JOURNAL
SYNTAX IDEA p�ISSN:
2723-4339 e-ISSN: 2548-1398 |
Vol. 6, No.
02, February 2024 |
Analisis Perbandingan Inflasi dalam Perspektif Islam dan Konvensional
Fitri Kurniawati1*, Nurwahidin2
1,2 Universitas Indonesia, DKI
Jakarta, Indonesia
Email: 1*[email protected],
2[email protected]
ABSTRAK
Studi ini dilatarbelakangi oleh kebutuhan
untuk memahami perbedaan pendekatan konvensional dan Islam terhadap masalah inflasi,
serta potensi solusi yang ditawarkan oleh ekonomi Islam dalam mengatasi inflasi
dengan menganalisis perbandingan inflasi berdasarkan perspektif Islam dan
Konvensional. Studi dilakukan dengan motode kualitatif menggunakan informasi
yang terdapat pada literatur berupa text book atau jurnal penelitian ilmiah.
Baik dalam ekonomi konvensional dan ekonomi Islam mengakui adanya inflasi
meskipun terdapat perbedaan pada beberapa sumber penyebabnya, namun kedua
pendekatan ini sama-sama mengakui inflasi yang bersumber dari peningkatan
permintaan aggregat dan peningkatan jumlah uang beredar yang melebihi
kebutuhannya. Sementara perbedaan inflasi antara perspektif konvensional dan
Islam terutama terletak pada perbedaan esensi ekonomi konvensional dan ekonomi
Islam. Sebagian besar penyebab inflasi tersebut adalah kesalahan sistemik yang
ditemukan dalam ekonomi dan keuangan konvensional kontemporer yang berpotensi
untuk diperbaiki atau diganti dengan sistem alternatif yang tepat. Sistem
ekonomi Islam yang melarang riba, maysir, gharar, serta tidak boleh
berlebih-lebihan dapat memperbaiki faktor-faktor penyebab inflasi yang
bersumber dari ekonomi konvensional tersebut.
Kata Kunci: Inflasi;
Perspektif Islam; Inflasi Perspektif Konvensional
ABSTRACT
This study is motivated by the need to understand the differences
between conventional and Islamic approaches to the problem of inflation and the
potential solutions offered by Islamic economics in overcoming inflation by
analyzing comparative inflation based on Islamic and conventional perspectives.
The study was conducted using a qualitative method using information in the
literature in the form of textbooks or scientific research journals. Inflation
is defined as a general and continuous increase in the prices of goods/services.
Conventional and Islamic economics recognize the existence of inflation despite
differences in several causes. Still, both approaches recognize inflation as
originating from an increase in aggregate demand and an increase in the money
supply that exceeds needs. Meanwhile, the difference in inflation between
conventional and Islamic perspectives lies mainly in the differences in the
essence of conventional and Islamic economics. Most of the causes of inflation
are systemic errors found in contemporary conventional economics and finance
that have the potential to be corrected or replaced with appropriate
alternative systems. The Islamic economic system, which prohibits usury, may,
and gharar and cannot be excessive, can improve the factors that cause
inflation that originate from the conventional economy.
Keywords: Inflation; Islamic Perspective; Conventional
Perspective Inflation
PENDAHULUAN
Inflation control is very important to be one of the government's
concerns for several reasons. Inflation can worsen income distribution by
becoming unbalanced, causing a reduction in domestic savings, which are a
source of investment funds for developing countries (HRP et al.,
2023). Keberhasilan perekonomian suatu negara dalam
konteks makro ekonomi dapat dilihat dari terciptanya stabilitas ekonomi. Salah
satu indikator makro ekonomi untuk mengukur stabilitas perekonomian adalah
inflasi. Perubahan dari indikator ini akan berdampak pada dinamika pertumbuhan
ekonomi, keseimbangan eksternal, daya saing, distribusi pendapatan, dan
lain-lain. Tingginya tingkat inflasi pada suatu negara menunjukkan bahwa
perekonomian di negara tersebut buruk, dengan demikian terdapat hubungan antara
inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
Dalam
beberapa dekade terakhir, inflasi telah menjadi tantangan utama dalam ekonomi
negara-negara diseluruh dunia. Inflasi tidak hanya mempengaruhi stabilitas
ekonomi dan daya beli masyarakat, namun lebih lanjut dapat berimplikasi pada
kebijakan ekonomi dan kesejahteraan sosial. Inflasi merupakan fenomena di
seluruh dunia dan menjadi masalah yang menonjol dalam ekonomi makro. Dimana,
stabilitas harga yang terjaga menjadi salah satu tujuan utama dari kebijakan
ekonomi makro negara manapun, dalam artian harga stabil dengan tingkat inflasi
yang rendah, dan nilai tukar yang stabil. Oleh karena itu, pemahaman yang
mendalam tentang inflasi dan strategi efektif untuk mengelolanya merupakan hal
yang krusial. Economic actors engage in micro level activities, such as
recycling or reuse, that contribute to the greater concept of circularity (Gutberlet
et al., 2023).
Secara
umum, inflasi merupakan suatu kondisi terjadinya peningkatan harga-harga barang
dan jasa secara umum dan terus menerus (Sprinkel,
1971). Dalam hal ini, peningkatan harga tidak hanya
terjadi pada satu atau dua harga barang saja, namun pada barang dan jasa
umumnya. Selain itu peningkatan harga terjadi secara kontinu, tidak musiman
atau diwaktu tertentu saja. Inflasi mencerminkan penurunan nilai riil (daya
beli) uang. Dalam pandangan moneter yang sederhana, inflasi dapat
diilustrasikan sebagai �terlalu banyak uang mengejar sedikit barang�, sehingga
menyebabkan kenaikan harga barang, sementara daya beli uang menurun (Fadilla, 2017).
Inflasi
umumnya dianggap sebagai bagian dari fenomena yang terjadi di sektor moneter,
karena terjadinya penurunan nilai unit penghitungan moneter terhadap suatu
komoditas. Fenomena inflasi akan terjadi ketika pertumbuhan uang beredar lebih
cepat dibandingkan dengan pertumbuhan permintaan uang, dimana kenaikan permintaan
uang diproyeksikan sebagai peningkatan pendapatan riil masyarakat. Sehingga
untuk mengatasi masalah inflasi langkah yang diambil adalah melalui pengelolaan
sisi permintaan, yaitu dengan mengatur supply uang yang beredar di masyarakat.
Ahli moneter berpendapat bahwa jumlah uang yang beredar harus diatur sedemikian
rupa sehingga pertumbuhannya selaras dengan peningkatan uang pada tingkat harga
yang stabil. Fenomena inflasi akan terjadi ketika pertumbuhan uang beredar
lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan permintaan uang, dengan kenaikan
permintaan uang diproyeksikan sebagai peningkatan pendapatan riil masyarakat.
Namun
demikian banyak studi mengenai inflasi di negara-negara berkembang menunjukkan
bahwa inflasi bukan semata-mata merupakan fenomena moneter, tetapi juga
merupakan fenomena struktural. Hal ini disebabkan karena permasalahan
struktural perekonomian negara-negara berkembang cenderung mendorong tekanan
inflasi dari sisi penawaran. In an imperfectly indexed monetary world,
inflation is a serious risk facing consumers and investors alike amid
challenging economic and geopolitical situations (Selmi et al.,
2023). Permasalahan struktural tersebut antara lain
guncangan ekonomi yang bersumber dari dalam negeri, misalnya gagal panen
(akibat faktor ekternal pergantian musim yang terlalu cepat, bencana alam, dsb)
serta kendala distribusi bahan pangan, atau hal-hal yang memiliki kaitan dengan
hubungan luar negeri, misalnya memburuknya perdagangan yang dapat menimbulkan
fluktuasi harga di pasar domestik (Juhro et al.,
2020).
Sebagian
besar ahli ekonomi makro sepakat bahwa inflasi merupakan permasalahan terbesar
yang dihadapi dalam ekonomi pasar yang belum terselesaikan hingga saat ini.
Inflasi yang tidak dapat dikendalikan dapat memicu terjadinya krisis keuangan,
yang pada akhirnya tidak hanya mengguncang sisi ekonomi namun juga sisi sosial
dan politik. Inflasi akan menyebabkan penurunan nilai riil dari tabungan dan
kekayaan, serta akan menciptakan ketidakpastian tentang konsumsi dan investasi
saat ini dan di masa depan. Inflasi menjadi penyebab semakin meningkatnya
kesenjangan pendapatan, dimana terjadinya distribusi pendapatan yang tidak
merata karena upah riil pekerja menurun sebagai dampak inflasi, sementara harga
barang-barang di pasar meningkat tanpa disertai kenaikan upah pekerja, yang
tentunya akan memberikan keuntungan yang lebih bagi perusahaan.
Dari
sejarah, terlihat bagaimana inflasi yang tidak terkendali memicu terjadinya
krisis ekonomi. Krisis keuangan telah terjadi satu demi satu sejak hiperinflasi
di Jerman pada tahun 1922-1923 yang diikuti oleh the great depression pada tahun 1929-1930. Selanjutnya krisis
keuangan melanda Austria (krisis perbankan tahun 1931), Perancis (hiperinflasi
tahun 1944-1966), Hongaria (hiperinflasi dan krisis moneter tahun 1944-1946),
Jerman (hiperinflasi tahun 1945-1946), dan Nigeria (krisis perbankan tahun
1945-1955). Krisis mereda pada periode di bawah Bretton Wood Agreement (1950-1972). Namun, setelah berakhirnya Bretton Wood Agreement, krisis keuangan
pun sering bermunculan kembali, dimulai di Inggris (krisis perbankan pada
1973-1974), negara-negara industri (resesi yang dalam pada tahun 1978-1980),
negara berkembang (krisis utang 1980-1982), AS dan Inggris (anjlok pasar saham
yang sangat besar pada tahun 1987), Meksiko (krisis keuangan pada tahun 1994),
negara-negara Asia, Rusia, Brasil dan Argentina (krisis keuangan dan
hiperinflasi pada 1997-1999) dan suprime
mortgage crisis di Amerika (2008) yang menyebar ke seluruh dunia. Di
Indonesia sendiri, terjadi krisis multi dimensional pada tahun 1997-1998 dimana
inflasi meningkat sangat signifikan mencapai 77,6%, sementara pertumbuhan
ekonomi merosot hingga -13,2% (Hatta 2008 dalam Ascarya 2011). Seluruh sektor
ekonomi mengalami kontraksi yang signifikan. Sektor konstruksi terkontraksi
36,4%, sementara sektor keuangan terkontraksi 26,6%.
Di
negara yang menganut sistem moneter ganda yaitu konvensional dan syariah,
seperti Indonesia, Malaysia, Pakistan, dll, otoritas moneter tidak hanya
berusaha untuk mengendalikan inflasi, namun juga menurunkan inflasi agar
kestabilan harga, stabilitas ekonomi, keadilan dan kemakmuran yang merata bagi
seluruh rakyat dapat tercapai. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman terkait
penyebab inflasi dalam sistem ekonomi moneter ganda baik dari sisi konvensional
maupun Islam, sehingga dapat dirumuskan solusi untuk menurunkan dan
mengendalikan inflasi.
Terhadap
inflasi, terdapat perbedaan pandangan dari perspektif konvensional dan
perspektif Islam, meskipun didalamnya juga terdapat persamaan. Dari perspektif
konvensional, inflasi didefinisikan sebagai peningkatan umum dan terus menerus
dari harga barang dan jasa. Perspektif konvensional mengaitkan inflasi dengan
beberapa faktor seperti kebijakan moneter, permintaan agregat yang melebihi
penawaran agregat, dan ekspektasi inflasi itu sendiri. Dalam pengendalian
inflasi, umumnya menggunakan instrumen kebijakan moneter dan fiskal seperti
penyesuaian tingkat suku bunga dan pengendalian defisit anggaran.
�Sementara dari perspektif Islam permasalahan
muncul akibat, inflasi yang �didefinisikan dengan mengacu kepada
prinsip-prinsip ekonomi Islam yang melarang adanya bunga (riba), spekulasi yang
berlebihan, dan penimbunan. Ekonomi Islam mengutamakan stabilitas harga dan
keadilan sosial, dengan menekankan pentingnya pengelolaan sumber daya yang adil
dan transparansi dalam transaksi ekonomi. Dari perspektif ini, inflasi dilihat
sebagai akibat dari praktek ekonomi yang tidak adil atau ketidakseimbangan
dalam distribusi kekayaan dan sumber daya. Oleh karena itu, solusi dalam
mengatasi inflasi dalam ekonomi Islam antara lain melalui penerapan prinsip
ekonomi Islam yang melarang adanya riba, menggunakan prinsip bagi hasil
alih-alih suku bunga, zakat, dan pengelolaan kebijakan moneter sesuai dengan
prinsip syariah. Ekonomi Islam yang tidak mengenal bunga ataupun suku bunga
yang telah ditentukan sebelumnya karena adanya larangan riba dalam ajaran
Islam, dapat menjadi alternatif untuk menangani permasalahan inflasi.
Penelitian
ini bertujuan untuk menjembatani pemahaman inflasi dari perspektif konvensional
dan perspektif Islam, dengan mengkaji lebih dalam terkait definisi inflasi,
sumber/penyebab inflasi, dampak inflasi, serta upaya pengendalian inflasi dari
masing-masing perspektif. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan
yang baru dan memperkaya literatur akademis terkait pemahaman atas inflasi,
serta memberikan solusi alternatif untuk mengatasi inflasi.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang
digunakan adalah metode analisis deskriptif. Objek penelitian dalam penelitian
tersebut adalah inflasi dalam perspektif Islam dan konvensional, dengan fokus
pada definisi, sumber, dampak, serta upaya pengendalian inflasi. Sumber data
penelitian berasal dari literatur-literatur terkait ekonomi Islam dan
konvensional, termasuk karya-karya ulama dan ahli ekonomi kontemporer. Populasi
penelitian mencakup teori-teori, pandangan, dan pendapat dari berbagai sumber
terkait inflasi dalam Islam dan konvensional. Sampel yang digunakan adalah
kutipan-kutipan dan pandangan-pandangan yang relevan yang dipilih dari
literatur yang telah disurvei.
Teknik penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini adalah analisis literatur. Peneliti mengumpulkan
bahan-bahan literatur yang relevan dan kemudian menganalisisnya untuk
mengidentifikasi pandangan-pandangan yang ada, perbedaan, persamaan, serta
solusi yang ditawarkan dalam mengatasi inflasi. Alat penelitian yang digunakan
adalah kemampuan analisis dan sintesis peneliti terhadap berbagai sumber yang
dikumpulkan. Teknik analisis yang digunakan adalah komparatif, di mana peneliti
membandingkan pandangan-pandangan dari perspektif Islam dan konvensional
tentang inflasi, serta mencari solusi yang dapat diterapkan dalam sistem
keuangan Islam untuk mengatasi masalah inflasi.
Hasil analisis
tersebut kemudian dipresentasikan dalam bentuk narasi yang memaparkan definisi
inflasi, sumber-sumber inflasi, dampak inflasi, serta upaya pengendalian inflasi,
baik dari perspektif Islam maupun konvensional. Selain itu, perbandingan antara
inflasi dalam perspektif Islam dan konvensional juga disajikan secara
terperinci dalam tabel. Dengan demikian, penelitian tersebut memberikan
pemahaman yang komprehensif tentang inflasi dari dua sudut pandang yang
berbeda, serta memberikan wawasan tentang solusi-solusi yang dapat diterapkan
dalam konteks ekonomi Islam.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A.
Inflasi dalam Perspektif Islam
Inflasi dalam Islam telah dikenal sejak zaman
Nabi Muhammad SAW, di Madinah. Ulama/cendikiawan Muslim klasik juga telah
mendefinisikan inflasi. Abu Yusuf (113‐182 H) adalah cendekiawan klasik
pertama yang mendefinisikan inflasi. Pandangannya tentang inflasi adalah harga
umum meningkat karena terlalu banyak uang yang beredar. Ia mengatakan bahwa fluktuasi
harga lebih banyak disebabkan oleh pasokan dan permintaan uang (inflasi
moneter). Ini sesuai dengan zaman sekarang, dengan apa yang kita kenal model
sisi permintaan atau model determinan inflasi moneter. Pandangan ini kurang
lebih mirip dengan pandangan konvensional Monetaris. Taqyuddin Ahmad Ibn
Al-Maqrizi (1364-1441M) menyatakan bahwa inflasi merupakan fenomena alam yang
mempengaruhi kehidupan masyarakat di seluruh dunia, di masa lalu, sekarang, dan
masa depan. Ia mengemukakan inflasi terjadi ketika harga umumnya naik dan terus
menerus, dimana stok barang langka dan konsumen yang benar-benar membutuhkannya
harus mengorbankan lebih banyak uang untuk jumlah barang yang sama. Ibnu
Khaldun menyatakan bahwa harga naik (inflasi) akan terjadi jika barang langka (dorongan
biaya) atau kelebihan permintaan (tarikan permintaan), sesuai dengan model
kombinasi sisi permintaan dan sisi penawaran pada saat ini. Ibnu Taimiyyah
mengatakan bahwa harga naik (inflasi) atau menurun (deflasi) sering terjadi
karena kurangnya produksi atau penurunan kebutuhan impor barang. Dengan kata
lain, inflasi terjadi karena sisi penawaran yang terganggu. Di dalam dunia
ekonomi modern, Ibn Taimiyyah mungkin termasuk dalam kelompok 'Strukturalis'.
Strukturalis adalah kelompok yang memandang dan berpendapat bahwa inflasi
disebabkan oleh gangguan sisi penawaran, dan juga masalah struktural.
Ekonom kontemporer Islam juga telah memberikan
definisi tentang inflasi dalam perspektif Islam secara komprehensif. (Chapra, 1985) membahas stabilitas nilai uang dan hubungannya
dengan inflasi. Dia menyatakan bahwa inflasi adalah terkikisnya daya beli aset
moneter karena uang tidak dapat menjalankan fungsi utamanya sebagai: 1) unit
hitung yang adil dan jujur, 2) standar yang adil dari pembayaran yang
ditangguhkan, dan 3) penyimpanan nilai yang dapat dipercaya. Akar penyebab
inflasi adalah penciptaan uang, penciptaan kredit, bunga (riba), dan spekulasi
(maysir). Oleh karena itu, satu-satunya cara untuk pemulihan kesehatan ekonomi
dan stabilitas harga yang langgeng adalah mengakhiri inflasi dengan menyerang
akar penyebabnya.
Dalam ekonomi dan keuangan yang canggih saat
ini, kelebihan jumlah uang beredar tidak semata-mata karena penciptaan uang
atau pencetakan uang fiat. Sumber kelebihan jumlah uang beredar lainnya adalah
dengan penciptaan kredit melalui sistem perbankan cadangan fraksional, sistem
bunga, kartu kredit, dan transaksi derivatif. Semua ini adalah pelanggaran
lainnya Hukum Allah, yaitu riba, gharar
dan maysir. Setiap kali terjadinya
lebih banyak pelanggaran, akan mengakibatkan ada ketidakseimbangan dan
malapetaka yang semakin parah.
Dalam kaitannya dengan stabilitas harga,
inflasi adalah suatu kenaikan harga yang konsisten dan cukup besar karena
penyebab alami (perubahan teknis, bencana alam) dan penyebab buatan (penimbunan,
penipuan, manipulasi harga, dan kegiatan kriminal terkait lainnya). Mencetak
mata uang di luar kebutuhan riil ekonomi, yang merupakan penipuan, adalah salah
satu penyebab utama yang mengganggu stabilitas harga. Oleh karena itu,
penciptaan uang fiat dan penciptaan kredit dari sistem perbankan cadangan
fraksional adalah dua penyebab utama inflasi. Akibatnya, uang fiat gagal
memenuhi tujuannya sebagai penyimpan nilai dan sebagai unit akun. Akar penyebab
artifisial inflasi antara lain uang fiat, uang bank, bunga (riba), penipuan,
dan semua aktivitas kriminal terkait lainnya. Untuk mengakhiri masalah inflasi,
harus menghilangkan akar penyebabnya.
1. Sumber Inflasi
a. Inflasi alami
Inflasi ini disebabkan oleh faktor alam yang
bersifat tidak dapat dikontrol dan tidak dapat dihindari, contohnya pada saat
terjadi bencana alam. Menurut Al Maqrizi, saat terjadi bencana alam, berbagai
bahan pangan dan hasil bumi lainnya mengalami gagal panen, sehingga persediaan
barang-barang tersebut menurun drastis dan terjadi kelangkaan. Sementara
mengingat sifatnya yang krusial untuk melangsungkan kehidupan, maka permintaan
terhadap barang tersebut meningkat, yang menyebabkan kenaikan harga yang dapat
melebihi daya beli masyarakat. Hal ini kemudian berdampak pada kenaikan harga
barang dan jasa lainnya, yang menyebabkan tidak berajalannya transaksi ekonomi,
bahkan dapat berhenti sama sekali, yang pada akhirnya menimbulkan bencana
kelaparan, wabah penyakit, dan kematian di kalangan masyarakat. Kondisi yang
memburuk ini memaksa rakyat untuk menekan pemerintah agar segera memperhatikan
keadaan mereka (Karim, 2007).
Lebih lanjut Al Maqrizi mengemukakan, bahwa
kenaikan harga tersebut masih berlanjut meskipun bencana telah berlalu karena
belum pulihnya sektor produksi dampak dari tersendatnya aktivitas ekonomi
akibat bencana sebelumnya. Jumlah pasokan barang-barang yang bersifat
signifikan masih belum memadai bahkan masih langka, sementara permintaannya
meningkat tajam. Akibatnya harga barang-barang ini mengalami kenaikan diikuti
oleh kenaikan harga barang dan jasa lainnya, termasuk upah dan gaji pekerja.
Inflasi alami pernah terjadi pada zaman Rasulullah dan khulafaur rasyidin, yaitu karena kekeringan atau karena peperangan.
Inflasi alami dapat dibedakan berdasarkan penyebabnya:
1) Akibat uang yang masuk dari luar negeri
terlalu banyak, dimana ekspor meningkat, sedangkan impor menurun, sehingga nilai
ekspor bersih sangat besar, maka mengakibatkan naiknya permintaan agregat.
2) Akibat dari turunnya tingkat produksi karena
terjadinya panceklik, perang, ataupun embargo.
b. Inflasi karena kesalahan manusia
Selain faktor alam, Al Maqrizi menyatakan
inflasi bisa terjadi karena kesalahan manusia. Dia menganalisis bahwa ada tiga
hal utama, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, yang menyebabkan
terjadinya inflasi, yaitu:
1) Korupsi dan administrasi yang buruk
Pengangkatan para pejabat yang berdasarkan
suap, nepotisme, dan bukan kapabilitas menyebabkan berbagai jabatan penting dan
terhormat ditempati oleh orang-orang yang tidak kompeten dan kredibel, yang
memiliki mental untuk menghalalkan segala cara untuk memperoleh jabatan
tertentu. Hal ini tentunya akan berpengaruh pada saat mereka berkuasa, dimana
mereka akan menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan dan keuntungan
pribadi dan keluarganya ataupun untuk kemewahan hidup dengan melakukan korupsi.
Akibatnya akan terjadi penurunan drastis terhadap penerimaan dan pendapatan
negara. Birokrasi yang cukup rumit juga dapat menimbulkan inflasi, karena pada
akhirnya dapat menyebabkan penurunan penawaran agregat, akibat peningkatan
biaya-biaya yang tidak diperlukan dalam berbagai tingkatan birokrasi.
2) Pajak yang berlebihan
Turunnya pendapatan negara dan meningkatnya
pengeluaran negara dampak korupsi, menyebabkan pejabat negara menerapkan pajak
yang tinggi dan menerapkan berbagai jenis pajak untuk meningkatkan pendapatan negara.
Hal ini berakibat pada peningkatan biaya produksi dan tentunya akan
berimplikasi pada kenaikan harga barang produksi.
3) Percetakan uang berlebihan
Ketika terjadi defisit anggaran baik sebagai
akibat dari kemacetan ekonomi, maupun perilaku buruk para pejabat yang
menghabiskan uang negara, pemerintah melakukan percetakan uang secara
besar-besaran, yang menyebabkan uang tidak lagi bernilai.
Dari penyebab inflasi yang dikemukakan oleh Al
Maqrizi, porsi inflasi di zaman modern lebih didominasi oleh inflasi karena
kesalahan manusia (tidak wajar) (Amsi, 2020). Ascarya (2011) membagi inflasi yang tidak
wajar menjadi dua bagian yaitu a) inflasi karena kesalahan manusia, sebagaimana
dijelaskan sebelumnya oleh Al Maqrizi; dan b) inflasi karena kesalahan sistem
yang dibuat oleh manusia yang digunakan dalam ekonomi atau kesalahan sistem
inflasi. Penyebab inflasi karena kesalahan sistem ini menjadi sangat nyata.
Terdapat tiga hal mendasar yang menyebabkan terjadinya penciptaan uang masuk di
sektor perbankan yang kemudian berdampak besar pada inflasi di suatu negara;
(1) Bunga, (2) Uang fiat termasuk uang kertas dan uang bank, dan (3) Sistem
cadangan di perbankan (Pangiuk, 2015).
2. Dampak Inflasi
(Chapra, 1985) menyatakan inflasi menyebabkan orang berlaku
tidak adil terhadap orang lain tanpa disadarinya, dengan menurunkan daya beli
aset-aset moneter secara tidak diketahui. Hal ini merusak efisiensi sistem
moneter dan membebani masyarakat dengan biaya kesejahteraan masyarakat. Inflasi
akan meningkatkan konsumsi dan mengurangi tabungan. Inflasi memperburuk iklim
ketidakpastian saat pengambilan keputusan-keputusan ekonomi, menghambat
pembentukan modal dan menyebabkan salah alokasi sumber daya. Inflasi cenderung
merusak nilai-nilai, mendorong spekulasi (yang dilarang dalam Islam) dengan
menimpakan kerugian pada aktivitas-aktivitas produktif (yang digalakkan Islam)
serta memperparah ketidakmerataan pendapatan (yang dikutuk Islam). Disamping
itu juga mendistorsi pola output, merusak efisiensi dan investasi produktif,
dan berkontribusi pada ketidakadilan dan ketegangan sosial.
Inflasi berdampak buruk pada pembangunan
ekonomi, keseimbangan, dan keadilan, karena inflasi bertindak seperti racun
bagi sistem Islam dan menghasilkan efek yang berlawanan dengan hukum ilahi. Hal
tersebut antara lain meliputi: 1) retardasi pertumbuhan ekonomi; 2) alat
terburuk dari ketidakadilan dan eksploitasi; 3) eksploitasi orang miskin oleh
orang kaya; 4) memperkenalkan ketidakpastian yang tidak dapat dihindari; 5) mempromosikan
keserakahan dan keegoisan; 6) meningkatkan disparitas pendapatan dan kekayaan;
dan 7) menyebabkan inefisiensi.
Zoellick (2011) dalam (Juhro et al.,
2020) mengatakan bahwa inflasi menyebabkan
penurunan daya beli masyarakat, peningkatan keinginan masyarakat untuk
melakukan kegiatan penimbunan, penurunan imbal balik investasi, peningkatan
jumlah pengangguran, perlambatan kegiatan bisnis, dan penurunan kesejahteraan
masyarakat.
Dampak buruk inflasi bagi perekonomian dalam
Islam juga menyebabkan: a) penurunan semangat masyarakat dalam menabung dan
menyimpan uangnya di lembaga keuangan, b) peningkatan kecenderungan untuk
konsumsi barang-barang tersier (mewah), c) gangguan pada fungsi uang sebagai
alat penyimpan nilai (Wulan dan Nurfaiza, 2014 dalam (Juhro et al.,
2020).
3. Upaya Pengendalian Inflasi
Dalam kerangka ekonomi Islam, ketika tidak ada
inflasi yang diimpor (inflasi yang terjadi karena nilai barang impor atau
faktor produksi yang diimpor naik) dan/atau guncangan mendadak pada permintaan
dan penawaran, maka tingkat inflasi seharusnya nol. Dengan demikian, Islam
memandang bahwa dalam perekonomian mungkin saja tidak terjadi inflasi. Kondisi
ini dapat dicapai apabila penerbitan uang dilandasi oleh aset produktif di
sektor riil. Dalam konteks ini, prinsip utama dalam ekonomi Islam adalah
keselarasan dan keseimbangan antara sektor keuangan dan sektor riil. Dalam
Islam, untuk menyelaraskan kedua sektor tersebut, manusia hanya diperbolehkan
untuk mengambil keuntungan (uang/harta) melalui kegiatan produktif di sektor
riil. Dengan demikian, penciptaan uang pada ekonomi Islam harus dilandasi oleh
adanya peningkatan produksi di sektor riil. Sinkronisasi antara sektor keuangan
dan sektor riil dapat mencegah atau menanggulangi masalah inflasi dengan
meningkatnya penawaran agregat. Selain itu, Islam mengajarkan agar manusia
tidak berlebih-lebihan dalam konsumsi yang mengarah pada gaya hidup mubadzir.
Prinsip fundamental dalam Islam yaitu
menghilangkan riba akan berdampak pada penurunan biaya produksi, sehingga
meningkatkan motivasi pada peningkatan aktivitas bisnis. Bukti empiris terjadi
pada Jepang dan Amerika yang menerapkan suku bunga yang sangat rendah, ternyata
mampu menghilangkan tekanan inflasi di negara tersebut. Selain itu, inflasi
dapat ditekan dalam Islam karena prinsip Islam melarang future contracts dan transaksi-transaksi yang spekulatif, prinsip
ini mampu menghilangkan sifat serakah pada manusia yang kemudian akan dapat
mengurangi kegiatan penimbunan dalam perekonomian.
Dalam mengatasi inflasi, pendekatan Islam
mendorong pemerintah melakukan kebijakan penanggulangan inflasi dengan cara
himbauan moral kepada masyarakat untuk melakukan penghematan dalam berbelanja,
mendorong peningkatan produksi dalam negeri, subsidi langsung kepada
masyarakat, perbaikan infrastruktur seperti jalan, dll, membuat regulasi yang
mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat kecil. Disamping itu, pemerintah juga
dapat mengatasi inflasi dengan melakukan pengaturan pada kebijakan fiskal,
moneter dan non-moneter. Dari sisi kebijakan fiskal, melalui pengaturan
penerimaan dan pengeluaran pemerintah, menciptakan lapangan kerja, menarik
beban atas harta yang menganggur sehingga akan mendorong masyarakat untuk
menginvestasikan dananya lewat tabungan dan deposito dengan sistem bagi hasil,
memaksimalkan fungsi penerimaan zakat. Pada kebijakan moneter, antara lain
pengaturan penawaran uang sesuai dengan permintaan riil, dan membantu untuk
menutup defisit pemerintah dan kebijakan non moneter, antara lain menaikan
hasil produksi, kebijaksanaan upah, pengawasan harga.
(Siddiqi, 1996) menyatakan bahwa dalam sistem ekonomi Islam
sudah terdapat 4 (empat) penstabil yang dapat meniadakan atau setidaknya
meminimalkan terjadinya inflasi, yaitu:
a. Mengganti pembiayaan dengan modal dan
pembiayaan yang berbasis saham.
b. Keberadaan zakat dan hukum waris yang
memengaruhi distribusi pendapatan yang dapat menguntungkan penduduk yang kurang
beruntung. Akibatnya, hal ini akan memengaruhi komposisi permintaan agregat
sedemikian rupa sehingga mengurangi fluktuasi permintaan agregat.
c. Pengurangan konsumsi yang boros dan mendorong
konsumsi yang moderat, sehingga dapat menurunkan permintaan agregat.
d. Uang publik merupakan amanah bagi pemerintah
Islam, oleh karena itu pemerintah harus menjaga pengeluaran publik dalam
batas-batas yang ditetapkan oleh sarana yang tersedia. Hal ini menyebabkan
utang/defisit hampir tidak pernah terjadi dalam ekonomi Islam.
B.
Perbandingan Inflasi berdasarkan Perspektif
Konvensional dan Islam
Dari uraian di atas, perbandingan faktor
penyebab inflasi berdasarkan perspektif konvensional dan Islam dapat dilihat
pada tabel berikut ini.
Gambar 1
Perbandingan Penyebab Inflasi berdasarkan Perspektif Islam dan Konvensional
Gambar di atas memperlihatkan bahwa terdapat
persamaan inflasi antara ekonomi Islam dan ekonomi konvensional, meskipun tidak
pada semua kgelompok/mazhab. Disamping itu juga terdapat faktor penyebab
inflasi yang hanya dikemukakan oleh pespektif konvensional, dan faktor yang
hanya dikemukakan oleh perspektif Islam.
1.
Persamaan antara Inflasi Konvensional dan Inflasi Islam
Meskipun perspektif konvensional dan Islam
memiliki konsep yang berbeda tentang inflasi, namun terdapat persamaan pada
kedua perspektif tersebut. Perspektif konvensional dan Islam sama-sama
menyatakan bahwa inflasi akan terjadi apabila terdapat penurunan nilai tukar
mata uang domestik. Dalam perspektif Islam, inflasi terjadi ketika adanya
penurunan nilai Dinar emas, Dirham perak, dan Fulus tembaga sebagai mata uang
yaitu pada saat volume uang melebihi volume barang, dalam artian terdapat
kelebihan uang beredar dalam perekonomian karena penciptaan uang. Hal ini mirip
dengan pandangan Mazhab Monetaris, terutama Mazhab Austria, yang menegaskan
bahwa Inflasi terjadi ketika adanya persediaan uang yang berlebihan terutama
karena penciptaan uang dari pencetakan uang fiat dan penciptaan kredit dari
sistem perbankan cadangan fraksional.
Ibn Khaldun membedakan penyebab inflasi
menjadi tarikan permintaan dan dorongan biaya. Faktor penyebab inflasi tarikan
permintaan ini termasuk output gap
dan kelebihan jumlah uang beredar. Output
gap (banyak permintaan atau sedikit pasokan) telah dinyatakan oleh Ibn
Khaldun, sedangkan kelebihan uang beredar dinyatakan oleh Al-Maqrizi (terlalu
banyak mata uang Fulus yang beredar) dan Abu Yusuf. Faktor-faktor tersebut
serupa dengan yang dikemukakan oleh perspektif konvensional yaitu Mazhab
Keynesian (untuk output gap),
Monetarist, Rational Expectation, Austria (untuk kelebihan jumlah uang
beredar).
Sementara untuk faktor penyebab inflasi
dorongan biaya menurut perspektif Islam antara lain inflasi luar negeri, nilai
tukar, guncangan pasokan akibat kekeringan dan bencana alam sebagaimana yang
dikemukakan oleh Al Maqrizi. Hal ini serupa dengan yang dinyatakan oleh
perspektif konvensional yaitu Mazhab Keynesian, Monetarist, Rational
Expectation, Austria (untuk inflasi luar negeri), sementara untuk nilai tukar
sama dengan yang dikemukakan Mazhab Keynesian dan Austria, dan untuk guncangan
pasokan dan bencana alam serupa dengan yang disampaikan Mazhab Keynesian.
2.
Perbedaan antara Inflasi Konvensional dan Inflasi Islam
Perbedaan inflasi dalam perspektif
konvensional dan perspektif Islam sebenarnya menunjukkan perbedaan esensi
antara ekonomi konvensional dan ekonomi Islam. Faktor penyebab inflasi dalam
perspektif konvensional yang tidak dikemukakan dalam perspektif Islam sebagian
besar merupakan sistem baru yang berlangsung di era modern yang dikategorikan
sebagai inflasi karena kesalahan manusia atau inflasi buatan oleh perspektif
Islam, seperti dorongan biaya (volatile
food, administered price dan upah/gaji) serta ekspektasi (adaptive dan forward).
Sedangkan penyebab inflasi dalam perspektif
Islam yang tidak dianggap sebagai faktor penyebab inflasi oleh perspektif
konvensional sebagian besar juga merupakan sistem yang baru dalam era modern
yang dikategorikan sebagai inflasi karena kesalahan manusia atau inflasi
buatan, seperti faktor penyebab inflasi tarikan permintaan (korupsi, perilaku
buruk, administrasi yang buruk, pajak yang berlebihan, sistem uang fiat, sistem
perbankan cadangan fraksional, kartu kredit, dan transaksi derivatif). Sebagian
besar penyebab inflasi tersebut adalah kesalahan sistemik yang ditemukan dalam
ekonomi dan keuangan konvensional kontemporer yang berpotensi untuk diperbaiki
atau diganti dengan sistem alternatif yang tepat. Korupsi, perilaku buruk,
administrasi yang buruk, dan pajak yang berlebihan dapat dikoreksi, sementara
uang fiat dapat digantikan dengan sistem standard emas, sistem perbankan
cadangan fraksional dapat digantikan dengan 100% reserve banking/narrow banking atau free banking system, kartu kredit dapat digantikan dengan kartu
debit, dan transaksi derivatif dapat digantikan dengan asset backet securities
atau sukuk.
C.
Solusi Inflasi dalam Sistem Keuangan Islam
Dalam kerangka kerja Islam, ketika tidak ada
inflasi yang diimpor dan/atau guncangan mendadak terhadap permintaan atau
penawaran, maka tingkat inflasi seharusnya bernilai nol. Hukum Islam menjamin
aliran tenaga kerja dan modal, sehingga kemungkinan terjadinya inflasi yang
didorong oleh biaya adalah nol atau sangat rendah. Pembiayaan utang dan
pemborosan ekonomi dapat menyebabkan terjadinya inflasi pada sistem ekonomi
konvensional, namun dalam sistem Islam pembiayaan utang diganti dengan
pembiayaan ekuitas dan terdapat larangan untuk melakukan pemborosan ekonomi,
menyebabkan tingkat inflasi seharusnya lebih rendah dalam sistem ini.
Islam tidak membolehkan pengenaan bunga, sehingga
dalam ekonomi Islam tidak terdapat tingkat suku bunga. Sementara pada ekonomi
konvensional, tingkat suku bunga positif dalam sistem ekonomi dianggap sebagai
suatu solusi untuk menjaga tingkat inflasi yang rendah dalam jangka panjang.
Namun, hasil penelitian (Amir,
2014), menemukan bahwa tingkat suku bunga yang
telah ditentukan sebelumnya memiliki hubungan yang positif dengan tingkat harga
dalam jangka panjang dan inflasi dalam jangka pendek. Utang yang dibiayai
dengan suku bunga di Amerika Serikat menyebabkan permintaan spekulatif yang
lebih tinggi akan uang dan menyebabkan investasi yang tidak produktif. Hal ini
berbeda dengan utang pemerintah yang dibiayai dengan bunga di Turki yang
menyebabkan tingkat harga yang lebih tinggi (Kia, 2010), sementara utang pemerintah yang dibiayai
dengan pembagian risiko keuntungan di Iran memiliki hubungan negatif dengan
tingkat harga jangka panjang (Kia, 2006).
Suku bunga yang telah ditentukan akan
mendorong naiknya biaya sehingga memiliki efek penawaran yang negatif. Berbeda
dengan perjanjian bagi hasil yang diajarkan oleh sistem Islam, efek penawaran
ini tidak ada karena laba atau rugi adalah sisa dari total pendapatan dan
biaya, sehingga tidak mempengaruhi keputusan output. Disamping itu, ekspektasi
inflasi yang dianggap sebagai alat dalam mengendalikan inflasi dalam sistem
ekonomi konvensional, justru menciptakan ketidakpastian mengenai konsumsi dan
invetasi saat ini dan di masa depan.
Islam memandang bahwa dalam perekonomian
mungkin saja tidak terjadi inflasi. Kondisi ini dapat dicapai apabila
penerbitan uang dilandasi oleh aset produktif di sektor riil. Dalam konteks
ini, prinsip utama ekonomi Islam adalah keselarasan dan keseimbangan antara
sektor keuangan dengan sektor riil. Selain itu, Islam mengajarkan agar manusia
tidak berlebih-lebihan dalam konsumsi yang mengarah pada gaya hidup mubadzir.
Inflasi disebabkan oleh adanya ketimpangan sektoral antara sektor keuangan dan
sektor riil yaitu ketidakseimbangan antara jumlah uang beredar dan kemampuan
produsen dalam memproduksi barang, sehingga terjadi peningkatan harga. Ekonomi
Islam hadir dengan prinsip yang mengharuskan setiap transaksi di sektor
keuangan harus dilandasi dengan transaksi di sektor riil, sehingga hal tersebut
akan memperkecil bahkan menghilangkan gap antara sektor keuangan dan sektor
riil.
Kebijakan moneter juga dapat secara efektif
digunakan untuk mengurangi inflasi dalam sistem ekonomi konvensional. Dalam
sistem ini, bank sentral meminjamkan dana berbunga kepada sistem perbankan.
Sistem perbankan pada gilirannya memberikan pinjaman berbunga kepada para
pelaku ekonomi. Dengan cara ini, sistem perbankan meningkatkan jumlah uang
beredar. Perlu dicatat bahwa hanya sebagian kecil dari pinjaman ini yang
diarahkan untuk produksi barang dan jasa. Sisanya sebagian besar digunakan
untuk kredit konsumsi, kegiatan spekulatif, dan lain-lain yang hanya
berkontribusi pada inflasi (Shakespeare,
2006).
Dalam sistem ekonomi Islam, jumlah uang
beredar adalah murni endogen dan dihasilkan dari pinjaman tanpa bunga dari bank
sentral kepada sistem perbankan. Sistem perbankan meminjamkan dana tersebut
kepada para pelaku ekonomi berdasarkan perjanjian pembagian keuntungan dan
risiko. Akibatnya, pinjaman diarahkan pada produksi barang dan jasa sedemikian
rupa untuk memastikan investasi tersebut dapat membayar sendiri. Pinjaman pada
akhirnya dibayarkan kembali kepada bank sentral. Dengan cara ini dipastikan
bahwa aset produktif selalu mendukung mata uang masyarakat. Ada dua
karakteristik penting dari pinjaman ini. Pertama, mereka dapat tumbuh tanpa
batasan, dan kedua, pinjaman syariah yang dikeluarkan oleh bank sentral tidak
hanya non-inflasi dari waktu ke waktu, namun juga bersifat kontra-inflasi (Shakespeare,
2006).
Hal ini memperlihatkan bagaimana sistem
ekonomi Islam dapat menjadi solusi dalam mengatasi permasalahan inflasi. Untuk
negara dengan sistem moneter ganda, sistem ini tentunya dapat diterapkan.
Sebagai contoh, Pemerintah dapat membiayai utangnya dengan cara yang Islami,
yaitu pembayaran utang yang didasarkan pada pengembalian dana dalam kegiatan
produktif atau tingkat pertumbuhan ekonomi, maka utang tersebut akan menurunkan
tingkat inflasi, sebagaimana yang telah dikonfirmasi berdasarkan penelitian (Kia, 2006) untuk Iran yang pembiayaan utang pemerintah
dibiayai dengan pembagian risiko keuntungan memiliki hubungan negatif dengan
tingkat harga jangka panjang, sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya.
Namun, pada akhirnya, inflasi adalah pilihan
ideologi dan politik rezim ekonomi yang diambil oleh pemerintah. Dengan kemauan
dan komitmen politik dari pemerintah, inflasi dapat secara bertahap dan sistematis
dapat diberantas dan dikendalikan.
KESIMPULAN
Baik dalam perspektif
Islam maupun konvensional, definisi inflasi relatif sama yaitu kenaikan harga
barang secara terus menerus dalam jangka waktu tertentu. Kedua perspektif juga
menyatakan bahwa inflasi berdampak buruk pada pembangunan ekonomi, keseimbangan
dan keadilan, menyebabkan penurunan daya beli masyarakat, memperburuk
distribusi pendapatan, peningkatan jumlah pengangguran, perlambatan kegiatan
bisnis, dan penurunan kesejahteraan masyarakat. Meskipun terdapat persamaan
definisi, namun konsep inflasi dalam Islam berbeda dengan konvensional.
Perbedaan tersebut diantaranya terletak pada sumber penyebab terjadinya
inflasi, meskipun terdapat beberapa persamaan. Penyebab inflasi yang sama
antara perspektif Islam dan konvensional yaitu kelebihan uang beredar dalam
perekonomian karena penciptaan uang, inflasi tarikan permintaan dan inflasi
dorongan biaya. Sementara perbedaan penyebab inflasi dalam perspektif
konvensional dan perspektif Islam sebenarnya menunjukkan perbedaan esensi
antara ekonomi konvensional dan ekonomi Islam. Faktor penyebab inflasi menurut
perspektif konvensional yang tidak dikemukakan oleh perspektif Islam adalah
dorongan biaya (volatile food, administered price dan upah/gaji) serta
ekspektasi (adaptive dan forward). Sedangkan faktor penyebab inflasi menurut
perspektif Islam yang tidak ada pada perspektif konvensional adalah korupsi,
perilaku buruk, administrasi yang buruk, pajak yang berlebihan, sistem uang
fiat, sistem perbankan cadangan fraksional, kartu kredit, dan transaksi
derivatif. Islam memandang bahwa dalam perekonomian mungkin saja tidak terjadi
inflasi. Hal ini dapat tercapai apabila ada keselarasan antara sektor keuangan
dan sektor riil, yang merupakan prinsip utama ekonomi Islam. Ekonomi Islam
hadir dengan prinsip yang mengharuskan setiap transaksi di sektor keuangan
harus dilandasi dengan transaksi di sektor riil, sehingga hal tersebut akan
memperkecil bahkan menghilangkan gap antara sektor keuangan dan sektor riil.
Ajaran Islam yang melarang riba, maysir, gharar, serta tidak boleh
berlebih-lebihan dapat mengoreksi faktor-faktor penyebab inflasi yang bersumber
dari ekonomi konvensional tersebut.
BIBLIOGRAFI
Amir, K. (2014). Inflation: Islamic and conventional economic
systems-Evidence from the United States. International Journal, 8(3),
19�40.
Amsi, M. (2020). Berkah dengan investasi syariah: Saham
syariah kelas pemula. Elex Media Komputindo.
Chapra, M. U. (1985). Towards a just monetary system
(Vol. 8). International Institute of Islamic Thought (IIIT).
Fadilla, F. (2017). Perbandingan Teori Inflasi dalam
Perspektif Islam dan Konvensional. Islamic Banking: Jurnal Pemikiran Dan
Pengembangan Perbankan Syariah, 2(2), 1�14.
Gutberlet, M., Preuss, L., & Thorpe, A. S. (2023). Macro
level matters: Advancing circular economy in different business systems within
Europe. Ecological Economics, 211, 107858.
https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.ecolecon.2023.107858
HRP, A. K. Z., Abd. Majid, M. S., & Rahmat. (2023).
Islamic Macro Economy: A New Paradigm. International Journal of Economics
(IJEC), 2(1), 33�44. https://doi.org/10.55299/ijec.v2i1.101
Juhro, S. M., Syarifuddin, F., & Sakti, A. (2020).
Ekonomi Moneter Islam Suatu Pengantar. Depok: Rajawali Pers Publishing.
Karim, A. A. (2007). Ekonomi Mikro Islam, edisi ketiga. Rajawali
Pers, Jakarta.
Kia, A. (2006). Deficits, debt financing, monetary policy and
inflation in developing countries: Internal or external factors?: Evidence from
Iran. Journal of Asian Economics, 17(5), 879�903.
Kia, A. (2010). Money, deficits, debts and inflation in
emerging countries: evidence from Turkey. The Global Review of Accounting
and Finance, 1(1), 136�151.
Pangiuk, A. (2015). Inflasi pada fenomena sosial ekonomi:
pandangan al-maqrizi. Kontekstualita: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan,
30(2), 146342.
Selmi, R., Wohar, M., Deisting, F., & Kasmaoui, K.
(2023). Dynamic inflation hedging performance and downside risk: A comparison
between Islamic and conventional stock indices. The Quarterly Review of
Economics and Finance, 91, 56�67.
https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.qref.2023.07.006
Shakespeare, R. (2006). An Islamic money supply as the means
to integration. A Paper Prepared for the Seventh Harvard University Forum on
Islamic Finance. Available At< URL Http://Www. Globaljusticemovement.
Net/Articles/7HUF-IslamicFinance-Rs-0603. LCK>, Accessed On, 11,
2008.
Siddiqi, M. N. (1996). Role of Fiscal Policy in Controlling
Inflation in Islamic Framework. King Abdulaziz University, an Unpublished
Manuscript. Available At< URL Http://Siddigi. Com/Mns/FiscalPolicy.
Html>, Accessed On, 11, 2008.
Sprinkel, B. W. (1971). Inflation�Its cause and cure. Financial
Analysts Journal, 27(3), 11�16.
Copyright
Holder: Fitri Kurniawati1*, Nurwahidin2 �(2024) |
First
publication right: |
This
article is licensed under: |