JOURNAL SYNTAX IDEA p�ISSN: 2723-4339 e-ISSN: 2548-1398 |
Vol. 6, No. 03, March 2024 |
Minimalisasi Kontroversi Omnibus Law Dalam
Pembentukan Undang-Undang
Yudi Prasetyo1, Marsudi Dedi Putra2*
1,2Universitas Wisnuwardhana Malang, Jawa Timur, Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Pembentukan undang-undang
melalui omnibus law seringkali tidak
demokratis, pragmatis, mempersempit ruang partisipasi dan mengabaikan
penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia, sehingga omnibus law menimbulkan kontroversi.
Artikel ini dimaksudkan untuk mengulas cara mengatasi kontroversi dalam pembentukan
undang-undang melalui omnibus law.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif, dengan
pendekatan perundang-undangan, kasus dan perbandingan. Hasilnya menunjukkan:
(1) Penerapan pembentukan undang-undang melalui omnibus law berulangkali menjadi kontroversi, utamanya terkait
dengan minimnya partisipasi publik. (2) Model partisipasi pada pembentukan
undang-undang melalui omnibus law menjadi
lebih bermakna apabila dilakukan dengan memberikan kemudahan akses bagi masyarakat.
Lebih sempurna jika dilengkapi dengan Sistem
Informasi Geografis Partisipasi Publik.
Kata kunci: kontroversi, omnibus law, pembentukan undang-undang,
partisipasi
Abstract
The formation of laws through omnibus laws is often
undemocratic, pragmatic, narrows the space for participation and ignores
respect for human dignity, so that omnibus laws cause controversy. This article
is intended to review how to overcome controversy in the formation of laws
through omnibus law. This research uses normative juridical research methods,
with statutory, case and comparative approaches. The results show: (1) The
implementation of law formation through the omnibus law has repeatedly become
controversial, mainly related to the lack of public participation. (2) The model
of participation in the formation of laws through the omnibus law becomes more
meaningful if it is carried out by providing easy access for the public. It
would be more perfect if equipped with a Public Participation Geographic
Information System.
Key words: controversy, omnibus law, law formation, participation
PENDAHULUAN
Partisipasi masyarakat bukan
tujuan akhir dari proses pembentukan undang-undang, tetapi partisipasi
berpengaruh terhadap kualitas undang-undang (Law, 2020). Undang-undang sebagai dasar legalitas mengelola negara mencapai
titik ideal apabila dapat mengakomodasi dan mempertemukan semua �kepentingan baik kepentingan Pemerintah maupun
warga negara. Dengan kata lain, undang-undang yang baik akan mencerminkan keseimbangan
(balance) antara menfasilitasi aturan
yang menjamin kepentingan Pemerintah dapat berjalan secara efisien nan cepat,
tetapi pada saat yang sama tidak mengurangi hak asasi warga negara (Sadono & Rahmiaji,
2021).
Pasal 1 iayat (2) idan
Pasali 1 iayat (3) Undang-Undangi Dasari iNegara Republiki Indonesiai Tahuni
1945, merupakan ipenegasaninegara hukum yang demokratis (Andriani, 2019). Dalami
negara hukum yangidemokratis
undang-undang sebagai salah satu subsistem negara hukum dicitrakan dapat
melingkupi dan menjawab semua permasalahan kebangsaan yang berkelindan dengan
kepentingan politis partai politik di lembaga perwakilan (Buana, 2017). Dianutnya paham negara hukum yang demokratis berimplikasi
terhadap pembentukan undang-undang mengenai apapun dan untuk keperluan apapun mensyaratkan
terpenuhinya asas fundamental penyelenggaraan negara yaitu kedaulatan di tangan
rakyat yang menghendaki transparansi, yang memungkinkan setiap warga negara
dapat berpartisipasi memberikan masukan dan pandangan (Redi &
Chandranegara, 2020).
Secara teoritis, undang-undang
merupakan produk politik sudah diterima luas, karena undang-undang merupakan
hasil kesepakatan (resultante) para
pembentuknya (Press, 2019).
Namun yang perlu dicatat bahwa proses hukum
pembentukan undang-undang dilakukan dalam kerangka konstitusi maupun
undang-undang (Rahmalillah, 2021). Perspektif hukum, proses pembentukan undang-undang sudah
ditata dengan menghormati kemuliaan manusia, tersedianya informasi akurat,
terbuka peluang memperoleh keadilan, dan terlindunginya harapan yang sah (Sodiki, 2014), dengan tujuan mewujudkan kesejahteraan dan keadilan (Fadli & Lutfi,
2016), serta memberadabkan warga negara (Amin, 2020).
Berbanding terbalik dengan proses pembentukan
undang-undang ideal di atas, kondisi objektif pembentukan undang-undang di
Indonesia akhir-akhir ini menunjukkan adanya pengingkaran terhadap partisipasi
masyarakat. �Permasalahan yang berulangkali
mengemuka, bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Presiden, dan Dewan Perwakilan
Daerah (DPD) selaku pejabat pembentuk undang-undang dinilai kurang partisipatif (Riskiyono, 2015). DPR dan Presiden tidak jarang melakukan pembentukan
undang-undang secara terburu-buru. Realitasnya, dalam jangka waktu tidak lebih
dari 167 (seratus enam puluh tujuh) hari, telah lahir satu undang-undang yang
menggunakan omnibus law. Kondisi tersebut dapat berimplikasi pada aspek partisipasi
dan rawan kontroversi
(Aryanto, Harijanti,
& Susanto, 2021).
Membentuk undang-undang dengan omnibus law hanya berfokus pada
kepentingan investasi dan meninggalkan peran serta masyarakat sebagai pilar
demokrasi akan berbahaya. Diperlukan model ideal untuk meminimalisasi
kontroversi pembentukan undang-undang berbasis omnibus law, jika dibiarkan akan menimbulkan keterpurukan.
Penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan
sumbangan pemikiran dengan harapan pembentuk undang-undang lebih konsisten menyerap
partisipasi masyarakat. Kontribusi lain dari penelitian ini merumuskan model
ideal untuk memperkuat partisipasi masyarakat dalam pembentukan undang-undang
berbasis omnibus law. Ada 2 (dua)
permasalahan hukum dalam penelitian ini yang akan dikaji lebih lanjut oleh
penulis, yaitu: (1) bagaimana penerapan partisipasi masyarakat dalam
pembentukan undang-undang berbasis omnibus
law; (2) bagaimana model ideal untuk memperkuat partisipasi masyarakat dalam
meminimalisasi kontroversi pembentukan undang-undang berbasis omnibus law di masa datang.
METODE
PENELITIAN
Penelitian hukum ini merupakan
jenis penelitian yuridis normatif, yang mengadopsi beberapa pendekatan dalam
analisisnya. Pendekatan yang digunakan termasuk pendekatan perundang-undangan,
pendekatan perbandingan, dan pendekatan kasus. Penelaahan peraturan
perundang-undangan yang relevan dengan permasalahan yang diteliti dilakukan
dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, memungkinkan peneliti untuk
memahami kerangka hukum yang berlaku dalam konteks yang dibahas.
Pendekatan perbandingan digunakan
dengan membandingkan model partisipasi di Amerika Serikat, sehingga memungkinkan
peneliti untuk mengidentifikasi dan menganalisis mekanisme partisipasi yang
lebih efektif. Pendekatan ini membantu dalam memperoleh wawasan yang lebih luas
tentang sistem legislasi dari berbagai negara.
Selanjutnya, pendekatan kasus
digunakan untuk menelaah kasus pembentukan undang-undang berbasis omnibus law,
khususnya Undang-Undang Cipta Kerja. Pendekatan ini memungkinkan peneliti untuk
menganalisis studi kasus secara mendalam, mengidentifikasi berbagai isu dan
implikasi yang mungkin timbul dari implementasi undang-undang tersebut.
Sumber data penelitian terdiri
dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yang dikumpulkan melalui
studi kepustakaan. Populasi penelitian meliputi semua peraturan
perundang-undangan yang relevan dengan permasalahan yang diteliti, sedangkan
sampel yang diambil adalah sebagian dari peraturan-peraturan tersebut yang
dianggap mewakili aspek-aspek kunci yang ingin diteliti.
Teknik analisis yang digunakan
adalah yuridis kualitatif, di mana peneliti menganalisis bahan hukum secara
mendalam dan menyajikan hasil analisis secara deskriptif dan preskriptif.
Dengan demikian, metode penelitian ini memungkinkan peneliti untuk mendapatkan
pemahaman yang komprehensif tentang isu-isu hukum yang diteliti dan memberikan
rekomendasi yang relevan untuk pemecahan masalah yang terkait.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Praktik
Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan Undang-Undang Menggunakan Omnibus Law
Implementasi partisipasi
masyarakat tidak boleh berhenti pada keterlibatan dalam proses pembentukan
undang-undang, tetapi diharapkan dapat menentukan hasil akhir dan dampak yang
ditimbulkan dari lahirnya sebuah undang-undang (Arnstein, 2020).
Masyarakat mana yang harus terlibat dalam berpartisipasi, Bagir Manan
memberikan pernyataan �Para pemangku kepentingan (stakeholders) mempunyai hak berpartisipasi secara aktif dalam ikut
serta menentukan perjalanan kehidupan bernegara� (Manan, 2002).
Keberadaan partisipasi masyarakat
dalam pembentukan undang-undang akan menjadikan masyarakat lebih dipentingkan
dan Pemerintah lebih tanggap dalam proses demokrasi, sehingga melahirkan
pemerintahan yang bermoral dan warga negara yang bertanggungjawab. Undang-undang
yang proses pembentukannya tidak partisipatif cenderung menimbulkan kontroversi,
karena pada dasarnya undang-undang merupakan endapan dari konflik (gathers of conflicts) dalam masyarakat (Hidayat & Arifin,
2019).
�
�Ketentuan di atas wajib berlaku terhadap
pembentukan undang-undang menggunakan omnibus
law. Omnibus law yang dimaknai �one for everything� memungkinkan satu undang-undang berupaya
untuk mengubah dan mencabut beberapa undang-undang sekaligus, dan didefinisikan O�Brien and Bosc sebagai �...seeks to amend, repeat or enact several
acts...�(Massicotte, 2013), serta oleh Jimly Asshiddiqie diartikan sebagai teknik
pembentukan undang-undang dengan maksud untuk mengadakan perubahan sekaligus
atas beberapa undang-undang yang ada dan berlaku sebelumnya (Asshiddiqie, 2020), atau undang-undang �sapu jagad�, dalam praktiknya membawa
kelebihan, tetapi juga banyak kekurangan. Varian persoalan yang harus idihadapi dalam pembentukan
undang-undangi berbasisi omnibus law , di kemukakan Patrick
Keyzer, antara lain: (1) very difficult
to draft; (2) limited opportunities for debate and scrutiny; (3) may make
consultation very difficult; (4) may be hard to implement; (4) can add to the
complexity, rather than remove it (Keyzer, 2020).
Ketiadaan partisipasi masyarakat
jelas merupakan potensi kontroversi yang datang kemudian, tidak terkecuali
undang-undang berbasis omnibus law di
Indonesia. Implementasi omnibus law dalam
kasus Undang-Undang Cipta Kerja pada praktiknya tidak memenuhi asas keterbukaan
yang partisipatif pada tahapan pengajuan, pembahasan, dan pengesahan (Firdaus, 2020). Pada tahap pengajuan, sedari awal masyarakat sudah
dibingungkan dengan keberadaan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Cipta
Kerja (Alhakim & Ginting,
2021).
Pada tahap pembahasan, proses
dilakukan secara cepat (fast track),
tertutup, dan menggambarkan kerja politik koalisi semata (Gava, Jaquet, &
Sciarini, 2021). Banyak pihak yang seharusnya
dimintai partisipasi atas Undang-Undang Cipta Kerja menjadi tidak dilibatkan. Misalnya
terdapat perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang
Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, proses pembahasan tidak melibatkan
kelompok masyarakat buruh migran Indonesia, seperti organisasi serikat buruh
migran Indonesia dan organisasi Migrant CARE.
Atau sekalipun telah dilaksanakan berbagai pertemuan dengan berbagai kelompok
masyarakat, pertemuan tersebut belum membahas Naskah
Akademik. Hasilnya,
masyarakat yang terlibat dalam pertemuan tersebut tidak mengetahui secara pasti
perubahan undang-undang apa saja yang akan digabungkan dalam Undang-Undang
Cipta Kerja.
Pada saat jeda pengesahan undang-undang berbasis omnibus law masih terjadi perubahan jumlah
halaman. Setidaknya terjadi 4 (empat) kali perubahan dari awalnya 905 halaman,
berubah menjadi 1.305, beberapa jam kemudian berkurang lagi menjadi 812
halaman, dan pada akhirnya ketika diundangkan menjadi 1,187 halaman (Amin, 2021). Kondisi ini dari perspektif legislative intent� diduga
melanggar Pasal 72 UU P3 dan sekaligus mengundang kecurigaan bahwa Pemerintah
dan DPR sedang bermain menjalankan bisnis tertentu dengan menggunakan instrumen
ipembentukan
undang-undangi berbasisi omnibus law.
Ketentuan
di atas akhirnya dipahami sebagai proses yang tidak memenuhi syarat tentang
tata cara pembentukan undang-undang dan tidak memenuhi asas pembentukan
undang-undang yang baik sebagaimana telah ditentukan dalam UU P3, sehingga
Undang-Undang Cipta Kerja dengan menggunakan omnibus law harus dinyatakan tidak konstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional) (Asshiddiqie, 2007), melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
91/PUU-XVIII/2020. Dalam amar putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa
Undang-Undang Cipta Kerja bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak
mempunyai hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai �tidak
dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan�.
Di
samping itu masih terdapat 3 (tiga) hal penting dari putusan Mahkamah
Konstitusi, yaitu: pertama,
Undang-Undang Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan
pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan
dalam putusan; kedua, memerintahkan
kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu
paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan�
diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan
perbaikan maka Undang-Undang Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara
permanen; dan ketiga, apabila dalam
tenggang waktu 2 (dua) tahun pembentuk undang-undang tidak dapat menyelesaikan
perbaikan Undang-Undang Cipta Kerja maka undang-undang atau pasal-pasal atau
materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh Undang-Undang
Cipta Kerja dinyatakan berlaku kembali.
Partisipasi
Pembentukan Omnibus Law di Amerika
Serikat: Studi Komparasi
Pembentukan omnibus law di Amerika Serikat tidak jarang terjadi kontroversi
karena omnibus law dinilai
mengorbankan partisipasi dan tidak demokratis. Faktanya omnibus spending bill, pada tahun 2018 telah menimbulkan perdebatan
karena ukuran dan cakupan sangat luas (Amin, 2020). Namun demikian, Amerika Serikat secara cepat berhasil
membentuk omnibus law, dengan
melibatkan partisipasi masyarakat. Tidak kurang dari 5 (lima) model bentuk partisipasi
masyarakat dalam proses pembentukan undang-undang (Mace & Lockhart,
2019), antara lain: (1) citizen
participation offices, mendapatkan informasi merupakan hak warga negara dan untuk memfasilitasi akses warga negara,
kantor parlemen dapat didirikan di
lokasi di luar ibukota;
(Perundang-Undangan
& RI, n.d.) (2) ad-hoc meeting or workshops with civil
society organizations, hak warga negara diundang sebagai perwakilan untuk tampil
di hadapan anggota parlemen, dan menerima pelatihan atau lokakarya di bidang
keahlian warga negara, sehingga parlemen dapat membangun keterampilan dan
pengetahuan parlemen tentang subjek tertentu; (3) insitutional bodies, parlemen dapat menunjuk perwakilan dari
lembaga masyarakat yang diintegrasikan ke dalam badan institusional secara
sementara atau permanen; (4) public outreach,
parlemen dapat menerapkan program penjangkauan publik untuk berbagi informasi dan
mengumpulkan umpan balik; dan (5) town
hall meetings, warga negara diundang untuk berdialog dan mengajukan
pertanyaan kepada pembentuk undang-undang mengenai berbagai kekhawatiran atas
dampak diberlakukannya undang-undang.
Amerika Serikat lebih mengutamakan
penyerapan aspirasi masyarakat yang meliputi warga negara, ahli atau pakar di
bidangnya, dan lobbyists untuk
mengkaji lebih dalam omnibus law (Mulyani, 2022). Bahkan dalam sejarahnya Amerika Serikat pernah memimpikan
segala permasalahan diatasi dengan cara akademik, sebuah pemerintahan scientific, tempat orang berkompeten
dengan kapasitas keilmuan menemukan jalan keluar (Rizal, 2003), termasuk mencari jalan ke luar masalah omnibus law. Dewasa ini, Amerika Serikat
telah mengembangkan bentuk partisipasi masyarakat yang lebih mudah diakses masyarakat
utamanya masyarakat adat melalui mekanisme digital dalam bentuk sistem
informasi geografis partisipasi publik (SIG-PP) (Rizal, 2003).
Model
Ideal Partisipasi dalam Pembentukan Omnibus
Law di Indonesia
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
Nomor 91/PUU-XVIII/2020, memberikan rambu berkaitan model partisipasi masyarakat
yang ideal, yakni partisipasi yang lebih bermakna (meaningful participation). Setidaknya ada 3 (tiga) prasyarat utama
dalam memenuhi partispasi masyarakat yang bermakna, yaitu: pertama, hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard); kedua,
hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right
to be considered); dan ketiga,
hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained) (Nabila Septia, 2023).
Pertama, hak masyarakat untuk didengar pendapatnya menjadi penting
karena belajar dari kegagalan yang berulang dalam sejarah negara adalah
kegagalan mendengarkan
(Palguna, 2019). Kebutuhan mendengarkan jauh hari sudah diperdebatkan oleh
para pendiri negara (the founding father).
Hatta mengingatkan dalam perdebatannya dengan Soepomo, perihal tidak dimuatnya
ketentuan hak warga negara yang disebut �hak mengeluarkan suara� (Shihab, 2018). Pesan penting Hatta bahwa undang-undang dasar maupun
undang-undang tidak boleh menjadi pemberi legitimasi bagi kemungkinan lahirnya
negara kekuasaan yang tidak memberi ruang bagi warga negara untuk mengeluarkan
suara dengan menutup partisipasi masyarakat (Palguna, 2019).
Kedua, hak masyarakat untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered). Pembentukan
undang-undang berbasis omnibus law harus dilakukan secara hikmat, penuh
kesungguhan dan pertimbangan yang mendalam.
Sasaran yang ingin diraih dengan mempertimbangkan pendapat masyarakat
antara lain: pertama, agar
pembentukan undang-undang dengan menggunakan omnibus law dilakukan dengan pertimbangan yang masak, tidak
serampangan, dan tidak miskin analisis; dan kedua,
agar masyarakat mendapat kesempatan untuk menyampaikan pandangannya sebelum
pembentukan undang-undang dilakukan (Huda, 2019).
Ketiga, secara normatif, right
to be considered terdapat pada Pasal 96 ayat (7) (Artioko, 2022). Selama ini masyarakat belum banyak mengetahui politik
hukum omnibus law secara jelas dan
detail. Tanpa adanya kejelasan terlebih dahulu politik hukum omnibus law maka penyederhanaan
legislasi melalui pembentukan omnibus law
akan menemui kesulitan dalam sinkronisasi dan harmonisasi legislasi (Mulyani, 2022). Pembentuk undang-undang wajib menjelaskan kepada
masyarakat mengenai hasil pembahasan dari masukan masyarakat (Kurnia, 2023). Sejalan dengan hukum positif di Indonesia, negara
mempunyai kewajiban melakukan konsultasi dan memberikan informasi kepada kelompok
atau organisasi masyarakat, organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat yang
terdaftar di kementerian yang berwenang, masyarakat hukum adat, dan penyandang
disabilitas (Kurnia, 2023).
Namun demikian, penguatan
partisipasi melalui dalam dan luar jaringan masih banyak yang harus dijawab.
Belum ada laman resmi dan belum didukung dengan teknologi yang mampu
memasukkan, mengelola, dan menganalisis informasi geografis (Omusotsi, 2019) sebagai representasi partisipasi dari keseluruhan wilayah
Indonesia. Diperlukan sistem pendukung dalam pembentukan omnibus law melalui sistem informasi geografis partisipasi publik
(SIG-PP) (Kusmiarto, Yulfa,
& Mustofa, 2018). SIG-PP merupakan satu pendekatan penggabungan partisipasi
dan teknologi dalam pembuatan undang-undang yang dapat diakses dengan mudah oleh
semua orang untuk mencapai tujuan negara yang penting (Jebur, 2021).
Melalui SIG-PP penyaluran aspirasi
menggunakan pendekatan bottom-up,
dengan fokus utama orang dan teknologi, tujuan pemberdayaan komunitas, biaya
rendah dan struktur organisainya bersifat fleksibel dan terbuka. SIG-PP juga berkesesuaian
dengan situasi ketahanan nasional yang dinamis sebagai salah satu instrumen
yang berpengaruh dengan pemberlakuan omnibus
law. Dari tiga aspek alamiah (trigatra) gatra geografi digunakan untuk
memastikan omnibus law sudah mencerminkan
representasi keinginan keseluruhan masyarakat Indonesia (Maku, Akili, &
Kadir, 2023).
Peluang mengadopsi SIG-PP dalam
pembentukan omnibus law sangat
terbuka dengan sejumlah manfaat, antara lain: (1) SIG-PP memberikan kemudahan
mengumpulkan dan mensintesis masukan warga yang luas, dengan dukungan algoritma
untuk mengidentifikasi kesamaan diantara banyak masukan dan pandangan; (2) menjamin
keamanan warga berpartisipasi dari jarak jauh, tanpa takut adanya intimidasi
dan ancaman; (3) mengikuti perkembangan teknologi dalam masyarakat modern; dan (4)
efisiensi biaya untuk mengeksplorasi dan memberdayakan semua kelompok
kepentingan dalam masyarakat (Hastings & Clark,
1991).
Partisipasi masyarakat yang
bermakna didukung SIG-PP menawarkan berbagai kemudahan akses partisipasi
masyarakat yang sejalan dengan amanat konstitusi yang menempatkan prinsip kedaulatan
rakyat sebagai salah satu pilar utama negara. Partisipasi masyarakat juga
dijamin kepastian hukumnya sebagai hak konstitusional warga negara untuk turut
serta dalam pemerintahan dan membangun masyarakat, sebagai upaya mencapai
kemakmuran. Di sinilah model partisipasi yang bermakna dengan didukung SIG-PP merupakan
salah satu alternatif solusi untuk meminimalisasi kontroversi pembentukan omnibus law yang efektif, sebagai
serpihan pelengkap dalam memenuhi formalitas sistem pembentukan undang-undang berbasis
omnibus law di Indonesia.
KESIMPULAN
Atas dasar pembahasan di atas, dapat ditarik 2 (dua)
kesimpulan yaitu: pertama, penerapan omnibus law dalam pembentukan
undang-undang menuai kontroversi karena tidak memberikan ruang partisipasi yang
cukup bagi masyarakat, akibatnya omnibus
law digugat warga negara. Kedua, Amerika Serikat menggunakan lima
model partisipasi, untuk mengatasi kontoversi, yaitu: (1) citizen participation offices; (2) ad-hoc meeting or workshops with civil society organizations; (3) insitutional bodies; (4) public outreach; (5) town hall meetings. Kekinian, Amerika
Serikat mengembangkan mekanisme digital dalam bentuk sistem informasi geografis
partisipasi publik (SIG-PP). Indonesia �meminimalisasi kontroversi omnibus law, menggunakan partisipasi
yang lebih bermakna, yakni: (1) right to
be heard; (2) right to be considered;
dan (3) right to be explained.
Indonesia dapat mencontoh Amerika Serikat memanfaatkan teknologi SIG-PP untuk mempermudah
akses partisipasi masyarakat.
.�
DAFTAR PUSTAKA
Alhakim, Abdurrakhman, & Ginting, Egia. (2021). Analisis
Pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja Pada Tahapan Perencanaan dan Penyusunan
berdasarkan Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Combines-Conference
On Management, Business, Innovation, Education And Social Sciences, 1(1),
284�296.
Amin, Rizal Irvan.
(2020). Omnibus law antara desiderata dan realita. Jurnal Hukum Samudra
Keadilan, 15(2), 190�209.
Amin, Rizal Irvan.
(2021). Pendekatan sosiologi hukum dalam memahami konflik peraturan perundang-Undangan
di Indonesia. Jurnal Hukum Dan Pembangunan Ekonomi, 8(2),
156�169.
Andriani, Henny.
(2019). Politik Hukum Perundang-Undangan Pada Bentuk Partisipasi Masyarakat
dalam Mewujudkan Undang-Undang yang Responsif. Menggagas Arah Kebijakan Reformasi
Regulasi Di Indonesia, 21.
Arnstein, Sherry.
(2020). Building �A Ladder Of Citizen Participation.� Learning from
Arnstein�s Ladder: From Citizen Participation to Public Engagement, 2.
Artioko, Fiqih Rizki.
(2022). Pengadopsian Partisipasi Masyarakat Yang Bermakna (Meaningful
Participation) Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022tentang Perubahan Kedua
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan. Al-Qisth Law Review, 6(1), 52�83.
Aryanto, Bayu,
Harijanti, Susi Dwi, & Susanto, Mei. (2021). Menggagas Model Fast-Track
Legislation Dalam Sistem Pembentukan Undang-Undang di Indonesia. Jurnal
Rechtsvinding, 10(2).
Asshiddiqie, Jimly.
(2007). Konstitusi dan Ketatanegaraan Indonesia Kontemporer. Jakarta: The
Biography Institute.
Asshiddiqie, Jimly.
(2020). Omnibus law dan penerapannya di Indonesia. (No Title).
Buana, Mirza Satria.
(2017). Menakar Konsep Omnibus Law dan Consolidation Law untuk Harmonisasi
Peraturan Perundang-undangan Indonesia: Pendekatan Perbandingan Hukum Tata
Negara.
Fadli, Moh, &
Lutfi, Mustafa. (2016). Hukum dan Kebijakan lingkungan. Universitas
Brawijaya Press.
Firdaus, Fahmi
Ramadhan. (2020). Pencegahan Korupsi Legislasi Melalui Penguatan Partisipasi
Publik Dalam Proses Pembentukan Undang-Undang. Jurnal Legislasi Indonesia,
17(3), 282�293.
Gava, Roy, Jaquet,
Julien M., & Sciarini, Pascal. (2021). Legislating or
rubber‐stamping? Assessing parliament�s influence on law‐making
with text reuse. European Journal of Political Research, 60(1),
175�198.
Hastings, David A.,
& Clark, David M. (1991). GIS in Africa: problems, challenges and
opportunities for co-operation. International Journal of Geographical
Information System, 5(1), 29�39.
Hidayat, Arif, &
Arifin, Zaenal. (2019). Politik Hukum Legislasi Sebagai Socio-Equilibrium Di
Indonesia. Jurnal Ius Constituendum, 4(2), 147�159.
Huda, Ni�matul.
(2019). Presiden & pembantu presiden dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
(No Title).
Jebur, Ahmed Kareem.
(2021). Uses and applications of geographic information systems. Saudi J.
Civ. Eng, 5(2), 18�25.
Keyzer, Patrick.
(2020). The Indonesian Omnibus Law: Opportunities and Challenges. Kuliah
Umum, Universitas Brawijaya, Malang, 29.
Kurnia, Kana. (2023).
Problematika Hukum Pembentukan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Jurnal Legislasi Indonesia, 20(1),
123�135.
Kusmiarto, Kusmiarto,
Yulfa, Arie, & Mustofa, Fahmi Charish. (2018). Model-model pendekatan
partisipatif dalam sistem informasi geografi. Bhumi Jurnal Agraria Dan
Pertanahan, Vol. 4 No. 2, 208�223.
Law, Progressive.
(2020). Urgensi Omnibus Law Dalam Percepatan Reformasi Regulasi Dalam
Perspektif Hukum Progresif. Jurnal Penelitian Hukum De Jure, 20(2),
233�244.
Mace, Gordon, &
Lockhart, Nicolas Falomir. (2019). Legislators and regional organizations: The
issue of legitimacy. Latin American Policy, 10(1), 6�28.
Maku, Sumanti, Akili,
Rustam Hs, & Kadir, Yusrianto. (2023). Analisis Strategi Politik Hukum
Terhadap Kebijakan Pemindahan Ibu Kota Negara Dalam Perspektif Geopolitik Dan
Geostrategi. Iblam Law Review, 3(2), 152�172.
Manan, Bagir. (2002). Menyongsong
fajar otonomi daerah. Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam
Indonesia.
Massicotte, Louis.
(2013). Omnibus bills in theory and practice. Canadian Parliamentary Review,
36(1), 13�17.
Mulyani, Basri.
(2022). Menggagas Penataan Regulasi dalam Pembentukan Peraturan Daerah dengan
Konsep Omnibus Law. JURIDICA, 3(2), 61�78.
Nabila Septia, Imani.
(2023). Politik Hukum Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 Tentang Perubahan
Kedua Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan Perspektif Maṣlaḥah. UIN Prof. KH Saifuddin
Zuhri Purwokerto.
Omusotsi, Okusimba
George. (2019). Role of GIS as a Toolfor Environmental Planning and
Management.
Palguna, I. D. G.
(2019). Hukum Internasional Ruang Angkasa. Raja Grafindo Persada, Depok,
hlm.
Perundang-Undangan,
Pembentukan Peraturan, & RI, Badan Keahlian D. P. R. (n.d.). Naskah
Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 Tentang.
Press, FHUII. (2019). Penataan
pengaturan organisasi sayap partai politik.
Rahmalillah,
Apriliani. (2021). Anotasi putusan Mahkamah Konstitusi nomor
135/PUU-XIII/2015 tentang pemberian hak pilih pada disabilitas mental:
Perspektif teori Hukum Progresif dan Fiqh Siyasah Dusturiyah. Universitas
Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim.
Redi, Ahmad, &
Chandranegara, Ibnu Sina. (2020). Omnibus law: diskursus pengadopsiannya ke
dalam sistem perundang-undangan nasional. Rajawali Press.
Riskiyono, Joko.
(2015). Partisipasi masyarakat dalam pembentukan perundang-undangan untuk
mewujudkan kesejahteraan. Aspirasi: Jurnal Masalah-Masalah Sosial, 6(2),
159�176.
Rizal, Jufrina.
(2003). Sosiologi Perundang-Undangan dan Pemanfaatannya. Jurnal Hukum Dan
Pembangunan, 3, 33.
Sadono, Bambang, &
Rahmiaji, Lintang Ratri. (2021). Pro Kontra Terhadap Prosedur Dan
Substansiomnibus Law Rancangan Undang-Undangcipta Kerja. Jurnal Hukum &
Pembangunan, 51(3), 601�620.
Shihab, Ahmad Nizar.
(2018). Hadirnya negara di tengah rakyatnya pasca lahirnya undang-undang nomor
24 tahun 2011 tentang badan penyelenggara jaminan sosial (The presence of the
state among people after the Declaration Of Law Number 24 Year 2011 concerning
social security administering agency). Jurnal Legislasi Indonesia, 9(2),
175�190.
Sodiki, Achmad.
(2014). Dari dissenting opinion menuju living constitution: pemikiran hukum
Prof. Dr. Achmad Sodiki, SH, hakim konstitusi periode 2008-2013.
Universitas Brawijaya Press (UB Press).
�Yudi Prasetyo1,
Marsudi Dedi Putra2* (2024) |
First
publication right: |
This article
is licensed under: |