JOURNAL SYNTAX IDEA

p�ISSN: 2723-4339 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 6, No. 3, March 2024

 

 

 

Nilai Filosofis Dalam Upacara Bebantan Laman Pada Adat Dayak Tomun Lamandau

 

Budi Saputra

Institut Agama Islam Negeri Palangka Raya, Palangka Raya, Indonesia

Email: [email protected]

 

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi nilai filosofis dalam upacara Bebantan Laman pada adat Dayak Tomun dengan menggunakan metode penelitian lapangan yang bersifat kualitatif dan deskriptif. Kajian ini bertujuan untuk melestarikan kekayaan budaya Indonesia di tengah perubahan yang terjadi akibat globalisasi. Melalui analisis terhadap data yang terkumpul, penelitian ini mengungkapkan bahwa dalam konteks bahasa Dayak Tomun, istilah "Bebantan" mengacu pada sesajian, sementara "Laman" mengacu pada kampung. Upacara Bebantan Laman terdiri dari lima tahap, termasuk mantang penggoro, nangaian nyasi, pinyang/prnyang, dan mengantar anca. Pelaksanaan upacara ini melibatkan berbagai tahapan, seperti puasa Biya, pencucian benda pusaka, serta penyampaian asal-usul dan silsilah keluarga. Dengan demikian, penelitian ini memberikan wawasan yang mendalam tentang praktik budaya Dayak Tomun, yang memiliki nilai filosofis yang kaya dan relevan dengan kehidupan masyarakatnya.

 

Kata Kunci: Nilai Filosofis, Bebantan Laman, Dayak Tomun

 

Abstract

This study aims to explore the philosophical value in the Bebantan Laman ceremony in the Dayak Tomun tradition using qualitative and descriptive field research methods. This study aims to preserve Indonesia's cultural richness in the midst of changes that occur due to globalization. Through analysis of the collected data, this study revealed that in the context of Dayak Tomun, the term "Bebantan" refers to offerings, while "Laman" refers to villages. The Bebantan Laman ceremony consists of five stages, including mantang penggoro, nangaian nyasi, pinyang/prnyang, and ushering anca. The implementation of this ceremony involves various stages, such as fasting Biya, washing heirlooms, and conveying family origins and genealogy. Thus, this research provides a deep insight into the cultural practices of Dayak Tomun, which have rich philosophical values and are relevant to the lives of its people.

 

Keywords: Philosophical Values, Bebantan Laman, Dayak Tomun

 

 

PENDAHULUAN

Dayak Tomun adalah penamaan untuk sekelompok suku Dayak yang mendiami Daerah aliran Sungai Lamandau di Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah (Eka et al., 2018; Yulianti, 2016). Kata �Tomun� bisa diartikan �berbicara, bermusyawarah, bertemu, adanya perjumpaan untuk saling memahami, mengerti, dan mengetahui benar, serta memaklumi� (Eka et al., 2018). Tomun artinya kaum yang mudah berhubungan satu sama lain dalam satu rumpun. Walaupun terdiri dari berbagai dialek yang berbeda, mereka masih bisa saling berkomunikasi seakan-akan satu suku (Madusari et al., 2016).

Nama dari Dayak Tomun itu sebelumnya asal usulnya adalah dari Dayak Mama (Ibu), Dayak Mama itu lebih dulu dari pada kerajaan, Dayak Mama itu Mamanya �dari kerajaan, karena sudah ada terlebih dahulu dari pada datangnya kerajaan kota Waringin Barat (Wardana, 2022). Kemudian Dayak Mama itu pecah di ganti dengan Dayak Tomun karena ada permintaan-permintaan dari pemerintah, karena Dayak Mama tidak diketahui asal usulnya maka jadilah Dayak Tomun, sedangkan Dayak Tomun itu adalah satu bahasa satu sama lain lalu dilegalkanlah nama Dayak yang ada di lamandau dengan sebutan Dayak Tomun (Upami, 2015).

Sejak ratusan tahun yang lalu, masyarakat adat Dayak Tomun di Kecamatan Delang, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah rutin melaksanakan Upacara atau ritual adat Babantan Laman. Upacara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti �rangkaian tindakan atau perbuatan yang terikat kepada aturan-aturan tertentu menurut adat atau agama� (Indonesia, 2008). Sedangkan Bebantan Laman berasal dari kata Bebantan dan Laman. Bebantan berasal dari kata Bantan yang berarti Sesajian (Janah et al., 2023). Kata Bantan ditambah awalan kata Be menjadi Bebantan yang artinya memberi makan atau sesajian dan Kata Laman sendiri berarti Kampung. Jadi Bebantan� Laman adalah upacara memberi sesajian untuk Tuhan pencipta dan leluhur pelindung kampong (Eka, 2018).

Sedangkan Bapak Paulus Redan, Damang dari Kecamatan Lamandau Kabupaten Lamandau mejelasakn tentang sejarah Bebantan Laman adalah ketika pada zaman dulu tidak ada dokter dan pengobatan medis, hingga dulu itu ketika terjadi penyakit menular seperti cacar, mereka mengadakan adat Babantan Laman, pada adat babantan laman di pimpin oleh biya (bisa dikatakan dukun), yang dipercaya bisa memimpin tugas, kemudian biya mementukan waktu dan menginstruksikan kapan pelaksanaannya, serta melengkapi persyaratan untuk bisa terlaksannya Babantan Laman.

Upacara Bebantan Laman yang dilakukan secara turun temurun oleh masyarakat Dayak Tomun tentunya memiliki fungsi dan makna bagi kehidupan mereka sehingga terus dilaksanakan sampai saat sekarang. Sebagian kalangan menganggap upacara tersebut sebagai keyakinan atau agama, sehingga nilai sakralnya sangat dominan. Sebaliknya, mereka yang berada di luar ruang lingkup tradisi tersebut memahami biasa, hanya memandangnya sebagai adat istiadat warisan leluhur, atraksi budaya atau bahkan hanya sekedar tontonan rekreasi semata. Walaupun masih dilaksanakan secara turun temurun sampai hari ini, namun tidak imun terhadap perubahan dan perkembangan kemajuan zaman, sehingga dapat mengalami dinamika atau gerak perubahan dari waktu ke waktu oleh masyarakat penganutnya (Eka, 2018). Upacara Bebantan Laman dapat dibagi dalam tiga tahap, yaitu tahap persiapan, tahap kegiatan pokok dan tahap akhir upacara yang langsung dipimpin oleh Biya. Dinamika yang dimaksud dalam upacara Bebantan Laman ini adalah gerak perubahan upacara Bebantan Laman ini dari waktu ke waktu oleh masyarakat penganutnya, sehingga keberadaan upacara ini mengalami perubahan, perkembangan dan kesinambungan (Eka et al., 2018). Maka dari itu penulis mencoba meneliti tentang Nilai Filosofis dalam Upacara Bebantan Lamanpada Adat Dayak Tomun agar menjadi tambahan keilmuan tentang Adat Dayak Tomun.

 

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yakni dengan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif �berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati (Rusdi, 2019). Sementara itu, Kirk dan Miller mendefinisikan bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya (Sopiansyah et al., 2022) (Zellatifanny & Mudjiyanto, 2018) (Ahmad, 2019) (Moha, 2019).

Objek penelitian dalam studi ini adalah upacara Bebantan Laman pada adat Dayak Tomun. Sumber data penelitian diperoleh dari partisipan yang terlibat dalam upacara tersebut, baik dalam bentuk wawancara, observasi, maupun analisis terhadap dokumen-dokumen terkait. Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat adat Dayak Tomun yang secara turun-temurun melaksanakan upacara Bebantan Laman. Sampel dipilih secara purposif, dengan mempertimbangkan keberagaman informan yang dapat memberikan sudut pandang yang komprehensif terhadap fenomena yang diteliti.

Teknik dan alat penelitian yang digunakan meliputi wawancara mendalam, observasi partisipatif, dan analisis dokumen. Wawancara mendalam dilakukan untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang nilai-nilai filosofis dalam upacara Bebantan Laman serta pandangan dan pengalaman partisipan terkait dengan praktik tersebut. Observasi partisipatif digunakan untuk mengamati secara langsung jalannya upacara dan interaksi antara partisipan dalam konteks alamiahnya. Selain itu, analisis dokumen dilakukan untuk menggali informasi tambahan dari dokumen-dokumen terkait upacara adat Dayak Tomun.

Teknik analisis data yang digunakan melibatkan reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Reduksi data dilakukan dengan mengorganisir dan menyaring data yang relevan dari berbagai sumber, sedangkan penyajian data melibatkan pengaturan dan penataan data agar mudah dipahami. Penarikan kesimpulan dilakukan melalui analisis mendalam terhadap data yang terkumpul untuk mengidentifikasi pola, temuan, dan implikasi dari penelitian ini terhadap pemahaman tentang nilai filosofis dalam upacara Bebantan Laman pada adat Dayak Tomun.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Nilai Filosofis Dalam Upacara Bebantan Laman pada Adat Dayak Tomun

Kabupaten Lamandau menyimpan berbagai kekayaan budaya yang erat kaitannya dengan eksistensi Suku Dayak. Salah satu kekayaan budaya tersebut adalah ritual adat Babantan Laman, ritual khas Dayak Tomun di daerah aliran Sungai Delang. Ritual yang puncaknya rutin digelar pada 7 Juli di setiap tahunnya. Adapun Angka 7 di bulan ke tujuh ini melekat kuat  mengingat Suku Dayak meyakini bahwa angka ganjil memiliki keistimewaan tersendiri.

Dalam ritual ini berbagai tahapan tetap dilakukan sesuai dengan kebiasaan yang diturunkan secara turun temurun dari nenek moyang mereka, antara lain Mantir tetua adat yang berpuasa selama seminggu penuh, warga yang bergotong royong menyiapakan acara tanpa memandang perbedaan keyakinan. Prosesi pencucian benda-benda pusaka, serta arak-arakan para tokoh adat dan tetua desa diikuti warga tua muda bahkan anak-anak dalam rangka mengantar seserahan bagi sang pencipta sebagai wujud doa agar pada tahun berjalan kegiatan bertani mereka berhasil, agar semua hal yang buruk tidak menimpa desa. 

Adapun Pelaksanaan upacara Bebantan Laman harus melalui 5 (Lima) tahapan proses yakni sebagai berikut :

1.       Mantang Panggoro

Tahap persiapan yang merupakan tahap untuk mempersiapkan sarana upacara yang digunakan dalam pelaksanaan upacara Bebantan Laman seperti pergi ke hutan untuk mencari bahan-bahan keperluan upacara untuk dibawa ke Balai Adat Kaharingan serta diolah menjadi alat-alat upacara seperti Ancak (tempat sesajen upacara) (Eka et al., 2018). Sebelum mencari bahan-bahan, Bapak Paulus menjelaskan biasanya mencari Biya-nya� (pemimpin ritual upacara)� terlebih dahulu agar sesuai dengan persyaratan dan bahan-bahan yang dipinta oleh Biya tersebut.

2.       Nangaian Nyasi

Proses selanjutnya yaitu Nangaian Nyasi atau memasak untuk keperluan upacara (Eka et al., 2018). Pada kegiatan ini� Bapak Paulus juga menjelaskan� bahwa nangian nyasi disebut juga dengan beboang nasi adalah Sejenis tolak bala, di bawah Babantan Laman, kalau Bebantan Laman itu dengan berajah, bepatung dan bepantang, sedangkan nyasi tidak, karena nyasi lebih keperorangan.

3.       Bajago

Ritual Bajago pada malam hari adalah berjaga malam dengan sembari menyiapkan kelengkapan ritual dengan membersihkan Pinyang/Penyang terlebih dahulu (Eka et al., 2018). Bapak Paulus menjelaskan pada pelaksanaan ini biasanya dilaksanakn di Balai atau di Rumah Betang pada waktu malam hari sambil berjaga membikin balalyah (rakit), membikin patung dan lain-lainnya. Lalu di taruh di balai dan pada pagi hari sebelum memulai acara mereka menanam ketobus (patung) di hulu laman 2 di hilir 2, lalu membawa rakit dengan isi persyaratan tadi lalu di bawa ke sungai dan dilarutkan dengan harapan di tolakan bala.

4.       Pinyang/Penyang

Prosesi membersihkan Pusaka Laman/Desa seperti Parang, tombak dan benda-benda keramat lainnya (Eka et al., 2018). Bapak Paulus menjelaskan Pinyang/Penyang itu lebih kepada Jimat yang berbeda dengan pusaka, karena biasanya Pinyang itu kecil (Eka et al., 2018).

5.     Mengantar Anca

Mengantar Anca (Ancak dalam bahasa Dayak Ngaju) ke Pahobang Laman/Tiang Pebantan yang terletak di pinggir sungai. Anca kemudian diisi dengan sesajian dan dipersembahkan dengan disertai dengan doa mohon keselamatan, kemakmuran, kesuburan dan terhindar dari bencana (Eka et al., 2018).. Selain itu pada saat ini pula dilakukan larung sasajen di sungai yang menyimbolkan bahwa larutnya kotoran-koran di pusaka dan larutnya sasajian, maka hilang juga segala macam kesialan, penyakit bencana dan malapetaka dari kampung tersebut.

Selanjutnya, dalam Upacara Bebantan Laman juga memiliki cara-cara tertentu dalam pelaksanaannya tentu juga memikili nilai yang terkandung dalam setiap praktiknya.

Dilaksankan� pada tanggal 7 bulan 7

Ritual Babantan Laman pada pelaksaannya sering kali digelar selama seminggu, tanggal 7 Juli adalah puncak perayaan. Dipilihnya tanggal 7 bulan 7 (Juli) sebagai hari melaksanakan Babantan Laman setiap tahunnya, menurut sebagian tokoh masyarakat Dayak Tomun, mengikuti kebiasaan para orang-orang tua dan leluhur. Kebiasaan itu menjadi turun-temurun hingga sekarang, kecuali ada peristiwa khusus seperti adanya kematian salah satu warga desa, sehingga pelaksanaan ditunda beberapa hari (Agung Setya Nugraha, 2014). Jupriadi, Ketua Majelis Hindu Kaharingan, Kecamatan Delang, Kabupaten Lamandau, mengatakan penetapan tanggal 7 di bulan 7 untuk agenda Babantan Laman, dan meminta tanggal 7 kerena meyakini angka ganjil memiliki keistimewaan, terutama angka 7 (Dey et al., 2012). Sedangkan bapak Paulus menjelaskan kenapa dipilihnya tanggal 7 bulan 7 itu karena angka tersebut berada dipertengahan angka ganjil dari 3,5,7,9,11 dan adat budaya itu ganjil dan itu sudah mejadi adat tradisi terdahulu, namun jika darurat bisa dirubah namun harus tetap dilaksanakan.

Berpuasanya Biya (Pemimpin Upacara)

Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Lamandau, Meigo melalui Kasi Tata Kelola Destinasi, Edmond Lamey Mambat menjelaskan, dalam tradisi Babantan Laman digelar bermacam ritual yakni salah satunya adalah berpuasa (Nahdhiyyah, 2021). Pada pelaksanaan ini Bapak Paulus menjelaskan bahwa dilakukannya berpuasa oleh Biya tersebut pada dasarnya untuk lebih menyerahkan diri dan meminta bantu menurut kepercayaan mereka, kalau mereka berpuasa sampai 7 hari itu dia bisa makan nasi salukan dan air bobah dan tuak, nasinya itu dimasukkan dalam bambu lalu dibakar, itu saja yang di makan, kalau 3 hari bisa dia tidak makan, beda dengan sekarang cuman 1 hari,� adapun puasa yang paling tinggi adalah puasa cuman minum air bobah saja selama seminggu atau lebih

Pencucian benda-benda pusaka

Bapak Paulus menjelaskan bahwa Pencucian benda pusaka sudah jarang dilakukan karena ini menyangkut kepercayaan masing-masing adapun nilainya katanya biar maya (penunggu) nya tidak mati, dan menurut mereka karena keyakinan bisa membantu mereka. Kemudian adapun benda pusaka yang dicuci tersebut memiliki kriteria tertentu yakni adalah pastinya antik dan lama juga termasuk barang yang ajaib (seperti pilanduk putih yang di tembak tidak mati maka itu bisa di jadikan jimat dan pusaka) tapi yang pada intinya pusaka itu yang ada maya nya.

Aturan Duduk Tamu

Ada aturan tentang posisi duduk di rumah betang. Bagi masyarakat Dayak Tomun yang mengikuti ritual duduk di sebelah kiri rumah. Sementara untuk tamu diberikan tempat khusus di bagian kanan rumah betang (Agung Setya Nugraha, 2014). Bapak Paulus menjelaskan memang harus ada aturannya karena adat kebiasaan ditempat. Adapun tempat itu di atur oleh pihak adat sesuai dengan tempat masing-masing untuk sesuai dengan etika yang ada.

Penyebutan Istilah Asal-Usul, Silsilah Keluarga, Nama-Nama Laman Dan Unsur �Unsur Budaya

Bapak Paulus menjelaskan pada praktik tersebut gunanya adalah sebagai penghormatan kepada leluhur, adapun Laman untuk tempatnya. Maka dari itu Biya harus menguasai untuk silsilah itu dan menurut mereka itu para leluhur akan membantu mereka.

Kemudian Dayak Tomun yang menganut Kaharingan jika upacara Bebantan Laman di Desa tidak dilaksanakan menurut mereka diyakini membawa dampak buruk bagi desa dan seluruh warga desa, bisa berupa bencana dan kegagalan panen maupun usaha serta rusaknya pibrasi alam oleh perilaku manusia. Sehingga upacara ini dianggap penting untuk dilaksanakan sebagai sebuah tindakan prepentif dalam mencegah marabahaya dan sekaligus sebagai ungkapan syukur kepada Sang Hyang Duwata (Tuhan Yang Maha Esa) beserta leluhur.

 

KESIMPULAN

Upacara Bebantan Laman� pada adat Dayak Tomun sungguh banyak sekali memiliki nilai-nilai dan makna yang terkandung didalam pelaksanannya. Hingga saat ini praktik atau upacara tersebut masih dijaga dan dilesterikan oleh Dayak Tomun khususnya dan masyarakat Kabupaten Lamandau secara umumnya. Praktik ini juga tentunya bukan sebagai formalitas semata dan bahkan sekarang menjadi salah satu event unggulan dari pariwisata Kabupaten Lamandau, namun praktik ini sarat dengan nilai filosofi yang harus diketahui, dipahami dan diamalkan bagi pelaksananya. Terakhir tulisan ini hanya mengungkap beberapa tabir filosofis di antara banyaknya nilai-nilai filosofis lainnya namun berfungsi sebagai pemantik, sehingga diperlukan suatu kajian lebih lanjut dan mendalam dari para penulis hebat lainnya.

 

BIBLIOGRAFI

 

Agung Setya Nugraha, K. (2014). Pelaksanaan Pembagian Warisan Pada Perkawinan Pada Gelahang Menurut Hukum Adat Bali (Studi di Kabupaten Tabanan). Universitas Brawijaya.

 

Ahmad, M. (2019). Implementasi pendidikan karakter di madrasah berbasis pesantren (Studi di MA PSA Nurul Amal Bandungan). Universitas Wahid Hasyim Semarang.

 

Dey, N. P. H., Suwartiningsih, S., & Purnomo, D. (2012). Aspek Budaya, Sosial dan Ekonomi dari Tiwah (Upacara Masyarakat Dayak Tomun Lamandau).

 

Eka, N. (2018). Dinamika Upacara Bebantan Laman Pada Masyarakat Dayak Tomun di Kecamatan Delang Kabupaten Lamandau. Bawi Ayah Jurnal Pendidikan Agama Dan Budaya Hindu, 9(1), 64�76.

 

Eka, N., Mariatie, M., Hendri, H., & Santika, N. W. R. (2018). Dinamika Ritual Bebantan Laman Pada Masyarakat Dayak Tomun di Kecamatan Delang Kabupaten Lamandau. Bawi Ayah: Jurnal Pendidikan Agama Dan Budaya Hindu, 9(1), 65�85.

 

Indonesia, T. P. K. B. B. (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat. PT Gramedia Pusaka Utama, Jakarta.

 

Janah, A. N., Hariandja, T. R., & Setiawan, S. A. (2023). Penerapan Hukum Jipen/Singer dalam Tindak Pidana Asusila Masyarakat Suku Dayak Ngaju (Study Kasus di Desa Pundu, Cempaga Hulu, Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah). WELFARE STATE Jurnal Hukum, 2(2), 221�242.

 

Madusari, E. A., Ratnasari, R., & Ariantoni, A. (2016). Guru pembelajar modul pelatihan SD Kelas Tinggi: kelompok kompetensi A profesional kajian materi Bahasa dan Sastra Indonesia sekolah dasar. Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan: Direktorat Pembinaan Guru

 

Moha, I. (2019). Resume Ragam Penelitian Kualitatif.

 

Nahdhiyyah, H. (2021). Fenomena Pesta Pernikahan Adat Dayak di Tengah Keragaman Beragama. AL-HUKAMA: The Indonesian Journal of Islamic Family Law, 11(1), 1�25.

 

Rusdi, M. (2019). Strategi Pemasaran untuk Meningkatkan Volume Penjualan pada Perusahaan Genting UD. Berkah Jaya. Jurnal Studi Manajemen Dan Bisnis, 6(2), 83�88. https://doi.org/10.21107/jsmb.v6i2.6686

 

Sopiansyah, D., Masruroh, S., Zaqiah, Q. Y., & Erihadiana, M. (2022). Konsep dan Implementasi Kurikulum MBKM (Merdeka Belajar Kampus Merdeka). Reslaj: Religion Education Social Laa Roiba Journal, 4(1), 34�41.

 

Upami, T. (2015). The Meaning of Local Culture Values in Sustainable Economic Behavior of Swiddeners Society. Jurnal Pendidikan Humaniora, 2(3), 256�262.

 

Wardana, O. (2022). Governing Pembukaan Lahan (Kecamatan Batang Kawa, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah). Journal of Indonesian Rural and Regional Government, 6(1), 91�116.

 

Yulianti, A. I. (2016). Variasi Dialektal Bahasa Tomuan (Dialectal Variation of Tomuan Language). Mabasan, 10(2), 36�62.

 

Zellatifanny, C. M., & Mudjiyanto, B. (2018). Tipe penelitian deskripsi dalam ilmu komunikasi. Diakom: Jurnal Media Dan Komunikasi, 1(2), 83�90.

 

Copyright holder:

Budi Saputra (2024)

 

First publication right:

Syntax Idea

 

This article is licensed under: