JOURNAL SYNTAX IDEA

p�ISSN: 2723-4339 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 6, No. 03, March 2024

 

 

 

Minimalisasi Kontroversi Omnibus Law Dalam Pembentukan Undang-Undang

 

Yudi Prasetyo1, Marsudi Dedi Putra2*

1,2Universitas Wisnuwardhana Malang, Jawa Timur, Indonesia

Email: [email protected]

 

Abstrak

Pembentukan undang-undang melalui omnibus law seringkali tidak demokratis, pragmatis, mempersempit ruang partisipasi dan mengabaikan penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia, sehingga omnibus law menimbulkan kontroversi. Artikel ini dimaksudkan untuk mengulas cara mengatasi kontroversi dalam pembentukan undang-undang melalui omnibus law. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif, dengan pendekatan perundang-undangan, kasus dan perbandingan. Hasilnya menunjukkan: (1) Penerapan pembentukan undang-undang melalui omnibus law berulangkali menjadi kontroversi, utamanya terkait dengan minimnya partisipasi publik. (2) Model partisipasi pada pembentukan undang-undang melalui omnibus law menjadi lebih bermakna apabila dilakukan dengan memberikan kemudahan akses bagi masyarakat. Lebih sempurna jika dilengkapi dengan Sistem Informasi Geografis Partisipasi Publik.

 

Kata kunci: kontroversi, omnibus law, pembentukan undang-undang, partisipasi

 

Abstract

The formation of laws through omnibus laws is often undemocratic, pragmatic, narrows the space for participation and ignores respect for human dignity, so that omnibus laws cause controversy. This article is intended to review how to overcome controversy in the formation of laws through omnibus law. This research uses normative juridical research methods, with statutory, case and comparative approaches. The results show: (1) The implementation of law formation through the omnibus law has repeatedly become controversial, mainly related to the lack of public participation. (2) The model of participation in the formation of laws through the omnibus law becomes more meaningful if it is carried out by providing easy access for the public. It would be more perfect if equipped with a Public Participation Geographic Information System.

 

Key words: controversy, omnibus law, law formation, participation

 

PENDAHULUAN

Partisipasi masyarakat bukan tujuan akhir dari proses pembentukan undang-undang, tetapi partisipasi berpengaruh terhadap kualitas undang-undang (Law, 2020). Undang-undang sebagai dasar legalitas mengelola negara mencapai titik ideal apabila dapat mengakomodasi dan mempertemukan semua �kepentingan baik kepentingan Pemerintah maupun warga negara. Dengan kata lain, undang-undang yang baik akan mencerminkan keseimbangan (balance) antara menfasilitasi aturan yang menjamin kepentingan Pemerintah dapat berjalan secara efisien nan cepat, tetapi pada saat yang sama tidak mengurangi hak asasi warga negara (Sadono & Rahmiaji, 2021).

Pasal 1 iayat (2) idan Pasali 1 iayat (3) Undang-Undangi Dasari iNegara Republiki Indonesiai Tahuni 1945, merupakan ipenegasaninegara hukum yang demokratis (Andriani, 2019). Dalami negara hukum yangidemokratis undang-undang sebagai salah satu subsistem negara hukum dicitrakan dapat melingkupi dan menjawab semua permasalahan kebangsaan yang berkelindan dengan kepentingan politis partai politik di lembaga perwakilan (Buana, 2017). Dianutnya paham negara hukum yang demokratis berimplikasi terhadap pembentukan undang-undang mengenai apapun dan untuk keperluan apapun mensyaratkan terpenuhinya asas fundamental penyelenggaraan negara yaitu kedaulatan di tangan rakyat yang menghendaki transparansi, yang memungkinkan setiap warga negara dapat berpartisipasi memberikan masukan dan pandangan (Redi & Chandranegara, 2020).

Secara teoritis, undang-undang merupakan produk politik sudah diterima luas, karena undang-undang merupakan hasil kesepakatan (resultante) para pembentuknya (Press, 2019). Namun yang perlu dicatat bahwa proses hukum pembentukan undang-undang dilakukan dalam kerangka konstitusi maupun undang-undang (Rahmalillah, 2021). Perspektif hukum, proses pembentukan undang-undang sudah ditata dengan menghormati kemuliaan manusia, tersedianya informasi akurat, terbuka peluang memperoleh keadilan, dan terlindunginya harapan yang sah (Sodiki, 2014), dengan tujuan mewujudkan kesejahteraan dan keadilan (Fadli & Lutfi, 2016), serta memberadabkan warga negara (Amin, 2020).

Berbanding terbalik dengan proses pembentukan undang-undang ideal di atas, kondisi objektif pembentukan undang-undang di Indonesia akhir-akhir ini menunjukkan adanya pengingkaran terhadap partisipasi masyarakat. �Permasalahan yang berulangkali mengemuka, bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Presiden, dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) selaku pejabat pembentuk undang-undang dinilai kurang partisipatif (Riskiyono, 2015). DPR dan Presiden tidak jarang melakukan pembentukan undang-undang secara terburu-buru. Realitasnya, dalam jangka waktu tidak lebih dari 167 (seratus enam puluh tujuh) hari, telah lahir satu undang-undang yang menggunakan omnibus law. Kondisi tersebut dapat berimplikasi pada aspek partisipasi dan rawan kontroversi (Aryanto, Harijanti, & Susanto, 2021).

Membentuk undang-undang dengan omnibus law hanya berfokus pada kepentingan investasi dan meninggalkan peran serta masyarakat sebagai pilar demokrasi akan berbahaya. Diperlukan model ideal untuk meminimalisasi kontroversi pembentukan undang-undang berbasis omnibus law, jika dibiarkan akan menimbulkan keterpurukan.

Penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan sumbangan pemikiran dengan harapan pembentuk undang-undang lebih konsisten menyerap partisipasi masyarakat. Kontribusi lain dari penelitian ini merumuskan model ideal untuk memperkuat partisipasi masyarakat dalam pembentukan undang-undang berbasis omnibus law. Ada 2 (dua) permasalahan hukum dalam penelitian ini yang akan dikaji lebih lanjut oleh penulis, yaitu: (1) bagaimana penerapan partisipasi masyarakat dalam pembentukan undang-undang berbasis omnibus law; (2) bagaimana model ideal untuk memperkuat partisipasi masyarakat dalam meminimalisasi kontroversi pembentukan undang-undang berbasis omnibus law di masa datang.

 

METODE PENELITIAN

Penelitian hukum ini merupakan jenis penelitian yuridis normatif, yang mengadopsi beberapa pendekatan dalam analisisnya. Pendekatan yang digunakan termasuk pendekatan perundang-undangan, pendekatan perbandingan, dan pendekatan kasus. Penelaahan peraturan perundang-undangan yang relevan dengan permasalahan yang diteliti dilakukan dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, memungkinkan peneliti untuk memahami kerangka hukum yang berlaku dalam konteks yang dibahas.

Pendekatan perbandingan digunakan dengan membandingkan model partisipasi di Amerika Serikat, sehingga memungkinkan peneliti untuk mengidentifikasi dan menganalisis mekanisme partisipasi yang lebih efektif. Pendekatan ini membantu dalam memperoleh wawasan yang lebih luas tentang sistem legislasi dari berbagai negara.

Selanjutnya, pendekatan kasus digunakan untuk menelaah kasus pembentukan undang-undang berbasis omnibus law, khususnya Undang-Undang Cipta Kerja. Pendekatan ini memungkinkan peneliti untuk menganalisis studi kasus secara mendalam, mengidentifikasi berbagai isu dan implikasi yang mungkin timbul dari implementasi undang-undang tersebut.

Sumber data penelitian terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yang dikumpulkan melalui studi kepustakaan. Populasi penelitian meliputi semua peraturan perundang-undangan yang relevan dengan permasalahan yang diteliti, sedangkan sampel yang diambil adalah sebagian dari peraturan-peraturan tersebut yang dianggap mewakili aspek-aspek kunci yang ingin diteliti.

Teknik analisis yang digunakan adalah yuridis kualitatif, di mana peneliti menganalisis bahan hukum secara mendalam dan menyajikan hasil analisis secara deskriptif dan preskriptif. Dengan demikian, metode penelitian ini memungkinkan peneliti untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif tentang isu-isu hukum yang diteliti dan memberikan rekomendasi yang relevan untuk pemecahan masalah yang terkait.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Praktik Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan Undang-Undang Menggunakan Omnibus Law

Implementasi partisipasi masyarakat tidak boleh berhenti pada keterlibatan dalam proses pembentukan undang-undang, tetapi diharapkan dapat menentukan hasil akhir dan dampak yang ditimbulkan dari lahirnya sebuah undang-undang (Arnstein, 2020). Masyarakat mana yang harus terlibat dalam berpartisipasi, Bagir Manan memberikan pernyataan �Para pemangku kepentingan (stakeholders) mempunyai hak berpartisipasi secara aktif dalam ikut serta menentukan perjalanan kehidupan bernegara� (Manan, 2002).

Keberadaan partisipasi masyarakat dalam pembentukan undang-undang akan menjadikan masyarakat lebih dipentingkan dan Pemerintah lebih tanggap dalam proses demokrasi, sehingga melahirkan pemerintahan yang bermoral dan warga negara yang bertanggungjawab. Undang-undang yang proses pembentukannya tidak partisipatif cenderung menimbulkan kontroversi, karena pada dasarnya undang-undang merupakan endapan dari konflik (gathers of conflicts) dalam masyarakat (Hidayat & Arifin, 2019). �

�Ketentuan di atas wajib berlaku terhadap pembentukan undang-undang menggunakan omnibus law. Omnibus law yang dimaknai �one for everything� memungkinkan satu undang-undang berupaya untuk mengubah dan mencabut beberapa undang-undang sekaligus, dan didefinisikan O�Brien and Bosc sebagai �...seeks to amend, repeat or enact several acts...�(Massicotte, 2013), serta oleh Jimly Asshiddiqie diartikan sebagai teknik pembentukan undang-undang dengan maksud untuk mengadakan perubahan sekaligus atas beberapa undang-undang yang ada dan berlaku sebelumnya (Asshiddiqie, 2020), atau undang-undang �sapu jagad�, dalam praktiknya membawa kelebihan, tetapi juga banyak kekurangan. Varian persoalan yang harus idihadapi dalam pembentukan undang-undangi berbasisi omnibus law , di kemukakan Patrick Keyzer, antara lain: (1) very difficult to draft; (2) limited opportunities for debate and scrutiny; (3) may make consultation very difficult; (4) may be hard to implement; (4) can add to the complexity, rather than remove it (Keyzer, 2020).

Ketiadaan partisipasi masyarakat jelas merupakan potensi kontroversi yang datang kemudian, tidak terkecuali undang-undang berbasis omnibus law di Indonesia. Implementasi omnibus law dalam kasus Undang-Undang Cipta Kerja pada praktiknya tidak memenuhi asas keterbukaan yang partisipatif pada tahapan pengajuan, pembahasan, dan pengesahan (Firdaus, 2020). Pada tahap pengajuan, sedari awal masyarakat sudah dibingungkan dengan keberadaan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (Alhakim & Ginting, 2021).

Pada tahap pembahasan, proses dilakukan secara cepat (fast track), tertutup, dan menggambarkan kerja politik koalisi semata (Gava, Jaquet, & Sciarini, 2021). Banyak pihak yang seharusnya dimintai partisipasi atas Undang-Undang Cipta Kerja menjadi tidak dilibatkan. Misalnya terdapat perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, proses pembahasan tidak melibatkan kelompok masyarakat buruh migran Indonesia, seperti organisasi serikat buruh migran Indonesia dan organisasi Migrant CARE. Atau sekalipun telah dilaksanakan berbagai pertemuan dengan berbagai kelompok masyarakat, pertemuan tersebut belum membahas Naskah Akademik. Hasilnya, masyarakat yang terlibat dalam pertemuan tersebut tidak mengetahui secara pasti perubahan undang-undang apa saja yang akan digabungkan dalam Undang-Undang Cipta Kerja.

Pada saat jeda pengesahan undang-undang berbasis omnibus law masih terjadi perubahan jumlah halaman. Setidaknya terjadi 4 (empat) kali perubahan dari awalnya 905 halaman, berubah menjadi 1.305, beberapa jam kemudian berkurang lagi menjadi 812 halaman, dan pada akhirnya ketika diundangkan menjadi 1,187 halaman (Amin, 2021). Kondisi ini dari perspektif legislative intent� diduga melanggar Pasal 72 UU P3 dan sekaligus mengundang kecurigaan bahwa Pemerintah dan DPR sedang bermain menjalankan bisnis tertentu dengan menggunakan instrumen ipembentukan undang-undangi berbasisi omnibus law.

Ketentuan di atas akhirnya dipahami sebagai proses yang tidak memenuhi syarat tentang tata cara pembentukan undang-undang dan tidak memenuhi asas pembentukan undang-undang yang baik sebagaimana telah ditentukan dalam UU P3, sehingga Undang-Undang Cipta Kerja dengan menggunakan omnibus law harus dinyatakan tidak konstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional) (Asshiddiqie, 2007), melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Dalam amar putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Undang-Undang Cipta Kerja bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai �tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan�.

Di samping itu masih terdapat 3 (tiga) hal penting dari putusan Mahkamah Konstitusi, yaitu: pertama, Undang-Undang Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan; kedua, memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan� diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan maka Undang-Undang Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen; dan ketiga, apabila dalam tenggang waktu 2 (dua) tahun pembentuk undang-undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan Undang-Undang Cipta Kerja maka undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh Undang-Undang Cipta Kerja dinyatakan berlaku kembali.

Partisipasi Pembentukan Omnibus Law di Amerika Serikat: Studi Komparasi

Pembentukan omnibus law di Amerika Serikat tidak jarang terjadi kontroversi karena omnibus law dinilai mengorbankan partisipasi dan tidak demokratis. Faktanya omnibus spending bill, pada tahun 2018 telah menimbulkan perdebatan karena ukuran dan cakupan sangat luas (Amin, 2020). Namun demikian, Amerika Serikat secara cepat berhasil membentuk omnibus law, dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Tidak kurang dari 5 (lima) model bentuk partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan undang-undang (Mace & Lockhart, 2019), antara lain: (1) citizen participation offices, mendapatkan informasi merupakan hak warga negara dan untuk memfasilitasi akses warga negara, kantor parlemen dapat didirikan di lokasi di luar ibukota; (Perundang-Undangan & RI, n.d.) (2) ad-hoc meeting or workshops with civil society organizations, hak warga negara diundang sebagai perwakilan untuk tampil di hadapan anggota parlemen, dan menerima pelatihan atau lokakarya di bidang keahlian warga negara, sehingga parlemen dapat membangun keterampilan dan pengetahuan parlemen tentang subjek tertentu; (3) insitutional bodies, parlemen dapat menunjuk perwakilan dari lembaga masyarakat yang diintegrasikan ke dalam badan institusional secara sementara atau permanen; (4) public outreach, parlemen dapat menerapkan program penjangkauan publik untuk berbagi informasi dan mengumpulkan umpan balik; dan (5) town hall meetings, warga negara diundang untuk berdialog dan mengajukan pertanyaan kepada pembentuk undang-undang mengenai berbagai kekhawatiran atas dampak diberlakukannya undang-undang.

Amerika Serikat lebih mengutamakan penyerapan aspirasi masyarakat yang meliputi warga negara, ahli atau pakar di bidangnya, dan lobbyists untuk mengkaji lebih dalam omnibus law (Mulyani, 2022). Bahkan dalam sejarahnya Amerika Serikat pernah memimpikan segala permasalahan diatasi dengan cara akademik, sebuah pemerintahan scientific, tempat orang berkompeten dengan kapasitas keilmuan menemukan jalan keluar (Rizal, 2003), termasuk mencari jalan ke luar masalah omnibus law. Dewasa ini, Amerika Serikat telah mengembangkan bentuk partisipasi masyarakat yang lebih mudah diakses masyarakat utamanya masyarakat adat melalui mekanisme digital dalam bentuk sistem informasi geografis partisipasi publik (SIG-PP) (Rizal, 2003).

Model Ideal Partisipasi dalam Pembentukan Omnibus Law di Indonesia

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor Nomor 91/PUU-XVIII/2020, memberikan rambu berkaitan model partisipasi masyarakat yang ideal, yakni partisipasi yang lebih bermakna (meaningful participation). Setidaknya ada 3 (tiga) prasyarat utama dalam memenuhi partispasi masyarakat yang bermakna, yaitu: pertama, hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard); kedua, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered); dan ketiga, hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained) (Nabila Septia, 2023).

Pertama, hak masyarakat untuk didengar pendapatnya menjadi penting karena belajar dari kegagalan yang berulang dalam sejarah negara adalah kegagalan mendengarkan (Palguna, 2019). Kebutuhan mendengarkan jauh hari sudah diperdebatkan oleh para pendiri negara (the founding father). Hatta mengingatkan dalam perdebatannya dengan Soepomo, perihal tidak dimuatnya ketentuan hak warga negara yang disebut �hak mengeluarkan suara� (Shihab, 2018). Pesan penting Hatta bahwa undang-undang dasar maupun undang-undang tidak boleh menjadi pemberi legitimasi bagi kemungkinan lahirnya negara kekuasaan yang tidak memberi ruang bagi warga negara untuk mengeluarkan suara dengan menutup partisipasi masyarakat (Palguna, 2019).

Kedua, hak masyarakat untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered). Pembentukan undang-undang berbasis omnibus law harus dilakukan secara hikmat, penuh kesungguhan dan pertimbangan yang mendalam. Sasaran yang ingin diraih dengan mempertimbangkan pendapat masyarakat antara lain: pertama, agar pembentukan undang-undang dengan menggunakan omnibus law dilakukan dengan pertimbangan yang masak, tidak serampangan, dan tidak miskin analisis; dan kedua, agar masyarakat mendapat kesempatan untuk menyampaikan pandangannya sebelum pembentukan undang-undang dilakukan (Huda, 2019).

Ketiga, secara normatif, right to be considered terdapat pada Pasal 96 ayat (7) (Artioko, 2022). Selama ini masyarakat belum banyak mengetahui politik hukum omnibus law secara jelas dan detail. Tanpa adanya kejelasan terlebih dahulu politik hukum omnibus law maka penyederhanaan legislasi melalui pembentukan omnibus law akan menemui kesulitan dalam sinkronisasi dan harmonisasi legislasi (Mulyani, 2022). Pembentuk undang-undang wajib menjelaskan kepada masyarakat mengenai hasil pembahasan dari masukan masyarakat (Kurnia, 2023). Sejalan dengan hukum positif di Indonesia, negara mempunyai kewajiban melakukan konsultasi dan memberikan informasi kepada kelompok atau organisasi masyarakat, organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat yang terdaftar di kementerian yang berwenang, masyarakat hukum adat, dan penyandang disabilitas (Kurnia, 2023).

Namun demikian, penguatan partisipasi melalui dalam dan luar jaringan masih banyak yang harus dijawab. Belum ada laman resmi dan belum didukung dengan teknologi yang mampu memasukkan, mengelola, dan menganalisis informasi geografis (Omusotsi, 2019) sebagai representasi partisipasi dari keseluruhan wilayah Indonesia. Diperlukan sistem pendukung dalam pembentukan omnibus law melalui sistem informasi geografis partisipasi publik (SIG-PP) (Kusmiarto, Yulfa, & Mustofa, 2018). SIG-PP merupakan satu pendekatan penggabungan partisipasi dan teknologi dalam pembuatan undang-undang yang dapat diakses dengan mudah oleh semua orang untuk mencapai tujuan negara yang penting (Jebur, 2021). Melalui SIG-PP penyaluran aspirasi menggunakan pendekatan bottom-up, dengan fokus utama orang dan teknologi, tujuan pemberdayaan komunitas, biaya rendah dan struktur organisainya bersifat fleksibel dan terbuka. SIG-PP juga berkesesuaian dengan situasi ketahanan nasional yang dinamis sebagai salah satu instrumen yang berpengaruh dengan pemberlakuan omnibus law. Dari tiga aspek alamiah (trigatra) gatra geografi digunakan untuk memastikan omnibus law sudah mencerminkan representasi keinginan keseluruhan masyarakat Indonesia (Maku, Akili, & Kadir, 2023).

Peluang mengadopsi SIG-PP dalam pembentukan omnibus law sangat terbuka dengan sejumlah manfaat, antara lain: (1) SIG-PP memberikan kemudahan mengumpulkan dan mensintesis masukan warga yang luas, dengan dukungan algoritma untuk mengidentifikasi kesamaan diantara banyak masukan dan pandangan; (2) menjamin keamanan warga berpartisipasi dari jarak jauh, tanpa takut adanya intimidasi dan ancaman; (3) mengikuti perkembangan teknologi dalam masyarakat modern; dan (4) efisiensi biaya untuk mengeksplorasi dan memberdayakan semua kelompok kepentingan dalam masyarakat (Hastings & Clark, 1991).

Partisipasi masyarakat yang bermakna didukung SIG-PP menawarkan berbagai kemudahan akses partisipasi masyarakat yang sejalan dengan amanat konstitusi yang menempatkan prinsip kedaulatan rakyat sebagai salah satu pilar utama negara. Partisipasi masyarakat juga dijamin kepastian hukumnya sebagai hak konstitusional warga negara untuk turut serta dalam pemerintahan dan membangun masyarakat, sebagai upaya mencapai kemakmuran. Di sinilah model partisipasi yang bermakna dengan didukung SIG-PP merupakan salah satu alternatif solusi untuk meminimalisasi kontroversi pembentukan omnibus law yang efektif, sebagai serpihan pelengkap dalam memenuhi formalitas sistem pembentukan undang-undang berbasis omnibus law di Indonesia.

 

KESIMPULAN

Atas dasar pembahasan di atas, dapat ditarik 2 (dua) kesimpulan yaitu: pertama, penerapan omnibus law dalam pembentukan undang-undang menuai kontroversi karena tidak memberikan ruang partisipasi yang cukup bagi masyarakat, akibatnya omnibus law digugat warga negara. Kedua, Amerika Serikat menggunakan lima model partisipasi, untuk mengatasi kontoversi, yaitu: (1) citizen participation offices; (2) ad-hoc meeting or workshops with civil society organizations; (3) insitutional bodies; (4) public outreach; (5) town hall meetings. Kekinian, Amerika Serikat mengembangkan mekanisme digital dalam bentuk sistem informasi geografis partisipasi publik (SIG-PP). Indonesia �meminimalisasi kontroversi omnibus law, menggunakan partisipasi yang lebih bermakna, yakni: (1) right to be heard; (2) right to be considered; dan (3) right to be explained. Indonesia dapat mencontoh Amerika Serikat memanfaatkan teknologi SIG-PP untuk mempermudah akses partisipasi masyarakat.

.�

DAFTAR PUSTAKA

Alhakim, Abdurrakhman, & Ginting, Egia. (2021). Analisis Pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja Pada Tahapan Perencanaan dan Penyusunan berdasarkan Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Combines-Conference On Management, Business, Innovation, Education And Social Sciences, 1(1), 284�296.

 

Amin, Rizal Irvan. (2020). Omnibus law antara desiderata dan realita. Jurnal Hukum Samudra Keadilan, 15(2), 190�209.

 

Amin, Rizal Irvan. (2021). Pendekatan sosiologi hukum dalam memahami konflik peraturan perundang-Undangan di Indonesia. Jurnal Hukum Dan Pembangunan Ekonomi, 8(2), 156�169.

 

Andriani, Henny. (2019). Politik Hukum Perundang-Undangan Pada Bentuk Partisipasi Masyarakat dalam Mewujudkan Undang-Undang yang Responsif. Menggagas Arah Kebijakan Reformasi Regulasi Di Indonesia, 21.

 

Arnstein, Sherry. (2020). Building �A Ladder Of Citizen Participation.� Learning from Arnstein�s Ladder: From Citizen Participation to Public Engagement, 2.

 

Artioko, Fiqih Rizki. (2022). Pengadopsian Partisipasi Masyarakat Yang Bermakna (Meaningful Participation) Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Al-Qisth Law Review, 6(1), 52�83.

 

Aryanto, Bayu, Harijanti, Susi Dwi, & Susanto, Mei. (2021). Menggagas Model Fast-Track Legislation Dalam Sistem Pembentukan Undang-Undang di Indonesia. Jurnal Rechtsvinding, 10(2).

 

Asshiddiqie, Jimly. (2007). Konstitusi dan Ketatanegaraan Indonesia Kontemporer. Jakarta: The Biography Institute.

 

Asshiddiqie, Jimly. (2020). Omnibus law dan penerapannya di Indonesia. (No Title).

 

Buana, Mirza Satria. (2017). Menakar Konsep Omnibus Law dan Consolidation Law untuk Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan Indonesia: Pendekatan Perbandingan Hukum Tata Negara.

 

Fadli, Moh, & Lutfi, Mustafa. (2016). Hukum dan Kebijakan lingkungan. Universitas Brawijaya Press.

 

Firdaus, Fahmi Ramadhan. (2020). Pencegahan Korupsi Legislasi Melalui Penguatan Partisipasi Publik Dalam Proses Pembentukan Undang-Undang. Jurnal Legislasi Indonesia, 17(3), 282�293.

 

Gava, Roy, Jaquet, Julien M., & Sciarini, Pascal. (2021). Legislating or rubber‐stamping? Assessing parliament�s influence on law‐making with text reuse. European Journal of Political Research, 60(1), 175�198.

 

Hastings, David A., & Clark, David M. (1991). GIS in Africa: problems, challenges and opportunities for co-operation. International Journal of Geographical Information System, 5(1), 29�39.

 

Hidayat, Arif, & Arifin, Zaenal. (2019). Politik Hukum Legislasi Sebagai Socio-Equilibrium Di Indonesia. Jurnal Ius Constituendum, 4(2), 147�159.

 

Huda, Ni�matul. (2019). Presiden & pembantu presiden dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. (No Title).

 

Jebur, Ahmed Kareem. (2021). Uses and applications of geographic information systems. Saudi J. Civ. Eng, 5(2), 18�25.

 

Keyzer, Patrick. (2020). The Indonesian Omnibus Law: Opportunities and Challenges. Kuliah Umum, Universitas Brawijaya, Malang, 29.

 

Kurnia, Kana. (2023). Problematika Hukum Pembentukan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Jurnal Legislasi Indonesia, 20(1), 123�135.

 

Kusmiarto, Kusmiarto, Yulfa, Arie, & Mustofa, Fahmi Charish. (2018). Model-model pendekatan partisipatif dalam sistem informasi geografi. Bhumi Jurnal Agraria Dan Pertanahan, Vol. 4 No. 2, 208�223.

 

Law, Progressive. (2020). Urgensi Omnibus Law Dalam Percepatan Reformasi Regulasi Dalam Perspektif Hukum Progresif. Jurnal Penelitian Hukum De Jure, 20(2), 233�244.

 

Mace, Gordon, & Lockhart, Nicolas Falomir. (2019). Legislators and regional organizations: The issue of legitimacy. Latin American Policy, 10(1), 6�28.

 

Maku, Sumanti, Akili, Rustam Hs, & Kadir, Yusrianto. (2023). Analisis Strategi Politik Hukum Terhadap Kebijakan Pemindahan Ibu Kota Negara Dalam Perspektif Geopolitik Dan Geostrategi. Iblam Law Review, 3(2), 152�172.

 

Manan, Bagir. (2002). Menyongsong fajar otonomi daerah. Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.

 

Massicotte, Louis. (2013). Omnibus bills in theory and practice. Canadian Parliamentary Review, 36(1), 13�17.

 

Mulyani, Basri. (2022). Menggagas Penataan Regulasi dalam Pembentukan Peraturan Daerah dengan Konsep Omnibus Law. JURIDICA, 3(2), 61�78.

 

Nabila Septia, Imani. (2023). Politik Hukum Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 Tentang Perubahan Kedua Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Perspektif Maṣlaḥah. UIN Prof. KH Saifuddin Zuhri Purwokerto.

 

Omusotsi, Okusimba George. (2019). Role of GIS as a Toolfor Environmental Planning and Management.

 

Palguna, I. D. G. (2019). Hukum Internasional Ruang Angkasa. Raja Grafindo Persada, Depok, hlm.

 

Perundang-Undangan, Pembentukan Peraturan, & RI, Badan Keahlian D. P. R. (n.d.). Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang.

 

Press, FHUII. (2019). Penataan pengaturan organisasi sayap partai politik.

 

Rahmalillah, Apriliani. (2021). Anotasi putusan Mahkamah Konstitusi nomor 135/PUU-XIII/2015 tentang pemberian hak pilih pada disabilitas mental: Perspektif teori Hukum Progresif dan Fiqh Siyasah Dusturiyah. Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim.

 

Redi, Ahmad, & Chandranegara, Ibnu Sina. (2020). Omnibus law: diskursus pengadopsiannya ke dalam sistem perundang-undangan nasional. Rajawali Press.

 

Riskiyono, Joko. (2015). Partisipasi masyarakat dalam pembentukan perundang-undangan untuk mewujudkan kesejahteraan. Aspirasi: Jurnal Masalah-Masalah Sosial, 6(2), 159�176.

 

Rizal, Jufrina. (2003). Sosiologi Perundang-Undangan dan Pemanfaatannya. Jurnal Hukum Dan Pembangunan, 3, 33.

 

Sadono, Bambang, & Rahmiaji, Lintang Ratri. (2021). Pro Kontra Terhadap Prosedur Dan Substansiomnibus Law Rancangan Undang-Undangcipta Kerja. Jurnal Hukum & Pembangunan, 51(3), 601�620.

 

Shihab, Ahmad Nizar. (2018). Hadirnya negara di tengah rakyatnya pasca lahirnya undang-undang nomor 24 tahun 2011 tentang badan penyelenggara jaminan sosial (The presence of the state among people after the Declaration Of Law Number 24 Year 2011 concerning social security administering agency). Jurnal Legislasi Indonesia, 9(2), 175�190.

 

Sodiki, Achmad. (2014). Dari dissenting opinion menuju living constitution: pemikiran hukum Prof. Dr. Achmad Sodiki, SH, hakim konstitusi periode 2008-2013. Universitas Brawijaya Press (UB Press).

 

Copyright holder:

�Yudi Prasetyo1, Marsudi Dedi Putra2* (2024)

 

First publication right:

Syntax Idea

 

This article is licensed under:

WhatsApp Image 2021-06-26 at 17