p�ISSN: 2723-4339 e-ISSN:
2548-1398 |
Vol. 6, No. 3, Maret 2024 |
Upah
Khataman Al-Qur�an Di Kuburan Perspektikf Ulama Di Kota Sampit Provinsi
Kalimantan Tengah
1Achmad Junaidi,
2Lukman Hakim
1.2Institut Agama
Islam Negeri Palangka Raya, Palangka Raya, Indonesia
email: [email protected]1,
[email protected]2
Abstrak
Penelitian ini dilatarbelakangi adanya
fenomena kegiatan tawar-menawar upah dalam proses khataman Al-Qur�an, yang mana
hal ini menimbulkan berbagai penafsiran mengenai hukum tawar-menawar upah
tersebut. Berdasarkan hal tersebut maka penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui dan memahami bagaimana pandangan ulama Kota Sampit dalam kegiatan
tawar-menawar upah mengkhatamkan Al-Qur�an tersebut. Jenis penelitian ini
adalah hukum empiris dengan tipe sosiologi hukum, sedangkan pendekatannya
adalah pendekatan socio-legal. Subjek dalam penelitian ini terdiri dari penyelenggara
khataman, pemakai jasa khataman dan ulama Kota Sampit. Hasil penelitian ini
adalah menunjukan bahwa pandangan ulama mengenai
praktek
upah mengkhatamkan al-qur�an di kuburan
terbagi dalam dua golongan, yaitu membolehkan dan tidak membolehkan. Bagi ulama
yang membolehkan memiliki berbagai pertimbangan, diantaranya adalah usur tolong-menolong, tidak memberatkan dan
sebagai balas jasa kegiatan yang dilakukan oleh pihak penyelenggara khataman
yang memang harus meninggalkan pekerjaan sehari-hari untuk melakukan kegiatan
khataman tersebut. Sedangkan bagi ulama tidak membolehkan berpegang pada
prinsip kehati-hatian akan yang terjadi pada masa yang akan datang yang
didasarkan pada prinsip Saddudz Dzari�ah. Saddudz Dzari�ah ((سَدُّالذَّرِيعَة ini
terkait keafdolan membaca
Al-Qur�an di kuburan, memberatkan keluarga Ahlul Mayyit, komersilisasi
ibadah dan hilangnya keikhlasan dalam membaca Al-Qur�an karena adaya upah.
Kata
Kunci: Upah, Khataman, Kuburan
Abstract
This research is motivated by the phenomenon of bargaining over wages in the process of completing the Qur'an, which raises various interpretations regarding the legality of such wage bargaining. Based on this, the aim of this research is to understand the views of scholars in Sampit City regarding the practice of bargaining wages for completing the Qur'an. This research is empirical law with a sociological law type, and the approach is socio-legal. The subjects in this study consist of the organizers of Qur'an completions, users of completion services, and scholars in Sampit City. The results of this study show that the views of scholars on the practice of paying for completing the Qur'an at gravesites are divided into two groups, namely, allowing and not allowing. For scholars who allow it, they have various considerations, including mutual assistance, not burdening others, and as compensation for the activities performed by the organizers of the completion who must leave their daily jobs to carry out this completion activity. Whereas for scholars who do not allow it, they adhere to the principle of caution regarding future consequences based on the principle of Saddudz Dzari'ah. Saddudz Dzari'ah ((سَدُّالذَّرِيعَة is related to the preference of reading the Qur'an at gravesites, burdening the family of the deceased, the commercialization of worship, and the loss of sincerity in reading the Qur'an due to the presence of wages.
Keywords: Wage, Completion, Gravesite
PENDAHULUAN
Setiap
makhluk hidup pasti mengalami kematian, sebagai seorang Muslim meyakini akan
adanya kematian. Hal ini juga bagian dari tertuang di dalam Al-Qur�an bahwa
setiap makhluk akan mengalami kematian. Kematian merupakan sunnatullah
bagi setiap makhluk yang bernyawa, kematian juga risiko hidup. Sejak Adam
diciptakan sampai hari kiamat, tidak ada seorang pun yang bisa menolak akan
datangnya kematian.
Dalam mempersiapkan kehidupan di alam akhirat
sebagai seorang muslim mempercayai seseorang dapat mengirimkan hadiah pahala
atau amaliyah lainnya yang pahalanya ditujukan kepada orang yang telah
meninggal, salah satu ikhtiar yang dilakukan keluarga mayyit ialah
mengirimkan bacaan Al-Qur�an kepada orang yang meninnggal agar pahala yang
dikirimkan menjadi bekal bagi orang meninggal tersebut, bacaan Al-Qur�an
dipercayai memberikan pahala selayaknya mengkhatamkan Al-Qur�an sebelum orang
meninggal sebelum kedatangan Malaikat Mungkar dan Nangkir. Malaikat Munkar
dan Nakir akan memulai ketika pertanyaan penguburan telah selesai penguburan
dan 70 langkah orang terakhir meninggalkan tempat dikuburnya mayat.
Sebagaimana yang
disampaikan Anas bin Malik pernah
memberitakan kepada para sahabat bahwa Rasulullah saw bersabda:
Sesungguhnya
jika seseorang telah diletakkan di dalam kuburnya lalu telah berpaling darinya
teman-temannya dimana ia masih dengar suara jejak sandalnya, datanglah
kepadanya dua malaikat yang mendudukkannya lalu berkata kepadanya �apa yang
pernah kau katakan kepada laki-laki yang bernama Muhammad?�. Jika orang itu
seorang mu�min maka dia akan menjawab sesungguhnya lelaki bernama Muhammad saw
adalah hamba Allah swt dan Rasulnya� maka malaikat itu akan berkata padanya
lihatlah Allah telah mengganti tempat dudukmu dari api neraka menjadi surga.
Dan diperhatikanlah kedua tempat duduk itu. Dan begitupun jika (jenazah itu)
orang munafik dan kaifr maka akan ditanya juga �apa yang pernah kau katakan
kepada laki-laki ini (yang bernama Muhammad)?� maka jawabnya �aku tak tahu, aku
ucapkan apa yang dikatan orang-orang. Malaikatpun bertanya kembali �apakah
engkau tidak mengerti atau tidak membaca? Dan dipukullah ia dengan gada besi
satu pukulan, maka ia menjerit, dan tak ada satupun pengantar yang mendengarnya
kecuali jin dan manusia pilihan.
Berkaitan dengan hadist diatas yang menyatakan datangnya malaikat Munkar dan Nakir setelah terdengar langkah kaki pelayat terakhir meninggalkan pemakaman. Pemahaman masyarakat mengatakan bahwa sebelum mayit kedatangan malaikat Munkar dan Nakir sebaiknya mayit mendapatkan pahala dan syafaat Al-Qur�an 30 juz. Ikhtiar yang dilakukan keluarga mayyit dengan mengkhatamkan Al-Qur�an di kuburan merupakan amalan atau tradisi yang berkembang di tengah kehidupan masyarakat Banjar. Tradisi ini dilaksanakan pihak keluarga dengan meminta beberapa orang yang akan tinggal di kuburan untuk beberapa waktu lamanya, mereka tidak hanya bertugas menjaga tetapi mereka ditugaskan membacakan ayat-ayat Al-Qur�an sampai khatam selama mereka melaksanakan tradisi menunggu kubur ini. Tradisi tersebut dimulai setelah pembacaan talqin dan para pelayat jenazah mulai meninggalkan tempat tersebut. Tradisi ini dilakukan di siang dan malam hari oleh beberapa orang selama 24 jam, dari tiga hari, tujuh hari, bahkan sampai 40 hari orang yang meninggal tadi.
Selama prosesi ini pihak yang diminta menunggu kubur harus bermalam selama prosesi berlangsung. Dalam masa penungguan tersebut orang yang menunggu kubur itu dibuatkan sebuah tempat semacam kemah untuk bermalam dan kegiatan sehari-hari seperti makan, minum, shalat, dan membaca Al-Qur�an (Junaidi, 2017).
Selama prosesi khataman Al-Qur�an tentu ada pihak yang terkait dalam pelaksanaannya antara pihak keluarga dan pihak penyelenggara pelaksanaan khataman Al-Qur�an, pihak-pihak ini menjadi syarat pelaksanaan kesepakatan terkait biaya upah selama pelaksanaan. Upah dalam Islam merupakan sesuatu yang harus dibayarkan atau diberikan kepada pihak yang berhak menerimanya, sebagai bentuk terima kasih serta penghargaan terhadap pemberi upah, sesuai dengan isi kesepakatan di antara keduanya.
Terkait kesepakatan nominal upah dalam pelaksanaan ibadah ini penulis berpendapat akad yang disepakati merupakan bentuk muamalah. Dalam Islam segala bentuk muamalah diperbolehkan kecuali ada dalil yang melarang, berdasarkan hadist ini, Dari Abdurrahman bin Syibl berkata: Rasulullah Saw. Bersabda:
Dari Abdurahman bin Syibl
Al-Anshori berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallahu alaihi wassalam bersabda:
Bacalah Al-Quran dan janganlah kamu berlebihan dalam membacanya, dan jangan
pula kalian berpaling darinya, dan janganlah kalian makan dari itu dan, jangan
juga kalian memperbanyak kekayaaan dari itu� (HR Imam Ahmad).
Sementara itu dalam hadis ini Rasullulah SAW melarang kita untuk mengambil upah dari membaca Al-Qur�an sebagaimana hadist diatas sebagai Tanbih (pengingat) dalam terjemahan hadis ini kita dilarang untuk mengambil upah untuk makan dan memperkaya diri dari membaca Al-Qur�an.
Meski sewa-menyewa jasa merupakan salah satu usaha yang dihalalkan dalam Islam, namun jika didasari dengan niat dan bertentangan dengan aturan hukum Islam maka sewa menyewa menjadi tidak sah. Sehingga dapat menimbulkan pertanyaan baru apakah upah yang dibayarkan digunakan untuk kemashalatan atau alasan yang bertentangan dengan norma syari�ah. Maka dari itu dalam menilai keakuratan dalam bermuamalah seharusnya mengikutsertakan yang melatarbelakangi terjadinya praktek tersebut, apakah sesuai dengan norma hukum Islam atau bertentangan dengan hukum Islam. Sehingga dalam artikel ini akan di bahas mengenai Upah Khataman Al-Qur�an Di Kuburan Perspektikf Ulama Kota Sampit Kalamimantan Tengah.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah hukum empiris dengan tipe sosiologi hukum, yaitu sebuah penelitian lapangan yang mengkaji ketentuan hukum yang berlaku serta apa yang terjadi dalam kenyataan di masyarakat (Suharsimi, 2013), atau dengan kata lain yaitu suatu penelitian yang dilakukan terhadap keadaan sebenarnya atau keadaan nyata yang terjadi di masyarakat dengan maksud untuk mengetahui dan menemukan fakta-fakta dan data yang dibutuhkan. Setelah data yang dibutuhkan terkumpul kemudian menuju kepada identifikasi masalah yang pada akhirnya menuju pada penyelesaian masalah (Waluyo, 2017). �Pada penelitian hukum empiris, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan socio-legal. Maksud pendekatan socio-legal adalah pendekatan ilmu sosial dan hukum yang keduanya digunakan secara bersamaan. Pendekatan socio adalah pendekatan dengan menggunakan ilmu sosial sebagaimana telah disebutkan nama teori-teori ilmu sosial ini pada bahasan kerangka teoretik sebelumnya. Begitu juga pendekatan legal adalah pendekatan dengan menggunakan teori-teori dalam ilmu hukum baik hukum umum atau hukum Islam yang telah dibahas juga pada bagian kerangka teoretik sebelumnya (Ritonga, 2021).
Subjek
penelitian ini adalah orang penyelenggara khataman, emakai jasa khataman dan ulama
Kota Sampit. Teknik pengumpulan data
menggunakan teknik observasi, wawancara dan dokumentasi, kemudian teknik
analisis data dilakukan dengan empat tahap yaitu pengumpulan data, reduksi
data, penyajian data, dan verifikasi data sedangkan teknik pengabsahan data
dilakukan dengan Teknik triangulasi sumber dan metode.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan
hasil penelitian yang peneliti lakukan diketahui bahwa tawar-menawar upah
khataman Al-Qur�an di kubur, menurut beberapa �ulama Kota Sampit merupakan hal yang
diperbolehkan dengan berbagai pertimbangan, diantaranya adalah usur tolong-menolong, tidak memberatkan dan sebagai balas
jasa kegiatan yang dilakukan oleh pihak penyelenggara khataman yang memang
harus meninggalkan pekerjaan sehari-hari untuk melakukan kegiatan khataman
tersebut.
Berdasarkan
hal tersebut sebagian �ulama Kota Sampit
terkait upah yang diberikan dianggap boleh saja, karena upah tersebut diberikan
atas pekerjaan yang telah dilakukan oleh para penyelenggara, dimana pada prosesi
khataman Al-Qur�an tersebut ada orang yang menjaga dan mengaji 3 hari 3 malam,
disitulah terjadi perhitungan tenaganya, waktu yang diluangkannya dan nafkah
bagi keluarga yang ditinggalkanya. Menurut sebagian ulama tersebut memang benar
nilai pahala membaca Al-Qur�an tidak bisa dibandingkan dengan nilai uang, namun
orang mengaji kubur ini ada pasaran harga terkait biaya upahnya seandainya ahlil
mayyit mematok harga dibawah pasaran boleh saja pihak pembaca Al-Qur�an ini
minta ditambah karena disana ada kebutuhan juga. Sehingganya hukum dari
pelaksanaan ini menjadi وَتَعَاوَنُوا
عَلَى
ٱلْبِرِّ
وَٱلتَّقْوَىٰ bertolong tolong atas
kebaikan dan takwa disesuaikan keselamatan dan kebutuhan mengkhatamkan Al-Qur�an
di kuburan tersebut, yang mana dari kesepakatan diawal tadi juga
menimbulkan keikhlasan bagi yang mengaji dikubur dan keluarga mayyit
yang membayar juga ikhlas agar akad menjadi sah dan berkah. Terkait hal
larangan dalam Al-Qur�an kecuali dia menggunakan ayat-ayat
Al-Qur�an untuk kecukupan di kehidupannya namun dia sendiri yang mengingkari
atas bacaan tersebut maka hal demikian yang dilarang dalam penggunaan bacaan Al-Qur�an.
Menurut sebagian �ulama Kota Sampit upah ini juga merupakan
suatu akad yang dilakukan oleh kedua belah pihak atas sebuah manfaat yang ma�lum,
manfaat tersebut bisa berhubungan dengan waktu dan bisa atas perbuatan,
sebagaimana dalam Syarah kitab Al Yaqutun Nafis halaman 465, yang
keringkasanya sebagai berikut boleh mengambil upah untuk membaca dan
mengajarkan Al-Qur�an. Karena Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam mengawinkan
seseorang dengan apa yang iya hafal (Faham) dari Al-Qur�an, maka dari itu
sebagian ulama membolehkan mengajar Al-Qur�an sebagai mahar, maka boleh lah
juga mengambil upah dalam bab اجارة.
Disitu juga merupakan terdapat mashlahah karena saling tolong-menolong pemakai jasa atau Ahlul
Mayyit hatinya menjadi tenang karena keluarga yang meninggal mendapatkan
pahala karena dikirimkan pembaca Al-Qur�an dan pihak pembaca Al-Qur�an juga
mendapat komisi dapat membantu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Jika mengacu pada pendapat ulama yang
membolehkan tersebut, dapat dipahami bahwa dasar utama dari dibolehkanya tawar- menawar tersebut
adalah adanya unsur tolong-menolong dan saling keredaan antara kedua belah pihak. Jika ditinjau
dari segi upah sendiri ulama berpendapat bahwa upah yang diberikan sebagai
balas jasa atas pekerjaan yang dilakukan oleh para penyelenggara khataman Al-Qur�an.
Para fuqaha
sepakat bahwa ujrah atau ijarah merupakan akad yang dibolehkan
oleh syara�. Kecuali beberapa Ulama,
seperti Abu Bakar Al-Asham, Ismail bin �Aliyah, Hasan Al-Bashari, Al-Qasyani,
Nahrani, dan Ibnu Kisan dan lainnya. Mereka tidak membolehkan ujrah atau
ijarah, karena adalah jual beli manfaat, sedangkan manfaat pada saat
dilakukanya akad, tidak bisa diserah terimakan. Setelah beberapa waktu barulah
manfaat itu dapat dinikmati sedikit demi sedikit (Nur�aini et al., 2017).
Namun
hajat semua orang sangat membutuhkan manfaat suatu benda atau upah membuat akad
ini menjadi dibolehkan. Karena semua orang pasti memerlukan upah untuk memenuhi
keperluan hidupnya. Adapun dasar Hukum tentang kebolehan ujrah adalah
surat at-Talaq: 6 yang berbunyi:
أَسۡكِنُوهُنَّ
مِنۡ حَيۡثُ
سَكَنتُم مِّن
وُجۡدِكُمۡ
وَلَا
تُضَآرُّوهُنَّ
لِتُضَيِّقُواْ
عَلَيۡهِنَّۚ
وَإِن كُنَّ
أُوْلَٰتِ حَمۡلٖ
فَأَنفِقُواْ
عَلَيۡهِنَّ
حَتَّىٰ يَضَعۡنَ
حَمۡلَهُنَّۚ
فَإِنۡ
أَرۡضَعۡنَ لَكُمۡ
فََٔاتُوهُنَّ
أُجُورَهُنَّ
وَأۡتَمِرُواْ
بَيۡنَكُم
بِمَعۡرُوفٖۖ
وَإِن
تَعَاسَرۡتُمۡ
فَسَتُرۡضِعُ
لَهُۥٓ
أُخۡرَىٰ ٦
لِيُنفِقۡ
ذُو سَعَةٖ
مِّن
سَعَتِهِۦۖ
وَمَن قُدِرَ
ع َلَيۡهِ
رِزۡقُهُۥ
فَلۡيُنفِقۡ
مِمَّآ
ءَاتَىٰهُ
ٱللَّهُۚ لَا
يُكَلِّفُ
ٱللَّهُ نَفۡسًا
إِلَّا مَآ
ءَاتَىٰهَاۚ
سَيَجۡعَلُ ٱللَّهُ
بَعۡدَ
عُسۡرٖ
يُسۡرٗا ٧
Tempatkanlah mereka (para istri yang dicerai) di
mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan
mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Jika mereka (para istri yang dicerai)
itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya sampai mereka
melahirkan, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)-mu maka berikanlah
imbalannya kepada mereka; dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu)
dengan baik; dan jika kamu sama-sama menemui kesulitan (dalam hal penyusuan),
maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.
Selain surat at-Talaq: 6 ada juga QS. Al-Qashash (28): 26 sebagai berikut:
قَالَتۡ
إِحۡدَىٰهُمَا
يَٰٓأَبَتِ
ٱسۡتَٔۡجِرۡهُۖ
إِنَّ خَيۡرَ
مَنِ ٱسۡتَٔۡجَرۡتَ
ٱلۡقَوِيُّ
ٱلۡأَمِينُ
٢٦
Salah seorang dari kedua (perempuan) itu berkata, �Wahai ayahku, pekerjakanlah dia. Sesungguhnya sebaik-baik orang yang engkau pekerjakan adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.�
Dari ayat Al-Qur�an dan hadis diatas menjelaskan bahwa membayar upah atau gaji kepada orang yang memberikan jasanya harus dilakukan setelah pekerjaan selesai dan tidak diperbolehkan ditunda-tunda karena ada kemungkinan yang bersangkutan sangat membutuhkanya. Penundaan pembayaran tentu sangat merugikan orang tersebut apalagi kalau sangat lama, sehingga lupa dan tidak terbayarkan. Penundaan pembayaran upah itu termasuk kezaliman yang sangat dihindari oleh Nabi (Marzuki & Ramdaniah, 2019).
Dari ayat Al-Qur�an di atas menjelaskan bahwa membayar upah atau gaji kepada orang yang memberikan jasanya harus dilakukan setelah pekerjaan selesai dan tidak diperbolehkan ditunda-tunda karena ada kemungkinan yang bersangkutan sangat membutuhkanya. Penundaan pembayaran tentu sangat merugikan orang tersebut apalagi kalau sangat lama, sehingga lupa dan tidak terbayarkan.
Menurut ajaran Islam, jika seseorang melakukan suatu jasa untuk orang lain, maka balasan atau upah dari jasa yang diberikan dapat diterima langsung di dunia dari orang yang memintanya mengerjakan sesuatu, tetapi dapat pula upah itu diterima di Akhirat kelak dalam bentuk pahala karena dianggap sebagai sedekah. Orang yang dengan sukarela menanam tanaman, misalnya, kemudian buah-buahnya dimakan oleh manusia burung, ataupun binatang, maka merupakan sedekah yang pahalanya dapat dipetik di Akhirat kelak.
Mengenai dalil yang membolehkan mengambil upah dari membaca Al-Qur�an Ulama kota Sampit berpegang pada hadist berikut:��
عَنْ
أَبِي
سَعِيدٍ
الخُدْرِيِّ
رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ أَنَّ
نَاسًا مِنْ
أَصْحَابِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
أَتَوْا
عَلَى حَيٍّ
مِنْ
أَحْيَاءِ العَرَبِ
فَلَمْ يَقْرُوهُمْ,
فَبَيْنَمَا
هُمْ
كَذَلِكَ? إِذْ
لُدِغَ
سَيِّدُ
أُولَئِكَ,َقَالُوا:
هَلْ
مَعَكُمْ
مِنْ دَوَاءٍ
أَوْ رَاقٍ?
فَقَالُوا:
إِنَّكُمْ
لَمْ
تَقْرُونَا,
وَلاَ
نَفْعَلُ
حَتَّى
تَجْعَلُوا
لَنَا جُعْلًا,
فَجَعَلُوا
لَهُمْ
قَطِيعًا
مِنَ الشَّاءِ,
فَجَعَلَ
يَقْرَأُ
بِأُمِّ
القُرْآنِ,
وَيَجْمَعُ
بُزَاقَهُ
وَيَتْفِلُ,
فَبَرَأَ
فَأَتَوْا
بِالشَّاءِ,
فَقَالُوا:
لاَ
نَأْخُذُهُ
حَتَّى
نَسْأَلَ
النَّبِيَّ
صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ,
فَسَأَلُوهُ
فَضَحِكَ
وَقَالَ:
�وَمَا
أَدْرَاكَ
أَنَّهَا
رُقْيَةٌ, خُذُوهَا
وَاضْرِبُوا
لِي بِسَهْمٍ��
Diriwayatkan dari Sahabat Abi Said Al-Khudri Radliyallahu �Anhu bahwa sekelompok sahabat mendatangi suatu kabilah dari beberapa kabilah Arab, namun mereka tidak mempersilakan masuk terhadap para sahabat. Hal itu terus berlangsung, sampai suatu ketika pemuka kabilah tersebut digigit (ular), lalu mereka berkata �Apakah kalian membawa obat atau adakah orang yang bisa meruqyah?� Para sahabat pun menjawab �Kalian tidak mempersilakan masuk pada kami, kami tidak akan meruqyahnya (mengobatinya) sampai kalian memberikan upah pada kami.� lalu mereka pun memberikan beberapa potongan kambing sebagai upah, lalu seorang sahabat membaca Surat Al-Fatihah, dan mengumpulkan air liurnya lalu mengeluarkannya (baca: melepeh) hingga sembuhlah pemuka kabilah yang tergigit ular, dan mereka memberikan kambing. Para sahabat berkata, �Kami tidak akan mengambilnya, sampai kami bertanya pada Rasulullah.� Mereka pun menanyakan perihal kejadian tersebut pada Rasulullah, beliau lalu tertawa dan berkata: �Apa itu Ruqyah? Ambillah, dan berilah bagian untukku�.� (HR Bukhari).
Dalam beberapa redaksi hadits yang lain,
Rasulullah melanjutkan perkataannya kepada para sahabat إِنَّ
أَحَقَّ مَا
أَخَذْتُمْ
عَلَيْهِ أَجْرًا
كِتَابُ
اللهِ Sesungguhnya
yang paling berhak untuk kalian ambil upahnya adalah (membaca) kitab Allah� (HR
Bukhari).�� Menanggapi hadits di atas,
salah satu pemuka ulama Mesir, Syekh Abdullah bin Shidiq al-Ghumari menjadikan
hadits tersebut sebagai hujjah atas bolehnya mengambil upah atas bacaan Al-Qur�an,
upah atas membaca Al-Qur�an adalah hal yang diperbolehkan, sebab Nabi
membiarkan sahabat untuk mengambil kambing sebagai ganti atas bacaan mantra
berupa Surat Al-Fatihah dan beliau mengambil bagian (atas kambing tersebut)
bersama mereka, lalu beliau mengglobalkan hukum dengan berkata: �Sesungguhnya
yang paling berhak untuk kalian ambil upahnya adalah (membaca) kitab Allah SWT.
Menerima
upah jasa khataman Al-Qur�an dikaitkan dengan maqasid
syariah yang tiga yaitu, dharuriyat,
hajiyat, dan tahsiniyat maka kegiatan
tawar-menawar upah khataman masuk dalam
kategori hajiyat yang mana terdapat
kemaslahatan dalam menyempurnakan kemaslahatan pokok sebelumnya yang berbentuk keringanan untuk mempertahankan dan memelihara kebutuhan
mendasar manusia (Pasaribu, 2016).
Hal itu dikuatkan dengan hasil penelitian
peneliti kepada Ulama kota Sampit bahwa kedua ulama tersebut sesuai dengan
kaidah (Helim, 2019):
الأمور
بمقا صدها
"Setiap persoalan
tergantung dengan tujuan dan maksud"
Berdasarkan kaidah diatas, menurut peneliti
bahwa setiap perbuatan manusia tergantung maksud dan tujuanya begitu juga
dengan praktik tawar-menawar upah mengkhatamkan Al-Qur�an, yang mana dalam
prosesi tawar-menawar tersebut bertujuan untuk menghilangkan perselisihan yang
kemungkinan akan terjadi dikemudian hari berkaitan dengan besaran upah
tersebut. Disisi lain upah yang diberikan merupakan bentuk balas jasa dan
sekaligus sebagai wujud� pertolongan dari
pemakai jasa dalam usaha pemenuhan kebutuhan sehari-hari pelaku khataman.
Selanjutnya prosesi khataman yang dilakukan oleh pengkhatam al-Qur�an juga
sebagai bentuk pertolongan atas kebutuhan jasa yang
dimiliki pelaku khataman untuk pengguna jasa khataman Al-Qur�an tersebut. Sehingga dapat
disimpulkan dalam prosesi tawar-menawar upah dan kegiatan khataman Al-Qur�an
merupakan� bentuk tolong-menolong antara
kedua belah pihak. Sesuai kaidah diatas maka kegiatan tersebut dapat diperbolehkan
karena memiliki tujuan dan maksud yang baik.
Tidak
Membolehkan
Berdasarkan hasil penelitian yang peneliti
lakukan diketahui bahwa sebagian ulama kota Sampit tidak membolehkan kegiatan
tawar-menawar upah dalam membaca Al-Qur�an atas dasar prinsip kehati-hatian
akan yang terjadi pada masa yang akan datang yang didasarkan pada prinsip Saddudz
Dzari�ah.
Saddudz Dzari�ah (سَدُّالذَّرِيعَة) adalah menahan suatu hal yang berpotensi membahayakan, Dalam karyanya al-Muwafat, asy-Syatibi menyatakan bahwa Saddudz-Dzari�ah (سَدُّالذَّرِيعَة) adalah menolak sesuatu yang boleh (jaiz) agar tidak mengantarkan kepada sesuatu yang dilarang (mamnu�). Menurut Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Sadd adz-dzari�ah adalah meniadakan atau menutup jalan yang menuju kepada perbuatan yang terlarang (Ansory, 2023), yang mana terkait mengkhatamkan Al-Qur�an di kuburan ini memiliki keafdholan yang kurang. Keafdholan membaca Al-Qur�an itu ada beberapa tingkatan sebagaimana dalam hadis nabi yang pertama tempat yang bagus membaca Al-Qur�an adalah baitullah (mesjid), yang kedua rumah kita sendiri dan selebihnya afdholnya kurang. Sedangkan terkait mengkhatamkan Al-Qur�an sendiri menurut sebagain ulama tersebut semua amaliyah itu akan sampai, berarti tidak terikat dengan jarak baik dirumah atau dimesjid atau dikuburan, maka lebih baiknya membaca Al-Qur�an di tempat yang terbaik menurut hadis nabi ialah Mesjid.
Selanjutnya
Saddudz Dzari�ah (سَدُّالذَّرِيعَة) juga dapat digunakan pada prosesi tawar-menawar upah khataman Al-Qur�an,
artinya dalam perihal ketakwaan membaca Al-Qur�an tersebut di takutkan adanya
timbul ketidak ikhlasan yang dikarenakan niat pertama pembacaan khataman Al-Qur�an
ini agar si Mayyit mendapatkan ketenangan dari syafaat Al-Qur�an jusru
apabila ada kewajiban membayar khataman tersebut takutnya memberatkan keluarga Ahlul
Mayyit. Selain itu juga bacaan Al-Qur�an menimbulkan nilai komersilisasi dan ketidak
ikhalasan diantara kedua belah pihak baik pembaca Al-Qur�an di kubur atau
keluarga mayyit yang memberikan upah khataman Al-Qur�an dikuburan. Hal lain
juga berdasarkan dalil Saddudz Dzari�ah terkait fenomena ini takutnya
kesepakatan dan tawar-menawar memberatkan Ahlul mayyit karena Ahlul
mayyit sudah berduka dan ditambah harus membayarkan sejumlah upah yang
disepakati dari prosesi itu dan hal begitu menimbulkan komersilisasi dalam hal
peribadatan.
Hal lain sebagian Ulama kota Sampit juga mengutamakan menghindari kemudharatan di kemudian hari, hal tersebut dikarenakan menggunakan suatu peribadatan dalam suatu kesepakatan tersebut objeknya adalah manfaat suatu pekerjaan yang �tidak nyata� dan tidak dapat diserahterimakan sekaligus secara langsung. Point lain juga sebagian Ulama kota Sampit mengkhawatirkan komersilisasi ibadah ini akan digunakan pihak yang tidak bertanggung jawab dalam penggunaan kesepakatan seperti ini, contohnya menggunakan peribadatan hanya untuk kepentingan sendiri dan mengatasnamakan kegiatan keagamaaan.
Berdasarkan uraian sebagian pendapat ulama tersebut beliau berpegang pada suatu kaidah fiqh tentang menguatamakan meninggalkan suatu kemudharatan daripada menarik suatu kemanshlatan hal itu karena bahaya harus dihilangkan (ad-dharar yuzalu) dan bahaya tidak boleh dihilangkan dengan cara menimbulkan atau melakukan bahaya lain (al-dharar la yuzalu bi al-dharar al-ghair) (Bahruddin, 2022):
دَرْعُ
الْمَفَاسِدِ
اَوْلَى مِنْ
جَلْبِ الْمَصَالِحِ
(Menolak kemafsadatan lebih utama dari pada
menarik kemashlahatan)
Berdasarkan uraian-uraian sebagian ulama tampak jelas bahwa mereka lebih mengutamakan perhatian kepada Allah swt, dan Rasul-Nya untuk meninggalkan kemufsadatan lebih besar daripada perhatian untuk melaksanakan kewajiban dengan meghindari kerusakan suatu perbuatan di kemudian hari.
Berdasarkan hal tersebut sebagian ulama berharap bahwa hendaknya diberikan pemahaman bahwa menghadiahkan keluarga tidak mesti harus dikuburan dan juga hendaknya anak shaleh atau kerabat yang lebih utama untuk menghadiahkan bacaan Al-Qur�an baik khatam ataupun tidak.
Mengacu pada pendapat ulama tersebut dapat dipahami bahwa dasar utama dari pihaknya tidak membolehkan hal tersebut adalah prinsip kehati-hatian yang bersumber dari Saddudz Dzari�ah (سَدُّالذَّرِيعَة) yakni menahan suatu hal yang membahayakan.
Menurut Imam Abu Zakaria Yahya bin Syaraf An-Nawawi Ada banyak sekali adab yang harus diperhatikan bagi seorang muslim ketika mereka membaca ayat-ayat suci Al-Qur�an salah satunya adalah terkait tempat yang bersih, yakni hendaknya membaca Al-Qur�an di tempat yang bersih dan nyaman, mayoritas ulama lebih suka tempatnya di Mesjid, karena bersih secara global, tempat yang mulia, serta tempat untuk melakukan keutamaan lainnya (Nawawi, n.d.).
Sebagaimana
hadist:
( 2799 )
عَن أبى
هُردَيرَةَ.
قَالَ : قَالَ
رَسُولُ الله
(مَنْ نَفّسَ
عَنْ مُومِنٍ
كُربَةً مِنْ
كُرْبِ
الدُنْياَء
نَفْسً اللهُ
عَنْهُ كُرْبَةً
مِنْ كُرْبِ
يَوْمِ
القِيَامَةِ .
وَمَنْ
يَسَّرَ
عَلىَ
مُعْسِرٍو
يَسَّرَاللهُ
عَلَيْهِ فىِ
الدُّنّياَوَالاَخِرَةِ
. وَ مَنْ
سَتَرَ
مُسلِمًاو�
سَتَرَهُ اللهُ
فِ الدُنيَا
وَالاَجِرَةِز.
وَاللهُ فِ
عَوْنِ
الْعَبْدِ
مَكاَنَ
اَلعَبْدُاللهفِ
عَوْنِ
أَخِيهِ
.وَمَنْ
سَلَكَ
طَرِيقًا
يَلْتَمِسُ
فِيهِ
عِلْمَو
سَهَّلَ اللهُ
لَهُ بِهِ
طَرِيقًا
أِلي
الْجَانَّةِ .
وَمَا
اجْتَمَعَ قَوْمٌ
فِي بَيْتٍ
مِنْ بُيُوتِ
اللهِ يَتْلُونَ
كِتَابَ
اللهِ,
وَيَتَدَارَسُونَهُ
بَيْنَهُمْ,
إلاَّ
نَزَلَتْ
عَلَيْهِمُ
السَّكِينَةُ
وَغَشِيَتْهُمُ
الرَّحْمَةُ,
وَحَفَّتْهُمُ
الْمَلاَئِكَةُ,
وَذَكَرَهُمُ
اللهُ
فِيمَنْ
عِنْدَهُ وَمَنْ
بَطَّأَ بِهِ
عَمَلُهُ لَمْ
يُسْرِعْ بهِ
نَسَبُه
. رَوَاهُ
مُسْلِمُ
Dari
Abu Hurairah radhiyallahu �anhu, dari Nabi shallallahu �alaihi wa sallam bersabda, �Barangsiapa yang menghilangkan kesusahan dari kesusahan-kesusahan dunia
orang mukmin, maka Allah akan menghilangkan kesusahan dari kesusahan-kesusahan
hari kiamat. Barangsiapa yang memberi kemudahan orang yang kesulitan (utang),
maka Allah akan memberi kemudahan baginya di dunia dan akhirat. Siapa yang
menutup aib seorang Muslim, maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan di akhirat.
Siapa saja yang menolong saudaranya, maka Allah akan menolongnya sebagaimana ia
menolong saudaraya. Barangsiapa yang menempuh perjalanan dalam rangka menuntut
ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga. Tidaklah berkumpul
sekelompok orang di salah satu rumah Allah (masjid) untuk membaca Kitabullah
dan saling mempelajarinya di antara mereka, melainkan akan turun kepada mereka
ketenangan, rahmat meliputinya, para malaikat mengelilinginya, dan Allah
menyanjung namanya kepada Malaikat yang ada di sisi-Nya. Barangsiapa yang
lambat amalnya, maka tidak akan bisa dikejar oleh nasabnya (garis keturunannya
yang mulia).�(Ma�sum, 2016).
Berdasarkan uraian tersebut dapat dipahami bahwa sebagian ulama Kota Sampit dalam menerapkan Saddudz Dzari�ah lebih mengutamakan keutamaan adab dalam membaca Al-Qur�an mengingat pahala atau amaliayah dari dari membaca Al-Qur�an tersebut akan sampai tidak bergantung ruang adan waktu.
Selanjutnya �ulama Kota Sampit dalam Saddudz Dzara�ih (سَدُّالذَّرِيعَة) juga menghawatirkan akan adanya ketidak ikhlasan yang timbul dari kedua belah pihak, keikhlasan sendiri yakni seseorang hanya menghendaki keridhaan Allah SWT dalam amalan-amalan yang dilakukannya serta membersihkannya dari segala pamrih pribadi ataupun lebih cenderung kepada duniawi. Jadi, dia tidak termotivasi untuk beramal, kecuali semata-mata hanya untuk Allah SWT dan kehidupan akhiratnya (Al-Qardhawi & Ikhlas, 2015).
Lebih lanjut menurut Imam al-Ghazali, dalam kitab Ihya� Ulumuddin ikhlas merupakan melakukan segala sesuatu dengan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah dari segala bentuk ketidak murnian selain taqarub illah. Maksudnya ketidak murniaan adalah segala niatan yang tidak ditujukan kepada Allah Subhanahu Wa Ta�ala (Hasan & Mahrus, 2023).
Hal tersebut juga dikuatkan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari yang artinya:
Dari Umar, bahwa Rasulullah SAW bersabda, �Setiap perbuatan dengan niat dan setiap orang tergantung dengan apa yang diniatkan. Barang siapa hijrahnya demi Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa yang hijrahnya demi dunia yang dikerjakannya dan perempuan yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang dimaksud.� (HR.Bukhari) (Hamdi & Musthofa, 2020).
Dalam hadis tersebut dijelaskan bahwa setiap
perbuatan tergantung pada niatnya. Niat diibaratkan sifat yang berada di
tengah-tengah atau kehendak. Maka penggerak pertama (pendorong) adalah sesuatu
yang dicari. Sedangkan yang medorong adalah tujuan yang diniatkan. Kemudian
menjadikan bangkit yaitu niat yang dilaksanakan dan terbangkitnya kemampuan
untuk menggerakkan anggota badan disebut amal.
Mengacu pada uraian tersebut maka keikhlasan
didasarkan pada niat dari pelaku kegiatan sama halnya pada kasus tawar-menawar
upah khataman Al-Qur�an di kuburan tersebut yang menjadikan membaca Al-Qur�an
terkesan dilakukan atas dasar pamrih bukan atas keridhaan dari Allah. Begitu
juga dengan pihak pemakai jasa, yang bisa saja merasa terpaksa dalam melakukan
kegiatan tersebut sehingga timbul adanya ketidak iklasan pada dirinya.
Disamping
itu sebagaian ulama juga berpegang pada hadist yang diriwayatkan oleh Imam
Ahmad yang berbunyi:
قل
عبدالرحمن بن
شبل الآنصاري
: سمعت رسول
الله صلى الله
عليه ؤسلم
يقول :
"اقرؤواالقُرآنَ
ولا تغلوافيه
,ولا
تَجفُواعَنهُ,
ولاتأكُلُوابِهِ,
ولا تَسْتَكْثِرُوابِهِ
"
Dari Abdurahman bin Syibl Al-Anshori
berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallahu alaihi wassalam bersabda: Bacalah
Al-Quran dan janganlah kamu berlebihan dalam membacanya, dan jangan pula kalian
berpaling darinya, dan janganlah kalian makan dari itu dan, jangan juga kalian
memperbanyak kekayaaan dari itu� (HR Imam Ahmad)
Berdasarkan hal tersebut maka dapat dipahami bahwa
pendapat ulama tersebut memiliki dasar yang cukup kuat agar setidaknya lebih
berhati-hati dalam menjalankan sebuah kegiatan terutama kegiatan ekonomi yang
bersifat peribadatan.
KESIMPULAN
Pandangan
Ulama mengenai praktek Upah mengkhatamkan Al-Qur�an di kuburan terbagi dalam dua golongan, yaitu
membolehkan dan tidak membolehkan. Bagi ulama yang membolehkan memiliki
berbagai pertimbangan, diantaranya adalah usur tolong-menolong, tidak memberatkan dan sebagai balas
jasa kegiatan yang dilakukan oleh pihak penyelenggara khataman yang memang
harus meninggalkan pekerjaan sehari-hari untuk melakukan kegiatan khataman
tersebut. Sedangkan bagi ulama tidak membolehkan berpegang pada prinsip
kehati-hatian akan yang terjadi pada masa yang akan datang yang didasarkan pada
prinsip Saddudz Dzari�ah. Saddudz Dzari�ah ((سَدُّالذَّرِيعَة ini
terkait keafdolan membaca
Al-Qur�an di kuburan, memberatkan keluarga Ahlul Mayyit, komersilisasi
ibadah dan hilangnya keikhlasan dalam membaca Al-Qur�an karena adaya upah.
BIBLIOGRAFI
Al-Qardhawi, Y., & Ikhlas, R. (2015). Tawakal: Ilmu Suluk
menurut Al-Qur�an dan As-Sunnah. Solo: Aqwam.
Ansory, I. (2023).
Diskursus Seputar Literatur Tafsir Ahkam. Al Kareem Jurnal Ilmu Al Qur�an
Dan Tafsir, 1(1), 1�18.
Bahruddin, M. (2022). (UPLOAD
SKRIPSI UTUH.. BUKAN JURNAL).. Tinjauan U�rf terhadap tradisi siram jamas ruwat
pada calon pengantin dalam perkawinan adat di Desa Jetis Kecamatan Jetis
Kabupaten Ponorogo. IAIN PONOROGO.
Hamdi, S., &
Musthofa, K. (2020). Menghadirkan Konsep Hifz Al-Irdi Dalam Bermedia Sosial:
Upaya Menyikapi Asusila Abu-Abu Di Youtube. El Madani: Jurnal Dakwah Dan
Komunikasi Islam, 1(02), 141�162.
Hasan, Z., &
Mahrus, A. F. (2023). Analisis Pemikiran Al-Ghazali Terhadap Permasalahan Fiat
Money. Journal on Education, 5(2), 3404�3412.
Helim, A. (2019). Maqashid
al-syari�ah versus usul al-Fiqh (Konsep dan posisinya dalam metodologi hukum
islam). Pustaka Pelajar.
Junaidi, J. (2017). Tradisi
Batunggu Kubur Menurut Pendapat Ulama Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah di
Marabahan.
Ma�sum, M. A. (2016).
Histori Hadits Karya Imam Muslim: Peran Penting Kitab Hadits Shahih Muslim dalam
Mendefinisikan Pendidikan. Didaktika Religia, 4(1), 107�134.
Marzuki, I., &
Ramdaniah, F. (2019). Strategi Pemasaran Pedagang Sembako Dalam Meningkatkan
Taraf Ekonomi Perspektif Ekonomi Islam. Iqtishadia Jurnal Ekonomi &
Perbankan Syariah, 6(1), 54�64.
Nawawi, I. (n.d.).
At-Tibyaan fii Adaabi Hamalatil Quran oleh Abdul Qodir Al-Arnauth. Damsyq:
Tt.
Nur�aini, I. L.,
Harahap, E., Badruzzaman, F. H., & Darmawan, D. (2017). Pembelajaran
matematika geometri secara realistis dengan GeoGebra. Matematika: Jurnal
Teori Dan Terapan Matematika, 16(2).
https://doi.org/10.29313/jmtm.v16i2.3900
Pasaribu, M. (2016).
Maslahat dan Perkembangannya Sebagai Dasar Penetapan Hukum Islam. JUSTITIA:
Jurnal Ilmu Hukum Dan Humaniora, 1(04).
https://doi.org/10.31604/justitia.v1i04.%25p
Ritonga, M. T. (2021).
Imam Mahdi Dalam Persfektif Hadis. Al-Kaffah: Jurnal Kajian Nilai-Nilai
Keislaman, 9(1), 69�86.
Suharsimi, A. (2013).
Prosedur Penelitian, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 201, 274.
Waluyo, B. (2017).
Optimalisasi pemberantasan korupsi di indonesia. Jurnal Yuridis, 1(2),
162�169.
Achmad Junaidi, Lukman Hakim (2024) |
First publication right: |
This article is licensed under: |