Syntax Idea : p�ISSN: 2684-6853� e-ISSN : 2684-883X
Vol. 2, No.
5 Mei 2020
PENGARUH KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP POLA HIDUP ETNIS TIONGHOA (FOKUS
PENELITIAN PASCA KEMERDEKAAN)
Supraptiningsih dan Yuni Fatmawati
Universitas Pembangunan Nasional (UPN)
Veteran, Jawa Timur
Email: [email protected] dan [email protected]
Abstrak
Kedatangan etnis Tionghoa di Indonesia telah sejaklama mendahului kedatangan orang-orang Belanda. Pasca kemerdekaan Indonesia pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan yang berpengaruh terhadap pola hidup etnis
tionghoa di Indonesia khususnya
pada bidang politik, ekonomi dan sosial-budaya. Tujuan dari penelitian
ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaruh kebijakan pemerintah Indonesia terhadap etnis Tionghoa pada bidang politik, ekonomi dan sosial-budaya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode kualitatif
dengan teknik pengumpulan data menggunakan kajian dokumen, maupun artikel dalam bentuk jurnal,
berita, buku. Fokus dalam penelitian
ini adalah kebijakan pemerintah pasca kemerdekaan terhadap pola hidup
etnis Tionghoa dalam bidang politik,
ekonomi dan sosial-budaya.
Dari hasil penelitan dan pembahasan menunjukkan bahwa kebijakan yang diterapkan terhadap pola hidup etnis
Tinonghoa mulai dari orde lama, orde baru, sampai
reformasi berangsung membaik dengan menghapuskan diskriminasi terhadap masyarakat Tionghoa dalam segala bidang kehidupan.
Kata kunci: Kebijakan pemerintah, Etnis Tionghoa dan Pola Hidup
Pendahuluan
Kedatangan etnis Tionghoa di Indonesia telah sejak lama
mendahului kedatangan orang-orang Belanda. Dari penjelasan Groeneveldt, sudah
sejak tahun 400an orang Tionghoa telah menginjak bumi Nusantara (Groeneveldt,
2009) dalam (Utama, n.d.). Ketika negara Indonesia merdeka, etnis Tionghoa yang
berkewarganegaraan Tionghoa digolongkan sebagai salah satu suku dalam lingkup
nasional Indonesia, sesuai pasal 2 UU Nomor 12 tahun 2006 tentang
kewarganegaraan Republik Indonesia.WNI yang bukan termasuk pribumi dan menetap
di Indonesia merupakan bagian dari rakyat Indonesia, sehingga kebijakan
pemerintah Indonesia berlaku untuk semua warga Negara termasuk etnisTionghoa.
����������� Fokus penelitian ini mendiskripsikan
kebijakan pemerntah lintas orde dalam bidang politik, ekonomi dan
sosial-budaya, misalnya: presiden Soekarno membuat kebijakan yang� dikeluarkan dalam bentuk� PP (PeraturanPemerintah) nomor 10 tahun 1959
yang berisi larangan terhadap etnis Tionghoa untuk melakukan perdagangan di
daerah pedesaan. Pengejaran terhadap orang-orang Tionghoa ketika itu merupakan
bagian dari pelaksanaan serta pengembangan politik anti Tinghoa pada 1956.
Konsep pemikiran dari pemerintah mengenai nasionalisasi perusahaan telah sangat
meminggirkan usaha milik orang-orang Tionghoa. Masa peralihan dari pemerintah
Soekarno ke Soeharto diwarnai oleh kerusuhan anti-Tionghoa, yang dimulai dengan
propaganda.
����������� Setelah soeharto memimpin Indonesia,
keberadaan masyarakat tionghoa tetap menjadi polemik di masyarakat. Pemerintah
orde baru yang menginginkan penerapan Bhineka Tunggal Ika di Indonesia mulai
menekan orang Tionghoa untuk menyatukan kebudayaannya. Pemerintah Soeharto
mengeluarkan kebijakan asimilasi atau pembaruan lengkap kepada keturunan
Tionghoa dengan kebijakan perubahan nama, pelarangan perayaan imlek, ritual
agama dan adat istiadat, pelarangan untuk mendirikan, memperluas dan
memperbarui klenteng, serta pelarangan menggunakan bahasa mandarin (Suryadinata, 2002). Warga Tionghoa dianggap sebagai warga Negara asing
yang kedudukannya dibawah warga pribumi. Menjelang jatuhnya rezim orde baru,
terjadi pergolakan politik yang dilandasi pada kelambanan pemerintah menangani
krisis moneter. Kerusuhan mei�98 melibatkan Tionghoa sebagai korban
penganiayaan, kekerasan serta seksual. Berakhirnya rezim orde baru, Indonesia
memasuki orde reformasi.
����������� Pada pasca reformasi, Abdurrahman
wahid (yang lebih dikenal dengan nama Gus Dur), mengajukan sebuah konsep bangsa
Indonesia yang dimodifikasikan dengan menawarkan konsep bangsa Indonesia yang
nonras. Selain itu Gus Dur juga mengkritisi penduduk asli Indonesia karena
merusak, tidak adil, dan tidak jujur terhadap etnis tionghoa untuk mengubah
sikap yang demikian Jahja (1991:224�228) dalam (Suryadinata, 2002). Pada akhirnya Presiden Abduraham Wahid mengeluarkan
Keppres RI No.6 Tahun 2000, mencabut Inpres No.14 Tahun 1967, sehingga mengembalikan
posisi masyarakat Tionghoa dalam menjalankan aktivitas keagamaan, dan
memperjuangkan hak-hak sipil, termasuk mengadakan upacara-upacara secara umum.
Kebanyakan
orang percaya bahwa ketidak adilan harus dilawan dan dihukum, banyak gerakan
Sosial dan Politis diseluruh dunia yang berjuang menegakkan keadilan (Mustamid, 2019). Kendati demikian permasalahan yang dahulu dengan
adanya rasa diasingkan (anti Tionghoa) tidak semudah itu dapat dihilangkan,
begitu juga dengan kemelut adanya jurang pemisah yang merujuk pada sikap
permusuhan secara langsung maupun tidak langsung diantara etnis Tionghoa dengan
pribumi. Baru-baru ini terdapat media massa (TEMPO.CO) yang mengabarkan
bahwasanya masih terdapat sentiment terhadap etnis Tionghoa yaitu, sentiment
anti-Tionghoa yang berkobar selama Pilkada DKI menunjukkan bagaimana persepsi
terhadap etnis Tionghoa di Indonesia tidak banyak berubah. Kelompok mayoritas
Indonesia disebut Sidney Jones, yang tidak ingin memahami prinsip dasar
kesetaraan hak politik dalam demokrasi.
����������� Dalam penelitian ini akan
menguraikan dua sisi objektif, yaitu mengetahui secara pasti bentuk-bentuk
kebijakan pemerintah terhadap etnis Tionghoa. Serta menjelaskan pola hidup
etnis Tionghoa terhadap kebijakan pemerintah Indonesia dilihat dari bidang
politik, ekonomi dan sosial-budaya. Tujuan penulisian penelitian ini adalah
untuk mengidentifikasi kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia
terhadap etnis Tionghoa, mendeskripsikan pengaruh kebijakan pemerintah
Indonesia terhadap pola hidup etnis Tionghoa. Serta dampak yang terjadi akibat
berlakunya kebijakan pemerintah Indonesia terhadap pola hidup etnis Tionghoa
dalam bidang politik, ekonomi dan sosial-budaya.
Metode Penelitian
Penelitian ini bermaksud mengkaji tentang bagaimana �Pengaruh
Kebijakan Pemerintah Indonesia Terhadap pola hidup etnis tionghoa di bidang
politik, ekonomi dan sosial-budaya di Indonesia pasca kemerdekaan sampai
reformasi�. Dalam menyelesaikan tulisan ini, penulis menggunakan pendekatan
deskriptif kualitatif, yaitu penelitian yang menekankan catatatan dengan
deskripsi kalimat yang rinci, lengkap, mendalam yang menggambarkan situasi yang
sebenarnya guna mendukung penyajian data (Nugrahani & Hum, 2014).
Metode yang digunakan
yaitu historis merupakan salah satu penelitian mengenai pengumpulan dan
evaluasi data secara sistematik berkaitan dengan kejadian masa lalu untuk menguji
hipotesis yang berhubungan dengan penyebab, pengaruh, atau perkembangan
kejadian yang mungkin membantu dengan memberikan informasi pada kejadian
sekarang dan mengantisipasi kejadian yang akan datang. Teknik pengumpulan data
pada penelitian ini yaitu kajian dokumen, maupun artikel dalam bentuk jurnal,
berita, buku, dll. Adapun yang menjadi fokus penelitian ini yaitu pengaruh
kebijakan pemerintah Indonesia yang pernah berlaku terhadap pola hidup etnis
tionghoa di bidang politik, ekonomi dan sosial-budaya.
Hasil
dan Pembahasan
A. Bidang Politik
Setelah kemerdekaan
Indonesia pemerintah Soekarno mengeluarkan kebijakan berupa Undang-Undang
Kewarganegaraan yang dilandaskan pada azaz ius soli dan �sistem pasif.�
Undang-undang tersebut menjelaskan bahwa warga negara Indonesia terdiri dari
orang asli yang bertempat tinggal di Indonesia sehingga mayoritas etnis
Tionghoa yang tinggal di Jawa secara otomatis menjadi warga negara Indonesia,
yang� berdampak pada persamaan antara
sesama warga negara Indonesia, tanpa pandang latar belakang rasnya. Pemerintah
pada masa Soekarno juga mentoleransi adanya organisasi sosial-politik non
pribumi (etnis Tionghoa) dengan adanya Baperki yang didirikan pada tahun 1954.
Baperki berkembang
menjadi organisasi massa yang menitikberatkan intergrasi (politik), bukan
asimilasi, di kalangan orang Tionghoa yang semakin condong ke kiri. Politik
kiri inilah yang akhirnya membawa Baperki musnah setelah terjadinya G-30-S pada
tahun 1965 (Suryadinata, 1999). Pada masa presiden Soekarno dalam bidang politik
etnis Tionghoa mulanya masih memiliki hak untuk berorganisasi (Baperki) namun
dengan adanya peristiwa G 30/S, dibubarkanlah organsisasi tersebut. Dengan
dilarangnya Baperki dan perkumpulan Tionghoa lainnya, penguasa baru mulai
menyokong LPKB (Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa) yang ditugaskan untuk
menangani masalah Tionghoa. Dari sinilah etnis Tionghoa mulai terdiskriminasi
dalam bidang politik.
Setelah pergantian
dari orde lama ke orde baru, pemerintah Soeharto telah melarang semua
organisasi sosial-politik Tionghoa. Hal ini dituangkan dalam Intruksi Presidium
Kabinet No. 31/U/IN/12/1966 kepada menteri dan kantor catatan sipil (Nur Hudayah dan Retno Winarni, 2014). Pemerintah orde baru
memandang organisasi Tionghoa bersifat ekslusif dan menginginkan etnis Tionghoa
bergabung dengan organisasi pribumi seperti Golkar partai pemerintah atau
organisasi yang berfaliasi dengan golkar. Akibat kebijakan yang berlaku pada
pemerintah orde baru, etnis Tionghoa bersikap apolitik yang membuat etnis
Tionghoa benar-benar anti politik, sehingga masyarakat Tionghoa mejauhi segala
sesuatu yang berbau politik. Selain itu kepentingan masyarakat Tionghoa
diwakili oleh beberapa tokoh Tionghoa yang memiliki hubungan dengan penguasa,
yang bertujuan untuk menyalurkan permintaan, biasanya disebut sistem cukong
berupa satu saluran untuk memberikan masukan kepada kebijakan pemerintah.
Usai runtuhnya� Orde Baru, eksistensi etnis Tionghoa di
politik nasional mulai mencuat. Satu-persatu tokoh Tionghoa muncul dan bahkan
sempat memicu 'kehebohan' akibat campur tangan politik identitas. Rasionalitas
jadi kunci keberlangsungan etnis Tionghoa di dunia politik. Pada era ini
pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan yang lebih berpihak pada posisi
etnis Tionghoa di Indonesia diantaranya yaitu B.J Habibie menerbitkan Instruksi
Presiden� No. 26 tahun 1998 tentang
penghentian penggunaan istilah pribumi dan non-pribumi. Disusul dengan
kebijakan� Abdurrahman Wahid alias Gus
Dur dengan dikeluarkannya Inpres no. 6 tahun 2000 tentang pencabutan Inpres no.
14 tahun 1967 yang berisi larangan etnis Tionghoa untuk menjalankan adat
istiadat, kebudayaan, dan agama (Mustajab, 2015).
Selain itu Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono selama pemerintahannya telah mengeluarkan tiga
undang-undang penting. Pertama, UU No. 12/2006 tentang kewarganegaraan
Indonesia, yang menyatakan bahwa di Indonesia hanya ada WNI dan WNA, tidak ada
lagi istilah �pribumi dan non pribumi�. Kedua, UU No.23/2006 tentang
pendaftaran penduduk dan Ketiga, UU No.40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi
Ras dan Etnis (PDRE). Dengan adanya kebijakan tersebut telah menyerap
prinsip-prinsip demokrasi dengan menghilangkan diskriminasi yang selama ini
menjadi beban masyarakat Tionghoa. Dampak dari kebijakan
pemerintah tersebut bagi etnis tionghoa yaitu Masyarakat Tionghoa mulai berani
menunjukkan jati diri mereka.
Seiring dengan itu,
kesempatan masyarakat Tionghoa di dunia politik semakin terbuka lebar. Jika
dilihat data dari asiapacific.anu.edu.au, terdapat
setidaknya 150 caleg dari etnis Tionghoa yang berpartisipasi dalam Pemilu 2004,
meski akhirnya hanya sebagian kecil yang berhasil mendapatkan jatah kursi di
parlemen. Hal tersebut menunjukkan bahwasanya etnis Tionghoa tidak lagi
bersikap apolitik atau anti politik. Basuki Tjahaja Purnama atau
kerap disapa Ahok, yang menjadi Gubernur DKI Jakarta merupakan salah satu
wujud, bukti penerimaan masyarakat terhadap etnis Tionghoa. Meskipun dalam
perjalanannya Basuki Tjahaja Purnama kerap kali tersandung beberapa masalah,
yang dilatar belakangi oleh beberapa kepentingan. Namun dengan adanya tokoh
pemerintah dari etnis Tionghoa, menunjukkan bahwasanya pola hidup etnis
Tionghoa dalam bidang politik sudah tergolong baik tanpa adanya
diskriminasi.��
B. Bidang Ekonomi
Setiap periode pemerintah mempunyai kebijakan yang berbeda-beda termasuk
kebijakan dalam bidang ekonomi. Seperti halnya kebijakan pemerintah soekarno
berbeda dengan kebijakan pemerintah soeharto, dan pemerintah lainnya. Pada
pemerintahan soekarno memiliki sistem benteng PP no. 10, program benteng ini
merupakan kebijakan ekonomi yang diluncurkan pemerintah guna membina
pembentukan suatu kelas pengusaha Indonesia �pribumi� (dalam arti �non
tionghoa�). Sistem Benteng tidak berhasil mencapai tujuannya untuk menciptakan
kelas wiraswastawan pribumi yang tangguh. Faktor kegagalan itu terletak pada
kekurangpahaman orang pribumi Indonesia, kuatnya oposisi dari masyarakat
Tionghoa, dan inflasi yang terus menerus yang memaksa pemerintah mengadakan
penilaian kembali atas program tersebut (Wijayanti, 2015). Dalam kebijakan ini yang menjalankan usaha-usaha
tersebut ialah golongan cina atau etnis Tionghoa, sehingga pengaruh kebijakan
ini terhadap pola hidup etnis tionghoa ialah kebiasaan atau perilaku etnis
Tionghoa yang menguasai perekonomian. Peristiwa ini sering disebut sebagai
�Ali-Baba�.
Pengaruh kebijakan Pemerintah Orde Baru dalam kehidupan etnis Tionghoa di
bidang ekonomi lebih baik dari sebelumnya, yang mana pemerintah mulai
mempergunakan modal dari kemampuan kewiraswastaan etnis Tionghoa dari pada
menyingkirkan. Hal ini tertuang dalam Instruksi Presiden tertanggal 1 Juni
1967, yang kemudian memberi peluang kepada etnis Tionghoa untuk berkembang
dalam bidang ekonomi dan kemudian dalam perkembangannya justru menopang
kehidupan perekonomian negara (Retno Winarni & Raharsono, 2018). Namun kondisi tersebut
tidak berlangsung lama, terdapat kebijakan baru dan peristiwa yang
diskriminatif terhadap etnis Tionghoa dibidang ekonomi yaitu PP no. 10/November
1959 yang melarang masyarakat Tionghoa berdagang di wilayah pedesaan yang
melahirkan sejumlah insiden. Peraturan ini membatasi secara tegas peran dan hak
ekonomi etnis Tionghoa. Masyarakat Tionghoa hanya diperbolehkan berdagang
sampai tingkat kabupaten dan tidak diperbolehkan berdagang di tingkat kecamatan
apalagi di desa (Darini, n.d.).
Pada tahun 1998 terjadi suatu peristiwa yang sangat penting bagi etnis
Tinghoa terutama di Jakarta dan Solo. Terjadi diskriminasi atau kerusuhan
secara besar, dimana terdapat pembunuhan pemerkosaan, dan pembakaran beberapa
rumah bahkan toko atau usaha milik masyarakat etnis Tionghoa. Namun dengan
adanya peristiwa tersebut membawa perubahan bagi masyarakat Tionghoa, bahwa
masyarakat Tionghoa merupakan bagian dari Indonesia yang memiliki hak yang sama
dengan masyarakat lainnya. Sehingga kehidupan etnis Tionghoa dibidang ekonomi
saat ini lebih baik dari sebelum terjadinya peristiwa tersebut dan tidak
terjadi diskriminasi seperti pada tahun-tahun sebelumnya, bahkan terdapat kerja
sama yang baik antara masyarakat Tioghoa dengan masyarakat lainnya (pribumi).
C. Bidang Sosial-Budaya
Kehidupan etnis Tionghoa di bidang sosial dan budaya sebelum kemerdekaan sudah
terdiskriminasi, terlebih dengan sterotip negative masyarakat pribumi terhadap
etnis Tionghoa yang telah diciptakan oleh Belanda. Pada masa pemerintahan Orde
Lama menerapkan kebijakan integrasi dimana etnis Tionghoa dianggap sebagai
salah satu suku di Indonesia, hak etnis Tionghoa sebagai warga negara mendapat
perlindungan resmi dari pemerintah. Etnis Tionghoa diberi kebebasan untuk
terjun dalam bidang politik, pendidikan maupun sosial budaya (Levia Chessiagi, Wawan Darmawan, 2018). Pada orde baru soeharto
mengeluarkan kebijakan asimilasi yang bertujuan untuk menyelesaikan
permasalahan etnis Tionghoa yang sejak lama terjadi di Indonesia yang
difokuskan terhadap bidang sosial-budaya, namun dalam pengimplementasiannya
kebijakan asimilasi ini juga diterapkan di seluruh bidang kehidupan etnis
Tionghoa di Indonesia.
Dalam (Freedman, 2003)menjelaskan bahwa Decree
No. 14/1967 issued by Suharto to ban Chinese cultural, linguistic and religious
activities, and new laws have been passed to allow the use of Chinese ethnic
surnames and the publication of Chinese-language materials, and to end the
practice of coded identification cards, many discriminatory policies remain in
place. Dalam kebijakan tersebut soeharto memang tidak serta-merta melarang
perayaan tahun baru Cina bagi warga Tionghoa di Indonesia. Dalam instruksi
Presiden 1967 tercantum poin yang menyatakan bahwa �perayaan-perayaan pesta
agama dan adat istiadat Cina dilakukan secara tidak menyolok di depan umum,
melainkan dilakukan dalam lingkungan keluarga�. Kebijakan tersebut
berpengaruh terhadap pola hidup etnis Tionghoa dalam bidang sosial ekonomi,
masyarakat Tionghoa merasa terdiskriminasi dan tidak bisa berkehendak sesuai
dengan yang diinginkan.
Pada masa reformasi presiden Susilo Bambang Yudoyono menerbitkan Keppres
No. 12/2014 tentang pencabutan surat edaran Presidium
kabinet AMPERA nomor SE-06/Pres.Kab/6/1967. Selain itu dalam (Setijadi, 2016)menjelaskan bahwa The
successivepost-Suharto Indonesian governments quickly attempted to �remedy� the
situation by abolishing the New Order�s assimilation policy. This new policy of
tolerance towards the ethnic Chinese heralded a new era of �reSinification�
that saw a dramatic revival of Chinese socio-political organisations, languages
and media. Dengan adanya kebijakan tersebut kehidupan etnis Tionghoa di
bidang sosial-budaya, sudah tidak mengalami diskriminasi, bahkan dalam perayaan
tahun baru imlek termasuk dalam daftra libur nasional sesuai� dengan Keppres No. 19/2002 yang dikeluarkan
oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Bahkan terjalin hubungan yang baik dan
semakin eratnya hubungan birateral dengan Tionghoa serta terdapat toleransi
antara masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang multikultural.
Kesimpulan
Kebijakan
yang dikeluarkan pemerintah Indonesia terhadap etnis Tinghoa mulai dari orde
lama, orde baru sampai reformasi berpengaruh terhadap pola hidup etnis Tionghoa
dalam bidang politik, ekonomi dan sosial-budaya. Pola hidup masayarakat
Tionghoa dalam bidang politik pada pemerintahan orde lama tidak terdiskriminasi
yang memiliki hak untuk berorganisasi sosial politik (organisasi Baperki).� Namun kondisi tersebut tidak berlangsung
lama, dengan adanya peristiwa G 30/S dan bergantinya pemerintahan dari orde
lama ke orde baru pola hidup etnis Tionghoa dalam bidang politik sangatlah
terdiskriminasi. Pemerintah Soeharto telah melarang semua organisasi
sosial-politik Tionghoa. Hal tersebut berdampak pada pola hidup masyarakat
Tionghoa yang apolitik atau anti politik. Pada era reformasi pola hidup
masyarakat Tionghoa dalam bidang politik berangsung membaik tanpa adanya
diskriminasi. Sudah terdapat beberapa tokoh politik yang berasal dari
masyarakat Tionghoa.
Dalam bidang ekonomi
pola hidup masyarakat Tionghoa pada pemerintahan orde lama, terdiskriminasi
dengan adanya program Bentang PP no. 10, Pengaruh kebijakan tersebut
terhadap pola hidup etnis tionghoa ialah kebiasaan atau perilaku etnis Tionghoa
yang menguasai perekonomian. Pada pemerintahan orde baru pola hidup masyarakat
Tionghoa semakin terdiskriminasi dengan adanya kebijakan yang melarang Tionghoa
berdagang di wilayah pedesaan. Peraturan tersebut sangat membatasiperan dan hak
ekonomi etnis Tionghoa. Peristiwa 1998 membawa angin segar bagi pola hidup
masyarakat Tionghoa dalam bidang ekonomi, bahwa masayarakat Tionghoa merupakan
bagian dari Indonesia yang memiliki hak yang sama seperti masyarakat lainnya.
Pola hidup etnis Tionghoa dalam bidang ekonomi kembali normal dengan tidak
adanya diskriminasi. Kehidupan etnis Tionghoa di bidang sosial dan budaya pada
pemerintahan orde lama tidak terdiskriminasi, pemerintahan Orde Lama menerapkan
kebijakan integrasi dimana etnis Tionghoa dianggap sebagai salah satu suku di
Indonesia. namun pada pemerintahan orde baru pola hidup etnis Tionghoa dalam
bidang sosial-budaya sangat terdiskriminasi dengan dikeluarkannya kebijakan
asimilasi. Kebijakan pemerintah pada era yang mencabut diskriminasi terhadap
pola hidup etnis Tionghoa, menandai berakhirnya diskriminasi terhadap pola
hidup masyarakat Tionghoa.
BIBLIOGRAFI
Darini, Ririn.
(n.d.). Kebijakan Negara dan Sentimen Anti Cina Prespektif Historis.
Freedman,
Amy. (2003). Political Institutions and Ethnic Chinese Identity in Indonesia. Asian
Ethnicity, 4, 440�452. https://doi.org/10.1080/1343900032000117259
Groeneveldt,
Willem Pieter. (2009). Nusantara dalam catatan Tionghoa. Komunitas
Bambu.
Levia
Chessiagi, Wawan Darmawan, Tarunasena. (2018). Dinamika Kehidupan Sosial Budaya
Etnis Tionghoa Dalam Bingkai Kebijakan Asimilasi Orde Baru (1966-1968). Sejarah
Dan Pendidikan Sejarah, 7, 113�122.
Mustajab,
Ali. (2015). Kebijakan Politik Gus Dur Terhadap China Tionghoa di Indonesia. Agama
Dan Hak Asasi Manusia, 5, 154�192.
Mustamid,
Mustamid. (2019). Penerapan Pembelaan Hak Kepemilikan Tanah Oleh LBH SGJI di
Desa Sukajadi Kecamatan Cibaliung Kabupaten Pandeglang. Syntax Literate;
Jurnal Ilmiah Indonesia, 4(9), 65�72.
Nugrahani,
Farida, & Hum, M. (2014). Metode Penelitian Kualitatif. Solo: Cakra
Books.
Setijadi,
Charlotte. (2016). Ethnic Chinese in Contemporary Indonesia: Changing Identity
Politics and the Paradox of Sinification. Iseas, 12, 1�11.
https://doi.org/2335-6677
Suryadinata,
Leo. (1999). Negara dan Minoritas Tionghoa di Indonesia. Wacana, 1,
224�246.
Suryadinata,
Leo. (2002). Negara dan etnis Tionghoa: kasus Indonesia. LP3ES.
Utama,
Wildan Sena. (n.d.). Kehidupan Sosial-Budaya Masyarakat Tionghoa di Batavia
1900an-1930an. Lembaran Sejarah, 9(1), 19�38.
Wijayanti,
Yeni. (2015). Kebijakan Pemerintah Indonesia Masa Orde Lama Dibidang Ekonomi
Terhadap Bisnis Orang Cina. Artefak, 3, 113�118.
Winarni,
Nur Hudayah dan Retno. (2014). Pengaruh Kebijakan Pemerintah Indonesia Terhadap
Kehidupan Etnis Tionghoa di Bidang Politik Sosial Budaya dan Ekonomi di
Kabupaten Jember dari Zaman Orde Lama sampai Zaman Reformasi pada tahun
1998-2012. Publika Budaya, 2, 19�31.
Winarni,
Retno, & Raharsono, Lilik Slamet. (2018). Peran Ekonomi Etnis Cina di
Wilayah Eks Kota Administratif Jember Pada Zaman Orde Baru dan Awal Reformasi. Humonaria,
1, 1�22.