruddin, Nazaruddin. (2018). Eksistensi Majelis
Kehormatan Mahkamah Konstitusi (Studi Keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah
Konstitusi Nomor 01/MKMK/X/2013). Jurnal Konstitusi, 15(3),
666�687.
SUHARTO, Rakhmat Bowo.
(2011). Rekonstruksi Birokrasi Pemerintah Daerah dalam Pengelolaan Sumber
Daya Alam Menuju Keberlanjutan Ekologi. Program Pascasarjana Undip.
Syaukani, Imam.
(2011). Dasar-dasar politik hukum.
Wajdi, Farid, &
Hasanuddin, Muhammad Ilham. (2022). Pengawasan hakim dan penegakan kode etik
di Komisi Yudisial. Sinar Grafika.
Wiryanto, Wiryanto.
(2016). Penguatan Dewan Etik dalam Menjaga Keluhuran Martabat Hakim Konstitusi.
Jurnal Konstitusi, 13(4), 720�742.
Zakiyah, Wasingatu.
(2016). Menyingkap mafia peradilan. Setara Press.
Zulmi, Dukatis.
(2020). Mekanisme Pemberhentian Hakim Mahkamah Konstitusi (Analisis
Keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi Nomor: 01/MKMK/X/2013).
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
�Sukrisno1,
Marsudi Dedi Putra2* (2024) |
First publication right: |
This article is licensed under: |