p�ISSN:
2723-4339 e-ISSN: 2548-1398 |
Vol. 6, No. 03, March 2024 |
Ajaran Etis
Tujuan Hukum
Endy Purwanto1, Marsudi Dedi Putra2*
1,2Universitas
Wisnuwardhana Malang, Jawa Timur, Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Ajaran etis prinsipnya menegaskan hukum semata-mata hanya
bertujuan� mencapai keadilan. Di negara
Indonesia, keadilan menjadi cita dan tujuan yang hendak dicapai. Namun, persoalan
keadilan masih belum menemukan relevansinya. Penelitian ini mengeksplanasi lebih
dalam tentang ajaran etis tujuan hukum dan mencari relevansinya dengan keadilan
sosial di negara Indonesia. Yuridis normatif menjadi tipe penelitian ini dengan
pendekatan perundang-undangan dan historis. Dekkriptif kualitatif digunakan sebagai
analisisnya. Penelitian ini menghasilkan: (1) parameter keadilan tidaklah
bersifat tunggal mulai dari peraturan politik negara sampai dengan perlawanan
dari kesewenang-wenangan; (2) relevansi ajaran etis dengan keadilan sosial
menemukan titik paut pada adanya kesempatan yang sama di hadapan hukum dan
pemerintahan tanpa terkecuali bagi warga negara Indonesia.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah ajaran etis
tentang tujuan hukum yang hanya mengedepankan keadilan telah menjadi sasaran
kritik dari berbagai ahli karena kurang sesuai dengan realitas kekinian.
Kata kunci: ajaran
etis, tujuan hukum, keadilan
Abstract
Ethical teachings, in principle,
emphasize that law only aims to achieve justice. In Indonesia, justice is the
ideal and goal to be achieved. However, the issue of justice still has not been
found to be relevant. This article explains more deeply the ethical teachings
of legal objectives and seeks their relevance to social justice in Indonesia.
Normative juridical is this type of research with a statutory and historical
approach. Qualitative descriptive is used as analysis. This research produces:
(1) the parameters of justice are not single, starting from state political
regulations to resistance to arbitrariness; (2) the relevance of ethical
teachings to social justice finds its anchor point in the existence of equal
opportunities before the law and government without exception for Indonesian
citizens. The conclusion of this research is that ethical teachings about the
purpose of law, which only prioritizes justice, have become the target of
criticism from various experts because they are not in accordance with current
realities.
Keywords: ethical teachings,
legal objectives, justice
PENDAHULUAN
Pembicaraan mengenai tujuan hukum acapkali
dicampuradukkan dengan fungsi hukum. Padahal, terdapat perbedaan antara tujuan
hukum dan fungsi hukum. Lantas apakah yang merupakan tujuan hukum. Jawaban atas
pertanyaan ini sama sulitnya dengan memberikan jawaban terhadap
pertanyaan-pertanyaan lain yang menyangkut hakikat hukum, seperti apakah hukum
itu?. Atas pertanyaan tersebut, telah banyak pakar di bidang hukum maupun
bidang ilmu sosial lainnya yang mencari jawaban yang tepat. Namun, semakin jauh
dan dalam kajian tentang tujuan hukum, di sana pula muncul beragam pandangan
tujuan hukum yang tidak sama.
Persoalan tujuan hukum dalam pandangan Ahmad Ali, dapat
dikategorikan dalam 3 (tiga) perspektif antara lain: Pertama, perspektif ilmu hukum yuridis dogmatik, tujuan hukum
menitikberatkan pada kepastian hukum. Kedua,
perspektif filsafat hukum, tujuan utama hukum ialah keadilan. Ketiga, perspektif sosiologi hukum,
tujuan hukum berfokus pada kemanfaatan. Namun, dari pendapat ahli tentang apa
yang merupakan tujuan hukum, setidaknya ada 2 (dua) klasifikasi ajaran tentang
tujuan hukum yakni: Pertama, ajaran
konvensional yang terdiri atas: (a) ajaran etis, (b) ajaran utilistis, dan (c)
ajaran normatif dogmatik. Kedua,
ajaran modern yang terdiri atas: (a) ajaran prioritas baku, dan (b) ajaran
prioritas kasuistik. Dari kedua klasifikasi ajaran tentang tujuan hukum tersebut,
penelitian ini akan fokus pada satu ajaran tujuan hukum yakni ajaran etis.
Ajaran
etis disebut pula
dengan ajaran moral ideal
atau ajaran moral
teoritis dengan tujuan keadilan. Keadilan merupakan bagian inti yang terdalam
dari hukum. Selebihnya keadilan merupakan salah satu konsep pokok dari teori
hukum, namun keadilan juga masih merupakan hal yang samar atau abstrak dan
bermakna ganda. Keadilan adalah kebajikan yang pertama dari institusi sosial
seperti kebenaran adalah sistem dari pemikiran. Sebuah teori biar bagaimananpun
bagus dan ekonomisnya, harus di tolak atau di revisi apabila itu tidak benar,
demikian juga hukum-hukum dan institusi-institusi hukum bagaimanapun efisien
dan baik pengaturannya harus direformasi atau bahkan dihapuskan jika tidak adil
(Kusnu Goesniadhie, 2011).
Ajaran etis yang termasuk dalam ajaran konvensional,
menyatakan bahwa pada prinsipnya tujuan hukum semata-mata hanya untuk mencapai
keadilan. Tetapi apa sebenarnya keadilan?. Hal ini adalah sebuah pertanyaan
yang akan menjadi debat yang panjang bagi filsuf-filsuf dan pertimbangan dari
keadilan akan mulai dengan pertimbangan singkat dari teks filosofi yang terkini
tentang keadilan. Membicarakan hukum adalah membicarakan hubungan antar
manusia. Membicarakan hubungan antar manusia adalah membicarakan keadilan.
Dengan demikian, setiap pembicaraan mengenai hukum, jelas atau samar-samar pada
titik kulminasinya senantiasa merupakan pembicaraan mengenai keadilan pula.
Setiap manusia, masyarakat, bahkan negara mendambakan
keadilan, termasuk negara Indonesia yang secara tegas mencita-citakan suatu
masyarakat yang adil dan makmur. Tidak hanya itu, secara eksplisit sila kelima
Pancasila yang merupakan dasar filsafat negara Indonesia dengan jelas dan tegas
menyatakan �Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia�, meskipun dunia
keadilan merupakan sesuatu yang bersifat filsafati, dalam dunia khayal manusia
dan dalam ranah abstrak (Nasution, 2014). Karenanya, keadilan perlu terus
dikaji dari sudut pandang filsafat selain teoritik.
Penelitian ini merupakan ikhtiar dalam mencari
makna hakiki keadilan dari perspektif ajaran etis. Selanjutnya akan
dieksplanasi dengan keadilan sosial di negara Indonesia. Adapun pembahasan penelitian
ini difokuskan pada 2 (dua) permasalahan pokok, yaitu: (1) bagaimana ajaran
etis tentang tujuan hukum, dan (2) bagaimana relevansi ajaran etis tentang tujuan
hukum dengan keadilan sosial di negara Indonesia. Penulisan penelitian ini
dimaksudkan untuk memberikan sumbangsih pemikiran bagi perumus kebijakan untuk
senantiasa menjadikan keadilan disetiap produk peraturan perundang-undangan.
METODE
PENELITIAN
Dalam penelitian ini, peneliti
memilih pendekatan yuridis normatif sebagai jenis penelitian yang digunakan.
Pendekatan ini memungkinkan peneliti untuk menganalisis berbagai aspek hukum
yang terkait dengan tujuan hukum melalui sudut pandang normatif, berdasarkan
teks hukum yang berlaku serta interpretasi dan penafsiran atasnya. Sejarah
digunakan sebagai pendekatan dalam penelitian ini, memungkinkan peneliti untuk
memahami perkembangan dan konteks historis yang membentuk pemikiran hukum
terkait tujuan hukum.
Sumber data penelitian berasal
dari literatur, yang meliputi berbagai teks hukum, buku, jurnal, penelitian,
dan sumber-sumber lain yang relevan dengan tema yang dibahas. Populasi
penelitian dalam hal ini adalah teori-teori dan konsep-konsep tentang tujuan
hukum melalui ajaran etis. Sampel yang diambil adalah berbagai teori dan konsep
yang dianggap relevan dan signifikan dalam memperkaya pemahaman tentang tujuan
hukum.
Teknik dan alat penelitian yang
digunakan adalah tinjauan literatur, di mana peneliti melakukan pencarian dan
analisis terhadap berbagai sumber literatur yang relevan dengan topik
penelitian. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis teks, di mana
peneliti mengidentifikasi, mengevaluasi, dan menginterpretasikan berbagai teori
dan konsep tentang tujuan hukum melalui ajaran etis, serta mempertimbangkan
relevansinya dengan konteks yang dibahas. Dengan demikian, kolaborasi antara
konsep dan teori tentang tujuan hukum melalui ajaran etis memperkaya pendalaman
perspektif dalam menyusun solusi konseptual dalam penelitian ini.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Ajaran Etis
tentang Tujuan Hukum
Dalam karyanya �Science et technique en droit prive positif�
Geny mengajarkan bahwa dalam ajaran etis hukum bertujuan semata-mata untuk
mencapai keadilan. Hukum menetapkan peraturan-peraturan umum dan hanya dapat
menjadi petunjuk untuk orang-orang dalam pergaulan masyarakat, manakala tujuan
hukum hanya menfokuskan diri pada satu tujuan yakni keadilan.
Ajaran etis yang bertitik fokus
pada keadilan segera saja mendapat kritik dari berbagai ahli yang lain, salah
satunya Sudikno Mertokusumo, yang menyatakan kalau dikatakan bahwa hukum itu
bertujuan mewujudkan keadilan, itu berarti hukum itu identik atau tumbuh dengan
keadilan. Padahal hukum tidak selamanya identik dengan keadilan...demikian pula
ajaran etis yang berat sebelah�.
Meskipun ajaran etis menuai banyak
kritik, tetapi terdapat kesamaan bahwa salah satu tujuan hukum adalah keadilan.
Bahkan tujuan akhir dari pembicaraan keseluruhan tentang hukum adalah
pembangunan keadilan. Kalau bisa malahan keadilan secara �sama rata sama rasa�
untuk semua orang. Hanya ketertiban tanpa tujuan yang lebih jauh bisa saja
merupakan ketertiban yang tidak adil, mirip dengan ketertiban dengan tujuan
yang lain selain dari keadilan (Kusumohamidjojo, 2019).
Tidak ada soal keadilan dan juga
hukum, jika orang hidup sendirian. Aristoteles mungkin orang pertama yang telah
mencoba membedah gagasan keadilan dalam bukunya Ethikon Nikomacheion, untuk dapat memahami kompleksitasnya. Gagasan
keadilan muncul karena orang memberi makna yang berbeda-beda tentang apa itu
keadilan. Pada prinsipnya untuk Aristoteles apa yang adil itu berada
di tengah (doktrin Mesotes) karena
situasi yang sangat adil dan sangat tidak adil selalu bersifat ekstrem (Rahardi, 2017). Disini ditunjukkan, bahwa seseorang dikatakan berlaku
tidak adil apabila orang itu mengambil lebih dari bagian yang semestinya.
Aristoteles membedakan moderasi
antara keadilan umum dan keadilan khusus. Keadilan umum adalah keadilan yang
berlaku secara umum, yang mungkin bisa dipahami sebagai �semua untuk semua�,
yang belum tentu akan menjadi jelas manakala masuk ke dalam domein individual (Aris, 2018). Orang yang memenuhi iustitia
particularis adalah pertama, orang yang taat pada hukum (nominos), dan kedua, adalah orang yang fair (isos). Kedua pengertian itu tidak niscaya berarti sama, karena
�segala yang bertentangan dengan hukum adalah tidak fair juga, tetapi belum
tentu sesuatu yang tidak fair adalah bertentangan dengan hukum�, seperti halnya
tidak setiap orang yang baik adalah juga warga negara yang baik.
Aristoteles kemudian membedah
konsep keadilan dan membedakan keadilan khusus ke dalam keadilan dalam
distribusi barang-barang kebutuhan (iustitia
distributive), dan keadilan dalam transaksi antarwarga masyarakat (iustitia corrective). Iustitia distributive berkenaan dengan
seberapa sama atau seberapa berbeda seseorang menerima sesuatu dibandingkan
dengan orang lain dalam hal barang-barang kebutuhan hidup. Sedangkan iustitia corrective berkenaan dengan
transaksi yang adil atau tidak adil yang lebih jauh lagi dibedakan menjadi
transaksi sukarela dan transaksi tidak sukarela (Subekti, Lestari,
& SE, 2020).
Berbeda dengan Aristoteles yang
mengartikan keadilan secara ontologis (apa itu keadilan), maka Domitius
Ulpianus mengartikan keadilan sebagai kehendak yang teguh dan sinambung untuk
memberikan siapa pun apa yang menjadi haknya (Sari, 2023). Menurut Ulpianus, keharusan hukum adalah sebagai berikut,
�Hidup terhormat, tidak melukai orang lain, dan memberikan kepada siapa pun apa
yang menjadi haknya�. Pernyataan inilah yang terkenal dengan rumus singkatnya �suum quique tribuere� (Petrak, 2014). Rumusan ini hendak menegaskan apa itu keadilan, dan kerap
menjadi rujukan orang untuk menetapkan, apa yang mereka pahami sebagai
keadilan.
Thomas Aquinas sependapat dengan
keadilan yang dirintis oleh Aristoteles yang meletakkan gagasan keadilan dalam
kerangka kontekstual
(Hyronimus Rhiti, n.d.). Menurut Thomas Aquinas, keadilan merupakan suatu kebajikan
yang berlaku umum dan berfungsi untuk mencapai kebaikan bagi semua orang (bonum commune) (Harris, 2021).
� Aliran positivisme hukum, memandang keadilan
merupakan tujuan hukum. Norma keadilan seringkali ditetapkan atau didapatkan
sebagai hukum positif yang semata-mata bersumber dari akal budi manusia.
Kelsen mengambil sikap dengan
mengembangkan pandangan yang kemudian dikenal sebagai ajaran hukum murni.
Dengan tegas ditulisnya bahwa ajaran hukum murni bersifat monistik, dan
karenanya hanya mengakui satu macam sistem hukum, yaitu hukum positif (Kusumohamidjojo, 2019). Meminjam penjelasan Kelsen mengenai masalah keadilan tidak
dengan sendirinya menyelesaikan masalah keadilan itu sendiri. Analisis Kelsen
berharga untuk memahami konsep keadilan secara jernih dan bebas nilai. Meskipun
demikian, dengan mengetengahkan ajaran hukum murni, Kelsen sendiri sebenarnya
adalah seorang idealis juga. Katakanlah bahwa hukum murni itu memang ada atau
bisa dibangun. Adakah sejarah murni, politik murni. Jawabannya adalah masalah
keadilan dan konsep hukum tidak bisa dipandang sebagai sesuatu yang bisa
dilepaskan dari konstelasi dan kompleksitas kehidupan bersama manusia,
lebih-lebih lagi dalam masyarakat internasional yang berstruktur global (Tanya, Simanjuntak, & Hage, 2007).
Gustav
Radbruch mematrikan nilai keadilan sebagai mahkota dari setiap tata hukum (Tanya et al., 2007). Nilai keadilan adalah materi yang harus menjadi isi aturan
hukum. Sedangkan aturan adalah bentuk yang harus melindungi nilai keadilan.
Menurut Radbruch, hukum memiliki tiga aspek, yakni keadilan, finalitas, dan
kepastian (Tanya et al., 2007). Aspek keadilan menunjukkan pada kesamaan hak didepan
hukum. Aspek finalitas menunjukkan pada tujuan keadilan, yaitu memajukan
kebaikan dalam hidup manusia. Aspek ini menentukan isi hukum. Sedangkan aspek
kepastian menunjuk pada jaminan, bahwa hukum (yang berisi keadilan dan
norma-norma memajukan kebaikan), benar-benar berfungsi sebagai peraturan yang
ditaati. Dua aspek yang disebut pertama merupakan kerangka ideal hukum. John
Rawls, (Rasuanto, 2005) dalam teori keadilannya menyatukan prinsip kemerdekaan dan
kesamaan dalam satu konsepsi keadilan sosial dan ditetapkannya kemerdekaan
sebagai prioritas. Rawls mengklaim kekuatan teori keadilannya didukung oleh dua
asas, yaitu prioritas kemerdekaan, dan bahwa semua ketidaksamaan (inequalities) dijustifikasi bagi
golongan paling tertinggal. Prinsip kedua dibuat hanya setelah berlaku prinsip
pertama (Sulistyowati, 2020). Dengan kata lain, kemerdekaan atau kedaulatan harus
terlebih dahulu diperoleh baru dapat dilakukan pembangunan ekonomi dan sosial
dalam upaya mewujudkan keadilan sosial yang efektif. Prinsip pertama menjamin
persamaan hak yang disebut oleh Rawls sebagai kemerdekaan dasar atau
fundamental. Rawls menegaskan, bahwa kemerdekaan harus dapat menjamin
kemerdekaan fundamental, yaitu hak asasi, seperti kebebasan berpikir,
kemerdekaan hati nurani, kemerdekaan sipil dan lain-lain. Artinya, kemerdekaan
politik harus berakar pada penghargaan terhadap kebebasan yang lebih
fundamental, yakni kebebasan batin.
Berdasarkan
prinsip justice as fairness yang
diartikan sebagai keadilan kepantasan, Rawls mengemukakan prinsip bahwa: �each person is to have an equal right to the
most extensive basic liberty compatible with a similar liberty for others. Important among these are political liberty
(the right to vote and to hold public office)� (Kusumohamidjojo, 2019). Semua orang mempunyai hak yang sama atas kebebasan dasar
yang paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang. Salah satu dari
hak-hak kebebasan asasi yang sama untuk semua warga negara adalah hak politik
untuk memilih dan dipilih dalam jabatan-jabatan pemerintahan. Jabatan-jabatan
publik dan posisi-posisi harus terbuka untuk siapa saja atas dasar prinsip
kesamaan kesempatan yang sama (fair
equality of opportunity) (Purwanto, 2017).
Rawls
hendak memberikan penekanan pada suatu dimensi kemartabatan dalam membangun
teori untuk menjelaskan keadilan dalam usaha manusia untuk hidup bermasyarakat
dalam institusi demokrasi.
John
Rawls melalui teori �justice as fairness�,
berargumen bahwa liberty dan equality dapat dipadukan dalam satu
prinsip keadilan, yaitu setiap orang memiliki hak yang sama terhadap kebebasan
asasi, dan apabila terjadi ketidakadilan maka kaum yang tertinggallah yang
harus diuntungkan terlebih dahulu (Anggara, 2013). Hukum betapapun efisien dan tersusun dengan baik, harus
dihapus dan diperbarui jika tidak adil.
Dari banyak definisi tentang keadilan di atas, terlihat
betapa beragamnya visi setiap ahli tentang apa yang dimaksud dengan keadilan.
Artinya keadilan tidak mempunyai definisi tunggal. Keadilan dapat saja
dihubungkan dengan peraturan politik negara, yang melahirkan parameter tentang
apa yang adil dan tidak adil didasarkan pada parameter yang telah ditentukan
oleh negara. Pada sisi yang lain, keadilan kerap dihubungkan dengan kemauan
yang sifatnya tetap dan terus-menerus untuk memberikan apa yang menjadi hak
bagi setiap orang (each person receiving
his due). Pun keadilan dapat diperlihatkan sebagai pembenaran bagi
pelaksanaan hukum yang dikontradiksikan dengan kesewenang-wenangan.�
Relevansi Ajaran
Etis dengan Keadilan Sosial di Indonesia
Hukum yang benar sesungguhnya ialah hukum yang sesuai
dengan rasa keadilan masyarakat. Keadilan bagi negara Indonesia secara jelas
dan tegas telah dirumuskan oleh the
founding fathers, baik secara filosofis dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945
maupun secara yuridis konstitusional dalam rumusan pasal-pasal UUD NRI Tahun
1945. Setidaknya terdapat 5 (lima) kata adil yang tercantum dalam Pembukaan UUD
NRI Tahun 1945, yaitu: (1) perikeadilan, (2) seadil-adilnya, (3) adil dan
makmur, (4) keadilan sosial, dan (5) adil dan beradab. Selain itu masih
terdapat 2 (dua) kata keadilan tercantum dalam sumpah jabatan Presiden dan
Wakil Presiden yang terdapat dalam pasal UUD NRI Tahun 1945 (Ruhpina, 2010).
�Dalam hubungannya
dengan kedaulatan rakyat Lalu Said Ruhpina menyatakan asas kedaulatan rakyat
merupakan asas politik yang kemudian menjadi asas hukum sebagai cita-cita
mutlak atau het absolut ideel bagi
negara Indonesia mengandung nilai keadilan. Hal ini berarti keadilan sosial
merupakan norma pokok yang harus menjadi acuan pegangan dan kiblat bagi setiap
rezim politik atau penyelenggara negara dan pemerintahan yang memegang
kekuasaan di bawah konstitusi.
Pandangan yuris di atas dapat dipahami bahwa siapapun
yang memegang kekuasaan mempunyai kewajiban memenuhi dua ketentuan pokok. Pertama secara positif penyelenggara
negara dalam menjalankan kekuasaannya harus mengerahkan kemampuan dan seluruh
langkah kebijakannya untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh warga
masyarakat. Kedua, merupakan
kewajiban utamanya dengan segala daya upaya mencegah terjadinya ketidakadilan
yang bsa menimpa individu maupuan warga masyarakat negara Indonesia.
Keadilan sebagai ibu dari tujuan hukum mempunyai
relevansi dengan tujuan akhir dari hidup bernegara. Sementara hidup
bermasyarakat dalam suatu negara tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai dan
falsafah hidup masyarakat itu sendiri yakni keadilan (rechsvaardigheid atau justice).
Dengan demikian keberadaan hukum merupakan sarana untuk mewujudkan kebahagiaan
dan kesejahteraan hidup lahir dan batin dalam kehidupan bersama (Yusuf, 2008). Oleh karena itu fungsi dan peran
hukum yang terpenting adalah menciptakan ketertiban yang rasional dan
menegakkan keadilan sosial bagi sebanyak-banyaknya warga negara.
Patut disayangkan keadilan sebagai roh dari hukum saat
ini masih sekedar impian belaka. Mengutip pendapat Dwi Haryadi (Dwi Haryadi, 2016), hukum masih berdiri di atas pondasi
kekuasaan dan bukan di atas pondasi keadilan, sehingga yang benar dapat menjadi
salah dan yang salah menjadi benar.
Dalam kaitan ini menarik untuk disimak pendapat Mochtar
Kusumaatmadja, asas keadilan sosial mengamanatkan bahwa semua warga negara
mempunyai hak yang sama dan bahwa semua orang sama di hadapan hukum.
Konsepsi persamaan di hadapan hukum merupakan salah satu
upaya melawan diskriminasi. Negara memiliki tanggung jawab melawan praktik
diskriminasi. Hal ini mengandung makna, pertama
setiap negara harus mendasarkan kekuasaan dan pengaturannya berdasar hukum
sebagaimana di negara Indonesia tercantum pada Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun
1945. Kedua, hukum harus berlaku bagi
setiap orang, bukan hanya sekedar warga negara sebagaimana terdapat dalam Pasal
27 ayat (1) dan 28D UUD NRI Tahun 1945.
Memperjelas operasional asas persamaan di hadapan hukum
untuk memperoleh keadilan sosial, lahirlah Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman. Ketentuan yang terdapat pada Pasal 4 ayat (1)
ditegaskan bahwa �Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak
membeda-bedakan orang�. Makna dari pasal ini sudah jelas bahwa peradilan di
Indonesia dalam hal ini melalui Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan di
bawahnya serta Mahkamah Konstitusi mengemban tugas menjamin persamaan setiap
orang di muka hukum yang lebih terkenal dengan istilah equality before the law.
Menilai keadilan dalam suatu masyarakat tidak pernah
mungkin tanpa ikatan antara individu satu dengan individu yang lain, karena
keduanya terdapat relasi timbal balik. Dasar seseorang terlebih para hakim
dalam mengambil keputusan adalah: �Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa� (Serlika Aprita, Rio Adhitya, & SH, 2020). Artinya, dalam setiap putusannya
pertama yang dilakukan hakim adalah bermunajat kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam
rangka menciptakan keadilan. Sebabnya, dalam salah satu agama mengajarkan bahwa
�Keadilan satu jam lebih utama dari ibadahmu, sholat dan zakat, serta puasamu
selama puluhan tahun�. Mengambil hikmah yang terdapat dalam ajaran agama
dikaitkan dengan dengan ajaran etis tujuan hukum yang semata-mata untuk
mewujudkan keadilan, terlebih keadilan sosial di negara Indonesia maka
ditemukan nilai ideal keadilan dapat mengatur keseimbangan kepentingan setiap
warga negara baik kesejahteraan dan kebahagiaan.
Terhadap konsep kesejahteraan dikenal adanya prinsip efisiensi berkeadilan yang merupakan
jaminan yang terdapat dalam Pasal 33 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945. Penguasaan
dalam arti kepemilikan privat harus dipahami bersifat relatif dalam arti tidak
mutlak selalu harus 100%, (seratus
persen), asalkan penguasaan oleh negara
atas pengelolaan sumber-sumber kekayaan tersebut tetap terpelihara sebagaimana
mestinya (Asshiddiqie, 2010). Dengan demikian Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945 tidak anti
privatisasi dan tidak anti swastanisasi. State
hanya satu domain saja dari 3 (tiga) domain yang ada yaitu state, civil society, and market. Dalam
sistem demokrasi modern bahwa state,
civil society and market itu saling menunjang dan harmoni. Di situlah
demokrasi akan berkembang, dan di situlah kesejahteraan yang berkeadilan sosial akan
tumbuh. Jadi tidak boleh market
terlalu kuat yang bisa
saja semua akan dapat dibeli olehnya. Pun kalau
civil society �terlalu kuat dan yang lain lemah maka akan menimbulkan chaos. Begitu pula kalau state terlalu kuat dan market dikendalikan dan civil society lemah maka jadinya adalah
otoritarian (Asshiddiqie, 2010).
Pasal
33 UUD NRI Tahun 1945 tidak anti market,
hanya tidak boleh memberikan kekuasaan berdaulat kepada pasar, jadi ada
keseimbangan di dalamnya (Asshiddiqie, 2007). Menjadi jelas bahwa konsep negara kesejahteraan yang berkeadilan sosial diusung oleh negara Indonesia yang berdasar Pancasila adalah
dalam rangka mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang
berjiwa kekeluargaan yaitu kesatuan dalam perbedaan, perbedaan dalam kesatuan,
dan gotong royong.
Prinsip keadilan yang disampaikan
oleh John Rawls pada umumnya sangat relevan dengan kondisi negara Indonesia.
Dalam konsepsi Rawls, keadilan dapat ditegakkan melalui koreksi terhadap
pencapaian keadilan dengan cara memperbaiki struktur dasar dalam bernegara
seperti konstitusi negara
(Asshiddiqie, 2007). Apabila disejajarkan antara prinsip keadilan Rawls dengan
UUD NRI Tahun 1945 sebagai konstitusi negara Indonesia, maka akan tampak bahwa
teori Rawls juga terdapat dalam UUD NRI Tahun 1945, terlebih setelah mengalami
perubahan selama empat kali mulai tahun 1999 sampai dengan 2002 (Faiz, 2009).
Prinsip kesamaan terhadap warga
negara (equal principle citizens)
tercermin dalam Pasal 27 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi: �Segala warga negara bersamaan kedudukannya
di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya�. Kemudian hak dan kebebasan warga negara (constitutional rights and freedom of
citizens) dimuat dalam Bab XA tentang Hak Asasi Manusia, sebagaimana
terdapat dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, yang berbunyi: �Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum�
(Kambu, 2021). Terhadap prinsip persamaan kesempatan (equal opportunity principle) dari teori
Rawls, UUD NRI Tahun 1945 secara eksplisit memberikan jaminan konstitusi (constitutional guarantee), sebagaimana
terdapat dalam Pasal 28D ayat (3) yang berbunyi: �Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam
pemerintahan�
(Rohmah, Listiawan,
Al-Hamid, & Astuti, 2021).
Oleh karena itu, untuk menegaskan sarana untuk mencapai
keadilan sosial, negara Indonesia mesti dapat merumuskan konsep keadilan sosial
yang ingin dicapai baik keadilan individual terlebih keadilan kolektif sebagai
dasar filsafat bernegara sebagimana terdapat dalam sila kelima Pancasila
�Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia�.�
KESIMPULAN
Kesimpulan
dari uraian di atas adalah bahwa ajaran etis tentang tujuan hukum yang hanya
mengedepankan keadilan telah menjadi sasaran kritik dari berbagai ahli karena
kurang sesuai dengan realitas kekinian. Pada era disrupsi teknologi, tujuan
hukum tidak hanya sebatas mencapai keadilan, tetapi juga harus memperhatikan
kepastian dan manfaat, dengan memprioritaskan berdasarkan kasus-kasus konkret.
Namun demikian, prinsip keadilan tetap relevan dengan kondisi di Indonesia,
yang tercermin dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D UUD 1945, menunjukkan
bahwa ajaran etis tentang keadilan memiliki tempat yang kuat dalam pemikiran
para pendiri negara dan penyelenggara negara di Indonesia.
BIBLIOGRAFI
Anggara, S. (2013). Teori Keadilan John Rawls Kritik Terhadap
Demokrasi Liberal. Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, 2.
Aris, M. S. (2018).
Penataan Sistem Pemilihan Umum Yang Berkeadilan Untuk Penguatan Sistem
Presidensiil Di Indonesia. Yuridika, 33(2), 290�315.
Asshiddiqie, J.
(2007). Konstitusi dan Ketatanegaraan Indonesia Kontemporer. Jakarta: The
Biography Institute.
Asshiddiqie, J.
(2010). Konstitusi ekonomi. Penerbit Buku Kompas.
Dwi Haryadi, S. H.
(2016). Membangun Penegakan Hukum Bernurani.
Faiz, P. M. (2009).
Teori Keadilan John Rawls (John Rawls� Theory of Justice). Jurnal Konstitusi,
6(1), 135�149.
Harris, J. (2021).
Collective Action and Social Ontology in Thomas Aquinas. Journal of Social
Ontology, 7(1), 119�141.
Hyronimus Rhiti, S. H.
(n.d.). Mengenal Filsafat Hukum. PT Kanisius.
Kambu, W. M. (2021).
Tinjauan Yuridis Tentang Hak Asasi Manusia Berdasarkan Pasal 28d Ayat 3
Undang-Undang Dasar 1945. Lex Et Societatis, 9(1).
Kusnu Goesniadhie, S.
(2011). Pouvoir discretionnaire: dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Universitas Wisnuwardhana Press.
Kusumohamidjojo, B.
(2019). Teori Hukum: Dilema antara Hukum dan Kekuasaan (Edisi 2). Yrama
Widya.
Nasution, B. J.
(2014). Kajian filosofis tentang konsep keadilan dari pemikiran klasik sampai
pemikiran modern. Yustisia, 3(2).
Petrak, M. (2014).
Plato and Ulpian�s praecepta iuris. Fundamina: A Journal of Legal History,
20(2), 694�701.
Purwanto, P. (2017).
Perwujudan Keadilan dan Keadilan Sosial dalam Negara Hukum Indonesia:
Perjuangan yang Tidak Mudah Dioperasionalkan. Jurnal Hukum Media Bhakti.
Rahardi, P. A. (2017).
Penyelesaian Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas Melalui Pendekatan
Alternative Dispute Resolution.
Rasuanto, B. (2005).
Keadilan Sosial: Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas, Dua Teori Filsafat
Politik Modern. (No Title).
Rohmah, E. I.,
Listiawan, G., Al-Hamid, M. H. A., & Astuti, A. S. (2021). Putusan Mahkamah
Konstitusi Sebagai Upaya Perwujudan Keadilan Bagi Warga Negara:(Kajian Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 107/PUU-XIII/2015). Sosio Yustisia: Jurnal Hukum
Dan Perubahan Sosial, 1(2), 88�109.
Ruhpina, L. S. (2010).
Kedaulatan rakyat sebagai het absolute ideel Indonesia. UB Press.
Sari, N. (2023). Independensi
Hakim Konstitusi Dalam Mewujudkan Putusan Yang Berkeadilan. Hukum
Pemerintahan.
Serlika Aprita, S. H.,
Rio Adhitya, S. T., & SH, M. K. (2020). Filsafat Hukum. PT.
RajaGrafindo Persada-Rajawali Pers.
Subekti, S. H.,
Lestari, V. N. S., & SE, M. M. (2020). Perlindungan Hukum bagi Konsumen
Rumah Tapak dalam Kontrak Jual Beli Berdasarkan Perjanjian Pengikatan Jual Beli.
Jakad Media Publishing.
Sulistyowati, S. H.
(2020). Alternatif Penegakan Hukum Pidana Berbasis Nilai Keadilan.
Deepublish.
Tanya, B. L.,
Simanjuntak, Y. N., & Hage, M. Y. (2007). Teori Hukum: StrategiTertib
Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Surabaya: CV. Kita.
Yusuf, A. W. (2008). Memuliakan
Hukum dalam Alam Demokrasi yang Berkeadilan. Makalah disajikan dalam
memperingati.
�Endy Purwanto1,
Marsudi Dedi Putra2* (2024) |
First
publication right: |
This article
is licensed under: |