JOURNAL SYNTAX IDEA

p�ISSN: 2723-4339 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 6, No. 03, March 2024

 

 

 

Kemendesakan Pengaturan Pengawasan Eksternal Perilaku Hakim Konstitusi

 

Sukrisno1, Marsudi Dedi Putra2*

1,2Universitas Wisnuwardhana Malang, Jawa Timur, Indonesia

Email: [email protected]

 

Abstrak

Kekuasaan kehakiman bersifat merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Namun, dalam pelaksanaan kekuasaannya tidak boleh dibiarkan tanpa kontrol. Bahkan pengawasan modern dibutuhkan agar tidak memunculkan penyalahgunaan kekuasaan seperti yang pernah terjadi. penelitian ini mencari terobosan baru sebagai langkah yang diperlukan dalam melakukan pengawasan eksternal bagi perilaku Hakim Konstitusi. Tipe penelitian ini termasuk yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan konseptual. Sedangkan analisis yang digunakan yuridis analitis serta diuraikan secara deskriptif kualitatif. Hasil penelitian: (1) langkah yang dapat ditempuh untuk mengawasi perilaku Hakim Konstitusi dengan melakukan perubahan UUD 1945 dan/atau membentuk undang-undang; (2) konstruksi pengaturan lembaga negara yang paling tepat untuk mengawasi perilaku Hakim Konstitusi ialah Komisi Yudisial selain Badan Pemeriksa Keuangan dan Komisi Ombudsman. Oleh karena itu penulisan ini bertujuan untuk mengeksplorasi dan merumuskan solusi terhadap permasalahan tersebut, dengan tujuan akhir menjaga integritas dan kewibawaan Mahkamah Konstitusi serta memastikan kepatuhan terhadap hukum dan keadilan dalam sistem peradilan.

 

Kata kunci: pengawasan eksternal, hakim konstitusi, komisi yudisial

 

Abstract

Judicial power is independent in administering justice to uphold law and justice. However, the exercise of his powers must not be left uncontrolled. In fact, modern supervision is needed to prevent abuse of power as has occurred. This article seeks new breakthroughs as necessary steps in carrying out external supervision of the behavior of Constitutional Justices. This type of research includes normative juridical with a statutory and conceptual approach. Meanwhile, the analysis used is analytical juridical and described qualitatively descriptively. Research results: (1) steps that can be taken to monitor the behavior of Constitutional Judges by making changes to the 1945 Constitution and/or forming laws; (2) the most appropriate construction of state institutions to supervise the behavior of Constitutional Judges is the Judicial Commission apart from the Financial Audit Agency and the Ombudsman Commission. Therefore, this writing aims to explore and formulate solutions to these problems, with the ultimate aim of maintaining the integrity and authority of the Constitutional Court and ensuring compliance with law and justice in the judicial system.

 

Keywords: external supervision, constitutional judge, judicial commission

 

PENDAHULUAN

Pemikiran dari aspek filosofis, kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan tidak dapat dibiarkan begitu saja tanpa kontrol atau pengawasan. Ketidakmampuan pengawasan atau adanya pengawasan yang hanya bersifat internal belum berjalan secara optimal dan masih memiliki potensi untuk terjadi penyalahgunaan kekuasaan. Kondisi demikian dibutuhkan karena kemerdekaan dan kemartabatan perilaku hakim merupakan syarat mutlak tegaknya hukum dan keadilan. Diharapkan bahwa hal tersebut akan memperkuat proses pembangunan hukum dan pada akhirnya dapat menciptakan masyarakat yang patuh terhadap hukum. Untuk menjaga tegaknya hukum dan keadilan di lembaga peradilan, diperlukan hakim yang secara konsisten mengasah kepekaan moral, menjaga integritas, meningkatkan kecerdasan moral, dan memperbaiki profesionalisme mereka. Hakim dituntut untuk senantiasa menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilakunya dalam menegakkan hukum, kebenaran, dan keadilan berdasarkan keyakinan pada Tuhan Yang Maha Esa (Antikowati & Handono, 2018), tidak terkecuali Hakim Konstitusi.

Mempersiapkan hakim yang luhur nan bermartabat ternyata bukanlah persoalan yang gampang. Berbagai kebijakan telah dilakukan oleh negara dalam mewujudkan perilaku hakim yang bersih dalam menegakkan hukum, kebenaran dan keadilan. Satu diantara kebijakan Pemerintah ialah dengan adanya keberadaan Komisi Yudisial yang diatur secara tegas dalam Pasal 24B UUD NRI Tahun 1945, dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Kendati demikian, Komisi Yudisial dalam menjalankan wewenangnya menemui banyak hambatan, salah satu hambatan pelaksanaan wewenangnya adalah munculnya resistensi dari kalangan hakim yang menjadi objek pengawasan. Perdebatan hukum yang muncul adalah batasan wewenang Komisi Yudisial dalam melakukan pengawasan terhadap hakim agung dan hakim konstitusi (Suharto, 2011). Resistensi tersebut berpuncak pada diajukannya uji materi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, oleh 31 hakim agung kepada Mahkamah Konstitusi yang terjadi pada tanggal 23 Agustus 2006. Pada saat itulah menjadi awal hari yang buram pengawasan eksternal yang dimiliki Komisi Yudisial.

Berdasar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 (Putra, 2021), setidaknya sampai pada saat ini masih menimbulkan isu hukum yang belum terjawab dengan tuntas yakni terjadi kekaburan norma (vague norm) dengan tafsir yang berbeda-beda sehingga menimbulkan perdebatan (despute) (Mahfud, 2007), dalam menerjemahkan makna kata hakim dalam wewenang Komisi Yudisial dalam menjaga dan menegakkan perilaku hakim. Tidak adanya persamaan konsep hakim dalam Pasal 24B ayat (1) UUD NRI Tahun dengan konsep hakim dalam Pasal 1 angka 5 dan Pasal 13 huruf b Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, menjadi persoalan dalam pelaksanaan wewenang Komisi Yudisial sebagai pengawas eksternal bagi perilaku hakim. Kekaburan norma demikian menyebabkan Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal dan penafsir UUD NRI Tahun 1945 sampai saat ini tidak memiliki lembaga pengawas eksternal.

Tiadanya lembaga pengawas eksternal menjadi persoalan cukup serius, khususnya terkait dengan penerapan teori pemisahan kekuasaan dan checks and balances yang berkaitan dengan tidak adanya pengawasan kode etik Hakim Konstitusi yang dilakukan lembaga pengawas eksternal. Dalam hal ini, telah terjadi kekosongan lembaga pengawas eksternal yang mengawasi perilaku Hakim Konstitusi. Sistem checks and balances atau pengawasan dan keseimbangan dapat diartikan dimana setiap cabang kekuasaan dapat mengawasi dan mengimbangi setiap cabang kekuasaan lainnya. Inti dari dari sistem checks and balances adalah tidak adanya lembaga pemerintahan yang supreme (Kusuma, 2011). Checks and balances dalam penyelenggaraan kekuasaan memungkinkan adanya saling kontrol antara cabang kekuasaan yang ada, dan menghindari tindakan hegemonik, tirani, dan menghindari kekuasaan (Anshori, 2014).

Kebutuhan pengawas eksternal perilaku Hakim Konstitusi menjadi sangat mendesak dalam memenuhi kebutuhan jangka panjang agar kewibawaan Mahkamah Konstitusi sebagai garda terdepan para pencari keadilan harus tetap terjaga. Menyikapi desakan adanya wacana kehadiran pengawas eksternal perilaku Hakim Konstitusi harus disikapi dengan arif dan bijaksana bahwa tujuannya adalah agar marwah Mahkamah Konstitusi tetap terjaga. Kehadiran lembaga pengawas eksternal juga bertujuan untuk menghindari kekuasaan yang absolut. Ketentuan demikian tentu sangat tepat dengan dalil yang termashur dari Lord Acton, seorang ahli sejarah Inggris menyatakan �Manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaan itu, tetapi manusia yang mempunyai kekuasaan tak terbatas pasti akan menyalahgunakannya secara tak terbatas pula� (power tends corrupt, but absolute power corrupt absolutely).

Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut: (1) Apa kemendesakan perlunya pengawasan eksternal terhadap perilaku Hakim Konstitusi (2) Bagaimana konstruksi pengaturan ideal pengawasan eksternal perilaku Hakim Konstitusi di masa datang.

Dalam konteks pengawasan kekuasaan kehakiman, terutama terkait dengan perilaku Hakim Konstitusi, diperlukan pemahaman filosofis yang mendalam. Kehadiran lembaga pengawas eksternal menjadi krusial dalam menjaga kemerdekaan dan kemartabatan perilaku hakim, yang merupakan syarat mutlak bagi tegaknya hukum dan keadilan. Namun, kendala dan perdebatan terkait batasan wewenang lembaga pengawas eksternal, seperti Komisi Yudisial, menunjukkan kompleksitas dalam menjaga checks and balances. Permasalahan ini menimbulkan pertanyaan tentang urgensi dan konstruksi ideal pengawasan eksternal terhadap perilaku Hakim Konstitusi di masa mendatang. Oleh karena itu, penulisan ini bertujuan untuk mengeksplorasi dan merumuskan solusi terhadap permasalahan tersebut, dengan tujuan akhir menjaga integritas dan kewibawaan Mahkamah Konstitusi serta memastikan kepatuhan terhadap hukum dan keadilan dalam sistem peradilan.

 

METODE PENELITIAN

Penelitian hukum normatif (normative legal research) (Soekanto, 2007) menjadi pilihan dalam penelitian ini, dengan pendekatan perundang-undangan dan konseptual. Bahan hukum yang digunakan meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan hukum tersebut dikumpulkan melalui studi kepustakaan. Bahan hukum primer yaitu norma dasar atau kaidah atau peraturan dasar serta berupa peraturan perundang-undangan. Bahan hukum sekunder diperlukan dalam memberikan penjelasan bahan hukum primer berupa buku hukum, jurnal hukum, dan penelitian hukum sebelumnya yang masih relevan dengan penelitian ini. Analisis dilakukan secara deskriptif kualitatif dalam melakukan pembahasan sesuai dengan rumusan permasalahan.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kemendesakan Pengaturan Pengawasan Eksternal Terhadap Perilaku Hakim Konstitusi

Perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) memiliki substansi penting berkenaan dengan kelembagaan negara, dengan lahirnya lembaga baru dalam rumpun kekuasaan kehakiman yakni Komisi Yudisial. BAB IX Kekuasaan Kehakiman, pada Pasal 24B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, menentukan bahwa: �Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim�.

Makna yang terkandung pasal tersebut dapat dipahami bahwa Komisi Yudisial adalah lembaga negara yang bersifat mandiri artinya mengatur dan mengurus diri sendiri tanpa ada campur tangan pihak lain. Komisi Yudisial mengemban 2 (dua) wewenang penting yang berhubungan dengan kekuasaan kehakiman, yakni: pertama, Komisi Yudisial berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung. Kedua, menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim merupakan wewenang. Wewenang dari kalimat �menjaga� berarti mencegah terjadinya pelanggaran etika perilaku hakim. Sedangkan kalimat �menegakkan� mengandung maksud menindak dan memberi sanksi bagi hakim yang melanggar etika perilaku.

Mendasarkan pada wewenang Komisi Yudisial di atas, maka menjadi kemendesakan agar kiranya kewenangan Komisi Yudisial dapat ditinjau kembali sebagai pengawas eksternal perilaku Hakim Konstitusi. Kemendesakan kehadiran Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas eksternal didasari pemikiran bahwa hakim harus memiliki integritas, kepribadian yang tidak tercela, amanah, jujur, adil, dan memegang teguh nilai-nilai moralitas dalam rangka menegakkan kode etik dan menjaga kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Secara konstitusional Komisi Yudisial berada pada posisi yang sangat dipercaya dan penting, bukan hanya mencetak hakim yang bermartabat dan beretika, tetapi juga sebagai lembaga yang memerangi bahaya laten korupsi dan pelanggaran etika yang dilakukan oleh oknum badan peradilan.

Hakim Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman mempunyai posisi istimewa, karena pada hakikatnya hakim konstitusi merupakan wakil Tuhan di bumi untuk mengkonkritisasi hukum yang abstrak (Sirajuddin, 2007). Namun demikian, Hakim Konstitusi yang seharusnya memiliki nurani yang mulia sebagai jelmaan Tuhan di bumi dalam beberapa kasus justru melakukan pelanggaran etika perilaku, yang mengakibatkan runtuhnya martabat penegak hukum dan terciderainya rasa keadilan hukum masyarakat. Salah satu sebab terjadinya pelanggaran etik oleh hakim konstitusi dikarenakan belum adanya pengaturan pengawasan eksternal yang mampu menjangkau dan menyentuh hakim konstitusi.

Argumentasi terjadinya pelanggaran hukum oleh Hakim Konstitusi didukung dengan sejumlah fakta hukum. Sejak berdirinya Mahkamah Konstitusi, setidaknya sudah ada 3 (tiga) ketua Mahkamah Konstitusi, dan 1 (satu) Hakim Konstitusi (Justicia, n.d.), telah melakukan pelanggaran hukum dan kode etik hakim, menunjukkan pengawasan internal terhadap hakim konstitusi tidak berjalan secara efektif. Mahkamah Konstitusi yang dipandang publik sebagai peradilan yang independen, berintegritas sebagai puncak pencari keadilan, ternyata dalam realitasnya tidak steril dari perilaku menyimpang, tidak mampu menjaga mahkota keadilan dan tidak dapat lepas dari mafia peradilan. Perilaku Hakim Konstitusi yang korup dalam praktik sangat menciderai nilai keadilan dengan memperdagangkan perkara sehingga muncul istilah mafia peradilan (Zakiyah, 2016). Mafia peradilan adalah salah satu yang merusak sistem tujuan negara Indonesia untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia untuk memperoleh keadilan (Pasca, 2018). Dalam rangka menjaga marwah lembaga peradilan perlu ada pengawasan Hakim Konstitusi secara eksternal yang diharapkan mampu mengawasi Hakim Konstitusi secara lebih objektif dan independen.

Maraknya praktik korupsi peradilan disebabkan pengawasan secara internal yang masih ada tidak efektif dan tidak berjalan secara optimal. Salah satu alasannya adalah dikarenakan adanya semangat kesatuan (esprit de corps) yang demikian kuat dan proses koordinasi antar lembaga dalam mekanisme pengawasan tidak berjalan dengan baik (Syaukani, 2011). Jika pengawasan hanya dilakukan oleh internal lembaga peradilan, maka akan menimbulkan kurangnya transparansi dan akuntabilitas.

Sementara keberadaan Komisi Yudisial sebagai pengawas eksternal yang ada selama ini ternyata tidak dapat menyentuh Hakim Konstitusi, sehingga merasa bahwa apa yang dilakukan oleh Hakim Konstitusi tidak akan ada yang berani menyentuh dan mengganggu. Merasa pengawasan tumpul, menyebabkan perilaku yangmelanggar etika dan hukum itu semakin berani yang akhirnya dalam sejarah terdapat oknum ketua Mahkamah Konstitusi tertangkap Komisi Pemberantasan Korupsi. Kejadian yang harusnya tidak boleh terjadi dua kali, ternyata terulang dengan adanya Hakim Konstitusi yang melanggar hukum, dan ada juga ketua Mahkamah Konstitusi yang melanggar etika perilaku hakim. Praktis sudah ada 3 (tiga) ketua Mahkamah Konstitusi dan satu Hakim Konstitusi yang menciderai keadilan. Menyikapi hal tersebut sudah saatnya Mahkamah Konstitusi membuka diri dengan sungguh-sungguh untuk membersihkan perilaku hakim yang melanggar etika dan melanggar hukum. Komitmen itu tidak hanya retorika, tetapi dengan kesediaan menerima Komisi Yudisial sebagai lembaga negara pengawas eksternal yang berwenang mengawasi semua hakim termasuk Hakim Konstitusi.

Komisi Yudisial dibentuk sebagai konsekuensi politik hukum (legal policy) untuk membangun sistem saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances) di dalam struktur kekuasaan kehakiman. Sesuai fungsinya, Komisi Yudisial dimaksudkan untuk meningkatkan akuntabilitas kekuasaan kehakiman yang independen dan diharapkan berperan penting dalam mewujudkan demokrasi dan negara hukum dengan modal dasar sebagai lembaga konstitusi (constitutional body) (Falaakh, 2006). Negara hukum menghendaki kekuasaan kehakiman merupakan badan yang sangat menentukan isi dan kekuatan kaidah-kaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim pada putusan-putusannya (Ariyanti, 2019).

Putusan hakim dimaknai sebagai putusan yang adil manakala dinilai telah sesuai dengan kepentingannya, sebaliknya dimaknai tidak adil manakala tidak sesuai dengan kepentingannya. Terdapat adagium summum ius summa iniuria bahwa keadilan tertinggi hakikatnya adalah sebagai ketidakadilan yang tertinggi pula. Padahal seharusnya dalam setiap putusan pengadilan yang terpenting adalah bagaimana hakim memberikan keadilan kepada mereka yang memang berhak untuk mendapatkannya, sebagaimana adagium suum cuique triburere (Moechthar, 2020). Hakim tidak hanya dituntut memiliki kemampuan intelektual dalam membuat putusan, tetapi diharapkan juga memiliki moral dan integritas tinggi. Bukan hanya itu, pada titik tertentu hakim bahkan harus mempunyai kadar iman dan taqwa yang tinggi, mampu berkomunikasi dengan baik, di samping sanggup menjaga peran, wibawa, dan statusnya di hadapan masyarakat.

Hakim yang baik dihasilkan melalui proses rekrutmen dan seleksi yang ketat, transparan, objektif, terukur, berdasarkan standar tinggi, yang dilakukan oleh lembaga yang kredibel. Selanjutnya untuk memastikan agar tidak terjadi praktik penyimpangan dalam pelaksanaan tugas dan jabatan hakim sesuai dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan serta kode etik dan pedoman perilaku hakim, maka diperlukan adanya pengawasan secara berkelanjutan terhadap hakim baik melalui pengawasan internal maupun pengawasan eksternal. Hakim adalah aktor utama dalam proses peradilan senantiasa dituntut untuk mengasah kepekaan nurani, kecerdasan moral, dan profesional dalam menegakkan hukum dan keadilan dalam wujud putusannya (Mappiasse, 2017).

Keputusan hakim harus dapat dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta kepada masyarakat, khususnya mereka yang mencari keadilan. Putusan hakim yang tidak independen, menunjukkan tanda-tanda Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN), kurang profesional, tidak memberikan kepastian hukum dan rasa keadilan, serta tidak dapat dieksekusi, dapat mengurangi kepercayaan masyarakat dan merusak reputasi pengadilan. Pengadilan yang memiliki wibawa adalah pengadilan yang independen, netral, kompeten, transparan, dan akuntabel, yang mampu menegakkan kewibawaan hukum, memberikan perlindungan hukum, menjamin kepastian hukum dan keadilan, yang merupakan prasyarat bagi negara berdasarkan hukum.

Pejabat yang memimpin persidangan, seorang hakim harus memiliki integritas tinggi, moral etika yang lebih baik. Di dalam Pasal 24A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, ditegaskan �Hakim agung harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum�. Pentingnya etika perilaku hakim, juga menjadi ketentuan bagi hakim konstitusi. Pasal 24C ayat (5) menyatakan �Hakimkonstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara�.

Perilaku hakim dalam menyelenggarakan tugas dan fungsinya dituntut untuk memiliki integritas dan profesionalitas dalam memeriksa dan memutus perkara-perkara yang menjadi kewenangannya. Bahkan khusus Hakim Konstitusi agar lebih konsentrasi dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pengawal konstitusi, Hakim Konstitusi harus seorang negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaran dan dilarang merangkap jabatan apapun. Hakim harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional dan berpengalaman dibidang hukum merupakan konsekuensi logis untuk mendukung independensi seorang hakim. Perlunya undang-undang yang berkaitan pengawasan seorang hakim dengan tujuan untuk memperkuat kewenangan yang sudah dimiliki, termasuk juga usulan diterimanya Komisi Yudisial sebagai pengawas eksternal bagi Hakim Konstitusi berfungsi sebagai penyeimbang. Namun demikian baik UUD NRI Tahun 1945, maupun peraturan perundangan di bawahnya tidak mengatur secara jelas mengenai sistem pengawasan eksternal terhadap Hakim Konstitusi. Padahal naluri hakim sebagai manusia pada umumnya pasti punya perilaku yang tidak jauh beda dengan manusia pada umumnya (salah dan khilaf). Lord Acton (Pimpinan, 2015), menyatakan bahwa pada diri manusia itu tanpa terkecuali melekat banyak kesalahan.

Terdapat kebenaran pengawasan hakim yang terlalu ketat dianggap bisa mengganggu hakim menjalankan tugas dan tanggungjawabnya. Paradigma tersebut seharusnya disikapi dengan berusaha tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang melanggar etika dan juga hukum. Memang tidak mudah, apalagi oknum hakim yang memang sejak awal terbiasa dengan perilaku yang cenderung melanggar aturan yang ada, pasti berusaha menghalang-halangi dengan berbagai argumen yang ujung-ujungnya enggan diawasi dengan alasan bahwa hakim memiliki independensi dalam melakukan tugasnya, tidak boleh ada orang yang mengawasinya.

Langkah untuk menjaga integritas profesi hakim, maka perilaku hakim dibingkai dengan kode etik hakim, yang menjadi acuan dan pedoman perilaku hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara-perkara yang diajukan kepadanya. Oleh karena itu keberadaan kode etik hakim sebagai pedoman perilaku hakim sangat penting dan mutlak keberadaannya. Berkaitan dengan etika hakim, secara umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah menetapkan etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang berlaku bagi seluruh bangsa Indonesia. Hal ini tertuang di dalam Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, yang sampai saat ini ketetapan MPR tersebut masih berlaku (Kaelan & Proses Reformasi, 2010).

Etika kehidupan berbangsa bertujuan untuk membantu memberikan penyadaran tentang arti penting tegaknya etika dan moral dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dalam etika terkandung prinsip-prinsip dasar pembenaran dalam hubungan dengan tingkah laku manusia, dan dapat digunakan untuk memberikan predikat seorang hakim disebut susila atau bijak dan juga sebaliknya menjadi tidak susila atau tidak bijak (Kaelan & Proses Reformasi, 2010).

Hakim sebagai pelaksana badan peradilan sebenarnya telah memiliki mekanisme pengawasan internal dengan tugas mengawasi hakim agar tidak melanggar kode etik yang telah ada. Namun sebagai norma etik tentunya berfungsi sama dengan norma-norma yang lain, kecenderungan dilanggar sangat mungkin terjadi. Sehubungan dengan itu, seharusnya Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pengawal konstitusi dan penafsir konstitusi diawasi oleh pengawas eksternal yang memiliki kesetaraan kewenangan, dan memiliki kesetaraan wibawa, serta kesetaraan kedudukan agar pengawasan dapat dilakukan secara efektif. Urgensi kehadiran lembaga pengawas eksternal yang dilakukan oleh lembaga pengawas yang bersifat mandiri atau independen terhadap hakim menjadi kebutuhan yang cukup mendesak dalam menegakkan hukum dan keadilan.

Komisi Yudisial dari sudut pandang yuridis, mempunyai wewenang untuk mengawasi semua hakim mempunyai dasar yang kuat dan tidak salah (Nasution, 2022). Pasal 24B UUD NRI Tahun 1945 memberikan landasan hukum yang kuat bagi reformasi bidang hukum yakni memberikan kewenangan kepada Komisi Yudisial yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Selanjutnya sebagai pelaksanaan dari Pasal 24B ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 kemudian disusunlah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (Indriati, 2007).

Dasar pertimbangan tersebut merupakan konsekuensi dianutnya negara hukum, sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, yang menegaskan �Negara Indonesia adalah negara hukum�. Konsideran tersebut juga merupakan upaya memperkuat kekuasaan kehakiman dengan independensinya dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, yang dituangkan dalam Pasal 24 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, menyatakan: �Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan�. Makna yang terdapat dalam pasal tersebut adalah adanya korelasi antara negara hukum dengan kekuasaan kehakiman yang merdeka, karena hanya di dalam negara hukum kekuasaan kehakiman yang merdeka mendapatkan jaminan.

Peranan Komisi Yudisial dalam mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka, dilakukan dengan pengawasan terhadap perilaku hakim. Bab III wewenang dan tugas, Pasal 13 huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, mengatur wewenang Komisi Yudisial (Indriati, 2007). Apabila dicermati terdapat reduksi rumusan Pasal 24B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Dalam Pasal 24B ayat (1) ditegaskan: �...wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim�. Namun dalam Pasal 13 huruf b Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dinyatakan: �menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim�. Dengan demikian ada kalimat �menjaga� yang tidak diakomodasi, padahal kalimat tersebut memiliki makna yang cukup berbeda, yakni kalimat �menjaga� berarti bersifat preventif, sedangkan kalimat �menegakkan� berarti bersifat represif atau berada pada ranah penindakan (Rahmi, 2023).

Ketentuan Pasal 13 huruf b Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, menyebut dengan tegas �perilaku hakim�, berarti hal ini sama dengan yang terdapat dalam Paal 24B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Pengertian hakim kemudian diterjemahkan dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang menyatakan: �Hakim adalah Hakim Agung dan hakim pada peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung serta Hakim Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945�. Dengan mencermati pasal tersebut, dapat diartikan bahwa hakim yang menjadi objek pengawasan eksternal Komisi Yudisial adalah Hakim Agung dan hakim pada peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung serta Hakim Konstitusi (Wajdi & Hasanuddin, 2022).

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, berturut-turut menyebut Hakim Konstitusi menjadi objek pengawasan eksternal Komisi Yudisial. Pasal tersebut meliputi Pasal 20, dan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Pasal 23 mengatur tentang usulan penjatuhan sanksi terhadap hakim yang melibatkan Mahkamah Konstitusi. Pasal 24 mengatur tentang pemberian penghargaan kepada hakim, dan Pasal 25 mengatur mengenai pengambilan keputusan oleh Komisi Yudisial.

Pengaturan wewenang Komisi Yudisial yang diletakkan dalam UUD NRI Tahun 1945, dan dioperasionalisasikan melalui instrumen Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial sudah cukup benar dan tepat untuk menjalankan pengawasan eksternal terhadap semua hakim termasuk hakim konstitusi dalam menjawab dan menyelesaikan amanah rakyat sesuai tuntutan reformasi dibidang penegakan hukum, dan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Namun pada tanggal 23 Agustus 2006 menjadi awal hari yang buram pengawasan eksternal yang dimiliki Komisi Yudisial, dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 (Putra, 2021). Kesimpulan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, menyatakan bahwa (Huroiroh & Roychan, 2023):

1.      Hakim Konstitusi tidak termasuk dalam pengertian �hakim� yang perilaku etiknya diawasi oleh Komisi Yudisial. Pengawasan terhadap pelaksanaan kode etik hakim konstitusi dilakukan oleh Majelis Kehormatan yang tersendiri sesuai dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagai pelaksanaan Pasal 24C ayat (6) UUD NRI Tahun 1945. Dengan demikian, kedudukan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pemutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, termasuk sengketa yang melibatkan Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung, tidak lagi terganggu sebagai akibat diperluasnya pengertian �hakim� yang meliputi hakim konstitusi.

2.      Dalam hal undang-undang menentukan bahwa hakim agung termasuk ke dalam pengertian �hakim� yang perilaku etiknya diawasi Komisi Yudisial secara eksternal, Mahkamah Konstitusi berpendapat hal itu tidak bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian, hal itu berpulang kepada pembentuk undang-undang, yaitu DPR bersama Presiden, untuk menentukan kebijakan hukum yang akan dipilih dalam rangka menjalankan perintah Paal 24B ayat (1) UUD 1945.

3.      Mengenai prosedur pengawasan, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa:

a.       Perumusan Pasal 13 huruf b juncto Pasal 20 Undang-undang Komisi Yudisial mengenai wewenang lain Komisi Yudisial sebagai penjabaran dari Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 menggunakan perumusan kalimat yang berbeda sehingga menimbulkan masalah dalam penormaannya dalam Undang-Undang Komisi Yudisial yang menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid);

b.      Undang-Undang Komisi Yudisial terbukti tidak rinci mengatur mengenai prosedur pengawasan, tidak jelas dan tegas menentukan siapa subjek yang mengawasi, apa objek yang diawasi, instrumen apa yang digunakan, serta bagaimana proses pengawasan itu dilaksanakan. Hal tidak jelas dan tidak rincinya pengaturan mengenai pengawasan dalam Undang-Undang Komisi Yudisial serta perbedaan dalam rumusan kalimat seperti dimaksud pada butir (1) menyebabkan semua ketentuan Undang-Undang Komisi Yudisial tentang pengawasan menjadi kabur (abscuur) dan menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) dalam pelaksanaannya;

c.       Konsepsi pengawasan yang terkandung dalam Undang-Undang Komisi Yudisial didasarkan atas paradigma konseptual yang tidak tepat, yaitu seolah-olah hubungan antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial berada dalam pola hubungan �checks and balances� antarcabang kekuasaan dalam konteks ajaran pemisahan kekuasaan (separation of power) sehingga menimbulkan penafsiran yang juga tidak tepat, terutama dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu, segala hal ketentuan Undang-Undang Komisi Yudisial yang menyangkut pengawasan harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena terbukti menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid).

Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, yang menyatakan bahwa sepanjang menyangkut perluasan pengertian hakim menurut Pasal 24B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang meliputi hakim konstitusi terbukti bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945, dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Putusan tersebut mengakibatkan penyempitan objek pengawasan hakim yang dilakukan oleh Komisi Yudisial.

Komisi Yudisial sebagai pengawas eksternal, sempat muncul kembali dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang salah satunya mengamanatkan agar Mahkamah Konstitusi bersama-sama dengan Komisi Yudisial menyusun dan menetapkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi yang berisi norma yang harus dipatuhi oleh setiap Hakim Konstitusi. Namun Komisi Yudisial yang didesain ikut serta sebagai pengawas eksternal terhadap Hakim Konstitusi tidak dapat lagi berfungsi, dengan dikabulkannya permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 terhadap Undang-Undang Dasar, oleh Mahkamah Konstitusi. Dengan dibatalkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014, yang sempat mengadopsi Komisi Yudisial sebagai pengawasan eksternal, maka sistem etik Hakim Konstitusi kembali hanya pengawasan yang bersifat internal (Wiryanto, 2016), dan selanjutnya berlakunya kembali Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Kembali berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, berarti kembali pula tidak diakomodirnya Komisi Yudisial sebagai pengawas eksternal. Penegakan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi dalam undang-undang ini dilakukan oleh sebuah organ yang bernama Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (Sorik, Nasution, & Nazaruddin, 2018).

Berdasarkan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2014 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, diatur mengenai kontruksi Dewan Etik yang otomatis berada dalam Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi. Dewan Etik mempunyai anggota berjumlah 3 (tiga) orang yang bersifat tetap selama 3 (tiga) tahun yang terdiri atas: (1) satu orang mantan hakim konstitusi, (2) satu orang Guru Besar dalam bidang hukum, dan (3) satu orang tokoh masyarakat. Apabila melihat komposisi seluruh keanggotaan Dewan Etik, maka kualifikasi Dewan Etik adalah lembaga pengawas eksternal (di luar Mahkamah Konstitusi) (Sorik, 2017).

Pembentukan Dewan Etik bersifat tetap dan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi bersifat ad hoc, dapat diketahui bahwa sejatinya Mahkamah Konstitusi masih membutuhkan lembaga pengawas dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku Hakim Konstitusi yakni lembaga pengawas eksternal Komisi Yudisial (Wiryanto, 2016). Masuknya Komisi Yudisial dalam Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang dinyatakan secara tegas dalam Pasal 5 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2014 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, semakin membuktikan bahwa diakuinya Komisi Yudisial sebagai pengawas eksternal bagi Hakim Konstitusi, walaupun tidak dinyatakan secara tegas dalam sistem pengawasan etik Hakim Konstitusi.

Konstruksi Pengaturan Pengawasan Eksternal Perilaku Hakim Konstitusi

Pengawasan terhadap perilaku Hakim Konstitusi yang selama ini sudah dilakukan oleh Dewan Etik dan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi dirasa tidak efektif, dengan kenyataan bahwa pengawasan internal Mahkamah Konstitusi mengalami kesulitan. Berbagai kesulitan itu antara lain kewenangan yang diberikan tidak memadai untuk mencegah pelanggaran yang dilakukan Hakim Konstitusi. Keadaan terburuk ketika Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang memiliki kewenangan menjaga dan menafsirkan Undang-Undang Dasar ternyata tidak memiliki pengawas eksternal. Untuk itu sangat penting kehadiran pengawas eksternal di lembaga Mahkamah Konstitusi. Kehadiran lembaga pengawas eksternal akan membantu dalam menegakkan marwah Mahkamah Konstitusi, membantu menegur Hakim Konstitusi agar tidak melakukan pelanggaran etika dan/atau pelanggaran hukum. Keterbatasan hakim sebagai manusia yang tidak sempurna menjadi alasan kehadiran lembaga pengawas eksternal. Untuk itu perlu adanya perubahan UUD NRI Tahun 1945 dengan memasukkan atau menormakan pengawasan eksteral Hakim Konstitusi (Zulmi, 2020).

Adapun konstruksi sebagai gagasan pengaturan pengawas eksternal yang dianggap relevan untuk mengawasi Hakim Konstitusi sebagai berikut:

1.      Komisi Yudisial

Komisi Yudisial adalah lembaga tinggi negara yang dibentuk berdasarkan amanat Pasal 24B ayat (1), (2), (3), dan (4) UUD NRI Tahun 1945. Walaupun secara fungsional kedudukan Komisi Yudisial tidak sama dengan Mahkamah Konstitusi, namun dengan melihat kedudukan yang begitu kuat tercantum dalam Undang-Undang Dasar dan secara kelembagaan sejajar dengan lembaga tinggi negara lain maka sangat layak apabila Komisi Yudisial juga dapat menjadi pengawas eksternal Hakim Konstitusi.

2.      Badan Pemeriksa Keuangan

Badan Pemeriksa Keuangan adalah lembaga tinggi negara yang memiliki tugas dan kewenangan diatur dalam UUD NRI Tahun 1945 Pasal 23E ayat (1) dan (2), Pasal 23F ayat (1) dan (2), Pasal 23G ayat (1) dan (2). Kehadiran BPK diharapkan menjadi alat kontrol yang efektif dalam rangka checks and balances untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dari tindakan korupsi.

3.      Komisi Ombudsman Nasional

Melalui Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 dibentuklah lembaga independen yang diberi nama Komisi Ombudsman Nasional. Komisi ini mempunyai tujuan untuk membantu menciptakan dan atau mengembangkan kondisi yang kondusif dalam melaksanakan pemberantasan KKN serta melindungi hak-hak masyarakat agar memperoleh pelayanan umum, keadilan, dan kesejahteraan secara lebih baik. Lembaga negara ini dapat mengawasi jalannya pelayanan publik untuk dapat mewujudkan pemerintahan yang bersih dan penyelenggaraan negara yang baik (clean and good governance). Selain itu pembentukan Komisi ini dalam rangka meningkatkan pemberian perlindungan terhadap hak-hak anggota masyarakat dari pelaku penyelenggara negara.

Mengenai prosedur pengaturan pembentukan pengawas eksternal bagi Hakim Konstitusi dapat dilakukan dengan cara berikut:

1. Perubahan UUD NRI Tahun 1945

Pentingnya perubahan terhadap UUD NRI Tahun 1945 dikarenakan manusia yang terus berubah dengan berbagai tuntutan dan tantangannya. Sebagai hukum dasar yang dijadikan patokan dalam mengatur kehidupan bermasyarakat dan mengatur negara tentu harus bisa mengikuti perkembangan zaman. Setiap zaman tentu muncul tantangan yang berbeda. Perubahan konstitusi bukanlah hal yang tabu. Namun dalam melakukan proses perubahan tentu ada prosedur yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan, tidak boleh sekehendak hati.

Hal-hal yang patut diperhatikan mengenai ukuran pengembangan bidang hukum sebagai berikut:

(a)          ukuran keperluan yang mendesak (urgent need) kadang dihadapkan pada pilihan terdesak untuk segera melakukannya tanpa kesempatan memilih dalam arti yang sebenarnya;

(b)          feasibility, hukum yang mengandung banyak halangan ditangguhkan dan dipilih bidang-bidang yang tak ada komplikasi kultural, keagamaan, dan sosiologis;

(c)          perubahan pokok (fundamental change), disinilah perubahan (melalui perundang-undangan) diperlukan karena pertimbangan politis, ekonomi, dan atau sosial (Hakiki, 2018).

Dalam hal pembentukan lembaga pengawas eksternal terhadap Hakim Konstitusi, peran Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sangat penting, mengingat satu-satunya lembaga negara yang dapat melakukan perubahan terhadap UUD 1945 yakni MPR. Ketentuan ini secara limitatif terdapat dalam BAB II tentang MPR dalam Pasal 3 ayat (1) yang menegaskan �Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar�. Makna dari pasal tersebut MPR memang tidak memiliki kewenangan mengawasi Hakim Mahkamah Konstitusi, namun MPR memiliki kewenangan mengadakan perubahan UUD NRI Tahun 1945 dengan memasukkan pasal yang berkaitan dengan lembaga pengawas eksternal perilaku Hakim Mahkamah Konstitusi dalam UUD NRI Tahun 1945.

2. Pembentukan Undang-Undang

Peranan DPR dan Presiden dalam proses pembentukan undang-undang yang terkait dengan pengawasan eksternal perilaku Hakim Mahkamah Konstitusi sangat diperlukan. Prosedur pembentukan undang-undang dapat berasal dari Presiden, sebagaimana terdapat dalam Pasal 5 ayat (1) yang menegaskan �Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat�. Selanjutnya Pasal 20 ayat (1) menegaskan �Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang�.

Kewenangan yang dimiliki DPR dalam fungsi pengawasan terhadap Hakim Konstitusi berkaitan dengan penggunaan anggaran dan fasilitas negara, bukan mengawasi etika Hakim Konstitusi. Pelanggaran etika Hakim Konstitusi ditangani Dewan Etik dan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi. Namun demikian tidak menutup kemungkinan bagi DPR dengan persetujuan bersama Presiden atas dasar politik hukum tertentu membentuk undang-undang yang materi muatannya tentang pengawasan eksternal terhadap perilaku Hakim Konstitusi.

 

KESIMPULAN

Pengawasan eksternal terhadap perilaku Hakim Konstitusi mendesak dilakukan untuk tujuan menghindari penyalahgunaan kekuasaan. Kehadiran lembaga pengawas eksternal dimaksudkan memurnikan, menjaga marwah dan keluhuran martabat hakim khususnya Hakim Konstitusi. Dalam upaya mewujudkan lembaga pengawas eksternal perilaku Hakim Konstitusi diperlukan perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945 oleh MPR dengan menormakan secara eksplisit dalam pasal tertentu yang memberikan kewenangan Komisi Yudisial mengawasi hakim, hakim Agung dan Hakim Konstitusi.

 

BIBLIOGRAFI

 

Anshori, Imam. (2014). Konsep Pengawasan Kehakiman: Upaya Memperkuat Kewenangan Konstitusional Komisi Yudisial dalam Pengawasan Peradilan. Malang: Setara Press.

 

Antikowati, A., & Handono, Mardi. (2018). Reinforcement of Judicial Supervision Function by Judicial Commission and Supreme Court as a Form of Shared Responsibility System. Sociological Jurisprudence Journal, 1(2), 137�141.

 

Ariyanti, Vivi. (2019). Kebebasan hakim dan kepastian hukum dalam menangani perkara pidana di Indonesia. Mahkamah: Jurnal Kajian Hukum Islam, 4(2), 162�174.

 

Falaakh, Muhammad Fajrul. (2006). Beberapa Pemikiran Untuk Revisi Undang-undang Komisi Yudisial Republik Indonesia. Dalam BungaRampai Refleksi Satu Tahun Komisi Yudisial.

 

Hakiki, Yuniar Riza. (2018). Desain Gagasan Pengusulan Pasangan Calon Presiden Dan Wakil Presiden Republik Indonesia Melalui Jalur Perseorangan.

 

Huroiroh, Ernawati, & Roychan, Wahidur. (2023). Quo Vadis Eksistensi Komisi Yudisial Sebagai Majelis Kehormatan Mahkamah Kostitusi Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 56/PUU-XX/2022. Sosio Yustisia: Jurnal Hukum Dan Perubahan Sosial, 3(2), 137�158.

 

Indriati, Maria Farida. (2007). Perubahan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial. Jurnal Hukum PRIORIS, 1(2), 65�72.

 

Justicia, Dewan Mahasiswa. (n.d.). Mahkamah Konstitusi, Berbenahlah!

 

Kaelan, M. S., & Proses Reformasi, U. U. D. (2010). Negara Amandemen 2002 Pancasila sebagai sistem filsafat pancasila sebagai etika politik paradigma bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Edisi Kesembilan, Paradigma, Yogyakarta.

 

Kusuma, Ananda B. (2011). Sistem pemerintahan" pendiri negara" versus sistem presidensiel" orde reformasi". Badan Penerbit Fakultas Hukum, Universitas Indonesia.

 

Mahfud, Moh. (2007). Perdebatan hukum tata negara pasca amandemen konstitusi. Lp3es.

 

Mappiasse, Syarif. (2017). Logika hukum pertimbangan putusan hakim. Prenada Media.

 

Moechthar, Oemar. (2020). Eksistensi, Fungsi, Dan Tujuan Hukum: Dalam Perspektif Teori Dan Filsafat Hukum. Prenada Media.

 

Nasution, Muhammad Alfariji. (2022). Analisis Yuridis Tentang Pengawasan Hakim Oleh Komisi Yudisial Dalam Prespektif Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Studi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006). Fakultas Hukum, Universitas Islam Sumatera Utara.

 

PASCA, HAKIM. (2018). Kewenangan Komisi Yudisial Dalam Pengawasan Terhadap Prilaku. Jurnal Surya Kencana Satu: Dinamika Masalah Hukum Dan Keadilan, 10(2), 117.

 

Pimpinan, M. P. R. (2015). Tim kerja sosialisasi MPR RI periode 2009-2014. Materi Sosialisasi Empat Pilar, Sekretariat Jenderal MPR RI, Jakarta.

 

Putra, Ida Bagus Gede Ekapratama. (2021). Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 Terhadap Kewenangan Komisi Yudisial Mengawasi Hakim Konstitusi. Lex administratum, 9(6).

 

Rahmi, Siti. (2023). Analisis Hukum Ambang Batas Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum. UIN Ar-Raniry.

 

Sirajuddin, Zulkarnain. (2007). Sugianto, Komisi Pengawas Penegak Hukum: Mampukah Membawa Perubahan. Malang Coruption Watch (MCW)-YAPPIKA, Malang.

 

Soekanto, Soerjono. (2007). Penelitian hukum normatif: Suatu tinjauan singkat.

 

Sorik, Sutan. (2017). Implementasi Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (Studi Keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi Nomor 01/MKMK/X/2013). Universitas Sumatera Utara.

 

Sorik, Sutan, Nasution, Mirza, & Nazaruddin, Nazaruddin. (2018). Eksistensi Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (Studi Keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi Nomor 01/MKMK/X/2013). Jurnal Konstitusi, 15(3), 666�687.

 

SUHARTO, Rakhmat Bowo. (2011). Rekonstruksi Birokrasi Pemerintah Daerah dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Menuju Keberlanjutan Ekologi. Program Pascasarjana Undip.

 

Syaukani, Imam. (2011). Dasar-dasar politik hukum.

 

Wajdi, Farid, & Hasanuddin, Muhammad Ilham. (2022). Pengawasan hakim dan penegakan kode etik di Komisi Yudisial. Sinar Grafika.

 

Wiryanto, Wiryanto. (2016). Penguatan Dewan Etik dalam Menjaga Keluhuran Martabat Hakim Konstitusi. Jurnal Konstitusi, 13(4), 720�742.

 

Zakiyah, Wasingatu. (2016). Menyingkap mafia peradilan. Setara Press.

 

Zulmi, Dukatis. (2020). Mekanisme Pemberhentian Hakim Mahkamah Konstitusi (Analisis Keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi Nomor: 01/MKMK/X/2013). Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

 

 

Copyright holder:

Sukrisno1, Marsudi Dedi Putra2* (2024)

 

First publication right:

Syntax Idea

 

This article is licensed under:

WhatsApp Image 2021-06-26 at 17